BAB I
PENDAHULUAN
Hukum Islam
mengacu pada pandangan hukum yang mengatakan bahwa hukum Islam itu diciptakan
karena ia mempunyai maksud dan tujuan. Tujuan dari adanya hukum Islam adalah
terciptanya kedamaian di dunia dan kebahagian di akhirat.Jadi hukum Islam bukan
bertujuan meraih kebahagaiaan yang fana’ dan pendek di dunia semata, tetapi
juga mengarahkan kepada kebahagiaan yang kekal di akhirat kelak.Inilah yang
membedakannya dengan hukum manusia yang menghendaki kedamaian di
dunia saja.
Dengan adanya
Filsafat Hukum Islam, dapat dibuktikan bahwa hukum Islam mampu memberikan
jawaban terhadap tantangan zaman dan merupakan hukum terbaik sepanjang zaman
bagi semesta alam. Syariat Islam sebagai sumber hukum Islam merupakan sebuah
kaidah tatanan kehidupan bagi umat muslim pada khususnya dan umat manusia pada
umumnya yang diberikan oleh Allah SWT. Karena kedudukannya sebagai kaidah
langsung dari Allah tersebut, dalam pelaksanaannya, manusia baik disadari
maupun memerlukan penafsiran akan kaidah-kaidah tersebut. Hal ini tidak lain
karena syariat Islam sebagai “hukum Tuhan” akan sulit dicerna oleh manusia yang
kemampuannya terbatas, sehingga untuk dapat mengaplikasikannya maka diperlukan
penafsiran-penafsiran yang tepat dan sesuai.
Ijtihad
merupakan kunci untuk menyelesaikan problem yang dihadapi oleh umat Islam
sekarang dan yang akan datang, hal inilah yang membuat Islam dinamis, sesuai
dengan tempat dan zaman. Ijtihad muncul disebabkan karena adanya
masalah-masalah yang kontemporer dimana nash-nash atau dalil tidak
membicarakannya secara khusus.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa Pengertian, Objek Kajian Dan
Ruang Lingkup Filsafat Hukum Islam?
2.
Apa Pengertian Syariah, Fiqih Dan
Hukum Islam?
3. Bagaimana Pertumbuhan Dan Perkembangan Filsafat Hukum Islam?
4. Apa Saja Sifat Dan Karakteristik Hukum Islam?
5. Apa Prinsip-Prinsip Hukum Islam?
6. Bagaimana Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam?
7. Bagaimana Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam?
8. Bagaimana Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Islam?
9. Apa Tujuan Hukum Dalam Islam?
10. Bagaimana Hubungan Maqosyid Syariah Dengan Metode Ijtihad?
11. Bagaimana Muqhoshid Dalam Bisnis Dan Ekonomi Islam?
12. Bagaimana Ijtihad Dalam Ekonomi Islam Dan Contohnya?
13. Bagaimana Fatwa-Fatwa Dalam Ekonomi Islam?
14.
Bagaiamana Fatwa-Fatwa Syariah Nasional Dalam Bidang Ekonomi Islam Dan Contohnya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian, Objek Kajian
dan Ruang Lingkup Filsafat Hukum Islam
1.
Pengertian
Filsafat Hukum Islam
Untuk membantu
mempermudah kita dalam menkaji filsafat hukum Islam, maka kita harus mengetahu secara
definitif tiga komponen yang menjadi kata dasar dari filsafat hukum Islam. Tiga komponen
tersebut adalah Filsafat, Hukum, dan Islam.
Filsafat atau falsafah berasal dari perkataan Yunani philosophia yang
berarti cinta kebijaksanaan (philien = cinta, dan sophia =
hikmah, kebijaksanaan). Ada yang mengatakan bahwa falsafah itu berasal dari philos (keinginan)
dan sophia (hikmah). Dan ada pula yang mengatakan
berasal dari philos (mengutamakan, lebih suka) dan sophia (hikmah,
kebijaksanaan). Jadi kata filsafat berarti cinta, ingin, mengutamakan dan lebih
suka kepada hikmah atau kebijaksanaan. Orangnya disebut philosophos yang
dalam bahasa Arab disebut failasuf.
Hukum berasal dari bahasa Arab (الحكم)
yang secara etimologi berarti “memustuskan, menetapkan dan menyelesaikan”. Kata
hukum dan kata lain yang berakar dari kata itu terdapat dalam 88 tempat di
dalam Al-Qur’an; tersebar dalam beberapa surat yang mengandung arti tersebut.
Selanjutnya kata hukum juga sudah menjadi kata baku dalam bahasa Indonesia.
Muslehuddin mendefinisikan hukum sebagai “kumpulan peraturan, baik
berupa hasil pengundangan formal maupun dari kebiasaan, yang mana sebuah Negara
atau masyarakat mengaku terikat dengan sebagai anggota dan subjeknya”.
Islam (al-Islām, الإسلام) memiliki arti "penyerahan", atau penyerahan diri
sepenuhnya. Sebagai ajaran, Islam adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu
Allah. Pengikut ajaran Islam dikenal dengan sebutan Muslim yang berarti
"seorang yang tunduk kepada Tuhan", atau lebih lengkapnya adalah
Muslimin bagi laki-laki dan Muslimah bagi perempuan.[1]
2.
Objek kajian
dan Ruang Lingkup Filsafat
Hukum Islam
Tujuan dari adanya hukum Islam adalah terciptanya kedamaian di
dunia dan kebahagiaan di akhirat. Tujuan dari
hukum Islam tersebut merupakan manifestasi dari sifa rahman dan rahim (maha
pengasih dan maha penyayang) allah kepada semua makhluk-nya. Rahmatan
lil-alamin adalah inti syariah atau hukum Islam. Dengan adanya syariah tersebut
dapat ditegakkan perdamaian di muka bumi dengan
pengaturan masyarakat yang memberikan keadilan kepada semua orang.[2]
Para ahli ushul fiqh,
sebagaimana ahli filsafat hukum Islam, membagi filsafat nhukum Islam kepada dua
rumusan, yaitu falsafat tasyri’ dan falsafat syari’ah.[3]
a. Falsafat
tasyri’: filsafat yang memancarkan hukum Islam atau menguatkannya dan
memeliharanya. Filsafat ini bertugas membicarakan hakikat dan tujuan penetapan
hukum Islam. Filsafat tasyri’ terbagi kepada:
1) Da’aim
al-ahkam (dasar-dasar hukum Islam)
2)
Mabadi al-ahkam (prinsip-prinsip
hukum Islam)
3)
Ushul al-ahkam (pokok-pokok hukum Islam)
atau mashadir al-ahkam (sumber-sumber hukum Islam)
4)
Maqashid al-ahkam (tujuan-tujuan
hukum Islam)
5)
Qawaid al-ahkam (kaidah-kaidah
hukum Islam)
b. Falsafat
syari’ah: filsafat yang diungkapkan dari materi-materi hukum Islam seperti
ibadah, muamalah, jinayah, ‘uqubah, dan sebagainya. Filsafat ini bertugas untuk
membicarakan hakikat dan rahasia hukum Islam. Termasuk dalam pembagian falsafat
syari’ah adalah:
1) Asrar al-ahkam
(rahasia-rahasia hukum Islam)
2)
Khasha’is al-ahkam (cirri-ciri khas
hukum Islam)
3)
Mahasin al-ahkam
(keutamaan-keutamaan hukum Islam)
4)
Thawabi’ al-ahkam (karakteristik
hukum Islam)
Menurut Juhaya S. Praja dalam
bukunya mengatakan bahwa objek filsafat hukum Islam meliputi objek teoritis dan
objek praktis. Objek teoritis filsafat hukum Islam adalah objek kajian yang
merupakan teori-teori hukum Islam yang meliputi:[4]
1) Prinsip-prinsip
hukum Islam
2)
Dasar-dasar dan sumber-sumber hukum
Islam
3)
Tujuan hukum Islam
4)
Asas-asas hukum Islam, dan
5)
Kaidah-kaidah hukum Islam
Objek filsafat hukum Islam teoritis ini seringkali disebut objek
falsafat al-tasyri’. Sementara objek praktis filsafat hukum Islam atau objek
falsafat al-syari’ah atau asra’r al-syari’ah meliputi jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan, seperti:
1) Mengapa
manusia melakukan mu’amalah; dan mengapa manusia harus diatur oleh hukum Islam?
2)
Mengapa manusia harus melakukan
ibadah, seperti shalat?
3)
Apa rahasia atau hikmah yang
terkandung dalam pelaksanaan puasa, haji, dan sebagainya.
B.
Pengertian Syari’ah, Fikih dan Hukum Islam
Secara etimologis syariah berarti “jalan yang harus diikuti.”
Menurut para ahli, syariah secara terminologi adalah “segala titah Allah yang
berhubungan dengan tingkah laku manusia diluar yang mengenai
akhlak”. Dengan demikian syariah itu adalah nama bagi hukum-hukum yang
bersifat amaliah. Karena memang syariah itu adalah hukum amaliah yang berbeda
menurut perbedaan Rasul yang membawanya dan setiap yang dating kemudian
mengoreksi yang datang lebih
dahulu. Sedangkan dasar agama yaitu tauhid/aqidah tidak berbeda antara Rasul
yang satu dengan yang lain. Sebagian ulama ada yang mengartikan syariah itu
dengan: “ Apa-apa yang bersangkutan dengan peradilan serta pengajuan perkara
kepada mahkamah dan tidak mencakup kepada hal yang halal dan haram.” Lebih
dalam lagi Syaltut mengartikan syariah dengan “hukum-hukum dan aturan-aturan
yang ditetapkan Allah bagi hamba-hambaNya untuk diikuti dalam hubungannya
dengan Allah dan hubungannya dengan manusia. Dr.Farouk Abu Zeid menjelaskan
bahwa syariah itu adalah apa-apa yang ditetapkan Allah melalui lisan Nabi-Nya.
Allah adalah pembuat huku yang menyangkut kehidupan agama dan kehidupan dunia.[5]
Fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam dan
membutuhkan pengerahan potensi akal.[6] Sedangkan
secara terminologi fiqh merupakan bagian dari syari’ah Islamiyah, yaitu
pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan
perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat (mukallaf) dan diambil
dari dalil yang terinci. Sedangkan menurut Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin
mengatakan fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’I yang bersifat amaliah
yang digali dan ditemukan dengan dalil-dalil yang tafsili.[7]
Hukum Islam merupakan rangkaian kata “hukum” dan “Islam”. Secara
terpisah hukum dapat diartikan sebagai seperangkat perturan tentang
tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat, disusun orang-orang
yang diberi wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan mengikat seluruh
anggotanya. Bila kata “hukum” di gabungkan dengan kata “Islam”, maka hukum
Islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunah rasul
tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk
semua yang beragama Islam.[8]
Bila artian sederhana tentang hukum Islam itu dihubungkan dengan
pengertian fiqh, maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud hukum Islam itu
adalah yang bernama fiqh dalam literatur Islam yang berbahasa arab.
C. Pertumbuhan dan
Perkembangan Filsafat Hukum Islam
Filsafat hukum
Islam telah lahir sejak masa Rasulullah saw. Hal ini disebabkan filsafat hukum
islam itu sendiri diidentikkan dengan ijtihad seseorang dalam menetapkan sebuah
hukum yang dilandaskan pada Al-Qur’an dan Hadis. Kemunculan filsafat ini
diawali ketika Rasulullah mengizinkan Mu’az bin Jabal untuk berijtihad sesuai
dengan sabdanya:
“Diriwayatkan dari Mu’az bin Jabal, bahwa Rasulullah saw. ketika
berkeinginan untuk mengutus Mu’az ke Yaman, Beliau bertanya: ”Apabila
dihadapkan padamu suatu kasus hukum, bagaimanakah cara anda memutuskannya?”
Mu’az menjawab: “Saya akan memutuskannya berdasarkan Al-Qur’an”. Nabi bertanya
lagi: “Jika Kasus tersebut tidak anda temukan di dalam Al-Qur’an?” Mu’az
menjawab : “Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah” Nabi
bertanya lagi: “Jika kasus tersebut tidak terdapat di dalam Sunnah dan
Al-Qur’an?” Mu’az menjawab: “Aku akan berijtihad dengan seksama”. Kemudian
Rasulullah menepuk-nepuk dada Mu’az dengan tangannya seraya berkata: “Segala
puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah
terhadap jalan yang diridhai-Nya”. (HR. Abu Daud).[9]
Setelah Nabi saw wafat,
pemikiran filsafat (ijtihad) ini dilanjutkan oleh para sahabat terutama oleh
Umar bin Khattab yaitu dengan menghapuskan hukum potong tangan bagi pencuri,
zakat bagi muallaf, dan lain-lain yang disesuaikan dengan keadaan umat pada masa
itu.
Perkembangan Filsafat Hukum Islam
Kegiatan penelitian terhadap hukum Islam telah banyak dilakukan
oleh para ulama yang dikenal dengan sebutan ushul fiqh. Ulama generasi
awal yang sudah melakukan kegiatan ijtihad ini dikenal dengan sebutan imam empat
mazhab, yaitu Malik ibn Anas, Abu Hanifah, Asy-Syafi’iy dan Ahmad bin Hambal.
Kegiatan filsafat hukum Islam ini terus berlanjut oleh generasi
berikutnya. Al-Juwaini yang dikenal sebagai ulama ushul fiqh generasi awal
menekankan pentingnya memahami maqashid al-syariah (tujuan hukum)
dalam menetapkan hukum. Ia secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak
dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam sebelum ia dapat memahami dengan
benar tujuan Allah menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangannya. Kemudian
ia mengaitkan tujuan hukum tersebut dalam kaitannya pada pembahasan ‘illah
dalam masalah qiyas. Menurut pendapatnya, dalam kaitan dengan ‘illah, ashl
dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu daruriyat, hajiyyat, dan makramat.
Kerangka berpikir al-Juwaini diatas dikembangkan oleh muridnya
al-Ghazali. Dalam kitabnya Syifa’ al-Ghalil, Ghazali menjelaskan maksud
syariat dalam kaitannya dengan pembahasan al-munasabat al-mashlahiyat dalam
qiyas. Sementara dalam kitabnya yang lain ia membicarakannya dalam pembahasan
istishlah. Menurut al-Ghazali, mashlahat adalah memelihara maksud al-Syar’i
(pembuat hukum). Kemudian ia memerinci mashlahat itu menjadi lima, yaitu:
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Pada era sekarang,
kegiatan berfilsafat (ijtihad) dalam hukum Islam ini telah dinaungi dalam
sebuah organisasi keislaman yang bertugas mencari ketetapan hukum terhadap
masalah-masalah baru yang terdapat di dalam masyarakatnya. Pada
masyarakat Indonesia, proses ijtihad ini dilakukan oleh organisisai Islam yang
disebut dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas memberikan
jawaban-jawaban atas permasalahan baru yang muncul di kalangan umat Islam di
Indonesia. Dalam menetapkan hukum, MUI menggunakan suatu istilah yang disebut
dengan fatwa, yaitu keputusan atau ketetapan hukum baru terhadap
permasalahan yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an, hadis, maupun kitab-kitab
hukum Islam terdahulu agar terpeliharanya keamanan dan kesejahteraan umat Islam
di Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun
para ulama,zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan
gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan
cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395
H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari
pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari
berbagai penjuru tanah air. Antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama
yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan
unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat
Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al
Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta
13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.
Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah
dirumuskan limafungsi dan peran utama MUI yaitu:
-
Sebagai pewaris tugas-tugas para
Nabi (Warasatul Anbiya)
-
Sebagai pemberi fatwa (mufti)
-
Sebagai pembimbing dan pelayan umat
(Riwayat wa khadim al ummah)
-
Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
-
Sebagai penegak amar ma’ruf dan
nahi munkar
Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali
kongres atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua
Umum, dimulai dengan Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri,
Prof. KH. Ali Yafie dan kini KH. M. Sahal Maffudh. Ketua Umum MUI yang pertama,
kedua dan ketiga telah meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan
dua yang terakhir masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.
Dalam menegakkan hukum Islam di Indonesia, MUI menggunakan mufti
untuk memberikan fatwa. Adapun contoh fatwa yang diberikan MUI sebagai proses
ijtihad dalam hukum Islam yaitu: fatwa MUI tentang bunga yang diberikan oleh
bank kepada nasabahnya. Hal ini disebabkan karena pada zaman Nabi saw lembaga
pengatur keuangan sdengan sistem ekonomi seperti bank belum ada. Berdasarkan
Al-Qur’an, hadis, ijma’ dan qiyas, empat landasan dasar dalam pengambilan hukum
Islam di Indonesia, MUI memutuskan bahwasanya Praktek pembungaan uang saat ini
telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini
Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu
bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya
adalah haram, baik di lakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadian,
Koperasi, Dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
Proses pengambilan hukum yang dilakukan oleh MUI pada masalah
diatas adalah proses dari berfilsafat dalam hukum Islam karena kasus tersebut
belum terdapat pada masa Nabi saw.[10]
D.
Sifat dan Karakteristik Hukum Islam
1.
Pertama, sempurna. Artinya
syari’at itu akan selalu sesuai dengan segala situasi dan kondisi manusia,
dimana dan kapanpun, baik sendiri maupun berkelompok. Hal ini didasarkan pada
bahwa syariat Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan garis besar
permasalahan, sehingga hukum-hukumnya bersifat tetap meskipun zaman dan tempat
selalu berubah. Penetapan hukum yang bersifat global oleh al-Qur’an tersebut
dimaksudkan untuk memberikan kebabasan kepada umat manusia untuk melakukan
ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi ruang dan waktu.[11]
2.
Kedua, Universal. Syari’at
Islam meliputi seluruh alam tanpa ada batas wilayah, suku, ras, bangsa, dan
bahasa. Universal ini pula tergambar dari sifat hukum Islam yang tidak hanya
terpaku pada satu masa saja, tetapi untuk semua zaman. Hukum Islam menghimpun
segala sudut dan segi yang berbeda-beda di dalam suatu kesatuan, dan ia akan
senantiasa cocok dengan masyarakat yang menghendaki tradisi lama atau pun
modern, seperti halnya ia dapat melayani
para ahli aql dan ahl naql, ahl
al-ra’y atau ahl al-hadits.[12]
3.
Ketiga, elastis, dinamis, dan
fleksibel, dan tidak kaku. Karena hukum Islam merupakan syariat yang universal
dan sempurna, maka tak dapat dipungkiri pula kesempurnaannya ini membuatnya
bersifat elastis, fleksibel dan dinamis dalam perkembangan zaman, karena jika
hukum Islam menjadi sesuatu yang kaku jutsru akan menjadikannya tak relevan
pada masa atau ruang tertentu. Dengan ini pula dapat dilihat bahwa hukum Islam
mempunyai daya gerak dan hidup yang dapat membentuk diri sesuai dengan
perkembangan dan kemajuan, melalui suatu proses yang disebut ijtihad. Dalam
ijitihad yang menjadi
hak bagi setiap muslim untuk melakukannya merupakan
prinsip gerak dalam Islam yang akan mengarahkan Islam kepada suatu perkembangan
dan bersifat aktif, produktif serta konstruktif.[13]
4.
Keempat, sistematis. Artinya antara
satu doktrin dengan doktrin yang lain bertautan, bertalian dan berhubungan satu
sama lain secara logis. Kelogisan ini terlihat dari beberapa ayat dalam
al-Qur’an yang selalu menghubungkan antara satu institusi dengan institusi yang
lain. Selain itu, syariat Islam yang mendorong umatnya untuk beribadah di satu
sisi, tetapi juga tidak melarang umatnya untuk mengurusi kehidupan duniawi.[14]
5.
Kelima,
bersifat Ta’abuddi dan ta’aqulli. Warna Syari’at Islam dapat
dibedakan dengan dua warna: yaitu ta’abuddi bentuk ibadah yang fungsi utamanya
untuk mendekatkan manusia kepada Allah (وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ). Bentuk ibadah
seperti ini sudah given, taken from granted, makna yang terkandung
didalamnya tidak dapat dinalar, irrasional, seperti jumlah rakaat shalat.
Sedangkan yang ta’aqulli adalah bersifat duniawi yang maknanya dapat
difahami oleh nalar manusia, rasional.
6.
Keenam, menegakkan Maslahat. Karena
seluruh hukum itu harus bertumpu pada maslahat dan dasar dari semua kaidah yang
dikembangkan dari seluruh hukum Islam harus bersimpul pada maslahat.[15]
7.
Ketujuh, menegakkan Keadilan.
Keadilan dalam arti perimbangan atau keadaan seimbang (mauzun) antonimnya
ketidakadilan, kerancuan (at-tanasub), persamaan (musawah), tidak
diskriminatif, egaliter, penunaian hak sesuai dengan kewajiban yang diemban
(keadilan distributif), serta keadilan Allah yaitu kemurahan-Nya dalam
melimpahkan rahmat-Nya kepada manusia sesuai dengan tingkat kesediaan yang
dimilikinya.
8.
Kedelapan, tidak Menyulitkan
(‘adamul kharaj). Yang disebut dengan tidak menyulitkan adalah hukum Islam itu
tidak sempit, sesak tidak memaksa dan tidak memberatkan. Di antara cara
meniadakan kesulitan itu ada beberapa bentuk:
-
Pengguguran
kewajiban, yaitu dalam keadaan tertentu kewajiban ditiadakan seperti gugurnya
kewajiban shalat jum’at dan gugurnya kewajiban puasa dibulan Ramadhan bagi
orang yang sedang dalam perjalanan atau sakit.
-
Pengurangan
kadar yang telah ditentukan, seperti qashar shalat dari yang
jumlahnya empat rakaat menjadi dua rakaat yaitu shalat Dzuhur, Ashar dan Isya’.
-
Penukaran,
yaitu penukaran satu kewajiban dengan yang lain, seperti wudhu atau mandi besar
ditukar dengan tayammum., atau menukar kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan
dengan hari lain bagi orang yang mempunyai halangan puasa Ramadhan.
-
Mendahulukan,
yaitu mengerjakan suatu kewajiban sebelum waktunya hadir seperti shalat jama
takdim, shalat Ashar yang dilaksanakan pada waktu Dzuhur, melaksanakan shalat
Isya pada waktu shalat Magrib.
-
Menangguhkan atau mentakhirkan
kewajiban yaitu mengerjakan suatu kewajiban setelah waktunya tidak ada
seperti shalat jama takhir. mengerjakan shalat Dzuhur diwaktu shalat Ashar atau
mengerjakan shalat Magrib di waktu shalat Isya.
-
Mengubah
dengan bentuk lain, seperti merubah perbuatan shalat dengan shalat khauf karena
alasan keamanan. atau mengganti kewajiban puasa bagi orang yang sudah tidak
kuat lagi puasa dengan membayar fidyah.
-
Menyedikitkan
beban (taqlil at-takalif), yaitu dengan menyedikitkan tuntutan Allah untuk
berbuat, mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
9.
Kesembilan, berangsur-angsur
atau tadrij. Hukum Islam dibentuk secara gradual tidak sekaligus. Diantara
hukum Islam yang diturunkan secara gradual adalah shalat, pertama hanya dua
waktu (Hud : 114)[7] kemudian tiga waktu (al-Isra: 78),[8] dan akhirnya lima waktu.
E. Prinsip-Prinsip Hukum Islam
Dalam hukum Islam memuat
prinsip-prinsip sebagai titik tolak pelaksanaan ketetapan-ketetapan Allah yang
berkaitan dengan mukallaf, baik yang berbentuk perintah, larangan maupun
pilihan-pilihan. Diantara prinsip-prinsip hukum Islam menurut Juhaya S. Praja
sebagai berikut :
1.
Prinsip Tauhid
Tauhid adalah prinsip
umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada dibawah satu
ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat
La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini
ditarik dari firman Allah SWT QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip
tauhid ini, maka pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Dalam arti
perhambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai maniprestasi
kesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian tidak boleh terjadi setiap mentuhankan
sesama manusia dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum Islam adalah
ibadah dan penyerahan diri manusia kepada keseluruhan kehendak-Nya.
Berdasarkan prinsip tauhid ini melahirkan azas hukum Ibadah, yaitu
Azas kemudahan atau meniadakan kesulitan. Dari azas hukum tersebut terumuskan
kaidah-kaidah hukum ibadah sebagai berikut: Al-ashlu fii al-ibadati tuqifu
wal ittiba’: yaitu pada pokoknya ibadah itu tidak wajib dilaksanakan, dan
pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti apa saja yang diperintahkan Allah dan
Rasul-Nya.
2.
Prinsip Amar Makruf Nahi
Mungkar
Hukum Islam digerakkan
untuk merekayasa umat manusia untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang
dikehendaki dan ridho Allah dan menjauhi hal yang dibenci Allah.
3.
Prinsip Keadilan
Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim al-mizan atau
keseimbangan. Kata keadilan dalam al-Qur’an kadang samakan dengan
al-qist. Pembahasan keadilan pada umumnya berkonotasi dalam
penetapan hukum atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi, keadilan dalam hukum
Islam meliputi berbagai aspek. Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip
moderasi, menurut Wahbah Az-Zuhaili bahwa perintah Allah ditujukan bukan karena
esensinya, sebab Allah tidak mendapat keuntungan dari ketaatan dan tidak pula
mendapatkan kemadaratan dari perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut
hanyalah sebagai jalan untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan yang dapat
membawa kebaikan bagi individu dan masyarakat.
4.
Prinsip Kebebasan
Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama atau
hukum Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan,
demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip hukum Islam adalah
kebebasan dalam arti luas yang mencakup berbagai macamnya, baik kebebasan individu
maupun kebebasan komunal. Keberagama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip
tidak ada paksaan dalam beragama.
5.
Prinsip Persamaan
Prinsip persamaan yang paling nyata terdapat dalam Konstitusi
Madinah (al-Shahifah), yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan
darah manusia atas manusia. Prinsip persamaan ini merupakan bagian penting
dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam dalam menggerakkan dan mengontrol
sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal stratifikasi sosial seperti komunis.
6.
Prinsip Saling Tolong Menolong
Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia
yang diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan
ketakwaan.
7.
Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang
menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan umatnya , tegasnya toleransi
hanya dapat diterima apabila tidak merugikan agama Islam.[16]
F. Al-Qur’an Sebagai Sumber
Hukum Islam
Dari segi bahasa (etimologi) Al-Qur'an berarti
“bacaan” atau “yang dibaca”. Sedangkan menurut istilah Al-quran adalah firman
(wahyu) Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara
Malaikat Jibril yang merupakan mukjizat, dengan menggunakan bahasa arab, berisi
tentang petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia, dan bagi orang yang membacanya
merupakan ibadah. Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur
kepada Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan secara mutawatir Yang diawali
dari surah Al-fatihah dan diakhiri dengan surat An-nas.
Kedudukan Al-Qur’an dalam islam adalah sebagai sumber hukum umat islam. dari segala sumber hukum yang ada dibumi. sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 59:
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’ : 59)
Dari ayat tersebut jelas bahwa kedudukan Al-Quran adalah
sebagai sumber hukum islam yang paling utama yang dapat dijadikan pedoman hidup
dan petunjuk bagi umat manusia. Yang tidak ada keraguan sedikitpun padanya. Dan
apabila orang tersebut berpegang teguh kepada Al-Qur’an, maka tidak akan
tersesat selama-lamanya.[17]
Hukum-hukum yang dicakup oleh Nash al-Qur’an, garis
besarnya terbagi kepada tiga bagian, yakni:
1.
Hukum-hukum I’tiqodi, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan akidah dan
kepercayaan
2. Hukum-hukum Akhlak,
yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan tingkah laku, budi pekerti.
3.
Hukum-hukum Amaliyah, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan
perbuatan-perbuatan para mukalaf, baik mengenai ibadat , mu’amalah madaniyah
dan maliyahnya, ahwalusy syakhshiyah, jinayat dan uqubat, dusturiyah dan
dauliyah, jihad dan lain sebagainya.
Yang pertama menjadi
dasar agama, yang kedua menjadi penyempurna bagian yang pertama,
amaliyah yang kadang-kadang disebut juga syari’at adalah bagian
hukum-hukum yang diperbincangkan dan menjadi objek fiqih. Dan inilah yang
kemudian disebut hukum Islam.[18]
G. Hadits Sebagai Sumber
Hukum Islam
Menurut istilah
Ushul-Fiqh, Sunnah Rasulullah, seperti dikemukakan oleh Muhammda ‘Ajjaj
al-Khatib, berarti “segala perilaku Rasulullah yang berhubungan dengan hukum,
baik berupa ucapan (Sunnah qauliyah), perbuatan (Sunnah fii’liyah),
atau pengakuan (Sunnah taqririyah).
Sunnah (سنة ˈsunnah, plural سنن sunan) adalah kata Arab yang berarti "kebiasaan" atau "biasa
dilakukan" dapat pula diartikan "arus yang lancar dan mudah"
serta pula "jalur aliran langsung" dalam Islam mengacu
kepada sikap, tindakan, ucapan dan cara rasulullah menjalani
hidupnya atau garis-garis perjuangan (tradisi) yang dilaksanakan oleh
Rasulullah.
Sebagian besar ulama
sepakat mengatakan bahwa Sunnah Rasulullah dengan beberapa jenisnya (qauliyah,
fi’liyah, dan taqririyah) merupakan sumber hokum Islam yang kedua dibawah
Al-Qur’an. Ada beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang menunjukkan kehujahan
Sunnah, antara lain sebagai berikut :[19]
1.
Al- Qur’an surah Ali Imran (3) ayat
31 :
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ
فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ
غَفُورٌ رَّحِيمٌ
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”
2.
Al-Qur’an surah Al-ahzab (33) ayat
21:
لَقَدْ كَانَ
لَكُمْ فِي رَسُولِ الَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو الَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ الَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Dapat dikatakan juga fungsi Sunnah terhadap
Al-Qur’an memang kiranya sebagai bayan, dan dalam buku karya
Suyatno yang berjudul “dasar-dasar ilmu fiqh dan ushul fiqh”
dikatakan sebagai berikut :
1.
Bayan ta’kid yakni,
Sunnah menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut didalam Al-Qur’an.
Sunnah hanya mengulang apa yang telah dinyatakan didalam Al-Qur’an
2.
Bayan Tafsir yakni,
Sunnah sebagai penjelas terhadap hukum-hukum dalam Al-Qur’an
3.
Bayan tasyri’ yakni,
Sunnah menetapkan Hukum yang belum ditetapkan didalam Al-Qur’an
Secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap
kemampuan untuk mencari syariat melalui metode tertentu. Ijtihad merupakan
sumber hukum Islam ketiga setelah Al Quran dan Hadis. Ijtihad dilakukan jika
suatu permasalahan sudah dicari dalam Al Quran maupun hadis, tetapi tidak
ditemukan hukumnya.
Namun, hasil ijtihad tetap tidak boleh bertentangan dengan Al Quran
maupun hadis. Orang yang melakukan ijtihad (mujtahid) dengan benar, dia
akan mendapat dua pahala. Adapun jika ijtihadnya slalah, dia tetap mendapatkan
satu pahala.
Ijtihad dilakukan jika ada suatu masalah yang harus diterapkan
hukumnya, tetapi tidak dijumpai dalam Al Quran maupun hadis. Meskipun demikian,
ijtihad tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, tetapi hanya orng-orang yang
memenuhi syarat yang boleh berijtihad.
Orang yang berijtihad harus memiliki syarat sebagai berikut :
-
Memiliki pengetahuan yang luas dan
mendalam;
-
Memiliki pemahamaan mendalam
tentang bahasa Arab, ilmu tafsir, usul
fiqh, dan tarikh (sejarah);
-
Harus mengenal cara
meng-istimbat-kan (perumusan) hukum dan melakukan qiyas;
-
Memiliki akhlaqul qarimah.
Bentuk ijtihad dapat dikelompokkan menjadi tida macam, yaitu
sebagai berikut.
-
Ijma’: adalah kesepakatan
para ulama mujtahid dalam memutuskan suatu perkara atau hukum. Ijama dilakukan
untuk merumuskan suatu hukum yang tidak disebutkan secara khusus dalam kitab Al
Quran dan Sunah.
-
Qiyas : mempersamakan hukum
suatu maslah yang belum ada kedudukan hukumnya dengan maslah lama yang pernah
karena ada alasan yang sama.
-
Maslahah Mursalah: merupakan cara
dalam menetapkan hukum yang berdasarkan atas pertimbangan kegunaan dan
manfaatnya.
Dilihat dari prosesnya, ijtihad dapat dibagai menjadi dua.
Pertama, ijtihad insya’i yang dilakukan oleh seseorang untuk
menyimpulkan hukum mengenai peristiwa baru yang belum pernah diselesaikan oleh
hujtahid sebelumnya.
Kedua, ijtihad tarjihi atau ijtihad
intiqa’i yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk memilih
pendapat para mujtahidin terdahulu mengenai masalah tertentu. Kemudian,
menyelesaikan pendapat mana yang memiliki dalil lebih kuat serta relevan dengan
kondisi saat ini.[20]
I. Tujuan Hukum Dalam Islam
Abu Ishaq al Shatibi merumuskan lima tujuan hukum Islam, yaitu
memelihara :
-
Agama, merupakan tujuan
pertama hukum Islam, karena agama merupakan pedoman hidup manusia.
-
Jiwa, merupakan tujuan kedua hukum
Islam, karena hukum Islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan
mempertahankan kehidupannya.
-
Akal, sangat dipentingkan oleh
hukum Islam, karena dengan mempergunakan akalnya, manusia akan dapat berfikir
tentang Allah, alam semesta, dan dirinya sendiri.
-
Keturunan, agar kemurnian darah
dapat dijaga dan kelanjutan ummat manusia dapat diteruskan.
-
Harta, adalah pemberian Tuhan
kepada manusia, agar manusia dapat mempertahankan hidup dan melangsungkan
kehidupannya.
Kelima tujuan hukum Islam itu disebut al-maqasid al-khamsah atau
al-maqasid al-shari'ah (tujuan-tujuan hukum Islam).
J.
Hubungan Maqosyid Syariah Dengan Metode Ijtihad
Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya bahwa tujuan utama disyariatkannya hukum adalah untuk
memelihara kemaslahatan sekaligus menghindarkan kemafsadatan, baik di dunia
maupun di akhirat. Segala macam kasus hukum, baik yang secara
eksplisit diatur dalam al-Quran dan hadits maupun yang dihasilkan melalui ijtihad,
harus bertitik tolak pada tujuan tersebut.
Menurut al-Syatibi, antara ijtihad dengan maqashid
asy-syari’ah tidak dapat dipisahkan. Ijtihad pada intinya adalah upaya
penggalian hukum syara’ secara optimal. Upaya penggalian hukum syara’ itu
berhasil apabila seorang mujtahid dapat memahami maqashid
asy-syari’ah [21].
Oleh karenanya pengetahuan tentang maqashid asy-syari’ah adalah salah
satu syarat yang dimiliki oleh seorang mujtahid.
Mengenai kedudukan ijtihad, apakah merupakan sumber hukum Islam
ataukah sebagai metode penetapan hukum Islam, maka ada dua pandangan mengenai
hal tersebut. Ada kelompok yang berpandangan bahwa ijtihad adalah sumber hukum
Islam berdasar atas hadits dari Muaz bin Jabal. Hadits ini dipahami oleh
kelompok lain yang berpandangan bahwa ijtihad adalah metode penetapan hukum
Islam, sebab hadits tersebut mengisyaratkan bahwa sumber utama fiqih adalah
al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika tidak terdapat dalam kedua sumber tersebut, baru
digunakan ijtihad dengan tetap merujuk kepada kedua sumber dimaksud. Ijtihad
adalah merupakan kegiatan yang tidak mudah, karena memerlukan analisis yang
tajam terhadap nash serta jiwa yang terkandung di dalamnya dengan memperhatikan
aspek kaedah kebahasaan dan tujuan umum disyariatkannya hukum Islam (maqashid
asy-syari’ah).
K.
Muqhoshid Dalam Bisnis dan Ekonomi Islam
Dalam
sejarah pemikiran ilmu hukum Islam klasik istilah dan konsep maqashid syariah
sudah banyak menjadi pembahasan para ulama. Menurut Ahmad Raysuni tokoh
terpenting dalam maqashid syariah adalah Imam al-Syathibi (w. 790 H), namun
al-Syathibi bukan ulama pertama yang memperkenalkan konsep maqashid syariah. Ia
mengatakan istilah maqashid syariah pertama kali digunakan oleh al-Turmudzi
al-Hakim, seorang ulama yang hidup di awal abad ke 4 dalam buku yang ditulisnya
yaitu al-Salah wa Maqashiduhu, al-Haj wa Asraruh, al-Illah, Ilal
al-Syariah dan juga al-Furuqyang diadopsi oleh Imam
al-Qarafi menjadi buku karangannya.[22]
Maqashid al-syariah menduduki posisi sangat penting dalam
merumuskan hukum Islam, termasuk di dalamnya adalah hukum ekonomi Islam. Tanpa
maqashid syariah, maka semua regulasi, fatwa, produk keuangan dan perbankan,
kebijakan fiskal dan moneter akan kehilangan substansi syariah-nya. Tanpa
maqashid syariah, fiqh muamalah yang dikembangkan, regulasi perbankan dan
keuangan akan kaku dan statis, sehingga produk keuangan syariah sulit
berkembang terlebih mengalahkan produk-produk lembaga keuangan konvensional.
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa pengetahuan maqashid syariah
menjadi syarat utama dalam berijtihad untuk menjawab berbagai problematika
kehidupan ekonomi dan keuangan yang terus berkembang. Maqashid syariah tidak
saja diperlukan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan ekonomi makro (moneter,
fiscal ; public finance), tetapi juga untuk menciptakan produk-produk perbankan
dan keuangan syariah serta teori-teori ekonomi mikro lainnya. Maqashid syariah
juga sangat diperlukan dalam membuat regulasi perbankan dan lembaga keuangan
syariah.
Fathi al-Daraini dalam buku Al-Fiqh al-Islam al-muqarin ma’a
al-mazahib mengatakan bahwa pengetahuan tentang maqashid syariah merupakan
pengetahuan yang utama dan memiliki proyeksi masa depan dalam rangka
pengembangan teori ushul fiqh, karena itu maqashid syariah menurutnya
merupakan ilmu yang berdiri sendiri.
Maqashid syariah tidak saja menjadi faktor yang paling menentukan
dalam melahirkan produk-produk ekonomi syariah yang dapat berperan ganda (alat
sosial kontrol dan rekayasa sosio-econonomy) untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia, tetapi juga lebih dari itu, maqashid syariah dapat memberikan dimensi
filosofis dan rasional terhadap produk-produk hukum ekonomi Islam yang
dilahirkan dalam aktivitas ijtihad ekonomi syariah kontemporer. Maqashid syaiah
akan memberikan pola pemikiran yang rasional dan substansial dalam memandang
akad-akad dan produk-produk perbankan syariah. Hanya dengan pendekatan maqashid
syariah-lah produk perbankan dan keuangan syariah dapat berkembang dengan baik
dan dapat meresponi kemajuan bisnis yang terus berubah dengan cepat.
Di era kemajuan ekonomi dan keuangan syariah kontemporer, banyak
persoalan yang muncul, seperti hedging (swap, forward, options), Margin During
Contruction (MDC), profit equalization reserve (PER), trade finance dan segala
problematikanya, puluhan kasus hybrid contracts, instrument money market inter
bank, skim-skim sukuk, repo, pembiayaan sindikasi antar bank syariah atau dgn
konvensional, restrukturisasi, pembiayaan property indent, ijarah maushufash
fiz zimmah, hybrid take over dan refinancing, forfeiting, overseas financing,
skim KTA, pembiayaan multi guna, desain kartu kredit, hukum-hukum terkait
jaminan fiducia, hypoteik dan hak tanggungan, maqashid dari anuitas, tawarruq,
net revenue sharing, cicilan emas, investasi emas, serta sejumlah kasus-kasus
baru yang terus bermunculan. Semua kasus dan upaya ijtihad terhadap
kompleksitas ekonomi dan keuangan syariah masa kini yang terus berubah dan
berkembang, memerlukan analisis berdimensi filosofis dan rasional dan subtantif
yang terkandung dalam konsep maqashid syariah. Berdasarkan urgensi maqashid
syariah yang demikian besar, maka Iqtishad Consulting bermaksud menggelar
Workshop Eksekutif Aplikasi Maqashid Syariah pada Ekonomi, Keuangan, Produk
Perbankan, dan Regulasi Perbankan dan Keuangan Syariah.
Tanpa maqashid syariah, maka semua pemahaman mengenai ekonomi
syariah, keuangan dan perbankan syariah akan sempit dan kaku. Tanpa maqashid
syariah, seorang pakar dan praktisi ekonomi syariah akan selalu keliru dalam
memahami ekonomi syariah. Tanpa maqashid syariah, produk keuangan dan
perbankan, regulasi, fatwa, kebijakan fiscal dan moneter, akan kehilangan substansi
syariahnya. Tanpa maqashid syariah, fikih muamalah yang dikembangkan dan
regulasi perbankan dan keuangan yang hendak dirumuskan akan kaku dan statis,
akibatnya lembaga perbankan dan keuangan syariah akan sulit dan lambat
berkembang. Tanpa pemahaman maqashid syariah, maka pengawas dari regulator
gampang menyalahkan yang benar ketika mengaudit bank-bank syariah. Tanpa
maqashid syariah, maka regulator (pengawas) akan gampang menolak produk
inovatif yang sudah sesuai syariah. Tanpa pemahaman maqashid syariah maka
regulasi dan ketentuan tentang PSAK syariah akan rancu, kaku dan dan mengalami
kesalahan fatal.
Jiwa maqashid syariah akan mewujudkan fikih muamalah yang elastis,
fleksibel, lincah dan senantiasa bisa sesuai dengan perkembangan zaman
(shilihun li kulli zaman wa makan). Penerapan maqashid syariah akan membuat
bank syariah dan LKS semakin cepat berkembang dan kreatif menciptakan
produk-produk baru, sehingga tidak kalah dengan produk bank-bank konvensional.[23]
L. Ijtihad Dalam Ekonomi Islam
dan Contohnya
Dalam melakukan ijtihad seorang mujtahid harus menguasai maqashid
syariah. ‘Abdul wahhab Khallaf dalam Buku Ilmu Ushul Fiqh menyebut dengan tegas
bahwa nash-nash syariah tidak dapat dipahami secara tepat dn benar kecuali oleh
seseorang yang mengetahui maqashid syariah dan asbabun nuzul (latar belakang
historis turunnya ayat). Keberhasilan penggalian hukum ekonomi Islam dari
dalil-dalil Al-Quran dan hadits sangat ditentukan oleh pengetahuan tentang
maqashid al-syariah yang dapat ditelaah dari dalil-dalil tafshili (al-quran dan
sunnah)
1.
Praktek Maslahah (maqashid
syariah) pada masa Rasulullah SAW
Di masa Rasulullah SAW praktek maslahah sangat banyak
diterapkan, ketika dalam kasus larangan penyimpanan daging kurban, larangan
tas’ir (intervensi harga), talaqqi rukban, larangan menyewakan tanah, larangan
dan kebolehan muzara’ah, dsb. Praktik ini menunjukan aspek maslahah dan illat
menjadi pertimbangan penetapan hukum.
2.
Penerapan
Maqashid al-Syariah di Masa Khulafaur Rasyidin
Penerapan maqashid syariah ini berlanjut semakin intens di masa
sahabat dan sesudahnya. Wilayah Islam semakin luas dan penganut muslim semakin
banyak. Para sahabat harus menghadapi persoalan-persoalan baru dan perubahan
sosial yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW masih hidup.
a.
Kebijakan Abu Bakar Memerangi
Pembangkang Zakat
Setelah Rasulullah SAW wafat , Abu Bakar naik menjadi menjadi
khalifah, sebagian orang arab menolak membayar zakat dengan alasan bahwa zakat
adalah kewajiban yang dibayarkan kepada Nabi, setelah wafat maka tidak ada lagi
kewajiban itu. Abu Bakar berniat memerangi mereka. Kebijakan ini secara teks
tidak ada dalam Al-quran dan Sunnah, tetapi demi kemaslahatan Abu Bkar berani
membuat kebijakan ini setelah berdiskusi dengan para sahabat. Kebijakan ini
diambil sebagai tanggung jawab negara dalam merealisasikan tujuan
syariah hifzhu al-din untuk terwujudnya kesejahteraan rakyat.
b.
Taudhif (Pajak)
Taudhif adalah kewajiban yang dibebankan oleh negara
kepada umat Islam yang memiliki kelebihan harta di luar kewajiban zakat untuk
menutupi defisit anggaran. Kewajibannya bersifat tetap dalam rangka
fungsi hirasatud din dan siyasatud dunya bihi. Hal ini untuk keperluan
jihad dikarenakan sumber zakat tidak bisa mencukupi.
c.
Kebijakan Umar bin Khattab yang
mengandung Maqashid Syariah
Umar dikenal sebagai tokoh inovatif dalam berijtihad, diantaranya
adalah:
1)
Kasus Tanah Sawad di Iraq
Umar tidak membagikan harta ghanimah kepada prajurut
Islam, walaupun menurut Al-quran (Al-Anfal 41) bahwa 80% hasil tersebut harus
diserahkan kepada prajurit Islam yang telah berhasil membebaskan daerah
tersebut, sedangkan 20% untuk baitul maal.
2)
Tidak Memotong Tangan pencuri
Alasan Umar pada saat itu adalah karena pada masa itu suasana ekonomi
sangat gawat (paceklik) yang disebut amul maja’ah.[24]
M.
Fatwa-Fatwa Dalam Ekonomi Islam
1.
Kedudukan Fatwa
Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum Islam untuk
memberikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Bahkan umat
Islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam bersikap dan
bertingkah laku. Sebab posisi fatwa di kalangan masyarakat umum, laksana dalil
di kalangan para mujtahid (Al-Fatwa fi Haqqil ’Ami kal Adillah fi Haqqil
Mujtahid). Artinya, Kedudukan fatwa bagi orang kebanyakan, seperti dalil bagi mujtahid.
Kehadiran fatwa-fatwa ini menjadi aspek organik dari bangunan
ekonomi Islami yang tengah ditata/dikembangkan, sekaligus merupakan alat ukur
bagi kemajuan ekonomi syari’ah di Indonesia. Fatwa ekonomi syari’ah yang telah
hadir itu secara teknis menyuguhkan model pengembangan bahkan pembaharuan
fiqh muamalah maliyah. (fiqh ekonomi)
Secara fungsional, fatwa memiliki fungsi tabyin dan tawjih.
Tabyin artinya menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praksis bagi lembaga
keuangan, khususnya yang diminta praktisi ekonomi syariah ke DSN dan taujih,
yakni memberikan guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat
luas tentang norma ekonomi syari’ah.
Memang dalam kajian ushul fiqh, kedudukan fatwa hanya mengikat bagi orang yang meminta fatwa dan yang memberi fatwa. Namun dalam konteks ini, teori itu tidak sepenuhnya bisa diterima, karena konteks, sifat, dan karakter fatwa saat ini telah berkembang dan berbeda dengan fatwa klasik. Teori lama tentang fatwa harus direformasi dan diperpaharui sesuai dengan perkembangan dan proses terbentuknya fatwa. Maka teori fatwa hanya mengikat mustaft (orang yang minta fatwa) tidak relevan untuk fatwa DSN. Fatwa ekonomi syariah DSN saat ini tidak hanya mengikat bagi praktisi lembaga ekonomi syariah, tetapi juga bagi masyarakat Islam Indonesia, apalagi fatwa-fatwa itu kini telah dipositivisasi melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI). Bahkan DPR baru-baru ini, telah mengamandemen UU No 7/1989 tentang Perdilan Agama yang secara tegas memasukkan masalah ekonomi syariah sebagai wewenang Peradilan Agama.
Memang dalam kajian ushul fiqh, kedudukan fatwa hanya mengikat bagi orang yang meminta fatwa dan yang memberi fatwa. Namun dalam konteks ini, teori itu tidak sepenuhnya bisa diterima, karena konteks, sifat, dan karakter fatwa saat ini telah berkembang dan berbeda dengan fatwa klasik. Teori lama tentang fatwa harus direformasi dan diperpaharui sesuai dengan perkembangan dan proses terbentuknya fatwa. Maka teori fatwa hanya mengikat mustaft (orang yang minta fatwa) tidak relevan untuk fatwa DSN. Fatwa ekonomi syariah DSN saat ini tidak hanya mengikat bagi praktisi lembaga ekonomi syariah, tetapi juga bagi masyarakat Islam Indonesia, apalagi fatwa-fatwa itu kini telah dipositivisasi melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI). Bahkan DPR baru-baru ini, telah mengamandemen UU No 7/1989 tentang Perdilan Agama yang secara tegas memasukkan masalah ekonomi syariah sebagai wewenang Peradilan Agama.
Fatwa-fatwa ekonomi syari’ah saat di Indonesia dikeluarkan melalui
proses dan formula fatwa kolektif, koneksitas dan melembaga yang disebut
ijtihad jama’iy (ijtihad ulama secara kolektif), bukan ijtihad fardi
(individu), Validitas jama’iy dan fardi jelas sangat berbeda. Ijtihad jama’iy
telah mendekati ijma’. Seandainya hanya negara Indonesia yang ada di dunia ini,
pastilah kesepakatan para ahli dan ulama Indonesia itu disebut Ijma’.
Fatwa dalam definisi klasik bersifat opsional ”ikhtiyariah”
(pilihan yang tidak mengikat secara legal, meskipun mengikat secara moral
bagi mustafti (pihak yang meminta fatwa), sedang bagi selain mustafti
bersifat ”i’lamiyah” atau informatif yang lebih dari sekedar wacana. Mereka
terbuka untuk mengambil fatwa yang sama atau meminta fatwa kepada mufti/seorang
ahli yang lain.
Jika ada lebih dari satu fatwa mengenai satu masalah yang sama maka
ummat boleh memilih mana yang lebih memberikan qana’ah
(penerimaan/kepuasan) secara argumentatif atau secara batin. Sifat
fatwa yang demikian membedakannya dari suatu putusan peradilan (qadha) yang
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak yang berperkara.
Namun, keberadaan fatwa ekonomi syari’ah yang dikeluarkan DSN di
zaman kontemporer ini, berbeda dengan proses fatwa di zaman klasik yang
cendrung individual atau lembaga parsial.
Otoritas fatwa tentang ekonomi syari’ah di Indonesia, berada dibawah Dewan Syari’ah Nasional Majlis Ulama Indonesia. Komposisi anggota plenonya terdiri dari para ahli syari’ah dan ahli ekonomi/keuangan yang mempunyai wawasan syari’ah. Dalam membahas masalah-masalah yang hendak dikeluarkan fatwanya, Dewan Syari’ah Nasional (DSN) melibatkan pula lembaga mitra seperti Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia dan Biro Syari’ah dari Bank Indonesia.
Otoritas fatwa tentang ekonomi syari’ah di Indonesia, berada dibawah Dewan Syari’ah Nasional Majlis Ulama Indonesia. Komposisi anggota plenonya terdiri dari para ahli syari’ah dan ahli ekonomi/keuangan yang mempunyai wawasan syari’ah. Dalam membahas masalah-masalah yang hendak dikeluarkan fatwanya, Dewan Syari’ah Nasional (DSN) melibatkan pula lembaga mitra seperti Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia dan Biro Syari’ah dari Bank Indonesia.
Fatwa dengan definisi klasik mengalami pengembangan dan
penguatan posisi dalam fatwa kontemporer yang melembaga dan kolektif di
Indonesia. Baik yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI untuk masalah keagamaan
dan kemasyarakatan secara umum, maupun yang dikeluarkan oleh DSN MUI untuk
fatwa tentang masalah ekonomi syari’ah khususnya Lembaga Ekonomi Syari’ah.
Fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI menjadi rujukan yang berlaku
umum serta mengikat bagi ummat Islam di Indonesia, khususnya secara moral.
Sedang fatwa DSN menjadi rujukan yang mengikat bagi lembaga-lembaga keuangan
syari’ah (LKS) yang ada di tanah air, demikian pula mengikat masyarakat
yang berinteraksi dengan LKS.
2.
Kaedah dan Prinsip
Fiqh muamalah klasik yang ada tidak sepenuhnya relevan lagi
diterapkan, karena bentuk dan pola transaksi yang berkembang di era modern ini
demikian cepat. Sosio-ekonomi dan bisnis masyarakat sudah jauh berubah
dibanding kondisi di masa lampau. Oleh karena itu, dalam konteks ini setidaknya
diterapkan empat kaedah utama.
Pertama, Al-muhafazah bil qadim ash-sholih wal akhz bil jadid
aslah, yaitu, memelihara warisan intelektual klasik yang masih relevan dan
membiarkan terus praktek yang telah ada di zaman modern, selama tidak ada
petunjuk yang mengharamkannya.
Kedua, Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu
’ala at-tahrim ( Pada dasarnya semua praktek muamalah boleh, kecuali ada
dalil yang mengharamkannya).
Ketiga, Formulasi fatwa juga berpegang pada prinsip maslahah
atau ”ashlahiyah” (mana yang maslahat atau lebih maslahat untuk dijadikan
opsi yang difatwakan. Konsep maslahah dalam muamalah menjadi prinsip yang
paling penting. Dalam ushul fiqh telah populer kaedah, Ainama tujadul malahal fa
tsamma syar’ullah,(Dimana saja terdapat kemaslahatan, maka di sana ada syariah
Allah). Artinya, segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan, dihukumkan
sebagai syariah. Seperti penerapan agunan dalam hutang piutang tertentu,
merupakan syariah, karena mengandung maslahah, yakni untuk memelihara harta
(hifzul mal) pihak ketiga. Demikian pula keharusan menerapkan risk
manajemen dalam perbankan syariah, adalah syariah karena ia mengandung
maslahah, yakni untuk meminimalisir resiko kerugian (kemudratan) dalam harta masyarakat.
Watak maslahat syar’iyah antara lain berpihak kepada semua pihak
atau berlaku umum, baik maslahat bagi lembaga syariah, nasabah, pemerintah
(regulator) maupun masyarakat luas.
Kemaslahatannya tidak hanya diakui secara tanzhiriyah (perhitungan
teoritis) tetapi juga secara tajribiyah (pengalaman empirik di lapangan).
Karena itu untuk menguji shalahiyah (validitas) fatwa, harus diadakan
muraja’ah maidaniyah (pencocokan di lapangan) setelah berjalan waktu yang cukup
dalam implementasi fatwa ekonomi. Apakah kemaslahatan dalam tataran
teoritis mendapatkan pembenaran dalam penerapannya di lapangan
Keempat, selain itu para ulama berpegang kepada prinsip-prinsip
utama muamalah, seperti, prinsip bebas riba, bebas gharar (ketidak-jelasan atau
ketidakpastian) dan tadlis, tidak maysir (spekulatif), bebas produk haram dan
praktek akad fasid/batil. Prinsip ini tidak boleh dilanggar, karena telah
menjadi aksioma dalam fiqh muamalah.[25]
N.
Fatwa-Fatwa Syariah Nasional Dalam Bidang Ekonomi Islam dan Contohnya
1.
Produk-Produk Fatwa DSN
Sejak berdirnya tahun 1999, Dewan Syariah Nasional, telah mengeluarkan
sedikitnya 61 fatwa tentang ekonomi syariah, antara lain, fatwa tentang giro,
tabungan, murabahah, jual beli salam, istishna’, mudharabah, musyarakah,
ijarah, wakalah, kafalah, hawalah, uang muka dalam murabahah, sistem distribusi
hasil usaha dalam lembaga keuangan syari’ah, diskon dalam murabahah, sanksi
atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran, pencadangan penghapusan
aktiva produktiv dalam LKS, al-qaradh, investasi reksadana syariah, pedoman
umum asuransi syariah, jual beli istisna’ paralel, potongan pelunasan dalam
murabahah, safe deposit box, raha (gadai), rahn emas, ijarah muntahiyah bit
tamlik, jual beli mata uang, pembiayaan pengurusan haji di LKS, pembiayaan
rekening koran syariah, pengalihan hutang, obligasi syariah, obligasi syariah
mudharabah, Letter of Credit (LC) impor syariah, LC untuk export, sertifikat
wadiah Bank Indoensia, Pasar Uang antar Bank Syariah, sertifikat investasi
mudharabah (IMA), asuransi haji, pedoman umum penerapan prinsip syariah di
pasar modal, obligasi syariah ijarah, kartu kredit, fatwa tentang ganti
rugi (ta’widh), pembiayaan multi jasa, Line Fasility, (at-tashilat),
pembiayaan rekening koran syari’ah, sejumlah fatwa tentang murabahah, seperti
potongan tagihan murabahah, penyelesaian piutang murabahah, rescheduling
murabahah dan konversi akad murabahah, mudharabah musytarakah pada asuransi
syariah, akad wakalah bil ujrah pada asuransi dan reasuransi syariah, akad
tabarru’ pada asuransi dan reasuransi syariah, L/C dengan akad kafalah bil
ujrah, hiwalah bil ujrah, review ujrah pada Lembaga Keuangan Syariah, Obligasi
Syariah mudharabah konversi, penyelesaian piutang dalam ekspor dan penyelesaian
hutang dalam impor.dsb
Melihat banyaknya fatwa-fatwa ekonomi syariah tersebut, terlihat bahwa
Dewan Syariah Nasional (DSN). Memiliki kenerja yang baik, dinamis dan aktif
meresponi berbagai persoalan yang dihadapi.
2.
Konstribusi
Pemikiran
Untuk
mensosialisasikan dan menerapkan fatwa-fatwa ekonomi syariah serta untuk
mewujudkan fatwa-fatwa yang berkualitas dan aslah, sejumlah kontribusi
pemikiran di bwah ini perlu dicermati.
Pertama, struktur dan format fatwa-fatwa ekonomi syariah DSN sudah memadai dengan rumusan yang simple. Apabila dibandingkan dengan format fatwa mufti Mesir misalnya, fatwa DSN MUI lebih komplet muatannya. Namun format fatwa DSN-MUI hanya terbatas memberikan penentuan status hukum masalah yang difatwakan, belum bersifat ”ifadah ’ilmiah” yakni memberikan kegunaan pencerahan wawasan keilmuan, sehingga kurang memberikan bekalan kepada kalangan di luar para ulama ekonomi syariah.
Pertama, struktur dan format fatwa-fatwa ekonomi syariah DSN sudah memadai dengan rumusan yang simple. Apabila dibandingkan dengan format fatwa mufti Mesir misalnya, fatwa DSN MUI lebih komplet muatannya. Namun format fatwa DSN-MUI hanya terbatas memberikan penentuan status hukum masalah yang difatwakan, belum bersifat ”ifadah ’ilmiah” yakni memberikan kegunaan pencerahan wawasan keilmuan, sehingga kurang memberikan bekalan kepada kalangan di luar para ulama ekonomi syariah.
Cukup banyak
fatwa-fatwa yang terlalu umum dan mengesankan kekaburan, sehingga para praktisi
dan bahkan akademisi tidak bisa memahami apalagi menerapkannya , karena fatwanya
mengambang, tidak tuntas, seperti fatwa nomor 56 tentang review ujrah
pada Lembaga Keuangan Syariah. Pada butir fatwa tersebut disebutkan ” Dalam
keadaan sewa yang berubah-ubah, sewa untuk periode akad pertama harus
dijelaskan jumlahnya. Untuk periode akad berikutnya boleh berdasarkan rumusan
yang jelas dengan ketentuan tidak menimbulkan perselisihan.
Fatwa ini
hanya menyebut rumusan yang jelas, tanpa menyebutkan rumusan yang jelas
tersebut bagaimana bentuknya. Bunyi fatwa ini tanggung dan kabur. Sehingga
siapapun yang membaca pasti kebingungan, bagaimana rumusan yang jelas tersebut.
Bayangkan, bagaimana jadinya, jika fatwa ini dibaca oleh generasi 25 tahun
mendatang, tentu semakin mengecewakan bagi mereka. Karena itu agar fatwa
ini difahami masyarakat ekonomi syariah dan bisa diterapkan oleh
LKS, disarankan agar setiap fatwa disertai lampirannya, berupa
uraian ilmiyah singkat yang mengantarkan pada kesimpulan-kesimpulan isi fatwa.
Kedua,
fatwa-fatwa ini seharusnya disebarkan oleh MUI kepada masyarakat, agar
umat mengetahui hukum-hukum ekonomi syariah. Sangat disayangkan pengursu MUI
kabupaten kota pun kadang tidak memiliki buku fatwa ekonomi syariah DSN MUI
tersebut. Padahal telah dikirim ke MUI Propinsi.
Ketiga, Para
ulama harus meningkatkan pengetahuan ekonomi syariah kontemporer melalui
workshop, training atau seminar, sehingga wawasannya menjadi luas dan mampu
memahami bahkan menjawab persoalan kekinian secara valid dan akurat, Jangan
hanya berkutat dalam persoalan kajian ibadah, pemikiran teologi, pahala, syorga
dan neraka, tapi kajian Islam yang komprehensif.
Keempat, Harus
diakui bahwa pada masa lalu, (ketika ekonomi syariah baru berkembang di
Indonesia), para ulama dan pakar serta praktisi ekonomi memiliki
keterbatasan dalam masalah keilmuan ekonomi Islam secara komprehensif. Banyak
pakar ekonomi konvensional dan praktisi ekonomi yang tidak ahli dalam ilmu-ilmu
syariah,Mereka mempunyai semangat keIslaman yang kuat, namun latar belakang
keilmuan dan pendidikannya bukan dari pendidikan syariah, sementara banyak pula
ahli syariah yang tidak memahami persoalan ekonomi keuangan modern. Mereka
banyak dari luar negeri, pesantren dan IAIN. Sehubungan dengan dikhotomi dan
disparitas tersebut maka DSN melakukan sinergi dengan ijtihad kolektif (ijtihad
jama’i atau koneksitas), agar produk fatwa relevan dengan perkembangan modern
dan tidak bertentangan dengan syariah.
Tetapi, saat
ini sejalan dengan kemajuan pendidikan di bidang ekonomi syariah, di mana
pendidikan S2 dan S3 ekonomi syariah semakin berkembang, penelitian ekonomi
syariah juga maju pesat, maka anggota DSN ke depan perlu merangkul pakar-pakar
dengan disiplin keilmuan integratif, yaitu mereka yang memahami ilmu ekonomi
keuangan dan perbankan juga memahami ilmu-ilmu syariah dengan baik. Tokoh-tokoh
seperti Umar Chapra, M.N. Ash-Shiddiqy, M.A.Chuodhury, Monzer Kahf perlu
dilahirkan di negeri ini. Demikian pula ulama seperti Yusuf Qardhawi, Wahbah
Az-Zuhaily, Mustafa Anas Zarqa dan sebagainya.[26]
BAB III
PENUTUP
1.
Filsafat hukum Islam adalah filsafat yang
menganalisis hukum Islam secara metodis dan sistematis sehingga mendapatkan
keterangan yang mendasar, atau menganalisis hukum Islam secara ilmiah dengan
filsafat sebagai alatnya. Para ahli ushul fiqh,
sebagaimana ahli filsafat hukum Islam, membagi filsafat hukum Islam kepada dua
rumusan (ruang
lingkup), yaitu falsafat tasyri’ dan falsafat syari’ah. Adapun objek kajian filsafat
hukum Islam meliputi objek teoritis dan objek praktis.
2.
- Secara etimologis syariah berarti “jalan yang
harus diikuti”. Menurut para ahli, syariah
secara terminologi adalah “segala titah Allah
yang berhubungan dengan tingkah laku manusia diluar yang mengenai
akhlak”.
-
Secara terminologi fiqh merupakan bagian
dari syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah
Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan
berakal sehat (mukallaf) dan diambil dari dalil yang terinci.
-
Hukum Islam adalah seperangkat peraturan
berdasarkan wahyu Allah dan sunah rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf
yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam.
3.
Filsafat hukum Islam telah lahir
sejak masa Rasulullah saw, Setelah Nabi saw wafat,
pemikiran filsafat (ijtihad) ini dilanjutkan oleh para sahabat terutama oleh
Umar bin Khattab, selanjutnya
pada generasi berikutnya dilakukan oleh para ulama yang dikenal dengan
sebutan ushul fiqh. Ulama generasi awal yang sudah melakukan kegiatan
ijtihad ini dikenal dengan sebutan imam empat mazhab, yaitu Malik ibn Anas, Abu
Hanifah, Asy-Syafi’iy dan Ahmad bin Hambali. Pada era
sekarang, kegiatan berfilsafat (ijtihad) dalam hukum Islam ini telah dinaungi
dalam sebuah organisasi keIslaman , di Indonesia, proses ijtihad ini dilakukan
oleh organisisai Islam yang disebut dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
4.
Sifat dan karakteristik Hukum Islam : Bersifat
Sempurna dan Universal, Dinamis dan Elastis, Sistematis, Memperhatikan Aspek
Kemanusiaan dan Moral.
5.
Prinsip-Prinsip Hukum Islam : Tauhid, Amar
Ma’ruf Nahi Mungkar, Keadilan, Kebebasan, Persamaan, Saling Tolong Menolong,
dan Toleransi.
6.
Kedudukan Al-Qur’an dalam Islam adalah sebagai
sumber hukum umat Islam dari segala sumber hukum yang ada dibumi yang dapat
dijadikan pedoman hidup dan petunjuk bagi umat manusia.
7.
Hadits/ Sunnah Rasulullah dengan
beberapa jenisnya (qauliyah, fi’liyah, dan taqririyah) merupakan sumber hukum
Islam yang kedua dibawah Al-Qur’an.
8.
Ijtihad merupakan sumber hukum Islam ketiga
setelah Al Quran dan Hadis. Ijtihad dilakukan jika suatu permasalahan sudah
dicari dalam Al Quran maupun hadis, tetapi tidak ditemukan hukumnya.
9.
Secara umum
tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di
akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah atau
menolak yang mudarat yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan.
10. Antara ijtihad
dengan maqashid asy-syari’ah mempunyai hubungan yang tidak dapat
dipisahkan. Ijtihad pada intinya adalah upaya penggalian hukum syara’ secara
optimal. Upaya penggalian hukum syara’ itu berhasil apabila seorang mujtahid
dapat memahami maqashid asy-syari’ah . Oleh karenanya
pengetahuan tentang maqashid asy-syari’ah adalah salah satu syarat
yang dimiliki oleh seorang mujtahid.
11. Para ulama
ushul fiqh sepakat bahwa pengetahuan maqashid syariah menjadi syarat utama
dalam berijtihad untuk menjawab berbagai problematika kehidupan ekonomi dan
keuangan yang terus berkembang. Maqashid al-syariah menduduki posisi sangat
penting dalam merumuskan hukum Islam, termasuk di dalamnya adalah hukum ekonomi
Islam. Tanpa maqashid syariah, maka semua regulasi, fatwa, produk keuangan dan
perbankan, kebijakan fiskal dan moneter akan kehilangan substansi syariah-nya.
12. Ijtihad dalam
bidang ekonomi sudah mulai diterapkan sejak masa Rasulullah saw, masa khulafaur
Rasyidin hingga sekarang. salah satu contoh kebijakan berijtihad yang
mengandung maqashid syariah adalah tidak memotong tangan pencuri karena menurut
Umar pada masa itu suasa ekonomi sangat gawat ( paceklik) yang disebut amul maja’ah.
13. Fatwa
merupakan salah satu institusi dalam hukum Islam untuk memberikan jawaban dan
solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Bahkan umat Islam pada umumnya
menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam bersikap dan bertingkah laku. Sebab
posisi fatwa di kalangan masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para
mujtahid (Al-Fatwa fi Haqqil ’Ami kal Adillah fi Haqqil Mujtahid). Diantara
fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional dalam bidang
Ekonomi Islam yakni : fatwa tentang giro,
tabungan, murabahah, jual beli salam, istishna’, mudharabah, musyarakah,
ijarah, wakalah, kafalah, hawalah dll.
Penulis menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam makalah
ini. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapakan demi perbaikan makalah ini kedepannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Akh Hakim. 2016. Hukum Islam dan Prinsip-prinsipnya.
http://pusathukumislam.blogspot.co.id/2016/09/hukum-islam-dan-prinsip-prinsipnya.html
(diakses pada tanggal 08 Januari 2018 Pukul 11:44 WIB)
Djamil,
fathurrahman. 1997. Filsafat Hukum Islam. Ciputat. Logos
Wacana Ilmu
Hanafi, Ahmad.
1990. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta. Bulan
bintang
Ibrahim Aji.
2014. Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Keuangan dan Perbankan Syariah.
http://mysharing.co/maqashid-syariah-dalam-ekonomi-keuangan-dan-perbankan-syariah/
(diakses pada tanggal 9 Januari 2018 Pukul 13:34 WIB)
Katasiana.com.
2018. Sumber Hukum Islam.https://inspiring.id/sumber-hukum-Islam/
(Diakses pada tanggal 08 Januari 2018 Pukul 20:19 WIB)
Khallaf, Abdul
Wahhab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh.Semarang:Dina Utama.
Masud,
Muhammad Khalid. 1996. Filsafat Hukum Islam. Penerjemah Ahsin
Muhammad. Bandung: Pustaka.
Moh. Ismal. 2015. Filsafat
Hukum Islam dan Ilmu-Ilmu Syariah. http://makalahpendidikanislamlengkap.blogspot.co.id/2015/07/filsafat-hukum-islam-dan-ilmu-ilmu.html. (diakses pada tanggal
08 Januari 2018 Pukul 09.30 WIB)
Rahmat Fauzi.
2017. Maqashid
Al-Syariah.https://rahmatfauzi123.blogspot.co.id/2017/01/maqashid-al-syariah.html
(diakses pada tanggal 10 januari 2018 Pukul 20:46 WIB)
S Praja
Juhaya. 1995. Filsafat Hukum Islam. Bandung. LPPM Universitas Islam
Bandung
Schacht,
Joseph, 2003. Pengantar Hukum Islam. Penerjemah Joko Supomo.
Yogyakarta: Islamika.
Sean Ochan. 2016. Sejarah dan Perkembangan Filsafat Hukum Islam.
https://seanochan.wordpress.com/2016/10/18/sejarah-dan-perkembangan-filsafat-hukum-islam/
(Diakases pada tanggal 08 Januari 2018 Pukul 10:23 WIB)
Suyatno. 2011. Dasar-dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih.
Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA.
Syafe’I Rachmat, ilmu
ushul fiqih. Bandung; Pustaka Setia, 2010
Syaiful Bahri.
2010. Fatwa Ekonomi Syariah. (Penulis adalah Sekjen DPP IAEI, Dosen
Ushul Fiqh dan Fiqh Muamalah Pascasarjana Ekonomi dan Keuangan Syariah
Universitas Indonesia Jakarta).
https://syaifulbahrizone.wordpress.com/2010/01/23/fatwa-ekonomi-syari%E2%80%99ah-di-indonesia/
(diakses pada tanggal 09 Januari 2018 Pukul
13:51 WIB)
Syarifuddin Amir. 2011. Ushul
Fiqh, Jakarta; Kencana Perdana Media Group.
[1] Moh. Ismal. 2015. Filsafat Hukum Islam dan Ilmu-Ilmu Syariah. http://makalahpendidikanislamlengkap.blogspot.co.id/2015/07/filsafat-hukum-islam-dan-ilmu-ilmu.html. (diakses pada tanggal
08 Januari 2018 Pukul 09.30 WIB)
[10] Sean Ochan. 2016. Sejarah dan Perkembangan Filsafat Hukum Islam. https://seanochan.wordpress.com/2016/10/18/sejarah-dan-perkembangan-filsafat-hukum-islam/
(Diakases pada tanggal 08 Januari 2018 Pukul 10:23 WIB)
[14] Joseph Schacht, Pengantar
Hukum Islam. Penerjemah Joko Supomo, (Yogyakarta: Islamika, 2003), h. 300.
[15] Pendapat ini disadur oleh Muhammad
Khalid Mas’uddari pendapat al-Syatibi. Lihat, Muhammad Khalid Masud, Filsafat
Hukum Islam. Penerjemah Ahsin Muhammad. (Bandung: Pustaka, 1996), h.
244.
[16] Akh Hakim. 2016. Hukum Islam dan Prinsip-prinsipnya.
http://pusathukumislam.blogspot.co.id/2016/09/hukum-islam-dan-prinsip-prinsipnya.html
(diakses pada tanggal 08 Januari 2018 Pukul 11:44 WIB)
[20]
Katasiana.com. 2018. Sumber Hukum Islam.https://inspiring.id/sumber-hukum-Islam/
(Diakses pada tanggal 08 Januari 2018 Pukul 20:19 WIB)
[22]
Rahmat Fauzi. 2017. Maqashid Al-Syariah.https://rahmatfauzi123.blogspot.co.id/2017/01/maqashid-al-syariah.html
(diakses pada tanggal 10 januari 2018 Pukul 20:46 WIB)
[23]
Ibrahim Aji. 2014. Maqashid Syariah Dalam
Ekonomi Keuangan dan Perbankan Syariah.
http://mysharing.co/maqashid-syariah-dalam-ekonomi-keuangan-dan-perbankan-syariah/
(diakses pada tanggal 9 Januari 2018 Pukul 13:34 WIB)
[24]
Rahmat Fauzi. 2017. Maqashid Al-Syariah.https://rahmatfauzi123.blogspot.co.id/2017/01/maqashid-al-syariah.html
(diakses pada tanggal 10 januari 2018 Pukul 20:46 WIB)
[25]
Syaiful Bahri. 2010. Fatwa Ekonomi Syariah. (Penulis
adalah Sekjen DPP IAEI, Dosen Ushul Fiqh dan Fiqh Muamalah Pascasarjana Ekonomi
dan Keuangan Syariah Universitas Indonesia Jakarta). https://syaifulbahrizone.wordpress.com/2010/01/23/fatwa-ekonomi-syari%E2%80%99ah-di-indonesia/
(diakses pada tanggal 09 Januari 2018 Pukul
13:51 WIB)
[26]
Syaiful Bahri. 2010. Fatwa Ekonomi Syariah.
(Penulis adalah Sekjen DPP IAEI, Dosen Ushul Fiqh dan Fiqh Muamalah
Pascasarjana Ekonomi dan Keuangan Syariah Universitas Indonesia Jakarta).https://syaifulbahrizone.wordpress.com/2010/01/23/fatwa-ekonomi-syari%E2%80%99ah-di-indonesia/
(diakses pada tanggal 09 Januari 2018 Pukul
13:51 WIB)
No comments:
Post a Comment