MAKALAH
FILSAFAT
PENDIDIKAN ISLAM
PEMIKIRAN
PENDIDIKAN IBNU SINA
BAB I
PENDAHULUAN
A .
Latar
belakang
Dalam pandangan Ibnu Sina, pendidikan
tak hanya memperhatikan aspek moral, namun juga membentuk individu yang
menyeluruh termasuk jiwa, pikiran dan karakter. Menurutnya, pendidikan sangat
penting diberikan kepada anak-anak untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi
masa dewasa.
Ibnu Sina mengungkapkan, seseorang harus
memiliki profesi tertentu dan harus bisa berkontribusi bagi masyarakat. Ibnu
Sina mengungkapkan pendidikan itu harus diberikan secara berjenjang berdasarkan
usia. Ia dianggap seseorang yang cerdas, karena dalam usia yang sangat mudah
(17 tahun). Ibnu Sina telah dikenal sebagai Filoshop dan Dokter terkemuka di
Bukhara, selain itu Ibnu Sina juga dikenal sebagai tokoh yang luar biasa.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Biografi Ibnu Sina?
2. Apa
pemikiran Ibnu Sina tentang pendidikan?
3. Bagaimana
Falsafah menurut Ibnu Sina?
C.
Tujuan
Masalah
1. Untuk
mengetahui biografi Ibnu Sina
2. Untuk
mengetahui pemikiran Ibnu Sina tentang pendidikan
3. Untuk
mengetahui falsafah menurut Ibnu Sina
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Ibnu Sina
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu A’li Al-Husain
ibnu Abdullah ibnu Al-hasan ibnu A’li Ibnu Sina Al-Hakim. Beliau dikenal
sebagai Ibnu Sina atau Avicienna. Ibnu Sina lahir pada 370 Hijriah/980 Masehi.
Beliau dilahirkan di Khormeisan berdekatan Bukhara dan berbangsa Balkha (ahli
Bhalka), sekarang Uzbekistan, ibu kota Samani, sebuah kota peninggalan dari
dinasti Persia di Asia Tengah dan Khorasan. Ibnu Sina wafat pada 428
Hijriah/1037 Masehi. Ibunya yang bernama Setareh juga berasal dari Bukhara, dan
ayahnya Abdullah, adalah seorang penganut Ismailiyah yang disegani dan
merupakan Ilmuwan dari Balkh, sebuah kota penting dari kekuasan Samani yang
sekarang merupakan Provinsi Balkh di Afghanistan. Pada saat ayahnya memiliki
putra dirinya, gubernur yang berkuasa dimasa itu adalah Nuh Ibnu Mansur.
Ayahnya mendidik putranya dengan sangat hati-hati dengan menyekolahkannya di
Bukhara. Kemampuan yang Ibnu Sina yang independen memiliki daya intelek dan
memori luar biasa, sedemikian rupa yang mampu mengambil alih tugas gurunya
ketika usia 14 tahun. Seperti yang diakuinya dalam otobiografi, tidak ada yang
tidak dia pelajari pada saat usianya mencapai 18 tahun.
Sejumlah yang berbeda elah dikemukakan oleh Ibnu
Sina. Ahli sejarah abad tengah, Zahir al-din al-Bayhaqi memandang Ibnu Sina
sebagai pengikut dari Ikhwan al-Shafa. Selain itu, Shia Faqih Nurullah Shustari
dan Seyyed Hossein Nasr, serta Henry Corbin, menganggap bahwa ia paling
menyerupai mazhab Syi’ah dua belas imam. Dimitri Gutas menyatakan bahwa
menyatakan bahwa Ibnu Sina adalah seorang Sunni Hanafi. Perbedaan pendapat
seperti itu juga berlaku bagi latar belakang keluarga Ibnu Sina, ada yang
berpendapat Sunni, ada pula yang menganggap nya Syi’ah.[1]
Menurut otobiografinya, Ibnu Sina telah menghapal
seluruh Al-Qur’an pada usia 10 tahun. Beliau belajar lebih banyak dari para
ilmuan pelancong yang memperoleh kehidupan dengan menyembuhkan orang- orang
yang sakit, dan mengajar kaum muda. Beliau juga belajar Fiqih melalui guru
Ismail l-Zahid yang bermazhab Hanafi.
Saat usianya belasan tahun, dia sudah resah dengan
metafisika yang Aristoteles yang tidak dapat di pahaminya sampai setelah ia
membaca komentar Al-Farabi. Selama setahun setengan ia mempelajari Falsafah
dimana ia jumpai hambatan berat. Moment dimana terjadi perhelatan penemuan
tersebut diatasinya dengan meninggalkan buku-bukunya, berwudu pergi menuju
masjid, dan melaksanakan shalat, sampai muncul cahaya yang mencerahkan
kesultannya tadi. Hingga larut malam ia melanjutkan studiny, bahkan dalam
pimpimnannyapun banyak problem menghampirinya dan iapun berusaha keras
menyelesaikan problem tersebut Ibnu Sina degan kekuatan logikanya sehingga
dalam banyak hal mengikuti teori matemaika bahkan dalam kedokteran dan proses
pengobatan dikenal pula sebagai filsuf
tak tertandingi. Menurutnya, seseorang baru diakui sebagai ilmuan jika ia
menguasai Falsafah secara sempurna. Ibnu Sina sangat cermat dalam mempelajari
pandangan-padangan Aristoteles di bidang Falsafah. Ketika menceritakan
pengalamannya mempelajari pemikiran Aristoteles dikatakan bahwa ia telah
membaca buku metafsika Aristoteles sebanyak 40 kali, sehingga ia berhasil
menghafal semua kata dalam memoriya, namun makna nya tetap janggal sampai suatu
hari ketika menemukan pencerahan dari sedikit komentar yang di tulis oleh
Al-Farabi yang bukunya ia beli dari toko buku seharga Dirham iapun menjadi
sangat senang saat menemukan bantuan dari sebuah karya yang sebelumnya dikira
sekadar misteri. Beliau menguasai maksut dari kitab itu secara sempurna setelah
membaca Syarah atau penjelasan ‘metafisika Aristoteles’ yang ditulis oleh
farabi, filsuf muslim sebelumnya. Ia pun bergegas kembali melaksanakan syukur kepada Allah serta
memberi sedekah kepada kaum miskin.
Ibnu Sina mempelajari ilmu kedokteran sejak usia 16
tahun, dan ia pun tidak hanya belajar teori medis, melainkan juga dengan
mengunjungi pasien, yang menurut catatan, hal dapat menemukan cara memberi
perlakuan (penyembuhan). Ibnu Sina meraih status penuh sebagai ahli fisika yang
berkualitas pada usia 18 tahun, dan menyatakan bahwa kedokteran bukanlah ilmu
yang berat, seperti matematika atau metafisika, sehingga ia pun mencapai
kemajuan pesat. Ibnu Sina menjadi Dokter yang andal dan mulai melayani pasien
dengan menggunakan penyembuhan yang tepat. Popularitasnya langsung berkembang
dengan cepat dan ia telah melayani banyak pasien tanpa meminta bayaran.
Pada awalnya Ibnu Sina diangkat sebagai tabib bagi
penguasa pada waktu itu yang berhutang budi karena telah di sembuhkan dari
penyakit yang berbahaya. Hadiah yang diterima oleh Ibnu Sina atas layanan nya
tersebut adalah kemudahan akses terhadap perpustakaan Istana Dinasti Samani
yang mendukung para ilmuan dan beasiswa belajar. Berkat itu, Ibnu Sina dapat
leluasa masuk ke perpustakaan Istana Samani yang besar. Ibnu Sina mengenai
perpustakaan itu mengatakan demikian: ’’Semua buku yang aku inginkan ada
disitu. Bahkan aku menemukan banyak buku yang kebanyakan orang bahkan tak
pernah mengetahui namanya. Aku sendiri pun belum pernah melihatnya dan tidak
akan pernah melihatnya lagi karna itu aku dengan giat membaca kitab-kitab itu
dan semaksimal mungkin memanfaatkannya. Ketika usiaku menginjak 18 tahun aku
telah berhasil menyelesaikan semua bidang ilmu.” Ibnu Sina menguasai berbagai
ilmu seperti hikmah, mantiq, dan
matematika dengan berbagai cabangnya.
Saat perpustakaan tersebut dilalap api, musuh-musuh
Ibnu Sina menuduhnya membakar perpustakaan, dan demikian itu dilakukan mereka
untuk menyembunyikan sumber-sumber pengetahuan selamanya. Selain itu, Ibnu Sina
membantu ayahnya dari hasil upah kerjanya, betapapun begitu ia pun masih sempat
beberapa karya tulis.
Ketika Ibnu Sina berusia 22 tahun ia kehilangan
ayahnya. Penguasa Dinasti Samani
berakhir pada desember 1004 M. Agaknya Ibnu Sina menolak tawaran Mahmud dari
Ghazni lalu melanjutkan perjalanan ke arah Barat menuju ke Urgench di kota
modern Turkmenistan, dimana wazirnya menganggap Ibnu Sina sebagai kawan dari
kalangan ilmuwan, dan bahkan memberinya upah sedkit gaji bulanan. Meskipun gaji
bulanan tersebut mampu melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain
melintasi wilayah Nashapur dan Merv hingga sampai pada perbatasan Khurasan, untuk
menemukan dan membuka bakatnya. Qabus, seorang pengusaha Dailam dan Persia
pusat yang murah hati dimana ia juga merupakan seorang ahli sya’ir dan ilmuwan,
mendukug Ibnu Sina yang berniat untuk memperoleh suaka. Namun kebersamaan
dengan itu(tahun 1012) Qabus terbunuh oleh para tentaranya yang memberontak.
Ibnu Sina sendiri menderita sakit keras. Akhirnya, Gorgan dekat dengan Laut Kaspia,
Ibnu Sina berjumpa dengan seorang kawan yang bersedia membelikannya tempat
tinggal di dekat rumahnya,dimana Ibnu Sina dapat mengajar Logika dan Astronomi.
Beberapa karya tulis Ibnu Sina atas dukungan kawan tersebut, dan awal dari
tulisannya yang berjudul Qanun fi al-Thib
(undang-undang kedokteran) juga bermula dari tinggalnya di Hyrcania.
Selanjutnya Ibnu Sina menetap di Rai, sekitar kota
Teheran (sekarang ibu kota Iran), kota dimana Al-Razi tinggal dan kekuasaan
Majid al-Daulah, putra dari dinasti Buwaihi yang terakhir terpilih sebagai
penguasa di bawah pimpinan kabupaten yang di pegang oleh ibunya Sayidah Khatun.
Sekitar 30 karya tulis Ibnu Sina disusun dikota Rai ini. Perseteruan
terus-menerus antara bupati dan anakanya yang kedua, Syams al-Daulah, mengakibatkan
terusirnya para ilmuwan untuk meninggalkan tempat tersebut. Setelah singgah
sebentar di Hamadan dimana Syam Al-Daullah, penguasa Dinasti Buwaihi yang lain
menerimanya semula, Ibnu Sina melayani seorang gadis bangsawan, namun setelah
penguasa di wilayah tersebut mendengar kedatangan nya maka ia memanggil Ibnu
Sina sebagai Dokter dan memberinya bermacam hadian kerumah nya. Ibnu Sina
bahkan diangkat untuk bekerja dikanto Wazir, sehingga akhirnya sang Emir pun memustuskan
agar Ibnu Sina meninggalakan negeri tersebut. Ibnu Sina tidak langsung meninggalkan
negeri tersebut dan bersembunyi selama
40 hari dirumah Syaikh Ahmad Fadlil, sampai sang emir tadi menderita sakit yang
memaksanya berhenti dari jabatan. Walaupun pada masa yang membingungkan tersebut,
Ibnu Sina tetap melakukan kajian dan mengajar. Tiap sore, ringkasan dari karya
monumentalnya Qanun fi al-tahib, didiktekan
dan dijelaskan pada para muridnya. Saat sang Emir wafat, Ibnu Sina berhenti
menjadi Wazir dan sembunyi di rumah seorang apoteker dimana dengan ketekunan
yang mendalam ia melanjutkan menyusun karya tulis.
Dalam pada itu, Ibnu Sina menulis surat sebagai
bentuk layanannya kepada Abu Jafkar tetang kesempurnaan kota Isfahan yang
dinamis. Emir baru di hamadan mendengar korespondensi tersebut dan menemukan
dimana Ibnu Sina bersembunyi, maka Ibnu Sina pun di penjara dalam sebuah
benteng. Saat berada di dalam penjara, Ibnu Sia menyibukkkan diri dengan
mengubah bait-bait syair, atau menulis renungan agamanya dalam metode yang
indah. Sementara itu terjadi perang antara penguasa Ispahan dan Hamadan pada
tahun 1024, dimana penguasa Ispahan akhirnya menaklukkan Hamadan beserta
kotanya seraya mengusir tentara bayaran Tajik. Setelah badai perang berlalu
Ibnu Sina kembali bersama Emir menuju Hamadan dengan membawa karya satranya.
Kemudian, ia ditemani oleh saudara lelakinya, seorang murid pilihan dan dua
orang budak Ibnu Sina melarikan diri dari kota tersebut dengan berpakaian
layaknya sufi. Setelah melalui perjalanan berbahaya, mereka sampai Isfahan dan
diterima dengan terhormat dengan pangeran.
Sisa usia sepuluh atau dua belas tahun berikutnya
dari kehidupan Ibnu Sina digunakan untuk melayani Jafkar Ala al-Daullah, di
mana ia menemaninya sebagai seorang dokter dan sastrawan serta penasihat
akademik. Selama tahun-tahun tersebut ia mulai mempelajari sastra dan falsafah.
Lalu, ia terserang sakit perut dan ditawan oleh tentara saat hendak menyerang
Hamada, ketika diperiksa sakitnya sangat keras sehingga ia nyaris tak bisa
sendiri. Pada saat yang sama, penyakitnya kambuh da dengan susah payah ia pun
tiba di Hamadan dimana penyakitnya semakin parah, namun ia menolak untuk
bertahan dengan cara hidupnya yang dipaksakan dan berserah pada nasib.
Para sahabatnya menasehatinya menasehatinya untuk
tenang dan hidup sederhana. Namun, ia menolak dengan menyertakan bahwa “Saya
lebih suka hidup singkat dengan lebar untuk memendekkan seseorang dengan
panjang” diatas tempat tidurnya ia merasa menyesal, dan mensedekahkan
barang-barang miliknya kepada kaum miskin, membebaskan para budak, dan membaca
Al-Qur’an tiap tiga hari sampai ajal mereggut nyawanya pada juni 1037 M dalam
usia 58 tahun pada Ramadhan dan dimakamkan di Hamadan, Iran.
B.
Pemikiran
Ibnu Sina Tentang Pendidikan
Pemikiran Ibnu Sina yang banyak keterkaitannya
dengan pendidikan, menyangkut pemikirannya tentang falsafah ilmu. Menurut Ibnu
Sina ilmu terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Ilmu
yang tak kekal.
2. Ilmu
yang kekal (hikmah). Ilmu yang kekal dipandang dari peranannya sebagai alat
disebut logika.
Ibnu Sina juga membagi falsafah dalam
dua bagian, yaitu teori dan praktek, yang keduannya berhubungan dengan agama,
dimana dasarnya terdapat dalam syari’at Tuhan, yang penjelas dan kelengkapannya
diperoleh dengan akal manusia. Berdasarkan dengan tujuannya maka ilmu dapat
dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Ilmu
praktis seperti ilmu kealaman, matematika, ilmu ketuhanan dan ilmu kulli.
2. Ilmu
tidak praktis adalah ilmu akhlak, ilmu pengurusan, rumah ilmu, pengurusan kota,
dan ilmu nabi (syariah).
Menurut Ibnu Sina pendidikan yang diberi
oleh nabi pada hakikatnya adalah pendidikan kemanusiaan. Bahwa pemikiran
pendidikan Ibnu Sina bersifat komprensif. Dalam pemikiran pendidikannya Ibnu
Sina telah menguraikan tentang psikologi pendidikan, terlihat dari uraian-uraiannya
mengenai hubungan anak dengan tingkatan usia, kemauan dan bakat anak dengan
mengetahui latar belakang tingkat perkembangannya, bakat dan kemauan anak maka
bimbingan yang di berikan kepada anak akan lebih berhasil. Menurut Ibnu Sina
kecendrungan manusia untuk memilih pekerjaan yang berbeda dikarnakan didalam
diri manusia terdapat faktor yang tersembunyi yang sukar dipahami/dimengerti
dan sulit untuk di ukur kadarnya. [2]
C.
Falsafah
Ibnu Sina
Ibnu Sina menulis secara ekstensif
falsafah Islam masa awal, khususnya tentang Logika, Etika dan Metafisika, termasuk
karyanya yang berjudul Logika dan Metafisika. Kebanyakan karya tulisnya di
tulis dalam bahasa Arab yang merupakan bahasa de facto pada masa tesebut di
timur Tengah, namun sebagian ditulis dalam bahasa Persia yang sampai saat ini
masih merupkan Bahasa penting, misalnya bukunya yang berjudul Danishnama-i’ala’i (filsafah bagi Ala’
al-Daulah). Komentar Ibnu Sina terhadap Aristoteles sering dibenarkan oleh
filsuf yang memberinya dorongan untuk melakukan debat langsung dengan semangat
ijtihad. Di Abad Tengah dunia Islam, karena keberhasilan Ibnu Sina untuk
merekonsilasi antara paham Aristoteles dengan neo-Platonisme dengan ilmu Kalam,
menyebabkan Ibnu Sina menjadi perintis aliran falsafah Islam terkemuka pada
abad ke-12 dengan dirinya sebagai pusat otoritas falsafah.
Pahan Ibnu Sina tersebut juga
berpengaruh di abad tengah Eropa, khususnya doktrinnya tentang alam jiwa dan
perbedaan antara ekstensi dan esensi,bersama dengan perdebatan seputar celaan
yang mereka angkat pada masa Skolastikdi Eropa. Kasus ini khususnya terjadi di
Paris dimana paham Ibnu Sina (avicennism)
akhirnya dilarang pada tahun 1210 M. Pengaruh pemikiran falsafah Ibnu Sina
seperti karya pemikiran dan telaahnya di bidang kedokteran tidak hanya tertuju
pada dunia Islam tetapi juga merambah Eropa. Walaupun demikian,psikologisnya
dan teori pengetahuannya telah mempengaruhi William dari Auvergne,seorang
Dominique yang hidup antara tahun 1200-1280 Masehi, ia adalah orang eropa
pertama yang menulis penjelasan lengkap tentang falsafah Aristoteles. Dialah
yang mengawinkan dunia Kristen dengan pemikiran Yunani itu dari buku-buku Ibnu
Sina. Falsafah metafisika Ibnu Sina adalah ringkasan dari tema-tema filosofis
yang kebenarannya diakui dua abad setelah oleh para pemikir Barat. Sedang
metafisikanya berpengaruh pada pemikiran Thomas Aquinas.
1. Doktrin
Metafisika
Falsafah dan
metafisika Islam pada periode awal, sebagaimana halnya teologi Islam telah
mengilhami adanya perbedaan antara esensi dan eksitensi,dimana eksitensi
merupakan domain dari kesatuan wujud (contingent)
dan kebetulan (accidental), sedang
esensi berlangsung dalam sebuah benda diluar kebetulan (accidental). Falsafah Ibnu Sina, Khususnya yang terkait dengan
bagian metefisika tersebut, banyak terpengaruh oleh al-Farabi. Dengan mengikuti
al-Farabi, Ibnu Sina mengawali pencarian penuh menuju pada pertanyaan tentang
suatu (being). Ia beragument bahwa
kenyataan eksitensi tidak bisa disimpulkan dari atau diperitungkan untuk esensi
dari sesuatu yang ada,dan bahwa bentuk (form)
dan materi (metter) itu hakikatnya
tidak bisa berinteraksi dan menghasilkan pergerakan alam atau aktualisasi
frogresif, memberi, menerima, atau menambah eksistensi pada esensi. Untuk dapat
melakukan hal tersebut, penyebabnya mestilah berubah sesuatu yang ada dan ada
bersamaan dengan efeknya.
Pertimbangan
Ibnu Sina tentang pertanyaan atribut esensi dapat dijelaskan dengan istilah
dari analisis ontologisnya terhadap cara sesuatu dilakukan, yakni
ketidakmungkinan wujud, kemungkinan wujud (contingency),
dan wajib adanya sesuatu (necessary).
Ibnu sina berargumen bahwa sesuatu yang tidak mungkin adalah sesuatu yang tidak
bisa ada, sementara sesuatu yang mungkin dalam dzatnya (mungkinbi zhatihi) memiliki untuk ada atau tidak ada tanpa
memerlukan kontradisi. Ketika diaktualisasikan, kemungkinan tersebut menjdi
sebuah keniscayaan sesuatu yang ada karena yang lainnya darinya (wajib al-wujud bi-ghayrihi) jadi,
kemungkinan itu sendiri adalah sebuah potensi keberadaan sesuatu yang pada
akhirnya bisa diaktualisasikan oleh penyebab eksternal yang lain dari dirinya.
Struktur metafisika dari keniscayaan dan kemungkinan adalah berbeda. Wajib
adanya sesuatu disebabkan karena dzatnya (wajib
al-wujud bi dzatihi) Adalah benar dalam dzatnya, sedang kemungkinan sesuatu
adalah salah dalam dzatnya dan benar karena sesutu yang lain dari dzatnya.
Wajib adanya sesuatu adalah sumber dari sesuatu itu sendiri tanpa meminjam
eksistensi. Itu adalah yang senantiasa ada. Wajib adanya sesuatu itu ada karena
ada dzatnya sendiri dan tidak memiliki intisari/esensi (mahiyyah) selain daripada eksistensi (wujud). Lagi pula, adalah yang maha satu (wahid ahad) pasti ad karena tidak bisa ada lebih dari satu “wajib
adanya sesutu, dan eksistensi karena dzatnya” tanpa penyela (fasl) untuk membedakan satu dengan yang
lain. Sekarang, untuk mengharuskan penyela tadi perlu,maka yang ada pada dzat
mereka sendiri juga karena selain dzat mereka sendiri,dan ini adalah
bertentangan satu sama lain. Walaupun demkian, jika tidak ada penyelah yang
membedakan satu dengan yang lainnya,maka tidak ada pemahaman bahwa keberadaan
tidak satu dan sama Ibnu Sina menambahkan bahwa “wajib wujudnya sesuatu karena
dzat nya” tidak memiliki jenis ( jins
), atau definisi (had), atau
rekan (nadd), atau lawan (didl), dan ia adalah terpisah (bari’) dari materi (maddah), sifat (kaif),
jumlah (kam), tempat (ayna), keadaan (wadl’i), dan waktu (waqt).
[3]
2. Teologi
Ibnu Sina adalah
seorang muslim yang taat dan berupaya mempertemukan falsafah rasional dengan
teologi islam. Tujuananya adalah untuk membuktikan bahwa eksistensi Tuhan dan
Makhluk nya yang ada di dalam dunia ini secara ilmiah dan melalui penalaran dan
logika. Ibnu Sina menulis sebuah karya yang terkait dengan teologi islam,
termasuk tentang para nabi yang dia pandang sebagai “para filsuf yang memberi
insfirasi”, dan juga tentang berbagai interpretasi Al-Quran secara filosofis
dan ilmiah, semisal bagaimana kosmologi Al-Quran berkaitan dengan falsafahnya
sendiri Ibnu Sina menghafal Al-Quran semenjak usia 7 tahun dan ketika dewasa
dia menulis karya yang menjelaskan tentang berbagai surat dalam Al-Quran. Salah
satu naskah nya adalah Bukti Kenabian, dimana ia menjelaskan beberapa ayat
Al-Quran dan memegangi Al-Quran dengan penuh penghormatan. Ibnu Sina berargumen bahwa para Nabi
selayaknya dipandang lebih tinggi dari pada para filsuf.
Diantara buku-
buku dan risalah yang ditulis ole Ibnu Sina, kitab Al-Syifa’ dalam falsafah dan Al-Qanun ditulis dalam 18 jilid yang membahas ilmu
falsafah, mantiq, matematika, ilmu alam dan ilahiyyat.
Mantiq Al-Syifa’ saat ini dikenal
sebagai buku yang paling autentik dalam ilmu mantiq islami, sementara
pembahasan ilmu alam dan ilahiyyat dari
kitab Al-Syifa’ sampai pada saat ini
juga masih menjadi bahan telaah. Dalam ilmu kedokteran, kitab Al-Qanun tulisan
Ibnu Sina selama beberapa abad menjadi kitab rujukan utam dan paling autentik.
Kitab ini megupas kaidah-kaidah umum ilmu kedokteran, obat-obatan dan berbagai
macam penyakit. Seiring dengan kebangkitan gerakan penarjemahan pada abad ke-12
Masehi, kitab Al- Qanun karya Ibnu Sina ditarjemahkan kedalam bahasa latin.
Kini buku tersebut juga sudah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, Prancis dan
Jerman. Al-Qanun adalah kitab kumpulan metode pengobatan Purba dan metode
pengobatan Islam. Kitab ini pernah menjadi kurikulum pendidikan kedokteran di
universitas-universitas Eropa. Ibnu Sina juga memiliki peran besar dalam
mengembangkan berbagai bidang keilmuwan. Beliau menarjemahkan karya Aqlides dan
menjalankan observatorium untuk ilmu perbintangan. Dalam masalah ruangan hampa,
cahaya dan panas kepada khazanah keilmuwan dunia.
Dikatakan bahwa
Ibnu Sina memiliki karya tulis yang dalam bahasa latin berjudul Conglutineation
Lagibun. Dalam salah satu bab karya tulis ini, Ibnu Sina membahas tentang asal
nama gunung-gunung. Pembahasan ini sungguh menarik disana Ibnu Sina mengatakan,
“Kemungkinan gunung tercipta karna dua penyebab. Pertama, menggelembungkannya kulit luar bumi dan ini terjadi lantaran goncangan
hebat gempa. Kedua, karena proses air
yang mencari jalan untuk mengalir. Proses mengakibatkan munculnya lembah lembah
bersama dan melahirkan penggelembungan pada permukaan bumi. Sebab sebagian
permukaan bumi keras dan sebagian lagi lunak. Angin juga berperan dengan meniup
sebagian dan meninggalkan sebagian pada tempatnya. Ini adalah penyebab
munculnya gundukan di kulit luar bumi.”
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ibnu Sina yang
memiliki nama lengkap Abu A’li Al-Husain Ibnu Abdullah Ibnu Al-Hasan Ibnu A’li
Ibnu Sina Al-Hakim. Beliau dikenal sebagai Ibnu Sina atau Avicienna. Ibnu Sina
dikenal sebagai cendikiawan muslim yang multidisipliner karna kontribusi kilmuannya
menyebar bukan hanya dibidang keagamaan saja, namun populer dalam ilmu
kedokteran, psikologi, falsafah, astronomi, musik, dan lainnya. Gagasannya
tentang pendidikan banyak termuat dari konsepsinya tentang potensi quwwah
manusa dan nilai-nilai keagamaan yang ada didalamnya. Figur Ibnu Sina jelas
memberikan bukti bagi kita yang hidup saat ini bahwa hakikat ilmu itu
sebenarnya adalah integral, utuh, dan yang disebut ulama itu berimpilkasi pada
ilmuan yang mumpuni disiplin ilmu agama tanpa pemisahan dan penyempitan makna
dengan ilmu non-agama.
B.
Saran
Sebagai penyusun, penulis berharap para pembaca
dapat memahami tentang isi makalah yang kami susun. Tentunya sebagai penulis
kamipun masih dalam tahap belajar yang mana masih banyak terdapat kesalahan dalam
penyusunan makalah dan materi kami. Oleh karena itu, kami memohon kepada para
pembaca agar memberi kritik dan saran agar dikemudian hari kami dapat lebih
baik lagi dalam penulisan makalah.
DAFTAR
PUSTAKA
Assegaf
Abdul Rahman. 2013. Aliran pemikiran
Pendidikan Islam. Depok : Rajawali
Pers
Jalaluddin.
1996. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta
: PT. Raya Grafindo Persada
[1] Abd
Rahman Assegaf, Aliran Pemikiran
Pendidikan Islam, Rajawali Pers, Depok, 2013, hal 78
[2]
Jalaludin, Filsafat Pendidikan Islam, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal
136
[3] Abd
Rahman Assegaf, Aliran Pemikiran
Pendidikan Islam, Rajawali Pers, Depok, 2013, hal 84
No comments:
Post a Comment