KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan Rahmat dan hidayahnya Sehingga kami dapat membuat makalah yang
sederhana ini yang bejudul Dakwah Nabi Muhammad Saw Di Madinah. Makalah ini
kami buat karena ingin memenuhi tugas dari dosen pengampu mata kuliah Sirah
Nabawiyah dan agar kami bisa tahu Bagaimana Proses Dakwah Nabi Muhammad di
Madinah dan dapat dijadikan pelajaran yang berguna bagi kami kelak suatu saat
nanti
Makalah ini berisi tentang Proses Dakwah Nabi, Strategi Dakwah Nabi, Ekonomi
Pembangunan Nabi dan lain sebagainya. Mungkin, itu
saja yang dapat kami katakan. Kami menyadari bahwa makalah ini tidak lepas dari
kekurangan dan ketidaksempurnaan. Oleh karena itu kritik dan masukan yang
selalu kami harapkan sehingga kami dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas
makalah kami suatu hari nanti
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb.
Bengkulu, 12 November 2018
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang
Setelah Nabi Muhammad SAW
menjadi Nabi dan Rasul, beliau berjuang tegakkan ajaran agama Islam. Selama 13
tahun Nabi berdawah di Kota Makkah, beliau banyak mendapat rintangan orang
Kafir Quraisy, hingga perjalanan da’wahnya terhambat dan sangat terganggu.
Karena itu Nabi lakukan Hijrah pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun ke 13 ke
Madinah dengan utus beberapa kaum Muslimin untuk berangkat ke Yasrib (Madinah)
secara bertahap beliau berangkatkan kaum Muslimin ke Madinah dalam waktu 2
bulan. Beliau terakhir berangkat bersama para sahabatnya dan keluarganya.[1]
Sebelum beliau berangkat, kafir
Quraisy merencanakan pembunuhan kepada Nabi yang dipromotori oleh Suraqah bin
Naufal (QS. al-Anfal:30), namun tak berhasil, disamping itu ditengah
perjalanan, mereka diketahui oleh pihak musuh, hingga mereka lakukan
pengejaran, saat itu Nabi bersama Abu Bakar bersembunyi di Gua Tsur selama 3
malam, dan akhirnya beliau selamat sampai di Yasrib, atas pertolongan Allah
SWT.
Setibanya di Yasrib beliau di
QUBA dan beristirahat 22 hari di rumah Kultsum bin Hamdan dari suku Aus,
sedangkan Abu Bakar istirahat di rumahnya Habib bin Asaf dari Suku Khazraj. Di
Quba Rasul bangun Masjid sebagai tempat ibadah dan mengajar ilmu agama Islam
(QS. at-Thaubah: 109) Setelah beliau berhasil membangun Masjid, pertama kali
yang dilakukan beliau adalah mempersatukan, mengarahkan dan membina masyarakat
(Anshar dan Muhajirin) dengan meletakkan dasar-dasar kehidupan dalam
bermasyarakat.[2]
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas,
penyusun membuat rumusan masalah sebagai berikut:
·
Bagaimana perkembangan Lembaga di
Indonesia ?
·
Apa saja Macam macam Lembaga di Indonesia masa
belanda, jepang dan sekarang ?
C. Tujuan Penulisan
·
Mahasiswa mampu mengetahui latar belakang lembaga
keagaaman indonesia
·
Mahasiswa mampu mengetahui perkembangan
lembaga keagamaan di indonesia
·
Mahasiswa mampu memahami dan mengetahui peran lembaga Keagamaan di indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dakwah
Rasulullah SAW. Periode Madinah
Setelah tiba
dan diterima penduduk Yatsrib (Madinah), Nabi resmi menjadi pemimpin penduduk
kota itu. Babak baru dalam sejarah Islam pun dimulai. Berbeda dengan periode
Makkah, pada periode Madinah, Islam, merupakan kekuatan politik. Ajaran Islam
yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat banyak turun di Madinah. Nabi
Muhammad mempunyai kedudukan, bukan saja sebagai kepala agama, tetapi juga
sebagai kepala Negara. Dengan kata lain, dalam diri Nabi terkumpul dua
kekuasaan, kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi. Kedudukannya sebagai
Rasul secara otomatis merupakan kepala Negara.[3]
Dakwah
Rasulullah SAW periode Madinah berlangsung selama sepuluh tahun, yakni dari
semenjak tanggal 12 Rabiul Awal tahun pertama hijriah sampai dengan wafatnya
Rasulullah SAW, tanggal 12 Rabiul Awal tahun ke-11 hijriah. Materi
dakwah yang disampaikan Rasulullah SAW pada periode Madinah, selain ajaran
Islam yang terkandung dalam 89 surat Makiyah dan Hadis periode Mekah, juga
ajaran Islam yang terkandung dalam 25 surat Madaniyah dan hadis periode
Madinah. Adapun ajaran Islam periode Madinah, umumnya ajaran Islam tentang
masalah sosial kemasyarakatan. Mengenai
objek dakwah Rasulullah SAW pada periode Madinah adalah orang-orang yang sudah
masuk Islam dari kalangan kaum Muhajirin dan Anshar. Juga orang-orang yang
belum masuk Islam seperti kaum Yahudi penduduk Madinah, para penduduk di luar
kota Madinah yang termasuk bangsa Arab dan tidak termasuk bangsa Arab.
Rasulullah
SAW diutus oleh Allah SWT bukan hanya untuk bangsa Arab, tetapi untuk seluruh
umat manusia di dunia, Allah SWT berfirman: “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiyaa’, 21:107)
Dakwah
Rasulullah SAW yang ditujukan kepada orang-orang yang sudah masuk Islam (umat
Islam) bertujuan agar mereka mengetahui seluruh ajaran Islam baik yang
diturunkan di Mekah ataupun yang diturunkan di Madinah, kemudian mengamalkannya
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka betul-betul menjadi umat yang
bertakwa. Selain itu, Rasulullah SAW dibantu oleh para sahabatnya melakukan
usaha-usaha nyata agar terwujud persaudaraan sesama umat Islam dan terbentuk
masyarakat madani di Madinah. Mengenai
dakwah yang ditujukan kepada orang-orang yang belum masuk Islam bertujuan agar
mereka bersedia menerima Islam sebagai agamanya, mempelajari ajaran-ajarannya
dan mengamalkannya, sehingga mereka menjadi umat Islam yang senantiasa beriman
dan beramal saleh, yang berbahagia di dunia serta sejahtera di akhirat[4]
Tujuan
dakwah Rasulullah SAW yang luhur dan cara penyampaiannya yang terpuji,
menyebabkan umat manusia yang belum masuk Islam banyak yang masuk Islam dengan
kemauan dan kesadaran sendiri. Namun tidak sedikit pula orang-orang kafir yang
tidak bersedia masuk Islam, bahkan mereka berusaha menghalang-halangi orang
lain masuk Islam dan juga berusaha melenyapkan agama Islam dan umatnya dari
muka bumi. Mereka itu seperti kaum kafir Quraisy penduduk Mekah, kaum Yahudi
Madinah, dan sekutu-sekutu mereka. Setelah ada izin dari Allah SWT
untuk berperang, sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-Hajj ayat 39 dan
Al-Baqarah ayat 190, maka kemudian Rasulullah SAW dan para sahabatnya menyusun
kekuatan untuk menghadapi peperangan dengan orang kafir yang tidak dapat
dihindarkan lagi.[5]
Artinya: “Telah
diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya
mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong
mereka itu” (Q.S. Al-Hajj, 22:39).
Artinya:“Dan
perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah
kamu melampaui batas, Karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah, 2:190
Peperangan-peperangan yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para pengikutnya itu tidaklah bertujuan untuk
melakukan penjajahan atau meraih harta rampasan perang, tetapi bertujuan untuk:
1. Membela
diri dan kehormatan umat Islam.
2. Menjamin
kelancaran dakwah, dan memberi kesempatan kepada mereka yang hendak
menganutnya.
3. Untuk
memelihara umat Islam agar tidak dihancurkan oleh bala tentara Persia dan
Romawi.
Setelah Rasulullah SAW dan para
pengikutnya mampu membangun suatu negara yang merdeka dan berdaulat, yang
berpusat di Madinah, mereka berusaha menyiarkan dan memasyhurkan agama Islam,
bukan saja terhadap para penduduk Jazirah Arabia, tetapi juga keluar Jazirah
Arabia, maka bangsa Romawi dan Persia menjadi cemas dan khawatir kekuaan mereka
akan tersaingi. Oleh karena itu, bangsa Romawi dan bangsa Persia bertekad untuk
menumpas dan menghancurkan umat Islam dan agamanya. Untuk menghadapi tekad
bangsa Romawi dan Persia tersebut, Rasulullah SAW dan para pengikutnya tidak
tinggal diam sehingga terjadi peperangan antara umat Islam dan bangsa Romawi,
yaitu diantaranya perang Mut’ah, perang Tabuk, perang Badar, perang Uhud,
perang Khandaq, perjanjian Hudaibiyah, perang Hunain[6]
B. Strategi
Dakwah Nabi Muhammad SAW. Periode Madinah
Pokok-pokok pikiran yang dijadikan strategi dakwah Rasulullah
SAW periode Madinah adalah Berdakwah dimulai dari diri sendiri, maksudnya
sebelum mengajak orang lain meyakini kebenaran Islam dan mengamalkan ajarannya,
maka terlebih dahulu orang yang berdakwah itu harus meyakini kebenaran
Islam dan mengamalkan ajarannya. Cara (metode) melaksanakan dakwah sesuai
dengan petunjuk Allah SWT dalam Surah An-Nahl ayat 125.
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl, 16: 125)
Berdakwah
itu hukumnya wajib bagi Rasulullah SAW dan umatnya sesuai dengan petunjuk Allah
SWT dalam Surah Ali Imran, 3: 104.
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS.
Ali Imran, 3: 104)
Berdakwah
dilandasi dengan niat ikhlas karena Allah SWT semata, bukan dengan untuk
memperoleh popularitas dan keuntungan yang bersifat materi.
Umat Islam dalam melaksanakan tugas dakwahnya, selain harus
menerapkan pokok-pokok pikiran yang dijadikan sebagai strategi dakwah
Rasulullah SAW, juga hendaknya meneladani strategi Rasulullah SAW dalam
membentuk masyarakat Islam atau masyarakat madani di Madinah.
Masyarakat
Islam atau masyarakat madani adalah masyarakat yang menerapkan ajaran Islam
pada seluruh aspek kehidupan, sehingga terwujud kehidupan bermasyarakat
yang baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur, yakni masyarakat yang
baik, aman, tenteram, damai, adil, dan makmur di bawah naungan ridha Allah SWT
dan ampunan-Nya.
Usaha-usaha Rasulullah SAW dalam mewujudkan masyarakat Islam
seperti tersebut adalah:
v Membangun Masjid
Masjid yang
pertama kali dibangun oleh Rasulullah SAW di Madinah ialah Masjid Quba, yang
berjarak ± 5 km, sebelah barat daya Madinah. Masjid Quba dibangun pada tanggal
12 Rabiul Awal tahun pertama hijrah (20 September 622 M). Setelah Rasulullah SAW menetap di Madinah, pada setiap hari
Sabtu, beliau mengunjungi Masjid Quba untuk salat berjamaah dan menyampaikan
dakwah Islam.
Masjid kedua
yang dibangun oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya adalah Masjid Nabawi di
Madinah. Masjid ini dibangun secara gotong-royong oleh kaum Muhajirin dan
Ansar, yang peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan
peletakan batu kedua, ketiga, keempat dan kelima dilaksanakan oleh para sahabat
terkemuka yakni: Abu Bakar r.a., Umar bin Khatab r.a., Utsman bin Affan r.a.
dan Ali bin Abu Thalib r.a[7]
Mengenai fungsi
atau peranan masjid pada masa Rasulullah SAW adalah sebagai berikut:
1.
Masjid sebagai sarana pembinaan
umat Islam di bidang akidah, ibadah, dan akhlak.
2.
Masjid merupakan sarana ibadah,
khususnya shalat lima waktu, shalat Jumat, shalat Tarawih, shalat Idul Fitri
dan Idul Adha.
3.
Masjid merupakan tempat belajar
dan mengajar tentang agama Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Hadis.
4.
Masjid sebagai tempat pertemuan
untuk menjalin hubungan persaudaraan sesama Muslim (ukhuwah Islamiah) demi
terwujudnya persatuan.
5.
Menjadikan masjid sebagai sarana
kegiatan sosial. Misalnya sebagai tempat penampungan zakat, infak, dan sedekah
dan menyalurkannya kepada yang berhak menerimanya, terutama para fakir miskin
dan anak-anak yatim terlantar.
6.
Menjadikan halaman masjid dengan
memasang tenda, sebagai tempat pengobatan para penderita sakit, terutama para
pejuang Islam yang menderita luka akibat perang melawan orang-orang kafir.
v Mempersaudarakan Kaum Muhajirin dan Ansar
Muhajirin
adalah para sahabat Rasulullah SAW penduduk Mekah yang berhijrah ke Madinah.
Ansar adalah para sahabat Rasulullah SAW penduduk asli Madinah yang memberikan
pertolongan kepada kaum Muhajirin. Rasulullah
SAW bermusyawarah dengan Abu Bakar r.a. dan Umar bin Khatab tentang
mempersaudarakan antara Muhajirin dan Ansar, sehingga terwujud persatuan yang
tangguh. Hasil musyawarah memutuskan agar setiap orang Muhajirin mencari dan
mengangkat seorang dari kalangan Ansar menjadi saudaranya senasab
(seketurunan), dengan niat ikhlas karena Allah SWT. Demikian juga sebaliknya
orang Ansar.
Rasulullah
SAW memberi contoh dengan mengajak Ali bin Abi Thalib sebagai saudaranya. Apa
yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dicontoh oleh seluruh sahabat misalnya: Hamzah
bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah SAW, pahlawan Islam yang pemberani
bersaudara dengan Zaid bin Haritsah, mantan hamba sahaya, yang kemudian
dijadikan anak angkat Rasulullah SAW. Abu Bakar ash-Shiddiq,
bersaudara dengan Kharizah bin Zaid. Umar
bin Khattab bersaudara denga Itban bin Malik al-Khazraji (Ansar). Abdurrahman bin Auf bersaudara dengan Sa’ad bin Rabi
(Ansar).
Demikianlah
seterusnya setiap orang Muhajirin dan orang Ansar, termasuk Muhajirin setelah
hijrahnya Rasulullah SAW, dipersaudarakan secara sepasang- sepasang, layaknya
seperti saudara senasab. Persaudaraan secara
sepasang–sepasang seperti tersebut, ternyata membuahkan hasil sesama Muhajirin
dan Ansar terjalin hubungan persaudaraan yang lebih baik. Mereka saling
mencintai, saling menyayangi, hormat-menghormati, dan tolong-menolong dalam
kebaikan dan ketakwaan.[8]
Kaum Ansar
dengan ikhlas memberikan pertolongan kepada kaum Muhajirin berupa tempat
tinggal, sandang-pangan, dan lain-lain yang diperlukan. Namun kaum Muhajirin
tidak diam berpangku tangan, mereka berusaha sekuat tenaga untuk mencari nafkah
agar dapat hidup mandiri. Misalnya, Abdurrahman bin Auf menjadi pedagang, Abu
Bakar, Umar bin Khattab dan Ali bin Abu Thalib menjadi petani kurma. Kaum Muhajirin yang belum mempunyai tempat tinggal dan mata
pencaharian oleh Rasulullah SAW ditempatkan di bagian Masjid Nabawi yang
beratap yang disebut Suffa dan mereka dinamakan Ahlus
Suffa (penghuni Suffa). Kebutuhan-kebutuhan mereka dicukupi oleh kaum
Muhajirin dan kaum Ansar secara bergotong-royong. Kegiatan Ahlus
Suffa itu antara lain mempelajari dan menghafal Al-Qur’an dan Hadis,
kemudian diajarkannya kepada yang lain. Sedangkan apabila terjadi perang antara
kaum Muslimin dengan kaum kafir, mereka ikut berperang.
v Perjanjian dengan masyarakat Yahudi Madinah
Pada waktu
Rasulullah SAW menetap di Madinah, penduduknya terdiri dari tiga golongan,
yaitu umat Islam, umat Yahudi (Bani Qainuqa, Bani Nazir dan Bani Quraizah) dan
orang-orang Arab yang belum masuk Islam. Agar stabilitas masyarakat dapat
diwujudkan, Nabi Muhammad SAW mengadakan ikatan perjanjian dengan mereka.
Sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu
komunitas dikeluarkan. Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam
bidang politik dan keagamaan. Kemerdekaan beragama dijamin dan seluruh anggota
masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negeri itu dari serangan luar[9]
Piagam ini
mestilah dipatuhi oleh semua penduduk Madinah yang muslim atau bukan Muslim.
Strategi ini telah menjadikan Madinah sebagai model Negara Islam yang adil,
membangun serta digrandungi oleh musuh-musuh Islam. Piagam ini dikenal dengan
sebutan Piagam Madinah. Menurut Ibnu Hisyam,
Rasulullah SAW membuat perjanjian dengan penduduk Madinah non-Islam dan
tertuang dalam Piagam Madinah. Piagam Madinah itu antara lain berisi:
1.
Setiap golongan dari ketiga
golongan penduduk Madinah memiliki hak pribadi, keagamaan dan politik.
Sehubungan dengan itu setiap golongan penduduk Madinah berhak menjatuhkan
hukuman kepada orang yang membuat kerusakan dan memberi keamanan kepada orang
yang mematuhi peraturan.
2.
Setiap individu penduduk Madinah
mendapat jaminan kebebasan beragama.
3.
Seluruh penduduk kota Madinah
yang terdiri dari kaum Muslimin, kaum Yahudi dan orang-orang Arab yang belum
masuk Islam sesama mereka hendaknya saling membantu dalam bidang moril dan
materiil. Apabila Madinah diserang musuh, maka seluruh penduduk Madinah harus
bantu-membantu dalam mempertahankan kota Madinah.
4.
Rasulullah SAW adalah pemimpin
seluruh penduduk Madinah. Segala perkara dan perselisihan besar yang terjadi di
Madinah harus diajukan kepada Rasulullah SAW untuk diadili sebagaimana
mestinya.
v Pembangunan pranata sosial dan pemerintahan
Pada saat
Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah, masyarakatnya terbagi menjadi berbagai
kelompok besar, yaitu kelompok Muhajirin dan kelompok Anshar, Yahudi, Nasrani,
dan penyembah berhala. Pada awalnya, mereka semua menerima kedatangan Nabi dan
umat Islam. Namun setelah masyarakat muslim berkembang menjadi besar dan
berkuasa, mereka mulai menaruh rasa dendam dan tidak suka. Untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut, Nabi saw
mencoba menata sistem sosial agar mereka dapat hidup damai dan tenteram. Untuk
kalangan umat Islam, Nabi saw telah mempersaudarakan antara Muhajirin dan
Anshar. Sementara untuk kalangan non muslim, mereka diikat dengan peraturan
yang dirancang Nabi dan umat Islam yang tertuang di dalam Piagam Madinah[10]
Pada masa
Rasulullah, penduduk Madinah mayoritas sudah beragam Islam, sehingga masyarakat
Islam sudah terbentuk, maka adanya pemerintahan Islam merupakan keharusan.
Rasulullah SAW selain sebagai seorang Nabi dan Rasul, juga tampil sebagai
seorang Kepala Negara (khalifah). Sebagai
Kepala Negara, Rasulullah SAW telah meletakkan dasar bagi setiap sistem politik
Islam, yakni musyawarah. Melalui musyawarah, umat Islam dapat mengangkat wakil-wakil
rakyat dan kepala pemerintahan, serta membuat peraturan-peraturan yang harus
ditaati oleh seluruh rakyatnya. Dengan syarat, peraturan-peraturan itu tidak
menyimpang dari tuntutan Al-Qur’an dan Hadis.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
penjelasan makalah di atas, maka dapat di ambil kesimpulan bahwa dakwah
Rasulullah SAW periode Madinah itu merupakan dakwah lanjutan yang dilakukan
Rasulullah SAW pada saat beliau hijrah dari kota Mekah ke kota Madinah. Dimana
dalam periode Madinah ini, pengembangan Islam lebih ditekankan pada dasar-dasar
pendidikan masyarakat Islam dan pendidikan sosial kemasyarakatan.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini, masih
banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritikan dan saran yang sifatnya
membangun sangat kami harapkan guna perbaikan makalah kami dimasa yang akan
datang.
DAFTAR PUSTAKA
Samsul
Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010),
hal. 63. http://kajian-muslimah.blogspot.com/2005/05/shirah-tentang-fase-dakwah-di madinah.html, di akses pada 14
Maret 2013. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:
Rajawali Pers, ), hal. 25. http://saminsyb.blogspot.com/2012/01/ski-sejarah-dakwah-rasulullah-saw.html, diakses pada 14 Maret
2013. http://kajian-muslimah.blogspot.com/2005/05/shirah-tentang-fase-dakwah-di-madinah.html,di
akses pada 14 Maret 2013.
Murodi, Sejarah
Kebudayaan Islam, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 2009), hal. 18.
Syekh Shafiyyurrahman
al-Mubarakfuri, Ar-Rahiq
al-Makhtum,terjemahan (Jakarta: Darul Haq,
2014), hal.266-267. Ahmad Musyafiq, Pengantar Sirah Nabawiyah, (Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015), hal.174-175. Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Muhammad saw. My Beloved
Prophet: teladan sepanjang zaman, (Jakarta:
Qisthi Press, 2008), hal.213. opcit.,Ahmad
Musyafiq, Pengantar
Sirah Nabawiyah, hal. 178-181. Dr. Muhammad Syafii
Antonio, M. Ec, Muhammad
SAW: The Super Leader Super Manager, (Jakarta:
ProLM Centre, 2007), hal.154. Ja’far Subhani, Ar-Risalah, Sejarah
Kehidupan Rasulullah Saw, (Jakarta:
Lentera, 1996), hal.294. Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad, Biografi Rasulullah: Sebuah
Studi Analitis berdasarkan sumber-sumberyang otentik,
terjemahan, (Jakarta: Qisthi Press, 2006), hal.381-382
[4]Abu Bakar Jabir
Al-Jazairi, Muhammad saw. My Beloved Prophet: teladan sepanjang zaman,
(Jakarta: Qisthi Press, 2008), hal.213
[5]Syekh Shafiyyurrahman
al-Mubarakfuri, Ar-Rahiq al-Makhtum,terjemahan (Jakarta: Darul Haq,
2014), hal.266-267.
[7] Dr.
Muhammad Syafii Antonio, M. Ec, Muhammad SAW: The Super Leader Super
Manager, (Jakarta: ProLM Centre, 2007), hal.154.
[9] Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad, Biografi Rasulullah: Sebuah
Studi Analitis berdasarkan sumber-sumberyang otentik, terjemahan, (Jakarta:
Qisthi Press, 2006), hal.381-382
[10] http://kajian-muslimah.blogspot.com/2005/05/shirah-tentang-fase-dakwah-di madinah.html, di akses pada 14 Maret
2013.
No comments:
Post a Comment