OBJEK AKAD DAN TUJUAN AKAD
Dalam hukum perjanjian Islam rukun
ketiga akad adalah adanya objek akad (mahhallul-
“aqad ). Hal ini seperti dalam semua sistem hukum, adalah wajar sekali
karena objek tersebut yang menjadi sasaran yang hendak dicapai oleh para pihak
melalui pentpan akad. Apabila tidak ada objek, tentu akadnya menjadi sia-sia
dan percuma. Tidak mungkin para pihak dapat melaksanakan prestasinya bilamana
prestasi itu tidak ada dan jelas.
Dalam hukum perjanjian Islam objek akad
dibuat dan berlaku akibat-akibat hukum akad. Objek akad dapat berupa benda,
manfaat benda, jasa dan pekerjaan, atau suatu yang lain yang bertentangan
dengan syariah. Benda meliputi benda bergerak dan tidak bergerak maupun benda
berbadan dan benda tidak berbadan.
Dalam hal objek akad merupakan suatu
perbuatan seperti mengajar, melakukan pengangkutan, atau melakukan pekerjaan
tertentu, maka syaratnya adalah bahwa perbuatan atau pekerjaan tersebut mungkin
dilaksanakan. Tidak boleh merupakan hal yang tidak dapat dipastikan apakah
dapat ata tidak dapat dilaksanakan.
Disyaratkan agar barang yang menjadi
objek akad selamat dari kesamaran dan riba, karena barang-barang yang
diperselisihkan dan disepakati serta sebab-sebab perbedaan dalam masalah ini
sudah dikemukakan dimuka, kesamaran dapat terhindar dari sesuatu barang
manakala diketaahui wujud, sifat, dan kadarnya, juga dapat diserahkan, yakni
pada kedua ujungnya harga dan barang dan diketahui pula masanya, yakni jika
dalam bentuk jual beli tidak tunai.
B. Objek Akad
Objek akad dalam islam dikenal dengan
istilah Mahallul ‘Aqd adalah sesuatu
yang dijadikan objek akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan.
Bentuk objek akad dapat berupa benda berwujud dan benda tidak berwujud.[1]
Objek hukum segala sesuatu yang bisa
berguna bagi subjek hukum dan dapat menjadi pokok suatu hubungan hukum, yang
dilakukan oleh subjek hukum, biasanya diamakan benda atau hak yang dapat
dimiliki dan dikuasai oleh subjek hukum.[2]
Menurut
pasal 503 KUHP Perdata benda dibedakan menjadi dua, yaitu :[3]
1.
Benda berwujud
2.
Benda tidak
berwujud.
Sedangkan
menurut pasal 504 KUHP Perdata benda dibedakan menjadi dua, yaitu :
1.
Benda bergerak
2.
Benda tidak
bergerak
Apabila objek akad berupa benda, maka
kejelasan objek tersebut terkait pada apakah objek tersebut hadir (ada)
dimajelis akad (tempat ditutupnya perjanjian) atau tidak. Bilamana objek dimaksud (hadir) pada majelis
akad, maka kejelesan objek tersebut menurut ahli-ahli hukum Hanafi dan Hambali,
cukup dengan menujukkan kepada mitra janji sekalipun objek tersebut berada
dalam tempat tertutup, seperti gandum atau gula dalam karung. Menurut ahli-ahli
hukum Maliki, menunjukkan tidak cukup melaikan harus dilihat secarta langsung
jika hal itu memang dimungkinkan. Jika tidak mungkin dilihat cukup
dideskripsikan. Ahli-ahli hukm Syafi’I mengharuskan melihat secara langsung
terhadap objek, baik objek itu hadir atau tidak ditempat dilakukannya akad.[4]
Apabila objek akad berupa perbuatan,
maka seperti halnya objek yang berupa benda, objek tersebut harus tertentu atau
dapat ditentukan, dalam pengertian jelas dan diketahui opleh para pihak. Dalam
akad melakukan suatu pekerjaan, pekerjaan itu harus sedemikian rupa sehingga
meniadakan ketidak jelasan yang mencolok.[5]
C. Syarat-syarat
Objek akad
Syarat-syarat yang
harus dipenuhi dalam Mahallul ‘Aqd yaitu[6] :
1.
Objek akad harus
ketika akad
Berdasarkan
syarat ini, barang yang tidak ada ketika akad tidak sah dijadikan objek akad.
2.
Objek akad
dibenarkan oleh syari’ah
Pada
dasarnya, benda yang menjadi objek akad haruslah memiliki nilai dan manfaat
bagi manusia.
3.
Objek akad harus
jelas dan dikenali
Satu
benda yang menjadi objek akad harus memiliki kejelasan dan diketahui oleh akad.
Hal ini bertujan agar tidak terjadi kesalahpahaman di antara para pihak yang
dapat menimbulkan sengketa.
4.
Objek dapat
diserahterimakan.
Benda
yang menjadi objek akad dapat diserahkan pada saat akad terjadi, atau pada
waktu yang telah disepakati.
Adapun syarat lain menurut para ahli hukum
Islam objek akad dapat ditransaksikan. Suatu objek dapat ditransaksikan dalam hukum
islam apabila memenuhi kriteria-kretaria berikut yaitu[7] :
1.
Tujuan objek
tersebut tidak bertentangan dengan transaksi, dengan kata lain sesuatu tidak
dapat apabila transaksi tersebut bertentangan dengan tujuan yang ditentukan
untuk sesuatu tersebut.
2.
Sifat atau
hakikat dari objek itu tidak bertentangan dengan transaksi, dengan kata lain
sesuatu tidak dapat ditransaksikan apabila sifat atau hakikat sesuatu itu tidak
memungkinkan transaksi.
3.
Objek tersebut
tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
D. Dasar Hukum
1.
Pendapat
Mayoritas ahli-ahli hukum Islam[8]
Asas
umum bahwa objek akad harus dapat dipastikan bisa diserahkan atau dilaksanakan
adalah hasil penyimplan menurut beberapa ahli hukum Hambali. Para ahli hukum
Islam berbeda pendapat dalam menyimpulkan asas hukum dari kedua hadist diatas
dan hadist lain yang serupa berbeda dengan penegasan yang dibuat diatas,
mayoritas ahli-ahli hukum islam menyimpulkan syarat umum akad dari
hadist-hadist diatas, yaitu objek akad harus ada pada waktu akad ditutup.
Pernyataan paling tegas mengenai ini dikemukakan oleh Al-kasanih (W. 587/1190),
ahli hukum Hanafi, ‘ adapun syarat yang berkaitan dengan objek aka dada
beberapa macam, diantaranya adalah bahwa objek itu ada pada wakt akad ditutup,
sehingga tidak terjadi akad jual beli barang yang tidak ada atau barang yang
berisiko menjadi tidak ada.’Asy-Syirazi (W. 576/1083), ahli hukum Syafi’I,
mengatakan, “tidak dibenarkan jual beli objek yang tidak ada, seperti buah yang
belum jadi berdasarkan alasan hadir riwayat Abu Hurairah bahwa Nabi Saw.
Melarang jal beli garar, dan ytang dimaksud dengan garar adalah sesuat yang
tidak dapat dipastikan perihalnya dan tidak diketahui kelanjutannya”.
2.
Pandangan Mazhab
Hambali[9]
Dalam
hal ini, penafsiran Mazhab Hambali, seperti dikemukakan oleh Ibn Taimiyyah (W.
728/1328) dan muridnya, Ibn Al-Qayyim (W. 751/1350), lebih responsive terhadap kepentingan hukum
masyarakat. Menurut kedua ahli hukum Hambali ini, asas bahwa akad jual beli
barang yang tidak ada pada saat pentupan akad adalah tidak sah harus ditolak,
karena tidak ada didalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw, maupun dalam pernyataan
para sahabatnya larangan jal beli objek yang belum ada. Yang ada didalam sunnah
Nabi Saw adalah larangan jual beli beberapa barang yang belum ada dan jga
larangan jual beli beberapa barang yang sudah ada. Alasan hukum (‘illat, causa
legis ) larangan tersebut bukan tidak adanya barang tersebut pada waktu penutupan
perjanjian, tetapi yang tercantum dalam sunnah Nabi Saw adalah larangan jual
beli objek yang bersiafat garar, yaitu objek yang tidak bisa dipastikan dapat
diserahkan kepada pembeli, baik bedanya ada maupun tidak ada.
3.
Menurut beberapa
Hadist Nabi Saw antara lain adalah[10]
a.
Hadist Hakim Ibn
Hizam yang menyatakan bahwa Nabi Saw bersabda, jangan engkau menjual barang yang tidak ada padamu (HR. An-Nasa’i)
b.
Hadist Abu
Hurairah yang mengatakan : Rasulullah Saw, melarang jual beli lempar krikil dan
jual beli garar.
E. Tujuan Akad
Tujuan
akad, yang merupakan rukun keempat menurut beberapa ahli hukum Islam
kontemporer, dibedakan dengan objek akad, yang merupakan rukun ketiga akad.
Yang terakhir ini, yakni objek akad. Objek akad merupakan tempat terjadinya
akibat hukum sedangkan tujuan akad adalah maksud para pihak yang bila
terealisasi timbul akibat hukum pada objek tersebut.[11]
Tujuan
akad dalam Islam dikenal dengan istiilah Maudhu Aqd adalah maksud utama
disyariatkan akad. Dalam syariat Islam Maudhu Aqd hares benar dan sesuai dengan
ketentuan syara'. Sebenarnya Maudhu Aqd sama meskipun berbeda-beda barang
jenisnya. Pada akad jual-beli misalnya, Maudhu Aqd pemindahan kepemilikan
barang dari penjual kepada pembeli, sedangkan dalam sewa menyawa pemindahan
dalam mengambil manfaat disertai pengganti.[12]
Tujuan
dan hukum suatu akad disyariatkan dalam hukum Islam, tujuan akad ditentukan
oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW dalam Hadist. Menurut
ulama figih, Tujuan akad dapat dilakukan apabila sesuai dengan ketentuan
syari'ah tersebut. Apabila tidak sesuai, maka hukumnya tidak sah.[13]
Tujuan
akad ini ditandai dengan beberapa karakteristik, yaitu[14]
a.
Bersifat
objektif.
b.
Menentukan jenis
tindakan hukum.
c.
Tujuan akad
merupakan fungsi hukum dari tindakan hukum.
Ahmad Azhar Basyir menentulcan
syarat-syarat yang hares dipenuln agar suatu tujuan akad dipandang sash dan
mempunyai akibat hukum, yaitu: [15]
1.
Tujuan akad
tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan
tanpa akad yang diadakan.
2.
Tujuan harus
berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad.
3.
Tujuan akad
harus dibenarkan syara’.
1.
Tujuan Akad dan
kaitannya dengan Kausa
Beberapa pengkaji modem melihat konsep tujuan akad
ini, sebagai kausa yang menjadi dasar keabsahan dan pembatalan perjanjian.
Menurut Wahid Sawwar tujuan akad ini adalah dasar perikatan kedua belah pihak.
Dalam akad jual beli misalnya tujuan pokok akad itu adalah pemindahan hak milik
atas barang dari penjual kepada pembeli dengan imbalan, dan ini merupakan
manifestasi syar'i (yuridis) dari tujuan akad itu, kemudian didalamnya terdapat
lagi manifestasi rill, yaitu pertukaran yang timbale-batik. Manifestasi pertama
merupakan dasar keterikatan pembeli untuk membayar sejumlah uang sebagai harga
dan manifestasi kedua merupakan dasar penolakan (ketidakterikatan) pembeli
untuk membayar harga dalam hat barang objek akad mengalami kerusakan atau hancur
sebelum diserahkan, karena dasar keterikatannya untuk membayar adalah
pertukaran timbal balik ini tidak terjadi, keterikatan para pihak menjadi
gugur. Lebih lanjut, tujuan akad merupakan sumber kekuatan mengikat bagi
tindakan hukum bersangkutan, yaitu dasar pemberian perlindungan hukum
terhadapnya. Oleh pembeli atau tuntutan pembeli terhadap penyerahan barang oleh
penjual .[16]
Sementara itu Khalid 'Abdullah 'Id menyatakan tujuan
akad (al-maqshad alashli li al-`aqd) ini sesungguhnya merupakan kausa
perjanjian dalam hukum Islam dengan melihat kaitan erat antara tujuan akad
tersebut dengan objek akad (mahall aqad). Menurut Khalid `abdullah 'Id, salah
satu syarat pokok untuk terjadi akad dalam hukum Islam adalah bahwa objek akad
tidak dapat menerima hukum akad, dimana apabila objek akad tidak dapat menerima
hukum akad, maka akad menjadi batal. Dalam akad jual beli misalnya, apabila
objek jual beli adalah benda yang tidak bernilai (gair mutaqawwin) dalam
pandangan syariah, seperti sabu-sabu, maka akad tidak pernah terjadi karena
objek akad tidak dapat menerima hukum akad, yang tidak lain adalah tujuan yang
hendak diwujudkan melalui akad sehingga akad jual beli tersebut batal (demi
hukum). Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa batalnya akad adalah karena
tidak terpenuhinya tujuan akad, yaitu tidak ada kausanya.[17]
2.
Pendapat Sarjana
Hukum
Berikut ini adalah beberapa pendapat mengenai
formulasi teori kausa dalam hukum Islam berdasarkan konsep, hukum Barat menurut
para Sarjana hukum, yaitu:
a.
Kausa adalah
Motif [18]
Para
ahli hukum Mesir yang berbicara tentang hukum Islam adalah penganut teori baru
kausa yang dikembangkan di Prancis, dan mereka ini mengajar bahwa kausa adalah
motif (kausa impulsive). Ahli hukum mesir paling terkemuka yang membawa hukum
Islam kedalam konteks ajaran kausa sebagai motif adalah 'Abd ar-Razzaq
as-Sanhuri (1895-1971).
Menurutnya
hukum Islam tidak merumuskan asas-asas umum mengenai kausa, namun dari berbagai
ketentuan hukum detail dalam berbagai aneka perjanjian khusus dapat disimpulkan
dan diiabstraksikan ajaran kausa dalam hukum ini.
Menurut
as-Sanhuri, dalam kaitan dengan kausa, hukum Islam berada dalam tarik ulur dan
ketegangan antara dua faktor yang berlawanan. Pertama, hukum, Islam adalah
suatu sistem, hukum yang dicirikan oleh semangat objektivisme yang lebih
mementingkan dan memberi perhatian lebih banyak terhadap ungkapan kehendak
daripada terhadap kehendak itu sendiri. Dalam hukum yang dicirikan oleh
semangat objektivisme ini, seperti halnya hukum Jerman, ajaran tentang kausa
sulit mendapat tempat atau, paling tidak, dapat dikatakan bahwa teori kausa
dalam hukum ini tidak berkembang seperti halnya dalam hukum bangsa-bangsa
Latin. Kedua, Hukum Islam di sisi lain adalah juga hukum yang dicirikan oleh
semangat dan prinsip etika dan keagamaan, karena hukum Islam adalah hukum yang
bersumber kepada ajaran agama Islam itu sendiri.
1.
Kausa dalam
Mazhab Hanafi dan Syafi'i[19]
Sebagaimana baru saja
dikemukakan, dalam mazhab Hanafi dan Syafi'i kausa sulit mendapat tempat karena
kedua mazhab ini lebih didominasi oleh semangat objektivisme (maudhu'iyyah). Atas dasar itu dalam
kedua mazhab ini terdapat dua prinsip: (1) kausa tidak diperhitungkan kecuali
apabila disebutkan dalam akad, dan (2) keabsahan kausa tidak konstan dalam arti
bahwa (a) terdapat beberapa kausa di mana pandangan mengenai keabsahan kausa
berbeda-beda, dan (b) pandangan tentang kausa yang sah itu berkembang.
2.
Kausa dalam
mazhab Maliki dan Hambali[20]
Konsep kausa dalam kedua mazhab ini
seperti dielaborasi oleh as-Sanhuri, lebih dekat kepada teori baru kausa di
Prancis dan dikalangan sarjana hukum Mesir. Kausa adalah motif untuk menutup
perjanjian dan perhitungan, baik ketika disebutkan dii dalam akad maupun ketika
tidak disebutkan dalam perjanjian selama kausa itu diketahui oleh pihak lawan
janji. Apabila kausa (motif) itu sah, maka sah pula perjanjian yang
mengandungnya, namun jika kausa itu tidak sah, maka perjanjian yang
mengandungnya tidak sah pula.
Ekspresi paling kuat dari pandangan ini
ditemukan dalam tulisan Ibn al-Qayyim (w. 751/1350), tokoh Hambali terkenal.
Dalil-dalil dan kaidah-kaidah Syariah
secara keseluruhan mendukung bahwa motif dalam akad diperhitungkan, dan
menentukan sah atau fasidnya serta halal dan haramnya tindakan yang bukan akad,
sehingga suatu ketika menjadi haram dan ketika lain halal sesuai dengan
perbedaan niat dan motifnya seperti orang menjual senjata kepada orang yang
diketahuinya bermaksud menggunakannya untuk membunuh orang lain, maka jual beli
itu batal tetapi apabila is menjualnya kepada orang yang diketahuinya akan berjihad
fi sabilillah, maka jual beli itu sah orang yang berniat melakukan riba dengan
akad jual beli yang dibuatnya, maka tedadilah riba terlepas dari apapun bentuk
akadnya, dan orang yang berniat melakukan nikah tahlil dengan akad nikah yang
dibuatnya, maka terjadilah akad nikah muhallil terlepas dari apa pun bentuk
akadnya.
Dari apa yang dikemukakan oleh Ibn
al-Qayyim di atas tampak jelas bahwa pengaruh motif dalam menentukan sah atau
batalnya suatu akad. Bahkan pada bagian akhir kutipan di atas, Ibn al-Qayyim
menegaskan bahwa bentuk akad itu tidak dipertimbangkan. Yang diperhatikan
adalah niat dan motifnya. Orang yang berniat melakukan riba dengan pura-pura
berjual beli, akadnya batal.
b.
Kausa merupakan
Consideration[21]
Ahli-ahli
hukum dengan latar belakang konsepsi hukum anglosakson mengonsepsikan kausa
dalam hukum islam sebagai apa yang dikenal dalam hukum anglosakson dengan
consideration (prestasi) Dengan consideration dalam hukum anglosakso
dimaksudkan suatu prestasi yang duberikan oleh lawan janji yang menjadi dasar
pertimbangan bagi pemberi janji untuk melaksanakan janjinya. Prestasi ini hares
disetujui oleh pemberi janji yang dapat dilihat sari kenyataan bahwa prestasi
itu dikehendaki olehnya sebagai imbalan atas janji yang is berikan. Sebaliknya,
penerima janji melakukan prestasi itu juga sebagai imbalan atas pelaksanaan
janji pihak pertama.
Dalan
kontrak-kontrak (akad-akad) tertentu, perjanjian dinyatakan batal apabila
mengandung unsur riba dan juga unsur gara, yaitu ketidakjelasan menyangkut baik
objek maupun prestasi (consideration). Menurut mazhab Hanafi adalah batal akad
jual beli korma atau anggur untuk dibuat khamar, karena, tujuannya, yaitu
kausanya bertentangan dengan ketentuan hukum Islam.
F. Kesimpulan
Kesimpulan dari apa yang telah dikemukakan adalah
bahwa objek akad harus ada pada waktu diitutupnya,peranjian apabila para pihak
memang bermaksud melakukan akad terhadap objek yang sudah ada, maka
perjanjiannya batal demi hukum. Akan tetapi, apabila para pihak bermaksud untuk
melakukan akad terhadap objek yang tidak harus ada pada waktunya dibuatnya per
anjian, melainkan dapat diserahkan kemudian, maka objek itu tidak hany ada pada
waktu penutupan perjanjian, namun dapat dipastikan bisa diserahkan pada tanggal
yang ditentukan.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
Mahallul 'Aqd yaitu:
1.
Objek akad harus
ada ketika akad
Berdasarkan syarat ini,
barang yang tidak ada ketika akad tidak sah dijadikan objek akad.
2.
Objek akad
dibenarkan oleh syari'ah
Pada dasarya, benda
yang menjadi objek akad haruslah memiliki nilai dan manfaat bagi manusia.
3.
Objek akad harus
jelas dan dikenali.
Suatu benda yang
menjadi objek akad harus memiliki kejelasan dan diketahui oleh akad. Hal ini
bertujuan agar tidak terjadi kesalahpahaman di antara para pihak yang dapat
menimbulkan sengketa.
4.
Objek dapat
diserahterimakan
Benda yang menjadi
objek akad dapat diserahkan pada saat akad terjadi, atau pada waktu yang telah
disepakati.
Adapun syarat-syarat
yang harus dipenuhi agar suatu tujuan akad dipandang sah dan mempunyai akibat
hukum, yaitu:
1.
Tujuan akad
tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang, bersangkutan
tanpa akad yang diadakan.
2.
Tujuan harus
berlangsung adanya hingga berakhinya pelaksanaan akad.
3.
Tujuan akad
harus dibenarkan syara'.
[1] Gemala Dewi, dkk. Hukum
Perikatan Islam di Indonesia. (Jakarta : Kencana 2006) hal 60
[2]
Kwik Kian Gie. Hukum Bisnis untuk Perusahaan. (Jakarta : Kencana, 2008) hal 12
[3]
Ibid. Hal 13
[4]
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah. (Jakarta : Grafindo Persada. 2007) Hal
203
[5]
Ibid, Hal 204
[6]
Gemala Dewi, dkk. Hukum
Perikatan Islam di Indonesia. (Jakarta : Kencana 2006) hal 60-61
[7]
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah. (Jakarta : Grafindo Persada. 2007) Hal
205
[8]
Ibid. Hal 193-194
[9]
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah. (Jakarta : Grafindo Persada. 2007) Hal
198
[10]
Ibid Hal 192
[11]
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah. (Jakarta : Grafindo Persada. 2007) Hal
219-220
[12]
Rachmat Syafe’i. Fiqih Muamalah. (Bandung
Pustaka Setia) Hal 61
[13]
Gemala Dewi, dkk. Hukum
Perikatan Islam di Indonesia. (Jakarta : Kencana 2006) hal 62
[14]
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah. (Jakarta : Grafindo Persada. 2007) Hal
220
[15]
Opcit. Hal 62-63
[16]
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah. (Jakarta : Grafindo Persada. 2007) Hal
220-221
[17]
Ibid. Hal 221
[18]
Ibid. Hal 223-224
[19]
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah. (Jakarta : Grafindo Persada. 2007) Hal
225
[20]
Ibid. hal 229-230
[21]
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah. (Jakarta : Grafindo Persada. 2007) Hal
224-236
No comments:
Post a Comment