1

loading...

Sunday, November 11, 2018

MAKALAH USHUL FIKIH “ QIYAS ”


MAKALAH USHUL FIKIH “ QIYAS ”


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pengambilan suatu keputusan hukum dalam Islam bukanlah hal yang mudah bahkan cukup sulit, semua harus bersandar pada Al-Quran dan Hadis. Kita ketahui bersama bahwasannya perkembangan tekhnologi dan peradaban manusia telah membuat permasalahan umat juga semakin kompleks. Banyak dari  permasalahan umat memang tidak temaktub dalam Al-Quran  maupun as-Sunnah, itulah yang membuat para ulama berfikir keras dalam pemecahan permasalannya. Namun dapat  kita ingat juga bahwasannya Rosulullah pada saat ia mengutus seorang sahabat dan membenarkan penyelesaiannya yang tidak ada dalam Al-Quran dan Sunnah dengan melakukan ijma’ dan qiyas
Sekilas tentang qiyas yaitu menetapkan hukum sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya. Dan qiyas merupakan mengukurkan sesuatu atas lainnya dan mempersamakannya

B.     Rumusan Masalah

a.       Apakah pengertian qiyas?
b.      Apa sajakah Jenis/ macam-macam qiyas?
c.       Apakah syarat dan rukun qiyas?

C.    Tujuan Penulisan
a.       Untuk mengetahui pengertian qiyas
b.      dapat mngetahui apa sajakah Jenis/ macam-macam qiyas
c.       untuk mengeatahui syarat dan rukun qiyas
BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Qiyas

Secara lughawi,Qiyas berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain.[1]
Qiyas menurut istilah ahli ilmu ushul adalah menyamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, karena terdapat persamaan kedua kasus tersebut dalam ‘illat hukumnya[2]. definisi qiyas yang dirumuskan ulama : tiga definisi diantaranya adalah sebagai berikut :

            Menurut Ibnu as-Subki, qiyas ialah :

حمل معلوم على معلوم لمساوته في علة حكمه عند الحامل
            Menyamakan hukum sesuatu dengan hukum sesuatu yang lain karena adanya kesamaan ‘illah hukum menurut mujtahid yang menyamakan hukumnya.

            Menurut al-Amidi qiyas ialah :

إشتباه الفرع والاصل في علة حكم الاصل في نظر المجتهد على وحه يستلزم تحصيل الحكم في الفرع
            Keserupaan antara cabang dan asal pada ‘illah hukum asal menurut pandangan mujtahid dari segi kemestian terdapatnya hukum (asal) tersebut pada cabang.


            Menurut Wahbah Az-Zuhaili qiyas ialah :

إلحاق أمر غير منصوص على حكمه الشرعى بأمر منصوص على حكمه للاشتراكهما فى علة الحكم
            Menghubungkan suatu masalah yang tidak terdapat nashs syara’ tentang hukumnya dengan suatu masalah yang terdapat nashs hukumnya,karena adanya persekutuan keduanya dari segi ‘illah hukum.[3]

B.     Macam – Macam Qiyas

            Dapat dilakukan dengan melihat beberapa aspek yang terdapat didalamnya , antara lain adalah :

1.      Dari segi kekuatan illat yang terdapat pada ashlu dan far’un, qiyas dibagi menjadi 3 yaitu :
a.       Qiyas Aulawi, yaitu dimana qiyas yang terdapat pada far’un lebih kuat dibanding illat yang terdapat pada ashlu, seperti mengqiyaskan keharoman memukul orang tua dengan keharoman berkata uff  kepadanya.
Illatnya adalah sama-sama menyakitkan.tetapi pada kasus memukul orang tua  illat menyakitkan lebih kuat dibandingkan berkata uff kepada orang tua.
b.      Qiyas Musawi, yaitu qiyas dimana illat hukum yang terdapat pada far’un sama kuat nya dengan illat yang terdapat pada ashl. Misalnya mengqiyaskan keharoman membakar harta anak yatim dengan keharoman memakan harta anak yatim.illat hukum pada kedua kasus ini sama jenisnya yaitu sama-sama memusnahkan harta anak yatim dan sama kuatnya.
c.       Qiyas Adna yaitu qiyas dimana illat yang terdapat pada far’un lebih lemah dibanding illat hukum yang terdapat pada ashl. Misalnya, mengqiyaskan apel pada gandum dalam menetapkan berlakunya riba Fadl dalam hal tukar-menukar barang sejenis.illatnya sama-sama makanan.[4]

2.      Dari segi kejelasan illat,qiyas diabagi menjadi dua yaitu :
a.       Qiyas jali, yaitu  qiyas yang illat hukumnya ditetapkan didalam nash bersamaan dengan penetapan hukum pada ashl, atau illat tersebut tidak ditetapakan dalam nash,namun titik perbedaan antara ashl dan far’un dapat dipastikan tidak ada pengaruhnya. Contohnya, dalam kasus dibolehkannya bagi musafir  laki – laki dan perempuan untuk mengqashar shalat ketika perjalanan, sekalipun diantara keduanya terdapat perbedaan (kelamin). Tetapi perbedaan ini tidak mempengaruhi terhadap kebolehan wanita mengqashar sholat. `illat nya adalah sama – sama dalam perjalanan.
b.      Qiyas khafi yaitu qiyas yang illat hukumnya tidak disebut dalam nash,tetapi diistinbatkan dari hukum ahsl yang memungkinkan kedudukan illatnya bersifat zhonni.Contohnya mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat dan benda tajam.[5]

C.    Rukun – Rukun Qiyas

1.      Al-Ashlu yaitu : Sesuatu yang ada nash hukumnya,disebut juga al-maqis ‘alaih ( yang diqiyaskan kepadanya ) mahmul ‘alaih ( yang dijadikan pertanggungan ) dan musyabbah bih ( yang diserupakan dengannya)
2.      al-far’u yaitu : sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dalam arti, hukumnya disamakan dengan asli disebut juga al-maqis ( yang diqiyaskan ), al-mahmul ( yang dipertanggungkan ) dan al-musyabbah ( yang diserupakan )
3.      hukum Ashl yaitu : hukum syara’ yang ada nashnya pada al-ashl ( pokok )nya, dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada al-far’u ( cabangnya )
4.      Al-‘illat yaitu : suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum pokok, dan berdasarkan keberadaan sifat itu pada cabang ( far’un) maka disamakan dengan pokoknya dari segi hukum.[6]

            Adapun dua rukun yang pertama yaitu al-ashlu (pokok) dan al-far’u (cabang) dari 4 rukun, maka keduanya merupakan dua kejadian, dua tempat, atau dua hal. Yang pertama ada nash yang menunjukkan terhadap hukumnya dan yang kedua tidak ada nash yang menunjukkan terhadap hukum, dan hendak diketahui, hukumnya, Pada keduanya tidak disyaratkan berbagai syarat kecuali bahwasanya pokok  al-ashlu  telah terdapat hukumnya berdasarkan nash dan cabang (al-far’u) tidak ada hukumnya berdasarkan ijma’, disamping itu tidak ada perbedaan yang menghalangi penyamaan keduanya dalam segi hukum.
            Adapun rukun yang ketiga yaitu, hukmul ashlu ( hukum pokok). Maka untuk menyamakan al-far’u (cabang) disaratkan berapa syarat, karena tidak semua hukum syara’ yang diperoleh ketetapan berdasarkan nash mengenai suatu kejadian dapat disamakan pada kejadian lain dengan perantara qiyas.
            Adapun rukun yang keempat yaitu, illat qiyas. Inilah rukun yang terpenting, karena illat qiyas itu merupakan asas. Dan pembahasannya adalah pembahasan yang terpenting dalam qiyas.[7]

D.    Metode Qiyas dan Penerapannya dalam Muamalah

Memahami bunga bank dari aspek legal-formal dan secara induktif, berdasarkan pelarangan terhadap larangan riba yang diambil dari teks (nas), dan tidak perlu dikaitkan dengan aspek moral dalam pengharamannya. Paradigma ini berpegang pada konsep bahwa setiap utang-piutang yang disyaratkan ada tambahan atau manfaat dari modal adalah riba, walaupun tidak berlipat ganda. Oleh karena itu, betapapun kecilnya, suku bunga bank tetap haram. Karena berdasarkan teori qiyâs, kasus yang akan di-qiyas-kan (fara’) dan kasus yang di-qiyas-kan (asal) keduanya harus disandarkan pada illat jâlî (illat yang jelas). Dan kedua kasus tersebut (bunga bank dan riba) disatukan oleh illat yang sama, yaitu adanya tambahan atau bunga tanpa disertai imbalan. Dengan demikian, bunga bank sama hukumnya dengan riba.
Adapun di antara tokoh-tokoh fikih Islam kontemporer yang menganut paradigma ini adalah Abû Zahrah, Wahbah Zuhayli, Yûsûf al-Qardawi (masing-masing ahli fikih Timur Tengah), Abdul Mannan, Syafi’i Antonio,Adiwarman Azwar Karim (masing-masing ahli hukum Islam dan praktisi perbankan Islam Indonesia).
Yûsûf al-Qardawi berpendapat bahwa riba yang diharamkan dalam Alquran tidak membutuhkanpenjelasan dan pembahasan lebih lanjut, karena tidak mungkin Allah mengharamkan sesuatu kepada manusia yang tidak mereka ketahui bentuknya. Pemahaman riba sesuai yang tertuang dalam Q.S Al-Baqarah:278-279 menunjukkan segala kelebihan dari modal adalah riba, sedikit maupun banyak. Maka setiap tambahan bagi modal yang disyaratkan atau ditentukan terlebih dahulu, karena adanya unsur tenggang waktu semata adalah riba.[8]

E.     Contoh Penerapan Qiyas dalam Muamalah Kontemporer

Contoh dari penerapan qiyas dalam muamalah kontemporer seperti Jualbeli emas secara tidak tunai adalah sebuah proses pemindahan hak milik berupa emas yang dianggap sebagai harta atau barang komoditas kepada pihak lain dengan menggunakan uang sebagai salah satu alat tukarnya yang dibayarkan secara berangsur-angsur dengan tingkat harga atau angsuran sesuai dengan kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak saat melakukan akad. Dengan diqiyaskan dengan nash al-quran dan al hadits sebagai berikut,
   Firman Allah SWT  QS. al-Baqarah : 275:
… وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا 
"… Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …"
·         Hadis Nabi SAW,
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak)." (HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban)
Hadis Nabi riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa'i, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari 'Ubadah bin Shamit, Nabi SAW bersabda, "(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai. "
Hadis Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khatthab, Nabi SAW bersabda:
الذَّهَبُ بِالْوَرِقِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ ...
"(Jual beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai."
·         Pendapat Ulama
Syaikh 'Ali Jumu'ah, Boleh jual beli emas dan perak yang telah dibuat atau disiapkan untuk dibuat dengan angsuran pada saat ini di mana keduanya tidak lagi diperlakukan sebagai media pertukaran di masyarakat dan keduanya telah menjadi barang (sil'ah) sebagaimana barang lainnya yang diperjualbelikan dengan pembayaran tunah dan tangguh. Pada keduanya tidak terdapat gambar dinar dan dirham yang dalam (pertukarannya) disyaratkan tunai dan diserahterimakan sebagaimana dikemukakan dalam hadis riwayat Abu Sa'id al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda: "Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali dengan ukuran yang sama, dan janganlah menjual emas yang gha'ib (tidak diserahkan saat itu) dengan emas yang tunai." (HR. al-Bukhari).
Hadis ini mengandung 'illat bahwa emas dan perak merupakan media pertukaran dan transaksi di masyarakat. Ketika saat ini kondisi itu telah tiada, maka tiada pula hukum tersebut, karena hukum berputar (berlaku) bersama dengan 'illatnya, baik ada maupun tiada. Atas dasar itu, maka tidak ada larangan syara' untuk menjualbelikan emas yang telah dibuat atau disiapkan untuk dibuat dengan angsuran.
Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaily, "Demikian juga, membeli perhiasan dari pengrajin dengan pembayaran angsuran tidak boleh, karena tidak dilakukan penyerahan harga (uang), dan tidak sah juga dengan cara berutang dari pengrajin."
Adapun contoh yang lain berdasarkan riwayat dari Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu, bahwa beliau memasukkan qiyas dalam bab zakat, ketika ia memerintahkan untuk mengambil zakat kuda tunggangan yang ternyata nilainya sama dengan harga seratus ekor unta. Lalu ia berkata,”kita ambil zakat dari 40 kambing, tetapi kenapa kita tidak mengambil apa-apa dari kuda?” Hal ini diikuti oleh Abu Hanifah, dan dia mewajibkan zakat kuda dengan syarat-syarat tertentu.
 Inilah yang membuktikan dalam kitab fikih zakat mengqiyaskan gedung-gedung yang disewakan untuk tempat tinggal dan lain sebagainya dengan tanah pertanian, dengan memakai besarnya biaya gedung, sehingga qiyas tersebut dibenarkan. Mengqiyaskan gaji dan upah dengan harta pemberian yang diambil zakatnya oleh Ibnu Mas’ud, Muawiyah dan Umar bin Abdul Aziz. Karena gaji, upah dan harta pemberian, secara umum sama.

  








BAB III
PENUTUP

3.1         Kesimpulan
Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum.
Nash baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah.
Begitu juga halnya dalam kegiatan muamalah, semua tidak terlepas dari hukum-hukum yang telah ditetatpkan, terutama dalam mencari sulusi-sulusi dalam pemecahan permasalah ekonomi ummat.


           

  









DAFTAR PUSTAKA

suwarjin.ushul fiqh.depok selema yogyakarta:teras.teras.2012.
Abuwahab khallaf.ilmu ushul fiqih.semarang:pracetakPT karyatoha putra semarang.199
Rahman dahlan ushul fiqh.jakarta:amzah.2016
Muhammad abu zahra.ushul fikih.jakarta:pustaka firdaus.1994



[1]. suwarjin.ushul fiqh.depok selema yogyakarta:teras.teras.2012.H.75
[2]. Abu wahab khallaf.ilmu ushul fiqih.semarang:pracetak PT karya toha
 putra semarang.199.H.79
[3]. Rahman dahlan ushul fiqh.jakarta:amzah.2016.H 161-162
[4].suwarjin.ushul fiqh.depok selema yogyakarta:teras.teras.2012.H.77
[5]. suwarjin.ibid.H.77
[6]. suwarjin.ushul fiqh.depok selema yogyakarta:teras.teras.2012.H.76
[7]. Muhammad abu zahra.ushul fikih.jakarta:pustaka firdaus.1994.H.338

No comments:

Post a Comment