MAKALAH MASLAHAH MURSALAH
KATA PENGANTAR
Assalamu ‘alaikum wr. wb
Dengan
menyebut nama Allah Swt. Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, kami panjatkan
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa, atas berkat rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah studi islam ini Bab Maslahah
Mursalah Dan Uruf Menjadi Sumber Hukum Islam. Makalah ini telah kami susun
dengan maksimal dan mendapat bantuan dari berbagai pihak.
Dalam
perampungan makalah ini, kami mendapatkan batuan dan bimbingan dari berbagai
pihak. Maka dari itu, sudah seharusnya kami mengucapkan banyak terimakasih:
1. selaku dosen mata kuliah Ushul Fiqh.
2. Orang tua kami yang selau mendukung kami baik dari segi moral dan
juga material.
3. Seluruh pihak yang tidak bisa kami rincikan satu per satu yang sudah
membatu dalam merampungkan makalah ini.
Makalah
ini dibuat agar para pembaca bisa mengetahui Maslahah Mursalah Dan Uruf Menjadi
Sumber Hukum Islam.
Arkhiru
kalam, kami sadar bahwa makalah ini penuh dengan kekurangan. Oleh sebab itu,
kami sangat berharap kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan makalah
ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua dan dapat dijadikan sebagai
panduan dalam mempelajari Maslahah Mursalah Dan Uruf Menjadi Sumber Hukum
Islam.
Wassalamu ‘alaikum wr. wb
Bengkulu,
November 2018
Kelompok 8
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan agama Rahmatan lil ‘alamin
yang dianugrahkan kepada seluruh umat manusia. Seiring dengan perkembangan
zaman, dalam situasi dan kondisi yang berubah-ubah tentu akan menimbulkan
berbagai pertanyaan mengenai permasalahan-permasalahan yang timbul di
masyarakat, mulai dari masalah pribadi, keluarga, ekonomi, hukum, dan
lain-lain. Disinilah agama Islam terbukti sebagai agama yang mampu menjawab
segala permasalahan dan sesuai dengan perkembangan zaman. Para ulama
mengeluarkan fatwa-fatwa yang bertujuan untuk menjawab permasalahan-permalahan
tersebut, mewujudkan kemaslahatan dan mencegah atau menolak berbagai kerusakan
bagi umat manusia dengan menyesuaikan pada tujuan syari’at atau disebut dengan
maslahah mursalah.
Dalam makalah ini
pemakalah akan memaparkan mengenai maslahah mursalah yang akan membuka wawasan
kita mengenai kajian ushul fiqih.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian maslahah
mursalah?
2. Apa saja macam-macam maslahah
mursalah?
3. Apa saja syarat-syarat
maslahah mursalah?
4. Bagaimana kehujjahan maslahah
mursalah?
C. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian maslahah mursalah
2. Mahasiswa dapat mengetahui macam-macam maslahah
mursalah
3. Mahasiswa dapat mengetahui syarat-syarat maslahah
mursalah
4. Mahasiswa dapat mengetahui kehujjahan maslahah mursalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah menurut lughat terdiri dari dua kata, yaitu maslahah
dan mursalah.
Kata maslahah berasal dari kata kerja bahasa arab يَصْلُحُ – صَلَحَ menjadi صُلْحاً atau مَصْلَحَةً yang berarti sesuatu yang mendatangkan
kebaikan. Sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja yang ditransifkan
sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu: مُرْسِلٌ – اِرْساَلاً – يُرْسِلُ – اَرْسَلَ menjadi مُرْسَلٌ yang berarti diutus, dikirim atau dipakai
(dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi maslahah mursalah yang berarti
prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum Islam.
Juga dapat berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).
1. Menurut Muhammad Hasbi As-Siddiqi,
maslahah ialah:
اَلْمُحَافَظَةُعَلَىمَقْصُوْدِالشَّارِعِبِدَفْعِالْمَفَاسِدِعَنِالْخَلْقِ.
Artinya:
“Memelihara tujuan syara’ dengan jalan
menolak segala sesuatu yang merusakkan makhluk.” (lihat: Hasbi As-Siddiqi,
Pengantar Hukum Islam, Juz I, halaman 236)
2. Menurut Imam Ar-Razi maslahah adalah
sebagai berikut:
بِاَنَّهَاعِبَارَةٌعَنِالْمَنْفَعَةِالَّتِيْقَصَدَهاَالشَّارِعُالْحَكِيْمُلِعِبَادِهِفِىحِفْظِدِيْنِهِمْوَنُفُوْسِهِمْوَعُقُوْلِهِمْوَنَسْلِهِمْوَاَمْوَالِهِمْ.
Artinya:
“Maslahah adalah perbuatan yang bermanfaat
yang telah diperintahkan oleh musyarri’ (Allah) kepada hambaNya tentang
pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan harta
bendanya.”(Lihat: Al Mahsul oleh Ar-Razi, juz II, halaman 434).
3. Menurut Imam Al-Ghazali:
اَمَّاالْمَصْلَحَةُفَهِيَعِبَارَةٌفِىالْاَصْلِعَنْجَلْبِمَنْفَعَةٍاَوْدَفْعِمَضَرَّةٍ.
Artinya:
“Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat
dan menolak madarat.” (lihat: Al-Mustafa oleh Imam Al-Ghazali, Juz I, halaman
39).
Adapun definisi lain mengenai maslahah mursalah, yaitu Menurut bahasa,
maslahan berarti manfaat dan kebaikan, sedang mursalah berarrti lepas. Menurut
istilah, masalahah mursalah ialah kemaslahatan yang tidak di tetapkan oleh
syara’ dalam penetapan hukum dan tidak ada dalil yang menyuruh mengambil atau
menolaknya.
Maslahah Mursalah itu yang mutlak, karena ia tidak terikat oleh dalil
yang mengakuinya atau dalil yang membatalkannya. Misalnya kemaslahatan yang
karenanya para sahabat mensyariatkan pengadaan penjara, pencetakan mata uang,
penetapan tanah pertanian di tangan pemiliknya dan memungut pajak terhadap
tanah itu, atau lainnya yang termasuk kemaslahatan yang dituntut oleh berbagai
kebutuhan atau berbagai kebaikan namun belum disyariatkan hukumnya dan tidak
ada bukti syara’ yang menunjukkan terhadap pengakuan atau pembatalannya.
B. Macam-Macam Maslahah Mursalah
Dari segi pandangan syara’ maslahah di bagi
menjadi 3 yaitu :
1. Maslahah Mu’tabarah
yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syari’ dan dijadikan dasar dalam
penetapan hukum.
Misalnya kewajiban puasa pada bulan ramadhan. Mengandung kemaslahatan
bagi manusia, yaitu untuk mendidik manusia agar sehat secara jasmani maupun
rohani. Kemaslahatan ini melekat langsung pada kewajiban puasa ramadhan dan
tidak dapat dibatalkan oleh siapapun. Demikian juga kemaslahatan yang melekat
pada kewajiban zakat, yaitu untuk mendidik jiwa muzakki agar tebebas dari sifat
kikir dan kecintaan yang berlebihan pada harta, dan untuk menjamin kehidupan
orang miskin. Kemaslahatan ini tidak dapat dibatalkan, sebab jika dibatalkan
akan menyebabkan hilangnya urgensi dan relevansi dari pensyariatan zakat.
2. Maslahah Mulghoh
yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syari’ dan syari’ menetapkan
kemaslahatan lain selain itu.
Misalnya adalah kemaslahatan perempuan menjadi imam bagi laki-laki yang
bertentangan dengan kemaslahatan yang di tetapkan oleh syar’i yaitu pelarangan
perempuan menjadi imam bagi laki-laki. Demikian juga kemaslahatan yang
diperoleh oleh seorang pencuri, ditolak oleh syar’i dengan mengharamkan
pencurian, demi melindungi kemaslahatan yang lebih besar, yaitu kemaslahatan
rasa aman bagi masyarakat.
3. Maslahah Mursalah
yaitu kamaslahatan yang belum tertulis dalam nash dan ijma’, serta tidak
ditemukan nash atau ijma’ yang melarang atau memerintahkan mengambilnya.
Kemaslahatan ini dilepaskan oleh syari’ dan diserahkan kepada manusia untuk
mengambil atau tidak mengambilnya. Jika kemaslahatan itu diambil oleh manusia,
maka akan mendatangkan kebaikan bagi mereka, jika tidak diambil juga tidak akan
mendatangkan dosa.
Misalnya, pencatatan perkawinan, penjatuhan talak di pengadilan, kewajiban
memiliki SIM bagi pengendara kendaraan bermotor, dan lain-lain.
Sedangkan ulama’ ushul membagi maslahah
kepada tiga bagian yaitu:
1. Maslahah Dharuriyah
Maslahah Dharuriyah yaitu segala hal yang menjadi sendi eksistensi
kehidupan manusia, harus ada demi kemaslahatan mereka. Bila sendi itu tidak ada
atau tidak terpelihara secara baik kehidupan manusia akan kacau,
kemaslahatannya tidak terwujud, baik di dunia maupun di akhirat.
Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara yang merupakan
perkara pokok yang harus dilindungi, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta.
a. Melindungi kemaslahatan agama.
Agama islam merupakan agama Allah karena itu
perlu dipelihara dari hal-hal yang merusak, baik dari segi ibadahnya atau
akidahnya serta lain-lain yang membawa kerusakannya.
Yang dimaksud melindungi agama di sini adalah
Allah memerintahkan kaum muslim agar menegakkan syiar-syiar Islam, seperti
shalat, puasa, zakat, haji, memerangi (jihad) orang yang menghambat dakwah
Islam dan lain sebagainya.
b. Melindungi jiwa
Diantara syari’at yang diwajibkan untuk
melindungi jiwa adalah kewajiban untuk berusaha memperoleh makanan, minuman dan
pakaian untuk mempertahankan hidupnya. Dalam melindungi jiwa ini juga
diperlukan hukum yang mengikat, misalnya hukum qisash atau mendiyat orang yang
berbuat pidana agar manusia tidak sewenang-wenang membunuh manusia.
c. Melindungi akal
Manusia merupakan sebaik-baik bentuk makhluk
Allah yang diberikan akal. Oleh karena itu harus dijaga.
Diantara syari’at yang diwajibkan untuk
melindungi akal adalah kewajiban untuk meninggalkan minum khamr dan segala
sesuatu yang memabukkan. Begitu juga menyiksa orang yang meminumnya. Kaum
muslimin disyariatkan agar selalu menggunakan akalnya untuk memikirkan diri dan
ciptaan Tuhannya, menuntut ilmu yang bermanfaat dan lain sebagainya.
d. Melindungi keturunan
Dalam memelihara keturunan Islam, diantara
syari’at yang diwajibkan untuk memelihara keturunan adalah kewajiban untuk
menghindarkan diri dari berbuat zina. begitu juga hukuman yang dikenakan kepada
pelaku zina, laki-laki atau perempuan.
e. Melindungi harta
Diantara syari’at yang diwajibkan untuk
memelihara harta adalah kewajiban untuk menjauhi pencurian. Begitu juga
pemotongan tangan pencuri laki-laki atau perempuan. Dan juga larangan berbuat
riba serta keharusan bagi orang yang mencuri untuk mengganti harta yang telah
dilenyapkannya.
2. Maslahah Hajjiyah
Maslahah Hajjiyah adalah:
اَمّاَالْمَصَالِحُالْحَاجِيَّةُفَهِيَعِبَارَةٌعَنِالْاَعْمَالِوَالتَّصَرُّفَاتِالَّتِيلَاتَتَوَقَّفُعَلَيْهَاتِلْكَالْاُصُوْلِالْخَمْسَةِبَلْتَتَحَقَّقُبِدُوْنِهَاوَلٰكِنْصِيَانَةًمَعَالضَّيِّقِوَالْحَرَجِ.
Artinya:
“Semua bentuk perbuatan dan tindakan yang
tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang
dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat terhindarkan
kesulitan dan menghilangkan kesempitan.”
Dalam sumber lain menyebutkan bahwa Maslahah Hajjiyah adalah segala
sesuatu yang sangat dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan
menolak segala halangan.
Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam jika tidak dipenuhi tetapi hanya
menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan
ibadah, adat, muamalat dan bidang jinayat.
Dalam hal ibadah, islam memberikan rukhshah/keringanan bila seorang
mukallaf mengalami kesulitan dalam menjalankan suatu kewajiban ibadahnya.
Misalnya diperbolehkan seseorang tidak berpuasa
dalam bulan ramadhan ketika sedang sakit atau sedang dalam perjalanan
jauh. Begitu pula diperbolehkannya seseorang mengqashar shalat bila ia sedang
dalam bepergian jauh.
Dalam hal adat, dibolehkan berburu, memakan dan memakai yang baik-baik
dan yang indah-indah.
Dalam hal muamalat, dibolehkan jual beli pesanan dan jual beli secara
salam, dibolehkan seorang suami menalak isterinya apabila rumah tangga mereka
benar-benar tidak mendapat ketentraman lagi.
Dalam hal uqubat/jinayat, Islam menetapkan kewajiban membayar denda
(bukan qisash) bagi orang yang membunuh secara tidak sengaja, menawarkan hak
pengampunan bagi orang tua korban pembunuhan terhadap orang yang membunuh
anaknya, dan lain sebagainya.
3. Maslahah Tahsiniyah
Maslahah tahsiniyah adalah:
اَمَّاالْمَصَالِحُالتَّحْسِيْنِيَّةُفَهِيَعِبَارَةٌعَنِالْاُمُوْرِالَّتِيْتَقْتَضِيْهَاالْمُرُوْءَةُوَمَكَارِمُالْاَخْلَاقِوَمَحَاسِنُالْعَادَاتِ.
Artinya:
“Mempergunakan semua yang layak dan pantas
yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul
akhlak”
Dalam sumber lain menyebutkan bahwa Maslahah tahsiniyah adalah tindakan
atau sifat-sifat yang pada prinsipnya berhubungan dengan makarimul akhlak serta
memelihara keutamaan dalam bidang ibadah, adat dan muamalah.
Lapangan
ibadah misalnya kewajiban bersuci dari najis, menutup aurat, memakai pakaian
yang baik-baik ketika akan shalat, mendekatkan diri kepada Allah melalui
amalan-amalan sunnah seperti shalat sunnah, puasa sunnah, bersedekah, dan
lain-lain.
Dalam lapangan adat, misalnya bersikap sopan santun ketika makan dan
minum, dan dalam pergaulan sehari-hari, memilih makanan-makanan yang baik-baik
dari yang tidak baik.
Dalam lapangan muamalah, misalnya larangan menjual barang-barang yang
bernajis, tidak memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi kebutuhannya.
Imam Abu Zahrah menambahkan bahwa termasuk dalam lapangan tahsiniyah
adalah melarang wanita-wanita muslimat keluar ke jalan-jalan umum memakai
pakaian yang seronok atau perhiasan-perhiasan yang mencolok mata. Sebab hal ini
bisa menimbulkan fitnah dikalangan masyarakat banyak yang pada gilirannya akan
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh keluarga, terutama oleh agama.
Selanjutnya dikatakan bahwa adanya larangan tersebut bagi wanita sebenarnya
merupakan kemuliaan baginya untuk menjaga kehormatan dirinya agar tetap bisa
menjadi wanita yang baik dan menjadi kebanggaan keluarga dan agama di masa
mendatang.
C. Syarat-Syarat Maslahah Mursalah
Maslahah
mursalah dapat dijadikan sebagai dalil dengan syarat :
1. Maslahah tersebut harus maslahah yang
hakiki, bukan sekedar maslahah yang diduga atau di asumsikan.
Yang dimaksudkan dengan persyaratan ini ialah untuk membuktikan bahwa
pembentukan hukum pada suatu kasus mendatangkan kemanfaatan dan menolak bahaya.
Adapun sekedar dugaan bahwa pembentukan suatu hukum menarik suatu manfaat tanpa
mempertimbangkannya dengan bahaya yang datang, maka ini adalah berdasarkan atas
kemaslahatan yang bersifat dugaan. Misalnya larangan bagi suami untuk menalak
isterinya dan memberikan hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua
keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini menurut kami tidak
mengandung terhadap maslahah. Bahkan hal itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah
tangga dan masyarakat, hubungan suami dengan isterinya ditegakkan di atas suatu
dasar paksaan undang-undang, tetapi bukan atas dasar keikhlasan.
2. Kemaslahatan tersebut harus kemaslahatan
umum, bukan kemaslahatan pribadi atau kemaslahaan khusus.
Maksudnya ialah untuk membuktikan bahwa pembentukan hukum pada suatu
kasus adalah mendatangkan manfaat bagi mayoritas umat manusia atau menolak
bahaya dari mereka., bukan untuk kemaslahatan individu dan sejumlah perorangan
yang merupakan minoritas dari mereka.
Oleh karena itu fatwa Imam Yahya bin Yahya al-Laitsi al-Maliki, seorang
fiqh Andalusia dan murid Imam Malik bin Anas adalah salah. Beliau memberikan
fatwa kepada raja Andalusia yang berbuka puasa dengan sengaja pada siang hari
bulan Ramadhan bahwa tidak ada kafarat baginya kecuali puasa dua bulan
berturut-turut. Beliau mendasarkan fatwanya bahwa kafarat adalah mencegah orang
yang berbuat dosa dan menahannya sehingga ia tidak kembali kepada perbuatan
dosa serupa., dan tidak ada yang dapat menahan sang raja ini dari hal itu kecuali
puasa dua bulan. Adapun memerdekakan budak, maka hal ini terlalu mudah baginya.
Fatwa ini didasarkan pada kemaslahatan, tetapi hanya khusus kepada raja, bukan
bersifat umum. Karena sudah jelas bahwa kafarat bagi orang yang berbuka puasa
pada siang hari bulan ramadhan dengan sengaja adalah memerdekakan seorang
budak, kemudian barangsiapa yang tidak mendapatkannya maka ia berpuasa selama
dua bulan berturut-turut, selanjutnya jika tidak sanggup maka ia memberikan
makanan kepada enam puluh orang miskin, tanpa membedakan antara seorang raja
atau fakir miskin yang berbuka puasa pada siang hari bulan ramadhan dengan
sengaja. Jadi kemaslahatan ini dibatalkan.
3. Kemaslahatan tersebut sesuai dengan
maqashid al syari’ah dan tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara’.
Oleh karena itu tidak sah mengakui kemaslahatan yang menuntut persamaan
antara laki-laki dan perempuan dalam hal pembagian warisan, karena hal itu
bertentangan dengan nash alqur’an.
D. Kehujjahan Maslahah Mursalah
Dalam kehujjahan maslahah mursalah terdapat perbedaan pendapat di
kalangan ulama ushul, diantaranya:
1. Maslahah mursalah tidak dapat menjadi
hujjah atau dalil menurut ulama-ulama syafi’iyah, ulama-ulama hanafiyyah dan
sebagian ulama Malikiyah, dengan alasan :
a. Bahwa dengan nash-nash dan qiyas yang
dibenarkan, syariat senantiasa memperlihatkan kemaslahatan umat manusia. Tak
ada satupun kemaslahatan manusia yang tidak diperhatikan oleh syari’at melalui
petunjuknya.
b. Pembinaan hukum islam yang semata-mata
didasarkan kepada maslahat berarti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
2. Menurut Al Ghazali, maslahah mursalah yang
dapat dijadikan dalil hanya maslahah dharuriyah. Sedangkan maslahah hajjiyah
dan maslahah tahsiniyah tidak dapat dijadikan dalil.
3. Menurut Imam Malik maslahah mursalah
adalah dalil hukum syara’. Pendapat ini juga diikuti oleh Imam haromain. Mereka
mengemukakan argumen sebagai berikut:
a. Nash-nash syara’ menetapkan bahwa syari’at
itu diundangkan untuk merealisasikan kemaslahatan manusia, karenanya berhujjah
dengan maslahah mursalah sejalan dengan karakter syara’ dan prinsip-prinsip
yang mendasarinya serta tujuan pensyariatannya.
b. Kemaslahatan manusia serta sarana mencapai
kemaslahatan itu berubah karena perbedaan tempat dan keadaan. Jika hanya berpegang
pada kemaslahatan yang ditetapkan berdasarkan nash saja, maka berarti
mempersempit sesuatu yang Allah telah lapangkan dan mengabaikan banyak
kemaslahatan bagi manusia, dan ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip umum
syariat.
c. Para mujtahid dari kalangan sahabat dan
generasi sesudahnya banyak melakukan ijtihad berdasarkan maslahah dan tidak
ditentang oleh seorang pun dari mereka. Karenanya ini merupakan ijma’.[16]
Ibnu Al Qayyim berkata: “Diantara kaum muslimin ada sekelompok orang
yang berlebih-lebihan dalam memelihara maslahah mursalah, sehingga mereka
menjadikan syari’at serba terbatas, yang tidak mampu melaksanakan kemaslahatan
hamba yang membutuhkan kepada lainnya. Mereka telah menutup dirinya untuk
menempuh berbagai jalan yang benar berupa jalan kebenaran dan jalan keadilan.
Dan diantara mereka ada pula orang-orang yang melampaui batas, sehingga mereka
memperbolehkan sesuatu yang menafi’kan syari’at Allah dan mereka memunculkan
kejahatan yang panjang dan kerusakan yang luas”.[17]
E. Perbedaan Maslaha Mursalah Dan Istihsan
1. Istihsan
Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan
(musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Sedangkan Istihsan
berarti “menganggap sesuatu itu baik”. Atau mengikuti sesuatu yang lebih baik atau
mencari yang lebih baik untuk diikuti. Sedangkan menurut istilah, para ulama
berbeda memberikan pengertian. Menurut Ulama Hanafiyah: “Beralih pandangan dari
satu dalil qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat atau mengecualikan qiyas
dengan argumentasi yang lebih kuat”. Menurut Ulama Malikiyah: “Mengutamakan
meninggalkan pengertian suatu dalil dengan cara istisna’ (pengecualian) dan
tarkhis (berdasarkan pada keringanan agama), karena adanya suatu hal yang
bertentangan dengan sebagian pengertian.
v
Macam-Macam Istihsan.
Istihsan menurut para ulama ushul fiqh
terbagi atas dua macam, yaitu:
1. Pindah dari qiyas jali kepada qiyas khafi,
karena ada dalil yang mengharuskan pemindahan itu.
Pindah dari hukum kulli kepada hukum juz-i,
karena ada dalil yang mengharuskannya. Istihsan macam ini oleh Madzhab Hanafi
disebut istihsan darurat, karena penyimpangan itu dilakukan karena suatu
kepentingan atau karena darurat.
Namun secara spesifikasi berdasarkan
sandarannya, maka istihsan terbagi kepada:
Istihsan dengan sandaran qiyas khafi;
Istihsan dengan sandaran nash;
Istihsan dengan sandaran 'urf; dan
Istihsan dengan sandaran keadaan darurat.
v
Beberapa Contoh Kasus Istihsan.
1. Istihsan tentang sahnya akad istihshna’
(pesanan). Menurut qiyas semestinya akad itu batal sebab barang yang diakadkan
belum ada. Akan tetapi, masyarakat seluruhnya telah melakukannya, maka hal itu
dipandang sebagai ijma’ atau ‘urf am (tradisi) yang dapat mengalahkan dalil
qiyas.
2. Sisa minuman burung buas, seperti sisa
burung elang burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini
ditetapkan dengan istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas,
seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman
yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya.
Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke
tempat minumnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya
dengan mulut binatang huas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram
dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau
zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa
minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan. Dalam
hal ini keadaan tertentu yang ada pada burung buas membuatnya berbeda dengan
binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali
kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
v
Pendapat Ulama’ tentang Istihsan.
Ø Yang
berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka istihsan
sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau
mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang
ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu
kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan
hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan
istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang
berlainan. Disamping Madzhab Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan
ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali.
Ø Yang
menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab
Syafi'i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara' berdasarkan
keinginan hawa nafsu. Imam Syafi'i berkata: "Siapa yang berhujjah dengan
istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara' berdasarkan keinginan
hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara' hanyalah Allah
SWT." Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan:
"Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang
melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah
itu adalah arah Ka'bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara' untuk
menentukan arah Ka'bah itu."
2. Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah menurut bahasa terdiri atas
dua kata, yaitu maslahah (kebaikan) dan mursalah (terlepas atau
bebas).Perpaduan dua kata menjadi ``marsalah mursalah``yang berarti prinsip
kemaslahatan (kebaikan) yang terlepas dari keterangan yang menunjukkan boleh
atau tidak bolehnya dilakukan.
Al-Ghazali dalam kitab al-Mustasyfa
merumuskan Masalahah Mursalah sebagai berikut:
“Apa-apa (Masalahah) yang tidak ada bukti
baginya dari syara’ dalam bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak
ada yang memerhatikannya”
v
Macam-Macam Masalahah.
1. Masalahah Dharuriyah adalah kemasalahatan
yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia; artinya, kehidupan
manusia tidak punya arti apa-apa jika satu saja dari prinsip yang lima –yaitu
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta- tidak ada. Segala usaha yang secara
langsung menjamin atau menuju pada keberadaan lima prinsip tersebut adalah baik
atau maslahah dalam tingkat dharuriy. Maka dari itu Allah memerintahkan manusia
untuk memenuhi kebutuhan pokok tersebut dan melarang yang dapat merusaknya.
Meninggalkan dan menjauhi larangan Allah tersebut adalah baik atau maslahah
dalam tingkat dharuriy. Dalam hal ini Allah melarang murtad untuk memelihara
agama, melarang membunuh untuk memelihara jiwa, melarang minum khamar untuk
memelihara akal, melarang berzina untuk memelihara keturunan, dan melarang
mencuri untuk memelihara harta.
2. Maslahah Hajiyah adalah kemasalahatan yang
tingkat kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak berada pada tingkat dharuriy.
Jika masalahah hajiyah tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia tidak akan
secara langsung menyebabkan rusaknya lima unsure pokok tersebut, tetapi secara
tidak langsung memang bias mengakibatkan perusakan. Seperti, menuntut ilmu
agama untuk tegaknya agama, makan untuk kelangsungan hidup, mengasah otak untuk
sempurnanya akal, dan melakukan jual beli untuk mendapatkan harta.
3. Masalahah Tahsiniyah adalah masalahah yang
tingkat kebutuhannya tidak sampai tingkat dharuriy, juga tidak sampai tingkat
hajiy. Namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka member kesempurnaan
dan keindahan bagihidup manusia. Seperti menutup aurat dalam berpakaian,
memilih makanan yang baik, dll.
F. Kedudukan Maslahah Mursalah
Kedudukan Maslahah Mursalah Sebagai Sumber
Hukum Penggunaan maslahah mursalah adalah ijtihad yang paling subur untuk
menetapkan hukum yang tak ada nashnya dan jumhur ulama menganggap maslahah
mursalah sebagai hujjah syari’at karena:
1. Semakin tumbuh dan bertambah hajat manusia
terhadap kemaslahatannya ,jika hukum tidak menampung untuk kemaslahatan manusia
yang dapat diterima,berarti kurang sempurnalah syari’at mungkin juga beku.
2. Para shahabat dan tabi’in telah mentapkan
hukum berdasarkan kemaslahatan,seperti abu bakar menyuruh mengumpulkan musyaf
al-qur’an demi kemaslahatan umum. Diantara ulama yang banyak menggunakan
maslahah mursalah ialah imam malik,dengan alasan,bahwa tuhan mengutus Rasulnya
untuk kemaslahatan manusia,maka kemaslahatan ini jelas dikehendaki
syara’,sebagaimana Allah berfirman: وَمَاأَرْسَلْنَاكَإِلارَحْمَةًلِلْعَالَمِينَ “Tidaklah semata-mata aku
mengutusmu (muhammad) kecuali untuk kebaikan seluruh alam”. (QS. Al-Anbiya 107). Sedangkan menurut imam
ahmad,bahwa maslahah mursalah adalah suatu jalan menetapkan hukum yang tidak
ada nash dan ijma’. Disamping orang yang menerima kehujjahan maslahah mursalah
ada juga ulama yang menolak untuk dijadikan dasar hukum,seperi imam syafi’i,
dengan alasan bahwa maslahah mursalah disamakan dengan istihsan, selain itu
alasannya ialah:
1. Syari’at islam mempunyai tujuan menjaga
kemaslahatan manusia dalam keadaaan terlantar tanpa petunjuk,petunjuk itu harus
berdasarkan kepada ibarat nash,kalau kemaslahatan yang tidak berpedoman kepada
i’tibar nash bukanlah kemaslahatan yang hakiki.
2. Kalau menetapkan hukum berdasarkan kepada
maslahah mursalah yang terlepas dari syara’ tentu akan dipengaruhi oleh hawa
nafsu, sedangkan hawa nafsu tak akan mampu memandang kemaslahatan yang hakiki.
Pembinaan hukum yang didasarkan kepada maslahah mursalah berarti membuka pintu
bagi keinginan dan hawa nafsu yang mungkin tidak akan dapat terkendali.
Jumhur fuqaha’ sepakat bahwa maslahat dapat
diterima dalam fiqih islam. Dan setiap maslahah wajib di ambil sebagai sumber
hukum selama bukan di latarbelakangi oleh dorongn syahwat dan hawa nafsu yang
tidak bertentangan dengan nash serta maqasid as-syari’. Hanya saja golongan
syafi’iyah dan hanafiyah sangat memperketat ketentuan maslahat. Maslahat harus
mengacu pada ‘illat yang jelas batasannya. Golongan Maliki dan Hambali
berpendapat bahwa sifat munasib yang merupakan alas an adanya maslahat,
meskipun tidak jelas batasannya, patut menbjadi ‘illat bagi qiyas. Oleh karena
itu ia dapat diterima sebagai sumber hukum sebagaimana halnya diterimanya qiyas
berdasarkan sifat munasib, yaitu hikmah, tanpa memandang apakah ‘illat itu
mundhiobittah atau tidak. Karena begitu dekatnya pengertian sifat munasib dan
maslahat mursalahsehingga sebagian ulama madhab Maliki menganggap bahwa
sesungguhnya semuanya ulama ahli fiqih memakai dalil maslahat, meskipun mereka
menanamkannya sifat munasib, atau memasukkannya kedalam qiyas.
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata
maslahah berasal dari kata kerja bahasa arab يَصْلُحُ – صَلَحَ menjadi صُلْحاً atau مَصْلَحَةً yang berarti sesuatu yang mendatangkan
kebaikan. Sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja yang ditransifkan
sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu: مُرْسِلٌ – اِرْساَلاً – يُرْسِلُ – اَرْسَلَ menjadi مُرْسَلٌ yang berarti diutus, dikirim atau dipakai
(dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi maslahah mursalah yang berarti
prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum Islam.
Juga dapat berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).
Dari segi pandangan syara’ maslahah di bagi
menjadi 3 yaitu :
1. Maslahah Mu’tabarah
2. Maslahah Mulghoh
3. Maslahah Mursalah
Sedangkan ulama’ ushul membagi maslahah
kepada tiga bagian yaitu:
1. Maslahah Dharuriyah
2. Maslahah Hajjiyah
3. Maslahah Tahsiniyah
Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai
dalil dengan syarat :
1. Maslahah tersebut harus maslahah yang
hakiki, bukan sekedar maslahah yang diduga atau di asumsikan.
2. Kemaslahatan tersebut harus kemaslahatan
umum, bukan kemaslahatan pribadi atau kemaslahaan khusus.
3. Kemaslahatan tersebut sesuai dengan
maqashid al syari’ah dan tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara’.
Kedudukan Maslahah Mursalah Sebagai Sumber
Hukum Penggunaan maslahah mursalah adalah ijtihad yang paling subur untuk
menetapkan hukum yang tak ada nashnya dan jumhur ulama menganggap maslahah
mursalah sebagai hujjah syari’at karena:
1. Semakin tumbuh dan bertambah hajat manusia
terhadap kemaslahatannya ,jika hukum tidak menampung untuk kemaslahatan manusia
yang dapat diterima,berarti kurang sempurnalah syari’at mungkin juga beku.
2. Para shahabat dan tabi’in telah mentapkan
hukum berdasarkan kemaslahatan,seperti abu bakar menyuruh mengumpulkan musyaf
al-qur’an demi kemaslahatan umum.
DAFTAR PUSTAKA
Baca madani Bengkulu 09 November 2018. https://www.bacaanmadani.com/2017/02/pengertian-maslahah-mursalah-kedudukan.html
Koto, Alaiddin. 2004. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada
No comments:
Post a Comment