PENGARUH AKHLAK TERHADAP KEMISKINAN
(Oleh : Ust. Abdullah Assegaf)
Kemiskinan adalah
sebuah penyakit yang dapat dijumpai pada setiap masyarakat di sepanjang
sejarah. Ia mungkin terjadi lantaran
beberapa sebab, seperti tidak adanya sistem ekonomi dan pemerintahan yang baik,
terjadinya penindasan satu golongan terhadap golongan yang lain, atau timbulnya
kemalasan dan hilangnya semangat untuk berusaha.
Di abad ini,
kemajuan luar biasa di bidang pembangunan material sangat disayangkan tidak
mampu menciptakan pemerataan di antara penduduk bumi. Hari demi hari, perbedaan
tingkat kesejahteraan antara yang kaya dan miskin justru semakin tajam. Di dunia yang serba “beradab” sekarang ini
pun, masih banyak sekali dijumpai orang-orang yang mati lantaran kelaparan atau
gizi yang tidak baik. Sementara di sisi lain, terlihat dengan sangat nyata
sebagian orang yang hidup dengan gelimang kekayaan yang tidak terkira.
Semua itu
membuktikan bahwa sistem ekonomi yang (telah) dipakai di dunia ini, seperti
kapitalisme dan marxisme-komunisme, telah gagal menjadi landasan pembangunan
ekonomi suatu negara. Bukti sejarah juga menunjukkan bahwa negara-negara yang
menggunakan sistem di atas selalu melakukan penjajahan dan sejenisnya terhadap
negara-negara lainnya, khususnya dunia ketiga (yang sedang berkembang).
Kemiskinan,
dengan segala penyebabnya, juga tidak dapat dipisahkan dari adanya pengaruh
setiap individu atau masyarakat yang sangat lemah nilai akhlak dan
spiritualnya. Oleh karena itu, menyodorkan sebuah pemikiran dan akhlak, kepada
suatu masyarakat, merupakan hal yang sangat penting. Sebab, dengan begitu,
perang melawan kemiskinan dapat menjadi fokus utama dan dapat dilakukan dengan
cara yang tepat dan akurat.
Boleh jadi,
ada sebagian kalangan yang beranggapan bahwa kemiskinan merupakan perkara yang
dijunjung tinggi dalam Islam. Jelas, ini merupakan anggapan yang keliru.
Anggapan semacam ini tentu muncul dari orang-orang yang malas, yang rela dengan
kehidupan serbakekurangan dan hina, dengan membawa alasan bahwa itu adalah sebentuk
kezuhudan.
Bertentangan
dengan pendapat mereka, Islam bukan saja menghindari kemiskinan, bahkan
memandang bahwa kekuatan ekonomi merupakan perantara untuk mewujudkan kehidupan
yang baik. Sementara kemiskinan dianggap sebagai dinding yang bersatu dengan
dinding kekafiran.
Dalam riwayat
dikatakan bahwa adalah sangat mungkin kemiskinan akan menghantarkan manusia
kepada kekafiran (Safinah al-Bihâr).
Islam, yang sangat keras berupaya memerangi kekafiran, juga sangat keras
memerangi kemiskinan.
Rasulullah
saww bersabda, “Siapa saja yang tidak
memiliki kebutuhan kehidupan dunia, maka ia tidak memiliki kehidupan akhirat.”
Beliau juga
bersabda, “Ya Allah, berkatilah kami
dengan roti ini. Kalau bukan karena
roti, kami tidak akan bersedekah ataupun shalat.”
Dalam hal ini,
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib menyebut kemiskinan sebagai kematian, bahkan
kematian yang terbesar. Beliau berkata,
“Kemiskinan adalah kematian terbesar.”
Mengenal Kemiskinan
Dengan
melihat penyebab dan pengaruh kemiskinan, maka menjadi sangat penting bagi kita
untuk membahas dan mengenalinya.
Kemiskinan
bukan hanya masalah ekonomi, tetapi berkaitan dengan banyak sekali masalah
penyakit maknawi (spiritual) dan akhlak. Di mana saja ditemukan kemiskinan,
maka kebodohan, kelemahan, dan kurangnya keimanan juga akan ditemukan. Sebaliknya, di mana pun ditemukan
kebodohan, kelemahan, dan kurangnya
keimanan, maka di situ akan ditemukan pula kemiskinan.
Dapat
dipastikan, pabila dalam suatu masyarakat banyak ditemukan pemikir yang maju,
maka kehidupan materi mereka juga akan maju. Sebaliknya, masyarakat yang
pemikiran dan kebudayaan mereka terbelakang, kehidupan materi mereka pun juga
akan terbelakang.
Inilah yang
menjadikan negara-negara penjajah selalu berusaha menjadikan masyarakat di daerah
jajahannya tetap terbelakang dari sisi pemikiran dan budaya. Mereka selalu berusaha mencegah terjadinya
kemajuan pemikiran dan budaya pada masyarakat tersebut. Siasat seperti ini
merupakan cara yang paling baik dalam melanggengkan kekuasaan.
Karena
itulah, Imam Khomeini, pemimpin revolusi Islam, selalu mendorong kaum mustadh’afin (terjajah) untuk mengenali
cara-cara yang dilakukan oleh para penjajah. Beliau berkata, “Pabila kita dapat
berdiri sendiri dalam bentuk pemikiran, maka tidak ada satu kekuatan pun yang
akan mampu menghancurkan kita.”
Ya,
dalam setiap segi pertahanan dan pembangunan, selayaknyalah bila masyarakat
kembali kepada pemikiran dan pola budaya mereka sendiri, yaitu Islam. Pabila
mereka berpegang kepadanya, maka kekuatan Barat maupun Timur tidak akan pernah
mampu mengalahkan mereka. Al-Quran al-Karim menyeru masyarakat Islam untuk
kembali kepadanya. Allah Swt berfirman:
Maka mereka telah kembali pada diri-diri
(kesadaran) mereka.(al-Anbiyâ: 64)
Kekuatan
terbesar yang menjadikan masyarakat Islam terbelakang adalah menjauhnya mereka
dari pemikiran dan budaya mereka sendiri dan menggantikannya dengan pemikiran
dan budaya “orang lain”. Masyarakat yang merasa kagum dan selalu menjiplak
budaya selainnya akan kehilangan semua makna kemuliaan dan harga diri mereka.
Bahkan mereka akan sangat bangga bila mampu menjadikan diri mereka sendiri
sebagai budak bangsa lain. Dan dengan bangga pula mereka akan menyerahkan semua
kekayaan mereka kepada negara lain.
Ya,
masyarakat yang kehilangan kemerdekaan berpikir dan berbudaya akan hidup
laksana hewan piaraan yang patuh. Semua keinginan mereka akan muncul lantaran
mengikuti keinginan bangsa lain. Apapun yang dilakukan bangsa lain, mereka akan
mengikutinya. Bahkan keburukan yang
datang dari budaya bangsa lain pun akan mereka anggap sebagai seni.
Kemudian,
semua aspek kemerdekaan yang ada di dalam negerinya, mulai dari undang-undang,
ekonomi, politik, dan lain-lain, akan mereka ambil dari bangsa lain. Demikian pula dengan aspek budaya lainnya,
akan mereka hisap dengan penuh kepuasan dari bangsa luar, meskipun itu penuh
dengan racun kejahatan dan kerusakan.
Timur
dan Barat memang telah menggambarkan dan menggemborkan bahwa cara hidup mereka
adalah cara hidup yang ideal, meskipun itu sangat jauh dari kenyataan. Semua
propaganda seperti itu hanya akan mempengaruhi masyarakat yang tidak
berpijak pada dasar pemikiran mereka
sendiri. Dengan demikian, akal yang
sehat dan pemikiran yang lurus merupakan modal yang sangat bernilai bagi sebuah
masyarakat.
Amirul
Mukminin Ali berpesan, “Sesungguhnya kekayaan yang paling besar adalah akal.
Dan kemiskinan yang terbesar adalah kebodohan.” (Catatan Kaki: Nahj al-Balâghah,
mutiara hikmah ke-37).
Beliau juga
menyatakan, “Tidak ada kekayaan melebihi akal dan tidak ada kemiskinan melebihi
kebodohan.”(Catatan Kaki: Nahj al-Balâghah, mutiara hikmah ke-51) Dengan kata lain, dapat diungkapkan,
“Tuhanku, setelah Engkau memberikan akal, maka apalagi selainnya yang belum
Engkau berikan. Dan apabila Engkau tidak memberikan akal, maka adakah selainnya
yang Engkau berikan?”
Orang-orang
yang hidup di dunia ini dan hanya melihat sisi materi saja, yang beranggapan
bahwa kekuatan dan kekuasaan hanya diperoleh lantaran sisi yang terbatas ini,
maka setiap langkah, perbuatan, dan tujuan hidupnya hanya akan berasaskan pada
pandangan dunia materialisme saja. Keberuntungan dan kerugian, kebahagiaan dan
kesusahan dalam hidup ini, hanya akan diukur dengan beberapa tahun kehidupan di
dunia yang terbatas ini. Hukum yang
berlaku di antara mereka juga akan terbatas pada perhitungan nilai materi dan
lahiriah duniawi saja. Allah Swt
berfirman:
Mereka mengetahui yang dhahir dari kehidupan
dunia dan mereka telah lalai terhadap kehidupan akhirat. (Rum: 7)
Sementara,
kehidupan, pabila dilihat dari cara pandang Imam Ali bin Abi Thalib—murid utama
Rasulullah saww yang telah ditunjuk sebagai gerbang kota ilmu Nabi, yang telah
mengenal dan menyaksikan alam keghaiban dan dunia penyaksian, dan yang telah
berkata, “Apabila semua tabir yang menutupi dibuka dan ditunjukkan kepada saya
segala sesuatu yang ada di baliknya, (itu) tidak akan lagi menambah keyakinan
saya”—adalah selain kehidupan materi, yakni kehidupan maknawi yang lebih luas
dan abadi. Kebahagiaan dan kesusahan,
keberuntungan dan kerugian, ditentukan oleh kehidupan ini.
Beliau
berkata, “Kekayaan dan kemiskinan adalah setelah dihadapkan kepada Allah
Swt.” Artinya, kekayaan yang sebenarnya
adalah pahala surga yang mereka terima dari Allah Swt pada hari kiamat kelak.
Sebaliknya, kemiskinan yang sebenarnya adalah mereka yang dalam kehidupannya
kelak berada di dalam siksaan dan kemurkaan Allah Swt.
Ya, pada hari
itu, setiap orang yang datang dan di tangannya penuh dengan kebajikan, ia
adalah orang yang kaya dan beruntung. Setiap orang yang dalam kehidupan
dunianya telah bekerja bagi keberuntungan kehidupan akhiratnya adalah orang
yang berbahagia. Sementara orang yang menghabiskan umurnya secara sia-sia dalam
kehidupan dunia ini, maka di akhirat kelak ia akan hidup sebagai orang yang
miskin dan menderita.
Allah Swt
berfirman:
Barangsiapa yang mengerjakan amal yang
shalih, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri.
Dan barangsiapa yang berbuat jahat, maka (dosanya) atas dirinya sendiri.
Dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya
hamba-hamba-Nya. (Fushshilat: 46)
Amirul
Mukminin Ali dalam khutbahnya berpesan, “Bukankah kalian tinggal di hari-hari
yang penuh dengan harapan, sedangkan di belakangnya adalah ajal. Siapa saja yang beramal di hari-hari harapan
sebelum ajal tiba, maka amal telah bermanfaat baginya dan ajal tidak
merugikannya.”
No comments:
Post a Comment