1

loading...

Friday, November 23, 2018

MAKALAH SEJARAH INTELEKTUAL


MAKALAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DI INDONESIA 
BAB II
PEMBAHASAN 

A.PerkembanganPemikiran di Indonesia
Perkembangan Fikih Islam di Indonesia Perkembangan Islam di Indonesia dapat dibagi atas dua periode, periode pertama: yaitu dimana agama Islam dengan umatnya pada zaman agama Hindu dan Budha (pada abad 15, 16, 17, 18 dan 19). Periode kedua: reformasi agama Islam dengan kebangkitan semangat kebangsaan Pan Islamisme (pada abad ke XX ini)[1] Sebagaimana dimaklumi dalam sejarah serta berdasarpada keterangan seminar tentang sejarah masuknya Islam ke Indonesia, yang diadakan di Medan pada tanggal 17 sampai 20 Maret 1963 di Medan, ditetapkan bahwa Agama Islam masuk di Indonesia pada abad ke 14 di Sumatera (Pasai-Aceh) dan di Jawa (Gresik).
Dalam kenyataannya, mazhab fikih yang banyak diikuti di Indonesia adalah pemikiran Imam Syafii. Imam Syafii lahir di Gaza (dekat Palestina) pada tahun meninggalnya Imam Abu Hanifah, 150 H dan wafat tahun 204 H.[2]Mazhab fikih Syafii tersebut dibawa oleh mubalig dan ulama yang datang ke Indonesia menyebarkan Islam. Setelah terjadinya Islamisasi ini, maka ulama-ulama dari kalangan pribumi pun muncul dan diketahui kemudian ternyata semuanya adalah pendukung mazhab Syafii.
Fikih Syafii adalah fikih sintesa atau perpaduan antara fikih Hanafi dan fikih Maliki. Hal ini boleh jadi karena Muhammad Idris Al-Syafii pernah berguru pada Imam Malik di Madinah selama 9 tahun. Kemudian beliau sempat berkenalan dengan Fikih Hanafi melalui seorang murid imam Abu Hanifah yaitu Muhammad bin al-Hasan Al-Syaibani, dengan beliau pernah berkumpul di Baghdad selama tiga tahun. Fikih Syafii yang disusun di Mekah sepulang dari perlawatan pertama al-Syafii ke Irak. Konsep fikih Syafii menunjukan kemandirian Imam al-Syafii dalam berpendapat, karena ia melahirkan pendapat- pendapat yang berbeda dengan guru-gurunya. Misalnya ia pada dasarnya sependapat dengan Imam Malik, bahwa ijmak merupakan salah satu sumber hukum Islam. Tapi keduanya berbeda dalam menerapkan konsep ijmak ini. Jika imam Malik memaksudkan ijmak sebagai kesepakatan ulama pemuka Madinah,[3] maka menurut imam al-Syafii untuk mempunyai kekuatan sebagai sumber hukum itu, harus ada kesepakatan umat Islam dari seluruh dunia Islam. Selain perbedaan dalam masalah ijmak, Syafii juga enggan menyetujui konsep al-maslahat al-mursalah dari fikih Maliki.[4]
Sebaliknya Syafii sepakat dengan Imam Abu Hanifah bahwa qiyās atau analogi adalah merupakan salah satu sumber hukum. Tetapi Syafii dapat menolak fikih Hanafi dari segi konsepsi istihsān.
 Dalam pemikiran hukumnya Al-Syafii hanya menerima lima sumber hukum Islam. Alquran, Sunnah Nabi, Ijma atau konsensus, pendapat sebagian sahabat yang tidak adanya perselisihan mereka di dalamnya, dan pendapat yang di dalamnya terdapat perselisihan qiys atau analogi.[5]
 Berlainan dengan Abu Hanifah, Al-Syafii banyak memakai sunnah sebagai sumber hukum, bahkan membuat sunnah dekat dengan Alquran. Istihsān yang dibawa Abu Hanifah dan al-Masālih al-Mursalah yang dikemukakan Imam Malik, ditolak oleh Al-Syafii sebagai sumber hukum. Bahwa fikih Syafii adalah fikih sintesa antara fikih Hanafi dan Fikih Maliki, juga dapat dilihat antara lain dari ketentuan fikih Syafii tentang cara orang duduk dalam sholat.
 Menurut Hanafi, cara duduk orang yang shalat Iftirāsy (duduk dengan tegak dengan beralaskan dua betis yang membujur sejajar dengan arah kiblat), dengan tiada perbedaan apakah itu duduk antara dua sujud, dua tahiyat pertama tahiyat akhir. Menurut Imam Syafii duduk antara dua sujud, duduk tahiyat pertama adalah iftirāsy, dan untuk duduk tahiyat akhir adalah tawarruk.[6] Selain itu, al-Syafii adalah ahli fikih pertama yang menyusun Ilmu Ushul al-Fiqh.
Fikih Syafii juga diwarnai fikih Irak dan fikih Misri, dimana fatwa-fatwa imam al-Syafii berbeda ketika ia menetap di Baghdad dengan ketika berada di Mesir. Kedua pendapatnya ketika berada di kedua kota itu dikenal dengan al-qaul al-qadim dan al-qaul al-jadīd.[7] Ungkapan di atas menunjukan kepada kita bahwa sistem pemikiran imam al-Syafii yaitu berijtihad dengan menggunakan metode deduktif dan ijtihad dengan metode komparatif, dimana dapat berusaha mempertemukan dua pendapat yang memang berbeda, yang biasanya disebut dengan taufīqīy atau menguatkan salah pendapat yang disebut dengan tarjīh. Ketika Islam dibawa masuk ke Indonesia dan menyebabkan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam diberbagai daerah, keberadaan Islam dan penganutnya tidak dipandang sebagai musuh yang datang menjajah, melainkan dirasakan sebagai pembaharuan dan inovasi. Sebab, umumnya antara raja-raja di kerajaan Islam masih ada pertalian darah dengan raja yang digantikannya. Kerena itu, perubahan itu dipandang sebagai kelanjutan yang tidak mengejutkan, hanya berganti keyakinan agama yang dianggap lebih sesuai dan praktis. Oleh karena itu antara julukan Sri Baginda Maharaja dengan julukan Sultan Akbar Khalifatullah Sayyidin Patanah Ahama dan lain sebagainya itu dipandang hal yang biasa.[8]Kekuasaan raja dan sultan juga lebih banyak ditopang dan didukung oleh penasehat-penasehat agama yang lazim disebut wali, yang tiada lain adalah pemimpin agama dan dai yang agung sekaligus ulama. Setelah kemerdekaan, sudah tentu untuk mengisi kemerdekaan ini, sikap ulama terhadap umara tidak boleh terjadi sebagaimana terhadap penjajah, melainkan dibina kemanunggalan ulama dengan umara’ sedemikian rupa sehingga pembangunan di Indonesia di alam kemerdekaan ini dapat berjalan lancar, ibarat beban, berat sama dipikul dan ringan sama dijinjit. Dengan perspektif yang melihat bahwa dinamika pergerakan Islam tidak dapat diisolasikan dari dinamika negara sebagai kekuatan yang mampu memproduksikan sistem simbolik, dan juga dengan perspektif bahwa Islam mempunyai potensi untuk melakukan “counter hegomonic-movement” sambil menawarkan alternatif-alternatif sistematik untuk integrasi sistem sosial dan sistem budaya.
 Gerakan-gerakan dari pembaharu telah menjadi warisan tersendiri dalam spektrum intelektual Islam Indonesia yang sekaligus sebagai pemikiran baru perkembangan hukum Islam.[9]
Pelopor pembaharuan fikih di Indonesia, pertama Hazairin, seorang guru besar Hukum Islam dan Hukum Adat Universitas Indonesia. Dan kedua Hasbi Ash Shiddiqiy beliau adalah mantan Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Meskipun konsepsi yang diajukan oleh kedua guru besar ini tampak tampil secara sendiri-sendiri, tapi masih tidak terlepas kepada bentuk pembaharuan yang selalu didengunkan di Indonesia, walaupun pada saat itu belum terbentuk ide mereka dalam satu ketetapan hukum, namun banyak praktek para cendekiawan sudah menuju ke arah pembaharuan tersebut.
 Dalam pidatonya tahun 1951, Hazairin telah mempersoalkan kemungkinan kita di Indonesia mendirikan mazhab kita sendiri, Mazhab Nasional dalam lapangan yang langsung mempunyai kepentingan kemasyarakatan. Ini menunjukan bahwa pola pemikiran pembaharuan di Indonesia ini selalu melihat kepentingan negara dan masyarakat, agar berjalan secara baik dan benar.
 Penegasan Huzairin ini mengandung beberapa hal yang fundamental bagi pembaharuan hukum Islam di Indonesia.
1.      Perlu memberi corak kenasionalan bagi perkembangan hukum Islam di Indonesia dengan merangkumnya dalam satu Mazhab Indonesia guna menonjolkan hal-hal yang sifatnya spesifik.
2.      Dalam rangka memberikan identitas Nasional terhadap hukum Islam diadakan pembedaan dalam dua bidang
a.  Hukum Islam yang berkenaan dengan masalah ibadah, yang sifatnya tidak langsung bersangkut paut dengan kemasyarakatan. Ini boleh diadakan pembaharuan, karena tidak memberikan pengaruh langsung kepada masyarakat yang selama ini dianggap sesuatu yang sangat benar, yang bila diadakan perobahan dapat menimbulkan kerawanan dan kekacauan bagi masyarakat.
b.      Hukum Islam yang langsung berkenaan dengan soal kemasyarakatan. Dari bidang ini boleh kita adakan pembaharuan yang sifatnya bertahap dari satu masalah ke masalah lain, dan kalau ini diadakan perubahan tidak terlalu terasa oleh masyarakat, karena dianggap bukan hal-hal yang prinsip dan tidak membatalkan ibadah mereka.
3.      Mazhab Syafii masih hidup dan dipertahankan untuk bidang hukum yang berkenaan dengan ibadah, sedangkan untuk bidang yang berkenaan dengan soal kemasyarakatan, kita dirikan Mazhab Nasional dan melepaskan diri dari mazhab Syafii dalam artian mengembangkan, mengubah dan memperbaiki mazhab itu, misalnya dalam soal kesahihan macam-macam syirkah.
4.      Untuk membentuk Mazhab Nasional diperlukan lahirnya Mazhab-Mazhab Mujtahid baru yang bercorak nasional untuk melakukan ijtihad kelompok dan peranan hukum Islam yang sesuai dengan kondisi dan situasi di Indonesia.[10] Lebih sepuluh tahun gagasan itu tidak dapat tanggapi oleh pemerintah maupun dari kalangan pakar hukum Islam dan ahli hukum Islam, pada umumnya.
        Gagasan-gagasan itu nanti pada tahun 1961 Hasbi Ash Shiddeiqy dalam pidato pengukuhannya mengemukakan ide yang sama, walaupun tanpa menyebut gagasan dari Hazairin. Beliau menyatakan bahwa sangat diperlukan lahirnya ijtihad baru yang dilakukan dengan mempelajari syariat Islam. Karena itu maksud mempelajari syariat Islam di Universitas Islam sekarang ini supaya fikih Islam dapat menampung kemaslahatan masyarakat dan dapat menjadi pendiri utama bagi perkembangan hukum di tanah air. Maksudnya, supaya kita dapat menyusun fikih baru yang diterapkan sesuai dengan tabiat dan watak Indonesia.
           Ide yang sama juga dikemukakan oleh Munawir Sadzali pada saat ia menjadi Menteri Agama RI. Munawir selalu memberikan konsep-konsep pemikirannya dalam rangka pembaharuan hukum Islam di Indonesia, buktinya ia pernah menjelaskan tentang sistem pembagian warisan di Solo antara laki-laki dan perempuan Mengenai cara mewujudkannya, dikemukakan bahwa kita harus menggali hukum-hukum syariat dari sumber asal (Alquran dan Hadis), dari kitab pokok yang ditulis dalam masa ijtihad dari semua mazhab, sunni, syiah dhahiri dan sebagainya. Bahkan kita tidak boleh hanya membandingkan antara satu fikih dengan fikih yang lain, tapi juga dengan perundang-undangan buatan manusia.
             Tampak dari pendapat-pendapat tersebut bahwa sesungguhnya mereka menggunakan terminologi yang bersamaan dan tujuan yang sama. Sekalipun demikian, ada suatu perbedaan pokok antara mereka. Hazairin berpendapat bahwa mazhab di Indonesia adalah mazhab Syafii yang diperbaharui, sedangkan Hasbi ingin membentuk fikih Indonesia, dan pendapat ini diperbuat oleh Bapak Munawir Syadzali.
            Dari ide-ide pemikiran mereka itulah saat ini ada sejumlah produk perundang-undangan yang bercirikan Indonesia, Seperti lahirnya Undang-Undang Hukun Acara Peradilan Agama, dimana Pengadilan Agama mempunyai kewenangan yang lebih luas bila dibandingkan dengan sebelum lahirnya Undang-Undang tersebut. Dari kesekian itu dengan adanya komplikasi hukum Islam yang ada di Indonesia sekarang ini telah terbukti bahwa walaupun belum sampai semua bidang hukum dapat di kembangkan sesuai zaman, akan tetapi minimal sudah mempunyai langkah-langkah baru dalam menuju fikih ala Indonesia.
             Ide kompilasi hukum Islam timbul setelah beberapa tahun Mahkamah Agung membina Teknis Yuridis Peradilan Agama, tugas pembinaan ini didasarkan pada UU No. 14 tahun 1970. Tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.[11] Bardasarkan ketentuan di atas, secara formalnya baru muncul pada tahun 1985 dan kemunculannya ini merupakan hasil kompromi antara Mahkamah Agung dengan menteri agama. Maka Bustanil Arifin sebagai penegas gagasan ini menyatakan bahwa, untuk berlakunya hukum Islam di Indonesia harus ada antara lain, hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan baik oleh aparat maupun oleh rakyat.
       Upaya penyusunan kompilasi hukum Islam ini disusun dengan mempertahankan kondisi kebutuhan hukum dan kesadaran hukum umat Islam Indonesia, bukan upaya mazhab baru, tetapi sebagai upaya mempersatukan berbagai fikih dalam menjawab satu persoalan yang mengarah kepada unifikasi mazhab dalam Islam.
              Bagaimanapun juga kompilasi ini sebagai sesuatu yang di hayati oleh masyarakat bangsa kita. Hukum-hukum Islam datang untuk menjadi rahmat bagi masyarakat manusia bahkan bagi alam semesta. Kompilasi hukum Islam di Indonesia adalah suatu peluang bagi umat Islam. Sehubungan itu seorang pengamat umat Islam. Mitsoo Nakamura menyatakan bahwa, kompilasi ini sangat strategis dan mempunyai arti penting bagi umat Islam. Akan tetapi menurut Nakamura, soalnya tinggal bagaimana tokoh-tokoh Islam dan umat Islam melihat serta memanfaatkan arti pentingnya proyek kompilasi hukum Islam itu
              pendapat- pendapat para ulama terdahulu merupakan salah satu sebab terpenting dari stagnasi perkembangan pemikiran umat umumnya dan perkembangan fiqih khususnya. Hukum berijtihad adalah fardhu kifayah artinya, dikalangan umat harus selalu ada mujtahid yang melaksanakan kewajiban ini. Jika itu sudah dilakukan, maka seluruh masyarakat tidak akan berdosa. Namun apabila tidak ada satupun mereka yang melaksanakan sebagai mujtahid mereka semua akan berdosa. Yang dimaksud disini ialah adanya seorang mujtahid yang hidup dan aktif serta dapat membaca realitas yang berkembang untuk berijtihad. Bukan adanya kitab- kitab para mujtahid terdahulu yang telah menghadap ke haribaan Allah. Inilah yang dimaksud dari ungkapan yang menyatakan bahwa “ dalam suatu masa tidak boleh kosong dari mujtahid”. Tugas mujtahid yang aktif tidak terbatas pada melakukan ijtihad dalam permasalahan- permasalahan baru yang akan kita bahas pada bagian berikutnya. Juga tidak semata pada melakukan ijtihad mengenai permasalahan – permasalahan lama dengan apa yang disebut oleh sebagian fuqaha masa kini sebagai ijtihad intiqa’i (ijtihad yang hanya sekedar melakukan seleksi atau pilihan)atas pendapat- pendapat lama. Seleksi ini dilakukan pada waktu merumuskan hukum dengan cara memilih satu pendapat diantara beberapa pendapat yang lain dan menetapkan menjadi hukum yang mengikat. Sesungguhnya ijtihad bersifat bebas. Ia tidak dibatasi ataupun terkait untuk memilih pendapat – pendapat ulama klasik. Pendapat yang menyatakan bahwa para ulama masa lalu tidak menyisakan sedikitpun permasalahan untuk generasi berikutnya adalah pendapat yang justru dapat membunuh kreatifitas. Itu adalah pendapat yang bahkan tidak dapat dilontarkan oleh ulama klasik itu sendiri, pendapat yang merupakan salah satu bentuk kemalasan berfikir dan perwujudan sifat kekanak-kanakan.
 Beberapa contoh permasalahan yang memerlukan ijtihad kontemporer adalah sebagai berikut: 1. Munculnya berbagai lembaga sosial dari kewajiban zakat. 2. Mengalihkan zakat rikaz menjadi dana pembangunan dunia islam. 3. Pengenmbangan lembaga peradilan. 4. Pengembangan lembaga waqaf. 5. Implikasi teori istikhlaf dalam hal kepemilikan asuransi. 6. Pengembangan lembaga khilafah. 7. Pengembangan lembaga ijtihad. 8. Pengembangan lembaga permusyawaratan. 9. Pengembangan lembaga hisbah. 10. Pengembangan fiqih perempuan setelah diperselisihkan kedudukannya karena kemampuan yang dimilikinya. 11. Pengembangan fiqih minoritas setelah mereka bergabung dalam masyarakat. 12. Pengembangan pandangan yang membagi dunia menjadi dua bahkaya tiga bagian
Metode-metode pembaharuan berikut contoh-contoh dan penerapannya :’ 1. Metode salafi : yaitu kembali kepada fiqih kaum salaf, yakni pada sahabat dan tabi’in dan melepaskan diri dari fiqih keemapat madzhab. Guru kita Dr. Muhammad Yusuf Musa telah menulis buku berjudul Tarikh al-fiqh al-islami : Da’wah Qawiyah li tajdidhi bi al- ruju’ li Mashadirihil al- ula (sejarah fiqih islam : seruan keras untuk mempengaruhinya dengan kembali kepada sumber-sumbernya yang pertama). Sebagian lain telah mengarang beberapa buku yang khusus membahas tentang fiqih kaum salaf seperti Mu’jam Fiqh al-salaf ( kamus fiqih kaum salaf) yang dikarang oleh prof. Syaikh Muhammad Al- Muttasyir Al- Kattani, dan juga Mawsu’ah Ibrahim al- Nakha’i susunan Prof. Dr. Ruwwas qala’ji dan lain sebagainya seperti tentang fiqih Umar dan lain-lain. Mereka memopunyai pendapat yang bersebrangan dengan fiqih imam madzhab dan tidak lagi menghargai dengan pandangan-pandangan mereka,padahal sumber pengetetahuan yang mereka pergunakan ialah al- Qur’an dan al-sunnah. Ijtihad yang dijadika acuan-acuan oleh imam-imam madzhabpun tidak keluar dari dilalah (petunjuk, ma’na) Al-Qur’a, Sunnah, Fiqih sahabat, Fuqih Tabi’indengan melakukan seleksi ketat berkenaan dengan falidasi dengan sumber naqli yang mereka pergunakan mempertimbangkan argumentasi-argumentasi mereka dengan dalil-dalilnya dengan mentarjih sebagai dalil dengan dalil lainnya sebagaimana diketahui, para imam madzhab adalah orang yang paling dekat pengetahuannya dengan pendapat para pendahulunya. 2. Metode intiqa’i atau ghawgha’i (selektif secara semena-mena). Yaitu menjatuhkan pilihan yaitu menjatuhkan pilihan pada apa yang dirasa baik menurut kei nginan pribadi dan hawa nafsu, dengan memilih hukum-hukum tertentu dan mengabaikan sebagian yang lain sekehendak mereka.
                                              BAB III
                                            PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia ebih banyak didominasi oleh pemikiran Imam Syafii, perkembangan pemikiran fikih di Indonesia dengan melalui para pedagang dan mubaliq-mubaliq pada saat itu, hukum Islam banyak diterima di Indonesia karena para pembawanya menunjukan sifat kenetralan, dimana masyarakat Indonesia pada saat itu dalam dua kondisi, yakni pengaruh Hindu dan Budha yang mengklasifikasi status sosial masyarakat, sedangkan Islam muncul dengan kesamaan derajat. Pemikiran pembaharuan fikih di Indonesia dikemukakan oleh Hazairin dan Hasbi Ash-Shiddeiqy, dan kemudian dikembangkan oleh Munawir Zadhali sewaktu menjadi Menteri Agama. Fikih Syafii adalah fikih yang sintesa antara fikih Hanafi dan fikih Maliki, walaupun dalam merumuskannya kadang menggunakan pendapat diantara salah satunya, akan tetapi pada waktu menuangkan-nya dalam pendapatnya lebih banyak dipengaruhi Rasional, sehingga kadang dikatakan fikih syafii adalah fikih Rasional.
DAFTAR PUSTAKA
  • Aceh, Abu Bakar. Sekitar Islam Masuk di Indonesia, Cet. I; Bandung: Bina Aksara, 1972
  •  Ash Shiddieqi, Hasbi. Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman, Cet. I; Surabaya: Bulan Bintang, 1966
  • Hamid, Juhri. Peranan Ulama Indonesia Dewasa Ini, Cet. II; Yogyakarta: Bina Usaha, 1984), h. 27
  •  Khalil, Munawir. Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1972 Khallaf, Abdul Wahab. al-Tasyrī’ al-Islāmī Fī mā lā Na¡¡a Fī hi, Diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar dan Anwar Rasyidi, dengan judul Sumber-Sumber Hukum Islam, Cet. I; Bandung: Risalah, 1972
  • Kuntowidjoyo, Paradigma Islam, Cet. II; Bandung: Mizan, 1991
  • Nasution, Amir Taat. Menuju Kesatuan Aqidah Ibadah, Cet. II; Jakarta: Bina Ilmu, 1974
  • Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Beberapa Aspek, Jilid III, Cet. II; Jakarta: UI, 1978
  • Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam, Cet. I; Jakarta: Bulan Binta


No comments:

Post a Comment