1

loading...

Monday, January 7, 2019

MAKALAH HUKUM ARBITRASE SYARIAH


HUKUM ARBITRASE SYARIAH

“ Prosedur Beracara Arbitrase”




BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Berbeda dengan sidang perdata di tingkat pengadilan negeri, dalam proses arbitrase didahului dengan pengajuan permohonan arbitrase disertai dengan permohonan penunjukkan arbitrer yang akan dipilih oleh pemohon untuk menangani sengketa di arbitrase hingga bukti-bukti yang akan diajukan oleh pemohon untuk mendukung permohonannya (statement of claim). Arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat menjatuhkan putusan yang bersifat final dan mengikat. Idealnya, para pihak yang menyelesaikan sengketa di arbitrase tidak lagi membawa permasalahan ke pengadilan, baik dalam hal eksekusi ataupun membatalkan putusan arbitrase. Walaupun hanya berupa quasi judicial, lembaga arbitrase akan lebih efektif dipilih untuk menyelesaikan sengketa bisnis, sepanjang dilakukan secara sukarela dan dengan itikad baik. Karena secara prinsip, para pihak memilih arbitrase untuk menghindari pengadilan. Salah satu alasannya karena sifat tertutup arbitrase yang dapat menjaga kerahasiaan kasus mereka.
B. TUJUAN PENULISAN
A.    Bagimanakah hukum acara arbitrase?
B.     Bagaimanakah prosedur beracara arbitrase menurut uu No 30 tahun 1999?
C.     Seperti apakah Prosedur beracara arbitrase di BANI ?
D.    Bagaimanakah Prosedur beracara arbitrase melalui BASYARNAS ?
C. TUJUAN
1.      Untuk mengetahui hukum acara arbitrase
2.      Untuk mengetahui beracara arbitrase menurut uu No 30 tahun 1999
3.      Untuk mengetahui Prosedur beracara arbitrase di BANI
4.      Untuk mengetahui Prosedur beracara arbitrase melalui BASYARNAS
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hukum Acara Arbitrase
Arbitrase merupakan salah satu alternative penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan diberlakukannya RV (Reglement op de Burgerlijke Rechtvordering) tahun 1847. Semula arbitrase diatur dalam pasal 615 – 651 RV, namun setelah dikeluarkannya UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ketentuan tersebut sudah tidak diberlakukan lagi. Arbitrase mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1. Merupakan cara penyelesaian sengketa secara prifat atau di luar pengadilan
2. Atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak
3. Untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin akan terjadi atau telah terjadi
4. Dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter) yang berwenang mengambil sengketa
5. Sifat putusannya adalah final dan mengikat.
B. Prosedur Beracara Arbitrase
Pada dasarnya proses pemeriksaan perkara dalam arbitrase tidak jauh berbeda dengan proses pemeriksaan perkara perdata. Hukum acara yang berlaku dalam pemeriksaan arbitrase diatur dalam pasal 27 sampai 51 UU No. 30 Tahun 1999. Para pihak diberi kebebasan untuk menentukan sendiri acara dan proses pemeriksaan perkara yang mereka kehendaki. Kehendak tersebut harus disebutkan secara tegas dan tertulis serta tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Undang – Undang. Terdapat beberapa hal penting yang diatur dalam Undang – Undang dalam proses pemeriksaan perkara, diantaranya :
a.       Pemeriksaan dilakukan secara tertutup
b.      Menggunakan bahasa Indonesia
c.       Mendengar para pihak
d.       Bebas menentukan arbiter dan ketentuan beracara
e.       Pemeriksaan harus secara tertulis
f.        Pemeriksaan harus selesai paling lama 180 hari.
Secara lebih rinci, prosedur beracara arbitrase terbagi tiga yaitu:
1.      Prosedur Beracara Arbitrase Menurut UU No. 30 Tahun 1999 :
a.       Persetujuan arbitrase harus dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani para pihak yang bersengketa.
b.      Jumlah arbiter harus ganjil.
c.       Pengajuan permohonan arbitrase harus secara tertulis dengan cara menyampaikan surat tuntutan kepada arbiter yang memut sekurang – krangnya nama lengkap an tempat tinggal, uraian singkat tentang duduk perkara, da nisi tuntutan yang jelas.
d.      Salinan surat tuntutan tersebut disampaikan kepada termohon dengan disertai perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan jawaban secara tertulis dalam waktu paling lama 14 hari sejak diterimanya salinan tuntutan tersebut. Bersamaan dengan itu, arbiter memerintahkan para pihak untuk hadir di muka sidang paling lama 14 hari sejak dikeluarkannya perintah.
e.       Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat juga melalui lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak.
f.       Pemeriksaan arbitrase harus dilakukan secara tertulis terkecuali disetujui oleh para pihak. Semua pemeriksaan dilakukan secara tertutup.
g.      Dalam sidang pertama, arbiter terlebih dahulu mengusahakan damai kepada para pihak. Bila berhasil, maka arbiter membuat akta perdamaian dan memerintahkan untuk memenuhi perdamaian tersebut. Bila tidak berhasil, maka pemeriksaan sengketa dilanjutkan.
h.       Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu 180 hari sejak majelis arbitrase dibentuk dan dapat diperpanjang dengan persetujuan para pihak.
i.        Atas perintah arbiter atau permintaan para pihak dapat diminta keterangan dari para saksi atau saksi ahli.
j.        Putusan arbiter diambil berdasarkan ketentuan hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan. Putusan tersebut harus diucapkan paling lama 30 hari setelah pemeriksaan ditutup.
k.       Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat.
l.        Selanjutnya putusan tersebut didaftarkan kepada kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat dengan diberikan catatan dan tanda tangan dibagian akhir oleh Panitia PN dan arbiter yang menyerahkan.
2.        Prosedur beracara arbitrase di BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) Prosedur beracara di BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang diatur dalam Anggaran Dasar dan Peraturan Prosedur Arbitrase adalah sebagai berikut :
a.     Permohonan arbitrase
Sebelum memulai arbitrase, terlebih dahulu diajukan surat permohonan arbitrase yang didaftarkan dalam register BANI. Surat itu harus memuat :
a.       nama lengkap dan tempat tinggal kedua belah pihak
b.      uraian singkat tentang duduk perkaranya
c.         apa yang dituntut
Selain itu, pada surat tersebut harus dilampirkan salinan naskah atau akta perjanjian yang secara khusus menyerahkan pemutusan yang memuat klausul arbitrase. Apabila surat permohonan tersebut diajukan oleh kuasa dari para pihak, maka surat kuasa khusus untuk mengajukan permohonan tersebut harus dilampirkan. Pemohon dapat menunjuk seorang arbiter atau menyerahkan kepada Ketua BANI.
b.      Tempat Arbitrase
Secara umum, apabila para pihak tidak menentukan tempat berlangsungnya sidang, maka hal itu akan ditentukan oleh aturan arbitrase yang dipilih oleh para pihak.
c.       Hukum dan bahasa pengantar
Para pihak dapat menyepakati hukum apa yang akan dipakai sebagai ketentuan dalam memutus sengketa serta bahasa apa yang akan digunakan sebagai bahan komunikasi antara para pihak.
d.      Pemilihan arbiter
Pada asasnya, cara pengangkatan arbiter ditentukan oleh para pihak sendiri. Namun apabila para pihak tidak menentukan arbiter, maka Ketua BANI akan menunjuk arbiter untuk menangani sengketa tersebut. Penunjukan arbiter tersebut harus dilakukan secara tertulis.
e.       Kewenangan arbitrase
Apabila para pihak telah sepakat dalam perjanjian untuk menyelesaikan sengketa di arbitrase, maka sengketa tersebut harus diselesaikan di forum arbitrase. PN wajib menolak perkara dan tidak campur tangan dalam perkara yang dalam perjanjiannya sudah menyatakan arbitrase sebagai forum penyelesaian persengketaan.
f.       Putusan arbitrase
Arbiter mengambil keputusan berdasarkan ketentuan hukum, keadilan dan kepatutan yang disepakati oleh para pihak. Suatu putusan arbitrase harus ditetapkan jangka waktu pelaksanaannya serta tidak boleh dipublikasikan. Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat.
g.      Biaya arbitrase
Arbiter memiliki hak dan kebijaksanaan penetapan jumlah biaya untuk penyelesaian sengketa. Biaya tersebut meliputi honorarium arbiter, biaya perjalanan dan lainnya yang dikeluarkan oleh arbiter, biaya saksi atau saksi ahli dan biaya administrasi. Biaya tersebut dibebankan kepada pihak yang kalah. Namun apabila permohonan hanya dikabulkan sebagian, maka biaya dibebankan kepada para pihak secara seimbang.


3.      Prosedur beracara arbitrase melalui BASYARNAS
Selain BANI, BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) juga mempunyai tata cara pemeriksaan yang hampir sama dengan UU No. 30 Tahun 1999, yaitu :
a.       Mulai dengan didaftarkannya surat permohonan untuk mengadakan arbitrase oleh sekretaris dalam register BASYARNAS yang harus memuat nama lengkap dan tempat tinggal para pihak, uraian singkat duduk perkara dan apa yang dituntut (petitum). Dalam surat permohonan tersebut harus dilampirkan salinan dari naskah kesepakatan yang secara khusus menyerahkan pemutusan sengketa kepada BASYARNAS.
b.      Apabila perjanjian yang menyerahkan pemutusan kepada BASYARNAS dianggap telah mencukupi, maka Ketua BASYARNAS akan segera menetapkan arbiter yang akan memeriksa perkara tersebut.
c.       Arbiter tersebut memerintahkan untuk mengirim salinan permohonan kepada termohon serta perintah untuk menanggapi permohonan tersebut dengan memberikan jawaban selambat – lambatnya dalam waktu 30 hari. Setelah itu, arbiter memerintahkan mengirim salinan jawaban kepada pemohon serta memerintahkan para pihak untuk menghadap di muka sidang pada tanggal yang ditetapkan dalam kurun waktu 14 hari setelah dikeluarkannya perintah itu.
d.      Pada prinsipnya, pemeriksaan arbitrase dilakukan secara langsung dan tertulis, namun atas kesepakatan para pihak pemeriksaan dapat dilakukan secara lisan. Tahap pemeriksaan terdiri atas tanya jawab (replik – duplik), pembuktian dan tahap putusan. Baik tuntutan konvensi, rekonvensi maupun additional claim akan diperiksa dan diputus oleh arbiter bersama – sama dan sekaligus dalam satu putusan.
e.       Arbiter terlebih dahulu mengusahakan perdamaian diantara para pihak. Bila usaha tersebut berhasil, maka arbiter membuat akta perdamaian dan memerintahkan kepada para pihak untuk menaatinya. Namun apabila usaha tersebut gagal, maka pemeriksaan sengketa dilanjutkan.
f.       Seluruh proses pemeriksaan sampai dengan diucapkannya putusan dilaksanakan dalam jangka waktu 6 bulan terhitung sejak perintah pertama kepada para pihak untuk menghadiri sidang pertama.
g.      Bila pemeriksaan telah dianggap cukup, arbiter menutup pemeriksaan dan menetapkan hari untuk mengucapkan putusan. Putusan diucapkan dihadapan para pihak. Bila para pihak telah dipanggil secara patut namun ada pihak yang tidak hadir maka putusan tetap diucapkan.
h.      Dalam putusan tersebut harus memuat alasan – alasan serta diputus berdasarkan keadilan dan kepatutan (ex aquo et bono). Setiap putusan harus dimulai dengan “Bismillahirrahmanirrahim” dan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Prosedur beracara arbitrase dari ketiga lembaga arbitrase tersebut hampir sama satu sama lain, yaitu :
a.       Adanya pengajuan permohonan (claim) secara tertulis dari pihak pemohon (claimant). UNCITRAL menentukan bahwa setiap gugatan harus dilampiri dengan salinan akta perjanjian dan salinan perjanjian arbitrase apabila klausula arbitrase tidak tercantum dalam perjanjian pokok.
b.      Permohonan harus didaftarkan terlebih dahulu kepada sekretaris jendral lembaga terkait, kemudian salinan permohonan disampaikan kepada termohon (responden) disertai perintah untuk memberikan jawaban. Jawaban tersebut disampaikan kepada claimant dalam jangka waktu 45 hari.
c.       Pemeriksaan dilakukan secara tertutup, mulai dari pemeriksaan sampai tahap putusan.
d.      Putusan arbitrase diambil berdasarkan aturan hukum yang disepakati oleh kedua belah pihak. Apabila para pihak tidak menentukan aturan hukum, maka arbiter menentukan putusan berdasarkan aturan hukum dari Negara peserta konvensi.
e.       System pengambilan keputusan menganut system “party arbitrase” yaitu system mayoritas dalam pengambilan keputusan (ICSID). Putusan harus memuat uraian dasar – dasar pertimbangan dan amar putusan serta dapat melampirkan pendapat – pendapat arbiter.
f.       UNCITRAL berbeda versi dalam pengambilan keputusan, dimana keputusan diambil dengan didasarkan pada 2 sistem yang digabung secara “prioritas” yang berskala “alternatif”, yaitu prioritas pertama mendasarkan pada system mayoritas, apabila tidak tercapai, putusan dapat diambil dengan system umpire, dimana ketua majelis arbitrase dapat memutus sendiri atas nama mahkamah arbitrase.
g.      Putusan tersebut harus memuat pertimbangan yang cukup serta memenuhi syarat formal diantaranya putusan harus dalam bentuk tertulis, ditandatangani, mencantumkan tanggal dan tempat dijatuhkannya putusan serta mencantumkan putusan sela yang pernah diambil.
h.      Putusan bersifat final and binding, artinya putusan tersebut langsung menjadi putusan tingkat pertama dan terakhir serta mengikat para pihak. Terhapa putusan tersebut tertutup upaya banding dan kasasi.
                                                                                 BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada dasarnya prosedur beracara di badan arbitrase hampir sama dengan prosedur beracara dalam perkara perdata. Para pihak diberi kebebasan untuk menentukan sendiri acara dan proses pemeriksaan perkara yang mereka kehendaki. Kehendak tersebut harus disebutkan secara tegas dan tertulis serta tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Undang – Undang. Terdapat beberapa hal penting yang diatur dalam Undang – Undang dalam proses pemeriksaan perkara, diantaranya :
a.         Pemeriksaan dilakukan secara tertutup
b.        Menggunakan bahasa Indonesia
c.         Mendengar para pihak
d.        Bebas menentukan arbiter dan ketentuan beracara
e.         Pemeriksaan harus secara tertulis
f.         Pemeriksaan harus selesai paling lama 180 hari.
g.          Putusan bersifat final dan mengikat

B. SARAN
Dengan adanya pembahasan tentang prosedur beracara arbitrase ini, pemakalah berharap nantinya makalah ini dapat berguna bagi pemakalah pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Pemakalah juga berharap agar pembahasan ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita mengenai prosedur  beracara arbitrase. Untuk kesempurnaan makalah ini pemakalah sangat mengharapkan kritik dan saran dari kalian semua.


DAFTAR PUSTAKA

Bambang Sutiyoso. 2008. Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Yogyakarta: Gama Media.
Harahap, M. Yahya. 2004. Arbitrase (Hukum Acara Perdata). Jakarta: Sinar Grafika.
http://iethafairuz.blogspot.com/2015/06/hukum-acara-arbitrase.html

No comments:

Post a Comment