MAKALAH TASAWUF FALSAFI
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Tasawuf Falsafi dan sumber
Tasawuf Falsafi berbeda dengan tasawuf
akhlaki dan irfani, perbedaannya kalau tasawuf akhlaki merupakan kajian ilmu
yang memerlukan publik untuk menguasainya. Tidak hanya berupa teori sebagai
pengetahuan, tetapi harus terealisasi dalam rentang waktu kehidupan manusia.
Tasawuf akhlaki merupakan gabungan antara ilmu tasawuf dengan ilmu akhlak.
Akhlak erat hubungannya dengan perilaku dan kegiatan manusia dalam berinteraksi
sosial pada tempat tinggalnya.
Sedangkan Tasawuf Falsafi yaitu tasawuf yang
ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Maksudnya
dalam ajarannya itu menggunakan metode yang serba mistis atau tersembunyi,
bersifat rahasia-rahasia sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang dapat
mengenal, mengetahui dan memahami terutama kepada penganutnya.
Terminologi filosofis yang digunakan berasal dari macam-macam ajaran filsafat
yang telah mempengaruhi para tokohnya, namun keasliannya sebagai tasawuf tetap
tidak hilang. Walaupun demikian tasawuf filosofis tidak bisa dipandang sebagai
filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), dan tidak
pula bisa dikategorikan pada tasawuf (yang murni), karena sering diungkapkan
dengan bahasa filsafat.sejarah tasawuf falsafi – Ada beberapa tradisi
pengalaman ajaran tasawuf yang bersumber dari beberapa ajaran, antara lain:
Unsur Islam, Unsur Masehi (Agama Nasrani), Unsur Persia Unsur Yunani dan Unsur
Hindu / Budha. Kelima unsur ini dapat diringkas menjadi dua unsur yakni unsur
Islam dan Unsur luar Islam.
- Unsur Islam
Secara umum Agama Islam menajarkan kepada umatnya agar selalu berbuat baik
dan selalu mendekatkan diri pada Allah SWT, atau dengan kata lain amar ma’ruf
nahi munkar.Seperti yang tercermin dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW, Walau
pada masa ini istilah tasawuf belum dikenal. Ketika beliau mengadingkan diri di
Gua Hira’ menjelang datangnya wahyu. Yang dilakukan oleh Beliau hanyalah
bertafakur, tidak makan dan minum kecuali yang dihalalkan oleh Allah. Hal yang
demikian itu merupakan perilaku orang yang zuhud.
Pada kalangan para sahabat pun mengikuti praktek tasawuf sebagaimana yang
diamalkan oleh Nabi Muhammad. Seperti halnya yang dilakukan oleh Sahabat Abu
Bakar Al-Sdidiq, beliau pernah berkata: “Aku mendapatkan kemuliaan dalam
ketakwaan, kefanaan dalam keagungan dan rendah hati”. Atau yang pernah
dilakukan oleh sahabat Umar Bin Khattab pernah berkhutbah dengan mengnakan
pakaian yang sangat sederhana. Demikian pula pada Kholifah Uthman Bin `Affan
yang banyak menghabiskan waktunya untuk membaca Al-Qur’an.
Selain sumber-sumber dia atas, situasi masyarakat pada masa itu juga turut
mempersubur lahirnya konsep tasawuf. Setelah Islam tersebar luas ke seluruh
penjuru dunia, masyarakat makmur, dan masyarakat suka melakukan hidup
berfoya-foya, lalu muncul segolongan masyarakat yang melakukan proses zuhud
seperti yang dilakukan oleh Hasan Al-Basri dan seterusnya.
- Unsur Luar
Islam
Masyarakat Arab pada umumnya menyukai cara kependetaan, khususnya dalam hal
latihan jiwa dan ibadah. Hal ini diperkuat oleh Gold Ziher yang
mengatakan bahwa sikap fakir dalam Islam merupakan cabang dari agama Nasrani.
Dan pakaian wol itu merupakan pakaian yang biasa digunakan oleh para pendeta.
Namun hal ini dibantah oleh al-Taftazani bahwa dalam Islam itu tidak ada
sistem kependetaan sebagaimana yang terdapat dalam Agama Nasrani. Adanya
kesamaan unsur tasawuf dengan Nasrani dalam hal Rabbaniyah tidak berarti islam
mengambil unsur tersebut. Karena kehidupan semacam tsawuf merupakan
kecenderungan universal yang terdapat dalam semua agama, sekalipun berbeda
dalam segi formal dan detailnya.
Selain unsur Nasrani, masih ada lagi yang unsur yang dikatakan sebagai
sumber tasawuf, seperti Unsur Yunani, Hindhu Budha dan Persia.
B. Perkembangan sejarah Tasawuf
Falsafi
sejarah tasawuf falsafi – Perkembangan tasawuf dalam
Islam telah mengalami beberapa fase. Pada abad pertama dan ke dua
Hijriyah mengalami fase asketisme (Zuhud), karena pada masa ini belum
dikenal istilah sufi. Pada fase ini bisa dikatakan tasawuf masih sangat murni
yang tidak terpengaruh oleh ajaran filsafat.
Pada abad ini individu-individu dari kalangan muslim
lebih memusatkan dirinya pada hal ibadah. Mereka tidak meentingkan hal duniawi,
berpakaian, makan, minum dan bertempat tinggal seadanya.] Tokoh yang terkenal pada masa ini adalah
Hasan al-Basri (wafat pada tahun 110 H) dan Rabi’ah Al-‘Adawiyah (wafat pada
185 H).
Pada abad ke tiga Hijriyah, tasawuf mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Ditandai dengan bebagai macam tasawuf yang
berkembang pada masa itu. Yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi
tiga golongan, pertama tasawuf yang berintikan ilmu jiwa / tasawuf murni. Ke
dua tasawuf yang terfokus pada petunjuk-petunjuk tentang cara-cara berbuat baik
serta cara-cara menghindarkan keburukan, yang bisanya disebut tasawuf akhlaqi.
Dan yang ke tiga adalah tasawuf yang berintikan metafisika, di dalamnya
terkandung ajaran yang melukiskan ketunggalan Hakekat yang Maha Kuasa, yang
merupakan satu-satu nya yang ada dalam pengertian yang mutlak, serta melukiskan
sifat-sifat Tuhan.
Jadi tasawuf falsafi mulai terlihat pada abad ke tiga
Hijriyah, golongan ini diwakili oleh Al-Hallaj, yang dihukum mati karena
menyatakan pendapatnya mengenai Hulul (309 H).Selanjutnya pada abad ke empat
Hijriyah kemajuan Tasawuf lebih pesat dibandingkan pada abad ke tiga Hijriyah.
Bisa terlihat pada usaha ulama` tasawuf untuk mengembangkan ajaran tsawufnya
masing-masing. Sehingga kota Bagdad menjadi satu-satu nya kota yang terkenal
sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling besar. Selain itu para ulama’
tasawuf juga mengajarkan ajarannya ke luar Kota Bagdad, diantara para pelopor
tersebut ialah
- Musa
Al-Ansori. Beliau mengajarkan ilmu tasawuf di Khurasan (Persia dan Iran)
dan wafat disana pada tahun 320 Hijriyah.
- Abu
Hamid bin Muhammad al-Rubazi; beliau mengajarkan tasawuf di salah satu
Kota di Mesir, dan wafat disana pada tahun 322 Hijriyah.
- Abu
Yazid Al-Damiy beliau mengajar di Semenanjung Arabiyah dan wafat
disana pada tahun 341 Hijriyah
- Abu‘Ali
Muhammad Bin ‘Abd al-Wahhab Al-Thaqofi, mengajarkan tasawuf di Naisabur
dan kota Sharaz dan wafat pada tahun 328 Hijriyah. Selain hal di
atas, pada abad ini para sufi banyak memproduksi buku filsafat.
Selanjutnya pada abad ke lima Hijriyah ada
pertentangan antara ulama’ sufi dengan ulama’ Fiqih. Dan keadaan semakin rawan
ketika berkembang suatu madhhab Shi’ah yang menghendaki pengembalian kekuasaan
kepada Kholifah ‘Ali bin Abi Tholib. Seiring waktu berjalan madhhab Shi’ah ini
semakin berkembang luas. Hal itu telah membuat Ulama’-Ulama’ Fiqih khawatir.
Keresahan para ulama’ Fiqih tersebut semakin besar,
ketika ajaran Filsafat Neo-Platonisme (Filsafat Persia dan India) banyak mempengaruhi
tasawuf, sehingga mewujudkan corak tasawuf Falsafi yang sangat bertentangan
dengan ajaran tasawuf pada masa awal. Pada abad ke lima Hijriyah ini terjadi
pertentangan tiga golongan yaitu golongan Fuqoha ahli ahli tasawuf falsafi dan
ahli tasawuf suni.
Dan muncullah tokoh Sufi yang bernama Al-Ghazali,
beliau melihat pertentangan tersebut ingin segera meredakan pertentangan
tersebut. Al-Ghazali hanya sepenuhnya menerima tasawuf berdasarkan Al-Qur’an
dan Al-Sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan yang seederhana, penyucian
jiwa serta pembianaan moral. Disisi lain beliau memberikan kritikan yang tajam
terhadap para filosof, seperti kaum Mu’tazilah dan Bat}iniyah. Dan akhirnya
Al-Ghazali berhasil mengenalkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat. Sehingga
pada abad ini tasawuf falsafi mulai tenggelam.
Namun sejarah perkembangan tasawuf falsafi kembali
muncul pada abad ke enam Hijriyah. Ditandai dengan adanya sekelompok tokoh
tasawuf yang memadukan tasawuf dengan filsafat dengan teori mereka yang
bersifat setengah-setengah. Artinya tidak ada yang disebut tasawuf murni dan
tidak ada pula yang disebut dengan filsafat murni. Diantara tokohnya yang
terkenal yakni Shuhrowardi al-Maqtul, Shekh Akbar Muhyiddin Ibnu ‘Arabi (wafat
pada tahun 638 H). ]
Pada abad ke tujuh, terdapat beberapa tokoh
tasawuf yang berpengaruh, diantaranya
- Umar
Ibnu Faridh (lahir di Homat, Shiria tahun 576 H / 1181 M. da wafat di
Mesir tahun 632 H / 1233 M)
- Ibnu
Sabi’in (lahir di Mercial, Spanyol tahun 613 H / 1215 M dan wafat di
Makkah tahun 667 H / 1215 M )
- Jalal
Al-Din Al-Rumi (lahir di Kota Balkh tahun 604 H / 1217 M dan wafat pada
tahun 672 H / 1273 M)
Pada abad ini tokoh-tokoh tasawuf mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan tasawuf. Pada akhirnya kegiatan tersebut dinamakan
tarekat oleh penganutnya. Yang sering dinisbatkan namanya pada gurunya. Masa
ini gairah masyarakat dalam mempelajari tasawuf menurun, karena beberapa
faktor:
- Semakin
gencarnya serangan Ulama’ Shari’at memerangi ahli tasawuf. Yang diiringi
golongan Shi’ah yang menekuni ilmu kalam dan ilmu fiqih
- Adanya
tekap penguasa atau pemerintah yang ingin melenyapkan ajaran tasawuf
karena dianggap sebagai sumber perpecahan umat Islam.
Sehingga bisa dikatakan negeri Arab dan Persia ketika
itu sunyi dari kegiatan tasawuf.
Setelah itu, pada abad ke delapan Hijriyah sudah tidak
terdengar lagi ajaran atau perkembangan tasawuf yang baru. Dan ada tokoh yang
bernama Ibnu Taimiyah (727 H / 1329 M), beliau yang memurnikan ajaran tasawuf
dari filsafat.
Akhirnya pada abad ke Sembilan, sepuluh Hijriyah dan
sesudahnya merupakan keadaan yang benar-benar sunyi dari ajaran tasawuf bahkan
bisa dikatakan tasawuf telah mati.
C. Tokoh dan Ajaran-Ajaran Tasawuf Falsafi
1. Ibn Arabi
a. Biografi Ibn Arabi
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah al-Tha’i
al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dan
meninggal pada tahun 638 H gdi Damaskus. Di Sevilla (Spanyol) ia memepelajari
Al-Qur’an, Hadist sertaa fiqih pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia
yakni Ibn Hazm Az-Zuhri.
b. Ajaran-Ajaran
Ibn ‘Arabi
Ajaran pertama dari Ibn ‘Arabi adalah wahdat al-wujud (kesatuan
wujud) yang merupakan ajaran sentralnya. Wahdat
al-wujud ini bukan berasal dari dirinya tapi berasal dari Ibn Taimiyah yang
merupakan tokoh yang mengecam keras dan mengkritik ajaran sentral tersebut. Wahdat
al-wujud menurut Ibn Taimiyah, wahdat al-wujud adalah penyamaan Tuhan
dengan alam. Menurutnya orang-orang yang mempunyai pemahaman wahdat al-wujud
mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu. Dan mengatakan bahwa wujud
alam sama dengan wujud Tuhan tidak ada perbedaan.
Sedangkan menurut Ibn Arabi, hanya ada satu wujud dari semua wujud yang
ada, adapun wujud makhluk merupakan hakikat dari wujud khaliq tidak ada
perbedaan antara keduanya dari segi hakikat. Menurutnya wujud alam pada
hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada
perbedaan antara wujud yang qadim (khaliq) dengan wujud yang baru (makhluk).
Hal itu dinyatakan dalam Al-Qur’an : “Maha Suci Tuhan yang telah menjadikan
segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu itu.
Apabila dilihat dari kesamaan antara wujud Tuhan dan wujud alam dan wujud
Tuhan bersatu dengan wujud alam. Menurut Ibn Arabi wujud yang mutlak adalah
wujud Tuhan dan tidak ada wujud selain Wujud-Nya. Berarti, apapun selain Tuhan,
baik berupa alam maupun apa saja yang ada di alam tidak memiliki wujud. Dalam
bentuk lain dapat dijelaskan bahwa makhluk diciptakan oleh khalik (Tuhan) dan
wujudnya bergantung pada wujud Tuhan. Semua yang berwujud selain Tuhan tidak
akan mempunyai wujud seandainya Tuhan tidak ada. Oleh karena itu, Tuhanlah
sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki, sedangkan yang diciptakan hanya
mempunyai wujud
sedangkan yang diciptakan hanya mempunyai wujud yang bergantung pada wujud
di luar dirinya, yaitu wujud Tuhan. Alam ini adalah bayangan Tuhan atau
bayangan yang wujud yang hakiki. Alam tidak mempunyai wujud sebenarnya. Oleh
karena itu alam merupakan tempat tajalli (penampakaan Tuhan).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa ajaran pokok dari Ibn Arabi adalah wahdat
al-wujud yang mengatakan bahwa wujud Tuhan itu hakikatnya sama dengan segala
sesutu yang Dia ciptakan, karena dinilai sebagai perwujudan Tuhan.
2. Al-Jilli
a. Biografi Al-Jilli
Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jilli. Ia lahir pada
tahun 1365 M. Di Jilan –giwan, sebuah provinsi disebelah selatan Kasfia dan
wafat pada tahun 1417M. Nama Al- Jilli diambli dari tempat kelahirannya di
Gilan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari Baghdad.
b. Ajaran-Ajaran Al-Jilli
Adapun ajaran-ajaran yang telah tasawuf falsafi
menurut Al-Jilli, antara lain :
1. Insan Kamil
Ajaran yang terpenting menurut Al-Jilli adalah insan
kamil yang berarti manusia sempurna. Al-Jilli memperkuatnya dengan hadist :
“Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang Maha Rahman. Sebagaiman diketahui,
Tuhan
mempunyai sifat hidup, pandai, mampu berkehendak,
mendengar dan sebagainya. Manusia Adam pun mempunyai sifat seperti itu dan
dapat dipahami bahwa Adam dilihat dari sisi penciptaanya merupakan salah
seorang insan kamil dengan segala kesempurnaanya. Sebab pada dirinya
terdapat sifat dan nama ilahiyah. Al-Jilli berpendapat bahwa nama-nama dan
sifat-sifat ilahiyah itu pada dasarnya merupakan milik insan kamil
sebagai suatu kemestian inheren dengan esensinya. Sebab sifat-sifat dan
nama-nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, tetapi pada insan kamil.
Perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil bagaikan
cermin. Seseorang tidak dapat melihat dirinya kecuali melalui cermin itu.
Demikian pula halnya dengan insan kamil, ia tidak dapat melihat dirinya kecuali
demngan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat meliht dirinya,
kecuali melalui cermin insan kamil. Dan dijelaskan dalam QS.Al-Ahzab: 33) yang
artinya:
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, maka semunya enggan untuk memikul amanat itu
dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.”
Ketidaksempurnaan manusia disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ‘ardhi,
termasuk bayi yang berada dalam kandungan ibunya. Al kamal dalamkonsep Al-Jilli
mungkin dimiliki oleh manusia secara profesional (bi al-quwwah) dan mungkin
secara aktual (bi al-fi’il) seperti yang terdap
at dalam wali-wali, dan nabi-nabi meskipun dalam intensitas yang berbeda.
Jadi yang dimaksud dengan insan kamil oleh Al-Jilli adalah manusia
dengan segala kesempurnaannya, sebab pada
dirinya terdapat sifat-sifat dan nama-nama
illahi. Hal ini sama dengan Al-Arabi yang ajarannya lebih mengedepankan akal.
2. Maqamat
(Al-Martabah)
Al-Jilli sebagai seorang sufi dengan membawa ajaran insan kamil, maka ia
juga merumuskan maqam/tingkatan yang harus dijalani oleh serang sufi pula,
diantaranya:
a) Pertama : Islam, yamg
didasarkan pada lima pokok atau rukun, dalam pemahaman kaum sufi, tidak hanya
melakukan kelima pokok itu secara ritual, tetapi juga harus dipahami dan
direalisasikannya.
b) Kedua: Iman,
yakni membenarkan dalam hati denagan keyakinan yang sebenar-benarnya. Iman
merupakan tangga pertama untuk mengungkap tabir alam ghaib, dan alat yang
membantu seseorang untuk mencapai maqam yang lebih tinggi.
c) Ketiga: ash-shalah,
yakni dengan maqam ini seorang sufi mencapai tingkat ibadah yang terus-menerus
kepada Allah, sehingga hal ini untuk mencapai maqam tertinggi dihadapan Allah
dengan menjalankan syari’at-syari’atnya dengan baik.
d) Keempat : Ihsan, yakni
dengan maqam ini menunjukkan bahwa seorang sufi telah mencapai tingkat menyaksikan
efek nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya, ia merasa seakan-akan
berada dihadapan-Nya. Persyaratan yang harus ditempuh pada maqam ini adalah
sikap istiqomah dalam tobat, inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, ridha ataupun
ikhlas.
e) Kelima: Syahadah,
yakni seorang sufi dalam maqam ini telah mencapai iradah dengan ciri-ciri:
mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya secara terus-menerus, dan
meninggalkan hal-hal yang bersifat pribadi.
f) Keenam:
shiddiqiyah, yakni seorang sufi dalm tingkatan derajat shiddiq akan menyaksikan
hal-hal yang ghaib sehingga
dapat mengetahui hakikat dirinya.
g) Ketujuh: qurbah,
yakni maqam ini meupakan maqam yang memungkinkan seseorang dapat menampakkan
diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa betapapun manusia sesempurna apapun dengan
nama dan sifat Allah, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa manusia itu
tidak bisa menyamai sifat dan nama-nama Tuhan.
3. Ibn Sabi’in
a. Biografi Ibn
Sabi’in
Nama lengkap Ibn Sabi’in adalah ‘Abdul Haqq ibn
Ibrahim Muhammad ibn Nashr, seorang sufidan juga filsuf dari Andalusia. Ia di
panggil Ibn Sabi’in dan digelari Quthbuddin dan dikenal pula dengan panggilan
Abu Muhammad. Dia berasal dari keturunan Arab dan dilahirkan tahun 614 H
(1217/1218 M) di kawasan Murcia dan lahir dari keluarga terhormat. Dia
mempelajari bahasa arab dan sastra, dia juga mempelajari ilmu agama dari
madzhab Maliki, ilmu-ilmu logika dan filsafat. Dia mengemukakan bahwa
guru-gurunya itu adalah Ibn Dihaq, yang dikenal dengan Ibn Mir’ah (wafat 611
H).
b. Ajaran-Ajaran Ibn
Sabi’in
1) Kesatuan Mutlak
Ibn Sabi’in pengasas sebuah paham dalam kalangan
tasawuf filosofis yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan
esensialnya sederhana yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata. Wujud
yang lainnya
hanyalah wujud Yang Satu itu sendiri. Paham ini lebih dikenal dengan paham
kesatuan mutlak. Kesatuan mutlak ini, atau kesatuan murni, atau menguasai, menurut
terminologi Ibn Sabi’in, hampir tidak mugkin mendeskripsikan kesatuan itu
sendiri
Dalam paham ini, Ibn Sabi’in menempatkan ketuhanan
pada tempat pertama. Sebab wujud Allah menurutnya adalah asal segala yang
ada pada masa lalu, masa kini maupun masa depan. Pemikiran-pemikiran Ibn
Sabi’in merujuk pada dalil-dalil Al-Qur’an yang diinterpretasikan secara
filosofis maupun khusus. Misalnya dalam surat Al-Hadid:3 yang artinya “Dialah
yang awal, yang akhir, yang zahir dan yang batin..”, dan diperkuat dengan
hadist qudsi yang artinya:”Apa yang pertama-tama diciptakan adalah akal budi,
maka firman Allah kepadanya maka Terimalah! Ia pun menerimanya...
Pendapat Ibn sabi’in tentang kesatuan mutlak tersebut
merupakan dasar paham, khusunya tentang para pencapai kesatuan mutlak ataupun
pengakraban Allah SWT. Paham ini sama dengan paham hakikat Muhammad SAW.
Pencapai kesatuan mutlak menurut Ibn Sabi’in adalah individu yang paling
sempurna, sempurna yang dimilki seoran faqih, teolog, filsuf ataupun sufi.
2) Penolakan terhadap Logika
Aristotelian
Paham kesatuan mutlak telah membuatnya menolak logika Aristotelian.
Terbukti dalam karyanya Budd Al-A’rif, ia menyusun suatu logika baru yang
bercorak iluminatif sebagai pengganti logika yang berdasaarkan pada konsepsi
jamak. Ibn sabi’in menamakan logika barunya itu dengan logika pencapaian
kesatuan mutlak, tidak termasuk kategori logika yang bisa dicapai dengan
panalaran, tetapi termasuk tembusan illahi yang membuat manusia bisa melihat
yang belum pernah dilihatnya maupun yang pernah didengarnya.
Kesimpulan
penting Ibn Sabi’in dengan logikanya tersebut adalah realitasa-realitas logika
dalam jiwa manusia bersifat alamiah yang memberi kesan adanya wujud jamak
sekedar ilusi belaka.
D.
Ciri Umum dan Ciri Khusus Tasawuf Falsafi
Adapun yang menjadi ciri-ciri Umum Tasawuf Falsafi antara lain:
1. Adanya latihan rohani yang
didasakan pada rasa (dzauq), Intuisi, dan introspeksi diri yang timbul darinya
2. Hakekat yang tersingkap dari alam
ghaib
3. Peristiwa dalam alam berpengaruh
terhadap berbagai bentuk kekeramatan
4. Ungkapan yang berbentuk samar
Sedangkan yang
menjadi ciri-ciri khusus dari Tasawuf Falsafi antara lain :
1. Mengkonsepsikan ajaran-ajaran dengan
menggabungkan antara rasional dan perasaan
2. Mendasarkan pada latihan-latihan
ruhaniah (riyadah)
3. Iluminasi atau bayangan
sebagai metode untuk mengatahui berbagai hakekat, yang menurut penganutnya bisa
dicapai dengan fana’
4. Selalu menyamarkan
ungkapan-ungkapan tentang hakekat realitas-realitas dengan berbagai simbol atau
terminologi
1. Ajarannya samar-samar akibat
banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya bisa dipahami pada
tasawuf jenis ini
2. Metode ajarannya didasarkan
pada rasa (dzauq) dan rasional dengan berdasarkan akal.
3. Ajaran-ajarannya sering diungkapkan
dalam bahasa-bahasa dan terminologi filsafat, dan cenderung mendalam ke dalam
panteisme ( teori yang berpendapat bahwa segala sesuatu merupakan perwujudan
Tuhan)
4. Di dasarkan pada latihan-latihan
ruhaniyah (riyadah), yang dimaksudkan sebagai peningkatan moral untuk mencapai
kebahagiaan
5. Iluminasi sebagai metode untuk
mengetahui berbagai hakekat realitas
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari materi-materi yang dijelaskan di atas mengenai
pembahasan tasawuf falsafi, maka dapat disimpulkan bahwa:
Tasawuf
Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasional
(filsafat) hingga menuju ketingkat yang lebih tinggi,
bukan hanya mengenal Tuhan saja
(ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wahdat al- wujud (kesatuan wujud).
Tokoh-tokoh
tasawuf falsafi serta ajaran-ajarannya antara lain yaitu:
a.
Ibn Arabi
Ajaran tasawufnya yaitu yang paling sentral adalah wahdat
al-wujud (kesatuan wujud).
b.
Al-Jilli
Ajaran tasawufnya yaitu tentang insan kamil
(manusia sempurna).
c.
Ibn Sabi’in
Ajaran tasawufnya yaitu tentang kesatuan mutlak dan ia
menolak terhadap logika Aristotelian.
Jadi yang menjadi karakteristik dari tasawuf falsafi
adalah ajarannya lebih mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan
pemahaman yang lebih mendalam, mengedepankan akal, ajarannya memadukan antara
visi mistis dan rasional.
No comments:
Post a Comment