1

loading...

Thursday, November 1, 2018

MAKALAH TASAWUF FALSAFI

MAKALAH TASAWUF FALSAFI
BAB II
Pembahasan


A.    Pengertian Tasawuf  Falsafi dan sumber

Tasawuf Falsafi berbeda dengan tasawuf akhlaki dan irfani, perbedaannya kalau tasawuf akhlaki merupakan kajian ilmu yang memerlukan publik untuk menguasainya. Tidak hanya berupa teori sebagai pengetahuan, tetapi harus terealisasi dalam rentang waktu kehidupan manusia. Tasawuf akhlaki merupakan gabungan antara ilmu tasawuf dengan ilmu akhlak. Akhlak erat hubungannya dengan perilaku dan kegiatan manusia dalam berinteraksi sosial pada tempat tinggalnya.

Sedangkan Tasawuf Falsafi yaitu tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Maksudnya dalam ajarannya itu menggunakan metode yang serba mistis atau tersembunyi, bersifat rahasia-rahasia sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mengenal, mengetahui dan  memahami terutama kepada penganutnya. Terminologi filosofis yang digunakan berasal dari macam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya, namun keasliannya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Walaupun demikian tasawuf filosofis tidak bisa dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), dan tidak pula bisa dikategorikan pada tasawuf (yang murni), karena sering diungkapkan dengan bahasa filsafat.sejarah tasawuf falsafi – Ada beberapa tradisi pengalaman ajaran tasawuf yang bersumber dari beberapa ajaran, antara lain: Unsur Islam, Unsur Masehi (Agama Nasrani), Unsur Persia Unsur Yunani dan Unsur Hindu / Budha. Kelima unsur ini dapat diringkas menjadi dua unsur yakni unsur Islam dan Unsur luar Islam.
  1. Unsur Islam
Secara umum Agama Islam menajarkan kepada umatnya agar selalu berbuat baik dan selalu mendekatkan diri pada Allah SWT, atau dengan kata lain amar ma’ruf nahi munkar.Seperti yang tercermin dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW, Walau pada masa ini istilah tasawuf belum dikenal. Ketika beliau mengadingkan diri di Gua Hira’ menjelang datangnya wahyu. Yang dilakukan oleh Beliau hanyalah bertafakur, tidak makan dan minum kecuali yang dihalalkan oleh Allah. Hal yang demikian itu merupakan perilaku orang  yang zuhud. 
Pada kalangan para sahabat pun mengikuti praktek tasawuf sebagaimana yang diamalkan oleh Nabi Muhammad. Seperti halnya yang dilakukan oleh Sahabat Abu Bakar Al-Sdidiq, beliau pernah berkata: “Aku mendapatkan kemuliaan dalam ketakwaan, kefanaan dalam keagungan dan rendah hati”. Atau yang pernah dilakukan oleh sahabat Umar Bin Khattab pernah berkhutbah dengan mengnakan pakaian yang sangat sederhana. Demikian pula pada Kholifah Uthman Bin `Affan yang banyak menghabiskan waktunya untuk membaca Al-Qur’an.
Selain sumber-sumber dia atas, situasi masyarakat pada masa itu juga turut mempersubur lahirnya konsep tasawuf. Setelah Islam tersebar luas ke seluruh penjuru dunia, masyarakat makmur, dan masyarakat suka melakukan hidup berfoya-foya, lalu muncul segolongan masyarakat yang melakukan proses zuhud seperti yang dilakukan oleh Hasan Al-Basri dan seterusnya. 
  1. Unsur Luar Islam
Masyarakat Arab pada umumnya menyukai cara kependetaan, khususnya dalam hal latihan jiwa dan ibadah. Hal ini  diperkuat oleh Gold Ziher yang mengatakan bahwa sikap fakir dalam Islam merupakan cabang dari agama Nasrani. Dan pakaian wol itu merupakan pakaian yang biasa digunakan oleh para pendeta.
Namun hal ini dibantah oleh al-Taftazani bahwa dalam Islam itu tidak ada sistem kependetaan sebagaimana yang terdapat dalam Agama Nasrani. Adanya kesamaan unsur tasawuf dengan Nasrani dalam hal Rabbaniyah tidak berarti islam mengambil unsur  tersebut. Karena kehidupan semacam tsawuf merupakan kecenderungan universal yang terdapat dalam semua agama, sekalipun berbeda dalam segi formal dan detailnya.
Selain unsur Nasrani, masih ada lagi yang unsur yang dikatakan sebagai sumber tasawuf, seperti Unsur Yunani, Hindhu Budha dan Persia. 


B.    Perkembangan sejarah Tasawuf Falsafi
sejarah tasawuf falsafi – Perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami beberapa  fase. Pada abad pertama dan ke dua Hijriyah mengalami  fase asketisme (Zuhud), karena pada masa ini belum dikenal istilah sufi. Pada fase ini bisa dikatakan tasawuf masih sangat murni yang tidak terpengaruh oleh ajaran filsafat.
Pada abad ini individu-individu dari kalangan muslim lebih memusatkan dirinya pada hal ibadah. Mereka tidak meentingkan hal duniawi, berpakaian, makan, minum dan bertempat tinggal seadanya.] Tokoh yang terkenal pada  masa ini adalah Hasan al-Basri (wafat pada tahun 110 H) dan Rabi’ah Al-‘Adawiyah (wafat pada 185 H). 
Pada abad ke tiga Hijriyah, tasawuf mengalami perkembangan yang sangat pesat. Ditandai dengan bebagai macam tasawuf yang berkembang pada masa itu. Yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi  tiga golongan, pertama tasawuf yang berintikan ilmu jiwa / tasawuf murni. Ke dua tasawuf yang terfokus pada petunjuk-petunjuk tentang cara-cara berbuat baik serta cara-cara menghindarkan keburukan, yang bisanya disebut tasawuf akhlaqi. Dan yang ke tiga adalah tasawuf yang berintikan metafisika, di dalamnya  terkandung ajaran yang melukiskan ketunggalan Hakekat yang Maha Kuasa, yang merupakan satu-satu nya yang ada dalam pengertian yang mutlak, serta melukiskan sifat-sifat Tuhan.
Jadi tasawuf falsafi mulai terlihat pada abad ke tiga Hijriyah, golongan ini diwakili oleh Al-Hallaj, yang dihukum mati karena menyatakan pendapatnya mengenai Hulul (309 H).Selanjutnya pada abad ke empat Hijriyah kemajuan Tasawuf lebih pesat dibandingkan pada abad ke tiga Hijriyah. Bisa terlihat pada usaha ulama` tasawuf untuk mengembangkan ajaran tsawufnya masing-masing. Sehingga kota Bagdad menjadi satu-satu nya kota yang terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling besar. Selain itu para ulama’ tasawuf juga mengajarkan ajarannya ke luar Kota Bagdad, diantara para pelopor tersebut ialah
  • Musa Al-Ansori. Beliau mengajarkan ilmu tasawuf di Khurasan (Persia dan Iran) dan wafat disana pada  tahun 320 Hijriyah.
  • Abu Hamid bin Muhammad al-Rubazi; beliau mengajarkan tasawuf di salah satu Kota di Mesir, dan wafat disana pada tahun 322 Hijriyah. 
  • Abu Yazid  Al-Damiy beliau mengajar di Semenanjung Arabiyah dan wafat disana pada tahun 341 Hijriyah
  • Abu‘Ali Muhammad Bin ‘Abd al-Wahhab Al-Thaqofi, mengajarkan tasawuf di Naisabur dan kota Sharaz dan wafat pada  tahun 328 Hijriyah. Selain hal di atas, pada abad ini para sufi  banyak memproduksi buku filsafat.
Selanjutnya pada abad ke lima Hijriyah ada pertentangan antara ulama’ sufi dengan ulama’ Fiqih. Dan keadaan semakin rawan ketika berkembang suatu madhhab Shi’ah yang menghendaki pengembalian kekuasaan kepada Kholifah ‘Ali bin Abi Tholib. Seiring waktu berjalan madhhab Shi’ah ini semakin berkembang luas. Hal itu telah membuat Ulama’-Ulama’ Fiqih khawatir.
Keresahan para ulama’ Fiqih tersebut semakin besar, ketika ajaran Filsafat Neo-Platonisme (Filsafat Persia dan India) banyak mempengaruhi tasawuf, sehingga mewujudkan corak tasawuf Falsafi yang sangat bertentangan dengan ajaran tasawuf pada masa awal. Pada abad ke lima Hijriyah ini terjadi pertentangan tiga golongan yaitu golongan Fuqoha ahli ahli tasawuf falsafi dan ahli tasawuf suni.
Dan muncullah tokoh Sufi yang bernama Al-Ghazali, beliau melihat pertentangan tersebut ingin segera meredakan pertentangan tersebut. Al-Ghazali hanya sepenuhnya menerima tasawuf berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan yang seederhana, penyucian jiwa serta pembianaan moral. Disisi lain beliau memberikan kritikan yang tajam terhadap para filosof, seperti kaum Mu’tazilah dan Bat}iniyah. Dan akhirnya Al-Ghazali berhasil mengenalkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat. Sehingga pada abad ini tasawuf falsafi mulai tenggelam. 
Namun sejarah perkembangan tasawuf falsafi kembali muncul pada abad ke enam Hijriyah. Ditandai dengan adanya sekelompok tokoh tasawuf yang memadukan tasawuf dengan filsafat dengan teori mereka yang bersifat setengah-setengah. Artinya tidak ada yang disebut tasawuf murni dan tidak ada pula yang disebut dengan filsafat murni. Diantara tokohnya yang terkenal yakni Shuhrowardi al-Maqtul, Shekh Akbar Muhyiddin Ibnu ‘Arabi (wafat pada tahun 638 H). ]
Pada abad ke tujuh, terdapat  beberapa tokoh tasawuf  yang berpengaruh, diantaranya
  • Umar Ibnu Faridh (lahir di Homat, Shiria tahun 576 H / 1181 M. da wafat di Mesir tahun 632 H / 1233 M) 
  • Ibnu Sabi’in (lahir di Mercial, Spanyol tahun 613 H / 1215 M dan wafat di Makkah tahun 667 H / 1215 M ) 
  • Jalal Al-Din Al-Rumi (lahir di Kota Balkh tahun 604 H / 1217 M dan wafat pada tahun 672 H / 1273 M) 
Pada abad ini tokoh-tokoh tasawuf  mendirikan lembaga-lembaga pendidikan tasawuf. Pada akhirnya kegiatan tersebut dinamakan tarekat oleh penganutnya. Yang sering dinisbatkan namanya pada gurunya. Masa ini gairah masyarakat dalam mempelajari tasawuf menurun, karena beberapa faktor: 
  • Semakin gencarnya serangan Ulama’ Shari’at memerangi ahli tasawuf. Yang diiringi golongan Shi’ah yang menekuni ilmu kalam dan ilmu fiqih
  • Adanya tekap penguasa atau pemerintah yang ingin melenyapkan ajaran tasawuf karena dianggap sebagai sumber perpecahan umat Islam. 
Sehingga bisa dikatakan negeri Arab dan Persia ketika itu sunyi dari kegiatan tasawuf.
Setelah itu, pada abad ke delapan Hijriyah sudah tidak terdengar lagi ajaran atau perkembangan tasawuf yang baru. Dan ada tokoh yang bernama Ibnu Taimiyah (727 H / 1329 M), beliau yang memurnikan ajaran tasawuf dari filsafat. 
Akhirnya pada abad ke Sembilan, sepuluh Hijriyah dan sesudahnya merupakan keadaan yang benar-benar sunyi dari ajaran tasawuf bahkan bisa dikatakan tasawuf telah mati.











C.    Tokoh dan Ajaran-Ajaran Tasawuf Falsafi
1.    Ibn Arabi
 a.     Biografi Ibn Arabi
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah al-Tha’i al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dan meninggal pada tahun 638 H gdi Damaskus. Di Sevilla (Spanyol) ia memepelajari Al-Qur’an, Hadist sertaa fiqih pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia yakni Ibn Hazm Az-Zuhri.

  b.      Ajaran-Ajaran Ibn ‘Arabi
Ajaran pertama dari Ibn ‘Arabi adalah wahdat al-wujud (kesatuan wujud) yang merupakan ajaran sentralnya. Wahdat

al-wujud ini bukan berasal dari dirinya tapi berasal dari Ibn Taimiyah yang merupakan tokoh yang mengecam keras dan mengkritik ajaran sentral tersebut. Wahdat al-wujud menurut Ibn Taimiyah, wahdat al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurutnya orang-orang yang mempunyai pemahaman wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu. Dan mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan tidak ada perbedaan.
Sedangkan menurut Ibn Arabi, hanya ada satu wujud dari semua wujud yang ada, adapun wujud makhluk merupakan hakikat dari wujud khaliq tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi hakikat. Menurutnya wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim (khaliq) dengan wujud yang baru (makhluk). Hal itu dinyatakan dalam Al-Qur’an : “Maha Suci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu itu.
Apabila dilihat dari kesamaan antara wujud Tuhan dan wujud alam dan wujud Tuhan bersatu dengan wujud alam. Menurut Ibn Arabi wujud yang mutlak adalah wujud Tuhan dan tidak ada wujud selain Wujud-Nya. Berarti, apapun selain Tuhan, baik berupa alam maupun apa saja yang ada di alam tidak memiliki wujud. Dalam bentuk lain dapat dijelaskan bahwa makhluk diciptakan oleh khalik (Tuhan) dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan. Semua yang berwujud selain Tuhan tidak akan mempunyai wujud seandainya Tuhan tidak ada. Oleh karena itu, Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki, sedangkan yang diciptakan hanya mempunyai wujud
sedangkan yang diciptakan hanya mempunyai wujud yang bergantung pada wujud di luar dirinya, yaitu wujud Tuhan. Alam ini adalah bayangan Tuhan atau bayangan yang wujud yang hakiki. Alam tidak mempunyai wujud sebenarnya. Oleh karena itu alam merupakan tempat tajalli (penampakaan Tuhan).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa ajaran pokok dari Ibn Arabi adalah wahdat al-wujud yang mengatakan bahwa wujud Tuhan itu hakikatnya sama dengan segala sesutu yang Dia ciptakan, karena dinilai sebagai perwujudan Tuhan.

2.      Al-Jilli
            a.       Biografi Al-Jilli
Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jilli. Ia lahir pada tahun 1365 M. Di Jilan –giwan, sebuah provinsi disebelah selatan Kasfia dan wafat pada tahun 1417M. Nama Al- Jilli diambli dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari Baghdad.
b.    Ajaran-Ajaran Al-Jilli
Adapun ajaran-ajaran yang telah tasawuf falsafi menurut Al-Jilli, antara lain :
1.      Insan Kamil
Ajaran yang terpenting menurut Al-Jilli adalah insan kamil yang berarti manusia sempurna. Al-Jilli memperkuatnya dengan hadist : “Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang Maha Rahman. Sebagaiman diketahui, Tuhan
mempunyai sifat hidup, pandai, mampu berkehendak, mendengar dan sebagainya. Manusia Adam pun mempunyai sifat seperti itu dan dapat dipahami bahwa Adam dilihat dari sisi penciptaanya merupakan salah seorang insan kamil dengan segala kesempurnaanya. Sebab pada dirinya terdapat sifat dan nama ilahiyah. Al-Jilli berpendapat bahwa nama-nama dan sifat-sifat ilahiyah itu pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai suatu kemestian inheren dengan esensinya. Sebab sifat-sifat dan nama-nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, tetapi pada insan kamil.
Perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin. Seseorang tidak dapat melihat dirinya kecuali melalui cermin itu. Demikian pula halnya dengan insan kamil, ia tidak dapat melihat dirinya kecuali demngan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat meliht dirinya, kecuali melalui cermin insan kamil. Dan dijelaskan dalam QS.Al-Ahzab: 33) yang artinya:
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semunya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.”

Ketidaksempurnaan manusia disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ‘ardhi, termasuk bayi yang berada dalam kandungan ibunya. Al kamal dalamkonsep Al-Jilli mungkin dimiliki oleh manusia secara profesional (bi al-quwwah) dan mungkin secara aktual (bi al-fi’il) seperti yang terdap
at dalam wali-wali, dan nabi-nabi meskipun dalam intensitas yang berbeda.
Jadi yang dimaksud dengan insan kamil oleh Al-Jilli adalah manusia dengan segala kesempurnaannya, sebab pada dirinya       terdapat sifat-sifat dan nama-nama illahi. Hal ini sama dengan Al-Arabi yang ajarannya lebih mengedepankan akal.

  2.      Maqamat (Al-Martabah)
Al-Jilli sebagai seorang sufi dengan membawa ajaran insan kamil, maka ia juga merumuskan maqam/tingkatan yang harus dijalani oleh serang sufi pula, diantaranya:
a)      Pertama : Islam, yamg didasarkan pada lima pokok atau rukun, dalam pemahaman kaum sufi, tidak hanya melakukan kelima pokok itu secara ritual, tetapi juga harus dipahami dan direalisasikannya.
b)      Kedua:  Iman, yakni membenarkan dalam hati denagan keyakinan yang sebenar-benarnya. Iman merupakan tangga pertama untuk mengungkap tabir alam ghaib, dan alat yang membantu seseorang untuk mencapai maqam yang lebih tinggi.
c)      Ketiga: ash-shalah, yakni dengan maqam ini seorang sufi mencapai tingkat ibadah yang terus-menerus kepada Allah, sehingga hal ini untuk mencapai maqam tertinggi dihadapan Allah dengan menjalankan syari’at-syari’atnya dengan baik.
d)     Keempat : Ihsan, yakni dengan maqam ini menunjukkan bahwa seorang sufi telah mencapai tingkat menyaksikan efek nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya, ia merasa seakan-akan berada dihadapan-Nya. Persyaratan yang harus ditempuh pada maqam ini adalah sikap istiqomah dalam tobat, inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, ridha ataupun ikhlas.
e)      Kelima: Syahadah, yakni seorang sufi dalam maqam ini telah mencapai iradah dengan ciri-ciri: mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya secara terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang bersifat pribadi.
f)       Keenam: shiddiqiyah, yakni seorang sufi dalm tingkatan derajat shiddiq akan menyaksikan hal-hal yang ghaib sehingga
dapat mengetahui hakikat dirinya.
g)      Ketujuh: qurbah, yakni maqam ini meupakan maqam yang memungkinkan seseorang dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa betapapun manusia sesempurna apapun dengan nama dan sifat Allah, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa manusia itu tidak bisa menyamai sifat dan nama-nama Tuhan.

  3.      Ibn Sabi’in
a.       Biografi Ibn Sabi’in
Nama lengkap Ibn Sabi’in adalah ‘Abdul Haqq ibn Ibrahim Muhammad ibn Nashr, seorang sufidan juga filsuf dari Andalusia. Ia di panggil Ibn Sabi’in dan digelari Quthbuddin dan dikenal pula dengan panggilan Abu Muhammad. Dia berasal dari keturunan Arab dan dilahirkan tahun 614 H (1217/1218 M) di kawasan Murcia dan lahir dari keluarga terhormat. Dia mempelajari bahasa arab dan sastra, dia juga mempelajari ilmu agama dari madzhab Maliki, ilmu-ilmu logika dan filsafat. Dia mengemukakan bahwa guru-gurunya itu adalah Ibn Dihaq, yang dikenal dengan Ibn Mir’ah (wafat 611 H).

b.      Ajaran-Ajaran Ibn Sabi’in
1)      Kesatuan Mutlak
Ibn Sabi’in pengasas sebuah paham dalam kalangan tasawuf filosofis yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan esensialnya sederhana yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata. Wujud yang lainnya


hanyalah wujud Yang Satu itu sendiri. Paham ini lebih dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Kesatuan mutlak ini, atau kesatuan murni, atau menguasai, menurut terminologi Ibn Sabi’in, hampir tidak mugkin mendeskripsikan kesatuan itu sendiri

Dalam paham ini, Ibn Sabi’in menempatkan ketuhanan pada tempat pertama. Sebab  wujud Allah menurutnya adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini maupun masa depan. Pemikiran-pemikiran Ibn Sabi’in merujuk pada dalil-dalil Al-Qur’an  yang diinterpretasikan secara filosofis maupun khusus. Misalnya dalam surat Al-Hadid:3 yang artinya “Dialah yang awal, yang akhir, yang zahir dan yang batin..”, dan diperkuat dengan hadist qudsi yang artinya:”Apa yang pertama-tama diciptakan adalah akal budi, maka firman Allah kepadanya maka Terimalah! Ia pun menerimanya...

Pendapat Ibn sabi’in tentang kesatuan mutlak tersebut merupakan dasar paham, khusunya tentang para pencapai kesatuan mutlak ataupun pengakraban Allah SWT. Paham ini sama dengan paham hakikat Muhammad SAW. Pencapai kesatuan mutlak menurut  Ibn Sabi’in adalah individu yang paling sempurna, sempurna yang dimilki seoran faqih, teolog, filsuf ataupun sufi.
2)    Penolakan terhadap Logika Aristotelian
Paham kesatuan mutlak telah membuatnya menolak logika Aristotelian. Terbukti dalam karyanya Budd Al-A’rif, ia menyusun suatu logika baru yang bercorak iluminatif sebagai pengganti logika yang berdasaarkan pada konsepsi

jamak. Ibn sabi’in menamakan logika barunya itu dengan logika pencapaian kesatuan mutlak, tidak termasuk kategori logika yang bisa dicapai dengan panalaran, tetapi termasuk tembusan illahi yang membuat manusia bisa melihat yang belum pernah dilihatnya maupun yang pernah didengarnya.

Kesimpulan penting Ibn Sabi’in dengan logikanya tersebut adalah realitasa-realitas logika dalam jiwa manusia bersifat alamiah yang memberi kesan adanya wujud jamak sekedar ilusi belaka.



D.    Ciri Umum dan Ciri Khusus Tasawuf Falsafi
Adapun yang menjadi ciri-ciri Umum Tasawuf Falsafi antara lain:
  1.      Adanya latihan rohani yang didasakan pada rasa (dzauq), Intuisi, dan introspeksi diri yang timbul darinya
  2.      Hakekat yang tersingkap dari alam ghaib
  3.      Peristiwa dalam alam berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan
  4.      Ungkapan yang berbentuk samar
Sedangkan yang menjadi ciri-ciri khusus dari Tasawuf Falsafi antara lain :
  1.      Mengkonsepsikan ajaran-ajaran dengan menggabungkan antara rasional dan perasaan
  2.      Mendasarkan pada latihan-latihan ruhaniah (riyadah)
  3.      Iluminasi atau bayangan  sebagai metode untuk mengatahui berbagai hakekat, yang menurut penganutnya bisa dicapai dengan fana’
  4.      Selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan tentang hakekat realitas-realitas dengan berbagai simbol atau terminologi 


  1.      Ajarannya samar-samar akibat banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya bisa dipahami pada tasawuf  jenis ini
   2.      Metode ajarannya didasarkan pada rasa (dzauq) dan rasional dengan berdasarkan akal.
  3.      Ajaran-ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa-bahasa dan terminologi filsafat, dan cenderung mendalam ke dalam panteisme ( teori yang berpendapat bahwa segala sesuatu merupakan perwujudan Tuhan)
  4.      Di dasarkan pada latihan-latihan ruhaniyah (riyadah), yang dimaksudkan sebagai peningkatan moral untuk mencapai kebahagiaan
  5.      Iluminasi sebagai metode untuk mengetahui berbagai hakekat realitas

    

       BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dari materi-materi yang dijelaskan di atas mengenai pembahasan tasawuf falsafi, maka dapat disimpulkan bahwa:
    Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan  (ma’rifat) dengan pendekatan rasional (filsafat) hingga menuju ketingkat yang lebih tinggi,  bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wahdat al- wujud (kesatuan wujud).   
   Tokoh-tokoh tasawuf falsafi serta ajaran-ajarannya antara lain yaitu:
a.       Ibn Arabi
Ajaran tasawufnya yaitu yang paling sentral adalah wahdat al-wujud (kesatuan wujud).
b.      Al-Jilli
Ajaran tasawufnya yaitu tentang insan kamil (manusia sempurna).
c.       Ibn Sabi’in
Ajaran tasawufnya yaitu tentang kesatuan mutlak dan ia menolak terhadap logika Aristotelian.

Jadi yang menjadi karakteristik dari tasawuf falsafi adalah ajarannya lebih mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman yang lebih mendalam, mengedepankan akal, ajarannya memadukan antara visi mistis dan rasional.





No comments:

Post a Comment