'AM DAN KHAS
1.
'AM
A.
Pengertian 'AM
Lafazh yang
umum ('am) ialah yang menunjukan pada jumlah yang banyak dan satuan yang
termasuk dalam pengertiannya dalam satu makna yang berlaku[1]
Al-Am menurut iatilah ushul ficlih adalah :[2]
الَّفْظُ
اْلمُسْتَغْرِقُ لِجَمِيْعِ ماَيَصْلُوْحُ بِحَسْبِ وَضْعٍ وَاحِدٍ دَفْعَةً
“Lafaz yang mencakup akan semua apa saja masuk padanya dengan
satu ketetapan & sekaligus”
Contoh lafaz Am
seperti lafaz "laki-laki" ( الرِّجاَلُ ) dalam
lafaz tersebut mencakup semua laki-laki. Atau lafaz "manusia"
itu mencakaup semua manusia. Sementara golongan Hanafiah memberi definiai lain
sebagai berikut:
“Lafaz Am ialah
suatu lafaz yang mencakup arti secara keseluruhan”.
B.
Pengertian yang ditunjukan oleh Lafazh 'Am
Para ulama
berbeda pendapat, apakah
pengertian yang ditunjukan oleh lafazh 'am itu bersifat gathi atau zhanny.
Golongan Hanafiah berpendapat bahwa penunjukan lafazh 'am itu terhadap satuan
yang termasuk dalam pengertiannya itu tergolong gathi, Mereka menyebut contoh , firman
Allah:
Artinya :
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan iateri-iateri
(hendaklah para iateri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan
sepuluh hari. (Q.S. Al-Baqarah:234)
Ayat tersebut
meliputi seluruh perempuan yang ditinggal mati suaminya hendaklah beribadah
dalam waktu yang telah ditentukan kecuali bila ada yang mengkhususkan,baik
perempuan itu belum dicampuri suaminya atau sudah dicampuri.
Demikian pula
firman Allah yang berbunyi :
Artinya
:
Dan
perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. (Ath-Tahalaq : 4 )
Dari ayat
tersebut dipahami bahwa yang dimaksud Iddah diaana ialah meliputi seluruh
iddahnya perempuan-perempuan yang tidak lagi haid baik berpiaahnya itu diaebabkan
talak/ karena Faskh setelah dicampuri.
C.
Pembagian 'Am
1.
Umum Syumuliy[3]
Yaitu semua
lafazh yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku bagi seluruh pribadi,
seperti :
Artinya : Hai
sekalian manusia, sertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari
seorang diri, (Qs. A n-Ni.ssa’: 1)
Dalam Ayat ini
seluruh manusia dituntut untuk sertakwa tanpa kecuali, maka lafaz yang seperti
ini dinamakan umun Syumuliy.
2.
Umum Badaliy
Bagi suatu
lafaz yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku seperti Afrad (pribadi)
seperti :
Artinya
:
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu sertakwa, (Q.S. Al-Baqarah 183)
Lafaz umum
dapat dibagi menjadi tiga macam :[4]
Ø Lafaz umum yang tidak mungkin di Takhsiskan seperti dalam firman
Allah :
Artinya
:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan
Allah-lah yang memberi rezkinya”, (Qs. Huud.- 6)
Ayat diatas menerangkan sunnatullah yang berlaku bagi setiap
mahkluk karena itu dialahnya qath'I yang tidak rneneriniaTakhsis
Ø Lafaz umum yang dimaksudkan khusus karena adanya bukti tentang
kekhususannya, seperti dalam firman Allah :
3 ¬!ur n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# ÇÒÐÈ
Artinya :
“…………mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, (Q.S Ali-Imran: 97)
Lafaz manusia
dalam ayat adalah lafaz umum yang dimaksudkan adalah manusia yang mukallaf saja
karena dengan perantara akal dapat dikeluarkan dari keumuman lafal anak kecil dan
orang gila.
Ø Lafaz umum yang khusus seperti lafaz umum yang tidak ditemui tanda
yang menunjukan di Takhsis seperti dalam firman Allah :
Artinya :
وَاْلمُطَلَّقَتُ
يَتَرَبَصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوُءٍ
“Wanita-wanita
yang di talak hendaklah menahan (menunggu) tiga kali quru”
Kata-kata yang
menunjukan makna umum seperti : [5]
a.
Kata
kull ( ل6 /tiap) dan jami( حميع /semua).
Miaalnya,
Qs. Ali-Imran ayat 185
Artinya :
@ä. <§øÿtR èps)ͬ!#s ÏNöqpRùQ$# 3 ÇÊÑÎÈ
“Tiap diri (jiwa) akan merasakan mati” (Q. S Ali-Imran 185 )
uqèd Ï%©!$# Yn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# ÇËÒÈ
Artinya
:
“Dia-lah Allah,
yang menjadikan segala yang ada di Bumi.” (Qs.
Al-Bagarah : 29)
b.
Kata
Kaffah
Artinya
:
“Dan
kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya” (Q.S.
Saba': 28 )
D.
Keumuman al-Quran dan kekhususan Hadits[6]
Iman Svafi'I
dan Imam Ahmad berpendapat. bahwa apabila Khabar dan ahad yang khusus,
bertentangan dengan keumuman Al-Qur’an (yang di Takhsis dengan Khabar ahad)
itu, maka keumuman Al-Qur’an itu tidak menunjukan pada semua satuan ynag
mencakup dalam lafadz al-Qur’an yang 'Am itu, tetapi hanya menunjukkan pada
sebagian saja.
Hal ini diaebabkan,
adalah keumuman al-Qur’an itu bersifat Zhanny, sekalipun dari segi sanadnya
Qath'i. Sebaliknya, adalah Khabar ahad itu bersifat Qath'i, Meskipun sanadnya Zanny.
Sedangkan
menurut golongan hanafiah diaebabkan mereka itu menganggap bahwa yang 'am itu
memiliki dalalah Qath'I maka kabar-kabar ahad tersebut tidak dapat menTakhsiskan
keumuman AI-Qur’an, kecuali apabila sebelumnya memang sudah di Takhsis. Sebab
mereka beralasan, yang Zhanny itu tidak dapat menTakhsis yang Qath'I, dan
menurut mereka, Takhsis itu berfungsi sebagai penjelas (bayan), tetapi ia membatalkan
terhadap fungsi ebagian dari 'am. Mereka juga menegaskan, bahwa 'am dengan
pengertiannya yang umum itu berarti telah berfungsi sebagai penjelasan, jadi
tidak lagi membutuhkan suatu penjelasan lain. Mereka mengambil contoh Firman
Allah :
Artinya :
Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, (Qs. Al- Maidah : 6 )
Berbeda halnya
dengan pendapat golongan Syafi’I, Hanbali dan Maliki Dalam berwudhu mereka
mengsyaratkan) gadanya tertib (urut-urutan) berdasarkan Hadist Nabi :
لاَيَقْبَلُ
اللهُ صَلاَةَ امْرِى ءٍ حَتىَ يَضَعَ الطُّهُوْرَ مَواَضِعَهُ فَيَغْسِلُ وَجْهَهُ
ثُمَّ يَدَهُ
Artinya :
“Allah tidak menerima
shalatnya seseorang, Kecuali kalau die bersuci secara benar, yaitu membasuh
mukanya, lalu tangannya dan seterusnya”
Hadist itu
menunjukan keharusan adanya tertib dalam berwudhu. Akan tetapi golongan Hanafi
mengambil dasar kewajiban berwudhu itu dari Nash ayat tersebut mereka menggap
bahwa keharusan tertib yang dijelaskan dalam Hadist itu, hanya berfungsi
sebagai penguat saja.
Tapi perlu
diketahui, bahwa imam Maliki meskipun ia berpendapat bahwa dalalah keumuman
Al-Qur’an itu bersifat Zhanny karena dilihat secara lahir, namun baginya tidak
selalu keumuman AlI-Qur’an dapat ditakhsis dengan Khabar ahad. Namun terkadang,
keumuman Al-Qur’an itu dapat di takhsis oleh Sunnah Ahad, sebagaimana firman
Allah dalarn surat An-Nissa :
¨@Ïmé&ur Nä3s9 $¨B uä!#uur öNà6Ï9ºs ÇËÍÈ
Artinya :
“Dan dihalalkan
bagi kamu selain yang demikian” (Q.S. An-Niasa.-24)
Yang di takhsis
dengan Sabda Nabi SAW.
لاَ تَنْكِحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَتِهَا وَلاَ
عَلَى خَالَتِهَا
Artinya :
“Seorang wanita tidak bisa dikawini bibi dari Ayahnya/bibi dari lbunya.
E.
MenTakhsis yang Umum ('AM)[7]
Sebagaimana
telah dijelaskan bahwa mayoritas ulama telah sepakat bahwa lafazh yang 'AM itu
menunjukan kepada setiap satuan yang dicakupnya, sekalipun mereka berselisih
dalam hal kekuatan penunjukan dalamnya terhadap setiap yang dicakup itu; apakah
qath'i atau zanny, disamping telah diterangkan bentuk perselsihan.
Lafazh 'am itu
terbagi atas dua macam, yaitu 'am yang dapat dimasuki takhshiah dan 'am yang
tidak dimasuki takhshiah. Karena itu harus ada dalil yang menunjukkan bahwa ia
benar-benar ditaksis. golongan hanafi berpendapat bahwa yang bisa mentaksis 'am
adalah lafazh yang berdiri sendiri bersama dalam suatu zaman Serta mempunyai
kekuatan yang sama dilihat dari segi qath'i / zhannynya. Sebagaimana contoh
adalah firman Allah:
Artinya :
“dan dihalalkan
bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu
untuk dikawini bukan untuk berzina”. (Qs.An- Nisaa:24)
Lafadz 'am ini
telah ditakhshish dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
لاَ
تَنْكِحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَتِهَا وَلاَ عَلَى خَالَتِهَا وَلاَ عَلىَ اِبْنَةَ اَخِيْهاَ وَلاَ اِبْنَةِ
اُخْتِهاَ اِنَّكُمْ اِنْ فَعَلْتُمْ ذَلِكَ قَطَعْتُمْ اَرْحاَ مَكُمْ
Artinya :
“Seorang wanita
tidak bisa dikawini bibi dari Ayahnya/bibi dari lbunya. Dan pula dengan keponakan dari
saudaranya/keponakan dari saudaranya. Sebab jika kamu berbuat itu berarti kamu
telah memutuskan familimu”.
Hadits ini
tergolong hadits Masyhur , yang dalam konteks ini ia sebagai contoh yang
mentakhsis keumuman Al- Quran yang qath'i.
Syarat-Syarat yang
mentakhsis yang 'am ada 3 yaitu :
a.
harus
berdiri sendiri
b.
harus
bersama dalam massa
c.
harus
sama derajatnya dengan 'am, apakah zanny atau qath'i
Adapun contoh 'am yang ditakhsis dalam firman Allah tentang waris :
يُوْصِكُمْ
اللهُ فىِ اَوْلاَدِكُمْ لِذَكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنْثَيَيْنِ
Ayat ini
memakal lafaz- lafazh 'am, ditakhsis dengan dalil lafazh yang berdiri sendiri
dan bersamaan dalam masa yaitu sabda Nabi SAW:
لاَمِيْرَا
ث لِقاَتِلٍ
Artinya:
“si pembunuh itu
lidak berhak mendapatkan harta warisan
Dan ditaksis
lagi dengan sabda Nabi SAW :
لاَيُرِ
ثُ اهلُ مِلَتَيْنِ
Artinya:
" orang
yang berlainan agama tidak berhak sedikitpun memperoleh harta warisan"
Betapapun para ulama fiqih berbeda pendapat tentang banyaknya pentakhsis
Serta kekuatanya, namun mereka sepakat dalam menetapakan bahwa takhsis bukan
berarti mengeluarkan sebagian satuan yang 'am (umum) setelah berada didalamnya
dari segi hukum.
2.
KHAS
A.
Pengertian Khas[8]
Khas adalah “Isim Fail” yang berasal dari kata kerja :
حَصَصَ, يُخْصِّصُ, يُخَصِيصاً, خاَصِّ
Artinya :
“yang mengkususkan atau menentukan”
Dalam istilah ushul fiqh, yang dimaksud dengan khas adalah :
مَالاَ يَتَناَوَلُ دَفْعَةً سَيْئَيْنِ
فَصاَعَداً مِنْ غَيْرِ خَصٍ
Artinya :
"sesuatu yang tidak mencapai sekaligus dua/lebih tanpa batas.
Contoh
1.
رَجُل
Artinya seorang laki- laki, dalam hal ini terbatas pada seorang saja.
2.
رُجُلاَن
Artinya dua orang laki- laki dalam hal ini terbatas pada dua orang
saja.
3.
Dan
seterusnya
Adapun yang
dimaksudkan dengan Takhsis dalam iatilah ushul fiqh adalah :
Artinya :
إِحْراَجُ بَعْضِ كاَنَ داَخِلاً تَحْتَ
الْعُمُوْمِ عَلىَ تَقْدِيْرِ عَدَمِ المُخَصَّصِ.
“mengeluarkan sebagian apa-apa yang termasuk dalam yang umum itu
menurut ukuran ketika tidak terdapat mukhasis”
B.
Pembagian Mukhasis
Mukhasis ada dua macam yaitu:
1.
Mukhasis
Mutasil ( الغاية )
Mukhasil yang
bersambung adalah apabila makna satu dalil yang mengkhususkan , berhubungan
erat/bergantung pada kalimat umum sebelumnya.
Adapun beberapa macam Mukhasis muttasil antara lain :
1.
Pengecualian
(AI- Iatina)
Contoh firman
Allah Surat Al-Ashar ayat 2-3 :
Artinya :
“Sesungguhnya
manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Al-Ashar:
2- 3)
Jadi yang
dikhususkan pada ayat tersebut adalah orang-orang yang beriman dun yang beramal
Soleh. Pengkususan pada ayat tersebut adalah dengan jalan mengecualian, yakni
dengan memakai huruf stana ( )
Artinya :
“………dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para
suami) menghendaki ishlah. “ (Qs Al-
Baqarah228)
Ø Syarat (الشرط)
Artinya
:
“………dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para
suami) menghendaki ishlah. “ (Qs Al-
Baqarah228)
Dalam ayat
tersebut dikatakan, lebih berhak kembali pada istrinya. Maksudnya adalah dalam
masa iddah, tetapi dengan syarat bila kembalinya itu dengan maksud ialah lafaz
yang menujukakan pada ayat tersebut adalah “Jika” ( ان )
Ø Sifat ( الصِّفَةُ
)
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَاءً فَتَحْرِيْرُ
رَقَبَةً مُؤْمِنَةٍ
(Qs. Al- Anisa
: 42)
Sifat yang
mengkhususkan dalam ayat tersebut adalah sifat muknim yakni yang diremehkan itu
harus/dikhususkan pada hamba yang muknim.
Ø Kesudahan (الغاية)
Contoh firman
Allah :
wur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜt ( ÇËËËÈ
Artinya :
"....dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci
... (Q.S Al- baqqrah 222)
Ø Sebagai Ganti Keseluruhan ( بَدَلُ البَعْضِ مِنْ الكُلِّ)
Contoh firman
Allah :
Artinya
:
“…Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah…”(Ali-Imiran:
97)
Lafazh (مِنْ) dan sesudahnya pada ayat tersebut ,
menghususkan keumuman sebelumnya, arti sebagian orang yang "mampu' Mengganti,
keumuman wajib nya manusia untuk haji.
Mukhasis
munfasil adalah dalil umum / makna dalil yang sama dengan dalil atau makna
dalil yang mengkhususkannya, masing- masing berdiri sendiri. Yakni tidak
berkumpul tetapi terisah , Mukhasis munfasil ada beberapa macam :
Ø Kitab di- taksis dengan kitab
Contohnya
finnan Allah :
Artinya :
Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' (Q.S.A1-Baqarah : 228)
Ayat tersebut,
umum : tercakup juga orang hamil makea datang ayat, lain yang mengkhususkan
bagi wanita hamil yang berbunyi:
Arinya :
“
……. dan begitu perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan
yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.
(Q.S Al- Talaq: 4)
Ø Kitab di- Takhsis dengan Sunnah Contoh firman Allah :
Artinya :
Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan (Q.S :An- Nisaa: 11)
Ayat tersebut
bersifat umum, yakni mencakup anak yang kafir, kemudian dataing hadist yang
mengkususkannya berbunyi:
لاَ يُرِثُ المُسْلِمُ الكاَفِرِ وَلاَ
الكاَفِرِ المُسْلِمِ
Artinya :
“Tidak boleh mewarisi
seseorang musulim puda seorang kafir, dan tidak boleh (juga) kafir pada muslim
(HR. Bukhari)
Ø Sunnah di-Takhsis dengan Kitab
Sebagai contoh
adalah Hadits Nabi yang berbunyi :
لاتقبل الله صلا ة احدكم اذا احدث حتى يقوضأ
Artinya
“Allah tidak
menerima shalat seorang diantara kamu bila masih berhadas hingga berwudhu
" (HR. Bukhari, Muslim)
Hadits tersebut
adalah Umum, yakni termasuk dalam keadaan tidak dapat memperoleh air, kemudian dikhususkan
oleh ayat yang berbunyi :
وا
كنتم مرض او على سفر او جا ء احد منكم من الغا ئط او لمستم النساء فلم تجدوا ماء
فيتمموا صعيدا طيبا
Artinya :
“Dan jika kamu
sakit/sedang dalam musafir/datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh
perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air maka bertayamumlah kamu dengan
tanah bersih .... "
Ø Sunnah di-Takhsis dengan Sunnah
Sebagai contoh
adalah Hadits Nabi yang berbunyi :
فيا سقت السماء العشر (رواه بخارى و مسلم)
Artinya:
“Tanaman yang
dengan siraman hujan, (zakatnya) adalah seper sepuluh (l0%)" (HR. Bukhari
dan Muslim)
Hadits tersebut
di-Takhsis dengan hadits yang berbunyi :
ليس فيا دون خمسة اوسق صدقة
Artinya :
“Tidak wajib
zakat (tanaman) yang kurang lima wasaq” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ø Men- Takhis dengan Qiyas
لي الوجد يحل عرضه وعقوبته
Artinya :
“Menunda-nunda
pembayaran bagi orang yang mampu, halal dilanggar kehormatannya dan boleh
dihukum" (HR. Ahmad)
Hadist tersebut
ialah umum, yakni siapa saja yang menunda-nunda pembayaran hutang, padahal ia
mampu untuk membayar, termasuk ibu atau bapak. Kemudian dikhususkan, yakni
bukan termasuk ibid dan bapak dengan jalan meng-Qiyas firman Allah yang
berbunyi :
* xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& ÇËÌÈ
Artinya :
Janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" (Qs Al-Isra:23)
Tidak boleh
memukul melanggar kehormatan kedua orang tua adalah hasil Qiyas dari larangan
mencakup "ah" terhadap-Nya. Karena memukul atau melanggar kehormatan,
lebih tinggi kadar menyakitkannya dari pada mengucap "ah". Qiyas yang
demikian dinamakan Qiyas Qulawi. Sebagian ulama berpandangan bahwa yang demkian
bukan dinamakan Qiyas Qulawi, tetapi diaebut Mafhum Muwafaqah.
DAFTAR PUSTAKA
Zahra,MuhammadAbu,
Ushul Al-Fiqh : dar Al-Fikral 'Arabi, 1985
Prof. Dr. H. Satria
Effendi, M. Zein, M.A. Ushul Fiqh. 2008. Kencana Prenada Media
Group. Jakarta
Drs. Khairul
Uman-Drs. H. A. Achyar Aminudin. Ushul Fiqh II. 2001. CV. Pustaka
Setia. Bandung
Dr. H. Nazar
Bakry. Fiqh dan Ushul Fiqh. 2003. PT Raja Grafindo Persada.
Dr. H. A. Syafi’i
Karim. Fiqh Ushul Fiqh. 1997. Pustaka Setia.
Ahmad Dahlan.
Ushul Fiqh. 2010. Jakarta.
[1]
Zahra,
Muhammad Abu, Ushul Al-fiqh, Kairo. Hal 236
[2]
Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.Zein, M. A. Ushul Fiqh hal 69
[3]
Drs. H. Nazar Bakry. Fiqh & Ushul Fiqh. Hal 198
[4]
Drs. H. A. Syafi'i Karim. Fiqh & Ushul fiqh.hal 151
[5]
Drs. Khairul Uman- Drs. H. A. Achyar Aminudin. Ushul Fiqh II. Hal
62
[6]
Zahra, Muhammad Abu, Ushul al-fiqh. Hal 238
[7]
Zahra, Muhammad Abu, wtul Aj-fiq. Hal 24
[8]
Ahmad Adhlan , Ushul Fiqh. Jakarta.2010. hal 86
[9]
Ahmad Adhlan , Ushul Fiqh. Jakarta.2010 hal 89
No comments:
Post a Comment