CARA
KERJA ILMU SOSIAL HUMANIORA DAN KEAGAMAAN
Ilmu-ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari manusia
dalam hubungannya dengan manusia-manusia lainnya. Selain itu, dapat juga
diartikan sebagai ilmu yang mempelajari perilaku dan aktivitas sosial dalam kehidupan
bersama. Jadi yang dimaksud ilmu-ilmu sosial (social sciences)
adalah kelompok disiplin ilmu yang mempelajari aktivitas manusia dalam
hubungannya dengan sesamanya. Dalam hubungan antara manusia yang satu dengan
manusia yang lain, sangat dibutuhkan ilmu sosial humaniora, karena di dalamnya
terdapat bagaimana cara berhubungan antara sesama manusia, sehingga dengan ilmu
tersebut manusia akan dapat menjalin hubungan dengan manusia yang lainnya
dengan menjalin hubungan yang baik.
Indonesia dipandang sebagai negeri muslim terbesar di
dunia agaknya bukan semata-mata karena mayoritas penduduknya beragama Islam.
Negeri ini juga memiliki jumlah lembaga pendidikan Islam terbanyak dibanding
dengan negeri-negeri muslim manapun. Sebagai umat muslim hendaknya harus mampu
mengambil makna dari Islam itu sendiri, maka sangat dibutuhkan ilmu agama
sebagai landasan dalam berhubungan antara manusia dengan tuhannya, sehingga
umat muslim bukan hanya seorang yang beragama Islam, akan tetapi lebih utama
adalah pengamalan dari Islam itu sendiri.
A.ILMU SOSIAL HUMANIORA
1.Pengertian Ilmu Sosial Humaniora
Ilmu pengetahuan dalam dinamikanya dapat diklasifikasi
menjadi beberapa kategori. Menurut Taufik Abdullah (2006:33-34), ilmu terbagi
dalam dua kategori besar yaitu ilmu eksakta dan noneksakta. Khusus ilmu
noneksakta dipilah menjadi dua ; ilmu humaniora dan ilmu sosial. Ilmu yang
berkaitan dengan filsafat, sastra, seni, dan bahasa dikategorikan dalam ilmu
humaniora, sedangkan di luar itu adalah ilmu sosial. Pendapat serupa disampaikan
Helius Syamsudin (2007:272), bahwa pengetahuan manusia (human knowledge)
umumnya dapat diklasifikasikan atas tiga kelompok besar, yaitu ilmu-ilmu
alamiah (natural sciences), ilmu-ilmu sosial (social sciences),
dan ilmu-ilmu kemanusiaan (humanities). Ilmu alamiah mengkaji lingkungan
hidup manusia, ilmu sosial mengkaji manusia dalam hubungannya dengan
manusia-manusia lainnya, dan ilmu-ilmu kemanusiaan mengkaji
manivestasi-manivestasi (eksistensi) kejiwaan manusia.
Sebagaimana disinggung di atas, bahwa ilmu-ilmu sosial
adalah ilmu yang mempelajari manusia dalam hubungannya dengan manusia-manusia
lainnya. Definisi serupa disampaikan Taufik Abdullah (2006:31), ilmu sosial
adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam kehidupan bersama.Sedangkan
Dadang Supardan (2008:34-35) menyampaikan ilmu sosial (social science)
adalah ilmu yang mempelajari perilaku dan aktivitas sosial dalam kehidupan
bersama. Jadi yang dimaksud ilmu-ilmu sosial (social sciences)
adalah kelompok disiplin ilmu yang mempelajari aktivitas manusia dalam
hubungannya dengan sesamanya.
Obyek material dari studi ilmu-ilmu sosial adalah berupa
tingkah laku dalam tindakan yang khas manusia, ia bersifat bebas dan tidak
bersifat deterministik, ia mengandung : pilihan, tanggung jawab, makna, pernyataan
privat dan internal, konvensi, motif dan sebagainya (Tim Dosen Filsafat
Ilmu.2007:4). Aktivitas manusia tersebut termasuk berpikir, bersikap, dan
berperilaku dalam menjalin hubungan sosial diantara sesamanya dan bersifat
kondisionalitas. Dengan kata lain obyek tersebut sebagai gejala sosial. Gejala sosial memiliki
karakteristik fisik namun diperlukan penjelasan yang lebih dalam untuk mampu
menerangkan gejala tersebut, sebab tidak hanya mencakup fisik tetapi juga aspek
sosiologis, psikologis, maupun kombinasi berbagai aspek.
Menurut Wallerstein (dalam Dadang Supardan.2008:34) yang
termasuk disiplin ilmu sosial adalah sosiologi, antropologi, ekonomi, sejarah,
psikologi, ilmu politik, dan hukum. Sedangkan menurut Robert Brown dalam
karyanya Explanation in Social, ilmu-ilmu sosial meliputi ; sosiologi,
ekonomi, sejarah, demografi, ilmu politik, dan psikologi (Taufik
Abdullah.2006:33). Meskipun terdapat perbedaan pendapat tentang apa yang
disebut ilmu sosial, namun semuanya mengarah kepada pemahaman yang sama, bahwa
ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari perilaku dan aktivitas sosial dalam
kehidupan bersama. Ilmu sosial dalam perkembangannya kemudian lahir berbagai
spesialisasi disiplin ilmu-ilmu sosial, seperti; ilmu komunikasi, studi gender,
dan lain-lainnya.
Secara umum ilmu pengetahuan yang termasuk dalam kelompok
disiplin ilmu-ilmu sosial adalah :
1.Sosiologi adalah disiplin ilmu yang mempelajari tentang
masyarakat dalam hubungan-hubungan antara orang-orang dalam masyarakat tersebut
(interaksi sosial, kelompok sosial, gejala-gejala sosial, organisasi sosial,
struktur sosial, proses sosial maupun perubahan sosial) (Soerjono
Soekanto.2006:17-21).
2.Antropologi adalah studi tentang manusia yang berusaha
menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang umat manusia dan perilakunya, dan
untuk memperoleh pengertian ataupun pemahaman yang lengkap tentang
keanekaragaman manusia (Koentjaraningrat.1986:1-2)
3.Ilmu Geografi adalah the science of places,
concerned with qualities an potentialities of countries (Vidal dela Blache dalam
Dadang Supardan. 2008:227). Dalam pandangan ilmuwan geografi, secara sederhana
geografi merupakan disiplin akademik yang terutama berkaitan dengan penguraian
dan pemahaman atas perbedaan-perbedaan kewilayahan dalam distribusi lokasi di
permukaan bumi, fokusnya pada lingkungan, tata ruang, dan tempat.
4.Ilmu Sejarah adalah ilmu yang yang berusaha untuk
mendapatkan pengertian tentang segala sesuatu yang telah dialami (termasuk yang
diucapkan, dipikirkan dan dilaksanakan) oleh manusia di masa lampau yang
bukti-buktinya masih dapat ditelusuri/diketemukan masa sekarang. (Widja.1988:8)
5.Ilmu
Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya
dalam mencapai kemakmuran yang diharapkan, dengan memilih penggunaan sumber
daya produksi yang sifatnya terbatas (Samuelson dan Nordhaus.1990:5).
6.Psikologi adalah ilmu mengenai proses perilaku dan
proses mental (Dadang Supardan.2008:425).
7.Ilmu Politik adalah ilmu yang mempelajari
masalah-masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat.
Masalah-masalah kekuasaan itu menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari
sistem yang ada dan melaksanakan apa yang menjadi tujuan (Miriam Budihardjo.
1986:8).
2.Cara Kerja Ilmu-ilmu Sosial-Humaniora
Berbeda dengan ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu
sosial-humaniora berkembang lebih kemudian dan perkembangannya tidak sepesat
ilmu-ilmu alam.Hal ini karena, objek kajian ilmu-ilmu sosial-humaniora tidak
sekedar sebatas fisik dan material tetapi lebih dibalik yang fisik dan materi
dan bersifat lebih kompleks.Selain itu, dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam,
ilmu-ilmu sosial-humaniora nilai manfaatnya tidak bisa langsung dirasakan
karena harus berproses dalam wacana yang panjang dan memerlukan negosiasi,
kompromi, dan konsesus. Seperti halnya ilmu-ilmu alam, manusia juga sudah
barang tentu membutuhkan ilmu-ilmu sosial-humaniora untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan yang tidak fiscal-material, melainkan lebih bersifat
abstrak dan psikologis, seperti penemuan prinsip keadilan membawa manusia untuk
mengatur prilaku sosialnya atas dasar prinsip tersebut, dan prinsip kemanusiaan
membawa kepada sikap tidak diskriminatif atas orang lain meski berbeda ras,
warna kulit, agama, etnis, budaya, dan lain sebagainya.
Dilihat dari sifat obyeknya, cara kerja ilmu-ilmu
sosial humaniora bisa dirangkum dalam prinsip-prinsip seperti berikut :
a. Gejala sosial-humaniora bersifat non-fisik, hidup dan
dinamis.
Berbeda
dengan ilmu-ilmu alam, dimana gejala-gejala yang ditelaah lebih bersifat “mati”
baik yang ada dalam alam, pikiran (matematika), maupun dalam diri manusia,
geala-gejala yang diamati dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora bersifat hidup dan
bergerak secara dinamis.Objek studi ilmu-ilmu sosial
humaniora adalah manusia yang lebih spesifik lagi pada aspek sebelah dalam atau
inner world-nya dan bukan outer world-nya yang menjadi ciri ilmu-ilmu
alam. Berbeda dengan ilmu kedokteran, yang lebih membicarakan aspek luarnya
manusia secara biologis atau fisik, ilmu-ilmu sosial humaniora lebih menekankan
pada sisi bagian “dalam” manusia atau apa yang ada “di balik” manusiasecara
fisik, pada innerside, mental life, mind-effect world, dan geistige welt.
b. Obyek penelitian tak bisa diulang.
Gejala-gejala fisik dalam ilmu-ilmu alam, karena
berupa benda-benda “mati” maka bersifat stagnan dan tidak berubah-ubah, dan
karenanya bisa diamati secara berulang-ulang. Sementara gejala-gejala
sosial humaniora memiliki keunikan-keunikan dan kemungkinan bergerak sangat besar,
karena mereka tidak stagnan dan tidak statis.Masalah sosial kemanusiaan sering
bersifat sangat spesifik dan konteks historis tertentu.Kejadian sosial mungkin
yang dulu pernah terjadi barangali secara mirip bisa terulang dalam masa
sekarang atau nanti, tetapi tetap secara keseluruhan tak pernah bisa serupa.
Misalnya prilaku kerusuhan sosial orang-orang di Surakarta dulu prnah diteliti,
dan sekarang ilmuwan sosial mencoba meneliti kembali prilaku kerusuhan sosial
mereka itu, maka tidak akan pernah mungkin sama karena sikap, emosi, dan
pengetahuan informan berkembang dan bahkan dimungkinkan berubah sama sekali dan
ditambah lagi perubahan-perubahan konteks sosio-budaya-politiknya.
Dengan demikian gejala-gejala sosial-humaniora
cenderung tidak bisa ditelaah secara berulang-ulang, karena gejala-gejala
tersebut bergerak seiring dengan dinamika konteks historisnya.Jika dalam
ilmu-ilmu alam, gejala-gejala alam bisa ditelah secara berulang-ulang, sehingga
mampu dihasilkan hukum-hukum obyektif dan nomotetik, sedangkan dalam ilmu sosial humaniora
hanya dilukiskan keunikannya atau bersifat idiographic.Ilmu-ilmu sosial
humaniora hanya memahami, memaknai dan menafsirkan gejala-gejala sosial
humaniora, bukanmenemukan dan menerangkan secara pasti. Pemahaman, pemaknaan,
dan penafsiran ini lebih besar kemungkinan menghasilkan kesimpulan yang
berbeda, bahkan bertentangan, daripada menghasilkan kesimpulan yang sama.
c. Pengamatan relative lebih sulit dan kompleks.
Mengingat sifat gejala-gejala sosial-humaniora yang
bergerak dan bahkan berubah, maka bisa dibayangkan ilmuwan sosial-humaniora
dalam mengamati mereka sudah barang tentu lebih sulit dan kompleks. Karena yang
diamati adalah apa yang ada dibalik kenampakan fisik dari manusiadan
bentuk-bentuk hubungan sosial mereka. Melihat seseorang tersenyum pada orang
lain adalah hal yang sering bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi
dalam ilmu sosial-humaniora dapat bermakna banyak, orang yang tersenyum bisa
karena ia senang dengan orang yang dilihatnya, karena orang yang dilihatnya
adalh lucu dan aneh atau bahkan karena ia tidak senang pada orang yang dilihatnya
tetapi agar tidak terlihat oleh mata orang-orang disekitarnya bahwa ia tidak
senang pada orang yang dilihatnya.
Van
dalen menambahkan bahwa ilmuwan alam berkaitan dengan gejala fisik yang
bersifat umum, dan pengamatannya hanya meliputi variabel dalam jumlah yang
relative kecil dan karenanya mudah diukur secara tepat dan pasti; sedangkan
ilmu-ilmu sosial humaniora mempelajari manusia baik selaku perorangan maupun
selaku anggota dari suatu kelompok sosial yang menyebabkan situasinya bertambah
rumit, dan karenanya variabel dalam penelaahan sosial humaniora relative lebih
banyak dan kompleks serta kadang-kadang membingungkan.
Kuntowijoyo
tentang hal ini menggarisbawahi bahwa manusia memiliki free will dan kesadaran,
karena itulah, ia bukan benda yang ditentukan menurut hukum-hukum yang baku
sebagaimana benda-benda mati lainnya yang tak memiliki kesadaran apalagi
kebebasan kehendak. Benda mati bisa dikontrol dan
dikendalikan secara pasti, tetapi manusia tidak bisa karena disamping
dikendalikan, ia juga bisa mengendalikan orang lain. Determinisme dalam segala
bentuk apakah itu ekonomi, lingkungan alam, lingkungan sosial, politik dan
budaya hanya berharga sebagai dependent variabel, tetapi tidak pernah menjadi
independent variabel.Oleh karena itu, jelas bahwa pengamatan dalam ilmu-ilmu sosial
humaniora adalah jauh lebih kompleks, subyek dan obyek penelitian
adalah makhluk yang sama-sama sadar yang jelas tidak mudah menangkap dan
ditangkap semudah menangkap realitas benda, batu misalnya.
d. Subyek
pengamat juga sebagai bagian integral dari obyek yang diamati.
Subyek pengamat atau peneliti dalam ilmu sosial
humaniora jelas jauh berbeda dengan ilmu alam. Dalam ilmu alam, subyek pengamat
bisa mengambil jarak dan fokus pada obyektivitas yang diamati, tetapi dalam ilmu sosial humaniora
karena subyek dan obyek adalah manusia yang memiliki motif dan tujuan dalam setiap
tingkah lakunya, makasubyek yang mengamati tidak mungkin bias mengambil jarak
dari onyek yang diamati dan menerapkan prinsip obyektivistik, dan tampaknya
lebih condong ke prinsip subyektivistik. Karena subyek yang mengamati
adalah manusia yang juga memiliki kecenderungan nilai tertentu tentang hidup
maka ia menjadi bagian integral dari obyek yang diamati yang juga manusia itu.
Dalam “membongkar” motif, tujuan dari perbuatan yang
dilakukan manusia, maka peneliti tidak bisa melepaskan dari
kecenderungan-kecenderungan nilai individu yang sedang dipeganginya. Dengan
cara ini, obyek sosial humaniora yang sama diamati oleh beberapa pengamat
hampir bisa dipastikan tidak akan menghasilkan kesimpulan yang tunggal, tetapi
cenderung beragam dalam interpretasinya karena subyek pengamat sosial humaniora
bukanlah sekedar spectator saja tetapi juga terlibat baik secara
emosional maupun rasional dalam dan merupakan bagian integral dari obyek yang
diamatinya.
e. Memiliki daya prediktif yang relative lebih sulit dan
tak terkontrol.
Suatu teori sebagai hasil suatu pengamatan sosial
humaniora tidak serta merta bisa dengan mudah untuk memprediksikan
kejadian sosial humaniora berikutnya. Hal ini dikarenakan dalam ilmu sosial
humaniora, pola-pola prilaku sosial humaniora yang sama belum tentu akan
mengakibatkan kejadian yang sama. Meskipun demikian, bukan berarti hasil temuan
dalam ilmu-ilmu sosial humaniora tidak bisa dipakai sama sekali untuk
meramalkan kejadian-kejadian sosial lain sebagai akibatnya dalam waktu dan
tempat yang berlainan, tetap bisa tetapi tidak mungkin sepasti dan
semudah ilmu-ilmu alam.
B.ILMU
KEAGAMAAN
1.Pengertian Ilmu Keagamaan
Ilmu dalam pengertian secara umum adalah pengetahuan yang
sistematis dan terstruktur.Sedangkan agama adalah suatu bentuk penghambaan
manusia kepada Tuhannya, yaitu bentuk kepasrahan dan rasa syukur atas
nikmat-nikmat dari Tuhan.Di dalam ilmu keagamaan terdapat pembelajaran yang sangat
kompleks, selain pembelajaran tentang bagaimana manusia berhubungan dengan
Tuhan, maupun hubungan manusia dengan sesamanya, dan juga dengan alam.Ketiga
hal tersebut haruslah dipelajari dengan seimbang.
Adapun pengertian ilmu agama juga dapat didefinisikan
dalam beberapa pendapat, antara lain
1.
Ilmu
yang disusun dengan tujuan menerangkan dan menafsirkan kitab serta sunnah,
seperti: Ushul Fiqhi, Ulum Al-Qur’an, tata bahasa Arab, Logika, Filsafat, Hermeneutik dan lain-lain;
2.
Ilmu
yang diperoleh dari hasil penafsiran dan penjelasan kitab dan sunnah.
3.
Ilmu
yang diperoleh dari hasil penyingkapan mukjizat ilmiah Al-Qur’an
dan Sunnah.
4.
Setiap
pengetahuan yang diperoleh melalui metode eksperimen, akal dan agama.
Pendidikan nilai merupakan bagian yang inhern
dalam proses pendidikan Islam di Indonesia. Ia mengalami perkembangan dan
dinamika sesuai dengan tantangan yang dihadapinya. Ia juga membawakan pesan
substansial yang permanen dari masa kemasa dengan merujuk pada sumber nilai
yang dipeganginya. Dalam kondisi ini tarik menarik antara tuntutan perubahan
dan kepatuhan akan sebuah nilai akan melahirkan variasi dalam proses dan
pendekatan dalam pendidikan Islam.
2.Cara Kerja Ilmu Agama
Dewasa
ini, dapat dilihat bahwa pendidikan Islam berkembang pesat.Pada tahun-tahun
pertama dekade ini muncul gagasan-gagasan baru dalam usaha pengembangan
pendidikan Islam.Secara keseluruhan gagasan-gagasan itu merupakan pemikiran
untuk menghindari kebuntuan pembaharuan yang sudah berlangsung sejak
pertengahan dekade 1970-an. Sudah menjadi keperihatinan banyak kalangan bahwa
kajian Islam di lembaga-lembaga pendidikan Islam nampaknya berhenti pada
dasar-dasar rasionalisme dan komparatifisme yang sudah diletakkan oleh
tokoh-tokoh pembaharu seperti Harun Nasution dan Mukti Ali.
Dunia
pendidikan Islam sebagian besar masih mengikuti paham Islam klasikyang
didominasi oleh ulum al-asyar’i. Memasuki dunia modern, tradisi itu
mengalami kesenjangan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
telah sangat kuat mempengaruhi peradaban ummat manusia hingga dewasa ini.
Kesenjangan itu telah menghadapkan dunia pendidikan Islam dengan tiga situasi
yang buruk: pertama, dikotomi yang berkepanjangan antara ilmu agama dan
ilmu umum; kedua, keterasingan pengajaran ilmu-ilmu keagamaan dari realitas
kemoderenan; dan ketiga, menjauhnya kemajuan ilmu pengetahuan dari
nilai-nilai agama pada aspek-aspek fundamental ilmu pengetahuan itu sendiri,
sehingga penyelesaianya memerlukan penanganan yang serius.
Dalam
hubungan agama dan ilmu pengetahuan, secara garis besar terdapat dua pandangan
yang berkembang di Indonesia, tetapi kedua-duanya belum diwujudkan dalam usaha
yang serius dan terus menerus.Sebagian pandangan berasumsi bahwa ilmu
pengetahuan sebagai produk dari kegiatan ilmiah bersifat netral [bebas
nilai].Meskipun lahir dan berkembang dalam masyarakat Barat yang sekuler,
ilmu pengetahuan sebagaimana adanya dapat digunakan untuk kepentingan ummat
manusia. Kaum muslimin dengan jiwa ke-Islamannya
yang mantap dengan menggunakan ilmu pengetahuan itu dan dijamin tidak akan
hanyut dalam arus sekularisasi. Dalam konteks ini, gagasan Islamisasi dipandang
sikap apriori, semata-semata karena ilmu pengetahuan modern dikemabngakan oleh
ilmuwan-ilmuwan Barat.
Pada tataran yang paling sederhana, Islamisasi ilmu
pengetahuan sering dilakukan dengan mencarikan doktrin-doktrin agama yang
relevan.Bangunan ilmu pengetahuan modern sepenuhnya diterima, hampir tanpa
gugatan yang kritis, tetapi ditambahkan dan diperkuat dengan
ketentuan-ketentuan teks-teks (nushush)Al-Qur’an dan al-Hadits yang
mendukung. Cara kerja Islamisasi ilmu pengetahuan yang sederhana ini tidak jauh berbeda dengan
cara kalangan Islam yang mengadopsi ideologi modern tertentu dengan dalil-dalil
yang relevan, seperti munculnya faham sosialisme Islam. Pada tahap awal,
langkah ini cukup berguna sebatas menghidupkan semangat ke-Islaman
meskipun tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya.
Tahap yang cukup signifikan dalam Islamisasi ilmu
pengetahuan adalah usaha membangun basis-basis ke-Islaman yang tangguh untuk semua
disiplin ilmu.Usaha ini biasa disebut dengan Islamisasi disiplin ilmu [Islamisasion
of disciplines].Daripada mempersoalkan aspek-aspek filosofis ilmu
pengetahuan secara mendasar, Islamisasi disiplin ilmu lebih langsung mengenai
secara kritis teori-teori ilmu pengetahuan yang sudah berkembang. Keseriusan
usaha ini terletak pada proses seleksi, identifikasi, dan klasifikasi
teori-teori yang relevan dan tidak relevan dengan Islam. Dengan demikian,
penggunaan dalil-dalil keagamaan tidak selalu untuk mengabsahkan teori yang
ada, tetapi juga untuk menolak dan sekaligus menawarkan alternatif terhadap
teori yang berlawanan dengan ajaran Islam. Proses ini secara otomatis ikut
memperkaya teori-teori ilmu pengetahuan itu sendiri dengan munculnya berbagai
versi (mazhab).