1

loading...

Senin, 14 Januari 2019

MAKALAH KONTRAK POLITIK


MAKALAH KONTRAK POLITIK 




BAB I
PENDAHULUAN

A.  LatarBelakang
Kehidupan manusia didalam masyarakat memiliki peranan penting dalam system politik suatu Negara, manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk social, senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain dengan upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang bersifat dasar, seperti makan, minum, biologis pakaian dan papan (rumah) lebih dari itu, jika menyangkut kebutuhan eksistenti diri dan penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja, status anggota masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu.
Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan social, kehidupan pribadi dan social secara luas. Dengan demikian, gaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat

B.  Rumusan Masalah

1.      Apa Pengertian kontrak Politik ?
2.      Sebutkan unsur-unsur dalam kotrak politik ?
3.       Apa saja dalil-dalil yang berkaitan dengan kehormatan kontrak dalam islam
C.  Tujuan

1.         Untuk Mengetahui Pengertian kontrak Politik
2.         Untuk Mengetahui unsur-unsur dalam kotrak politik
3.         Untuk Mengetahui dalil-dalil yang berkaitan dengan kehormatan kontrak dalam islam

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Kontrak Politik
Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah,[1] oleh karena itu dalam buku-buku ulama salaf atau ulama klasik dikenal istilah  siyasah syar’iyyah. Dalam kitab Al Muhith dijelaskan bahwa, siyasah berasal dari kata sasa-yasusu, dalam kalimat sasa adda waba yasu suha siya satan berarti Qama ‘alaihawa radlaha wa adabbaha yang mempunyai arti mengurusinya, melatihnya, mengasuhnya dan mendidiknya, bila dikatakan sasa al amra itu sama artinya dengan dabbarahu (mengurusi atau mengatur perkara). Jadi jelas bahwa asal-muasal maknasiyasah (politik) tersebut diaplikasikan ke dalam kepengurusan dan pelatihan penggembalaan. Politik adalah menggembala, lalu dalam tahap perkembangannya kata tersebut digunakan mengatur atau “mengembala” manusia dengan segala urusannya. Pelaku atau penggembala dari pengurusan persoalan-persoalan manusia tersebut disebut politikus (siyasiyun) yang jamaknya disebut politisi. Dalam literalisme Arab disebutkan bahwa pemimpin atau ulil amri mengurusi (yasusu) atau mengasuh, mengurusi, mengatur, dan menjaga rakyat dengan segala urusannya.
Politik ialah cara dan upaya mengatasi atau mengurusi masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan keadilan umum dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia secara keseluruhan, maka islam mempunyai keterkaitan yang dekat dengan politik, dalam konteks ini politik dibutuhkan oleh islam sejauh ia sebagai alat untuk menegakkan keadilan.
Jadi sejatinya politik itu, seperti kata komaruddin Hidayat, sesuatu yang mulia. Namun harus diakui bahwa arti atau makna demikian menjadi pudar saat terjadi kebiasaan dalam kehidupan umum bahwa politik hanya digunakan sebagai alat utuk mencapai kekuasaan. Dan tak jarang dalam rangka untuk mencapai kekuasaan menggunakan cara-cara yang melanggar norma dan moral, karena itu politik kemudia melenceng dari makna awalnya yang berarti mengurus dan mengatur urusan masyarakat.
Hal yang paling berbahaya adalah ketika dalam berpolitik. Politik hanya dimaknai sebagai kata Harold Lasswel, sebagai kegiatan masyakat yang berkisar pada masalah “ siapa memperoleh apa, kapan dan bagaimana “. Sehingga para agamawanpun sampai pada kesimpulan orang yang takut kepada Allah SWT maka tidak cocok berkecimpung dalam politik yang gudangnya dusta, penipuan, penghianatan damn tipu daya. Namun pandangan ini tidak sepenuhnya benar. Sebab, orang orang harus membedakan politik tinggi ( high politic ) dan politik praktis. Politik tinggi adalah politik yang berorientasi pada usaha dan semangat memperjuangkan nilai-nilai sosial dan kemanusiaan. [2]
Ilmu politik didalamnya dikenal adanya kontrak sosial atau kontrak politik, sebuah teori yang menyatakan bahwa seseorang atau sekelompok manusia menyerahkan hak kekuasaan dirinya kepada seseorang atau lembaga yang disepakati, sehingga sumber kedaulatan negara berasal dari rakyat dan memperoleh legitimasi melalui kontrak sosial antara dua pihak[3]
Menurut Taha Huseyn, istilah kontrak politik dalam Islam sama dengan mubaya’ah yang ada dalam Islam, di mana di dalam Islam, pendirian Negara (nash’at al dawlah al islamiyyah) dan pengangkatan pemimpinnya, bergantung pada kontrak yang terjadi antara pemimpin (al hakim/al khalifah) dan rakyatnya (al mahkumin) melalui proses sosial yang disebut dengan bay’at dalam bentuk mubaya’ah.
Ungkapan ini dibenarkan oleh Yusuf Musa dengan mengatakan bahwa dalam Islam hubungan antara penguasa dan rakyat didasarkan pada kontrak sosial yang disebut bay’at, yang berarti sumpah setia sebagai sumber legitimasi. Menurut Yusuf Musa, dengan menerima bay’at, penguasa dalam Islam itu demokratis sejauh ia memerintah dan mengeluarkan kebijakan yang selaras dengan hukum Islam seperti yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadith Nabi.
Secaraa istilahmubaya’ah berasal dari kata ba’a, yang berarti menjual sesuatu, makna dari katamubaya’ah adalah bentuk masdar dari kata baya’a – yubayi’u – mubaya’at, yang memiliki makna mengadakan perjanjian kepemimpinan. Ibnu Khaldun mengatakan bahwa bay’at adalah perjanjian atas dasar kesetiaan, bahwa yang berbai’at menerima seseorang yang terpilih menjadi kepada Negara sebagai pemimpinnya dalam melaksanakan urusannya Bay’at adalah kontrak atau perjanjian berupa pengakuan atau sumpah setia kepada seorang khalifah, penguasa, raja atau pemimpin. Sumpah ini biasanya diberikan atas nama rakyat oleh tokoh suku, marga atau klan. Ketika wakil-wakil suku ini membuat perjanjian dengan penguasa, mereka melakukan hal itu dengan pengertian bahwa sepanjang penguasa bertanggung jawab atas rakyatnya, mereka setia kepadanya. Para wakil itu jika dalam Islam umumnya adalah ulama’, pemimpin politik, dan terkadang ketua marga.
Secara teologis, bay’a didasarkan pada keyakinan bahwa hidup bermasyarakat bagi manusia adalah suatu keharusan, karena manusia mempunyai tabi’at sosial, yang dalam istilah modern disebut dengan civilisasi. Secara histories bay’at dalam Islam merujuk pada peristiwa bay’at yang terjadi pada periode Nabi tahun 621 dan 622 M, yaitu bay’at antara Nabi dengan penduduk Madinah, di mana pada tahun 621 penduduk Madinah menyatakan masuk Islam dan membai’at Nabi. Mereka berikrar bahwa mereka tidak akan menyembah selain Allah, akan meninggalkan segala perbuatan jahat dan akan mentaati RasulNya dalam segala hal yang benar. Peristiwa itu disebut dengan bay’at ‘aqabah pertama pada tahun 622, terjadi kontak sosial lagi antara Nabi dengan penduduk Madinah untuk yang kedua kalinya. Penduduk Madinah berjanji akan melindungi Nabi sebagaiman mereka melindungi keluarga mereka dan akan mentatai Nabi sebagai pemimpin mereka. Nabi pun berjanji kepada penduduk Madinah untuk hidup semati bersama mereka. Dari kesepakatan yang dibuat oleh Nabi bersama penduduk Madinah itulah, Nabi kemudian memiliki kekuatan sosial politik. Pada tahun-tahun berikutnya, peristiwa bay’at juga terjadi antara Nabi dengan penduduk Makkah ketika kota itu ditaklukkan. Pada masa khulafa’ al-Rashidin, peristiwa bay’at juga terjadi dalam rangka pemilihan seorang khalifah, mereka dipilih oleh umat Islam dengan cara bay’at dalam memposisikan diri mereka sebagai khalifah.
Fakta di atas menunjukkan bahwa antara Nabi dan penduduk Madinah telah terjadi “fakta persekutuan”, karena kedua pihak mencapai kesepakatan supaya saling menjaga dan melindungi keselamatan bersama. Dalambay’at kedua tergambar adanya penyerahan hak kekuasaan diri dari peserta bay’at kepada Nabi yang mereka akui sebagai pemimpin mereka.[4]
Fakta-fakta sejarah tersebut di atas menunjukkan, bahwa praktek kontrak sosial telah dilakukan oleh umat Islam generasi pertama. Peristiwa bay’at ini kemudian dijadikan oleh para ahli fiqh dari kalangan Sunni sebagai salah satu prinsip umum teori pemikiran politik Islam dalam pengangkatan seorang pemimpin. Karena teori ini melibatkan orang banyak, dan memunculkan kesepakatan bersama, maka seorang pemimpin dipilih langsung oleh rakyat, dan menjalankan kepemimpinannya berdasarkan pada kesepakatan rakyat, dan demi kepentingan rakyat, sehingga rakyat berhak.

B.  UNSUR UNSUR KONTRAK POLITIK
Dalam pemerintahan Islam, seorang pemimpin bukan sebagai sumber kekuasaan, akan tetapi hanya sebagai pemegang mandat yang dibebankan kepadanya oleh rakyat untuk menjalankan program Negara. Di sini kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, dan pemimpin selalu berada di bawah pengawasan rakyat. Jadi umat sebagai sumber kekuasaan dan hubungan antar rakyat dengan penguasa dilakukan dengan kontrak yang disebut dengan mubaya’ah,
Dalam teori mubaya’ah ini rakyat harus patuh kepada kesepakatan yang dihasilkan dalam mubaya’ah. Pelanggaran terhadap hasil mubaya’ah sama hukumnya dengan memberontak kepada pemerintahan yang sah, sehingga pelakunya boleh diperangi, karena dianggap sebagai provokator, yang bisa memecah belah kesatuan umat.
Dalam menetapkan seorang pemimpin melalui proses bay’at, dalam Islam dilakukan oleh ahlu al hall wa al ‘aqd, sebagai wakil umat. Mereka mengadakan kontrak sosial dengan kepada Negara terpilih atas dasar kesetiaan dan ketaatan kepadanya selama pemimpin tadi tidak melakukan maksiat. Karena itu, kepala Negara yang terpilih melalui kontrak sosial harus melaksanakan haknya dalam menjalankan undang-undang dan kewajiban-kewajibannya untuk mewujudkan keadilan sesuai dengan ketentutan al-Qu’ran dan Sunnah Nabi.
Ahl al hall wa al ‘aqd adalah istilah yang dirumuskan oleh ulama’ fiqh untuk sebutan bagi orang-orang yang bertindak sebagai wakil umat Islam untuk menyuarakan hati nurani mereka Tugasnya adalah memilih khalifah, imam, Kepala Negara secara langsung. Karena itu, ahl al hall wa al ‘ a’qdoleh al-Mawardi disebut juga dengan ahl al ikhtiyar.
Paradigma pemikiran ulama fiqh merumuskan istilah ahl al hall wa al ‘aqd didasarkan pada system pemilihan empat khalifah pertama yang dilaksanakan oleh para tokoh Sahabat yang mewakili dua golongan, Ansar dan Muhajirin. Mereka ini oleh ulama fiqh diklaim sebagai ahl al hall wa al ‘aqd yang bertindah sebagai wakil umat. Walaupun pemilihan pada masa Abu Bakar dan Ali bersifat spontan atas dasar tanggung jawab umum terhadap kelangsungan keutuhan umat dan agama, namun kedua tokoh ini mendapat pengakuan dari umat.
Jadi ahl al hall wa al ‘aqd adalah orang-orang yang berkecimpung langsung dengan rakyat yang telah memberikan kepercayaan kepada mereka. Mereka menyetujui pendapat wakil-wakil itu karena ikhlas, konsekuen, takwa, adil, dan memiliki pemikiran yang cemerlang serta gigih di dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.[5]
Dalam substansi dan pokoknya, bay’at merupakan suatu perjanjian di antara dua golongan. Yaitu pemimpin atau imam yang dicalonkan untuk memimpin Negara dan rakyat. Adapun sang pemimpin di bay’atuntuk memerintah berdasarkan al Qur’an dan Sunnah, serta nasehat atau Kontrol dari kaum muslimin. Sedangkan rakyat yang membai’at bersedia ta’at dalam batas-batas ketaatan kepada Allah dan RasulNya.
Ketika ‘Ali bin Abi Talib dibai’at untuk menjadi khalifah, ia berkata: Aku bersumpah dan berjanji dengan Nama Allah, serta mengikatkan diri dengan perjanjian yang diterima para Nabi, bahwa aku sunguh-sungguh akan melaksanakan hak-hak kalian dengan berpegang pada al-Qur’an dan Sunnah Nabi semampuku dan kekuatan pikiranku.
Jadi itulah bentuk kontrak politik yang pernah terjadi di masa awal Islam. Yang secara umum dapat dikatakan bahwa kontrak politik dalam Islam merupakan suatu transaksi perjanjian antara pemimpin dan umat Islam dalam mendirikan sebuah pemerintahan sesuai dengan al-Qur’an dan hadith Nabi Saw. Dengan kata lain kontrak politik dalam Islam merupakan perjanjian atas kepemimpinan berdasarkan sistem politik Islam.
Di mana kontrak politik ini, sebagaimana dijelaskan di atas, pernah terjadi beberapa kali pada masa Rasulullah Saw, antara lain, bay’at ‘aqabah pertama yang merupakan kontrak social dan janji setia untuk berprilaku Islami. Di dalamnya juga terdapat ramb-rambu bagi masyarakat Islam. Adapun pada bay’at ‘aqabahkedua, merupakan kontrak politik antara umat Islam dan pemimpin. Dua bay’at itu merupakan proto sosial politik untuk hijrah ke Madinah dan dasar dalam pembinaa Negara Islam yang pertama di waktu itu.
Selain bay’at ‘aqabah, Rasulullah juga pernah dibai’at oleh kaum Muslimin yang mernyertai beliau dalam perjalanan ke Makkah untuk Umrah tahun 6 Hijrah yang disebut kemudian dengan bay’at ridwan. Pada saat penaklukkan kota Makkah Rasulullah juga pernah dibai’at oleh penduduk Makkah. Setelah Rasulullah wafat, bay’at juga terjadi pada saat pemilihan khulafa’ al-rashidin.[6]
Maka jika kita lihat dari proses bay’at (kontrak politik), kita temukan adanya tiga unsur pokok :

1.      Pihak yang mengambil bay’at
2.      Pihak yang memberi bay’at kepada orang yang menjadi pemimpin, dalam Islam biasanya diwakilkan kepadaahl al hall wa al ‘aqd atau oleh masyoritas umat Islam secara umum
3.      Topik bay’at (kontrak) disesuaikan dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw. Jadi proses dan topic yang dilakukan dalam melakukan kontrak sosial atau kontrak politik dalam Islam tidak boleh bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Dalam melakukan kontrak politik dengan calon pemimpin, wakil yang dipecaya rakyat untuk menetapkan calon pemimpin (ahl al hal wa al ‘aqd) melakukan pemeriksaan atau studi kelayakan terhadap orang yang dicalonkan, sehingga jika sudah memenuhi persyaratan sesuai yang diharapkan oleh umat Islam, sang calon segera di bay’at. Jika terdapat dua calon, maka yang lebih layak untuk di bay’at atau diajak melakukan kontrak politik adalah yang sesuai dengan tuntutan kondisi di masa itu.
Dalam melakukan kontrak politik, sama dengan transaksi-transaksi lainnya, yaitu berdasarkan pada asas penyerahan dari pihak pertama dan penerimaan dari pihak kedua. Jika sudah dilakukan kesepakatan kontrak politik antara calon pemimpin dan wakil rakyat, maka sebagai pelaksana eksekutif, pemimpin Negara mempunyai hak untuk ditaati oleh semua warga negaranya, tanpa mempedulikan adanya sekelompok atau seseorang yang tidak suka atau tidak setuju terhadap sementara kebijakannya di dalam menjalankan urusan Negara, kecuali jika dalam mengeluarkan undang-undang atau perintah ditemukan adanya penyimpangan dari syari’at Islam, maka boleh bagi rakyat untuk tidak menta’atinya, dan menjadi alas an untuk dibolehkannya mencabut kembali kesepakatan kontrak politik yang sudah dilaksanakan.[7]
Unsur penegakan moral yang harus diperhatikan dalam melakukan kontrak politik atau perjanjian politik, seperti keadilan, menegakkan kebenaran dan mencegah kemunkaran.

C.  Kehormatan Kontrak dalam Islam
Kehormatan dan kesucian kontrak terjaga dalam Islam. Allah SWT telah mewajibkan untuk menepati kontrak. Bergabagai ayat Al-Qur’an dan Hadist bergiliran menegaskan hal itu. Mengajak untuk menghormatinya. Di antara ayat-ayat tersebut adalah firman Allah,
ياءيهاالذين امنوا اوفوا باالعقود
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu….”(Q.S Al-Maa’idah: 1)
            Allah juga berfirman,
وافوابالعهد ان العهد كان مسئولا
  “… Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.” (Q.S. Al-Israa’: 34)

وأوفوابعهدالله اداعهدتم ولاتنقضواالايمن بعد توكيدهاوقدجعلتم الله عليكم كفيلاج ان الله يعلم ماتفعلون
 “dan tepatilah perjanjian dengan Allah, apabila kamu berjanji, dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpahmu itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu terhadap sumpah-sumpahmu itu, sesungguhnya Allah telah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (Q.S. An-Nahl: 91)
Diantara hadist yang berkaitan dengan masalah ini adalah sabda Rasulullah saw,
            “ada empat tabiat yang membuat seseorang termasuk munafik sejati dan jika memiliki salah satu dari empat tabi’at tersebut, maka padanya terdapat cirri kemunafikan sampai dia mampu meninggalkannya, Empat tabi’at itu adalah jika dia diberi amanat dia berkhianat, jika berbicara dia berbohong, jika berjanji dia tidak menepati, dan jika bermusuhan dia membongkar rahasia.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Rasulullah saw juga bersabda :
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ فُرَاتٍ الْقَزَّازِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ فُرَاتٍ الْقَزَّازِ عَنْ أَبِي حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ بَرَّادٍ الْأَشْعَرِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ الْحَسَنِ بْنِ فُرَاتٍ عَنْ أَبِيهِ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ
1.      Penjelasan arti hadist Pertama  : (BUKHARI - 3196) : Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Basysyar telah bercerita kepada kami Muhammad bin Ja'far telah bercerita kepada kami Syu'bah dari Furat Al Qazaz berkata, aku mendengar Abu Hazim berkata; "Aku hidup mendampingi Abu Hurairah radliallahu 'anhu selama lima tahun dan aku mendengar dia bercerita dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang besabda: "Bani Isra'il, kehidupan mereka selalu didampingi oleh para Nabi, bila satu Nabi meninggal dunia, akan dibangkitkan Nabi setelahnya. Dan sungguh tidak ada Nabi sepeninggal aku. Yang ada adalah para khalifah yang banyak jumlahnya". Para shahabat bertanya; "Apa yang baginda perintahkan kepada kami?". Beliau menjawab: "Penuihilah bai'at kepada khalifah yang pertama (lebih dahulu diangkat), berikanlah hak mereka karena Allah akan bertanya kepada mereka tentang pemerintahan mereka".
2.      Penjelasan arti hadist Kedua   (MUSLIM - 3429) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Furat Al Qazzaz dari Abu Hazim dia berkata, "Saya pernah duduk (menjadi murid) Abu Hurairah selama lima tahun, saya pernah mendengar dia menceritakan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Dahulu Bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi, setiap Nabi meninggal maka akan digantikan oleh Nabi yang lain sesudahnya. Dan sungguh, tidak akan ada Nabi lagi setelahku, namun yang ada adalah para khalifah (kepala pemerintahan) yang merekan akan banyak berbuat dosa." Para sahabat bertanya, "Apa yang anda perintahkan untuk kami jika itu terjadi?" beliau menjawab: "Tepatilah baiat yang pertama, kemudian yang sesudah itu. Dan penuhilah hak mereka, kerana Allah akan meminta pertanggung jawaban mereka tentang pemerintahan mereka." Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Abdullah bin Barrad Al Asy'ari keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris dari Al Hasan bin Furrat dari ayahnya dengan isnad seperti ini."
Karena setiap kontrak memiliki nilai dan sekralitas, para fuqoha sangat mencurahkan perhatian mereka untuk membahas sebagai rumusan yang beraneka ragam dan menentukan maksud dari kata-kata yang tertera dalam system kontrak, sehingga dapat diyakini bahwa setiap ungkapan memuat makana yang spesifik yang dimaksudkan secara tekstual. Merekapun sangat memperhatikan untuk meletakkan berbagai syarat yang meyakinkan bahwa sebuah kontrak telah berlangsung sebagai gambaran dari keinginan yang bebas, sebebas-bebasnya, serta sepuas-puasnya. Berdasarkan hal itu, setiap factor yang dapat mempengaruhi bebasnya kemauan atau lengkapnya makna kontrak, baik secarainternal maupun eksternal, baik natural ataupun eksidental, akan berpengaruh pada keabsahan kontrak dan memiliki koensekuensi hokum, secara general maupun persial.

BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Secaraa istilah mubaya’ah berasal dari kata ba’a, yang berarti menjual sesuatu, makna dari katamubaya’ah adalah bentuk masdar dari kata baya’a – yubayi’u – mubaya’at, yang memiliki makna mengadakan perjanjian kepemimpinan. Ibnu Khaldun mengatakan bahwa bay’at adalah perjanjian atas dasar kesetiaan, bahwa yang berbai’at menerima seseorang yang terpilih menjadi kepada Negara sebagai pemimpinnya dalam melaksanakan urusannya Bay’at adalah kontrak atau perjanjian berupa pengakuan atau sumpah setia kepada seorang khalifah, penguasa, raja atau pemimpin. Sumpah ini biasanya diberikan atas nama rakyat oleh tokoh suku, marga atau klan. Ketika wakil-wakil suku ini membuat perjanjian dengan penguasa, mereka melakukan hal itu dengan pengertian bahwa sepanjang penguasa bertanggung jawab atas rakyatnya, mereka setia kepadanya. Para wakil itu jika dalam Islam umumnya adalah ulama’, pemimpin politik, dan terkadang ketua marga.
Dalam kontrak politik ada tiga unsur pokok diantaranya :
1.      Pihak yang mengambil bay’at
2.      Pihak yang memberi bay’at kepada orang yang menjadi pemimpin, dalam Islam biasanya diwakilkan kepadaahl al hall wa al ‘aqd atau oleh masyoritas umat Islam secara umum
3.      Topik bay’at (kontrak) disesuaikan dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw. Jadi proses dan topik yang dilakukan dalam melakukan kontrak sosial atau kontrak politik dalam Islam tidak boleh bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Dalam Nash Al-Qur’an juga menegaskan tentang memenuhui aqad,memnuhi janji serta  tanggung jawab.
B.  Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber – sumber yang lebih banyak yang tentunga dapat di pertanggung jawabkan.
Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan. Untuk bagian terakhir dari makalah adalah daftar pustaka. Pada kesempatan lain akan saya jelaskan tentang daftar pustaka makalah

DAFTAR PUSTAKA


Warson Munawwir, Ahmad,  1997 .Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif
Halim Abdul, 2013. Relasi Islam,Politik dan Kekuasaan, Yogyakarta: PT. LKis Printing Cemerlang
Rasyid Hatamar, 2017. pengantar ilmu politik persepektif barat dan islam,Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
As-Syanawi,Fahmi, 2006. Dinamika Politik Islam Sejak Masa Nabi SampaiKini, Bandung:Pustaka Setia


[1] Warson Munawwir, Ahmad,.Kamus Arab-Indonesia,( Surabaya: Pustaka Progressif, 1997 ) hlm 196
[2] Halim Abdul, Relasi Islam,Politik dan Kekuasaan, (Yogyakarta: PT. LKis Printing Cemerlang, 2013) hlm 23-28
[3] Rasyid Hatamar, pengantar ilmu politik persepektif barat dan islam,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2017) hlm 4
[4] As-Syanawi,Fahmi,Dinamika Politik Islam Sejak Masa Nabi SampaiKini, (Bandung:Pustaka Setia,2006) hlm 34-37
[5] Ibid, hlm 39
[6] Ibid, hlm 41
[7] Ibid 42-47

Selasa, 08 Januari 2019

MAKALAH HUKUM ARBITRASE SYARIAH


HUKUM ARBITRASE SYARIAH

“ Prosedur Beracara Arbitrase”




BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Berbeda dengan sidang perdata di tingkat pengadilan negeri, dalam proses arbitrase didahului dengan pengajuan permohonan arbitrase disertai dengan permohonan penunjukkan arbitrer yang akan dipilih oleh pemohon untuk menangani sengketa di arbitrase hingga bukti-bukti yang akan diajukan oleh pemohon untuk mendukung permohonannya (statement of claim). Arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat menjatuhkan putusan yang bersifat final dan mengikat. Idealnya, para pihak yang menyelesaikan sengketa di arbitrase tidak lagi membawa permasalahan ke pengadilan, baik dalam hal eksekusi ataupun membatalkan putusan arbitrase. Walaupun hanya berupa quasi judicial, lembaga arbitrase akan lebih efektif dipilih untuk menyelesaikan sengketa bisnis, sepanjang dilakukan secara sukarela dan dengan itikad baik. Karena secara prinsip, para pihak memilih arbitrase untuk menghindari pengadilan. Salah satu alasannya karena sifat tertutup arbitrase yang dapat menjaga kerahasiaan kasus mereka.
B. TUJUAN PENULISAN
A.    Bagimanakah hukum acara arbitrase?
B.     Bagaimanakah prosedur beracara arbitrase menurut uu No 30 tahun 1999?
C.     Seperti apakah Prosedur beracara arbitrase di BANI ?
D.    Bagaimanakah Prosedur beracara arbitrase melalui BASYARNAS ?
C. TUJUAN
1.      Untuk mengetahui hukum acara arbitrase
2.      Untuk mengetahui beracara arbitrase menurut uu No 30 tahun 1999
3.      Untuk mengetahui Prosedur beracara arbitrase di BANI
4.      Untuk mengetahui Prosedur beracara arbitrase melalui BASYARNAS
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hukum Acara Arbitrase
Arbitrase merupakan salah satu alternative penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan diberlakukannya RV (Reglement op de Burgerlijke Rechtvordering) tahun 1847. Semula arbitrase diatur dalam pasal 615 – 651 RV, namun setelah dikeluarkannya UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ketentuan tersebut sudah tidak diberlakukan lagi. Arbitrase mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1. Merupakan cara penyelesaian sengketa secara prifat atau di luar pengadilan
2. Atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak
3. Untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin akan terjadi atau telah terjadi
4. Dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter) yang berwenang mengambil sengketa
5. Sifat putusannya adalah final dan mengikat.
B. Prosedur Beracara Arbitrase
Pada dasarnya proses pemeriksaan perkara dalam arbitrase tidak jauh berbeda dengan proses pemeriksaan perkara perdata. Hukum acara yang berlaku dalam pemeriksaan arbitrase diatur dalam pasal 27 sampai 51 UU No. 30 Tahun 1999. Para pihak diberi kebebasan untuk menentukan sendiri acara dan proses pemeriksaan perkara yang mereka kehendaki. Kehendak tersebut harus disebutkan secara tegas dan tertulis serta tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Undang – Undang. Terdapat beberapa hal penting yang diatur dalam Undang – Undang dalam proses pemeriksaan perkara, diantaranya :
a.       Pemeriksaan dilakukan secara tertutup
b.      Menggunakan bahasa Indonesia
c.       Mendengar para pihak
d.       Bebas menentukan arbiter dan ketentuan beracara
e.       Pemeriksaan harus secara tertulis
f.        Pemeriksaan harus selesai paling lama 180 hari.
Secara lebih rinci, prosedur beracara arbitrase terbagi tiga yaitu:
1.      Prosedur Beracara Arbitrase Menurut UU No. 30 Tahun 1999 :
a.       Persetujuan arbitrase harus dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani para pihak yang bersengketa.
b.      Jumlah arbiter harus ganjil.
c.       Pengajuan permohonan arbitrase harus secara tertulis dengan cara menyampaikan surat tuntutan kepada arbiter yang memut sekurang – krangnya nama lengkap an tempat tinggal, uraian singkat tentang duduk perkara, da nisi tuntutan yang jelas.
d.      Salinan surat tuntutan tersebut disampaikan kepada termohon dengan disertai perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan jawaban secara tertulis dalam waktu paling lama 14 hari sejak diterimanya salinan tuntutan tersebut. Bersamaan dengan itu, arbiter memerintahkan para pihak untuk hadir di muka sidang paling lama 14 hari sejak dikeluarkannya perintah.
e.       Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat juga melalui lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak.
f.       Pemeriksaan arbitrase harus dilakukan secara tertulis terkecuali disetujui oleh para pihak. Semua pemeriksaan dilakukan secara tertutup.
g.      Dalam sidang pertama, arbiter terlebih dahulu mengusahakan damai kepada para pihak. Bila berhasil, maka arbiter membuat akta perdamaian dan memerintahkan untuk memenuhi perdamaian tersebut. Bila tidak berhasil, maka pemeriksaan sengketa dilanjutkan.
h.       Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu 180 hari sejak majelis arbitrase dibentuk dan dapat diperpanjang dengan persetujuan para pihak.
i.        Atas perintah arbiter atau permintaan para pihak dapat diminta keterangan dari para saksi atau saksi ahli.
j.        Putusan arbiter diambil berdasarkan ketentuan hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan. Putusan tersebut harus diucapkan paling lama 30 hari setelah pemeriksaan ditutup.
k.       Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat.
l.        Selanjutnya putusan tersebut didaftarkan kepada kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat dengan diberikan catatan dan tanda tangan dibagian akhir oleh Panitia PN dan arbiter yang menyerahkan.
2.        Prosedur beracara arbitrase di BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) Prosedur beracara di BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang diatur dalam Anggaran Dasar dan Peraturan Prosedur Arbitrase adalah sebagai berikut :
a.     Permohonan arbitrase
Sebelum memulai arbitrase, terlebih dahulu diajukan surat permohonan arbitrase yang didaftarkan dalam register BANI. Surat itu harus memuat :
a.       nama lengkap dan tempat tinggal kedua belah pihak
b.      uraian singkat tentang duduk perkaranya
c.         apa yang dituntut
Selain itu, pada surat tersebut harus dilampirkan salinan naskah atau akta perjanjian yang secara khusus menyerahkan pemutusan yang memuat klausul arbitrase. Apabila surat permohonan tersebut diajukan oleh kuasa dari para pihak, maka surat kuasa khusus untuk mengajukan permohonan tersebut harus dilampirkan. Pemohon dapat menunjuk seorang arbiter atau menyerahkan kepada Ketua BANI.
b.      Tempat Arbitrase
Secara umum, apabila para pihak tidak menentukan tempat berlangsungnya sidang, maka hal itu akan ditentukan oleh aturan arbitrase yang dipilih oleh para pihak.
c.       Hukum dan bahasa pengantar
Para pihak dapat menyepakati hukum apa yang akan dipakai sebagai ketentuan dalam memutus sengketa serta bahasa apa yang akan digunakan sebagai bahan komunikasi antara para pihak.
d.      Pemilihan arbiter
Pada asasnya, cara pengangkatan arbiter ditentukan oleh para pihak sendiri. Namun apabila para pihak tidak menentukan arbiter, maka Ketua BANI akan menunjuk arbiter untuk menangani sengketa tersebut. Penunjukan arbiter tersebut harus dilakukan secara tertulis.
e.       Kewenangan arbitrase
Apabila para pihak telah sepakat dalam perjanjian untuk menyelesaikan sengketa di arbitrase, maka sengketa tersebut harus diselesaikan di forum arbitrase. PN wajib menolak perkara dan tidak campur tangan dalam perkara yang dalam perjanjiannya sudah menyatakan arbitrase sebagai forum penyelesaian persengketaan.
f.       Putusan arbitrase
Arbiter mengambil keputusan berdasarkan ketentuan hukum, keadilan dan kepatutan yang disepakati oleh para pihak. Suatu putusan arbitrase harus ditetapkan jangka waktu pelaksanaannya serta tidak boleh dipublikasikan. Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat.
g.      Biaya arbitrase
Arbiter memiliki hak dan kebijaksanaan penetapan jumlah biaya untuk penyelesaian sengketa. Biaya tersebut meliputi honorarium arbiter, biaya perjalanan dan lainnya yang dikeluarkan oleh arbiter, biaya saksi atau saksi ahli dan biaya administrasi. Biaya tersebut dibebankan kepada pihak yang kalah. Namun apabila permohonan hanya dikabulkan sebagian, maka biaya dibebankan kepada para pihak secara seimbang.


3.      Prosedur beracara arbitrase melalui BASYARNAS
Selain BANI, BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) juga mempunyai tata cara pemeriksaan yang hampir sama dengan UU No. 30 Tahun 1999, yaitu :
a.       Mulai dengan didaftarkannya surat permohonan untuk mengadakan arbitrase oleh sekretaris dalam register BASYARNAS yang harus memuat nama lengkap dan tempat tinggal para pihak, uraian singkat duduk perkara dan apa yang dituntut (petitum). Dalam surat permohonan tersebut harus dilampirkan salinan dari naskah kesepakatan yang secara khusus menyerahkan pemutusan sengketa kepada BASYARNAS.
b.      Apabila perjanjian yang menyerahkan pemutusan kepada BASYARNAS dianggap telah mencukupi, maka Ketua BASYARNAS akan segera menetapkan arbiter yang akan memeriksa perkara tersebut.
c.       Arbiter tersebut memerintahkan untuk mengirim salinan permohonan kepada termohon serta perintah untuk menanggapi permohonan tersebut dengan memberikan jawaban selambat – lambatnya dalam waktu 30 hari. Setelah itu, arbiter memerintahkan mengirim salinan jawaban kepada pemohon serta memerintahkan para pihak untuk menghadap di muka sidang pada tanggal yang ditetapkan dalam kurun waktu 14 hari setelah dikeluarkannya perintah itu.
d.      Pada prinsipnya, pemeriksaan arbitrase dilakukan secara langsung dan tertulis, namun atas kesepakatan para pihak pemeriksaan dapat dilakukan secara lisan. Tahap pemeriksaan terdiri atas tanya jawab (replik – duplik), pembuktian dan tahap putusan. Baik tuntutan konvensi, rekonvensi maupun additional claim akan diperiksa dan diputus oleh arbiter bersama – sama dan sekaligus dalam satu putusan.
e.       Arbiter terlebih dahulu mengusahakan perdamaian diantara para pihak. Bila usaha tersebut berhasil, maka arbiter membuat akta perdamaian dan memerintahkan kepada para pihak untuk menaatinya. Namun apabila usaha tersebut gagal, maka pemeriksaan sengketa dilanjutkan.
f.       Seluruh proses pemeriksaan sampai dengan diucapkannya putusan dilaksanakan dalam jangka waktu 6 bulan terhitung sejak perintah pertama kepada para pihak untuk menghadiri sidang pertama.
g.      Bila pemeriksaan telah dianggap cukup, arbiter menutup pemeriksaan dan menetapkan hari untuk mengucapkan putusan. Putusan diucapkan dihadapan para pihak. Bila para pihak telah dipanggil secara patut namun ada pihak yang tidak hadir maka putusan tetap diucapkan.
h.      Dalam putusan tersebut harus memuat alasan – alasan serta diputus berdasarkan keadilan dan kepatutan (ex aquo et bono). Setiap putusan harus dimulai dengan “Bismillahirrahmanirrahim” dan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Prosedur beracara arbitrase dari ketiga lembaga arbitrase tersebut hampir sama satu sama lain, yaitu :
a.       Adanya pengajuan permohonan (claim) secara tertulis dari pihak pemohon (claimant). UNCITRAL menentukan bahwa setiap gugatan harus dilampiri dengan salinan akta perjanjian dan salinan perjanjian arbitrase apabila klausula arbitrase tidak tercantum dalam perjanjian pokok.
b.      Permohonan harus didaftarkan terlebih dahulu kepada sekretaris jendral lembaga terkait, kemudian salinan permohonan disampaikan kepada termohon (responden) disertai perintah untuk memberikan jawaban. Jawaban tersebut disampaikan kepada claimant dalam jangka waktu 45 hari.
c.       Pemeriksaan dilakukan secara tertutup, mulai dari pemeriksaan sampai tahap putusan.
d.      Putusan arbitrase diambil berdasarkan aturan hukum yang disepakati oleh kedua belah pihak. Apabila para pihak tidak menentukan aturan hukum, maka arbiter menentukan putusan berdasarkan aturan hukum dari Negara peserta konvensi.
e.       System pengambilan keputusan menganut system “party arbitrase” yaitu system mayoritas dalam pengambilan keputusan (ICSID). Putusan harus memuat uraian dasar – dasar pertimbangan dan amar putusan serta dapat melampirkan pendapat – pendapat arbiter.
f.       UNCITRAL berbeda versi dalam pengambilan keputusan, dimana keputusan diambil dengan didasarkan pada 2 sistem yang digabung secara “prioritas” yang berskala “alternatif”, yaitu prioritas pertama mendasarkan pada system mayoritas, apabila tidak tercapai, putusan dapat diambil dengan system umpire, dimana ketua majelis arbitrase dapat memutus sendiri atas nama mahkamah arbitrase.
g.      Putusan tersebut harus memuat pertimbangan yang cukup serta memenuhi syarat formal diantaranya putusan harus dalam bentuk tertulis, ditandatangani, mencantumkan tanggal dan tempat dijatuhkannya putusan serta mencantumkan putusan sela yang pernah diambil.
h.      Putusan bersifat final and binding, artinya putusan tersebut langsung menjadi putusan tingkat pertama dan terakhir serta mengikat para pihak. Terhapa putusan tersebut tertutup upaya banding dan kasasi.
                                                                                 BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada dasarnya prosedur beracara di badan arbitrase hampir sama dengan prosedur beracara dalam perkara perdata. Para pihak diberi kebebasan untuk menentukan sendiri acara dan proses pemeriksaan perkara yang mereka kehendaki. Kehendak tersebut harus disebutkan secara tegas dan tertulis serta tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Undang – Undang. Terdapat beberapa hal penting yang diatur dalam Undang – Undang dalam proses pemeriksaan perkara, diantaranya :
a.         Pemeriksaan dilakukan secara tertutup
b.        Menggunakan bahasa Indonesia
c.         Mendengar para pihak
d.        Bebas menentukan arbiter dan ketentuan beracara
e.         Pemeriksaan harus secara tertulis
f.         Pemeriksaan harus selesai paling lama 180 hari.
g.          Putusan bersifat final dan mengikat

B. SARAN
Dengan adanya pembahasan tentang prosedur beracara arbitrase ini, pemakalah berharap nantinya makalah ini dapat berguna bagi pemakalah pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Pemakalah juga berharap agar pembahasan ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita mengenai prosedur  beracara arbitrase. Untuk kesempurnaan makalah ini pemakalah sangat mengharapkan kritik dan saran dari kalian semua.


DAFTAR PUSTAKA

Bambang Sutiyoso. 2008. Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Yogyakarta: Gama Media.
Harahap, M. Yahya. 2004. Arbitrase (Hukum Acara Perdata). Jakarta: Sinar Grafika.
http://iethafairuz.blogspot.com/2015/06/hukum-acara-arbitrase.html