1

loading...

Sunday, November 3, 2019

MAKALAH HUKUM ADAT WARIS

MAKALAH HUKUM ADAT WARIS


BAB I

PENDAHULUAN 

Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adat, termasuk dalam hal pewarisan, Indonesia memiliki berbagai macam bentuk waris diantaranya, diantaranya waris menurut hukum BW, hukum islam, dan adat. Masing-masing hukum tersebut memiliki karakter yang berbeda dengan yang lain.
Harta warisan menurut hukum adat bisa dibagikan secara turun-temurun sebelum pewaris meninggal dunia, tergantung dari musyawarah masing-masing pihak. Hal ini sangat berbeda dengan kewarisan hukum BW dan hukum islam yang mana harta warisan harus dibagikan pada saat ahli waris telah telah meninggal dunia. Apabila harta warisan diberikan pada saat pewaris belum meninggal dunia, maka itu disebut pemberian biasa atau dalam hukum islam bias disebut sebagai hibah.        
Dengan adanya beragam bentuk sistem kewarisan hukum adat, menimbulkan akibat yang berbeda pula, maka pada intinya hukum waris harus disesuaikan dengan adat dan kebudayaan masing-masing daerah dengan kelebihan dan kekurangan yang ada pada sistem kewarisan tersebut.
1.            Apa pengertian secara umum mengenai hukum waris adat?
2.            Bagaimana pemahaman tentang sistem hukum waris adat?
3.            Apa sajakah Persamaan dan perbedaan antara sistem hukum Islam dengan sistem KUH Perdata (BW) ?
    C.    Tujuan Penulisan
1.      Menyelesaikan tugas mata kuliah
2.      Memahami tentang sistem pembagian waris menurut hukum adat.
  

BAB II

PEMBAHASAN


Hukum  adat warismenurut Soepomo, merupakan peraturan yang memuat pengaturan mengenai proses penerusan serta pengoperan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak termasuk harta beda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya.[1] Kemudian yang dikemukakan oleh Ter Haar, hukum  adat warisadalah aturan-aturan hukum yang mengatur cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi berikutnya.[2]
Dengan demikian, hukum waris itu memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada para ahli warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta tersebut dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia. Bentuk peralihannya dapat dengan cara penunjukkan, penyerahan kekuasaan, atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris kepada ahli warisnya. Jadi bukanlah sebagaimana yang diungkapkan oleh Wirjono, pengertian “warisan” ialah bahwa warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakan berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.[3] Jadi warisan menurut Wirjono adalah cara penyelesaian hubungan hukum dalam masyarakat yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari wafatnya seorang manusia, dimana manusia yang wafat itu meninggalkan harta kekayaan. Istilah warisan diartikan sebagai cara penelesaian bukan diartikan pada bendanya. Kemudian cara penyelesaian itu sebagai akibat dari kematian seorang, sedangkan Hilman Hadikusuma mengartikan warisan itu adalah bedanya dan penyelesaian harta benda seseorang kepada warisnya dapat dilaksanakan sebelum ia wafat.[4]

Menurut ketentuan Hukum Adat secara garis besar dapat dikataakan bahwa sistem hukum  adat waristerdiri dari 6 sistem, antara lain :
1.            Sistem Keturunan
Dilihat dari segi garis keturuan maka perbedaan lingkungan hukum adat itu dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu          :
a.     Sistem Patrilineal (kelompok garis ayah)
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, contohnya: Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Seram, Nusa Tenggara.
b.     Sistem Matrilineal (kelompok garis ibu)
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria dalam pewarisan. Contohnya, Minangkabau dan Enggano.
c.     Sistem Parental atau bilateral (kelompok garis ibu dan bapak)
Sistem yang ditarik menurut garis orang tua (ibu dan bapak) dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan dalam pewarisan. Contohnya: Jawa, Sunda, Madura, dan Melayu.[5]
2.            Sistem kolektif
Menurut sistem ini ahli waris menerima penerusan dan pengalihan harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbaik dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut. Contohnya seperti di Minangkabau, Ambon, dan Minahasa.
3.            Sistem Mayorat
Menurut sistem ini harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu saja, misalnya anak laki-laki tertua (contohnya di Bali, Lampung, Teluk Yos Sudarso), atau perempuan tertua (di Sumendo, Sumatera Selatan), anak laki-laki termuda (di masyarakat Batak) atau perempuan termuda atau anak laki-laki saja.
4.            Sistem individual
Menurut sistem ini, maka setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya, sistem ini dijalankan di masyarakat yang menganut sistem parental.

Dalam menguraikan prinsip-prinsip hukum waris berdasarkan hukum Islam, satu-satunya sumber tertinggi dalam kaitan ini adalah Al-Qur’an dan sebagai pelengkapnya adalah As-Sunnah beserta hasil-hsil ijtihad atau upaya para ahli hukum Islam terkemuka.[6]  Wujud warisan menurut Hukum Islam yaitu “sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan bersih”. Artinya, harta peninggalan yang diwarisi oleh para ahli waris adalah sejumlah harta benda serta segala hak, setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang pewaris dan pembiayaan lain yang disebabkan wafatnya pewaris. Sistem kewarisan menurut agama Islam berdasarkan kitab suci Al-Qur’an ialah sistem individual, dimana setelah pewaris wafat, harta peninggalannya dapat diadakan pembagian kepada para waris pria dan wanita sesuai dengan haknya masing-masing yang telah ditentukan di dalam Al-Qur’an dan Hadits.[7]
Kewarisan Islam mempunyai kesamaan dengan kewarisan menurut KUHPerdata yakni kewarisan baru terjadi apabila pewaris wafat sebagaimana peribahasa ‘hak waris timbul karena kematian’.[8] Jadi tanpa ada pewaris yang wafat, maka hak dan kewajiban tidak beralih kepada ahli waris. Tetapi sistem kewarisan Islam tidak mengenal sifat paksaan untuk melaksanakan pembagian harta warisan (dalam waktu tertentu) atau membiarkan harta warisan dalam keadaan tidak terbagi-bagi, oleh karena bagi umat Islam di dalam berbagai masalah hendaknya dilakukan dengan musyawarah. Dengan demikian, jika musyawarah kerabat para waris sepakat belum mengadakan pembagian warisan karena alasan yang wajar itu diperbolehkan akan tetapi ada hal perlu di ingat bahwa para ahli waris mempunyai hak masing-masing atas warisan tersebut.
Di dalam pengertian surat An-Nisa ayat 7 yang terutama sebagai pewaris adalah ibu-bapak dan keluarga dekatnya. Yang dimaksud dengan keluarga dekat adalah seperti kakek, nenek, saudara perempuan dan saudara laki-laki, anak perempuan dan laki-laki, cucu perempuan dan laki-laki, sebagaimana telah ditentukan dalam Al-Qur’an. Dalam Islam tidak dibedakan tingkat kedudukan para pewaris, apakah ia dari golongan bermartabat tinggi atau rendah karena di hadapan Allah semua manusia sama saja kecuali mereka yang bertaqwa. Lalu di dalam Islam tidak ada pewaris angkat karena meskipun ada ayah angkat atau ibu angkat, tidak ada waris angkat. Begitu juga tidak ada pewaris tidak sah karena perkawinan yang tidak sah atau hidup bersama tanpa pernikahan.[9]
Harta warisan dalam Islam adalah semua harta yang ditinggalkan pewaris karena wafatnya, yang telah bersih dari kewajiban-kewajiban keagamaan dan keduniawian yang dapat dibagi-bagikan kepada para waris laki-laki atau perempuansebagaimana telah ditentukan berdasarkan Al-Qur’an, hadits dan kesepakatan para ulama’.
    
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu:
1.        Sebagai ahli waris menurut Undang-undang.
2.        Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).
Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut Undang-undang atau “ab intestato” dan cara yang kedua dinamakan mewarisi secara “testamentair”.
Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang saja (Subekti, 1993: 95).
Bila orang yang meninggal dunia tidak membuat testamen, maka dalam Undang-undang Hukum Perdata ditetapkan pembagian warisan sebagai berikut:
a.       Yang pertama berhak mendapat warisan yaitu suami atau isteri dan anak-anak, masing – masing berhak mendapat bagian yang sama jumlahnya (pasal 852 BW).
b.      Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di dtas, maka yang kemudian berhak mendapat warisan adalah orang tua dan saudara dari orang tua yang meninggal dunia, dengan ketentuan bahwa orang tua masing-masing sekurang-kurangnya mendapat seperempat dari warisan (pasal 854 BW).
c.       Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka warisan dibagi dua, separuh untuk keluarga pihak ibu dan separuh lagi untuk pihak keluarga ayah dari yang meninggal dunia, keluarga yang paling dekat berhak mendapat warisan. Jika anak-anak atau saudara-saudara dari pewaris meninggal dunia sebelum pewaris, maka tempat mereka diganti oleh keturunan yang sah (pasal 853 BW).
Di dalam KUH Perdata (BW) dikenal pula harta peninggalan yang tidak terurus yaitu jika seorang meninggal dunia lalu mempunyai harta, tetapi tidak ada ahli warisnya, maka harta warisan itu dianggap sebagai tidak terurus. Dalam hal yang demikian itu maka Balai Harta peninggalan (Wesskamer) dengan tidak usah menuggu perintah dari Pengadilan wajib mengurus harta itu namun harus memberitahukan kepada pihak Pengadilan. Dalam hal ada perselisihan apakah suatu harta warisan dapat dianggap sebagai tidak terurus atau tidak. Hal ini akan diputuskan oleh Pengadilan, Weeskamer itu diwajibkan membuat catatan tentang keadaan harta tersebut dan jika dianggap perlu didahului dengan penyegelan barang-barang, dan selanjutnya membereskan segala sangkutan sipewaris berupa hutang-hutang dan lain-lain. Wesskamer harus membuat pertanggungjawaban, dan juga diwajibkan memanggil para ahli waris yang mungkin ada dengan panggilan-panggilan umum, seperti melalui RRI, surat-surat kabar dan lain-lain cara yang dianggapa tepat. Jika setelah lewat tiga tahun belum juga ada seorang ahli waris yang tampil atau melaporkan diri, maka weeskamer akan melakukan pertanggungjawaban tentang pengurusan harta peninggalan itu kepada negara, dan selanjutnya harta tersebut akan menjadi milik negara.
Menurut ketentuan pasal 838 KUH Perdata, yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris dan karenanya tidak berhak mewaris ialah:
a.       Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh pewaris.
b.      Mereka yang dengan putusan hakim Pengadilan dipersalahkan karena dengan fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.
c.       Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut surat wasiatnya.
d.      Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat pewaris.
   
Sistem hukum kewarisan menurut KUH Perdata tidak membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan, antara suami dan isteri, mereka berhak semua mewaris, dan bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak perempuan, bagian seorang isteri atau suami sama dengan bagian anak.
Apabila dihubungkan dengan sistem keturunan, maka KUH Perdata menganut system keturunan Bilateral, dimana setiap orang itu menghubungkan dirinya dengan keturunan ayah mapun ibunya, artinya ahli waris berhak mewaris dari ayah jika ayah meninggal  dan berhak mewaris dari ibu jika ibu meninggal, berarti ini ada persamaan dengan hukum Islam.
Persamaanya apabila dihubungkan antara sitem hukum waris menurut Islam dengan sistem kewarisan menurut KUH Perdata, baik menurut KUH Perdata maupun menurut hukum kewarisan Islam sama-sama menganut  system kewarisan individual, artinya sejak terbukanya waris (meninggalnya pewaris) harta warisan dapat dibagi-bagi pemilikannya antara ahli waris. Tiap ahli waris berhak menuntut bagian warisan yang menjadi haknya. Jadi sistem kewarisan yang dianut oleh KUH Perdata adalah sistem kewarisan individul bilateral (Subekti, 1953: 69), sedangkan perbedaannya adalah terletak pada saat pewaris meninggal dunia,  maka harta tersebut harus dikurangi dulu pengluaran-pengluaran antara lain apakah harta tersebut sudah dikeluarkan zakatnya, kemudian dikurangi untuk membayar hutang atau merawat jenazahnya dulu, setelah bersih, baru dibagi kepada ahli waris, sedangkan menurut KUH Perdata tidak mengenal hal tersebut, perbedaan selanjutnya adalah terletak pada besar dan kecilnya bagian yang diterima para ahli waris masing-masing, yang  menurut ketentuan KUH Perdata semua bagian ahli waris adalah sama, tidak membedakan apakah anak, atau saudara, atau ibu dan lain-lain, semua sama rata, sedangkan menurut hukum Islam dibedakan bagian antara ahli waris yang satu dengan yang ahli waris yang lain.
Persamaan  tersebut disebabkan karena pola dan kebutuhan masyarakat yang universal itu adalah sama, sedangkan perbedaan-perbedaan itu disebabkan karena cara berfikir orang-orang barat adalah abstrak, analistis dan sistematis, dan pandangan hidup mereka adalah individulaistis dan materialistis, sedangkan  hukum Islam dilatar belakangi oleh cara berfikir yang logis, riil dan konkrit, dan pandangan hidup dalam hukum Islam didasarkan pada sistem kekeluargaan dan bersifat rohani (magis).

BAB III

PENUTUP

Hukum adat waris merupakan hukum yang bertalian dengan proses aturan-aturan penurunan dan peralihan kekayaan materiil dan immateriil dari turunan ke turunan. Merumuskan hukum  adat warissebagai hukum yang menurut peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengalihkan barang-barang harta benda dan barang-barang tidak berwujud dari suatu angkatan manusia kepada turunannya.
Hukum adat waris mempunyai sistem kolektif, mayorat, dan individual. Hukum  adat warismengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Harta waris adalah harta yang ditinggalkan atau yang diberikan oleh pewaris kepada warisnya, baik yang dapat dibagi maupun yang tidak dapat dibagi. Harta waris dapat dibagi dalam empat bagian, yaitu : harta asal, harta pemberian, harta pencaharian, hak dan kewajiban yang diwariskan.
Di dalam sistem patrinial kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol, contohnya pada masyarakat Batak dan Bali. Yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki. Dalam sistem matrilinial semua anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri baik untuk harta pusaka tinggi maupun untuk harta pusaka rendah. Jika yang meninggal itu adalah seorang laki-laki maka anak-anaknya dan jandanya tidaklah ahli waris mengenai harta pusaka tinggi, tetapi ahli warisnya adalah seluruh kemenakannya dari pihak laki-laki.
Sistem kekeluargaan parental atau bilateral ini memiliki ciri khas tersendiri pula, yaitu bahwa yang merupakan ahli waris adalah anak laki-laki maupun anak perempuan. Mereka mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan orangtuanya sehingga dalam proses pengalihan sejumlah harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris, anak laki-laki dan anak perempuan mempunyai hak untuk diperlakukan sama.
Dalam penulisan makalah ini kami menyadari bahwasannya dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan. Untuk itu kami mengaharap saran dan kritik dari pembaca mengenai makalah yang kami susun ini agar menjadikan kami lebih baik di masa mendatang. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kami khususnya dan pembaca padaa umumnya. Kami mohon maaf apabila terdapat salah tulisan atau salah kata dalam makalah ini.





DAFTAR PUSAKA


Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia menurut Perundangan Hukum Adat, Hukum Agama Hindhu-Islam, hal. 21
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum agama Hindhu-Islam, hal. 32
Hilman Hadikusuma. Hukum Perkawinan Adat Cet 5. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 1995
Hilman Hadikusuma. Hukum Waris Adat. Bandung: Alumni, 1983
https://www.academia.edu/10139089/Makalah_Hukum_Waris_Menurut_Adat
Ibid, hal. 11
Ibid, hal. 21
Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993.
Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan R. Surbakti Presponoto, Let.N. Voricin Vahveve, Bandung, 1990.
Wignyodipuro, Suroyo. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: CV Haji Masagung. 1990



[1] Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993.
[2] Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan R. Surbakti Presponoto, Let. N.
[3] Voricin Vahveve, Bandung, 1990.
[4] Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung: Alumni, 1983, hlm 8.
[5]  Ibid., hlm. 8.
[6] Ibid., hlm 23.
[7] Ibid, hal. 11
[8] Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia menurut Perundangan Hukum Adat, Hukum
[9] Agama Hindhu-Islam, hal. 21

No comments:

Post a Comment