MAKALAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DI INDONESIA
BAB II
PEMBAHASAN
A.PerkembanganPemikiran di Indonesia
Perkembangan Fikih
Islam di Indonesia Perkembangan Islam di Indonesia dapat dibagi atas dua
periode, periode pertama: yaitu dimana agama Islam dengan umatnya pada zaman
agama Hindu dan Budha (pada abad 15, 16, 17, 18 dan 19). Periode kedua:
reformasi agama Islam dengan kebangkitan semangat kebangsaan Pan Islamisme
(pada abad ke XX ini)[1]
Sebagaimana dimaklumi dalam sejarah serta berdasarpada keterangan seminar
tentang sejarah masuknya Islam ke Indonesia, yang diadakan di Medan pada
tanggal 17 sampai 20 Maret 1963 di Medan, ditetapkan bahwa Agama Islam masuk di
Indonesia pada abad ke 14 di Sumatera (Pasai-Aceh) dan di Jawa (Gresik).
Dalam kenyataannya,
mazhab fikih yang banyak diikuti di Indonesia adalah pemikiran Imam Syafii.
Imam Syafii lahir di Gaza (dekat Palestina) pada tahun meninggalnya Imam Abu
Hanifah, 150 H dan wafat tahun 204 H.[2]Mazhab
fikih Syafii tersebut dibawa oleh mubalig dan ulama yang datang ke Indonesia
menyebarkan Islam. Setelah terjadinya Islamisasi ini, maka ulama-ulama dari
kalangan pribumi pun muncul dan diketahui kemudian ternyata semuanya adalah
pendukung mazhab Syafii.
Fikih Syafii adalah
fikih sintesa atau perpaduan antara fikih Hanafi dan fikih Maliki. Hal ini
boleh jadi karena Muhammad Idris Al-Syafii pernah berguru pada Imam Malik di
Madinah selama 9 tahun. Kemudian beliau sempat berkenalan dengan Fikih Hanafi
melalui seorang murid imam Abu Hanifah yaitu Muhammad bin al-Hasan Al-Syaibani,
dengan beliau pernah berkumpul di Baghdad selama tiga tahun. Fikih Syafii yang
disusun di Mekah sepulang dari perlawatan pertama al-Syafii ke Irak. Konsep
fikih Syafii menunjukan kemandirian Imam al-Syafii dalam berpendapat, karena ia
melahirkan pendapat- pendapat yang berbeda dengan guru-gurunya. Misalnya ia
pada dasarnya sependapat dengan Imam Malik, bahwa ijmak merupakan salah satu
sumber hukum Islam. Tapi keduanya berbeda dalam menerapkan konsep ijmak ini.
Jika imam Malik memaksudkan ijmak sebagai kesepakatan ulama pemuka Madinah,[3] maka
menurut imam al-Syafii untuk mempunyai kekuatan sebagai sumber hukum itu, harus
ada kesepakatan umat Islam dari seluruh dunia Islam. Selain perbedaan dalam
masalah ijmak, Syafii juga enggan menyetujui konsep al-maslahat al-mursalah
dari fikih Maliki.[4]
Sebaliknya Syafii
sepakat dengan Imam Abu Hanifah bahwa qiyās atau analogi adalah merupakan salah
satu sumber hukum. Tetapi Syafii dapat menolak fikih Hanafi dari segi konsepsi
istihsān.
Dalam pemikiran hukumnya Al-Syafii hanya
menerima lima sumber hukum Islam. Alquran, Sunnah Nabi, Ijma atau konsensus,
pendapat sebagian sahabat yang tidak adanya perselisihan mereka di dalamnya,
dan pendapat yang di dalamnya terdapat perselisihan qiys atau analogi.[5]
Berlainan dengan Abu Hanifah, Al-Syafii banyak
memakai sunnah sebagai sumber hukum, bahkan membuat sunnah dekat dengan
Alquran. Istihsān yang dibawa Abu Hanifah dan al-Masālih al-Mursalah yang
dikemukakan Imam Malik, ditolak oleh Al-Syafii sebagai sumber hukum. Bahwa
fikih Syafii adalah fikih sintesa antara fikih Hanafi dan Fikih Maliki, juga
dapat dilihat antara lain dari ketentuan fikih Syafii tentang cara orang duduk
dalam sholat.
Menurut Hanafi, cara duduk orang yang shalat
Iftirāsy (duduk dengan tegak dengan beralaskan dua betis yang membujur sejajar
dengan arah kiblat), dengan tiada perbedaan apakah itu duduk antara dua sujud,
dua tahiyat pertama tahiyat akhir. Menurut Imam Syafii duduk antara dua sujud,
duduk tahiyat pertama adalah iftirāsy, dan untuk duduk tahiyat akhir adalah
tawarruk.[6] Selain
itu, al-Syafii adalah ahli fikih pertama yang menyusun Ilmu Ushul al-Fiqh.
Fikih Syafii juga
diwarnai fikih Irak dan fikih Misri, dimana fatwa-fatwa imam al-Syafii berbeda
ketika ia menetap di Baghdad dengan ketika berada di Mesir. Kedua pendapatnya
ketika berada di kedua kota itu dikenal dengan al-qaul al-qadim dan al-qaul
al-jadīd.[7] Ungkapan
di atas menunjukan kepada kita bahwa sistem pemikiran imam al-Syafii yaitu
berijtihad dengan menggunakan metode deduktif dan ijtihad dengan metode
komparatif, dimana dapat berusaha mempertemukan dua pendapat yang memang
berbeda, yang biasanya disebut dengan taufīqīy atau menguatkan salah pendapat
yang disebut dengan tarjīh. Ketika Islam dibawa masuk ke Indonesia dan
menyebabkan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam diberbagai daerah, keberadaan
Islam dan penganutnya tidak dipandang sebagai musuh yang datang menjajah,
melainkan dirasakan sebagai pembaharuan dan inovasi. Sebab, umumnya antara
raja-raja di kerajaan Islam masih ada pertalian darah dengan raja yang
digantikannya. Kerena itu, perubahan itu dipandang sebagai kelanjutan yang
tidak mengejutkan, hanya berganti keyakinan agama yang dianggap lebih sesuai
dan praktis. Oleh karena itu antara julukan Sri Baginda Maharaja dengan julukan
Sultan Akbar Khalifatullah Sayyidin Patanah Ahama dan lain sebagainya itu
dipandang hal yang biasa.[8]Kekuasaan
raja dan sultan juga lebih banyak ditopang dan didukung oleh
penasehat-penasehat agama yang lazim disebut wali, yang tiada lain adalah
pemimpin agama dan dai yang agung sekaligus ulama. Setelah kemerdekaan, sudah
tentu untuk mengisi kemerdekaan ini, sikap ulama terhadap umara tidak boleh
terjadi sebagaimana terhadap penjajah, melainkan dibina kemanunggalan ulama
dengan umara’ sedemikian rupa sehingga pembangunan di Indonesia di alam
kemerdekaan ini dapat berjalan lancar, ibarat beban, berat sama dipikul dan
ringan sama dijinjit. Dengan perspektif yang melihat bahwa dinamika pergerakan
Islam tidak dapat diisolasikan dari dinamika negara sebagai kekuatan yang mampu
memproduksikan sistem simbolik, dan juga dengan perspektif bahwa Islam
mempunyai potensi untuk melakukan “counter hegomonic-movement” sambil
menawarkan alternatif-alternatif sistematik untuk integrasi sistem sosial dan sistem
budaya.
Gerakan-gerakan dari pembaharu telah menjadi
warisan tersendiri dalam spektrum intelektual Islam Indonesia yang sekaligus
sebagai pemikiran baru perkembangan hukum Islam.[9]
Pelopor pembaharuan
fikih di Indonesia, pertama Hazairin, seorang guru besar Hukum Islam dan Hukum
Adat Universitas Indonesia. Dan kedua Hasbi Ash Shiddiqiy beliau adalah mantan
Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Meskipun konsepsi yang
diajukan oleh kedua guru besar ini tampak tampil secara sendiri-sendiri, tapi
masih tidak terlepas kepada bentuk pembaharuan yang selalu didengunkan di
Indonesia, walaupun pada saat itu belum terbentuk ide mereka dalam satu
ketetapan hukum, namun banyak praktek para cendekiawan sudah menuju ke arah
pembaharuan tersebut.
Dalam pidatonya tahun 1951, Hazairin telah
mempersoalkan kemungkinan kita di Indonesia mendirikan mazhab kita sendiri,
Mazhab Nasional dalam lapangan yang langsung mempunyai kepentingan
kemasyarakatan. Ini menunjukan bahwa pola pemikiran pembaharuan di Indonesia
ini selalu melihat kepentingan negara dan masyarakat, agar berjalan secara baik
dan benar.
Penegasan Huzairin ini mengandung beberapa hal
yang fundamental bagi pembaharuan hukum Islam di Indonesia.
1. Perlu memberi corak kenasionalan bagi perkembangan hukum Islam di Indonesia
dengan merangkumnya dalam satu Mazhab Indonesia guna menonjolkan hal-hal yang
sifatnya spesifik.
2. Dalam rangka memberikan identitas Nasional terhadap hukum Islam diadakan
pembedaan dalam dua bidang
a. Hukum Islam yang berkenaan dengan masalah ibadah, yang sifatnya tidak
langsung bersangkut paut dengan kemasyarakatan. Ini boleh diadakan pembaharuan,
karena tidak memberikan pengaruh langsung kepada masyarakat yang selama ini
dianggap sesuatu yang sangat benar, yang bila diadakan perobahan dapat
menimbulkan kerawanan dan kekacauan bagi masyarakat.
b. Hukum Islam yang langsung berkenaan dengan soal kemasyarakatan. Dari bidang
ini boleh kita adakan pembaharuan yang sifatnya bertahap dari satu masalah ke
masalah lain, dan kalau ini diadakan perubahan tidak terlalu terasa oleh
masyarakat, karena dianggap bukan hal-hal yang prinsip dan tidak membatalkan
ibadah mereka.
3. Mazhab Syafii masih hidup dan dipertahankan untuk bidang hukum yang
berkenaan dengan ibadah, sedangkan untuk bidang yang berkenaan dengan soal
kemasyarakatan, kita dirikan Mazhab Nasional dan melepaskan diri dari mazhab
Syafii dalam artian mengembangkan, mengubah dan memperbaiki mazhab itu,
misalnya dalam soal kesahihan macam-macam syirkah.
4. Untuk membentuk Mazhab Nasional diperlukan lahirnya Mazhab-Mazhab Mujtahid
baru yang bercorak nasional untuk melakukan ijtihad kelompok dan peranan hukum
Islam yang sesuai dengan kondisi dan situasi di Indonesia.[10] Lebih
sepuluh tahun gagasan itu tidak dapat tanggapi oleh pemerintah maupun dari
kalangan pakar hukum Islam dan ahli hukum Islam, pada umumnya.
Gagasan-gagasan itu
nanti pada tahun 1961 Hasbi Ash Shiddeiqy dalam pidato pengukuhannya
mengemukakan ide yang sama, walaupun tanpa menyebut gagasan dari Hazairin. Beliau
menyatakan bahwa sangat diperlukan lahirnya ijtihad baru yang dilakukan dengan
mempelajari syariat Islam. Karena itu maksud mempelajari syariat Islam di
Universitas Islam sekarang ini supaya fikih Islam dapat menampung kemaslahatan
masyarakat dan dapat menjadi pendiri utama bagi perkembangan hukum di tanah
air. Maksudnya, supaya kita dapat menyusun fikih baru yang diterapkan sesuai
dengan tabiat dan watak Indonesia.
Ide yang sama juga dikemukakan oleh Munawir
Sadzali pada saat ia menjadi Menteri Agama RI. Munawir selalu memberikan
konsep-konsep pemikirannya dalam rangka pembaharuan hukum Islam di Indonesia,
buktinya ia pernah menjelaskan tentang sistem pembagian warisan di Solo antara
laki-laki dan perempuan Mengenai cara mewujudkannya, dikemukakan bahwa kita
harus menggali hukum-hukum syariat dari sumber asal (Alquran dan Hadis), dari
kitab pokok yang ditulis dalam masa ijtihad dari semua mazhab, sunni, syiah
dhahiri dan sebagainya. Bahkan kita tidak boleh hanya membandingkan antara satu
fikih dengan fikih yang lain, tapi juga dengan perundang-undangan buatan
manusia.
Tampak dari pendapat-pendapat tersebut bahwa
sesungguhnya mereka menggunakan terminologi yang bersamaan dan tujuan yang
sama. Sekalipun demikian, ada suatu perbedaan pokok antara mereka. Hazairin
berpendapat bahwa mazhab di Indonesia adalah mazhab Syafii yang diperbaharui,
sedangkan Hasbi ingin membentuk fikih Indonesia, dan pendapat ini diperbuat
oleh Bapak Munawir Syadzali.
Dari ide-ide pemikiran mereka itulah saat ini
ada sejumlah produk perundang-undangan yang bercirikan Indonesia, Seperti
lahirnya Undang-Undang Hukun Acara Peradilan Agama, dimana Pengadilan Agama
mempunyai kewenangan yang lebih luas bila dibandingkan dengan sebelum lahirnya
Undang-Undang tersebut. Dari kesekian itu dengan adanya komplikasi hukum Islam
yang ada di Indonesia sekarang ini telah terbukti bahwa walaupun belum sampai
semua bidang hukum dapat di kembangkan sesuai zaman, akan tetapi minimal sudah
mempunyai langkah-langkah baru dalam menuju fikih ala Indonesia.
Ide kompilasi hukum Islam timbul setelah
beberapa tahun Mahkamah Agung membina Teknis Yuridis Peradilan Agama, tugas
pembinaan ini didasarkan pada UU No. 14 tahun 1970. Tentang ketentuan-ketentuan
pokok kekuasaan kehakiman.[11]
Bardasarkan ketentuan di atas, secara formalnya baru muncul pada tahun 1985 dan
kemunculannya ini merupakan hasil kompromi antara Mahkamah Agung dengan menteri
agama. Maka Bustanil Arifin sebagai penegas gagasan ini menyatakan bahwa, untuk
berlakunya hukum Islam di Indonesia harus ada antara lain, hukum yang jelas dan
dapat dilaksanakan baik oleh aparat maupun oleh rakyat.
Upaya penyusunan kompilasi hukum Islam ini
disusun dengan mempertahankan kondisi kebutuhan hukum dan kesadaran hukum umat
Islam Indonesia, bukan upaya mazhab baru, tetapi sebagai upaya mempersatukan
berbagai fikih dalam menjawab satu persoalan yang mengarah kepada unifikasi
mazhab dalam Islam.
Bagaimanapun juga kompilasi ini sebagai
sesuatu yang di hayati oleh masyarakat bangsa kita. Hukum-hukum Islam datang
untuk menjadi rahmat bagi masyarakat manusia bahkan bagi alam semesta.
Kompilasi hukum Islam di Indonesia adalah suatu peluang bagi umat Islam.
Sehubungan itu seorang pengamat umat Islam. Mitsoo Nakamura menyatakan bahwa,
kompilasi ini sangat strategis dan mempunyai arti penting bagi umat Islam. Akan
tetapi menurut Nakamura, soalnya tinggal bagaimana tokoh-tokoh Islam dan umat
Islam melihat serta memanfaatkan arti pentingnya proyek kompilasi hukum Islam
itu
pendapat- pendapat para
ulama terdahulu merupakan salah satu sebab terpenting dari stagnasi
perkembangan pemikiran umat umumnya dan perkembangan fiqih khususnya. Hukum
berijtihad adalah fardhu kifayah artinya, dikalangan umat harus selalu ada
mujtahid yang melaksanakan kewajiban ini. Jika itu sudah dilakukan, maka
seluruh masyarakat tidak akan berdosa. Namun apabila tidak ada satupun mereka
yang melaksanakan sebagai mujtahid mereka semua akan berdosa. Yang dimaksud
disini ialah adanya seorang mujtahid yang hidup dan aktif serta dapat membaca
realitas yang berkembang untuk berijtihad. Bukan adanya kitab- kitab para
mujtahid terdahulu yang telah menghadap ke haribaan Allah. Inilah yang dimaksud
dari ungkapan yang menyatakan bahwa “ dalam suatu masa tidak boleh kosong dari
mujtahid”. Tugas mujtahid yang aktif tidak terbatas pada melakukan ijtihad
dalam permasalahan- permasalahan baru yang akan kita bahas pada bagian
berikutnya. Juga tidak semata pada melakukan ijtihad mengenai permasalahan –
permasalahan lama dengan apa yang disebut oleh sebagian fuqaha masa kini
sebagai ijtihad intiqa’i (ijtihad yang hanya sekedar melakukan seleksi atau
pilihan)atas pendapat- pendapat lama. Seleksi ini dilakukan pada waktu
merumuskan hukum dengan cara memilih satu pendapat diantara beberapa pendapat
yang lain dan menetapkan menjadi hukum yang mengikat. Sesungguhnya ijtihad
bersifat bebas. Ia tidak dibatasi ataupun terkait untuk memilih pendapat –
pendapat ulama klasik. Pendapat yang menyatakan bahwa para ulama masa lalu
tidak menyisakan sedikitpun permasalahan untuk generasi berikutnya adalah
pendapat yang justru dapat membunuh kreatifitas. Itu adalah pendapat yang
bahkan tidak dapat dilontarkan oleh ulama klasik itu sendiri, pendapat yang
merupakan salah satu bentuk kemalasan berfikir dan perwujudan sifat kekanak-kanakan.
Beberapa contoh permasalahan yang memerlukan ijtihad kontemporer adalah
sebagai berikut: 1. Munculnya berbagai lembaga sosial dari kewajiban zakat. 2.
Mengalihkan zakat rikaz menjadi dana pembangunan dunia islam. 3. Pengenmbangan
lembaga peradilan. 4. Pengembangan lembaga waqaf. 5. Implikasi teori istikhlaf
dalam hal kepemilikan asuransi. 6. Pengembangan lembaga khilafah. 7.
Pengembangan lembaga ijtihad. 8. Pengembangan lembaga permusyawaratan. 9.
Pengembangan lembaga hisbah. 10. Pengembangan fiqih perempuan setelah
diperselisihkan kedudukannya karena kemampuan yang dimilikinya. 11.
Pengembangan fiqih minoritas setelah mereka bergabung dalam masyarakat. 12.
Pengembangan pandangan yang membagi dunia menjadi dua bahkaya tiga bagian
Metode-metode pembaharuan berikut contoh-contoh dan penerapannya :’ 1.
Metode salafi : yaitu kembali kepada fiqih kaum salaf, yakni pada sahabat dan
tabi’in dan melepaskan diri dari fiqih keemapat madzhab. Guru kita Dr. Muhammad
Yusuf Musa telah menulis buku berjudul Tarikh al-fiqh al-islami : Da’wah
Qawiyah li tajdidhi bi al- ruju’ li Mashadirihil al- ula (sejarah fiqih islam :
seruan keras untuk mempengaruhinya dengan kembali kepada sumber-sumbernya yang
pertama). Sebagian lain telah mengarang beberapa buku yang khusus membahas
tentang fiqih kaum salaf seperti Mu’jam Fiqh al-salaf ( kamus fiqih kaum salaf)
yang dikarang oleh prof. Syaikh Muhammad Al- Muttasyir Al- Kattani, dan juga
Mawsu’ah Ibrahim al- Nakha’i susunan Prof. Dr. Ruwwas qala’ji dan lain
sebagainya seperti tentang fiqih Umar dan lain-lain. Mereka memopunyai pendapat
yang bersebrangan dengan fiqih imam madzhab dan tidak lagi menghargai dengan
pandangan-pandangan mereka,padahal sumber pengetetahuan yang mereka pergunakan
ialah al- Qur’an dan al-sunnah. Ijtihad yang dijadika acuan-acuan oleh
imam-imam madzhabpun tidak keluar dari dilalah (petunjuk, ma’na) Al-Qur’a,
Sunnah, Fiqih sahabat, Fuqih Tabi’indengan melakukan seleksi ketat berkenaan
dengan falidasi dengan sumber naqli yang mereka pergunakan mempertimbangkan
argumentasi-argumentasi mereka dengan dalil-dalilnya dengan mentarjih sebagai
dalil dengan dalil lainnya sebagaimana diketahui, para imam madzhab adalah
orang yang paling dekat pengetahuannya dengan pendapat para pendahulunya. 2.
Metode intiqa’i atau ghawgha’i (selektif secara semena-mena). Yaitu menjatuhkan
pilihan yaitu menjatuhkan pilihan pada apa yang dirasa baik menurut kei nginan
pribadi dan hawa nafsu, dengan memilih hukum-hukum tertentu dan mengabaikan
sebagian yang lain sekehendak mereka.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa Perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia ebih banyak
didominasi oleh pemikiran Imam Syafii, perkembangan pemikiran fikih di
Indonesia dengan melalui para pedagang dan mubaliq-mubaliq pada saat itu, hukum
Islam banyak diterima di Indonesia karena para pembawanya menunjukan sifat
kenetralan, dimana masyarakat Indonesia pada saat itu dalam dua kondisi, yakni
pengaruh Hindu dan Budha yang mengklasifikasi status sosial masyarakat,
sedangkan Islam muncul dengan kesamaan derajat. Pemikiran pembaharuan fikih di
Indonesia dikemukakan oleh Hazairin dan Hasbi Ash-Shiddeiqy, dan kemudian
dikembangkan oleh Munawir Zadhali sewaktu menjadi Menteri Agama. Fikih Syafii
adalah fikih yang sintesa antara fikih Hanafi dan fikih Maliki, walaupun dalam
merumuskannya kadang menggunakan pendapat diantara salah satunya, akan tetapi
pada waktu menuangkan-nya dalam pendapatnya lebih banyak dipengaruhi Rasional,
sehingga kadang dikatakan fikih syafii adalah fikih Rasional.
DAFTAR PUSTAKA
- Aceh, Abu Bakar. Sekitar Islam Masuk di Indonesia, Cet. I; Bandung: Bina Aksara, 1972
- Ash Shiddieqi, Hasbi. Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman, Cet. I; Surabaya: Bulan Bintang, 1966
- Hamid, Juhri. Peranan Ulama Indonesia Dewasa Ini, Cet. II; Yogyakarta: Bina Usaha, 1984), h. 27
- Khalil, Munawir. Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1972 Khallaf, Abdul Wahab. al-Tasyrī’ al-Islāmī Fī mā lā Na¡¡a Fī hi, Diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar dan Anwar Rasyidi, dengan judul Sumber-Sumber Hukum Islam, Cet. I; Bandung: Risalah, 1972
- Kuntowidjoyo, Paradigma Islam, Cet. II; Bandung: Mizan, 1991
- Nasution, Amir Taat. Menuju Kesatuan Aqidah Ibadah, Cet. II; Jakarta: Bina Ilmu, 1974
- Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Beberapa Aspek, Jilid III, Cet. II; Jakarta: UI, 1978
- Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam, Cet. I; Jakarta: Bulan Binta
No comments:
Post a Comment