AKHLAK DAN ADAB
(Oleh : Ust. Abdullah Assegaf)
Ilmu akhlak merupakan bagian dari pembahasan dalam hikmah amali (filsafat amal), di
samping ilmu keluarga dan kemasyarakatan (siyasah). Biasanya, ilmu akhlak dipahami sebagai
ilmu yang mempersoalkan bagaimana
seharusnya kita hidup. Atau, dalam rumusan lain, ilmu mengenai bagaimana berperilaku yang baik.
Pengertian ini
berlaku sepanjang menyangkut insan
bagaimana yang harus bertindak (beramal). Ini bertolak dari adanya
pemahaman yang absolut dan general terhadap ilmu akhlak pada diri insan
tersebut.
Adapun bila
persoalannya adalah pada penggunaan ilmu tersebut sebagai pembimbing (petunjuk)
untuk hidup (beramal) secara baik, maka pengertian ini tidak relevan. Artinya,
ilmu akhlak harus meletakkan insan-pelaku sebagai cerminan ilmu, bukan
sebaliknya.
Lebih
lanjut, dapat diperoleh sebuah pengertian bahwa perbuatan yang sesuai dengan
kriteria akhlak meng-atas-i perbuatan
biasa (alami). Unsur penyebabnya adalah, antara lain, adanya ikhtiar
si pelaku dalam mewujudkannya serta adanya kandungan nilai-nilai keagungan dan
kemuliaan di dalamnya.
Tambahan lagi,
pembahasan mengenai ilmu akhlak pada dasarnya memiliki dua aspek: bagaimana mewujudkannya dan bagaimana sebelumnya. Persoalan untuk
mewujudkan perbuatan yang akhlaki erat kaitannya dengan ilmu akhlak itu
sendiri. Sedangkan persoalan mengenai motivasi berakhlak dikembalikan pada
kemauan dan kesanggupan insan itu sendiri, yang tentunya juga harus didasari dengan ilmu tentang insan dan
kehidupan.
Akhlak
Rasulullah
saww bersabda, “Berpeganglah kalian
kepada akhlak yang mulia, sesungguhnya Tuhanku mengutus aku dengannya.”
Ilmu
akhlak merupakan sebuah spesialisasi, yang di dalamnya dibahas tentang potensi
manusia yang berhubungan dengan kekuatan syahwaniyyah
(syahwat), ghadhabiyyah (amarah), dan fikr (pikir). Ilmu tersebut juga membedakan antara sifat-sifat terpuji dan
sifat-sifat rendah manusia, sehingga manusia dapat mencapai kesempurnaan nilai
manusiawinya.
Dalam
hidupnya, manusia tidak dapat melepaskan diri dari pencariannya atas sesuatu,
seperti makan, minum, dan beristirahat, yang semuanya didorong oleh kekuatan syahwani. Begitu juga, dari upaya untuk
menghindar dari sesuatu, seperti sakit, kerja keras, dan sebagainya, yang
didorong oleh kekuatan ghadhabi. Juga,
dari kekuatan fikr seperti berhujah,
yang didorong oleh kekuatan fikr
dalam diri manusia.
Ilmu
akhlak mengajarkan kepada manusia agar menjaga keseimbangan semua potensi
tersebut, agar mereka dapat mencapai kemuliaan dan terhindar dari segala bentuk
kehinaan. Artinya, seluruh kekuatan tersebut harus selalu dijaga
keseimbangannya, sehingga tidak melewati batas (ifrad) dan kurang dari
yang semestinya (tafrid).
Dalam
pada itu, dengan menjaga keseimbangan ketiga kekuatan yang mereka miliki itu,
manusia akan memiliki empat nilai kesempurnaan akhlak, yang menjadi dasar atau ushul
dari sifat-sifat terpuji lainnya.
Dengan menjaga
keseimbangan kekuatan syahwaninya,
manusia akan memiliki harga (kemuliaan) diri. Sementara perlakuan ifrad terhadapnya akan menumbuhkan
keserakahan dan perlakuan tafrid
terhadapnya akan menimbulkan rasa rendah diri.
Dengan
menjaga keseimbangan kekuatan ghadhabinya,
manusia akan memiliki sifat pemberani. Sementara perlakuan ifrad terhadapnya akan
melahirkan kebrutalan dan perlakuan tafrid
terhadapnya akan melahirkan sifat pengecut.
Kekuatan
berpikir, pabila dijaga keseimbangannya, akan melahirkan kebijaksanaan.
Sementara perlakuan ifrad terhadapnya
akan melahirkan kelicikan dan perlakuan tafrid
terhadapnya akan melahirkan kebodohan.
Sedangkan,
pabila manusia menjaga keseimbangan tiga kekuatan tersebut, ia akan menjadi
manusia yang memiliki sifat keadilan. Sehingga dapat dikatakan bahwa kemuliaan
dapat dilihat dari kepemlikan mereka
atas empat sifat kesempurnaan tersebut: harga diri, keberanian, kebijaksanaan, dan keadilan.
Sementara
itu, tingkatan akhlak dalam perjalanan
manusia, dapat dilihat dari:
1.
Tujuannya untuk mencapai sifat-sifat mulia dan terpuji
di tengah-tengah (di mata) manusia.
2.
Tujuannya untuk mendapatkan keberuntungan nilai manusiawi dan bebas dari
segala kerendahan.
3.
Tujuannya yang semata-mata mencari
keridhaan Allah Swt. Ia tidak lagi mencari sifat-sifat terpuji di mata manusia
atau kesempurnaan nilai-nilai manusiawi belaka. Ini sebagaimana yang dijelaskan
dalam al-Quran, surat al-Baqarah ayat ke-165: Dan orang-orang yang beriman, mereka lebih besar lagi cintanya kepada
Allah Swt.
Adab
Ditinjau dari
maknanya, adab adalah sikap dan bentuk perbuatan bajik, yang diharuskan oleh
syariat maupun para bijak untuk melakukannya. Adab tidak berlaku bagi perbuatan
di luar syariat dan tindakan terlarang lainnya. Karena itu, kezaliman,
kebohongan, dan pengkhianatan tidak dapat dikatakan sebagai tindakan beradab.
Adab juga
hanya berlaku bagi perbuatan yang didorong oleh ikhtiar bebas manusia.
Sehingga, sebagian manusia memiliki adab
yang tidak dimiliki oleh sebagian manusia lainnya. Seperti makan, yang dalam
Islam didahului dengan bismillah dan
diakhiri dengan hamdalah. Atau,
shalat yang memiliki cara duduk yang khas, dan sebagainya.
Pabila
diperhatikan, adab merupakan tindakan bajik yang berasal dari ikhtiar manusia.
Karenanya, berdasarkan nalar, tidak akan ditemui ikhtilaf di dalamnya, meskipun
pada kenyataannya manusia terdiri dari berbagai bangsa dan agama dengan gaya
dan cara hidup berbeda. Sehingga suatu adab terkadang dipandang baik bagi golongan tertentu dan dipandang buruk oleh
golongan lainnya.
Dari
pembahasan di atas, dapat dipahami bahwa bajik
merupakan muqawwim (penguat)
dari definisi adab, sedangkan
perbedaannya terdapat pada tujuan-tujuan dari setiap kaum (golongan) tersebut.
Ya, adab merupakan cermin yang menggambarkan akhlak yang ada pada suatu kaum.
Sementara itu,
adab sendiri tidaklah sama dengan akhlak. Pabila akhlak merupakan potensi yang
tertanam di dalam ruh, maka adab adalah sikap bajik yang menjadi pakaian bagi
perbuatan manusia, yang muncul dari sifat-sifat mereka yang berbeda. Karena
itu, adab adalah cerminan akhlak manusia, sementara akhlak adalah hakim bagi
sebuah masyarakat.
Apabila
adab mengikuti tujuan khusus yang diinginkan dalam kehidupan manusia, maka adab
Ilahi, yang diajarkan Allah Swt kepada para nabi dan rasul-Nya, adalah sikap
yang baik dalam amal-amal diniyah, yang
menggambarkan tujuan-tujuan dan maksud agama tersebut. Artinya, bahwa ibadah
adalah sesuai dengan masing-masing agama yang berbeda, berdasarkan tingkat
kesempurnaan tujuan dari masing-masing agama tersebut.
Islam,
dengan kelengkapannya, berhubungan dengan semua sisi kehidupan manusia. Oleh
karena itu, semua sisi kehidupan manusia diatur oleh adab tertentu. Dan tujuan
umum di dalam Islam adalah bertauhid kepada Allah Swt dalam setiap tingkatan
keyakinan dan tindakan manusia.
Dengan
ibarat lain, hendaknya manusia meyakini
bahwa mereka memiliki Tuhan, yang dari-Nya-lah segala sesuatu berasal dan
kepada-Nya-lah segala sesuatu kembali. Dia-lah yang memiliki Asma al-Husna.
Ya, manusia
harus menjalani kehidupan ini dengan perbuatan yang menggambarkan penghambaan
kepada Allah Swt. Dengan demikian, adab Ilahi adalah sikap bertauhid dalam
perbuatan.
Dalam
hal ini, kita perlu merenungkan dalam-dalam, bait munajat Imam Ali Zainal
Abidin berikut ini, “Tuhanku, janganlah Engkau ajari aku adab dengan
siksa-siksa-Mu…”[]
No comments:
Post a Comment