1

loading...

Tuesday, March 20, 2012

Objek Akad dan Tujuan Akad


OBJEK AKAD DAN TUJUAN AKAD

A.    Pendahuluan
Dalam hukum perjanjian Islam rukun ketiga akad adalah adanya objek akad (mahhallul- “aqad ). Hal ini seperti dalam semua sistem hukum, adalah wajar sekali karena objek tersebut yang menjadi sasaran yang hendak dicapai oleh para pihak melalui pentpan akad. Apabila tidak ada objek, tentu akadnya menjadi sia-sia dan percuma. Tidak mungkin para pihak dapat melaksanakan prestasinya bilamana prestasi itu tidak ada dan jelas.
Dalam hukum perjanjian Islam objek akad dibuat dan berlaku akibat-akibat hukum akad. Objek akad dapat berupa benda, manfaat benda, jasa dan pekerjaan, atau suatu yang lain yang bertentangan dengan syariah. Benda meliputi benda bergerak dan tidak bergerak maupun benda berbadan dan benda tidak berbadan.
Dalam hal objek akad merupakan suatu perbuatan seperti mengajar, melakukan pengangkutan, atau melakukan pekerjaan tertentu, maka syaratnya adalah bahwa perbuatan atau pekerjaan tersebut mungkin dilaksanakan. Tidak boleh merupakan hal yang tidak dapat dipastikan apakah dapat ata tidak dapat dilaksanakan.
Disyaratkan agar barang yang menjadi objek akad selamat dari kesamaran dan riba, karena barang-barang yang diperselisihkan dan disepakati serta sebab-sebab perbedaan dalam masalah ini sudah dikemukakan dimuka, kesamaran dapat terhindar dari sesuatu barang manakala diketaahui wujud, sifat, dan kadarnya, juga dapat diserahkan, yakni pada kedua ujungnya harga dan barang dan diketahui pula masanya, yakni jika dalam bentuk jual beli tidak tunai.
B.     Objek Akad
Objek akad dalam islam dikenal dengan istilah Mahallul ‘Aqd adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk objek akad dapat berupa benda berwujud dan benda tidak berwujud.[1]
Objek hukum segala sesuatu yang bisa berguna bagi subjek hukum dan dapat menjadi pokok suatu hubungan hukum, yang dilakukan oleh subjek hukum, biasanya diamakan benda atau hak yang dapat dimiliki dan dikuasai oleh subjek hukum.[2]
Menurut pasal 503 KUHP Perdata benda dibedakan menjadi dua, yaitu :[3]  
1.      Benda berwujud
2.      Benda tidak berwujud.
Sedangkan menurut pasal 504 KUHP Perdata benda dibedakan menjadi dua, yaitu :
1.      Benda bergerak
2.      Benda tidak bergerak
Apabila objek akad berupa benda, maka kejelasan objek tersebut terkait pada apakah objek tersebut hadir (ada) dimajelis akad (tempat ditutupnya perjanjian) atau tidak.  Bilamana objek dimaksud (hadir) pada majelis akad, maka kejelesan objek tersebut menurut ahli-ahli hukum Hanafi dan Hambali, cukup dengan menujukkan kepada mitra janji sekalipun objek tersebut berada dalam tempat tertutup, seperti gandum atau gula dalam karung. Menurut ahli-ahli hukum Maliki, menunjukkan tidak cukup melaikan harus dilihat secarta langsung jika hal itu memang dimungkinkan. Jika tidak mungkin dilihat cukup dideskripsikan. Ahli-ahli hukm Syafi’I mengharuskan melihat secara langsung terhadap objek, baik objek itu hadir atau tidak ditempat dilakukannya akad.[4]
Apabila objek akad berupa perbuatan, maka seperti halnya objek yang berupa benda, objek tersebut harus tertentu atau dapat ditentukan, dalam pengertian jelas dan diketahui opleh para pihak. Dalam akad melakukan suatu pekerjaan, pekerjaan itu harus sedemikian rupa sehingga meniadakan ketidak jelasan yang mencolok.[5]    
C.    Syarat-syarat Objek akad
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam Mahallul ‘Aqd yaitu[6] :
1.      Objek akad harus ketika akad
Berdasarkan syarat ini, barang yang tidak ada ketika akad tidak sah dijadikan objek akad.
2.      Objek akad dibenarkan oleh syari’ah
Pada dasarnya, benda yang menjadi objek akad haruslah memiliki nilai dan manfaat bagi manusia.
3.      Objek akad harus jelas dan dikenali
Satu benda yang menjadi objek akad harus memiliki kejelasan dan diketahui oleh akad. Hal ini bertujan agar tidak terjadi kesalahpahaman di antara para pihak yang dapat menimbulkan sengketa.
4.      Objek dapat diserahterimakan.
Benda yang menjadi objek akad dapat diserahkan pada saat akad terjadi, atau pada waktu yang telah disepakati.
Adapun syarat lain menurut para ahli hukum Islam objek akad dapat ditransaksikan. Suatu objek dapat ditransaksikan dalam hukum islam apabila memenuhi kriteria-kretaria berikut yaitu[7] :
1.      Tujuan objek tersebut tidak bertentangan dengan transaksi, dengan kata lain sesuatu tidak dapat apabila transaksi tersebut bertentangan dengan tujuan yang ditentukan untuk sesuatu tersebut.
2.      Sifat atau hakikat dari objek itu tidak bertentangan dengan transaksi, dengan kata lain sesuatu tidak dapat ditransaksikan apabila sifat atau hakikat sesuatu itu tidak memungkinkan transaksi.
3.      Objek tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum.    
D.    Dasar Hukum
1.      Pendapat Mayoritas ahli-ahli hukum Islam[8]
Asas umum bahwa objek akad harus dapat dipastikan bisa diserahkan atau dilaksanakan adalah hasil penyimplan menurut beberapa ahli hukum Hambali. Para ahli hukum Islam berbeda pendapat dalam menyimpulkan asas hukum dari kedua hadist diatas dan hadist lain yang serupa berbeda dengan penegasan yang dibuat diatas, mayoritas ahli-ahli hukum islam menyimpulkan syarat umum akad dari hadist-hadist diatas, yaitu  objek akad harus ada pada waktu akad ditutup. Pernyataan paling tegas mengenai ini dikemukakan oleh Al-kasanih (W. 587/1190), ahli hukum Hanafi, ‘ adapun syarat yang berkaitan dengan objek aka dada beberapa macam, diantaranya adalah bahwa objek itu ada pada wakt akad ditutup, sehingga tidak terjadi akad jual beli barang yang tidak ada atau barang yang berisiko menjadi tidak ada.’Asy-Syirazi (W. 576/1083), ahli hukum Syafi’I, mengatakan, “tidak dibenarkan jual beli objek yang tidak ada, seperti buah yang belum jadi berdasarkan alasan hadir riwayat Abu Hurairah bahwa Nabi Saw. Melarang jal beli garar, dan ytang dimaksud dengan garar adalah sesuat yang tidak dapat dipastikan perihalnya dan tidak diketahui kelanjutannya”.   
2.      Pandangan Mazhab Hambali[9]
Dalam hal ini, penafsiran Mazhab Hambali, seperti dikemukakan oleh Ibn Taimiyyah (W. 728/1328) dan muridnya, Ibn Al-Qayyim (W. 751/1350),  lebih responsive terhadap kepentingan hukum masyarakat. Menurut kedua ahli hukum Hambali ini, asas bahwa akad jual beli barang yang tidak ada pada saat pentupan akad adalah tidak sah harus ditolak, karena tidak ada didalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw, maupun dalam pernyataan para sahabatnya larangan jal beli objek yang belum ada. Yang ada didalam sunnah Nabi Saw adalah larangan jual beli beberapa barang yang belum ada dan jga larangan jual beli beberapa barang yang sudah ada. Alasan hukum (‘illat, causa legis ) larangan tersebut bukan tidak adanya barang tersebut pada waktu penutupan perjanjian, tetapi yang tercantum dalam sunnah Nabi Saw adalah larangan jual beli objek yang bersiafat garar, yaitu objek yang tidak bisa dipastikan dapat diserahkan kepada pembeli, baik bedanya ada maupun tidak ada. 
3.      Menurut beberapa Hadist Nabi Saw antara lain adalah[10]
a.       Hadist Hakim Ibn Hizam yang menyatakan bahwa Nabi Saw bersabda, jangan engkau menjual barang yang tidak ada padamu (HR. An-Nasa’i)
b.      Hadist Abu Hurairah yang mengatakan : Rasulullah Saw, melarang jual beli lempar krikil dan jual beli garar. 
E.     Tujuan Akad
Tujuan akad, yang merupakan rukun keempat menurut beberapa ahli hukum Islam kontemporer, dibedakan dengan objek akad, yang merupakan rukun ketiga akad. Yang terakhir ini, yakni objek akad. Objek akad merupakan tempat terjadinya akibat hukum sedangkan tujuan akad adalah maksud para pihak yang bila terealisasi timbul akibat hukum pada objek tersebut.[11]
Tujuan akad dalam Islam dikenal dengan istiilah Maudhu Aqd adalah maksud utama disyariatkan akad. Dalam syariat Islam Maudhu Aqd hares benar dan sesuai dengan ketentuan syara'. Sebenarnya Maudhu Aqd sama meskipun berbeda-beda barang jenisnya. Pada akad jual-beli misalnya, Maudhu Aqd pemindahan kepemilikan barang dari penjual kepada pembeli, sedangkan dalam sewa menyawa pemindahan dalam mengambil manfaat disertai pengganti.[12]
Tujuan dan hukum suatu akad disyariatkan dalam hukum Islam, tujuan akad ditentukan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW dalam Hadist. Menurut ulama figih, Tujuan akad dapat dilakukan apabila sesuai dengan ketentuan syari'ah tersebut. Apabila tidak sesuai, maka hukumnya tidak sah.[13]
Tujuan akad ini ditandai dengan beberapa karakteristik, yaitu[14]
a.       Bersifat objektif.
b.      Menentukan jenis tindakan hukum.
c.       Tujuan akad merupakan fungsi hukum dari tindakan hukum.
Ahmad Azhar Basyir menentulcan syarat-syarat yang hares dipenuln agar suatu tujuan akad dipandang sash dan mempunyai akibat hukum, yaitu: [15]
1.      Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan.
2.      Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad.
3.      Tujuan akad harus dibenarkan syara’.
1.      Tujuan Akad dan kaitannya dengan Kausa
Beberapa pengkaji modem melihat konsep tujuan akad ini, sebagai kausa yang menjadi dasar keabsahan dan pembatalan perjanjian. Menurut Wahid Sawwar tujuan akad ini adalah dasar perikatan kedua belah pihak. Dalam akad jual beli misalnya tujuan pokok akad itu adalah pemindahan hak milik atas barang dari penjual kepada pembeli dengan imbalan, dan ini merupakan manifestasi syar'i (yuridis) dari tujuan akad itu, kemudian didalamnya terdapat lagi manifestasi rill, yaitu pertukaran yang timbale-batik. Manifestasi pertama merupakan dasar keterikatan pembeli untuk membayar sejumlah uang sebagai harga dan manifestasi kedua merupakan dasar penolakan (ketidakterikatan) pembeli untuk membayar harga dalam hat barang objek akad mengalami kerusakan atau hancur sebelum diserahkan, karena dasar keterikatannya untuk membayar adalah pertukaran timbal balik ini tidak terjadi, keterikatan para pihak menjadi gugur. Lebih lanjut, tujuan akad merupakan sumber kekuatan mengikat bagi tindakan hukum bersangkutan, yaitu dasar pemberian perlindungan hukum terhadapnya. Oleh pembeli atau tuntutan pembeli terhadap penyerahan barang oleh penjual .[16]
Sementara itu Khalid 'Abdullah 'Id menyatakan tujuan akad (al-maqshad al­ashli li al-`aqd) ini sesungguhnya merupakan kausa perjanjian dalam hukum Islam dengan melihat kaitan erat antara tujuan akad tersebut dengan objek akad (mahall aqad). Menurut Khalid `abdullah 'Id, salah satu syarat pokok untuk terjadi akad dalam hukum Islam adalah bahwa objek akad tidak dapat menerima hukum akad, dimana apabila objek akad tidak dapat menerima hukum akad, maka akad menjadi batal. Dalam akad jual beli misalnya, apabila objek jual beli adalah benda yang tidak bernilai (gair mutaqawwin) dalam pandangan syariah, seperti sabu-sabu, maka akad tidak pernah terjadi karena objek akad tidak dapat menerima hukum akad, yang tidak lain adalah tujuan yang hendak diwujudkan melalui akad sehingga akad jual beli tersebut batal (demi hukum). Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa batalnya akad adalah karena tidak terpenuhinya tujuan akad, yaitu tidak ada kausanya.[17]
2.      Pendapat Sarjana Hukum
Berikut ini adalah beberapa pendapat mengenai formulasi teori kausa dalam hukum Islam berdasarkan konsep, hukum Barat menurut para Sarjana hukum, yaitu:
a.       Kausa adalah Motif [18]
Para ahli hukum Mesir yang berbicara tentang hukum Islam adalah penganut teori baru kausa yang dikembangkan di Prancis, dan mereka ini mengajar bahwa kausa adalah motif (kausa impulsive). Ahli hukum mesir paling terkemuka yang membawa hukum Islam kedalam konteks ajaran kausa sebagai motif adalah 'Abd ar-Razzaq as-Sanhuri (1895-1971).
Menurutnya hukum Islam tidak merumuskan asas-asas umum mengenai kausa, namun dari berbagai ketentuan hukum detail dalam berbagai aneka perjanjian khusus dapat disimpulkan dan diiabstraksikan ajaran kausa dalam hukum ini.
Menurut as-Sanhuri, dalam kaitan dengan kausa, hukum Islam berada dalam tarik ulur dan ketegangan antara dua faktor yang berlawanan. Pertama, hukum, Islam adalah suatu sistem, hukum yang dicirikan oleh semangat objektivisme yang lebih mementingkan dan memberi perhatian lebih banyak terhadap ungkapan kehendak daripada terhadap kehendak itu sendiri. Dalam hukum yang dicirikan oleh semangat objektivisme ini, seperti halnya hukum Jerman, ajaran tentang kausa sulit mendapat tempat atau, paling tidak, dapat dikatakan bahwa teori kausa dalam hukum ini tidak berkembang seperti halnya dalam hukum bangsa-bangsa Latin. Kedua, Hukum Islam di sisi lain adalah juga hukum yang dicirikan oleh semangat dan prinsip etika dan keagamaan, karena hukum Islam adalah hukum yang bersumber kepada ajaran agama Islam itu sendiri.
1.      Kausa dalam Mazhab Hanafi dan Syafi'i[19]
Sebagaimana baru saja dikemukakan, dalam mazhab Hanafi dan Syafi'i kausa sulit mendapat tempat karena kedua mazhab ini lebih didominasi oleh semangat objektivisme (maudhu'iyyah). Atas dasar itu dalam kedua mazhab ini terdapat dua prinsip: (1) kausa tidak diperhitungkan kecuali apabila disebutkan dalam akad, dan (2) keabsahan kausa tidak konstan dalam arti bahwa (a) terdapat beberapa kausa di mana pandangan mengenai keabsahan kausa berbeda-beda, dan (b) pandangan tentang kausa yang sah itu berkembang.

2.      Kausa dalam mazhab Maliki dan Hambali[20]
Konsep kausa dalam kedua mazhab ini seperti dielaborasi oleh as-Sanhuri, lebih dekat kepada teori baru kausa di Prancis dan dikalangan sarjana hukum Mesir. Kausa adalah motif untuk menutup perjanjian dan perhitungan, baik ketika disebutkan dii dalam akad maupun ketika tidak disebutkan dalam perjanjian selama kausa itu diketahui oleh pihak lawan janji. Apabila kausa (motif) itu sah, maka sah pula perjanjian yang mengandungnya, namun jika kausa itu tidak sah, maka perjanjian yang mengandungnya tidak sah pula.
Ekspresi paling kuat dari pandangan ini ditemukan dalam tulisan Ibn al-Qayyim (w. 751/1350), tokoh Hambali terkenal.
Dalil-dalil dan kaidah-kaidah Syariah secara keseluruhan mendukung bahwa motif dalam akad diperhitungkan, dan menentukan sah atau fasidnya serta halal dan haramnya tindakan yang bukan akad, sehingga suatu ketika menjadi haram dan ketika lain halal sesuai dengan perbedaan niat dan motifnya seperti orang menjual senjata kepada orang yang diketahuinya bermaksud menggunakannya untuk membunuh orang lain, maka jual beli itu batal tetapi apabila is menjualnya kepada orang yang diketahuinya akan berjihad fi sabilillah, maka jual beli itu sah orang yang berniat melakukan riba dengan akad jual beli yang dibuatnya, maka tedadilah riba terlepas dari apapun bentuk akadnya, dan orang yang berniat melakukan nikah tahlil dengan akad nikah yang dibuatnya, maka terjadilah akad nikah muhallil terlepas dari apa pun bentuk akadnya.
Dari apa yang dikemukakan oleh Ibn al-Qayyim di atas tampak jelas bahwa pengaruh motif dalam menentukan sah atau batalnya suatu akad. Bahkan pada bagian akhir kutipan di atas, Ibn al-Qayyim menegaskan bahwa bentuk akad itu tidak dipertimbangkan. Yang diperhatikan adalah niat dan motifnya. Orang yang berniat melakukan riba dengan pura-pura berjual beli, akadnya batal.
b.      Kausa merupakan Consideration[21]
Ahli-ahli hukum dengan latar belakang konsepsi hukum anglosakson mengonsepsikan kausa dalam hukum islam sebagai apa yang dikenal dalam hukum anglosakson dengan consideration (prestasi) Dengan consideration dalam hukum anglosakso dimaksudkan suatu prestasi yang duberikan oleh lawan janji yang menjadi dasar pertimbangan bagi pemberi janji untuk melaksanakan janjinya. Prestasi ini hares disetujui oleh pemberi janji yang dapat dilihat sari kenyataan bahwa prestasi itu dikehendaki olehnya sebagai imbalan atas janji yang is berikan. Sebaliknya, penerima janji melakukan prestasi itu juga sebagai imbalan atas pelaksanaan janji pihak pertama.
Dalan kontrak-kontrak (akad-akad) tertentu, perjanjian dinyatakan batal apabila mengandung unsur riba dan juga unsur gara, yaitu ketidakjelasan menyangkut baik objek maupun prestasi (consideration). Menurut mazhab Hanafi adalah batal akad jual beli korma atau anggur untuk dibuat khamar, karena, tujuannya, yaitu kausanya bertentangan dengan ketentuan hukum Islam.

F.     Kesimpulan
Kesimpulan dari apa yang telah dikemukakan adalah bahwa objek akad harus ada pada waktu diitutupnya,peranjian apabila para pihak memang bermaksud melakukan akad terhadap objek yang sudah ada, maka perjanjiannya batal demi hukum. Akan tetapi, apabila para pihak bermaksud untuk melakukan akad terhadap objek yang tidak harus ada pada waktunya dibuatnya per anjian, melainkan dapat diserahkan kemudian, maka objek itu tidak hany ada pada waktu penutupan perjanjian, namun dapat dipastikan bisa diserahkan pada tanggal yang ditentukan.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam Mahallul 'Aqd yaitu:
1.      Objek akad harus ada ketika akad
Berdasarkan syarat ini, barang yang tidak ada ketika akad tidak sah dijadikan objek akad.
2.      Objek akad dibenarkan oleh syari'ah
Pada dasarya, benda yang menjadi objek akad haruslah memiliki nilai dan manfaat bagi manusia.
3.      Objek akad harus jelas dan dikenali.
Suatu benda yang menjadi objek akad harus memiliki kejelasan dan diketahui oleh akad. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesalahpahaman di antara para pihak yang dapat menimbulkan sengketa.
4.      Objek dapat diserahterimakan
Benda yang menjadi objek akad dapat diserahkan pada saat akad terjadi, atau pada waktu yang telah disepakati.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu tujuan akad dipandang sah dan mempunyai akibat hukum, yaitu:
1.      Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang, bersangkutan tanpa akad yang diadakan.
2.      Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhinya pelaksanaan akad.
3.      Tujuan akad harus dibenarkan syara'.



[1] Gemala Dewi, dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. (Jakarta : Kencana 2006) hal 60
[2] Kwik Kian Gie. Hukum Bisnis untuk Perusahaan. (Jakarta : Kencana, 2008) hal 12
[3] Ibid. Hal 13
[4] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah. (Jakarta : Grafindo Persada. 2007) Hal 203
[5] Ibid, Hal 204
[6] Gemala Dewi, dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. (Jakarta : Kencana 2006) hal 60-61
[7] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah. (Jakarta : Grafindo Persada. 2007) Hal 205
[8] Ibid. Hal 193-194
[9] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah. (Jakarta : Grafindo Persada. 2007) Hal 198
[10] Ibid Hal 192
[11] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah. (Jakarta : Grafindo Persada. 2007) Hal 219-220
[12] Rachmat Syafe’i. Fiqih Muamalah. (Bandung  Pustaka Setia) Hal 61
[13] Gemala Dewi, dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. (Jakarta : Kencana 2006) hal 62
[14] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah. (Jakarta : Grafindo Persada. 2007) Hal 220
[15] Opcit. Hal 62-63
[16] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah. (Jakarta : Grafindo Persada. 2007) Hal 220-221
[17] Ibid. Hal 221
[18] Ibid. Hal 223-224
[19] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah. (Jakarta : Grafindo Persada. 2007) Hal 225
[20] Ibid. hal 229-230
[21] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah. (Jakarta : Grafindo Persada. 2007) Hal 224-236

No comments:

Post a Comment