1

loading...

Tuesday, December 4, 2018

MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


MAKALAH

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU SINA

BAB I
PENDAHULUAN

      A .    Latar belakang

Dalam pandangan Ibnu Sina, pendidikan tak hanya memperhatikan aspek moral, namun juga membentuk individu yang menyeluruh termasuk jiwa, pikiran dan karakter. Menurutnya, pendidikan sangat penting diberikan kepada anak-anak untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi masa dewasa.
Ibnu Sina mengungkapkan, seseorang harus memiliki profesi tertentu dan harus bisa berkontribusi bagi masyarakat. Ibnu Sina mengungkapkan pendidikan itu harus diberikan secara berjenjang berdasarkan usia. Ia dianggap seseorang yang cerdas, karena dalam usia yang sangat mudah (17 tahun). Ibnu Sina telah dikenal sebagai Filoshop dan Dokter terkemuka di Bukhara, selain itu Ibnu Sina juga dikenal sebagai tokoh yang luar biasa.

    B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Biografi Ibnu Sina?
2.      Apa pemikiran Ibnu Sina tentang pendidikan?
3.      Bagaimana Falsafah menurut Ibnu Sina?

     C.    Tujuan Masalah

1.      Untuk mengetahui biografi Ibnu Sina
2.      Untuk mengetahui pemikiran Ibnu Sina tentang pendidikan
3.      Untuk mengetahui falsafah menurut Ibnu Sina

BAB  II
PEMBAHASAN
                                                              
      A.    Biografi  Ibnu Sina
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu A’li Al-Husain ibnu Abdullah ibnu Al-hasan ibnu A’li Ibnu Sina Al-Hakim. Beliau dikenal sebagai Ibnu Sina atau Avicienna. Ibnu Sina lahir pada 370 Hijriah/980 Masehi. Beliau dilahirkan di Khormeisan berdekatan Bukhara dan berbangsa Balkha (ahli Bhalka), sekarang Uzbekistan, ibu kota Samani, sebuah kota peninggalan dari dinasti Persia di Asia Tengah dan Khorasan. Ibnu Sina wafat pada 428 Hijriah/1037 Masehi. Ibunya yang bernama Setareh juga berasal dari Bukhara, dan ayahnya Abdullah, adalah seorang penganut Ismailiyah yang disegani dan merupakan Ilmuwan dari Balkh, sebuah kota penting dari kekuasan Samani yang sekarang merupakan Provinsi Balkh di Afghanistan. Pada saat ayahnya memiliki putra dirinya, gubernur yang berkuasa dimasa itu adalah Nuh Ibnu Mansur. Ayahnya mendidik putranya dengan sangat hati-hati dengan menyekolahkannya di Bukhara. Kemampuan yang Ibnu Sina yang independen memiliki daya intelek dan memori luar biasa, sedemikian rupa yang mampu mengambil alih tugas gurunya ketika usia 14 tahun. Seperti yang diakuinya dalam otobiografi, tidak ada yang tidak dia pelajari pada saat usianya mencapai 18 tahun.
Sejumlah yang berbeda elah dikemukakan oleh Ibnu Sina. Ahli sejarah abad tengah, Zahir al-din al-Bayhaqi memandang Ibnu Sina sebagai pengikut dari Ikhwan al-Shafa. Selain itu, Shia Faqih Nurullah Shustari dan Seyyed Hossein Nasr, serta Henry Corbin, menganggap bahwa ia paling menyerupai mazhab Syi’ah dua belas imam. Dimitri Gutas menyatakan bahwa menyatakan bahwa Ibnu Sina adalah seorang Sunni Hanafi. Perbedaan pendapat seperti itu juga berlaku bagi latar belakang keluarga Ibnu Sina, ada yang berpendapat Sunni, ada pula yang menganggap nya Syi’ah.[1]
Menurut otobiografinya, Ibnu Sina telah menghapal seluruh Al-Qur’an pada usia 10 tahun. Beliau belajar lebih banyak dari para ilmuan pelancong yang memperoleh kehidupan dengan menyembuhkan orang- orang yang sakit, dan mengajar kaum muda. Beliau juga belajar Fiqih melalui guru Ismail l-Zahid yang bermazhab Hanafi.
Saat usianya belasan tahun, dia sudah resah dengan metafisika yang Aristoteles yang tidak dapat di pahaminya sampai setelah ia membaca komentar Al-Farabi. Selama setahun setengan ia mempelajari Falsafah dimana ia jumpai hambatan berat. Moment dimana terjadi perhelatan penemuan tersebut diatasinya dengan meninggalkan buku-bukunya, berwudu pergi menuju masjid, dan melaksanakan shalat, sampai muncul cahaya yang mencerahkan kesultannya tadi. Hingga larut malam ia melanjutkan studiny, bahkan dalam pimpimnannyapun banyak problem menghampirinya dan iapun berusaha keras menyelesaikan problem tersebut Ibnu Sina degan kekuatan logikanya sehingga dalam banyak hal mengikuti teori matemaika bahkan dalam kedokteran dan proses pengobatan dikenal pula sebagai  filsuf tak tertandingi. Menurutnya, seseorang baru diakui sebagai ilmuan jika ia menguasai Falsafah secara sempurna. Ibnu Sina sangat cermat dalam mempelajari pandangan-padangan Aristoteles di bidang Falsafah. Ketika menceritakan pengalamannya mempelajari pemikiran Aristoteles dikatakan bahwa ia telah membaca buku metafsika Aristoteles sebanyak 40 kali, sehingga ia berhasil menghafal semua kata dalam memoriya, namun makna nya tetap janggal sampai suatu hari ketika menemukan pencerahan dari sedikit komentar yang di tulis oleh Al-Farabi yang bukunya ia beli dari toko buku seharga Dirham iapun menjadi sangat senang saat menemukan bantuan dari sebuah karya yang sebelumnya dikira sekadar misteri. Beliau menguasai maksut dari kitab itu secara sempurna setelah membaca Syarah atau penjelasan ‘metafisika Aristoteles’ yang ditulis oleh farabi, filsuf muslim sebelumnya. Ia pun bergegas kembali  melaksanakan syukur kepada Allah serta memberi sedekah kepada kaum miskin.
Ibnu Sina mempelajari ilmu kedokteran sejak usia 16 tahun, dan ia pun tidak hanya belajar teori medis, melainkan juga dengan mengunjungi pasien, yang menurut catatan, hal dapat menemukan cara memberi perlakuan (penyembuhan). Ibnu Sina meraih status penuh sebagai ahli fisika yang berkualitas pada usia 18 tahun, dan menyatakan bahwa kedokteran bukanlah ilmu yang berat, seperti matematika atau metafisika, sehingga ia pun mencapai kemajuan pesat. Ibnu Sina menjadi Dokter yang andal dan mulai melayani pasien dengan menggunakan penyembuhan yang tepat. Popularitasnya langsung berkembang dengan cepat dan ia telah melayani banyak pasien tanpa meminta bayaran.
Pada awalnya Ibnu Sina diangkat sebagai tabib bagi penguasa pada waktu itu yang berhutang budi karena telah di sembuhkan dari penyakit yang berbahaya. Hadiah yang diterima oleh Ibnu Sina atas layanan nya tersebut adalah kemudahan akses terhadap perpustakaan Istana Dinasti Samani yang mendukung para ilmuan dan beasiswa belajar. Berkat itu, Ibnu Sina dapat leluasa masuk ke perpustakaan Istana Samani yang besar. Ibnu Sina mengenai perpustakaan itu mengatakan demikian: ’’Semua buku yang aku inginkan ada disitu. Bahkan aku menemukan banyak buku yang kebanyakan orang bahkan tak pernah mengetahui namanya. Aku sendiri pun belum pernah melihatnya dan tidak akan pernah melihatnya lagi karna itu aku dengan giat membaca kitab-kitab itu dan semaksimal mungkin memanfaatkannya. Ketika usiaku menginjak 18 tahun aku telah berhasil menyelesaikan semua bidang ilmu.” Ibnu Sina menguasai berbagai ilmu seperti hikmah, mantiq, dan matematika dengan berbagai cabangnya.
Saat perpustakaan tersebut dilalap api, musuh-musuh Ibnu Sina menuduhnya membakar perpustakaan, dan demikian itu dilakukan mereka untuk menyembunyikan sumber-sumber pengetahuan selamanya. Selain itu, Ibnu Sina membantu ayahnya dari hasil upah kerjanya, betapapun begitu ia pun masih sempat beberapa karya tulis.
Ketika Ibnu Sina berusia 22 tahun ia kehilangan ayahnya. Penguasa Dinasti  Samani berakhir pada desember 1004 M. Agaknya Ibnu Sina menolak tawaran Mahmud dari Ghazni lalu melanjutkan perjalanan ke arah Barat menuju ke Urgench di kota modern Turkmenistan, dimana wazirnya menganggap Ibnu Sina sebagai kawan dari kalangan ilmuwan, dan bahkan memberinya upah sedkit gaji bulanan. Meskipun gaji bulanan tersebut mampu melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain melintasi wilayah Nashapur dan Merv hingga sampai pada perbatasan Khurasan, untuk menemukan dan membuka bakatnya. Qabus, seorang pengusaha Dailam dan Persia pusat yang murah hati dimana ia juga merupakan seorang ahli sya’ir dan ilmuwan, mendukug Ibnu Sina yang berniat untuk memperoleh suaka. Namun kebersamaan dengan itu(tahun 1012) Qabus terbunuh oleh para tentaranya yang memberontak. Ibnu Sina sendiri menderita sakit keras. Akhirnya, Gorgan dekat dengan Laut Kaspia, Ibnu Sina berjumpa dengan seorang kawan yang bersedia membelikannya tempat tinggal di dekat rumahnya,dimana Ibnu Sina dapat mengajar Logika dan Astronomi. Beberapa karya tulis Ibnu Sina atas dukungan kawan tersebut, dan awal dari tulisannya yang berjudul Qanun fi al-Thib (undang-undang kedokteran) juga bermula dari tinggalnya di Hyrcania.
Selanjutnya Ibnu Sina menetap di Rai, sekitar kota Teheran (sekarang ibu kota Iran), kota dimana Al-Razi tinggal dan kekuasaan Majid al-Daulah, putra dari dinasti Buwaihi yang terakhir terpilih sebagai penguasa di bawah pimpinan kabupaten yang di pegang oleh ibunya Sayidah Khatun. Sekitar 30 karya tulis Ibnu Sina disusun dikota Rai ini. Perseteruan terus-menerus antara bupati dan anakanya yang kedua, Syams al-Daulah, mengakibatkan terusirnya para ilmuwan untuk meninggalkan tempat tersebut. Setelah singgah sebentar di Hamadan dimana Syam Al-Daullah, penguasa Dinasti Buwaihi yang lain menerimanya semula, Ibnu Sina melayani seorang gadis bangsawan, namun setelah penguasa di wilayah tersebut mendengar kedatangan nya maka ia memanggil Ibnu Sina sebagai Dokter dan memberinya bermacam hadian kerumah nya. Ibnu Sina bahkan diangkat untuk bekerja dikanto Wazir, sehingga akhirnya sang Emir pun memustuskan agar Ibnu Sina meninggalakan negeri tersebut. Ibnu Sina tidak langsung meninggalkan negeri tersebut  dan bersembunyi selama 40 hari dirumah Syaikh Ahmad Fadlil, sampai sang emir tadi menderita sakit yang memaksanya berhenti dari jabatan. Walaupun pada masa yang membingungkan tersebut, Ibnu Sina tetap melakukan kajian dan mengajar. Tiap sore, ringkasan dari karya monumentalnya Qanun fi al-tahib, didiktekan dan dijelaskan pada para muridnya. Saat sang Emir wafat, Ibnu Sina berhenti menjadi Wazir dan sembunyi di rumah seorang apoteker dimana dengan ketekunan yang mendalam ia melanjutkan menyusun karya tulis.
Dalam pada itu, Ibnu Sina menulis surat sebagai bentuk layanannya kepada Abu Jafkar tetang kesempurnaan kota Isfahan yang dinamis. Emir baru di hamadan mendengar korespondensi tersebut dan menemukan dimana Ibnu Sina bersembunyi, maka Ibnu Sina pun di penjara dalam sebuah benteng. Saat berada di dalam penjara, Ibnu Sia menyibukkkan diri dengan mengubah bait-bait syair, atau menulis renungan agamanya dalam metode yang indah. Sementara itu terjadi perang antara penguasa Ispahan dan Hamadan pada tahun 1024, dimana penguasa Ispahan akhirnya menaklukkan Hamadan beserta kotanya seraya mengusir tentara bayaran Tajik. Setelah badai perang berlalu Ibnu Sina kembali bersama Emir menuju Hamadan dengan membawa karya satranya. Kemudian, ia ditemani oleh saudara lelakinya, seorang murid pilihan dan dua orang budak Ibnu Sina melarikan diri dari kota tersebut dengan berpakaian layaknya sufi. Setelah melalui perjalanan berbahaya, mereka sampai Isfahan dan diterima dengan terhormat dengan pangeran.
Sisa usia sepuluh atau dua belas tahun berikutnya dari kehidupan Ibnu Sina digunakan untuk melayani Jafkar Ala al-Daullah, di mana ia menemaninya sebagai seorang dokter dan sastrawan serta penasihat akademik. Selama tahun-tahun tersebut ia mulai mempelajari sastra dan falsafah. Lalu, ia terserang sakit perut dan ditawan oleh tentara saat hendak menyerang Hamada, ketika diperiksa sakitnya sangat keras sehingga ia nyaris tak bisa sendiri. Pada saat yang sama, penyakitnya kambuh da dengan susah payah ia pun tiba di Hamadan dimana penyakitnya semakin parah, namun ia menolak untuk bertahan dengan cara hidupnya yang dipaksakan dan berserah pada nasib.
Para sahabatnya menasehatinya menasehatinya untuk tenang dan hidup sederhana. Namun, ia menolak dengan menyertakan bahwa “Saya lebih suka hidup singkat dengan lebar untuk memendekkan seseorang dengan panjang” diatas tempat tidurnya ia merasa menyesal, dan mensedekahkan barang-barang miliknya kepada kaum miskin, membebaskan para budak, dan membaca Al-Qur’an tiap tiga hari sampai ajal mereggut nyawanya pada juni 1037 M dalam usia 58 tahun pada Ramadhan dan dimakamkan di Hamadan, Iran.

     B.     Pemikiran Ibnu Sina Tentang Pendidikan
Pemikiran Ibnu Sina yang banyak keterkaitannya dengan pendidikan, menyangkut pemikirannya tentang falsafah ilmu. Menurut Ibnu Sina ilmu terbagi menjadi dua, yaitu:
1.      Ilmu yang tak kekal.
2.      Ilmu yang kekal (hikmah). Ilmu yang kekal dipandang dari peranannya sebagai alat disebut logika.
Ibnu Sina juga membagi falsafah dalam dua bagian, yaitu teori dan praktek, yang keduannya berhubungan dengan agama, dimana dasarnya terdapat dalam syari’at Tuhan, yang penjelas dan kelengkapannya diperoleh dengan akal manusia. Berdasarkan dengan tujuannya maka ilmu dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1.      Ilmu praktis seperti ilmu kealaman, matematika, ilmu ketuhanan dan ilmu kulli.
2.      Ilmu tidak praktis adalah ilmu akhlak, ilmu pengurusan, rumah ilmu, pengurusan kota, dan ilmu nabi (syariah).

Menurut Ibnu Sina pendidikan yang diberi oleh nabi pada hakikatnya adalah pendidikan kemanusiaan. Bahwa pemikiran pendidikan Ibnu Sina bersifat komprensif. Dalam pemikiran pendidikannya Ibnu Sina telah menguraikan tentang psikologi pendidikan, terlihat dari uraian-uraiannya mengenai hubungan anak dengan tingkatan usia, kemauan dan bakat anak dengan mengetahui latar belakang tingkat perkembangannya, bakat dan kemauan anak maka bimbingan yang di berikan kepada anak akan lebih berhasil. Menurut Ibnu Sina kecendrungan manusia untuk memilih pekerjaan yang berbeda dikarnakan didalam diri manusia terdapat faktor yang tersembunyi yang sukar dipahami/dimengerti dan sulit untuk di ukur kadarnya. [2]

     C.    Falsafah Ibnu Sina
Ibnu Sina menulis secara ekstensif falsafah Islam masa awal, khususnya tentang Logika, Etika dan Metafisika, termasuk karyanya yang berjudul Logika dan Metafisika. Kebanyakan karya tulisnya di tulis dalam bahasa Arab yang merupakan bahasa de facto pada masa tesebut di timur Tengah, namun sebagian ditulis dalam bahasa Persia yang sampai saat ini masih merupkan Bahasa penting, misalnya bukunya yang berjudul Danishnama-i’ala’i (filsafah bagi Ala’ al-Daulah). Komentar Ibnu Sina terhadap Aristoteles sering dibenarkan oleh filsuf yang memberinya dorongan untuk melakukan debat langsung dengan semangat ijtihad. Di Abad Tengah dunia Islam, karena keberhasilan Ibnu Sina untuk merekonsilasi antara paham Aristoteles dengan neo-Platonisme dengan ilmu Kalam, menyebabkan Ibnu Sina menjadi perintis aliran falsafah Islam terkemuka pada abad ke-12 dengan dirinya sebagai pusat otoritas falsafah.
Pahan Ibnu Sina tersebut juga berpengaruh di abad tengah Eropa, khususnya doktrinnya tentang alam jiwa dan perbedaan antara ekstensi dan esensi,bersama dengan perdebatan seputar celaan yang mereka angkat pada masa Skolastikdi Eropa. Kasus ini khususnya terjadi di Paris dimana paham Ibnu Sina (avicennism) akhirnya dilarang pada tahun 1210 M. Pengaruh pemikiran falsafah Ibnu Sina seperti karya pemikiran dan telaahnya di bidang kedokteran tidak hanya tertuju pada dunia Islam tetapi juga merambah Eropa. Walaupun demikian,psikologisnya dan teori pengetahuannya telah mempengaruhi William dari Auvergne,seorang Dominique yang hidup antara tahun 1200-1280 Masehi, ia adalah orang eropa pertama yang menulis penjelasan lengkap tentang falsafah Aristoteles. Dialah yang mengawinkan dunia Kristen dengan pemikiran Yunani itu dari buku-buku Ibnu Sina. Falsafah metafisika Ibnu Sina adalah ringkasan dari tema-tema filosofis yang kebenarannya diakui dua abad setelah oleh para pemikir Barat. Sedang metafisikanya berpengaruh pada pemikiran Thomas Aquinas.
1.      Doktrin Metafisika
Falsafah dan metafisika Islam pada periode awal, sebagaimana halnya teologi Islam telah mengilhami adanya perbedaan antara esensi dan eksitensi,dimana eksitensi merupakan domain dari kesatuan wujud (contingent) dan kebetulan (accidental), sedang esensi berlangsung dalam sebuah benda diluar kebetulan (accidental). Falsafah Ibnu Sina, Khususnya yang terkait dengan bagian metefisika tersebut, banyak terpengaruh oleh al-Farabi. Dengan mengikuti al-Farabi, Ibnu Sina mengawali pencarian penuh menuju pada pertanyaan tentang suatu (being). Ia beragument bahwa kenyataan eksitensi tidak bisa disimpulkan dari atau diperitungkan untuk esensi dari sesuatu yang ada,dan bahwa bentuk (form) dan materi (metter) itu hakikatnya tidak bisa berinteraksi dan menghasilkan pergerakan alam atau aktualisasi frogresif, memberi, menerima, atau menambah eksistensi pada esensi. Untuk dapat melakukan hal tersebut, penyebabnya mestilah berubah sesuatu yang ada dan ada bersamaan dengan efeknya.
Pertimbangan Ibnu Sina tentang pertanyaan atribut esensi dapat dijelaskan dengan istilah dari analisis ontologisnya terhadap cara sesuatu dilakukan, yakni ketidakmungkinan wujud, kemungkinan wujud (contingency), dan wajib adanya sesuatu (necessary). Ibnu sina berargumen bahwa sesuatu yang tidak mungkin adalah sesuatu yang tidak bisa ada, sementara sesuatu yang mungkin dalam dzatnya (mungkinbi zhatihi) memiliki untuk ada atau tidak ada tanpa memerlukan kontradisi. Ketika diaktualisasikan, kemungkinan tersebut menjdi sebuah keniscayaan sesuatu yang ada karena yang lainnya darinya (wajib al-wujud bi-ghayrihi) jadi, kemungkinan itu sendiri adalah sebuah potensi keberadaan sesuatu yang pada akhirnya bisa diaktualisasikan oleh penyebab eksternal yang lain dari dirinya. Struktur metafisika dari keniscayaan dan kemungkinan adalah berbeda. Wajib adanya sesuatu disebabkan karena dzatnya (wajib al-wujud bi dzatihi) Adalah benar dalam dzatnya, sedang kemungkinan sesuatu adalah salah dalam dzatnya dan benar karena sesutu yang lain dari dzatnya. Wajib adanya sesuatu adalah sumber dari sesuatu itu sendiri tanpa meminjam eksistensi. Itu adalah yang senantiasa ada. Wajib adanya sesuatu itu ada karena ada dzatnya sendiri dan tidak memiliki intisari/esensi (mahiyyah) selain daripada eksistensi (wujud). Lagi pula, adalah yang maha satu (wahid ahad) pasti ad karena tidak bisa ada lebih dari satu “wajib adanya sesutu, dan eksistensi karena dzatnya” tanpa penyela (fasl) untuk membedakan satu dengan yang lain. Sekarang, untuk mengharuskan penyela tadi perlu,maka yang ada pada dzat mereka sendiri juga karena selain dzat mereka sendiri,dan ini adalah bertentangan satu sama lain. Walaupun demkian, jika tidak ada penyelah yang membedakan satu dengan yang lainnya,maka tidak ada pemahaman bahwa keberadaan tidak satu dan sama Ibnu Sina menambahkan bahwa “wajib wujudnya sesuatu karena dzat nya” tidak memiliki jenis  ( jins ), atau definisi (had), atau rekan (nadd), atau lawan (didl), dan ia adalah terpisah (bari’) dari materi (maddah), sifat (kaif), jumlah (kam), tempat (ayna), keadaan (wadl’i), dan waktu (waqt). [3]

2.       Teologi
Ibnu Sina adalah seorang muslim yang taat dan berupaya mempertemukan falsafah rasional dengan teologi islam. Tujuananya adalah untuk membuktikan bahwa eksistensi Tuhan dan Makhluk nya yang ada di dalam dunia ini secara ilmiah dan melalui penalaran dan logika. Ibnu Sina menulis sebuah karya yang terkait dengan teologi islam, termasuk tentang para nabi yang dia pandang sebagai “para filsuf yang memberi insfirasi”, dan juga tentang berbagai interpretasi Al-Quran secara filosofis dan ilmiah, semisal bagaimana kosmologi Al-Quran berkaitan dengan falsafahnya sendiri Ibnu Sina menghafal Al-Quran semenjak usia 7 tahun dan ketika dewasa dia menulis karya yang menjelaskan tentang berbagai surat dalam Al-Quran. Salah satu naskah nya adalah Bukti Kenabian, dimana ia menjelaskan beberapa ayat Al-Quran dan memegangi Al-Quran dengan penuh penghormatan.  Ibnu Sina berargumen bahwa para Nabi selayaknya dipandang lebih tinggi dari pada para filsuf.
Diantara buku- buku dan risalah yang ditulis ole Ibnu Sina, kitab Al-Syifa’ dalam falsafah dan Al-Qanun  ditulis dalam 18 jilid yang membahas ilmu falsafah, mantiq, matematika, ilmu alam dan ilahiyyat. Mantiq Al-Syifa’ saat ini dikenal sebagai buku yang paling autentik dalam ilmu mantiq islami, sementara pembahasan ilmu alam dan ilahiyyat dari kitab Al-Syifa’ sampai pada saat ini juga masih menjadi bahan telaah. Dalam ilmu kedokteran, kitab Al-Qanun tulisan Ibnu Sina selama beberapa abad menjadi kitab rujukan utam dan paling autentik. Kitab ini megupas kaidah-kaidah umum ilmu kedokteran, obat-obatan dan berbagai macam penyakit. Seiring dengan kebangkitan gerakan penarjemahan pada abad ke-12 Masehi, kitab Al- Qanun karya Ibnu Sina ditarjemahkan kedalam bahasa latin. Kini buku tersebut juga sudah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, Prancis dan Jerman. Al-Qanun adalah kitab kumpulan metode pengobatan Purba dan metode pengobatan Islam. Kitab ini pernah menjadi kurikulum pendidikan kedokteran di universitas-universitas Eropa. Ibnu Sina juga memiliki peran besar dalam mengembangkan berbagai bidang keilmuwan. Beliau menarjemahkan karya Aqlides dan menjalankan observatorium untuk ilmu perbintangan. Dalam masalah ruangan hampa, cahaya dan panas kepada khazanah keilmuwan dunia.
Dikatakan bahwa Ibnu Sina memiliki karya tulis yang dalam bahasa latin berjudul Conglutineation Lagibun. Dalam salah satu bab karya tulis ini, Ibnu Sina membahas tentang asal nama gunung-gunung. Pembahasan ini sungguh menarik disana Ibnu Sina mengatakan, “Kemungkinan gunung tercipta karna dua penyebab. Pertama, menggelembungkannya kulit luar bumi dan ini terjadi lantaran goncangan hebat gempa. Kedua, karena proses air yang mencari jalan untuk mengalir. Proses mengakibatkan munculnya lembah lembah bersama dan melahirkan penggelembungan pada permukaan bumi. Sebab sebagian permukaan bumi keras dan sebagian lagi lunak. Angin juga berperan dengan meniup sebagian dan meninggalkan sebagian pada tempatnya. Ini adalah penyebab munculnya gundukan di kulit luar bumi.”
BAB III
PENUTUP
     A.    Kesimpulan
Ibnu Sina yang memiliki nama lengkap Abu A’li Al-Husain Ibnu Abdullah Ibnu Al-Hasan Ibnu A’li Ibnu Sina Al-Hakim. Beliau dikenal sebagai Ibnu Sina atau Avicienna. Ibnu Sina dikenal sebagai cendikiawan muslim yang multidisipliner karna kontribusi kilmuannya menyebar bukan hanya dibidang keagamaan saja, namun populer dalam ilmu kedokteran, psikologi, falsafah, astronomi, musik, dan lainnya. Gagasannya tentang pendidikan banyak termuat dari konsepsinya tentang potensi quwwah manusa dan nilai-nilai keagamaan yang ada didalamnya. Figur Ibnu Sina jelas memberikan bukti bagi kita yang hidup saat ini bahwa hakikat ilmu itu sebenarnya adalah integral, utuh, dan yang disebut ulama itu berimpilkasi pada ilmuan yang mumpuni disiplin ilmu agama tanpa pemisahan dan penyempitan makna dengan ilmu non-agama.

     B.     Saran
Sebagai penyusun, penulis berharap para pembaca dapat memahami tentang isi makalah yang kami susun. Tentunya sebagai penulis kamipun masih dalam tahap belajar yang mana masih banyak terdapat kesalahan dalam penyusunan makalah dan materi kami. Oleh karena itu, kami memohon kepada para pembaca agar memberi kritik dan saran agar dikemudian hari kami dapat lebih baik lagi dalam penulisan makalah.


DAFTAR PUSTAKA

Assegaf Abdul Rahman. 2013. Aliran pemikiran Pendidikan Islam. Depok : Rajawali Pers
Jalaluddin. 1996. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : PT. Raya Grafindo Persada  


[1] Abd Rahman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam, Rajawali Pers, Depok, 2013, hal 78
[2] Jalaludin, Filsafat Pendidikan Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal 136
[3] Abd Rahman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam, Rajawali Pers, Depok, 2013, hal 84

No comments:

Post a Comment