1

loading...

Selasa, 31 Oktober 2017

MAKALAH SEJARAH DAN KEBUDAYAAN

MAKALAH ILMU SEJARAH DAN KEBUDAYAAN “PENDIDIKAN SEJARAWAN DAN ILMU-ILMU SOSIAL”

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG
Pada saat krisis nasional, seperti jaman perang atau masa penyesuaian sesudah perang, sejrawan akan memperoleh tekanan-tekanan untuk menuliskan kisah perkembangan negerinya secara sentimentil jika perlu dengan sedikit mengorbankan kebenaran. Pengajaran sejarah memang dapat dipergunakan untuk melatih warganegara yang setia jika memang kisah tanah airnya dapat menimbulkan rasa bangga pada diri kaum patriot atau jika kisah itu dapat demikian diubah dan disesuaikan sehingga nampaknya lebih mulia.

2.1                 RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana hubungan sejarah dengan humaniora dan ilmu-ilmu sosial
2.      Bagaimana hubungan sejarah dengan persoalan-persoalan masa kini
3.      Apasaja nilai dari metode sejarah bagi ilmuwan sosial

BAB II
PEMBAHASAN

A.     PENDIDIKAN SEJARAWAN DAN ILMU-ILMU SOSIAL
2.1  SEJARAWAN SEBAGAI ILMUWAN SOSIAL
Kenyataan bahwa spencer dan banyak tokoh filsuf terkemuka lainnya sama pentingnya bagi ilmuwan humaniora, dan ilmuwan sosial, disamping adanya fakta-fakta lain, menyebabkan kita cenderung kepada kesimpulan bahwa dua jenis sarjana ini terkadang lebih berbeda dalam hal titik berat dan waktu daripada dalam hal pokok pembahasan dan tujuan.  Sejarawan humaniora tidak perlu, tetapi dapat menjadi ilmiawan sosial bagi masa lampau.
Ia tidak perlu menjadi ilmiawan sosial bagi masa lampau, karena cukup terdapat minat kepada masa lampau demi masa lampau itu sendiri, banyak tuntutan akan pemeliharaan warisan budaya, yakni pengalaman, pikiran, adat istiadat, sopan santun, agama, lembaga, tokoh-tokoh, sastra, seni musik, ilmu dan kearifan dari pada masa lampau, untuk membenarkan sikap ilmiawan humaniora yang inginn mencurahkan dirinya kepada contoh unik, wilayah-wilayah yang terisolasi, masa-masa yang jauh, atau garis perkembangan yang khusus. Tetapi ia dapat menghubungkan contoh, wilayah, zaman, dan garis perkembangan itu kepada konsep-konsep dan generalisasi sosialyang lebih luas jika ia mau dan berani melakukan usaha tambahan.

Alcibiades secara yang dapat dibenarkan boleh diperlakukan hanya sebagai seorang jenderal dan politikus Junani, tapi ia dapat pula dipelajari sebagai contoh daripada jenis personalitas militer dan politik. Perang salib kanak-kanak di lukiskan hanya sebagai kisah mengenai peristiwa yang patetis dalam tahunn 2012, tetapi dapat pula dipergunakan untuk memberi ilustrasi bagi sejumlah konsepsi mengenai psikologi kanak-kanak, perilaku sosial, dan pengalaman keagamaan, puisi John  Dryden menimbulkan kepuasan apabila diperiksa hanya untuk “scansion”, kosa kata atau “phrasing” tetapi puisi itu dapat pula dipergunakan sebagai sumber bagi sejarah gagasan dan bagi suasana intelektual sezaman atau sebagai bagian daripada ideologi yang kontinyu umat manusia.[1]

2.2  SEJARAH BERHUBUNGAN DENGAN HUMANIORA MAUPUN ILMU-ILMU SOSIAL
Disini ditegaskan, bahwa rekonstruksi-rekonstruksi itu harus di bangun sesuai dengan aturan-aturan tertentu. Jika aturan-aturan itu diterapkan, sejarawan tidak hanya akan bertindak secara ilmiah dalam mempergunakan metode untuk  mengumoulkan data elementer, melainkan juga dapat mengusahakan pemakaian prosedur ilmiah (dalam batas-batas yang sangat jelas) dalam usaha menghimpun data, hal ini diketengahkan tanpa melibatkan pengarang kepada salah satu pihak dalam rangka debat yang telah berabat-abat lamanya. Apakah sejarah adalah atau seharusnya hanyalah termasuk golongan humaniora atau ilmu-ilmu sosial.
Pada hemat kami, salah satu mungkin benar atau dua-duanya mungkin benar. Sejarah dapat memiliki sifat ilmu-ilmu sosial, dan dapat kita harapkan bahwa dalam hal itu akan dapat diperoleh kemajuan-kemajuan. Tetapi sejarah juga menaruh minat kepada masa lampau demi masa lampau itu sendiri beserta manusia individual dan beserta tindakan khusus atau garis perkembangan khusus manusia, karena manusia menarik hati sebagai manusia.

Jika sejarawan yang menganggap dirinya pengawal daripada warisan budaya dan penafsir daripada perkembangan manusia, juga ingin memperoleh generalisasi-seneralisasi yang nampaknya sah serta memberikan keterangan-keterangan yang berguna mengenai perkembangan masa kini, fikiran, sopan santun, dan lembaga maka oleh usaha tambah itu ia tidak berkurang kedudukannya selaku sejarawan, jikapun tidak malahan bertambah. Jika ia lebih suka untuk tidak melakukan usaha tambahan itu, ia masih merupakan sejarawan yang baik. Sejarawan sebagai ilmiawan sosial dan sejarawan ilmiawan humaniora, tidak perlu menjadi dua orang yang terpisah dengan mudah bisa menjadi satu. Dan manfaat dari pada yang satu itu, kepada baik humaniora maupun ilmu-ilmu sosial akan sangat bertambah jika ia tidak bertindak schizophrenis.[2]

2.3  HUBUNGAN ANTARA HUMNIORA DAN ILMU-ILMU SOSIAL
Karena beda antara humaniora dan ilmu-ilmu sosial dengan mudah dapat dilebih-lebihkan. Pokok pembahasan yang semestinya daripada kedua bidang itu adalah manusia sebagai makhluk budaya, makhluk intelektual, dan makhluk sosial. Kedua bidang ini menemukan generarisasi-generalisasi, meskipun ilmuwan sosial biasanya lebih berminat kepada ramalan dan pengendalian, dibandingkan dengan homaniora yang biasanya lebih berminat kepada contoh yang baik, terlebih-lebih lagi yang luar biasa, dibandingkan dengan ilmuwan sosial. Kedua bidang berminat kepada masa lampau, masa kini, dan masa depan, (meskipun ilmuwan humaniora cenderung untuk menitik beratkan diri kepada masa lampau sedangkan ilmuwan sosial lebih menitikberatkan diri kepada masa kini dan masa depan).

Dalil filologi Grimm mengenai persesuaian konsonan tidak kalah sifatnya sebagai generalisasi ilmiah daripada dalil sosiologi Vierkandt mengenai pergantian tahapan destruktif dan konstruktif didalam revolusi atau dalil ekonomi Gresham mengenai hubungan antara uang baik dan uang buruk, dan tidak pula tanpa arti bagi ilmuwan sosial. Bahkan sesungguhnya dalil itu lebih tergantung kepada observasi ahli daripada dalil Vierkandt dan Gresham dan lebih jauh daripada obrolan pinggir jalan.

Mereka yang tidak mau mengakui hubungan yang erat antara humaniora dan ilmu-ilmu sosial besar kemungkinannya tidak banyak mengetahui mengenai ilmu sosial yang baik yang telah dikemukakan pada masa lampau oleh para filsuf dan sastrawan, atau mengenai akal yang sehat yang sekarang diajukan oleh ilmuwan sosial. Baik ilmuwan humaniora maupun ilmuwan sosial tidak akan berani mengabaikan filsuf Herbert Spencer.akan tetapi andaikata ia kebetulan menjadi penting sebelum sosiologi yang pada masa sekarang akan mengabaikannya, dan andaikata ia menulis pada masa sekarang, maka banyak ilmuwan humaniora yang akan menganggap sepi kepadanya, untuk beberapa tahun kemudian menuliskan karangan-karangan ilmiah mengenai dia dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang pada hari ini akann diajukan mengenai oleh sarjana sosiologi, sedangkan para ahli sosiologi pada dasawarsa yang akan datang itu, yang sudah mulai melupakannya, akan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama mengenai tokoh yang lebih hampir sezaman.

2.4  SEJARAWAN DAN MASALAH-MASALAH MASA KINI
Telah dikatakan bahwa “suatu Gesetzwissenschaft mempergunakan suatu kasus tunggal semata-mata untuk membantunya mengerti suatu prinsip umum, sedangkan suatu Gesetzwissenschaft mempergunakan suatu prinsip umun semata-mata untuk membantunya mengerti satu kasus tunggal”. Pentingnya mengerti prinsip-prinsip umum, yakni mengetahui apakah kasus-kasus tunggal yang mereka bahas cocok di dalam salah satu generalisasi atau typikasi, sering luput dari perhatian sejarawan. Itulah sebab mengapa sejarawan kadang-kadang tidak lebih daripada hanya antn ia tidak antiquarianisme saja, suatu usaha untuk mneceritakan suatu kisah selengkap-lengkapnya mengenai sesuatu dalam masa lampau yang mungkin menarik sejarawan, meskipun ia tidak mampu atau tidak merasa terpanggil untuk menerangkan mengapa harus pula menarik minat orang lain.
Penggunaan ilmu-ilmu sosial yang lebih banyak oleh sejarawan dalam usahanya untuk memberikan ilustrasi atau menguji dan menyesuaikan atau mengambil alih generalisasi-generalisasi dan klasifikasi-klasifikasi dari pihak sarjana-sarjana sosiologi pada waktu akhir ini telah di anjurkan oleh beberapa sejawan, terutama oleh sejarawan Amerika Serikat.[3]

2.5  SEJARAH DAN PENGERTIAN-PENGERTIAN ILMU SOSIAL
Meskipun ada terdapat kekhawatiran-kekhawatiran yang tegas dan luas namun penggunan daripada generalisasi-generalisasi ilmu sosial oleh sejarawan terus bertambah. Misalnya, bukanlah suatu kebetulan bahwa pada masa yang akhir-akhir ini telah terdapat demikian banyak perhatian terhadan sejarah kota, kereta api dan perniagaan, kepada sejarah harga-harga dan pemikiran sosial, kepada sosial ekonomi daripada perang, serta kepada pengembangan lembaga-lembaga internasional.

Lingkupan perhatian sejarawan cenderung untuk dikuasai oleh hukum permintaan dan penyediaan, sedangkan kebutuhan disiplin-disiplin lain akan data jenis tertentu. Mendorong sejarawan untuk berusaha memenuhi kebutuhan itu. Dengan melakukan hal itu ia berusaha* untuk menemukan kasus-kasus tunggal yang akan memberikan ilustrasi kepada generalisasi ilmu sosial.** untuk menemukan kasus-kasus tunggal yang akan membantah suatu generalisasi ilmu sosial dan*** untuk menerapkan sebuah generalisasi ilmu sosial kepada suatu trend sejarah atau suatu seri daripada peristiwa-peristiwa yang bersamaan. Didalam ketiga usaha itu sambil bekerjasama dengan  Gesetzwissenschaft yang bersangkutan, sejarawan berusaha untuk mengubah, memperkuat, atau mengajukan perkecualian terhadap suatu gagasan umum yang dipinjam dari disiplin-disiplin sosial lain biasanya dengan harapan bahwa dalil sosiologi akan sedikit menyinari hubungan kausal di antara gejala-gejala sejarah.[4]

2.6  NILAI DARIPADA METODE SEJARAH BAGI ILMUWAN SOSIAL
Sejarawan juga membuat sejumlah besar generalisasi yang bersifat metodologi yang diabaikan oleh sarjana-sarjana ahli masyarakat, dengan akibat yang merugikan. Bahkan Thomas dan Znaniecki menggunakan otobiografi dan surat-surat kepada redaksi surat kabar tanpa menyelidiki secara cermat otensitas atakukredibilitasnya ilmuwan sosial yang kurang kalibernya lebih banyak lagi berbuat salah dalam hal ini.

Ilmuwan sosial lebih sering daripada sejarawan berbuat salah dalam menggunakan questionaire yang “menyesatkan”. Mereka juga sering, lebih daripada sejarawan, cenderung untuk mempercayai dokumen-dokumen pemerintah secara tidak kritis dan menerima baik sejarah-sejarah resmi tanpa kecurigaan. Tambahan pula, terkadang mereka menggunakan karangan sejarah yang bersifat sekunder tanpa analisa yang seksama mengenai mutu dan sumber-sumber informasinya atau tanpa mempertimbangkan adanya madzab-madzab pemikiran yang bertentangan. Misalnya saja, satu studi mengenai sejarah alamiah daripada revolusi yang semata-mata didasarkan atas hasil karya sejarawan-sejarawan liberal, patut di kritik sebagai berat sebelah. Bahkan pernah dikatakan, barangkali tidak secara sepenuhnya beralasan, bahwa jika seorang sejarawan jarang menerima baik sesuatu pertelaan sekunder  kecuali sebagai suatu titik tolak bagi pertelan yang lebih baik, maka seorang ilmuan sosial mungkin menerimanya sebagai sumber data secara tidak kritis.

Kadang-kadang ilmuwan sosial sama sekali mengabaikan informasi sejarah. Sekali-kali kita mempunyai perasaan bahwa ilmuwan sosial mengharap bahan-bahan yang dikenal secara ruet sebagaimana yang dikatakan seseorang yang sinis. Mereka menghabiskan ribuan sinyal untuk mengetahui lokasi rumah-rumah pelacuran padahal “survival” atau kesaksian yang lebih awal  mungkin akan dapat memberikan informasi yang dikehendaki secara sederhana.
Jika sejarawan sering memperlihatkan hasrat yang partikularistis akan antiquwarianisme yang kering, maka sejarah sosiologi seringkali memperlihatkan preferensi terhadap statistik, qwantum dan pengukuran-pengukuran yang pengeterapannya nampaknya jauh daripada faedah sosial maupun makna sejarah.
Tambahan pula, sejarawan terkadang mempunyai perasaan bahwa beberapa generalisasi sosialogi yang menyangkut jenis atau siklus, paling jauh hanya merupakan “Hunches” atau perumpamaan dan bukan merupakan hipotese kerja.[5]

BAB III
PENUTUP


3.1  KESIMPULAN
Pada dasarnya, sejarawan-sejarawan memiliki keterkaitan dan hubungan yang erat dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora.  Metode-metode sejarah yang digunakan para sejarawan  memiliki nilai terhadap ilmu-ilmu sosial. Dapa perkembangangannya, sejarah juga memiliki pengaruh besar bagi perkembangan zaman yang semakin modern atau masakini. Dan para sejarawanjuga mengkaji masalaah-masalah masa kini. Sejarah juga memiliki hubungan dengan humaniora dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Sehingga menyebabkan mereka memiliki keterkaitan yang kuat diantara masing-masing.
3.2  SARAN
Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca dan Dosen Pengampuh Program Studi Sejarah dan Kebudayaan, agar makalah ini dapat menjadi lebih baik.
Penulis juga berharap makalah ini dapat memberikan manfaat serta dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan pembaca.
                                                           DAFTAR PUSTAKA
Gottschalk, Louis, Notosunanto Nugroho, Mengerti Sejarah, Jakarta:  Penerbit  Universitas Indonesia,1985.



[1] Gottschalk, Louis, penerjemah: Nugroho Notosumanto, Understanding History, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 21-22.
[2] Gottschalk, Louis, penerjemah: Nugroho Notosumanto, Understanding History, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 20-21.
[3] Gottschalk, Louis, penerjemah: Nugroho Notosumanto, Understanding History, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 183.
[4] Gottschalk, Louis, penerjemah: Nugroho Notosumanto, Understanding History, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 184
[5] Gottschalk, Louis, penerjemah: Nugroho Notosumanto, Understanding History, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 189-190.

MAKALAH PANCASILA

MAKALAH PANCASILA POLA PELAKSANAAN PEDOMAN PENGHAYATAN DAN PENGAMALAN PANCASILA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
Setelah kita memiliki P-4, agar pancasila itu benar-benar terasa dalam kehidupan sehari-hari dan dengan demikian sekaligus melestarikan Pancasila, maka kita perlu melaksanakan P-4, dengan mendarah dagingkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila dan yang sudah lebih terperinci dalam P-4.
Dengan perkataan lain, dengan petunjuk P-4 itu kita masing-masing harus berusaha agar nilai-nilai, norma-norma, sikap dan tingkah laku yang dijabarkan dari kelima Sila dan Pancasila itu benar-benar menjadi bagian yang utuh dan tuntunan yang diberian oleh P-4 itu menyatu dengan kepribadian setiap manusia Indonesia, oleh karenanya dapat mengatur dan memberi arah tingkah laku dan tindak tanduknya.

2.1  RUMUSAN MASALAH
1.      Apa makna dari Pancasila sebagai moral pembangunan
2.      Apa saja peran kepemimpinan dalam rangka pelaksanaan P-4
3.      Apa saja pola pelaksanaan P-4 dan jalur-jalur yang digunakan

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  PANCASILA SEBAGAI MORAL PEMBANGUNAN
 Dengan bekal penghayatan Pancasila dan dengan pengamalan Pancasila oleh setiap manusia di Indonesia, maka gerak pembangunan yang kita lakukan bersama-sama akan berjalan lurus dan tiba dengan selamat pada tujuannya. Unsur manusia dalam pembangunan ini sangat penting sebab manusia adalah pelaku dan sekaligus tujuan pembangunan. Karena pancasila adalah dasar dan juga tujuan kehidupan bangsa ini. Maka setiap gerak, arah, dan cara kita melaksanakan pembangunan itu juga harus senantiasa dijiwai oleh Pancasila.
Pembangunan ini bukan saja harus mendatangkan kemakmuran, akan tetapi juga harus menjamin keadilan sosial. Bukan saja berisi bidang kebendaan lahiriah, akan tetapi juga dalam  keseimbangannya dengan bidang kejiwaan rohaniah. Bukan hanya berkembang di suatu daerah melainkan harus merata ke seluruh wilayah tanah air.
Republik Indonesia lahir sebagai hasil perjuangan bangsa melawan penjajahan. Dari hasil perjuangan kemerdekaan tersebut dibentuklah pemerintah negara Indonesia yan berkedaulatan rakyat berdasar Pancasila. Dengan demikian, Pancasila juga merupakan suatu hasil perjuangan yang sekaligus menjadi sumber inspirasi perjuangan bagi bangsa Indonesia yang membangun suatu negara yang sanggup melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Pembangunan bangsa di berbagai bidang perlu dan memang sudah ditangani dengan segala kecermatan perencanaan dan keahlian serta ketekunan pelaksanaan. Hasil yang telah dicapai hingga sekarang cukup memadai. Namun, harus diakui bahwa disamping keberhasilan yang nyata, proses pembangunan kita selama ini telah mencatat pula berbagai kelemahan dan kekurangan di bidang tertentu, serta akibat sampingan yang tak terduga.
Disamping berbagai faktor lainnya, adanya kekurangan dan akibat samping tadi, pada akhirnya faktor yang menentukan dalam setiap pembangunan itu adalah manusia yang harus mewujudkan dan melaksanakan rencana pembangunan tersebut.

2.2  PERAN KEPEMIMPINAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN P-4
A.     Kedudukan dan pengertiam kepemimpinan
Keberhasilan upaya memasyarakatkan P-4 ditandai oleh menjelmanya P-4 yang mengandung 36 butir menjadi tatanan yang ditaati oleh segenap anggota masyarakat sebagai tatanan untuk hidup bersama dalam linngkungan sosialnya.
Pada ptaran atau giliran beriutnya dan dalamm tingkatan yang lebih mendalam tatanan tersebut akan menjelma menjadi keseluruhan tata pikir, pikran, sikap, tingkah laku, dan erbuatan segenap anggota masyarakat yang membuahkan hasil nyata didalam lingkungan masyarakat tersebut. Hal ini merupakan tanda keberhasilan upaya membudayakan P4.
Dengan demikian keberhasilan kedua rangkaian upaya terpadu tersebut (Memasyarakatkan dan Membudayakan) ditentukan oleh tiga unsur berikut. Yaitu :
·         Unsur kelompok manusia sebagai pelaku, sebagai anggota masyarakat, yang menjalin hubungan satu dengan yang lain dan salingmempengaruhi. Berganntung kepada kadar pengetahuan dan mutu sikap, tingkah laku, serta perbuatan manusia-manusia itulah terwujudnya tata cara dan corak jalinan hubungan antar mereka.
·         Unsur masyarakat dan lingkungan sebagai wadah dari para anggotanya. Masyarakatsebagai wadah terbentuk oleh adanyan tata hubungan antar individu yang diakibatkan oleh persamaan, tempat tinggal, kepentingan, lapangan kerja, dan  lain-lain.
·         Unsur pemimpin atau kepemimpinan yang memadukan kedua unsurtersebut diatas dan memadu serta membimbingnya ke arah terwujudnya tata kehidupan yang berkebudayaan dalam rangka mempertahankan dan mengejar kehidupan yang lebih baik sesuai dengan naluri manusia.


B.     Tugas dan fungsi kepemimpinan
a.       Integritas dengan Lingkungan
Modal awal yang mula-mula harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah menempatkan diri di tengah lingkungan masyarakat dan menyatukan dirinya dalam sistem tata sosial yang berlaku. Dengan kedudukan tersebut, seorang pemimpin pada tahap selanjutnya harus benar-benar mengenal kemampuan lingkungan dalam memikul beban. Dengan demikian semua cetusan gagasannya, ajakan, dan ungkapannya akan selalu dalam ambang batas kemampuan masyarakat atau lingkungan.
b.      Pemberian teladan
Sikap, tingkah laku, dan perbuatan  pemimpin harus selalu sesuai dengan norma yang berlaku dengan disertai kesadarannya. Hal tersebut pada saatnya akan menjadi teladan normatif bagi para anggota masyarakat.
c.       Meyakinkan orang
Membangktkan motivasi orang lain sebagai upaya awal menumbuhkan kesadaran dan niatnya untuk berbuat baik bagi masyarakat.
d.      Mendidik
Seorang pemimppin dengan melalui proses belajar mengajar, mendidik dan melatih harus mampu mengalihkan, mengembangkan pengetahuan tentang P-4 untuk dihayati oleh setiap anggota masyarakat,  menanamkan sikap dan tingkah laku, serta memberikan keterampilan untuk mengamalkannya dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
e.       Mengendalikan
Mengendalikan, menggerakkan, mengarahkan, dan mengendalikan kegiatan semua anggota masyarakat untuk mewujudkan Pancasila menjadi kenyataan yang dapat diamati dan dirasakan di dalam kehidupan masyarakat.

C.     Prinsip utama kepemimpinan
Kelima fungsi kepemimpinan seperti diuraikan diatas pada ahakikatnya adalah terapan dari prinsip utama kepemimpinan sebagai berikut :
a.       Keseluruhan sikap, tingkah laku, dan perbuatan seorang pemimpin harus sesuai dengan norma yang berlaku, sehingga otrang yang dipimpinnya menjadikannya sebagai teladan, panutan, dan mengikutinya.
b.      Seorang pemimpin harus mampu memotivasi dan membangkitkan tekad serta semangat orang-orang yang dipimpinnya untuk berswakarsa, berkreasi, dan berkehendak berbuat.
c.       Seorang pemimpin harus mendorong dan mengedepankan orang-orang yang dipimpinnya seraya membekalinya dengan kemampuan nyata (keterampilan) serta memperbaikinya apabila ada kekurangan.

D.     Syarat pendukung
Tiga prinsip utama sebagaimana diuraikan diatas akan lebih mudah melaksanakannya apabila seorang pemimpin memiliki 8 (delapan) bekal pangkal pada dirinya (kepribadiannya), serta mengerjakan 5 (lima) amal sehingga dengan demikian, ia akan memperoleh kehormatan, kewibawaan, dan terpercaya.
a.       Delapan bekal pangkal tersebut ialah suatu gejala yang melekat pada jiwanya, drinya dan berkaitan erat satu dengan yang lain, yakni : jujur, wajar, tegas dan sederhana, sedangkan empat lainnya adalah: jiwa besar, pandangan jauh kedepan, mawas diri, dan ingin tau.
b.      Lima hal berikut ini mungkin diamalkan oleh seorang pemimpin yang telah memiliki 8 (delapan) bekal pangkal. Kelima amal ttersebut ialah : pengabdian, adil-bijaksana, bertanggung jawab, mengayomi, dan berani serta mampu mengatasi kesulitan. Amal tersebut merupakan niat dan karya yang dirasakan oleh orang lain (yang memimpinnya).
c.       Sebagai akibat dari lima amal yang menggunakan delapan bekal pangkal, maka seorang pemimpin akan memperoleh kehormatan dari yang dipimpinnya berupa : berwibawa dan terpercaya.

E.      Pola pelaksanaan P-4
Untuk melaksanakan P-4 perlu usaha yang dilakukan secara berencana dan terarah berdasarkan satu pola. Tujuannya adalah agar Pancasila sungguh-sungguh dihayati dan diamalkan oleh segenap warga negara, baik dalam kehidupan seseorang maupun dalam kehidupan kemasyarakatan. Berdasarkan pola itu diharapkan lebih terarah usaha-usaha  :
v  Pembinaan manusia Indonesia agar menjadi insan Pancasila.
v  Pembangunan bangsa untung mewujudkan masyarakat Pancasila.
Sasaran pelaksanaan P-4 adalah perorangan, keluarga, dan masyarakat. Baik di lingkungan tempat tinggal masing-masing maupun di lingkungan tempat bekerja.langkah pertama adalah dengan penataran pegawai Republik Indonesia, karena mereka adalah abdi masyarakat yang pertama-tama harus menghayati dan mengamalkan pancasila. Langkah selanjutnya ialah menyebarluaskannya kepada seluruh lapisan masyarakat dengan menggunakan berbagai jalur dan penciptaan suasana yang menunjang, antara lain :
1.      Jalur-jalur yang digunakan
a.       Jalur pendidikan
Dalam pelaksanaan P-4, maka peranan pendidikan sangat penting, baikpendidikan di sekolah (formal) maupun pendidikan di luar sekolah (nonformal) yang terlaksana di dalam keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat.

b.      Keluarga
Dalam pendidikan, sebenarnya peranan keluarga tidak kalah artinya dibanding dengan peranan sekolah. Bahkan pengaruh keluarga jauh mendahului sekolah. Oleh karena itu, pembinaan keluarga agar menjadi linngkungan yang benar-benar dijiwai oleh nilai-nilai moral pancasila harus menjadi kesadaran masyarakat.
c.       Sekolah
Semua unsur didalam lembaga pendidikan formal dalam tindak-tanduknya hendaklah mencerminkan nilai-nilai luhur pancasila.. para Guru yang menjadi contoh peserta didik hendaklah benar-benar menghayati dan mengamalkan pancasila.
d.      Lingkungan
Pengaruh lingkunngan terhadap pertumbuhan generasi muda sangat besar. Oleh karena itu, lngkungan masyarakat perlu dibina dengan sungguh-sungguh agar menjadi tempat yang subur bagi pelaksanaan P-4.
e.       Jalur media massa
Walaupun pola pelaksanaan P-4 melalui media massa dapat pula digolongkan sebagai salah satu aspek jalur pendidikan dalam arti luas. Namun peranan media massa sedemikian pentingnya sehingga perlu mendapat penonjolannya sebagai suatu jalur tersendiri.
2.      Penciptaan suasana yang menunjang
a.       Kebijaksanaan Pemerintah dan Peraturan Perundang-undangan
Semangat dan isi berbagai kebijaksanaan pemerintah dan peraturan perundang-undangan haruslah secara sadar mencerminkan jiwa dan norma-norma pancasila. Penjabaran kebijaksanaan pemerintah dan perundang-undangan merupakan salah satu jalur yang dapat memperlancar pelaksanaan P-4, sehingga dapatlah dilembagakan suatu sistem masyarakat yang menunjang pengamalan pancasila dalam segala segi kehidupan bangsa dan negara.
b.      Aparatur Negara
Dalam hubungan ini aparatur pemerintah sebagai pelaksana danpengabdi kepentingan rakyat hendaklah berusaha memahami perasaan yang hidup di dalam masyarakat. Sarana maupun prasarana dalam masyarakat yang menunjang pelaksanaan P-4 perlu disediakan.
c.       Kepemimpinan dan Pemimpin Masyarakat
Peranan kepemimpinan dan pemimpin masyarakat, baik pemimpin formal maupun informal adalah penting sekali dalam pelaksanaan P-4. Mereka dapat menyampaikan P-4 kepada masyarakat sekitarnya dengan bahasa dan cara yang mudah dipahami dan dihayati oleh masyarakat. Pemimpin itu meliputi seluruh strata dalam masyarakat, seperti golongan agama, pegawai Republik Indonesia, petani, buruh, nelayan, pemuda, wanita, pemuka adat, dan semua pemimpin rakyat.
3.      Pendekatan sasaran khalayak
Masyarakat indonesia adalah masyarakat yang berbhineka dan heterogen. Karena itu dalam memasyarakatkaan dan membudayakan P-4 harus memperhatikan sasaran khalayak. Untuk itu perlu dipilih metode tertentu untuk sasaran khalayak tertentu, memberi contoh yang didukung oleh nilai budaya luhur yang dianut khalayak tertentu dan penyampaian gagasan dengan dialog yang terbuka dan jujur.

Maka dari itu, semua pihak harus diberi peluang dan kebebasan untuk mengenmabngkan diri agar tetap terus terpeliharanya kreativitas dan prakarsa serta dinamika kehidupan bermasyarakat, bebangsa, dan bernegara.

DAFTAR PUSTAKA
Pedoman Penghayatan dan pengamalan Pancasila, (Jakarta : BP-7 PUSAT, 1996)

MAKALAH “PENGELOLAAN SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL (TINGKAT TINGGI)”

MAKALAH   “PENGELOLAAN SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL (TINGKAT TINGGI)”  

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokraris serta bertanggung jawab.Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sistem pendidikan Indonesia  yang telah di bagun dari dulu sampai sekarang ini, teryata masih belum mampu sepenuhnya menjawab kebutuhan dan tantangan global untuk masa yang akan datang, Program pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan yang selama ini menjadi fokus pembinaan masih menjadi masalah yang menonjol dalam dunia pendidikan di Indonesia ini.
Sementara itu jumlah penduduk usia pendidikan dasar yang berada di luar dari sistem pendidikan nasional ini masih sangatlah banyak jumlahnya, dunia pendidikan kita masih berhadapan dengan berbagai masalah internal yang mendasar dan bersifat komplek, selain itu pula bangsa Indonesia ini  masih menghadapi sejumlah problematika yang sifatnya berantai sejak jenjang pendidikan mendasar sampai pendidikan tinggi.
Kualitas pendidikan di Indonesia masih jauh yang di harapkan, oleh karena itu upaya untuk membagun SDM yang berdaya saing tinggi, berwawasan iptek, serta bermoral dan berbudaya bukanlah suatu pekerjaan yang gampang, di butuhkanya partisipasi yang strategis dari berbagai komponen yaitu: Pendidikan awal di keluarga, Kontrol efektif dari masyarakat, dan pentingnya penerapan sistem pendidikan pendidikan yang khas dan berkualitas oleh Negara.

B.     RUMUSAN MASALAH
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1.      Apa Pengertian Sistem Pendidikan?
2.      Apa saja Komponen Sistem Pendidikan?
3.      Apa saja Dasar, Tujuan dan Fungsi Pendidikan Nasional?
4.      Apa saja Kelembagaan dan Pengelolaan Pendidikan dan Kurikulum/Program Pendidikan?
5.      Bagaimanakah Pengelolaan Sistem Pendidikan Nasional Tingkat Tinggi?

C.    TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Mahasiswa mampu memahami Sistem Pendidikan.
2.      Mahasiswa mampu memahami berbagai komponen dari Sistem Pendidikan.
3.      Mahasiswa mampu memahami Dasar, Tujuan dan Fungsi Pendidikan Nasional
4.      Mahasiswa mampu memahami Kelembagaan dan Pengelolaan Pendidikan dan Kurikulum/Program Pendidikan
5.      Mahasiswa mampu memahami Pengelolaan Sistem Pendidikan Nasional Tingkat Tinggi.









BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN SISTEM PENDIDIKAN & PENDIDIKAN NASIONAL
Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani “systema”, yang berarti sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan (Ihsan, 2005:107). Istilah sistem dipakai untuk menunjukkan beberapa pengertian, salah satunya adalah sistem dapat dipakai untuk menunjukkan sehimpunan gagasan atau ide yang tersusun dan terorganisasi sehingga membentuk suatu kesatuan yang logis.
Idris dalam Ihsan (2005:108) mengemukakan bahwa “sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri atas komponen-komponen atau elemen-elemen atau unsur-unsur sebagai sumber-sumber yang mempunyai hubungan fungsional yang teratur, tidak sekedar acak, yang saling membantu untuk mencapai suatu hasil (product).” Sistem aka nada dalam kehidupan kita, tidak terkecuali pada pendidikan. Sistem pendidikan akan membuat hasil yang dikehendaki lebih mudah dicapai. Menurut Sunarya dalam Ihsan (2004;114) “Pendidikan nasional adalah suatu sistem pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oieh falsafah hidup suatu bangsa dan tujuannya bersifat mengabdi kepada kepentingan dan cita-cita national bangsa tersebut.”
“Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional (Munib, 2010:139).” Dalam pengertian umum sistem pendidikan adalah jumlah keseluruhan dari bagian-bagiannya yang saling bekerjasama untuk mencapai hasil yang diharapakan berdasarkan atas kebutuhan yang telah ditentukan. Setiap sistem pasti mempunyai tujuan, dan semua kegiatan dari semua komponen atau bagian-bagiannya adalah diarahkan untuk tercapainya tujuan terebut. Karena itu, proses pendidikan merupakan sebuah sistem, yang disebut sebagai sistem pendidikan.



B.     KOMPONEN SISTEM PENDIDIKAN
Pendidikan merupakan suatu usaha untuk mencapai suatu tujuan pendidikan. Suatu usaha pendidikan menyangkut unsur pokok, yaitu unsur masukan, unsur proses usaha itu sendiri dan unsur hasil usaha. Hubungan ketiga unsur itu dapat digambarkan sebagai berikut (Ihsan, 2004:110):

Proses Pendidikan Sebagai Sistem

Masukan
Keluaran/ Hasil
Proses Usaha

Komponen dalam sistem pendidikan disebutkan oleh Combs dalam Ihsan (2004:111) yaitu sebagai berikut:
1.      Tujuan dan Prioritas
Fungsinya mengarahkan kegiatan sistem. Hal ini merupakan informasi tentang apa yang hendak dicapai oleh sistem pendidikan dan urutan pelaksanaannya.Contoknya ada tujuan umum pendidikan,yaitu tujuan yang tercantum dalam peraturan perundangan negara, yaitu tujuan pendidikan nasional, ada tujuan institusional, yaitu tujuan lembaga tingkat pendidikan dan tujuan program, seperti S1 ,S2 ,S3, dan tujuan kulikuler,yaitu tujuan setiap suatu mata pelajaran/mata kuliah. Tujuan yang terakhir ini dibagi dua pula, yaitu tujuan pengajaran (instrusional) umum dan tujuan pengajaran (instruksional khusus).
2.      Peserta Didik
Fungsinya ialah belajar. Diharapkan peserta didik mengalami proses perubahan tingkah laku sesuai dengan tujuan sistem pendidikan.Contohnya, berapa umurnya, berapa jumblahnya, bagaimana tingkat perkembangannya, pembawaannya, motivasinya untuk belajar, dan sosial ekonomi orang tuanya.
3.      Manajemen atau Pengelolaan
Fungsinya mengkoordinasikan, mengarahkan, dan menilai sistem pendidikan. Komponen ini bersumber pada sistem nilai dan cita-cita yang merupakan tenytang pola kepemimpinan dalam pengelolaan sistem pendidikan, Contohnya pemimpin yang mengelola system pendidikan itu bersifat otoriter,demokratis, atau laissez-faire.
4.      Struktur dan Jadwal Waktu
Fungsinya mengatur pembagian waktu dan kegiatan.Contohnya, pembagian waktu ujian, wisuda, kegiatan perkuliahan, seminar, kuliah kerja nyta, kegiatan belajar mengajar dan program pengamalan lapangan.
5.      Isi dan Bahan Pengajaran
Fungsinya untuk menggambarkan luas dan dalamnya bahan pelajaran yang harus dikuasai peserta didik. Juga mengarahkan dan mempolakan kegiatan-kegiatan dalam proses pendidikan. Contohnya, isi bahan pelajaran untuk setiap mata pelajaran atau mata kuliah, dan untuk pengalaman lapangan.
6.      Guru dan Pelaksana
Fungsinya menyediakan bahan pelajaran dan menyelenggarakan proses belajar untuk peserta didik. Selain itu, guru dan pelaksana juga berfungsi sebagai pembimbing, pengaruh, untuk menumbuhkan aktivitas peserta didik dan sekaligus sebagai pemegang tanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan.Contonya, pengalaman dalam mengajar, status resminya guru yang sudah di angkat atau tenaga sukarela dan tingkatan pendidikannya.
7.      Alat Bantu Belajar
Maksudnya adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan, yang berfungsi untuk mempermudah atau mempercepat tercaainya tujuan pendidikan. Contohnya: film, buku, papan tulis, peta.
8.      Fasiliatas
Fungsinya untuk tempat terselenggaranya proses pendidikan.Contohnya, gedung dan laboraterium beserta perlengkapannya.
9.      Teknologi
Fungsinya memperlancar dan meningkatkan hasil guna proses pendidikan. Yang dimaksud dengan teknologi ialah semua teknik yang digunakan sehingga sistem pendidikan berjalan denhgan efisien dan efektif.Contohnya, pola komonikasi satu arah, artinya guru menyamoaikan pelajaran dengan berceramah, peserta didik mendengarkan dan mencatat:atau pola komonikasi dua arah, artinya ada dialog antara guru dan peserta didk.
10.  Pengawasan Mutu
Fungsinya membina peraturan-peraturan dan standar pendidikan. Contohnya, peraturan tentang penerimaan anak/peserta didik dan staf pengajar, peraturan ujian dan penilaian.
11.  Penelitian
Fungsinya untuk memperbaiki dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan penampilan sistem pendidikan.Contohnya, dulu bangsa Indonesia belum mampu membuat kapal terbang dan mobil tetapi sekarang bangsa Indonesia sudah pandai. Sebelum tahun 1980-an, kebanyakan perguruan tinggi di Indonesia belum melaksanakan system satuan kredit semester (SKS), sekarang hamper seluruh perguruan tinggi telah melaksanakannya.
12.  Biaya
Fungsinya melancarkan proses pendidikan dan menjadi petunjuk tentang tingkat efisiensi sistem pendidikan.Contohnya, sekarang biaya pendidkan menjadi tanggung jawabbersama antara keluarga, pemerintah dan masyarakat.

C.    HAKIKAT, TUJUAN DAN FUNGSI PENDIDIKAN NASIONAL
Pancasila yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 adalah dasar Negara, kepribadian, tujuan dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Munib (2010:140) menyatakan bahwa Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.2 Tahun 1989 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 dilakukan dalam rangka memperbarui visi, misi dan strategi pendidikan nasional.
Fungsi dan tujuan tercantum di dalam UU No 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 adalahmengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalamrangka mencerdaskah kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

D.    KELEMBAGAAN DAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN
Menurut Munib (2010:143) “kelembagaan, program dan pengelolaan pendidikan pada dasarnya merupakan dari sistem pendidikan secara keseluruhan.” Tujuan dari pendidikan akan tercapai dengan dukungan komponen-komponen yang ada dalam pendidikan. berikut akan dibahas tentang kelembagaan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
1.      Kelembagaan Pendidikan
Menurut UU RI No.2 Tahun 1989 kelembagaan pendidikan akan diurai dalah uraian berikut. Dalam Ihsan (2004:127) “ditinjau dari segi kelembagaan maka penyelenggaraan pendidikan di Indonesia melalui dua jalur, yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah.  Jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan di sekolah melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan berkesinambungan, sedangkan jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melaui kegiatan belajar mengajar tidak harus berjenjang dan berkesinambungan.’
2.      Jenis Pendidikan
Pasal 15 UU No.20 Tahun 2003 menyebutkan jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akdemik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus. Berikut adalah penjelasan dari masih-masing jenis pendidikan menurut Munib (2010:150).
Pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.Pendidikan kejuruan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja pada bidang tertentu. Pendidikan akademik adalah pendidikan yang diarahkan terutama pada penguasaan ilmu pengetahuan. Sementara pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersilahkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Pendidikan vokasi yakni pendidikan tinggi yang mempersiapkan karena peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program sarjana.
Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan dasar, menengah dan tinggi yang memeprsiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntuk penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Selanjutnya pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inkhusif berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.
3.      Jalur Pendidikan
Untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan nasional, maka kegiatan pendidikan dilaksanakan melalui tiga jalur sebagaimana yang tertuang dalam UU No.20 Tahun 2003 Pasal l3 (1) yang secara lengkap berbunyi: "Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang saling dapat melengkapi dan memperkaya". Ayat (1) tersebut dilanjutkan dengan ayat (2) yang selengkapnya berbunyi: "Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan dengan sistem terbuka melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh.
4.      Jenjang Pendidikan
Berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang akan dikembangkan. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi (UU No.20 Tahun 2003 PasaI14).
Jenjang pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah [Pasal 17 (1)], pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMI ) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat [Pasal 17 (2)]. Untuk selanjutnya ketentuan mengenai pendidikan dasar ini akan diatur melalui Peraturan Pemerintah.
Adapun jenjang pendidikan menengah diatur dalam pasal 18 (1,2,3 dan 4) yang berturut-turut dijelaskan sebagai berikut. Ayat (1) Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar; (2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan; (3) Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat; (4) Ketentuan mengenai pendidikan menengah sebagaimana yang dimaksud lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah. Selanjutnya untuk jenjang pendidikan tinggi diatur dalam pasal 19,20 dan 21,22,23,24, dan 25. 
5.      Kurikulum/Program Pendidikan
Menurut Sujana dalam Tirtaraharja dan S. L. La Sulo (2010:269) istilah “kurikulum asal mulanya dari dunia olah raga pada zaman yunani kuno. “Curir” dalam bahasa Yunani Kuno berarti “pelari” dan “Curere” artinya “tempat berpacu”. Kurikulum kemudian diartikan “jarak yang harus ditempuh” oleh pelari. Namum menurut Zais dalam ranah pendidikan kurikulum dianalogikan sebagai area tempat peserta didik “berlari” untuk mencapai “finis”. Berupa ijazah, diploma atau kelar.”
Menurut Ihsan (2004132) “Kurikulum yang berlaku secara nasional ditetapkan oleh menteriatau menteri lain maupun pimpinan lembaga pemerintah non departemen berdasarkan perlimpahan wewe­nang dari menteri. Isi kurikulum merupakan susunan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan penyelenggaraan saruan pendidikan jyang bersangkutan dalam rangka upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional”.
Ketentuan kurikulum terdapat pada UU No, 20/2003 pada pasal 36, 37 dan 38 sebagai berikut:
Pasal 36
(1)      Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
(2)      Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
(3)      Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a. peningkatan iman dan takwa;  b. peningkatan akhlak mulia;  c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;  d. keragaman potensi daerah dan lingkungan; e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;  f. tuntutan dunia kerja;  g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;  h. agama;  i. dinamika perkembangan global; dan  j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
(4)      Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 37
(1)    Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
a. pendidikan agama; b. pendidikan kewarganegaraan; c. bahasa; d. matematika; e. ilmu pengetahuan alam; f. ilmu pengetahuan sosial; g. seni dan budaya; h. pendidikan jasmani dan olahraga; i. keterampilan/kejuruan; dan j. muatan lokal.
(2)    Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:
a. pendidikan agama; b. pendidikan kewarganegaraan; dan c. bahasa.
(3)    Ketentuan mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 38
(1)      Kerangka  dasar  dan  struktur  kurikulum  pendidikan  dasar  dan menengah  ditetapkan  oleh Pemerintah.
(2)      Kurikulum  pendidikan  dasar  dan  menengah  dikembangkan  sesuai  dengan  relevansinya oleh  setiap  kelompok  atau  satuan  pendidikan  dan  komite  sekolah/madrasah  di  bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.
(3)      Kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.
(4)      Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.

E.     PENGELOLAAN SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL TINGKAT TINGGI
1.      Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi
Penyelenggaraan pendidikan tinggi adalah pelaksanaan komponen sistim pendidikan pada setiap program studi pada jalur akademik, profesi, dan vokasi yang diselenggarakan oleh politeknik, akademi, institut, sekolah tinggi, universitas dan akademi komunitas yang merupakan lanjutan dari jenjang pendidikan menengah.
Mengingat bahwa pendidikan tinggi adalah merupakan subsistem dari SPN, maka tujuan pendidikan tinggi tetap mengacu dan berpedoman pada tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan tinggi yang dimaksud adalah:
-          Berkembangnya potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa;
-          Dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa;
-          Dihasilkannya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia; dan
-          Terwujudnya pengabdian kepada masyarakat berbasis penalaran dan karya penelitian yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia dapat dilaksanakan oleh Pemerintah atau Masyarakat melalui pendirian perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang didirikan oleh Pemerintah disebut Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan oleh Masyarakat disebut Perguruan Tinggi Swasta (PTS). PTS harus terlebih dahulu membentuk badan penyelenggara berbadan hukum seperti Yayasan, perkumpulan, dan bentuk lain yang berprinsip nirlaba. Dengan demikian sangat jelas bahwa perusahaan komersial tidak dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di Indonesia. Pendirian PTN dan PTS wajib memperoleh izin Pemerintah setelah memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan aturan perundang-undangan. Pasal 60 Ayat (7) UU Pendidikan Tinggi mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian PTN dan PTS serta perubahan atau pencabutan izin PTS diatur dalam Peraturan pemerintah.
Syarat-syarat pendirian perguruan tinggi meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pembiayaan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan yang berpedoman pada ketentuan dalam SNP.
Tugas utama perguruan tinggi adalah melaksanakan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat yang dilaksanakan secara secara otonom sesuai dengan dasar dan tujuan serta kemampuan perguruan tinggi yang bersangkutan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip pengelolaan perguruan tinggi yang telah ditetapkan di dalam undang-undang, yaitu akuntabel, transparan, nirlaba, berkualitas, efektif dan efisien. Otonomi pada perguruan tinggi meliputi bidang akademik yaitu penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan tridharma, dan bidang non akademik yaitu penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan dan sarana prasarana.  Otonomi pada PTS diserahkan kepada badan penyelenggara sementara bagi PTN ditentukan oleh Mendikbud melalui penetapan PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan menjadi PTN badan hukum. PTN dengan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum memiliki tata kelola dan kewenangan pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Salah satu bentuk tanggung jawab Menteri atas penyelenggaraan pendidikan adalah pengawasan. Pasal 200 PP No. 17 tahun 2010 menyebutkan bahwa :
1)      Pengawasan pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan mencakup: Pengawasan administratif dan teknis edukatif yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2)      Pemerintah melaksanakan:
a.       Pengawasan secara nasional terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan tinggi;
b.      Pengawasan secara nasional terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah yang menjadi kewenangannya;
c.       Pengawasan terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan indonesia di luar negeri;
d.      Koordinasi pengawasan secara nasional terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah; dan
e.       Pengawasan terhadap penggunaan dana anggaran pendapatan belanja negara oleh pemerintah daerah untuk pendidikan.

Pengawasan pendidikan dilaksanakan dalam rangka rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu yang mengacu pada SNP yang meliputi : a. Standar isi; b. Standar proses; c. Standar kompetensi lulusan; d. Standar pendidik dan tenaga kependidikan; e. Standar sarana dan prasarana; f. Standar pengelolaan; g. Standar pembiayaan;dan h. Standar penilaian pendidikan.
PP No. 66 tahun 2010 menyatakan bahwa pengawasan terhadap terhadap rektor, ketua, atau direktur (PTN) pada bidang akademik dilakukan oleh Senat masing-masing perguruan tinggi. Sementara pengawasan terhadap PTS dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara.
Pengawasan pada bidang keuangan pada PTN tergantung pada status PTN tersebut; PTN dengan pola keuangan Badan Layanan Umum, pengawasannya tuntuk pada PP No. 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Sistem penjaminan mutu Pendidikan Tinggi (SPMPT) adalah kegiatan sistemik untuk meningkatkan mutu Pendidikan Tinggi secara berencana dan berkelanjutan yang dilaksanakan melalui penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan peningkatan standar Pendidikan Tinggi.
Sedangkan pengawasan terhadap keuangan PTS tidak diatur, karena otonomi PTS ditentukan oleh badan penyelenggara. SPMPT terdiri dari Sistem penjaminan mutu internal yang dikembangkan oleh Perguruan Tinggi dan sistem penjaminan mutu eksternal yang dilakukan melalui akreditasi. Akreditasi merupakan kegiatan penilaian sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan berdasarkan SNPT untuk menentukan kelayakan program studi dan perguruan tinggi. Akreditasi perguruan tinggi dilakukan oleh BAN-PT, sedangkan Akreditasi Program Studi dilakukan oleh lembaga akreditasi mandiri. Proses Akreditasi Program Studi Pada bidang pengawasan akademik ini, tidak ada perbedaan antara PTN dan PTS karena dalam proses akreditasi keduanya mengikuti prosedur yang sama dan dilaksanakan oleh institusi yang sama, yaitu BAN-PT

2.      Pasal-Pasal Pengelolaan Sistem Pendidikan nasional Tingkat Tinggi dalam UU No. 20 tahun 2003
Telah dijelaskan sebelumnya bahwasannya untuk pengelolaan sistem pendidikan tingkat tinggi telah diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 pada pasal 19, 20 dan 21, 22, 23, 24, dan 25. Adapun penjelasan selengkapnya adalah sebagai berikut.
Pasal 19
(1)   Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka.
Pasal 20
(1)    Perguruan tinggi dapat berbentuk akademik- politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.
(2)    Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat,
(3)    Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/aiau vokasi.
(4)    Ketentuan mengenai perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 21
(1)        Perguruan  tinggi  yang  memenuhi  persyaratan  pendirian  dan  dinyatakan  berhak menyelenggarakan  program  pendidikan  tertentu  dapat  memberikan  gelar  akademik, profesi, atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakannya.
(2)        Perseorangan,  organisasi,  atau  penyelenggara  pendidikan  yang  bukan  perguruan  tinggi dilarang memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
(3)        Gelar akademik, profesi, atau vokasi hanya digunakan oleh lulusan dari perguruan tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
(4)        Penggunaan  gelar  akademik,  profesi,  atau  vokasi  lulusan  perguruan  tinggi  hanya dibenarkan  dalam  bentuk  dan  singkatan  yang  diterima dari  perguruan  tinggi  yang bersangkutan.
(5)        Penyelenggara  pendidikan  yang  tidak  memenuhi  persyaratan  pendirian  sebagaimana dimaksud  pada  ayat  (1)  atau  penyelenggara  pendidikan  bukan  perguruan  tinggi  yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa penutupan penyelenggaraan pendidikan.
(6)        Gelar  akademik,  profesi,  atau  vokasi  yang  dikeluarkan  oleh  penyelenggara  pendidikan yang tidak sesuai dengan ketentuan ayat (1) atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)dinyatakan tidak sah.
(7)        Ketentuan  mengenai  gelar  akademik,  profesi,  atau  vokasi  sebagaimana  dimaksud  pada ayat  (1),  ayat  (2),  ayat  (3),  ayat  (4),  ayat  (5),  dan  ayat  (6)  diatur  lebih  lanjut  dengan peraturan pemerintah.
Pasal 22
Universitas, institut, dan sekolah tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor  kehormatan  (doktor  honoris  causa)  kepada  setiap  individu  yang  layak  memperoleh penghargaan  berkenaan  dengan  jasa-jasa  yang  luar  biasa  dalam  bidang  ilmu  pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni.
Pasal 23
(1)    Pada  universitas,  institut,  dan  sekolah  tinggi dapat  diangkat  guru  besar  atau profesor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)    Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi.
Pasal 24
(1)        Dalam  penyelenggaraan  pendidikan  dan  pengembangan  ilmu  pengetahuan,  pada perguruan  tinggi  berlaku  kebebasan  akademik  dan  kebebasan  mimbar  akademik  serta otonomi keilmuan.
(2)        Perguruan  tinggi  memiliki  otonomi  untuk  mengelola  sendiri  lembaganya  sebagai  pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.
(3)        Perguruan  tinggi  dapat  memperoleh  sumber  dana  dari masyarakat  yang  pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik.
(4)        Ketentuan  mengenai  penyelenggaraan  pendidikan  tinggi  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 25
(1)      Perguruan tinggi menetapkan persyaratan kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
(2)      Lulusan  perguruan  tinggi  yang  karya  ilmiahnya  digunakan  untuk  memperoleh  gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya.
(3)      Ketentuan mengenai persyaratan kelulusan dan pencabutan gelar akademik, profesi, atau vokasi  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dan  ayat  (2)  diatur  lebih  lanjut  dengan peraturan pemerintah.














BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Sistem pendidikan merupakan jumlah keseluruhan dari bagian-bagiannya yang saling bekerjasama untuk mencapai hasil yang diharapakan berdasarkan atas kebutuhan yang telah ditentukan. Setiap sistem pasti mempunyai tujuan, dan semua kegiatan dari semua komponen atau bagian-bagiannya adalah diarahkan untuk tercapainya tujuan terebut. Pendidikan merupakan suatu sistem yang mempunyai unsur-unsur tujuan/sasaran pendidikan, peserta didik, pengelola pendidikan, struktur atau jenjang, kurikulum dan peralatan/fasilitas.
Pendidikan nasional merupakan suatu usaha untuk membimbing para warga negara Indonesia menjadi pacasila, yang berpribadi, berdasarkan akan Ketuhanan berkesadaran masyarakat dan mampu membudayakan alam sekitar. Serta tujuan dari pendidikan nasional itu yakni membangun kualitas manusia yang bertakwa kpada Tuhan yang Maha Esa dan selalu dapat meningkatkan kebudayaan dengan-Nya sebagai warga negara yang berjiwa pancasila mempunyai semangat dan kesadaran yang tinggi, berbudi pekerti yang luhur dan berkribadian yang kuat, cerdas, terampil, dapat mengembangkan dan menyuburkan sikap demokrasi, dapat memelihara hubungan yang baik antara sesama manusia dan dengan lingkungannya, sehat jasmani, mampu mengembangkan daya estetik, berkesanggupan untuk membangun diri dan masyarakatnya.
Penyelenggaraan pendidikan tinggi adalah pelaksanaan komponen sistim pendidikan pada setiap program studi pada jalur akademik, profesi, dan vokasi yang diselenggarakan oleh politeknik, akademi, institut, sekolah tinggi, universitas dan akademi komunitas yang merupakan lanjutan dari jenjang pendidikan menengah. Pengelolaan sistem pendidikan tingkat tinggi telah diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 pada pasal 19, 20 dan 21, 22, 23, 24, dan 25.

B.     KRITIK DAN SARAN
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan baik dari segi materi maupun penyusunan dalam makalah ini. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan agar kiranya dosen pengampuh dan rekan-rekan pembaca sudi memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan makalah ini kedepannya.


























DAFTAR PUSTAKA

Kelembagaan Ristekdikti. 2003. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Th 2003.di akses melalui http://kelembagaan.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/08/UU_no_20_th_2003.pdf pada tanggal 19 Oktober 2017 Pukul 16.00 WIB
Ikhsan, Fuad. 2005. Dasar-Dasar Kependidikan. Rineka Cipta. Jakarta
Munib, Achmad, Budiyono dan Sawa Suryono. 2010. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: Unnes Press
Tirtarahardja, Umar dan S. L. La Sulo. 2010. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Universitas Sumatera Utara. Pengaturan Pendidikan Tinggi Sebagai Subsistem Dari Sistem Pendidikan Nasional Indonesia diakses melalui : http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/51438/Chapter%20II.pdf?sequence=3 pada tanggal 19 Oktober 2017 Pukul 17.02 WIB.





















 


KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik.
Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Dasar-Dasar Pendidikan dengan memuat tentang “ Pengelolaan Sistem Pendidikan Nasional (Tingkat Tinggi). Selain itu penulis berharap dengan adanya makalah ini dapat menambah pengetahuan kepada kita semua seberapa pentingnya sistem pendidikan nasional itu, dan  mengetahui begitu berperan pentingnya sistem pendidikan nasional terhadap dunia pendidikan.
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan agar kiranya dosen pengampuh dan rekan pembaca sudi memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan makalah ini kedepannya.



                                                      Bengkulu,   Oktober 2017


Penulis


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG MASALAH.................................................. 1
B.       PERUMUSAN MASALAH.............................................................. 2
C.       TUJUAN PENULISAN..................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.      PEGERTIAN SISTEM PENDIDIKAN DAN PENDIDIKAN
NASIONAL........................................................................................ 3
B.       KOMPONEN SISTEM PENDIDIKAN............................................ 4
C.       HAKIKAT, TUJUAN DAN FUNGSI PENDIDIKAN
NASIONAL........................................................................................ 6      
D.      KELEMBAGAAN DAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN......... 7
E.       PENGELOLAAN SISTEM PENDIDIKAN TINGKAT TINGGI.. 11
BAB III PENUTUP
A.      KESIMPULAN.................................................................................. 18
B.       KRITIK DAN SARAN...................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA