MAKALAH QAWAID FIQHIYAH KAIDAH-KAIDAH POKOK DAN KAIDAH-KAIDAH CABANG
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Qawaidul fiqhiyah
(Kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semuakhususnya
mahasiswa fakultas tarbiyah. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada
yang belum mengerti sama sekali apa itu
Maka dari itu, saya selaku penulis mencoba untuk
menerangkan tentang kaidah-kaidah pokok, dan kaidah-kaidah cabang. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari
solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam
masyarakat
B. Rumusan masalah
1. Apa
yang dimaksud Kaidah-Kaidah Syar'iyyah dan Dalil-Dalil?
2. Apa
saja Kaidah yang Bersifat Kebahasaan?
3.
Apa yang dimaksud Kaidah-Kaidah
Pokok?
4.
Apa saja Kaidah-Kaidah Cabang?
PEMBAHASAN
A. Kaidah-Kaidah
Syar'iyyah dan Dalil-Dalil
Kaidah-kaidah
syar'iyyah dan dalil-dalil. Sebagai contoh:
Hukuman
had hanya berkaitan dengan perbuatan keji.
Pada
dasarnya suatu penntah menunjuk pengertlan wajib, selama tidak terdapat dalil
lain yang menunjuk pengertian yang berbeda.
Pada
dasarnya suatu larangan menunjuk pengertlan haram, selama tidak ada dalil lain
yang menunjuk pengertan yang berbeda.
B. Kaidah yang Bersifat
Kebahasaan.
Kaidah-kaidah kebahasaan menjadi Penting dalam ilmu
ushul fiqh. karena sumber hukum Islam yang utama adalah Alquran dan hadis,
sedangkan keduanya menggunakan bahasa Arab. Oleh karena itu, orang tidak
mungkin dapat memahami kedua sumber tersebut dengan benar, dan dapat menarik
kesimpulan hukum syara' dari Alquran dan hadis, tanpa memahami dan mengetahui
kaidah-kaidah kebahasaannya dengan baik pula, baik dari segi mengetahui gaya
bahasanya maupun mengetahui cara-cara penggunaan kata-katanya untuk menunjuk
suatu pengertian tertentu. Contoh kaidah kebahasaan:
Lafal
yang bersifat umum menunjuk semua pengertian parsialnya secara pasti, selama
tidak dibatasi (di-takhshish) maknanya.
Dalam
menggunakan suatu lafal yang mengandung lebih dari satu makna, pengertian yang
dimaksudkannya hanya menunjuk satu makna tertentu saja.
1.
Kaidah-kaidah yang
terdapat dalam ushul fiqh berfungsi untuk menarik dan melahirkan hukum-hukum
syara'. Dengan demikian, kaidah kaidah yang tidak berfungsi menarik kesimpulan
yang melahirkan hukum-hukum syara', (misalnya hukum kebiasaan/adat, dan hukum
akal/logika) tidak disebut kaidah ushul fiqh.
2.
Ditegaskan pula, bahwa
hukum-hukum fiqh yang dihasilkan itu bersifat amaliyah (perbuatan manusia (balk
aktifIberbuat. Maupun pasif/tidak berbuat). Artinya, bukan yang berkaitan
dengan akidah/ keyakinanikepercayaan, karena hal itu dibahas dalam ilmu kalam.
Dapat dijelaskan, perlunya penegasan pada definisi di atas bahwa yang
dibicarakan adalah perbuatan manusia, karena sebagian besar masalah yang
dibahas berkaitan dengan perbuatan manusia. Namun demikian, di dalam fiqh dan
ushul fiqh terdapat juga hukum-hukum yang tidak secara langsung berkaitan dengan
perbuatan manusia.Misalnya, tentang status seseorang yang menimbulkan efek
hukum, seperti: status seseorang sebagai hamba, janda, anak_anak, sifat gila,
terpaksa dan lain-lain, yang semua itu bukan termasuk perbuatan manusia, tetapi
juga dibicarakan dalam figh/ushul fiqh.
3.
Hukum- hukum fiqh yang
disimpulkan dari Alquran dan sunnah merupakan hasil ijtihad. Artinya,
hukum-hukurn tersebut tidak secara langsung ditegaskan oleh Al-Qur’an dan,
sunnah. tatapi lahir berdasarkan hasil pernikiran dan kerja keras para ulama
dalam memahami hukum- hukum yang terdapat dalam nashsh-nashsh Al-quran dan
sunnah/hadis.[1]
4.
Karena hukum-hukum
tersebut tidak secara langsung berasal dari Alquran dan sunnah, maka tingkat
kekuatan hukum-hukum tersebut hanya bersifat zhanni (relative, kuat
dugaan), bukan bersifat qath’i (absolute, pasti benar) .
C. Qawa`id Fiqhiyyah
Qawa`id Fiqhiyyah terdiri atas dua kata yang berasal dari bahasa Arab yaitu, gawa id
dan fiqhiyyah. Kata gawa id merupakan bentuk jamak (plural) dari kata qa idah.
Kata ini telah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kaidah, dengan
pengertian yang lebih kurang sauna dengan yang terdapat dalam bahasa Arab.
Lebih jauh dapat dijelaskan, bahwa di dalam
penggunaan bahasa Arab, kata gawa'idsecara etimologi berarti asas atau dasar
dan fondasi. balk dalam pengertian konkret, seperti kata qawa’ id al-buyut yang berarti fondasi bangunan rumah, maupun dalam
pengertian abstrak, seperti, qawa’ id
ad-din, yang berarti dasar-dasar agama.
Penggunaan kata qawa ‘id dalam pengertian fondasi dapat
ditemukan dalam Aiquran, antara lain. firman Allah pada surah al-Baqarah (2):
127:
Dan
(ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah beserta Ismail.
D.
KAIDAH-KAIDAH POKOK
Adapun kaidah-kaidah pokok terdiri dari lima yaitu :
Kaidah kaidah fiqih yang terpenting dalam diskursus kajian hukum
Islam adalah sebagai berikut : [2]
1.
Qaidah pertama : ( الأ
مور بمقا صد ها ) Setiap perkara tergantung kepada niatnya
Maksud
dari kaidah ini menjelaskan bahwa setiap tindakan seorang mukallah akan
mempunyai beban hukum dan hasil (natijah) yang berbeda beda tergantung niat
atau maksudnya .
2.
Qaidah
kedua
( ا لضر ا ر يز ا ل ) Kemudaratan harus dihilangkan
Konsep kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus
dijauhkan dari idhrar (tindakan menyakiti), baik oleh dirinya sendiri maupun
oleh orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada
orang lain.
3.
Qaidah
ketiga
أ لعا د
ة محكمة Adat kebiasaan dapat dipertimbangkan menjadi hukum
Adat
kebiasaan berdasarkan sunnah Nabi Muhammad SAW adalah : أ
لإ سثمر ا ر علي شيء مقبو ل للطبع ا لسليم و ا لمعا و د ة إليه مر ة بعد أخر. و هي
المر اد ة با لعر ف ا لعملي
Artinya
:
Membiasakan sesuatu yang
dapat diterima oleh tabi,at yang sehat dan mengulang- ulangnya. Adat identik dengan urf amali
(Tradisi/kebiasaan)
Menurut Muhammad al-Zarqa
(w.137 H), adat dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu : ammah dan khassah. Adat ammah (adat
umum) maksudnya adalah suatu perbuatan atau prilaku yang berlaku
umum di seluruh negara, sedangkan 'adat khassah (adat
khusus) maksudnya adalah suatu perbuatan atau prilaku yang berlaku
umum di sebuah negara. Dengan demikian , kata Muhammad al-Zarqa (w.137 H) Baik adat yang umum
maupun adat yang khusus apabila tidak ada nash ( al-Qur;an dan Sunnah) yang
menentangnya maka adat dapat dijadikan hujah syara.
Tetapi apabila adat
yang yang umum dan adat yang kususu bertentangan dengan (al-Qur;an
dan sunnah Rasul) maka perbuatan tersebut tertolak. Sumber hukum qaidah
fiqih ini adalah hadits Rasulullah SAW yang berbunyi :
مَنْ
عَمَلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَ مْرُ نَا فَهَوَ رَ دٌّ
Artinya :
Barang siapa yang
mengerjakan suatu amalan , tampa di dasari perintah kami, maka tertolak ( H.r. Muslim )
4.
Qaidah
ke empat
( ا ليقن لا يز ا با لسك ) Keyakinan tidak dapat digugurkan oleh keraguan
Kaidah ini menjelaskan
bahwan eksitensi keyakinan tidak akan hilang oleh keraguan. Keyakinan dapat
hilan apabila didukung oleh dasar hukum (dalil) yang pasti (qa,thi)
Diantara dasar hukum qaidah ini adalah Firman Allah SWT berbunyi :
Artinya :
"Dan kebanyakan
mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan
itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran "(QS.YUNNUS : 36)
5.
Qaidah
kelima
( ا لْمَشَقَهَ تَجْلِبُ ا لتَيْسير )
Kesulitan (kesempitan) dapat
menarik kemudahan Arti
Qaidah fiqih ini menjelaskan sesuatu kesusahan mengharuskan adanya kemudahan.
Maksudnya, suatu hukum yang mengandung kesusahan dalam pelaksanaanya atau
memadaratkan dalam pelaksanaanya, baik kepada jiwa, ataupun harta seorang
mukalaf, diringankan sehingga tidak memadaratkan lagi. Keringanan tersebut
dalam dalam Islam dekenal dengan istilah rukhsah
E.
KAIDAH-KAIDAH
CABANG
a. Kaidah
Cabang (Furu’) Dari Kaidah Pokok Pertama
Kaidah
di atas memiliki beberapa cabang, atau yang disebut kaidah furu’. Berikut
beberapa kaidah furu’ dari kaidah pokok pertama: Tidak ada pahala kecuali dengan
niat.”
Perbuatan
baik maupun perbuatan buruk itu tergantung pada niat si pelaku, jika perbuatan
itu diniati baik maka akan mendapatkan pahala, tetapi jika perbuatan itu
diniati buruk maka tidak akan mendapat pahala. “Yang dianggap dalam aqad
adalah maksud-maksud, bukan lafadz-lafadz dan bentuk-bentuk perkataan.”[3]
Tidak
sahnya berpegang kepada harfiyah lafadz apabila terbukti bahwa qasod (maksud)
dan niat bukan sebagai yang dilafadzkan itu. “Dalam amal yang disyaratkan
menyatakan niat, maka kekeliruan pernyataan membatalkan amalnya.”Perbuatan yang apabila salah dalam niatnya, maka
perbuatan itu menjadi batal.“Maksud lafadz itu tergantung pada niat orang yang mengatakannya.”
Apabila
ucapan seseorang itu dianggap sah atau tidak, itu tergantung dari maksud orang
itu sendiri, yaitu apa maksudnya. “Sesungguhnya (perbuatan) yang
tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara keseluruhan, maupun secara
terperinci tidak disyaratkan untuk mengemukakan niat, maka bila dinyatakannya
dan ternyata keliru, maka kekeliruannya itu tidak membahayakan (tidak
membatalkan).”
Apabila
seseorang imam yang sholat dengan niatnya sebagai imam dari Muhammad, padahal
ma’mum di belakangnya adalah Mahmud. Maka sholatnya tidak batal sebab imam itu
tidak harus menyatakan niatnya tentang siapa orang yang berma’mum di
belakangnya. “Niat dalam sumpah
mengkhususkan lafadz yang umum, dan tidak pula menjadikan umumnya lafadz yang
khusus.”
Apabila
seseorang bersumpah bahwa ia tidak akan berbicara dengan seseorang, tetapi yang
dimaksud orang tertentu yaitu Hambali, maka sumpah ini hanya berlaku pada
Hambali saja, dan yang lain tidak. “Seseorang yang tidak dapat melaksanakan ibadah karena sesuatu halangan,
padahal ia berniat untuk melakukannya jika tiada halangan, maka ia mendapatkan
pahala.”
Dari kaidah-kaidah cabang diatas, terdapat
kaidah-kaidah yang dianggap paling penting dan mewakili kaidah cabang yang
lainnya, yaitu :
b.
Kaidah Furu’ dalam Transaksi
Muamalah
Sub-kaidah:
pada hakekatnya, suatu perjanjian (akad) tergantung pada niat dan maknanya,
bukan pada lafadz dan bentuknya.
Misal
: dalam kerja sama Mudharabah, jika ada ketentuan yang menyatakan
bahwa pihak yang menyediakan modal akan memperoleh semua keutungannya, maka
akad itu tidak sidebut mudharabah, tapi akad hutang.
Beberapa Akad yang tidak
dibenarkan karena Kaidah Niat
1. Bay’
al Inah
2.
Tawarruq
3.
Bay’ bil Wafa
c. Kaidah Furu’ Tentang Ibadah
1. Kaidah Pertama
اَلْجُمْعَةُ
ضُهْرٌمَقْصُوْرَةٌ أَمْ صَلَا ةُ مُسْتَقِلَّةُ؟
“Shalat Jum’at itu merupakan shalat Dzuhur yang
diringkas, ataukah shalat tersendiri?”.
2. Kaidah Kedua
الَصَّلَاةُ خَلْفَ اْلمُحْدِثِ
اْلمَجْهُوْلِ اْلحَالِ إِذَا قُلْنَا بِالصِّحَّةِ هَلْ هِيَ صَلَاةُ جَمَا عَةٍ
أَوْ اِفْرَادٍ؟
“Shalat di belakang orang yang hadats yang tidak
diketahui keadaannya, kalau kita mengagapnya sah, apakah shalat itu merupakan
shalat jama’ah ataukah shalat sendirian?”.
Pendapat pertama :
Shalat itu merupakan shalat jama’ah.
Pendapat kedua :
Shalat itu dihitung sebagaimana shalat sendirian.
3. Kaidah Ketiga
مَنْ أَتَى بِمَايُنَا فِى اْلفَرْضَ دُوْنَ النَّفْلِ فِىْ أَوَّلِ فَرْضٍ
أَوْأَثْنَا ئِهِ بَطَلَ فَرْضُهُ وَهَلْ هِىَ تَبْقَ صَلاَ تُهُ نَفْلاً
أَوْتَبْطُلُ؟
“Orang yang melakukan hal-hal yang meniadakan
fardlu bukan sunnah (seperti meninggalkan syarat atau rukun), baik pada
permulaan fardlu atau di tengahnya, maka batallah fardlunya, tetapi apakah
kemudian shalatnya menjadi sunnah ataukah batal sama sekali?”.
Pendapat pertama :
Shalatnya menjadi sunnah.
Pendapat kedua :
Shalatnya batal sama sekali.
Contoh persoalan:
4. Kaidah Keempat
هَلْ يُسْلَكُ بِهِ مَسْلَكَ اْلوَاجِبِ أَوِالْجَا ئِزِ؟ اَلنَّذْرُ
“Nadzar itu apakah berlaku sebagaimana
wajib, ataukah jaiz?”.
Pendapat pertama :
Sebagaimana wajib.
Pendapat kedua :
Berlaku jaiz.
5. Kaidah Kelima
هَلِ اْلعِبْرَةُ بِصِيَغِ الْعُقُوْدِ أَوْبِمَعَا
نِيْهَا ( قو لان )
“Apakah yang dihitung itu shighotnya aqad atau
ma’nanya“. (ada dua pendapat).
Terdapat dua pendapat yaitu qaul yang
pertama mengatakan bahwa yang dihitung itu hanya shighatnya saja bukan
maknanya. Sedangkan qaul yang kedua mengatakan bahwa yang dihitung adalah
maknanya.
6. Kaidah Keenam
اَلْعَيْنُ
اْلمُسْتَعَارَةُ لِلرَّ هْنِ هَلِ اْلمُغَلَّبُ فِيْهَا جَانِبُ الضَّمَانِ
اَوْجَانِبٌ اْلعَارِيَة ( قولان )
“Barang yang dipinjam untuk digadaikan itu
dimenangkan aspek dhoman atau aspek ariyyah“.
(ada dua pendapat).
Terdapat dua pendapat yang
berbeda yaitu qaul yang pertama mengatakan bahwa barang yang dipinjam untuk
digadaikan itu dimenangkan dhoman. Sedangkan qaul yang kedua mengatakan bahwa
barang yang dipinjam untuk digadaikan itu dimenangkan aspek ariyyah.
7. Kaidah Ketujuh
الْحَوَا لَةٌ هَلْ هِيَ بَيْعٌ اَوِ اسْتِفَا ءٌ (
خلا ف )
“Hawalah itu bernama norma jual beli atau membayar
hutang”. (perbedaan pendapat).
Terdapat dua pendapat yang
berbeda yaitu qaul yang pertama mengatakan bahwa hawalah sebagai jual beli.
Sedangkan qaul yang kedua mengatakan bahwa hawalah sebagai hutang.
8. Kaidah Kedelapan
اَلْإِرَاءُهِىَ إِسْقَاطٌ
أَوْتَمْلِيْكٌ
“Apakah ibra’ itu menggugurkan
atau menjadikan kepemilikan”.
Terdapat
dua pendapat yaitu pendapat pertama mengatakan bahwa ibra’ itu menggugurkan.
Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa ibra’itu menjadikan kepemilikan.
Contoh:
Seorang
anak memiliki hutang kepada bapaknya kemudian bapak mengibra’kan atau
membebaskan atas hutang anaknya. Pertanyaanya apakah bapak boleh rujuk
(mencabut ucapannya yang berarti tidak jadi mengibra’kan) atau tidak boleh.
Menurut pendapat yang pertama bapak tidak boleh rujuk atau mencabut ucapannya.
Sedangkan menurut pendapat yang kedua bapak boleh saja rujuk atas ucapannya.
9. Kaidah Kesembilan
اَلْإِقَالَةُ هَلْ هِيَ
فَسْخٌ أَوْبَيْعٌ
“Iqolah masuk dalam kategori
fasakh atau bai’ (jual beli kembali)“.
Iqolah
dan fasakh menurut artinya sama, akan tetapi menurut pandangan fiqih dari segi
penggunaannya fasakh artinya membatalkan persetujuan, sedangkan iqolah artinya
meninggalkan sebuah transaksi.
Terdapat
dua pendapat yang berbeda yaitu pendapat pertama mengatakan bahwa itu berarti
fasakh. Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa itu berarti bai’.
10. Kaidah
Kesepuluh
الصَّدَا قُ الْمُعَيَّنُ
فِى يَدِ الزَّوْجِ قَبْلَ الْقَبْضِ مَضْمُوْنٌ ضَمَانَ عَقْدٍ أَوْضَمَانَ يَدٍ
“Mas kawin mu’ayan yang masih
berada ditangan suami belum diserahkan kepada istrinya apakah disebut madzmun
dhoman akad ataukah madzmun yad”.
Terdapat
dua pendapat yang berbeda yaitu pendapat pertama mengatakan bahwa ditanggung
dengan dhoman akad. Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa ditanggung dengan
madzmun yad.
d.
Kaidah Fiqih Sebagai
Pemandu
Qaidah ini dapat membedakan salah satu ibadah dengan ibadah yang
lainnya. Misalnya, orang menjamak sholat dhuhur dan asar, keduanya dilakukan dalam
satu waktu dan sama-sama 4 raka’at, maka untuk membedakan ini sholat dhuhur dan
itu sholat asar adalah dengan niat.
Dapat juga memberi perbedaan ibadah dengan adat kebiasaan. Misal
mandi, mandi ini adalah hal biasa, namun jika dilakukan dengan niat ibadah,
maka mandi ini akan bernilai ibadah, misal mandi wajib, mandi sebelum ihram,
mandi sebelum sholat jum’at.
Dapat
pula membedakan yang dituju dalam ibadah. Kita masuk masjid kemudian kita
sholat 2 raka’at, ada kemungkinan kita melakukan sholat tahiyatal masjid atau
sholat sunnah qobliyah (sunnah rawatib) untuk membedaknya adalah dengan niat,
dsb.
Sebagai contoh lainnya adalah:
“Seseorang yang tidak dapat melaksanakan ibadah karena sesuatu
halangan, padahal ia berniat untuk melakukannya jika tiada halangan, maka ia
mendapatkan pahala.”
Kaidah tersebut berkaitan dengan sabda Nabi
SAW: ”Apabila seorang sakit atau
berpergian maka ia dianggap beramal sebagaimana ia dalam keadaan sehat atau
tetap di rumah.”
e. Kaidah Furu’ Tentang Sumpah
Sumpah
adalah menguatkan perkataan dengan menyebutkan sesuatu yang diagungkan dengan
bentuk kalimat tertentu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan
diatas dapat disimpulkan Peranan Niat dalam Akad / Transaksi العِبرَةُ في العُقودِ للمقاصِد و
المَعانِي لا للألفاظِ والمَبَاني Sub-kaidah: pada hakekatnya,
suatu perjanjian (akad) tergantung pada niat dan maknanya, bukan pada lafadz
dan bentuknya. Misal : dalam kerja sama Mudharabah, jika ada
ketentuan yang menyatakan bahwa pihak yang menyediakan modal akan memperoleh semua
keutungannya, maka akad itu tidak sidebut mudharabah, tapi akad
hutang. Beberapa Akad yang tidak dibenarkan karena Kaidah Niat
Kaidah Fikih Furu’ dari Kaidah Pokok Pertama Dari kaidah-kaidah
cabang diatas, terdapat kaidah-kaidah yang dianggap paling penting dan mewakili
kaidah cabang yang lainnya, yaitu : Qaidah Furu’
Tentang Transaksi (Akad) Dalam membicarakan kaidah tentang
transaksi ini, empat mazhab berbeda-beda dalam menyusun redaksinya. Hal ini
merupakan implikasi dari perbedaan mereka dalam menjawab hukum-hukum yang
terakomodir didalam kaidah tersebut. Menurut Hanafiah dan Malikiyah, bahwa
untuk menghasilkan suatu transaksi tidak harus melihat kata-kata yang terucap
pada waktu transaksi, melainkan cukup melihat inti makna atau tujuan dari
kata-kata yang diucapkan. Sedangkan dikalangan Syafi’iyah
dan Hanabilah masih terjadi khilaf untuk menentukan mana yang harus dimenangkan
antara sisi tujuan atau sisi kata-kata.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan Rahman, Ushul Fiqh, editor,Achmad Zirzis. Ed.
1, cet. 4. Jakarta : Amzah, 2016. Xiv, 362 hlm.
http://tholabullilmi.blogspot.com/2017/12/kaidah-yang-tidak-disepakati-kaidah-ke.html
[1] Dahlan
Rahman, Ushul Fiqh, editor,Achmad Zirzis. Ed. 1, cet. 4. Jakarta : Amzah, 2016.
Xiv, 362 hlm.