1

loading...

Monday, October 29, 2018

Makalah Sosiologi Dalam Studi Islam

Makalah Sosiologi Dalam Studi Islam
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Masalah sosial sering terjadi di berbagai tempat dalam kondisi yang berbeda-beda. Masalah sosial juga menjadi faktor utama kerusakan sebuah bangsa yang hingga kini menjadi perhatian pemerintah khususnya para akademisi untuk memecahkan permasalahan tersebut. Kehidupan berbangsa di Indonesia syarat dalam perbedaan yang begitu kontras menjadikan ia penyebab jauhnya jarak kebersamaan di masyarakat, walaupun belum sepenuhnya disatukan dengan nilai-nilai pancasila. Berbagai suku, etnis, warna kulit dan agama membawa nuansa khas dalam bidang ilmu sosiologi. Selain itu, unsur pertambahan penduduk, maraknya kasus bunuh diri, meningkatnya jumlah kemiskinan, pendidikan intelek tidak diimbangi dengan pendidikan moral, tidak seimbang antara lapangan kerja dengan warga usia produktif, anak sekolah rentan terkena HIV/AIDS, tawuran pelajar, dan seks bebas adalah bentuk-bentuk permasalahan sosial yang serius untuk dikaji dan diberikan solusi. Oleh karena itu, penting kiranya penulis membuat makalah ini sebagai upaya penyadaran untuk kita bersama juga untuk para pembaca yang kiranya nanti akan bersentuhan langsung dengan masalah-masalah di atas. Tidak terlepas, agama juga berperan penting dalam pemeliharaan kualitas kehidupan sosial di masyarakat, terlebih dalam kacamata agama islam. Sehingga  pendekatan ilmu sosiologi dan agama berkolaborasi untuk menghasilkan kesimpulan yang terbaik dalam penyelesaian konflik sosial di tengah-tengah kehidupan.
B.       Rumusan Masalah
1.        Apa Pengertian Sosiologi?
2.        Bagaimana Pendekatan Sosiologi Dalam Studi Islam?
3.        Bagaimana Signifikansi Dan Kontribusi Pendekatan Sosiologi Dalam Studi Islam?
4.        Apa Saja Contoh Metode Pendekatan Dalam Studi Islam?

C.      Tujuan Masalah
1.    Untuk Mengetahui Pengertian Sosiologi.
2.    Untuk Mengetahui Pendekatan Sosiologi Dalam Studi Islam.
3.    Untuk Mengetahui Signifikansi Dan Kontribusi Pendekatan Sosiologi Dalam Studi Islam.
4.    Untuk Mengetahui Contoh Metode Pendekatan Dalam Studi Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Sosiologi
Secara etimologi, kata sosiologi berasal dari bahasa Latin dari kata “socius” yang berarti teman dan “logos” yang berarti berkata atau berbicara. Jadi sosiologi artinya berbicara tentang manusia yang berteman atau bermasyarakat.[1]
Secara terminologi, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan-perubahan sosial.[2] Adapun objek sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antara manusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia dalam masyarakat. Sedangkan tujuannya adalah meningkatakan daya atau kemampuan manusia dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya.
Sosiologi adalah kajian ilmiah tentang kehidupan sosial manusia yang berusaha mencari tahu tentang hakekat dan sebab-sebab dari berbagai pola pikiran dan tindakan manusia yang teratur dapat berulang. Berbeda dengan psikologi yang memusatkan perhatiannya pada karakteristik pikiran dan tindakan orang per-orangan, sosiologi hanya tertarik kepada pikiran dan tindakan yang dimunculkan seseorang sebagai anggota suatu kolompok atau masyarakat.[3]
Namun perlu diingat bahwa sosiologi adalah disiplin ilmu yang luas dan mencakup banyak hal, dan ada banyak jenis sosiologi yang mempelajari sesuatu yang berbeda dengan tujuan berbeda-beda.[4]
Selain itu, sosiologi juga merupakan sebagai studi sistematis mengenai keadaan kelompok dan masyarakat serta gejala-gejalanya yang saling berhubungan  dan saling mempengaruhi setiap tindakan. Sosiologi tidak membahas individu, akan tetapi lebih kepada gejala-gejala sosial yang berdasar pada penjelasan sejarah, peristiwa dan kehidupan nyata.
Dalam hal ini Maijor Polak juga mensinyalir bahwa sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai keseluruhan, yakni antar hubungan di antara manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, baik formil maupun materil, baik statis maupun dinamis.[5]
B.       Pendekatan Sosiologi Dalam Studi Islam
Pentingnya pendekatan sosiologi dalam memahami agama, dapat dipahami, karena banyak sekali ajaran agama yang bekaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhada masalah sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agamanya.
1.        Perhatian Agama Islam Terhadap Masalah Sosial
Alasan besanya perhatian agama yang dalam hal ini adalah Islam terhadap masalah sosial adalah:
a.         Dalam al-Qur’an atau kitab-kitab hadis, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah.
b.         Bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
c.         Bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari pada ibadah yang bersifat persorangan. Karena itu salah yang dilakukan secara berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya daripada salat yang dikerjakan sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.
d.        Dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan msalah sosial. Bila puasa tidak mampu dilakukan misalnya, jalan keluarnya adalah dengan membayar fidyah dalam bentuk memberi makan bagi orang miskin.
e.         Dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah. Dalam hubungannya dengan ini misalnya membaca hadits yang artinya sebagai berikut.
“Orang yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang miskin, adalah seperti pejuang di jalan Allah (atau aku kira beliau berkata) dan seperti orang yang terus menerus salat malam dan terus menerus berpuasa”. (H.R. Bukhari dan Muslim).[6]
Manusia sebagai makhluk yang mempunyai aneka ragam sebutan pada prinsipnya adalah makhluk yang saling bergantung pada sesamanya, baik yang menyangkut sandang, pangan, papan, keselamatan diri dan harta, harga diri, potensi untuk berkembang maupun kasih sayang, di samping kebergantungan di bidang politik, ekonomi, budaya, dan hukum. Kebergantungan itu menunjukkan bahwa manusia saling membutuhkan dalam banyak aspek, guna memenuhi hasrat dan kebutuhan hidupnya masing-masing. Kebutuhan itu satu sama lain terkadang saling bertentangan ; kalau tidak diatur dalam suatu kaidah atau norma yang jelas, itu bisa menimbulkan kekacauan karena masing-masing berusaha sebisa mungkin memenuhi obsesi hidupnya. Norma tersebut adalah mekanisme pengendalian social (mechanism of social control) yang dilakukan untuk melaksanakan proses untuk mendidik, mengajak, atau bahkan emmaksa individu atau masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai kehidupan.[7]
Dengan adanya norma-norma (yang paling penting diantaranya adalah norma-norma agama) memungkinkan disesuaikannya tingkah laku manusia dengannya. Namun penyesuaian (terhadap norma-norma sosial) itu ternyata lebih besar kemungkinannya apabila norma-norma itu ditunjang oleh ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman yang berat. Ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman (atau sanksi-sanksi) social tersebut, sampai taraf tertentu memang diakui dalam semua norma social, walaupun kebanyakan orang hanya karena merasa diberi ganjaran secara psikologis, mau menyesuaikan diri dengan nora-norma itu, atau karena pernah menerima hukuman dalam arti informal dan sanksi hukum berupa cemoohan dari teman-teman mereka. Akan tetapi jika norma-norma itu terdapat dalam kerangka acuan yang bersifat sacral, maka norma-norma tersebut dikukuhkan pula dengan sanksi-sanksi yang sakral; dan dalam hampir semua masyarakat sanksi-sanksi sakral tersebut mempunyai kekuatan memaksa yang istimewa. Karena, tidak hanya menyangkut ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman yang bersifat duniawi dan manusiawi, tetapi juga ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman yang bersifat supra manusiawi dan ukhrawi.[8]
Melalui pendekatan sosiologis agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam al-Qur’an misalnya kita jumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa, dan sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua itu jelas baru dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada saat ajaran agama itu diturunkan.[9]
Elizabeth K. Nottingham dalam bukunya mengemukakan berikut adalah kekuatan agama yang mampu membujuk orang-orang dan pihak-pihak (yang bersangkutan) untuk mengorbankan kepentingan pribadi mereka demi terpenuhinya kepentingan masyarakat secara keseluruhan:
Pertama, agama telah membantu mendorong terciptanya persetujuan mengenai isi dan kewajiban-kewajiban sosial tersebut dengan memberikan nilai-nilai yang berfungsi menyalurkan sikap-sikap para anggota masyarakat dan menetapkan isi kewajiban-kewajiban sosial mereka. Dalam peranan ini agama telah membantu menciptakan sistem-sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh.[10]
Kedua, terdapat alasan-alasan yang kuat untuk mempercayai bahwa agama juga telah memainkan peranan vital dalam memberikan kekuatan memaksa yang mendukung dan memperkuat  dan memperkuat adat-istiadat. Dalam hal ini patut diketahui bahwa sikap mengagungkan dan rasa hormat, terutama yang berkaitan dengan adat istiadat (moral) yang berlaku, berhubungan erat dengan perasaan-perasaan kagum yang ditimbulkan oleh yang sakral itu sendiri.[11]
2.        Aplikasi Sosiologi dalam Pengembangan Ilmu Keislaman
Bagi pengembangan ilmu-ilmu keislaman, sosiologi memiliki manfaat ganda, yakni:
a.         Manfaat teoritis-epistimologi : bahwa sosiologi pengetahuan dapat membantu para pengkaji ilmu-ilmu keislaman untuk memahami substansi ilmu dan mengembangkan paradigma di dalamnya, sehingga ilmu bisa lebih dinamis. Pemahaman terhadap substansi ilmu dilakukan melalui penemuan eksemplar-eksemplar itu, dan pengidentifikasian metode-metode dalam suatu paradigm. Semetara pengembangan paradigm dilakukan melalui penelusuran kaitan antara paradigm dengan konteks sosio-historisnya, pencarian paradigm baru berdasarkan analisis persoalan sosio-historis kontemporer, dan pencarian teori-teori baru dalam paradigm baru.
b.         Manfaat praktis sosiologis adalah bahwa sosiologi pengetahuan dapat memperkaya metode penelitian ilmu-ilmu keislaman. Ilmu keislaman sudah selayaknya dilihat dengan berbagai cara (apa saja boleh), asalkan semua cara itu dilakukan dengan bertanggung jawab dan dapat memperluas perspektif para pengkaji. Hanya dengan cara memperbanyak perspektif inilah akan terwujud ilmu keislaman yang ramah terhadap segala keragaman dan problematika kehidupan. Di samping itu, ilmu keislaman yang multiperspektif juga akan mudah diterima semua kalangan karena dinamika dan kelenturannya yang tinggi ketika harus bersentuhan dengan realitas masyarakat.
Misalnya, sebagai ilmu, ilmu ushul fikih bukanlah ilmu yang terbentuk dari ruang hampa dan steril dari pengaruh lokasi sosial pada zaman tertentu. Oleh karena itu, biarlah orang-orang terdahulu merumuskan prinsip-prinsip ilmu ushul fikih yang sesuai pada saat itu, dan kita juga merumuskan prinsip-prinsip ilmu ushul fikih kita sendiri sesuai dengan zaman kita. Dominasi antar generasi hanya akan menghasilkan kejumudan dan kemandegan berpikir.
Wacana tertutupnya pintu ijtihad yang sempat terdengar, sesungguhnya tiada lain adalah tidak dapat dilakukannya ijtihad karena paradigm lama dalam ilmu ushul fikih telah mengalami keusangan (obsolete) dan keterjebakan ideologis, sehingga mengalami disfungsi.[12] Inilah yang digambarkan al-Jabiri dalam kutipan berikut:
“Masalah-masalah khusus di masa lalu, meski mirip dan sejenis terbatas atau memungkinkan untuk dibatasi; teks-teks syariat (al-Qur’an dan sunah) juga terbatas, dan demikian pula ijtihad memahami kata-kata dan batas-batas petunjuk dari teks-teks itu…, akhirnya mau tidak mau akan sampai pada titik di mana tak ada lagi yang tersisa, dan kemudian akibat yang sudah pasti adalah “tertutupnya” pintu ijtihad, bukan “ditutup” (dengan sengaja) seperti yang dikatakan orang.[13]
Sebenarnya, tak ada seorangpun dalam Islam yang memiliki kekuasaan untuk “menutup” pintu ijtihad, baik para penguasa, para ahli fikih atau yang lain karena dalam Islam tak ada gereja atau lembaga apapun yang mempunyai kekuasaan untuk “menutup” atau “membuka” pintu ijtihad. Jadi, ijtihad merupakan salah satu dasar dari pembuatan hukum Islam, dan ia adalah pengerahan upaya pemikiran dalam rangka mengetahui hukum-hukum syariat, dan ini adalah hak bagi setiap Muslim yang memenuhi hukum-hukum syarat-syarat keilmuan yang memungkinkannya untuk melakukan ijtihad.
Dengan demikian, pintu ijtihad dengan sendirinya tertutup ketika di sana tidak ada lagi tersisa ijtihad dalam kerangka peradaban di mana kaum Muslim hidup di dalamnya. Ketika semua masalah yang dilontarkan dan yang mungkin dilontarkan di dalam kerangka peradaban yang sama telah tuntas diliput, dan ketika pemanfaatan segala kemungkinan yang disediakan oleh teks dalam arti hubungan kata dengan makna telah sempurna, dan kasus-kasus terdahulu yang bisa dijadikan sandaran analogi telah habis…, maka mau tidak mau pintu ijtihad dengan sendirinya tertutup dan orang-orangpun berbelok kepada taqlid….”[14]
“Dari sini, Nampak jelas bahwa seruan kepada ijtihad” dan membuka pintu ijtihad, akan tetap saja suara di udara selama upaya “membuka” nalar yang merupakan titik utama tugas ijtihad, belum tercapai. Hal ini karena pintu ijtihad tidak pernah ditutup, tetapi ia tertutup dengan sendirinya ketika nalar yang menjalankan ijtihad itu tertutup di dalam kerangka peradaban dan kebudayaan yang telah berhenti bergerak dan tumbuh. Dengan demikian, mau tidak mau diperlukan keterbukaan baru bagi nalar Arab Islam agar ia sanggup menghadapi keterbukaan peradaban yang telah terjadi. Tanpa hal ini, tidak akan pernah ada ijtihad pada tatanan masalah-masalah kontemporer.”[15]
Islam telah meletakkan dasar-dasar umum cara bermasyrakat. Di dalamnya diatur hubungan antara individu dengan individu, antara individu dengan masyarakat, anatar satu komunitas masyarakat dengan komunitas masyarakat lainnya. Aturan itu mulai yang sederhana sampai kepada yang sempurna, mulai dari hukum berkeluarga sampai bernegara.
Al-Qur’an memang bukan buku sejarah yang secara sistematis membahas keadaan masyarakat masa lampau namun sebagai bukti petunjuk yang di dalamnya  di dapati hukum-hukum perubahan masyarakat (sosial) yang berlaku sepanjang sejarah manusia. Oleh karena itu di dalamnya terdapat ayat-ayat yang berisi perintah  agar manusia memperhatikan sejarah umat terdahulu.
C.      Signifikansi Dan Kontribusi Pendekatan Sosiologi Dalam Studi Islam
Dilihat sepintas saja sudah tampak bahwa ilmu sosiologi sangat berkontribusi dalam studi islam, terutama pada lintasan pemikiran sosial yang membutuhkan pedoman agama islam. Memang kesemuanya berangkat dari satu kondisi dimana kelompok masyarakat menginginkan tata tertib (aturan) yang tertuang dalam pedoman agama islam. Sebagai contoh, anjuran didalam islam untuk memuliakan tetangganya saat memasak untuk memperbanyak kuahnya agar bisa dibagikan kepada tetangga sebelah. Hal ini terlihat sederhana tetapi mempunyai arti luas tentang kehidupan sosial, sebab makna sesungguhnya dari sosial adalah saling berbagi satu sama lain tanpa membeda-bedakan ras, suku, etnis dan agama.[16]
Tak kurang pentingnya ialah bahwa studi islam bertolak dari sebuah strategi untuk segala sesuatu yang diperlukan. Sehingga studi islam mempunyai cakupan yang luas khususnya dalam bidang sosiologi. Agaknya, keterkaitan signifikansi dan kontribusi itulah yang dinyatakan bentuk kesadaran pada ilmu pengetahuan sosial. Istilah tersebut digunakan untuk menandakan kedekatan sosiologi pada studi islam  karena dipandang baik dan berguna. Setiap permasalahan sosial mampu dijawab studi islam dengan baik dan komprehensif. Sosial juga terikat pada penalaran yang bersandar pada keyakinan, asumsi dan persepsi. Kebenaran sosial menata ulang peradaban, memandang penuh optimis keharmonisan, serta mengendalikan penataan peranan keluarga dalam kelompok masyarakat.
Menurut penulis, setidaknya ada dua hal yang menjadi titik tekan dalam agama ketika bersentuhan dengan bidang sosial, pertama yaitu ibadah. Ibadah yang kita lakukan sehari-hari menyimpan nilai tersendiri bagi agama yang diyakininya, atau sering disebut pahala. Selain berpahala, ibadah yang normatif memberikan kesan sosial yang utuh tentang realitas sosial di kelompok masyarakat. Kedua yaitu muamalah, yang berarti perlakuan atau tindakan terhadap orang lain. Perlu kiranya dicermati bahwa sikap kita terhadap oranglain menentukan perlakuan orang lain kepada kita. Jika kita ramah, maka orang lain akan menghormati kita, jika kita baik dan suka memberi maka orang lain akan senang dengan kita, begitu seterusnya. Untuk itulah studi islam bercerita tentang memuliakan tetangga dan menghormati orang lain. Oleh karena itu, sentuhan sosiologi dalam studi islam mempunyai nilai yang besar jika diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Terlebih menjadikan ia platform pada setiap kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan.[17]
D.      Beberapa Contoh Metode Pendekatan Dalam Studi Islam
Untuk menghasilkan suatu teori, maka kajian-kajian ilmiah harus memiliki pendekatan-pendekatan, demikian halnya dengan teori-teori sosiologi. Ada tiga pendekatan utama sosiologi, yaitu:
a.         Pendekatan struktural-fungsional.
Ini merupakan interdisiplin ilmu antara pendekatan strukturalisme dan fungsionalisme. Pendekatan strukturalisme akan mengkaji struktur kehidupan masyarakat dengan mengabaikan fungsi dari setiap struktur tersebut. Pendekatan ini hanya melihat masyarakat sebagai sebuah komponen yang memiliki struktur pembangun di dalamnya. Sedangkan fungsionalisme lebih cenderung kepada kajian bahwa setiap komponen dalam masyarakat mempunyai fungsi dan peran di dalam masyarakat. Kajian ini mengutamakan fungsi tersebut dan lebih mengabaikan struktur, bahwa setiap komponen harus berfungsi selayaknya, jika tidak maka akan terjadi kepincangan dalam kehidupan sosial.
Maka kombinasi antara strukturalisme dan fungsionalisme ini memandang bahwa masyarkat tidak hanya sebagai kesatuan struktur saja atau fungsi saja, tapi cenderung untuk mengkaji masyarakat baik dari strukturnya maupun fungsinya dan hubungan di antara keduanya.
Pendekatan struktural-fungsional terkenal pada akhir 1930-an, dan mengandung pandangan makroskopis terhadap masyarakat. Walaupun pendekatan ini bersumber pada sosiolog-sosiolog Eropa seperti Max Webber, Emile Durkheim, Vill Predo Hareto, dan beberapa antropog sosial Inggris, namun yang pertama yang mengemukakan rumusan sistematis mengenai teori ini adalah Halcot Parsons, dari Harvard. Teori ini kemudian dikembangkan oleh para mahasiswa Parson, dan para murid mahasiswa tersebut, terutama di Amerika.
b.        Pendekatan struktural-fungsional.
Ini merupakan interdisiplin ilmu antara pendekatan strukturalisme dan fungsionalisme. Pendekatan strukturalisme akan mengkaji struktur kehidupan masyarakat dengan mengabaikan fungsi dari setiap struktur tersebut. Pendekatan ini hanya melihat masyarakat sebagai sebuah komponen yang memiliki struktur pembangun di dalamnya. Sedangkan fungsionalisme lebih cenderung kepada kajian bahwa setiap komponen dalam masyarakat mempunyai fungsi dan peran di dalam masyarakat. Kajian ini mengutamakan fungsi tersebut dan lebih mengabaikan struktur, bahwa setiap komponen harus berfungsi selayaknya, jika tidak maka akan terjadi kepincangan dalam kehidupan sosial.
Ia menganggap cara produksi di sepanjang sejarah manusia secara sedikian rupa, sehingga sampai-sampai ia berpandangan sumber daya ekonomi dikuasai oleh segelintir orang tertentu, sementara golongan masyarakat lainnya ditakdirkan untuk bekerja untuk mereka dan tetap bergantung pada kemurahan hati segelintir penguasa.
Bertolak dari memandang sejarah manusia dengan cara seperti ini, Marx mengajukan teori sosialismenya yakni sautu solusi final agar seluruh sumber daya dapat dimiliki oleh semua orang. Revolusi-revolusi lanjutan tidak lagi diperlukan karena idealnya tidak akan adala lagi kelaparan,peng eksploitasian dan konflik.
c.         Pendekatan Interaksionisme-Simbolis.
Pendekatan ini juga merupakan pendekatan yang menggunakan interdisiplin, yakni interaksionisme yakni sebuah pendekatan yang mengkaji hubungan-hubungan yang terjadi di masyarakat.[18] Kemudian pendekatan ini digabungkan dengan pendekatan simbolisme dengan asumsi bahwa semua interaksi dalam masyarakat hanya akan terlihat dengan jelas bila dihubungkan dengan simbol-simbol yang berlaku di kalangan mereka.
Sedangkan pendekatan interaksionisme-simbolis merupakan sebuah perspektif mikro dalam sosiologi yang barang kali sangat spekulatif pada tahapan analisanya sekarang ini. Tetapi pendekatan ini mengandung sedikit sekali prasangkan ideologis, walaupun meminjam banyak dari lingkungan Barat tempat dibinanya pendekatan itu.
Sebagaimana dipesankan oleh namanya, interaksionisme-simbolis lebih sering disebut sebagai pendekatan interaksionis saja-bertolak dari interaksi sosial pada tingkat paling minimal. Dari tingkat mikro ini, tidak seperti jenis lain psikologi sosial, ia diharapkan memperluas cakupan analisisnya guna menangkap keseluruhan masyarakat sebagai penentu proses dari banyak interaksi. Manusia dipandang mempelajari situasi-situasi yang bisa serasi atau bisa pula menyimpang, mempelajari situasi-situasi transaksi-trasnsaksi politis dan ekonomis, situasi-situasi di dalam dan diluar keluarga, situasi-situasi permainan dan pendidikan, situasi-situasi organisasi, formal dan informal dan seterusnya.
Ketiga pendekatan sosiologi (struktural-fungsional, konflik dan intraksionisme-simbolis) yang telah disebutkan pada bagian terdahulu, adalah pendekatan sosiologi kontemporer yang dibina dengan objek masyarakat barat, karenanya pendekatan tersebut tidak bersifat universal. Pemikiran barat bukan saja jauh dari dan kerap kali bertentangan dengan persepsi-persepsi lokal dalam masyarakat-masyarakat non-Barat, tetapi juga tidak mampu menjelaskan problem yang dewasa ini dihadapi oleh masyarakat-masyarakat ini.
Tidak sedikit contoh tentang kelemahan dalam sosiologi ini. Misalnya teori tentang kejahatan dan pelanggaran serta penyimpangan yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman dan penelitian-penelitian di pusat kota New York dan Chicago, tidak menjelaskan masalah kejahatan dan penyimpangan yang ada di Uni Soviet, Fakistan, Mesir, Indonesia dan masyarakat-masyarakat serupa lainnya.[19]
Memang telah ada upaya-upaya untuk meredakan perbedaan-perbedaan sosiologis antara satu Negara Barat dengan Negara Barat lainnya. Perbedaan-perbedaan ini bisa dihilangkan dengan interaksi yang lebih akrab antara para sosiolog Eropa dan Amerika, tetapi akan tetap dirasakan adanya kenyataan yang janggal bahwa pendekatan-pendekatan sosiologis Barat didasarkan pada asumsi-asumsi dan penelitian-penelitian yang asing bagi realitas sosial di masyarakat non-Barat.
Bila dialihkan perhatian, dari masyarakat Barat pada umumnya, ke masyarakat Muslim atau wilayah yang berkebudayaan Islam pada khususnya, maka akan terlihat bahwa studi sistematis mengenai Islam merupakan suatu bidang yang benar-benar tidak diperdulikan dalam sosiologi. Nyaris tidak satu pun studi sosiologis tentang Islam dan masyarakat-masyarakat Muslim.[20]
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Sosiologi merupakan ilmu yang tergolong masih muda walaupun telah mengalami perkembangan cukup lama, yaitu sejak manusia mengenal kebudayaan dan peradaban. Dalam kehidupannya, manusia telah banyak menaruh perhatian dan minat terhadap sosiologi. Suatu keadaan yang terjadi dalam masyarakat seperti, kejahatan perang, penguasaan golongan yang satu terhadap golongan lainnya, kepercayaan dan sebagainya. Melalui perhatian tersebut lalu muncul teori-teori yang berkenaan dengan kemasyarakatan yang kemudian teori-teori tersebut digunakan utuk mengkaji agama.
Beberapa objek pendekatan sosiologi yang digunakan oleh para sosiolog ternyata menghasilkan cara unntuk memahami agama dengan mudah. Selain itu memang menurut beberapa sosiolog dan ahli metodelogi studi-studi ke-Islaman bahwa agama Islam itu sendiri sangat mementingkan peranan aspek sosial dalam kehidupan beragama.
Pendekatan sosiologis dalam kajian-kajian aspek agama Islam sebenarnya bukanlah sebuah tradisi yang benar-benar baru. Banyak kalangan mengakui bahwa pendekatan ini telah lama digunakan dalam tradisi intelektual Islam, seperti penelitian para periwayat hadist yang dilakukan oleh imam-imam Hadist, akan tetapi Ibn Khaldunlah yang kemudian memakai pendekatan ini dengan metode yang lebih sistematis.
Pendekatan Sosiologi mempunyai peluang yang sangat besar untuk berkembang dalam lingkup studi Islam. Dengan begitu kontribusinya kemudian dalam tradisi intelektual Islam tentu saja akan sangat besar.
B.       Saran
Semoga makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan bagi rekan-rekan dan kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari Bapak/Ibu Dosen serta rekan-rekan sekalian.


DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 2012, Jakarta: Rajawali Pers.
Atang Abd, Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, 2003 Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ba-Yunus, Ilyas dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam: Sebuah Pendekatan, (Terj. Hamid Ba-Syaib), Bandung: Mizan, 1996.
Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan Masyarakat; Suatu Pengantar Sosiologi Agama, 1996, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi sebagai Cara Pandang, 2008, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Grafindo Persada, 2001.
Rakhmat, Jalaluddin, Islam Alternatif, Bandung: Mizan, 1986.
Stepen K. Sanderson, Sosiologi Makro, Edisi Indonesia, (Terj. Hotman M. Siahaan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Steven K. Sanderson, Sosiologi Makro, (Terj. Sahat Simamora), Jakarta : Bina Aksara, 1984.
Syani, Abdul, Sosiologi Dan Perubahan Masyarakat, Lampung: Pustaka Jaya, 1995.
Tim MGMP, Sosiologi SUMUT, Medan: Kurnia, 1999.
 



[1]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 2001), h. 39
[2]Abdul Syani, Sosiologi Dan Perubahan Masyarakat,(Lampung: Pustaka Jaya, 1995), h. 2.
[3]Tim MGMP, Sosiologi SUMUT, (Medan: Kurnia, 1999), h. 3.
[4]Steven K. Sanderson, Sosiologi Makro, Terj. Sahat Simamora, (Jakarta : Bina Aksara, 1984), h. 253.
[5]Stepen K. Sanderson, Sosiologi Makro, Edisi Indonesia, Ter. Hotman M. Siahaan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 2.
[6]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 40-41.
[7]Atang Abd, Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 223.
[8]Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan Masyarakat; Suatu Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996) , hlm. 39-40.
[9]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam…, hlm. 41-42.
[10]Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan Masyaraka…, hlm, 36.
[11]Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan Masyarakat…, hlm. 36.
[12]Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi sebagai Cara Pandang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 185
[13]Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 185.
[14]Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 186.
[15] Ibid. hlm. 186
[16]Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif,  (Bandung: Mizan, 1986) h. 48.
[17]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 2001), h.42
[18]Ilyas Ba-Yunus dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam: Sebuah Pendekatan, terj. Hamid Ba-Syaib, (Bandung: Mizan, 1996), h. 20-24.
[19] Ibid. hlm. 29
[20] Ibid, hlm. 30

No comments:

Post a Comment