Makalah Sosiologi Dalam Studi Islam
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah sosial sering
terjadi di berbagai tempat dalam kondisi yang berbeda-beda. Masalah sosial juga
menjadi faktor utama kerusakan sebuah bangsa yang hingga kini menjadi perhatian
pemerintah khususnya para akademisi untuk memecahkan permasalahan tersebut.
Kehidupan berbangsa di Indonesia syarat dalam perbedaan yang begitu kontras
menjadikan ia penyebab jauhnya jarak kebersamaan di masyarakat, walaupun belum
sepenuhnya disatukan dengan nilai-nilai pancasila. Berbagai suku, etnis, warna
kulit dan agama membawa nuansa khas dalam bidang ilmu sosiologi. Selain itu,
unsur pertambahan penduduk, maraknya kasus bunuh diri, meningkatnya jumlah
kemiskinan, pendidikan intelek tidak diimbangi dengan pendidikan moral, tidak
seimbang antara lapangan kerja dengan warga usia produktif, anak sekolah rentan
terkena HIV/AIDS, tawuran pelajar, dan seks bebas adalah bentuk-bentuk
permasalahan sosial yang serius untuk dikaji dan diberikan solusi. Oleh karena
itu, penting kiranya penulis membuat makalah ini sebagai upaya penyadaran untuk
kita bersama juga untuk para pembaca yang kiranya nanti akan bersentuhan
langsung dengan masalah-masalah di atas. Tidak terlepas, agama juga berperan
penting dalam pemeliharaan kualitas kehidupan sosial di masyarakat, terlebih
dalam kacamata agama islam. Sehingga pendekatan ilmu sosiologi dan agama
berkolaborasi untuk menghasilkan kesimpulan yang terbaik dalam penyelesaian
konflik sosial di tengah-tengah kehidupan.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian
Sosiologi?
2.
Bagaimana Pendekatan
Sosiologi Dalam Studi Islam?
3.
Bagaimana Signifikansi Dan Kontribusi Pendekatan Sosiologi Dalam Studi Islam?
4.
Apa Saja Contoh Metode
Pendekatan Dalam Studi Islam?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Pengertian Sosiologi.
2. Untuk Mengetahui Pendekatan Sosiologi Dalam Studi Islam.
3. Untuk Mengetahui Signifikansi Dan Kontribusi Pendekatan Sosiologi Dalam Studi Islam.
4. Untuk Mengetahui Contoh Metode Pendekatan Dalam Studi Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sosiologi
Secara
etimologi, kata sosiologi berasal dari bahasa Latin dari kata “socius” yang
berarti teman dan “logos” yang berarti berkata atau berbicara. Jadi sosiologi
artinya berbicara tentang manusia yang berteman atau bermasyarakat.[1]
Secara
terminologi, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan
proses-proses sosial termasuk perubahan-perubahan sosial.[2]
Adapun objek sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan
antara manusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia dalam masyarakat.
Sedangkan tujuannya adalah meningkatakan daya atau kemampuan manusia dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya.
Sosiologi adalah kajian ilmiah
tentang kehidupan sosial manusia yang berusaha mencari tahu tentang hakekat dan
sebab-sebab dari berbagai pola pikiran dan tindakan manusia yang teratur dapat
berulang. Berbeda dengan psikologi yang memusatkan
perhatiannya pada karakteristik pikiran dan tindakan orang per-orangan,
sosiologi hanya tertarik kepada pikiran dan tindakan yang dimunculkan seseorang
sebagai anggota suatu kolompok atau masyarakat.[3]
Namun perlu diingat bahwa
sosiologi adalah disiplin ilmu yang luas dan mencakup banyak hal, dan ada
banyak jenis sosiologi yang mempelajari sesuatu yang berbeda dengan tujuan
berbeda-beda.[4]
Selain itu,
sosiologi juga merupakan sebagai studi sistematis mengenai keadaan kelompok dan
masyarakat serta gejala-gejalanya yang saling berhubungan dan saling
mempengaruhi setiap tindakan. Sosiologi tidak membahas individu, akan tetapi
lebih kepada gejala-gejala sosial yang berdasar pada penjelasan sejarah,
peristiwa dan kehidupan nyata.
Dalam hal
ini Maijor Polak juga mensinyalir bahwa sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang
mempelajari masyarakat sebagai keseluruhan, yakni antar hubungan di antara manusia
dengan manusia lainnya, manusia dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, baik
formil maupun materil, baik statis maupun dinamis.[5]
B. Pendekatan Sosiologi Dalam Studi Islam
Pentingnya pendekatan sosiologi dalam memahami agama, dapat dipahami,
karena banyak sekali ajaran agama yang bekaitan dengan masalah sosial. Besarnya
perhatian agama terhada masalah sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama
memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agamanya.
1.
Perhatian Agama Islam
Terhadap Masalah Sosial
Alasan besanya
perhatian agama yang dalam hal ini adalah Islam terhadap masalah sosial adalah:
a.
Dalam al-Qur’an atau
kitab-kitab hadis, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan
dengan urusan muamalah.
b.
Bahwa ditekankannya
masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan
ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah
boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), melainkan
dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
c.
Bahwa ibadah yang
mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari pada ibadah
yang bersifat persorangan. Karena itu salah yang dilakukan secara berjamaah
dinilai lebih tinggi nilainya daripada salat yang dikerjakan sendirian
(munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.
d.
Dalam Islam terdapat
ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena
melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya (tebusannya) ialah melakukan
sesuatu yang berhubungan dengan msalah sosial. Bila puasa tidak mampu dilakukan
misalnya, jalan keluarnya adalah dengan membayar fidyah dalam bentuk memberi
makan bagi orang miskin.
e.
Dalam Islam terdapat
ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih
besar daripada ibadah sunnah. Dalam hubungannya dengan ini misalnya membaca
hadits yang artinya sebagai berikut.
“Orang yang bekerja
keras untuk menyantuni janda dan orang miskin, adalah seperti pejuang di jalan
Allah (atau aku kira beliau berkata) dan seperti orang yang terus menerus salat
malam dan terus menerus berpuasa”. (H.R. Bukhari dan Muslim).[6]
Manusia sebagai makhluk
yang mempunyai aneka ragam sebutan pada prinsipnya adalah makhluk yang saling
bergantung pada sesamanya, baik yang menyangkut sandang, pangan, papan,
keselamatan diri dan harta, harga diri, potensi untuk berkembang maupun kasih
sayang, di samping kebergantungan di bidang politik, ekonomi, budaya, dan
hukum. Kebergantungan itu menunjukkan bahwa manusia saling membutuhkan dalam
banyak aspek, guna memenuhi hasrat dan kebutuhan hidupnya masing-masing.
Kebutuhan itu satu sama lain terkadang saling bertentangan ; kalau tidak diatur
dalam suatu kaidah atau norma yang jelas, itu bisa menimbulkan kekacauan karena
masing-masing berusaha sebisa mungkin memenuhi obsesi hidupnya. Norma tersebut
adalah mekanisme pengendalian social (mechanism of social control) yang
dilakukan untuk melaksanakan proses untuk mendidik, mengajak, atau bahkan emmaksa
individu atau masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah dan
nilai-nilai kehidupan.[7]
Dengan adanya
norma-norma (yang paling penting diantaranya adalah norma-norma agama)
memungkinkan disesuaikannya tingkah laku manusia dengannya. Namun penyesuaian
(terhadap norma-norma sosial) itu ternyata lebih besar kemungkinannya apabila
norma-norma itu ditunjang oleh ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman yang
berat. Ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman (atau sanksi-sanksi) social
tersebut, sampai taraf tertentu memang diakui dalam semua norma social,
walaupun kebanyakan orang hanya karena merasa diberi ganjaran secara
psikologis, mau menyesuaikan diri dengan nora-norma itu, atau karena pernah
menerima hukuman dalam arti informal dan sanksi hukum berupa cemoohan dari
teman-teman mereka. Akan tetapi jika norma-norma itu terdapat dalam kerangka
acuan yang bersifat sacral, maka norma-norma tersebut dikukuhkan pula dengan
sanksi-sanksi yang sakral; dan dalam hampir semua masyarakat sanksi-sanksi
sakral tersebut mempunyai kekuatan memaksa yang istimewa. Karena, tidak hanya
menyangkut ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman yang bersifat duniawi dan
manusiawi, tetapi juga ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman yang bersifat
supra manusiawi dan ukhrawi.[8]
Melalui pendekatan
sosiologis agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu sendiri
diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam al-Qur’an misalnya kita jumpai
ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya, sebab-sebab
yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa, dan sebab-sebab yang
menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua itu jelas baru dapat dijelaskan
apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada saat ajaran agama itu
diturunkan.[9]
Elizabeth K. Nottingham
dalam bukunya mengemukakan berikut adalah kekuatan agama yang mampu membujuk
orang-orang dan pihak-pihak (yang bersangkutan) untuk mengorbankan kepentingan
pribadi mereka demi terpenuhinya kepentingan masyarakat secara keseluruhan:
Pertama, agama telah membantu mendorong terciptanya persetujuan mengenai isi dan
kewajiban-kewajiban sosial tersebut dengan memberikan nilai-nilai yang
berfungsi menyalurkan sikap-sikap para anggota masyarakat dan menetapkan isi
kewajiban-kewajiban sosial mereka. Dalam peranan ini agama telah membantu
menciptakan sistem-sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh.[10]
Kedua, terdapat alasan-alasan yang kuat untuk mempercayai bahwa agama juga telah
memainkan peranan vital dalam memberikan kekuatan memaksa yang mendukung dan
memperkuat dan memperkuat adat-istiadat.
Dalam hal ini patut diketahui bahwa sikap mengagungkan dan rasa hormat,
terutama yang berkaitan dengan adat istiadat (moral) yang berlaku, berhubungan
erat dengan perasaan-perasaan kagum yang ditimbulkan oleh yang sakral itu
sendiri.[11]
2.
Aplikasi Sosiologi
dalam Pengembangan Ilmu Keislaman
Bagi pengembangan
ilmu-ilmu keislaman, sosiologi memiliki manfaat ganda, yakni:
a.
Manfaat
teoritis-epistimologi : bahwa sosiologi pengetahuan dapat membantu para
pengkaji ilmu-ilmu keislaman untuk memahami substansi ilmu dan mengembangkan
paradigma di dalamnya, sehingga ilmu bisa lebih dinamis. Pemahaman terhadap
substansi ilmu dilakukan melalui penemuan eksemplar-eksemplar itu, dan
pengidentifikasian metode-metode dalam suatu paradigm. Semetara pengembangan
paradigm dilakukan melalui penelusuran kaitan antara paradigm dengan konteks
sosio-historisnya, pencarian paradigm baru berdasarkan analisis persoalan
sosio-historis kontemporer, dan pencarian teori-teori baru dalam paradigm baru.
b.
Manfaat praktis
sosiologis adalah bahwa sosiologi pengetahuan dapat memperkaya metode
penelitian ilmu-ilmu keislaman. Ilmu keislaman sudah selayaknya dilihat dengan
berbagai cara (apa saja boleh), asalkan semua cara itu dilakukan dengan
bertanggung jawab dan dapat memperluas perspektif para pengkaji. Hanya dengan
cara memperbanyak perspektif inilah akan terwujud ilmu keislaman yang ramah
terhadap segala keragaman dan problematika kehidupan. Di samping itu, ilmu
keislaman yang multiperspektif juga akan mudah diterima semua kalangan karena
dinamika dan kelenturannya yang tinggi ketika harus bersentuhan dengan realitas
masyarakat.
Misalnya, sebagai ilmu, ilmu ushul fikih bukanlah ilmu
yang terbentuk dari ruang hampa dan steril dari pengaruh lokasi sosial pada
zaman tertentu. Oleh karena itu, biarlah orang-orang terdahulu merumuskan
prinsip-prinsip ilmu ushul fikih yang sesuai pada saat itu, dan kita juga
merumuskan prinsip-prinsip ilmu ushul fikih kita sendiri sesuai dengan zaman
kita. Dominasi antar generasi hanya akan menghasilkan kejumudan dan kemandegan
berpikir.
Wacana tertutupnya pintu ijtihad yang sempat
terdengar, sesungguhnya tiada lain adalah tidak dapat dilakukannya ijtihad
karena paradigm lama dalam ilmu ushul fikih telah mengalami keusangan
(obsolete) dan keterjebakan ideologis, sehingga mengalami disfungsi.[12] Inilah
yang digambarkan al-Jabiri dalam kutipan berikut:
“Masalah-masalah khusus di masa lalu, meski mirip dan
sejenis terbatas atau memungkinkan untuk dibatasi; teks-teks syariat (al-Qur’an
dan sunah) juga terbatas, dan demikian pula ijtihad memahami kata-kata dan
batas-batas petunjuk dari teks-teks itu…, akhirnya mau tidak mau akan sampai
pada titik di mana tak ada lagi yang tersisa, dan kemudian akibat yang sudah
pasti adalah “tertutupnya” pintu ijtihad, bukan “ditutup” (dengan sengaja)
seperti yang dikatakan orang.[13]
Sebenarnya, tak ada seorangpun dalam Islam yang
memiliki kekuasaan untuk “menutup” pintu ijtihad, baik para penguasa, para ahli
fikih atau yang lain karena dalam Islam tak ada gereja atau lembaga apapun yang
mempunyai kekuasaan untuk “menutup” atau “membuka” pintu ijtihad. Jadi, ijtihad
merupakan salah satu dasar dari pembuatan hukum Islam, dan ia adalah pengerahan
upaya pemikiran dalam rangka mengetahui hukum-hukum syariat, dan ini adalah hak
bagi setiap Muslim yang memenuhi hukum-hukum syarat-syarat keilmuan yang
memungkinkannya untuk melakukan ijtihad.
Dengan demikian, pintu ijtihad dengan sendirinya
tertutup ketika di sana tidak ada lagi tersisa ijtihad dalam kerangka peradaban
di mana kaum Muslim hidup di dalamnya. Ketika semua masalah yang dilontarkan
dan yang mungkin dilontarkan di dalam kerangka peradaban yang sama telah tuntas
diliput, dan ketika pemanfaatan segala kemungkinan yang disediakan oleh teks
dalam arti hubungan kata dengan makna telah sempurna, dan kasus-kasus terdahulu
yang bisa dijadikan sandaran analogi telah habis…, maka mau tidak mau pintu
ijtihad dengan sendirinya tertutup dan orang-orangpun berbelok kepada taqlid….”[14]
“Dari sini, Nampak jelas bahwa seruan kepada ijtihad”
dan membuka pintu ijtihad, akan tetap saja suara di udara selama upaya
“membuka” nalar yang merupakan titik utama tugas ijtihad, belum tercapai. Hal
ini karena pintu ijtihad tidak pernah ditutup, tetapi ia tertutup dengan
sendirinya ketika nalar yang menjalankan ijtihad itu tertutup di dalam kerangka
peradaban dan kebudayaan yang telah berhenti bergerak dan tumbuh. Dengan
demikian, mau tidak mau diperlukan keterbukaan baru bagi nalar Arab Islam agar
ia sanggup menghadapi keterbukaan peradaban yang telah terjadi. Tanpa hal ini,
tidak akan pernah ada ijtihad pada tatanan masalah-masalah kontemporer.”[15]
Islam telah meletakkan dasar-dasar umum cara
bermasyrakat. Di dalamnya diatur hubungan antara individu dengan individu,
antara individu dengan masyarakat, anatar satu komunitas masyarakat dengan
komunitas masyarakat lainnya. Aturan itu mulai yang sederhana sampai kepada
yang sempurna, mulai dari hukum berkeluarga sampai bernegara.
Al-Qur’an memang bukan buku sejarah yang secara
sistematis membahas keadaan masyarakat masa lampau namun sebagai bukti petunjuk
yang di dalamnya di dapati hukum-hukum
perubahan masyarakat (sosial) yang berlaku sepanjang sejarah manusia. Oleh
karena itu di dalamnya terdapat ayat-ayat yang berisi perintah agar manusia memperhatikan sejarah umat terdahulu.
C. Signifikansi
Dan
Kontribusi Pendekatan Sosiologi Dalam Studi Islam
Dilihat sepintas saja
sudah tampak bahwa ilmu sosiologi sangat berkontribusi dalam studi islam,
terutama pada lintasan pemikiran sosial yang membutuhkan pedoman agama islam.
Memang kesemuanya berangkat dari satu kondisi dimana kelompok masyarakat
menginginkan tata tertib (aturan) yang tertuang dalam pedoman agama islam.
Sebagai contoh, anjuran didalam islam untuk memuliakan tetangganya saat memasak
untuk memperbanyak kuahnya agar bisa dibagikan kepada tetangga sebelah. Hal ini
terlihat sederhana tetapi mempunyai arti luas tentang kehidupan sosial, sebab
makna sesungguhnya dari sosial adalah saling berbagi satu sama lain tanpa
membeda-bedakan ras, suku, etnis dan agama.[16]
Tak kurang pentingnya
ialah bahwa studi islam bertolak dari sebuah strategi untuk segala sesuatu yang
diperlukan. Sehingga studi islam mempunyai cakupan yang luas khususnya dalam
bidang sosiologi. Agaknya, keterkaitan signifikansi dan kontribusi itulah yang
dinyatakan bentuk kesadaran pada ilmu pengetahuan sosial. Istilah tersebut
digunakan untuk menandakan kedekatan sosiologi pada studi islam karena
dipandang baik dan berguna. Setiap permasalahan sosial mampu dijawab studi
islam dengan baik dan komprehensif. Sosial juga terikat pada penalaran yang
bersandar pada keyakinan, asumsi dan persepsi. Kebenaran sosial menata ulang
peradaban, memandang penuh optimis keharmonisan, serta mengendalikan penataan
peranan keluarga dalam kelompok masyarakat.
Menurut penulis,
setidaknya ada dua hal yang menjadi titik tekan dalam agama ketika bersentuhan
dengan bidang sosial, pertama yaitu ibadah. Ibadah yang kita lakukan
sehari-hari menyimpan nilai tersendiri bagi agama yang diyakininya, atau sering
disebut pahala. Selain berpahala, ibadah yang normatif memberikan kesan sosial
yang utuh tentang realitas sosial di kelompok masyarakat. Kedua yaitu muamalah, yang berarti perlakuan atau tindakan terhadap orang
lain. Perlu kiranya dicermati bahwa sikap kita terhadap oranglain menentukan
perlakuan orang lain kepada kita. Jika kita ramah, maka orang lain akan
menghormati kita, jika kita baik dan suka memberi maka orang lain akan senang
dengan kita, begitu seterusnya. Untuk itulah studi islam bercerita tentang
memuliakan tetangga dan menghormati orang lain. Oleh karena itu, sentuhan
sosiologi dalam studi islam mempunyai nilai yang besar jika diaplikasikan dalam
kehidupan bermasyarakat. Terlebih menjadikan ia platform pada setiap
kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan.[17]
D.
Beberapa
Contoh Metode Pendekatan Dalam Studi Islam
Untuk
menghasilkan suatu teori, maka kajian-kajian ilmiah harus memiliki
pendekatan-pendekatan, demikian halnya dengan teori-teori sosiologi. Ada tiga pendekatan utama
sosiologi, yaitu:
a.
Pendekatan struktural-fungsional.
Ini merupakan
interdisiplin ilmu antara pendekatan strukturalisme dan fungsionalisme.
Pendekatan strukturalisme akan mengkaji struktur kehidupan masyarakat dengan
mengabaikan fungsi dari setiap struktur tersebut. Pendekatan ini hanya melihat
masyarakat sebagai sebuah komponen yang memiliki struktur pembangun di
dalamnya. Sedangkan fungsionalisme lebih cenderung kepada kajian bahwa setiap
komponen dalam masyarakat mempunyai fungsi dan peran di dalam masyarakat.
Kajian ini mengutamakan fungsi tersebut dan lebih mengabaikan struktur, bahwa
setiap komponen harus berfungsi selayaknya, jika tidak maka akan terjadi
kepincangan dalam kehidupan sosial.
Maka
kombinasi antara strukturalisme dan fungsionalisme ini memandang bahwa
masyarkat tidak hanya sebagai kesatuan struktur saja atau fungsi saja, tapi
cenderung untuk mengkaji masyarakat baik dari strukturnya maupun fungsinya dan
hubungan di antara keduanya.
Pendekatan
struktural-fungsional terkenal pada akhir 1930-an, dan mengandung pandangan
makroskopis terhadap masyarakat. Walaupun pendekatan ini bersumber pada
sosiolog-sosiolog Eropa seperti Max Webber, Emile Durkheim, Vill Predo Hareto,
dan beberapa antropog sosial Inggris, namun yang pertama yang mengemukakan
rumusan sistematis mengenai teori ini adalah Halcot Parsons, dari Harvard.
Teori ini kemudian dikembangkan oleh para mahasiswa Parson, dan para murid
mahasiswa tersebut, terutama di Amerika.
b.
Pendekatan struktural-fungsional.
Ini
merupakan interdisiplin ilmu antara pendekatan strukturalisme dan
fungsionalisme. Pendekatan strukturalisme akan mengkaji struktur kehidupan
masyarakat dengan mengabaikan fungsi dari setiap struktur tersebut. Pendekatan
ini hanya melihat masyarakat sebagai sebuah komponen yang memiliki struktur
pembangun di dalamnya. Sedangkan fungsionalisme lebih cenderung kepada kajian
bahwa setiap komponen dalam masyarakat mempunyai fungsi dan peran di dalam
masyarakat. Kajian ini mengutamakan fungsi tersebut dan lebih mengabaikan
struktur, bahwa setiap komponen harus berfungsi selayaknya, jika tidak maka
akan terjadi kepincangan dalam kehidupan sosial.
Ia
menganggap cara produksi di sepanjang sejarah manusia secara sedikian rupa,
sehingga sampai-sampai ia berpandangan sumber daya ekonomi dikuasai oleh
segelintir orang tertentu, sementara golongan masyarakat lainnya ditakdirkan
untuk bekerja untuk mereka dan tetap bergantung pada kemurahan hati segelintir
penguasa.
Bertolak
dari memandang sejarah manusia dengan cara seperti ini, Marx mengajukan teori
sosialismenya yakni sautu solusi final agar seluruh sumber daya dapat dimiliki
oleh semua orang. Revolusi-revolusi lanjutan tidak lagi diperlukan karena
idealnya tidak akan adala lagi kelaparan,peng eksploitasian dan konflik.
c.
Pendekatan Interaksionisme-Simbolis.
Pendekatan
ini juga merupakan pendekatan yang menggunakan interdisiplin, yakni
interaksionisme yakni sebuah pendekatan yang mengkaji hubungan-hubungan yang
terjadi di masyarakat.[18]
Kemudian pendekatan ini digabungkan dengan pendekatan simbolisme dengan asumsi
bahwa semua interaksi dalam masyarakat hanya akan terlihat dengan jelas bila
dihubungkan dengan simbol-simbol yang berlaku di kalangan mereka.
Sedangkan
pendekatan interaksionisme-simbolis merupakan sebuah perspektif mikro dalam
sosiologi yang barang kali sangat spekulatif pada tahapan analisanya sekarang
ini. Tetapi pendekatan ini mengandung sedikit sekali prasangkan ideologis,
walaupun meminjam banyak dari lingkungan Barat tempat dibinanya pendekatan itu.
Sebagaimana
dipesankan oleh namanya, interaksionisme-simbolis lebih sering disebut sebagai
pendekatan interaksionis saja-bertolak dari interaksi sosial pada tingkat
paling minimal. Dari tingkat mikro ini, tidak seperti jenis lain psikologi
sosial, ia diharapkan memperluas cakupan analisisnya guna menangkap keseluruhan
masyarakat sebagai penentu proses dari banyak interaksi. Manusia dipandang
mempelajari situasi-situasi yang bisa serasi atau bisa pula menyimpang,
mempelajari situasi-situasi transaksi-trasnsaksi politis dan ekonomis,
situasi-situasi di dalam dan diluar keluarga, situasi-situasi permainan dan
pendidikan, situasi-situasi organisasi, formal dan informal dan seterusnya.
Ketiga
pendekatan sosiologi (struktural-fungsional, konflik dan
intraksionisme-simbolis) yang telah disebutkan pada bagian terdahulu, adalah
pendekatan sosiologi kontemporer yang dibina dengan objek masyarakat barat,
karenanya pendekatan tersebut tidak bersifat universal. Pemikiran barat bukan
saja jauh dari dan kerap kali bertentangan dengan persepsi-persepsi lokal dalam
masyarakat-masyarakat non-Barat, tetapi juga tidak mampu menjelaskan problem
yang dewasa ini dihadapi oleh masyarakat-masyarakat ini.
Tidak
sedikit contoh tentang kelemahan dalam sosiologi ini. Misalnya teori tentang
kejahatan dan pelanggaran serta penyimpangan yang didasarkan pada
pengalaman-pengalaman dan penelitian-penelitian di pusat kota New York dan
Chicago, tidak menjelaskan masalah kejahatan dan penyimpangan yang ada di Uni
Soviet, Fakistan, Mesir, Indonesia dan masyarakat-masyarakat serupa lainnya.[19]
Memang telah
ada upaya-upaya untuk meredakan perbedaan-perbedaan sosiologis antara satu
Negara Barat dengan Negara Barat lainnya. Perbedaan-perbedaan ini bisa dihilangkan
dengan interaksi yang lebih akrab antara para sosiolog Eropa dan Amerika,
tetapi akan tetap dirasakan adanya kenyataan yang janggal bahwa
pendekatan-pendekatan sosiologis Barat didasarkan pada asumsi-asumsi dan
penelitian-penelitian yang asing bagi realitas sosial di masyarakat non-Barat.
Bila
dialihkan perhatian, dari masyarakat Barat pada umumnya, ke masyarakat Muslim
atau wilayah yang berkebudayaan Islam pada khususnya, maka akan terlihat bahwa
studi sistematis mengenai Islam merupakan suatu bidang yang benar-benar tidak
diperdulikan dalam sosiologi. Nyaris tidak satu pun studi sosiologis tentang
Islam dan masyarakat-masyarakat Muslim.[20]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sosiologi merupakan ilmu yang tergolong masih muda
walaupun telah mengalami perkembangan cukup lama, yaitu sejak manusia mengenal
kebudayaan dan peradaban. Dalam kehidupannya, manusia telah banyak menaruh
perhatian dan minat terhadap sosiologi. Suatu keadaan yang terjadi dalam
masyarakat seperti, kejahatan perang, penguasaan golongan yang satu terhadap
golongan lainnya, kepercayaan dan sebagainya. Melalui perhatian tersebut lalu
muncul teori-teori yang berkenaan dengan kemasyarakatan yang kemudian
teori-teori tersebut digunakan utuk mengkaji agama.
Beberapa
objek pendekatan sosiologi yang digunakan oleh para sosiolog ternyata
menghasilkan cara unntuk memahami agama dengan mudah. Selain itu memang menurut
beberapa sosiolog dan ahli metodelogi studi-studi ke-Islaman bahwa agama Islam
itu sendiri sangat mementingkan peranan aspek sosial dalam kehidupan beragama.
Pendekatan
sosiologis dalam kajian-kajian aspek agama Islam sebenarnya bukanlah sebuah
tradisi yang benar-benar baru. Banyak kalangan mengakui bahwa pendekatan ini
telah lama digunakan dalam tradisi intelektual Islam, seperti penelitian para
periwayat hadist yang dilakukan oleh imam-imam Hadist, akan tetapi Ibn
Khaldunlah yang kemudian memakai pendekatan ini dengan metode yang lebih
sistematis.
Pendekatan
Sosiologi mempunyai peluang yang sangat besar untuk berkembang dalam lingkup
studi Islam. Dengan begitu kontribusinya kemudian dalam tradisi intelektual
Islam tentu saja akan sangat besar.
B. Saran
Semoga makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan bagi rekan-rekan
dan kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari Bapak/Ibu Dosen
serta rekan-rekan sekalian.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, 2012, Jakarta: Rajawali Pers.
Atang Abd, Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, 2003
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ba-Yunus, Ilyas dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam:
Sebuah Pendekatan, (Terj. Hamid Ba-Syaib), Bandung: Mizan, 1996.
Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan
Masyarakat; Suatu Pengantar Sosiologi Agama, 1996, Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi sebagai Cara
Pandang, 2008, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi
Islam, Jakarta: Grafindo Persada, 2001.
Rakhmat, Jalaluddin, Islam
Alternatif, Bandung: Mizan, 1986.
Stepen K. Sanderson, Sosiologi Makro, Edisi Indonesia,
(Terj. Hotman M. Siahaan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Steven K. Sanderson, Sosiologi Makro, (Terj. Sahat
Simamora), Jakarta : Bina Aksara, 1984.
Syani, Abdul, Sosiologi Dan
Perubahan Masyarakat, Lampung: Pustaka Jaya, 1995.
Tim MGMP, Sosiologi SUMUT, Medan:
Kurnia, 1999.
[4]Steven K. Sanderson, Sosiologi Makro, Terj.
Sahat Simamora, (Jakarta : Bina Aksara, 1984), h. 253.
[5]Stepen K. Sanderson, Sosiologi Makro, Edisi Indonesia, Ter. Hotman
M. Siahaan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 2.
[6]Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 40-41.
[7]Atang Abd, Hakim dan
Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2003), hlm. 223.
[8]Elizabeth K. Nottingham
(penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan Masyarakat; Suatu Pengantar
Sosiologi Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996) , hlm. 39-40.
[12]Muhyar Fanani, Metode
Studi Islam; Aplikasi Sosiologi sebagai Cara Pandang, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), hlm. 185
[15] Ibid. hlm. 186
[18]Ilyas Ba-Yunus dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam:
Sebuah Pendekatan, terj. Hamid Ba-Syaib, (Bandung: Mizan, 1996), h. 20-24.
[19] Ibid. hlm. 29
[20] Ibid, hlm. 30
No comments:
Post a Comment