SHALAT JENAZAH
Setelah mayat dimandikan, kemudian dikafankan dengan baik, maka
wajib dikafankan bagi umat ialam untuk mensalatkan saudara-saudaranya sesama
muslim.
1.
Dasar Hukumnya
عَنْ جَابَرٍ
أَدَّرَجُلاً مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ تُرُ وَأَنَّهُ ذُكِرَ لِرَ سُوْلِ اللهِ ص.م.فَقَ
لَ صَلَّوْاعَلَى صَا حِبِكُمْ ... ﴿رواه الخسمة الا الترمذى﴾
“karena hadiat jabir, bahwasanya
seorang laki-laki muslim meninggal dania kemudian hal itu diadakan kepada
Rasulullah saw, beliau bersabda” shalatkanlah (Jenazah) sahabatmu itu” (HR. Al-Hamzah
Kecuali Tarmizi)[1]
2.
Hukum menshalati mayat
Menshalati
mayat selain mati syahid adalah fardhu kifayah atas orang-orang yang masih
hidup menurut ijma' ulama, seperti hal nya prosesi mayat, pemandian,
mengkafani, dan menguburkan mayat.[2]
jika telah dilakukan oleh sebagian orang meski satu orang saja maka gugurlah
dosa dari sebagian yang lain. Ini adalah kekhususan untuk umat ini, seperti
halnya mewasiatkan hanya sepertiga saja. Para sahabat juga menshalat Nabi saw.
dan beliau saw. memerintahkan untuk menshalati bayi yang keguguran dan mayat
anak kecil. Nabi saw. sendiri pernah menshalati Raja Najasyi.[3]
Ketika ingin dilaksanakan shalat maka diaerukan 'shalat atas mayat'.
Sedangkan
menurut Hanafi,[4]
menshalati mayat itu adalah kewajiban atas setiap Muslim yang telah meninggal kecuali
empat golongan; mereka adalah para pembangkang dan perampok jika mereka
terbunuh di dalam medan perang, orang-orang fanatik, para pemberontak di suatu
negeri yang menghunuskan senjata di malam hari, ataupun orang yang sering
menggantung orang.
Adapun para
pembangkang itu adalah mereka umat Ialam yang telah keluar dari patuh kepada
imam tanpa adanya alasan yang benar. Mereka tidak boleh dimandikan ataupun dishalati.
Untuk menghina mereka. Juga, sebagai pelajaran bagi yang lainnya yang melakukan
perbuatan seperti mereka. Itu pun jika mereka terbunuh di medan pertempuran.
Sedangkan jika mereka terbunuh setelah pemerintah yang berkuasa berhasil
menguasai mereka maka mereka patut untuk dimandikan dan dishalati. Sebab,
pembunuhan mereka pada saat itu hanyalah untuk siasat politik dan menghilangkan
ancaman mereka. Itu hanyalah sebuah hukuman dan manfaatnya kembali kepada
masyarakat umum.
Adapun para
perampok, mereka adalah sekelompok umat Ialam yang keluar dengan berjalan kaki
dengan tujuan mengambil harta milik orang lain. Mereka juga tidak patut untuk
dimandikan ataupun dishalati, seperti halnya para pembangkang jika terbunuh di
medan perang. Namun, mereka patut untuk dimandikan dan dishalati jika terbunuh
setelah tertangkap oleh penguasa. Sebab, membunuh perampok pada saat sudah
tertangkap merupakan hukum qiahash. Siapa yang terbunuh karena Sebab qiahash
maka patut untuk dimandikan dan dishalati. Terbunuhnya karena qiahash ketika
telah gugurnya hukuman, seperti perampok dekat dengan bulan Muharram.
Jika seorang
pemberontak ataupun perampok meninggal sebelum sempat dihukum ataupun
sesudahnya maka ia tetap dishalati.
Berikutnya,
kelompok fanatik; tiierekaadalah orang-orang yang Baling tolong-menolong dalam
kezaliman. Mereka marah terhadap suatu kaum ataupun kabilah.[5]
Adapun hukuman untuk orang-orang yang terbunuh karena melakukan praktek fanatiame
adalah seperti hukum orang yang membangkang secara detail sebelumnya. Dihukumi
seperti mereka juga orang-orang yang berdiri dan memandangi mereka, jika mereka
terkena batu atau lainnya dan meninggal pada saat itu juga. Adapun jika mereka
meninggal setelah bubar maka mereka dishalati.
Selanjutnya,
para pemberontak di suatu negeri dengan menghunuskan senjata ataupun
menggantung orang maka mereka seperti perampok menurut pendapat yang difatwakan
dari mazhab Hanafi. Itu adalah pendapat Abi Yusuf, jika dilakukan pada malam
hari secara mutlak, ataupun di slang hari dengan menghunuskan senjata ataupun
mengulangi dalam memanggul senjatanya maka mereka dibunuh sebagai cara atas
usaha merusak dan menghapus kejahatannya. Mereka dihukumi seperti perampok
ataupun pembangkan, tidak dimandikan ataupun dishalati.
Tidak dishalati
pula orang yang membunuh salah satu orang tuanya untuk menghinanya, jika imam
membunuhnya sebagai qiahash. Sedang jika ia meninggal dengan sendirinya maka dishalati.
Siapa yang
melakukan bunuh diri secara sengaja maka tetap dimandikan dan dishalati menurut
pendapat yang difatwakan oleh mazhab Hanafi, juga Syafi'i. Meskipun dosa yang
dipikul sangat besar bagi orang yang membunuh orang lain, karena dia adalah
orang fasik yang tidak berjalan di bumi dengan kerusakan. jika seseorang itu
pembangkan atas dirinya sendiri maka ia seperti orang-orang fasiq dari umat Ialam.
Sekelompok
orang, seperti Abu Yusuf dan Ibnu Himam berpendapat bahwa tidak perlu dishalati
orang-orang seperti di atas, seperti Yang terdapat dalam Shahih Muslim bahwa
Nabi saw. dihadapkan pada mayat seorang laki-laki yang bunuh diri dan beliau
tidak mau menshalatinya.[6]
Mazhab Maliki
berpendapat,[7]
imam tidak perlu menshalati orang yang terbunuh karena hukuman ataupun sebab qiahash,
tetapi orang lain boleh menshalatinya. Sebab, Rasulullah saw. tidak menshalati
penggembala kambing, tetapi beliau saw. tidak melarang orang untuk
menshalatinya.[8]
Maliki juga
berpendapat, selayaknya bagi orang-orang yang mulia untuk menghindari dari menshalati
para ahli bid'ah, orang yang menampakkan dalam melakukan dosa besar, untuk
memberi pelajaran kepada orang-orang semiaalnya.
Hambali memberi
pengecualian dari wajibnya menshalati jenazah yang mati syahid ataupun
terbunuh karena kezaliman, sebagaimana mayoritas ulama selain Hanafi juga
mengecualikan orang yang mati syahid seperti Yang diterangkan berikut.
Diriwayatkan bahwa Nabi saw. meninggalkan shalat atas mayat pengkhianat dari
ghanimah dan orang yang bunuh diri.[9]
3.
Siapakah yang berhak memimpin shalat jenazah?
Para ahli fiqih memiliki tiga pendapat, yaitu sebagai berikut.[10]
Pendapat pertama, mazhab Hanafi :
sultan jika hadir ataupun wakilnyalah
yang lebih berhak untuk memimpin shalat jenazah karena sebab kepemimpinannya.
Karena, ketika orang lain yang maju memimpin shalat maka sama saja
menghinanya. jika sultan tidak datang maka hakim, sebab dialah pemegang
kekuasaan. jika hakim tidak hadir juga maka imam kampung yang maju memimpin,
karena orang yang meninggal itu telah merestui ketika ia masih hidup maka
dialah yang paling berhak untuk memimpin shalat atas jenazahnya setelah
meninggalnya. Berikutnya, didahulukan wali laki-laki yang mukallaf dengan urutan
keluarga ataupun wali nikali kecuali ayah maka lebih didahulukan daripada
anaknya. Didahulukan pula orang yang paling dekat lalu berikutnya seperti
urutan mereka dalam hal perwalian nikali. Siapa saja yang memiliki hak untuk
maju memimpin hendaknya mengizinkan orang lain juga untuk maju. Siapa saja
yang memiliki kekuasaan untuk maju memimpin maka dialah yang lebih berhak
daripada orang Yang telah diwasiatkan oleh sang mayat dalam memimpin shalatnya
menurut pendapat yang telah difatwakan, karena wasiatnya adalah batal.
jika seseorang dishalati -oleh
selain pemimpin, sultan, ataupun wakilnya maka sang pemimpin boleh mengulang
shalat tersebut meskipun di atas kuburnya jika ia mau. Itu dilakukan karena
haknya bukan demi gugurnya kewajiban. Sedangkan jika pemimpin yang memimpin
shalat maka tidak boleh seorangpun memimpin shalat lagi setelahnya. Sebab, kewajiban
itu telah dilakukan pada pelaksanaan pertama, sedang melakukan shalat tambahan
untuk jenazah tidak diayariatkan.
Jika jenazah dikuburkan dan belum
sempat dishalati maka jenazah itu dishalati di atas kuburnya selama
diperkirakan belum rusak mayatnya karena telah berbedanya keadaan, waktu, dan
tempat.
Pendapat kedua, mazhab Maliki dan Hambali: orang yang paling berhak untuk memimpin shalat jenazah adalah
orang yang telah diwasiatkan oleh mayat untuk menshalatinya, demi mengamalkan
apa yang telah dilakukan oleh para sahabat. Abu Bakar r.a. pernah berwasiat
agar Umar menshalatinya. Umar r.a. juga pernah berwasiat agar Shuhaib
menshalatinya. Aiayah r.a. berwasiat agar Abu Hurairah menshalatinya. Ummu
Salamah berwasiat agar Said bin 'laid yang menshalatinya.. dan seterusnya.
Berikutnya, pemimpin, atau gubernur, seperti hadits sebelumnya,
لاَ يُؤُمِّ
الرَّجُلُ الرَّجُلَ فيِ سُلْطَانِهِ
"Tidak boleh seseorang itu
mengimami orang lain dalam kepemimpinannya," Selanjutnya, para wali keluarga sesuai urutan perwalian mereka
dalam nikali maka didahulukan ayah meskipun tinggi, lalu anak meskipun di
bawah, baru setelah itu orang yang lebih dekat dan seterusnya dari keluarga.
Saudara lebih didahulukan, lalu paman, anak paman, dan begitu seterusnya.
Akan tetapi, menurut Maliki, saudara
dan anak lebih didahulukan daripada kakek karena lebih mewakili anak, sedang
kakek lebih mewakili bapak. Kaum wanita dalam mazhab Maliki boleh memimpin
shlaat ketika tidak adanya kaum laki-laki dalam satu gelombang, karena tidak
sah kepemimpinan shalat mereka jika ada kaum laki-laki.
Didahulukan orang yang lebih Utama dan
berikutnya maka didahulukan laki-laki dari wanita, orang dewasa dari anak
kecil, dan siapa saja yang memiliki kedalaman agama. jika semua orang sama maka
didahulukan orang yang lebih tua. jika semua sama maka didahulukan dengan cara
diundi ataupun kerelaan. Ini adalah pendapat Maliki. Sedangkan ungkapan
Hambali, didahulukan orang yang paling berhak untuk menjadi imam dalam shalat
lima waktu, karena umumnya maksud dari sabda Nabi saw.,
يَؤُمُ
القَوْمُ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتاَبِ اللهِ
"Hendaknya orang yang memimpin
shalat suatu kaum itu adalah orangyang paling indah bacaan Al-Qur'annya."
Pendapat ketiga, mazhab Syafi'i
dalam pendapat yang baru: pemimpin lebih
berhak untuk memimpin shalat daripada walinya. jika mayat telah berwasiat
kepada selain wali (keluarga) untuk memimpin shalat, sedang shalat itu adalah
hak keluarga maka wasiatnya tidak perlu dilaksanakan dengan menganggapnya gugur
seperti harta warisan. Sebab, maksud dari shalat jenazah itu sendiri adalah doa
untuk mayat, sedang doa keluarga itu lebih dekat untuk dikabulkan karena rasa
sedih dan terpukulnya. Adapun wasiat para sahabat r.a. dianggap bahwa para
keluarga mereka membolehkan dilaksanakannya wasiat tersebut. Karena itulah,
didahulukan ayah, lalu kakek meskipun jauh, lalu anak, lantas cucu meskipun
jauh, dan saudara. Menurut pendapat yang paling dzahir itu lebih mendahulukan
saudara kandang daripada saudara satu ayah. Berikutnya, keponakan dari saudara
kandang, lalu keponakan dari saudara satu ayah. Selanjutnya, sisa keluarga sesuai
urutan warisan. Paman kandang lebih didahulukan dari paman satu ayah, sepupu
dari paman kandang didahulukan dari satu ayah.
Selanjutnya, keluarga yang lain,
orang yang lebih dekat lebih dahulukan dari selainnya. Kakek dari ibu
didahulukan, lalu saudara ibu, lalu paman dari ibu, lalu paman ibu.
Jika berkumpul dua wali dalam satu
derajat, seperti dua anak atau dua saudara dan keduanya berhak atas
kepemimpinan shalat maka yang paling diutamakan dalam Islam adalah orang yang
paling adil lebih berhak daripada ahli fiqih dan sejenisnya.
4.
Keadaan berkumpulnya jenazah
Semua mazhab
sepakat [11]
dibolehkannya shalat atas banyak jenazah sekaligus. Meskipun, menshalati satu
per satu jenazah itu lebih baik maka didahulukan orang yang lebih utama. Sebab,
menyendirikan shalat itu lebih banyak pahalanya dan lebih dapat dikabulkan.
Dalam keadaan
berkumpulnya banyak jenazah, Hanafi berpendapat, semua jenazah itu dibuat
berbaris lebar, lalu imam berdiri di depan jenazah yang paling mulia di antara
mereka. Ataupun, semua jenazah itu dibuat berbaris panjang dengan menghadap
kiblat, dimana setiap dada mereka berada di hadapan imam, sejajar.
5.
Rukun-rukun shalat jenazah, sunnah-sunnah, dan tata caranya
Shalat jenazah
itu memiliki dua rukun saja menurut Hanafi, lima menurut Maliki, dan tujuh
menurut Syafi'i dan Hambali.
Adapun mazhab
Hanafi,[12]
menurut mereka shalat jenazah memiliki dua rukun; empat takbir dan berdiri.
Takbir pertama, adalah takbiratul ihram merupakan rukun bukan syarat maka tidak
boleh melakukan takbir lain atasnya. Takbir itu berjumlah empat, dimana setiap
takbir setara dengan satu rakaat. Diwajibkan mengucapkan salam sebanyak dua
kali setelah empat takbir. Hal yang wajib menurut mereka hanya satu, yaitu
salam. Adapun rukun ada dua; takbir dan berdiri. Niat merupakan syarat bukan
rukun. Shalat jenazah tidak boleh dilakukan dalam keadaan menunggang ataupun
duduk tanpa adanya uzur.
Sunnah-sunnah
shalat ada tiga; tahmid dan pujian, berdoa, dan shalawat kepada Nabi saw.
Adapun tahmid dan pujian berupa " سبحنك اللهم بحمدك "Sedangkan
shalawat kepada Nabi saw. setelah takbir kedua. Doa untuk mayat setelah takbir
ketiga. Dianjurkan bila barisan orang yang melakukan shalat jenazah itu berjumlah
tiga, seperti yang terdapat dalam hadits berikut,
مَنْ صَلىَ
عَلَيْهِ َثلاَشَةُ صٌفٌوفٍ غُفِرَ لَهُ
"Siapa
yang dishalati oleh tiga barisan jamaah shalat maka ia akan diampuni."
Tata caranya; orang yang shalat mengangkat kedua tangannya hanya pada takbir
pertama saja, lalu ia berdoa setelahnya dengan doa pujian, yaitu " سبحنك اللهم بحمدك " Berikutnya, ia
bershalawat kepada Nabi saw. seperti yang terdapat dalam tasyahhud, setelah
takbir kedua karena mendahulukannya dari doa itu sunnah. [13]
Selanjutnya, ia bertakbir lagi satu kali dan berdoa untuk dirinya, mayat, dan
umat Islam secara umum. Usai berdoa, ia bertakbir untuk keempat kalinya lalu
mengucapkan salam. Sebab, Nabi saw. melakukan takbir sebanyak empat kali pada
shalat terakhir yang beliau lakuka [14]
maka tindakan beliau itu menghapus sebelumnya. setelah takbir keempat itu ada
waktu untuk menyelesaikan, yaitu dengan salam. Tidak ada doa lagi setelah takbir
keempat kecuali salam saja menurut dzahirnya riwayat. Beberapa tetua ulama
mazhab Hanafi memilih untuk dibacakan doa,
رَبَّناَ
اَتِناَ فِي الدُّنْياَ حَسَنَة وَفيِ اْلاَخِرَةِ حَسَنَةِ وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
"Ya Tuhan
kami, berilah kami kebaikan di dania dan kebaikan di akhirat dan peliharalah
kami dari siksa neraka." (al-Baqarah:
201) ataupun,
رَبَنَّا لاَتُزِغْ قُلُوْ بَنَا إِذْ هَدَيْتَناَ
. . . اِلاَّيَة
"Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah
Engkau beri petunjuk kepada kami..." (Ali-'Imran: 8)
Tidak ada
bacaan ataupun tasyahhud dalam shalat jenazah. jika imam bertakbir sebanyak
lima kali maka tidak perlu diikuti dan makmum cukup berdiam saja sampai imam
mengucapkan salam dan ikut salam bersamanya. Tidak ada doa tertentu. Doa yang
ma'tsur setelah takbir keempat itu lebih baik dan lebih gamblang untuk memohon
dikabulkan, seperti:
اللَّهُمَّ اْغفِرْ لَهُ وَاْرحَمْهُ وَعاَفِهِ
وَاعْفُ عَنْهُ وَأكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالمَاءِ وَالثَلْجِ
وَالبَرْدِ وَنَقِّهِ مِنْ الخَطَاياَ كَماَ يُنَقَّى الثَوْبُ الأَبْيَضُ مِنْ
الدَّنَسِ, وَابْدِلْهُ داَرًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ
,وَأَدْخِلْهُ الجَنَّةِ, وَقِهِ فِتْنَةَ القَبْرِ وَعَذَابَ النَّارِ.
"Ya Allah,
ampunilah dia dan rahmatilah ia! selamatkan dan sembukanlah ia! Muliakan tempat
persinggahannya! Luaskan tempat masuknya! Mandikanlah ia dengan air, salju,
dan air dingin! Bersihkan ia dari dosa-dosanya seperti dibersihkannya baju
putih dari kotoran! Gantikanlah rumahnya lebih baik dari rumahnya di dunia![15]
Keluarganya lebih baik dari keluarga di dunia!.... Masukkanlah ia ke dalam
surga! jagalah ia dari fitnah kubur dan siksa neraka !"[16]
Diantara doa ma'tsur
lainnya adalah,
الَلَّهُمَّ اْغفِرْ لِحَيِّناَ وَمَيِّتِناَ وَشَاهِدِناَ
وَغاَئِبِناَ وَصَغِيْرِناَ وَكَبِيْرِناَ وَذَكَرِناَ وَأُنْثَاناَ اْللَّهُمَّ مَنْ
أَحْيَيْنَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلىَ الإِسْلاَمِ وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِناَّ فَتَوَ
فِيْهِ عَلىَ اْلإِيْماَنِ , اْللَّهُمَّ لاَتحَْرِمْناَ أَجْرَهُ وَلاَتُضِلَّناَ
بَعْدَهُ.
"Ya Allah,
ampunilah orang yang hidup di antara kami, mayit kami, orang yang Hadir sekarang, atau orangyang tidakada, anak
kecil [17]"
dan orang dewasa, laki-laki ataupun perempuan! Ya Allah, siapa yang Engkau
hidupkan di antara kami maka hidupkanlah ia dalam Islam, siapa yang Engkau
matikan di antara kami maka matikunlah ia dalam keimanan! Ya Allah, janganlah
Engkau cegah kami dalam menerima pahalanya dan jangan Engkau sesatkan kami sepeninggalnya!
[18]
Jangan memohon
ampunan untuk orang gila dan anak kecil, karena keduanya tidak memiliki dosa.
Katakanlah dalam doa,
اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ لَناَ فَرَطاً وَاجْعَلْهُ
لَناَ أَجْراً وَذُخْرًا وَاجْعَلْهُ لَناَ شاَفِعاً وَمُشَفِّعاً.
"Ya
Allah, jadikanlah ia pendahulu kami! jadikanlah ia pahala dan simpanan kami!
jadikanlah ia pemberi syafaat yang diterima!"
Pertama, niat.
Hendaknya seseorang berniat untuk melakukan shalat untuk mayat tertentu, atau
mayat Muslim yang ada pada saat itu. Tidak disyaratkan untuk mengetahui jenisnya,
laki-laki ataukah perempuan. Tidak mengapa bila tidak jelas karena hanyalah fardhu
kifayah. Tidak perlu yakin akan laki-laki ataupun perempuan, karena maksudnya
adalah mayat di depannya.
Kedua, empat
takbir. Tidak boleh lebih ataupun kurang dari empat. Setiap takbir setara
dengan satu rakaat dalam jumlahnya.
Jika imam
menambah takbir kelima secara sengaja ataupun lalai maka ia tidak perlu
menunggu, tetapi makmum boleh mengucapkan salam sebelum imam dan shalatnya sah
untuk mereka dan imam. karena, takbir bukanlah seperti rakaat dalam semua
bentuknya. Jika makmum menunggu imam dan ikut salam bersamanya maka shalatnya
juga sah.
Jika kurang
dari empat kali maka imam diberi tabu dengan tasbih. Jika imam kembali dan
bertakbir un'uk yang keempat kalinya maka semua makmum ikut bertakbir bersamanya
dan salam bersamanya juga. Sedangkan jika imam tidak kembali maka makmum boleh
bertakbir sendiri-sendiri dan mengucapkan salam masing-masing dan shalat mereka
sah.
Shalat jenazah
berbeda dari shalat lainnya karena beberapa salaf memandang bahwa shalat
jenazah lebih banyak dari empat takbir, sedang sebagian yang lain memandangnya
kurang dari itu.
Mazhab Syi'ah
Imamiyah berpendapat' [20] bahwa shalat jenazah memiliki lima takbir; empat di antaranya
untuk berdoa. Tidak ada doa tertentu. Adapun dalil orang-orang yang mengatakan
bahwa shalat jenazah memiliki lebih dari empat takbir adalah hadits Hudzaifah,
bahwa ia melakukan shalat atas satu jenazah dengan lima takbir, lain pergi.
Hudzaifah berkata,
أَنَّهُ صَلَّى
عَلَ جَنَازَةٍ فَكَبَّرَ خَمْسًا ثُمَّ الْتَفَتَ ,فَقَا لَ :مَا نَسِيْتُ وَلاَ
وَهَمْتُ,وَلَكِنْ كَبَّرْ تُ كَمَا كَبَّرَ انَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمُ
صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ فَكَبَّرَ خَمْسًا
"Aku tidak lupa dan ragu. Aku bertakbir seperti yang
dilakukan oleh Nabi saw. Bahan menshalati jenazah dengan lima takbir."
[21]
Mayoritas ulama
Ahlu Sunnah lebih memilih pendapat empat takbir dengan pertimbangan di
antaranya; terdapat dalam dua kitab Shahih, i1ma' para sahabat untuk melakukannya,
dan empat takbir itu adalah shalat terakhir yang dilakukan oleh Nabi saw..[22]
Rukun ketiga, doa sebisanya untuk mayat di antara takbir meski hanya berdoa, "Ya Allah, ampunilah ia." Seseorang juga boleh berdoa lagi setelah takbir keempat jika ia mau, sedang jika ia tidak mau maka ia boleh tidak berdoa dan
langsung salam. Pendapat yang masyhur adalah
tidak adanya kewajiban berdoa. Ada-pun
pendapat yang dipilih dari Dardir, wajibnya
berdoa setelah takbir keempat dan di dalam shalat jenazah tidak ada
bacaan al-Fatihah. Akan tetapi, untuk lebih wara' lagi untuk menjaga perbedaan
pendapat.
Doanya bisa
dibuat untuk dua orang jika mayat,berjumlah
dua, dan bisa juga dibuat jamak jika mayatnya banyak maka ketika mayat
berjumlah dua berdoa,
اَلَّلهُمَّ إنَّهُمَا
عَبْدَ اكَ وَابْنَا عَبِيْدِ كَ. وَابْنَا أُمَّتَيْكَ كَانَا يَشْهَدَ انَ.
"Ya Allah, keduanya adalah hamba-Mu dan anak hamba-Mu. Keduanya telah bersaksi." Sedangkan untuk jamak,
Biasanya,
laki-laki lebih mendominasi atas perempuan
jika berkumpul banyak laki-laki dan perempuan.
Dalil disyariatkannya doa untuk mayat adalah
hadits,
إِذَا صَلَّيْتُمْ عَلَى الْمَيِّتِ فَأَ خْلَصُوالَهُّ
الدُّعَاءَ
"Jika
kalian menshalati mayat maka berdoalah
untuknya dengan ikhlas![23] Doa diucapkan oleh imam dan makmum setiap kali usai
bertakbir. Minimalnya adalah, 'Ya Allah, ampunilah
ia!' atau rahmatilah ia, dan makna yang semisalnya.
Doa yang paling
bagus adalah doa Abu Hurairah r.a. yang diucapkan setelah memuji kepada Allah
SWT dan bershalawat kepada Nabi-Nya,
اَللَّهُمَّ إنَّهُ عَبْدِكَ
وَاْبنُ عَبْدِكَ وَاْبنُ أَمَتِكَ كاَنَ يَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِ لاَّ الله وَ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُكَ وَرَسُوْلُكَ وَ أَنْتَ اَعْلَمُ بِهِ, اَللَّهُمَّ إنْ
كاَنَ مُسِيْئاً فَتَجَاوَزْ عَنْ شَيِّئاَ
تِهِ اَللَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْناَ أَجْرَهُ وَلاَ تَفْتِنَّا بَعْدَهُ.
"Ya Allah,
dia adalah hamba-Mu, putra hamba-Mu. Dia
telah bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba-Mu
dan Rasul-Mu. Engkau lebih mengetahui tentangnya. Ya Allah, jika ia seorang
yang balk maka tambahkanlah kebaikannya, sedang jika orang yang jelek maka
ampunilah kejelekan-kejelekannya! Ya Allah,
janganlah Engkau cegah kami dari menclapat pahalanya dan jangan Engkau
fitnah kami sepeninggalnya ! [24]
Untuk wanita
berupa,
اَللَّهُمَّ إِنَّهاَ اَمَتُكَ وَ بِنْتُ عَبْدِكَ,
وَبِنْتُ أَمَتِكَ.
Sedangkan untuk
bayi laki-laki,
اَللَّهُمَّ إنَّهُ عَبْدِكَ
وَاْبنُ عَبْدِكَ اَنْتَ خَلَقْتُهُ وَرَزَقْتُهُ وَاَنْتَ أَمَتَهُ وأنت
تُحْيِيْهِ, اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ لِوَالِدِيْهِ سَلَفًا وَذُخْرًا وَفَرَطاً وَاَجْرًا
وَثَقِّلْ بِهِ مَوَازِيْنَهُمَا وَأَعْظِمْ بِهِ أُجُوْرَهُمَا وَلاَ تَفْتِناَ وَإِياَّهُماَ
بَعْدَهُ. اَللَّهُمَّ الحَقَهُ بِصَلِحِ
سَلَفِ الْمُؤْمِنِيْنَ فىِ كَفَالَةِ إِبْرَاهِيْمَ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا
مِنْ دَارِهِ وَأَهْلاً خَيْراً مِنْ أَهْلِهِ وَعَافِهِ مِنْ فِتْنَةِ القَبْرِ وَ
عَذَابِ جَهَنَّمَ
"Ya
Allah, dia adalah hamba-Mu, putra hamba-Mu. Engkaulah yang menciptakannya,
memberi rezeki kepadanya, Engkaulah pengasuhnya
dan Engkau pula yang menghidupkannya. Ya Alah, jadikanlah ia untuk
kedua orang tuanya penjamin, harta simpanan,
pendahulu, dan pahala! Beratkanlah dengannya timbangan keduanya! Buatlah lebih besar pahala untuk keduanya dengannya! jangan Engkau fitnah kami dan jangan Engkau abaikan keduanya sepeninggalnya! Ya Allah, masukkanlah
ia ke dalam golongan orang-orang mukmin yang
shaleh yang menjadi tanggungan Ibrahim! Gantikanlah rumahnya lebih baik
dari rumahnya di dunia! Keluarga lebih baik dari keluarganya di dunia! Selamatkanlah ia dari fitnah kubur dan
siksa neraka!"
Rukun keempat,
salam satu kali yang diucapkan dengan
keras oleh imam sekiranya dapat didengar, sedang untuk selain imam dianjurkan
untuk bersuara pelan.
Kelima, berdiri bagi yang mampu berdiri, tidak
untuk orang yang tidak mampu.
Hal-hal yang
dianjurkan:
a.
Mengangkat kedua tangan sejajar dengan dua pundak ketika takbir pertama saja.
b.
Memulai
doa dengan memuji Allah dan bershalawat
kepada Nabi saw dengan berkata,
![]() |
"segala puji bagi Allah yang Mematikan dan Menghidupkan,
segala puji bagi Allah yang Menghidupkan
orang-orang mati, Dialah Berkuasa
atas segala sesuatu. Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarganya, berkahilah Muhammad dan
keluarganya, sebagaimana Engkau bershalawat
dan memberkahi Ibrahim dan
keluarganya. Engkau Maha Terpuji dan Mulia di semesta alam."
c.
Membaca
doa dengan pelan
d.
Imam berdiri di tengah-tengah mayat lakilaki, sejajar
dengan kedua pundak untuk mayat selain laki-laki; perempuan atau banci.
Kepala mayat berada di sisi kanan imam,
kecuali jika dishalati di raudhah maka kepalanya berada di sisi kiri
imam menghadap kepala Nabi saw. Karena, jika tidak demikian maka tidak sopan.
Dalil mereka
adalah hadits Samurah,
أَنَّ النَِبّى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
صَلّىَ على اْمرَأَةٍ مَاتَتْ فىِ نِفاَسِهاَ فَقاَم َعَلَيْهَا وَسْطُهاَ.
"Nabi
saw. menshalati mayat wanita yang meninggal
dalam keadaan nifas maka beliau berdiri di tengah-tengahnya." [25]
Al-Hafidz bin
Hajar berkata dalam buku al-Fath, Bukhari memberikan terjemah dan bermaksud tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan wanita, seraya mengisyaratkan akan kelemahan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Anas bin
Malik bahwa beliau saw. menshalati mayat laki-laki dan berdiri di depan
kepalanya, lalu menshalati mayat wanita dan berdiri di depan panggulnya.
Tata cara shalat jenazah yang masyhur adalah seseorang bertakbir, lalu memulai dengan memuji Allah dan shalawat kepada Rasul-Nya berupa shalawat ibrahimiyah,
lalu mendoakan mayat. Ini diucapkan
setiap kali usai bertakbir. Sedangkan
untuk takbir keempat mengucapkan,

"Ya Allah, ampunilah orang-orang yang masih hidup di antara kami, mayat-mayat kami, orang yang hadir, dan orang yang tidak hadir, anak-anak kecil dan orang-orang dewasa,
laki-laki dan perempuan, karena Engkau Maha Mengetahui perubahan dan
tempat kembali kami. Ampuni juga orang tua kami dan orang-orang yang telah mendahului kami dengan
keimanan, juga untuk kaum muslimin dan muslimat,
mukminin dan mukminat, orang-orang
yang masih hidup dari mereka ataupun yang
suclah meninggal. Ya Allah, siapa saja yang Engkau hidupkan di antara
kami maka hidupkanlah dalam keimanan, sedang
siapa saja yang Engkau cabut nyawanya
di antara kami maka buatlah mereka meninggal dalam keislaman. Buatlah kami gembira ketika bertemu
dengan-Mu, buatlah kami senang dengan kematian
dan buatlah kematian senang dengan kami. Jadikanlah kematian kerehatan
dan kesenangan kami!" Lalu mengucapkan salam.
Syafi'i dan
Hambali berpendapat, [26] shalat jenazah itu memiliki tujuh rukun, kecuali niat menurut Hambali merupakan syarat bukan rukun,
sama seperti pendapat Hanafi.
1.
Niat seperti shalat-shalat lainnya, seperti sabda Nabi saw.
إِنَّماَ
اْلاَعْماَلُ باِلنِياَّتِ
'setiap perbuatan itu tergantung niatnya."
Bentuk niat itu sendiri adalah henclaknya seseorang berniat untuk melakukan shalat untuk mayat ini, atau untuk banyak mayat jika banyak. Niat
cukup menghilangkan kewajiban dan tidak
wajiba menentukan mayat. Namun, jika ditentukan dan ternyata salah maka shalatnya batal menurut
Syafi'i.
Tangan kanan diletakkan di atas Langan kiri usai takbir, sedang
menurut Hambali keduanya diletakkan di bawah pusar dan menurut Syafi'i, antara
pusar dan dada. seseorang hendaknya ber-ta'awwudz dan membaca basmalah
sebelum membaca al-Fatihah, namun tidak
membaca doa pembuka atau doa lainnya karena shalat jenazah ringan saja.
Karena itulah tidak disyariatkan untuk
membaca surah lain setelah al-Fatihah.
2.
Empat takbir termasuk takbiratul ihram, seperti hadits yang terdapat dalam dua kitab Shahih dari Anas dan lainnya,
أَنَّ
النَِبّى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَبَّرَ عَلىَ الجَناَزَةِ اَرْبَعاً.
"Bahwa Nabi saw. bertakbiruntukjenazah sebanyak empat kah", sedang dalam Shahih Muslim,
أَنَّ
النَِبّى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعىَ
النَجَاشِي فىِ اليَوْمَ الَّذِى
ماَتَ
فِيْهِ فَخَرَجَ اِلىَ المُصَلىَ وَ كَبَّرَ أَرْبَعَ تَكْبِيْرَتٍ.
"Nabi saw. memberi kabar kematian Najasyi
pada hari dia meninggal. Lantas beliau
keluar ke tempat shalat dan bertakbir
sebanyak empat takbir." Dalam Muslim juga disebutkan dari Ibnu
Abbas r.a.,
أَنَّهُ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عَلىَ قَبْرِ بَعْدِ ماَ دُفِنَ وَ كَبَّرَ
أَرْبَعاً.
Beliau saw. shalat di atas kubur setelah mayat dimakamkan, dengan empat takbir.[27] Beliau saw. pernah bersabda,
صَلُّوْا
كَماَ رَأَيْتُمُو ني أُصَلَّى
"Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat." Namun, jika imam bertakbir lima kali maka shalat tidak sampai batal, menurut pendapat yang paling shahih dalam mazhab Syafi'i tetapi makmum tidak perlu mengikuti, bahkan boleh mengucapkan salam ataupun menunggu untuk mengucapkan salam bersama
imam.
Hambali mengatakan, jika imam bertakbir lima kah maka makmum ikut bertakbir bersamanya, namun tidak boleh lebih dari tujuh takbir ataupun kurang dari empat takbir. Lebih baik, tidak lebih dari empat untuk keluar dari perbedaan pendapat.
3.
Membaca al-Fatihah setelah takbir pertama seperti shalat lainnya, seperti khabar Bukhari dan lainnya,

Ibnu Abbas r.a. membaca al-Fatihah pada shalat jenazah. la berkata, "Agar kalian tabu bahwa itu
adalah sunnah." Tempatnya adalah setelah takbir pertama, seperti diriwayatkan oleh Baihaqi. Pendapat yang dipegang oleh Syafi'i bahwa al-Fatihah boleh dibaca usai selain takbir pertama, yaitu takbir kedua, ketiga, ataupun keempat.
4.
Shalawat kepada Rasulullah saw., berupa shalawat ibrahimiyah setelah takbir
kedua karena salaf melakukannya. Penclapatyang shahih menurut Syafi'i bahwa shalawat kepada keluarga
tidaklah wajib, namun wajib menurut Hambali dan bentuknya seperti
tasyahhud, tidak boleh lebih.
5.
Doa khusus untuk mayat setelah takbir keempat, karena itu adalah tujuan utama dari shalat sedang sebelumnya hanyalah mukadimah saja, seperti hadits sebelumnya,

'Jika kalian shalat jenazah maka berdoalah dengan ikhlas
untuknya." Doa minimal adalah,
"Ya Allah rahmatilah dia, ya Allah ampunilah
dia!" Doa yang paling sempurna
akan disebutkan berikutnya. Doa tidak cukup
untuk mukminin dan mukminat. Doa
harus diucapkan setelah takbir ketiga untuk
mengikuti sunnah, dan tidak wajib setelah takbir keempat.
6.
Mengucapkan salam usai bertakbir dan bentuknya seperti dalam shalat-shalat lainnya, baik tata cara dan jumlahnya.
7.
Berdiri jika mampu, seperti shalat fardhu lainnya. Tidak ada perbedaan di antara ulama bahwa tidak boleh bagi seseorang melakukan shalat jenazah dalam keadaan menunggang, karena is meninggalkan berdiri yang wajib.
Sunnah-sunnah
shalat jenazah; mengangkat kedua tangan pada setiap takbir sejajar
dengan dua pundak, lalu meletakkan keduanya
usai setiap kah bertakbir di bawah dada
menurut Syafi'i,dandi bawah pusar menurut Hambali.
Melembutkan bacaan, menurut pendapat yang
paling shahih menurut Syafi'i, sedang Hambali
dianjurkan ta'awwudz tanpa doa pembuka,dan
mengucapkan amin setelah alFatihah.
Selanjutnya, meratakan barisan dalam shalat
jenazah, sebagaimana dilakukan oleh Nabi
saw. ketika melakukan shalat untuk Najasyi.
Syafi'i menambahkan, memuji Allah sebelum
bershalawat kepada Nabi saw., lalu doa untuk
kaum mukminin dan mukminat setelah shalawat
kepada Nabi saw.,dan terakhir salam kedua.
Hambali ikut menambahkan, disunnahkan
orang yang melakukan shalat tetap berdiri sampai jenazah diangkat,
sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar dan
Mujahid. Dianjurkan juga dalam dua
mazhab; Hambali dan Syafi'i barisan terdiri dari tiga, seperti hadits,

Para ahli figih sepakat bahwa shalat jenazah disunnahkan bila dilakukan
dengan herjamaah, seperti hadits,

"Tidaklah setiap Muslim yang meninggal lalu dishalati dengan tiga barisan oleh kaum Muslim kecuali akan dikabulkan shalatnya." [29]
Boleh pula dilakukan dengan sendiri-sendiri, karena Nabi saw. ketika meninggal dishalati oleh para sahabat dengan bergelombang.
Tata cara shalat; setelah takbir pertama membaca al-Fatihah saja tanpa surah lainnya dengan suara pelan meskipun malam hari karena Nabi saw. melakukannya,[30] seperti yang telah kami jelaskan. Setelah itu, bershalawat kepada
Nabi saw. usai takbir kedua dengan pelan
juga, seperti yang diriwayatkan oleh Syafi'i dan Atsram dengan jalur sanad keduanya dari Abi Umamah bin Sahal, bahwa is
diberitahu oleh seorang laki-laki dari sahabat Nabi saw.,

“Sunnah dalam
shalat jenazah itu hila imam bertakbir, lalu membaca al-Fatihah usai takbir
pertama dengan pelan saja, lalu hershalawat kepada Nabi saw., berdoa dengan ikhlas
untuk mayat, lantas salam.”[31]
Shalawat kepada Nabi saw. itu seperti dalam tasyahhud. Karena, beliau saw. pernah ditanya, "Bagaimana kami bershalawat
kepada Anda? Lalu beliau mengajari mereka"
seperti telah disebutkan sebelumnya. Tidak boleh lebih dari bentuk yang ada dalam tasyahhud.

Jika kalian melakukan sholat jenazah maka berdoalah untuknya dengan ikhlas."
Tidak ada batasan berdoa untuk mayat. Disunnahkan berdoa dengan doa ma'tsur, dengan
berucap,


"Ya Allah,
ampunilah dia. Rahmatilah dia!" Sampai akhir seperti yang telah disebutkan
sebelumnya menurut penclapat mazhab Hanafi.
juga,

"Ya Allah,
ini adalah hamba-Mu dan anak hamba-Mu, ia
telah keluar dari kesenangan dan keluasan dunia, orang-orang yang
dicintai dan mencintainya, menuju gelapnya
alam kubur dan tidak pernah ia temui
sebelumnya. la juga telah bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan
Muhammad adalah hamba-Mu dan Rasul-Mu, dan Engkau lebih Mengetahui tentangnya.
Ya Allah, ia telah menujumu dan Engkau sebaik-baik tempat tujuan. la sangat
butuh akan rahmat-Mu dan Engkau tidak perlu menyiksanya. Kami telah
menghadap-Mu dengan berharap kepada-Mu agar memberi syafaat untuknya. Ya Allah, jika ia orang yang baik maka
tambahkanlah kebaikannya, sedang jika orang jelek maka ampunilah segala
kejelekankejelekannya! Pertemukanlah ia
dengan rahmat dan ridha-Mu dan cegahlah ia dari fitnah kubur dan
siksanya. Luaskanlah kuburannya! Keringkanlah bumi pada kedua sisinya! Pertemukanlah ia dengan rahmat-Mu yang aman dari
siksa-Mu! Sampai Engkau membangkitkannya ke
dalam surga-Mu, wahai Zat yang Maha pengasih di antara pengasih.[32]
Untuk anak
kecil diucapkan,

"Ya Allah, jadikanlah ia jaminan untuk kedua orang tuanya, pendahulu dan simpanan, nasihat
dan pelajaran, pemberi syafaat! Beratkanlah
timbangan keduanya dengan kematiannya! Tuangkanlah kesabaran ke dalam
hati kedua orang tuanya." Itu sesuai
dengan keadaan.
Menurut Syafi'i, usai takbir keempat diucapkan,

"Ya Allah, janganlah Engkau cegah kami dari mendapatkan pahalanya! Jangan Engkau fitnah kami sepeninggalnya! Ampuni kami dan dia!" Disunnahkan untuk memperpanjang doa setelah takbir keempat ini, karena terdapat dari
Nabi saw.. [33]' dan beliau
membaca ayat, "(Malaikat-malaikat) yang memikul Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih
memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi
orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan), "Ya Tuhan kami, rahmat dan
ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka
berilah ampunan kepada orang-orang yang bertobat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka
dari siksaan neraka yang menyala-nyala." (al-Mu'min: 7)
Sedangkan
menurut Hambali, usai takbir keempat berhenti sejenak, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Jawzajaniy dari Zaid bin Arqam,

"Nabi saw. bertakbir sebanyak empat kali, lalu berhenti sesukanya.
Aku mengira berhenti itu agar
barisan terakhir bisa bertakbir." Tidak disyariatkan doa setelahnya.
Kesimpulan, shalat jenazah dimulai dengan niat dan terdiri dari empat takbir, serta doa untuk mayat ketika berdiri. Juga, shalawat kepada Nabi saw., al-Fatihah, dan salam. Hanya saja, niat adalah syarat bukan rukun menurut Hanafi dan Hambali. Waktu berdoa itu usai takbir ketiga, menurut mayoritas ulama. Sedangkan menurut Maliki, usai setiap kali bertakbir hingga takbir keempat.
Shalawat kepada Nabi saw. disunnah
menurut Hanafi, dianjurkan menurut
Maliki, dan rukun menurut mazhab lainnya.
Salam merupakan wajih menurut Hanafi
dan rukun menurut mayoritas ulama. Menurut
Hanafi, membaca al-Fatihah itu makruh
tahrimiy dengan niat membaca, tetapi boleh bila dengan niat doa, sedang menurut Maliki sekedar makruh tanjihiy, dan menurut lainnya
adalah rukun. Jika imam takbir lebih dari
empat kali maka makmum tidak perlu mengikuti
takbir tambahan. Makmum cukup menunggu
untuk bisa mengucapkan salam bersama
imam, menurut Hanafi dan Syafi'i, sedang menurut Maliki, makmum boleh
mengucapkan salam sendirian, dan menurut Hambali, makmum mengikuti imam sampai bertakbir tujuh kali sekalipun.
6.
Tempat berdirinya imam di depan jenazah
Para ahli fiqih berbeda pendapat dalam menentukan posisi berdirinya imam di hadapan jenazah, yaitu sebagai berikut[34]
Hanafi berpendapat, dianjurkan agar imam berdiri
sejajar dengan dada secara mutlak; baik
mayatlaki-laki ataupun wanita, karena dada
adalah tempat iman dan syafaat demi keimanannya.
Juga, mengamalkan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud.
Maliki
berpendapat, imam berdiri di
tengah-tengah mayat laki-laki, sedang untuk mayat
perempuan di dua pundaknya.
Syafi'i berpendapat, dianjurkan orang yang shalat berdiri, baik menjadi imam atau shalat sendiri berada di kepada mayat lakilaki, sedang untuk mayat perempuan berada di bokongnya, untuk mengikuti sunnah seperti yang diriwayatkan oleh
At-Tirmidzi dan dianggap hasan olehnya.
Hikmah berbedanya tempat berdiri itu, untuk lebih menutupi mayat perempuan. Adapun makmum berdiri di barisan
mana saja.
Hambali berpendapat, imam berdiri di depan dada mayat laki-laki dan di
tengah-tengah untuk mayat perempuan. Sumber
perbedaannya adalah berbedanya atsar yang
berbicara tentangnya. Dalam hadts Samurah bin jundub, ia berkata,

`Aku shalat di
belakang Rasulullah untuk seorang wanita yang meninggal ketika sedang nifas. Rasulullah saw. berdiri di tengah-tengah ketika shalat." [35] sedang dalam hadits Abi Ghalib al-Hannath, ia berkata,


"Seperti inikah
Rasulullah saw. menshalati jenazah seperti
cara shalat Anda, di mana beliau
bertakbir empat kali, berdiri di kepala untuk mayat laki-laki, serta
bokong untuk mayat perempuan?" Anas menjawab, "Betul."
Di antara ahli fiqih ada yang mengambil hadits Samurah karena disepakati keshahihannya, di mana ia berkata, laki-laki dan wanita sama dalam hal itu, karena asal hukum untuk keduanya satu, kecuali
jika ditetapkan adanya pembeda syar'i.
Di antara mereka ada yang menganggap shahih
hadits Abi Ghalib, seraya berkata, ada tambahan
di dalamnya dari hadits Samurah. Karena itu wajib untuk mengacu
kepadanya. Namun, tidak ada perbedaan di
antara keduanya sebenarnya.
7.
Keadaan makmum masbuq dalam shalat jenazah
Para ahli fiqih
sepakat bahwa makmum masbuq harus segera mengikuti imam pada saat ia bergabung, lalu menyempurnakan apa yang
tertinggal. Akan tetapi, mereka memiliki detail masing-masing dalam cara
menyempurnakan tersebut.[37]
Hanafi
mengatakan, makmum masbuq dengan beberapa takbir maka ia segera bertakbiratul
ihram, lalu ia tidhk langsung bertakbir pada saat itu juga, tetapi menunggu
sampai imam bertakbir agar makmum masbuq itu dapat ikut bertakbir bersama imam
untuk pembuka. Sebab, setiap takbir itu sama dengan satu rakaat, seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya. Setelah itu, makmum masbuq bertakbir untuk membaca
apa yang tertinggal seperti halnya makmum mudrik yang ada, tentunya setelah
imam selesai, dengan takbir yang berurutan tanpa berdoa jika ia takut jenazah
akan diangkat pada saat itu juga.
Jika makmum
masbuq datang setelah imam bertakbir keempat maka ia telah tertinggal shalat,
bila ingin bergabung dengan takbir imam.
Begitu pula
pendapat Maliki, makmum masbuq segera bertakbir untuk takbiratul ihram, lalu
wajib bersabar sampai imam bertakbir. Jika imam bertakbir lagi maka sah shalatnya
dantidak dihitung shalatnya menurut mayoritas syekh. Setelah itu, makmum masbuq
berdoa setelah imam menyelesaikan shalatnya jika jenazah diangkat. Namun, jika
jenazah belum diangkat maka makmum masbuq bertakbir lagi tanpa doa lalu
salam. Dengan demikian, mazhab Maliki sama dengan mazhab Hanafi.
Sedangkan
Syafi'i berpendapat, hendaknya makmum masbuq bertakbir lalu membaca alFatihah
meksipun imam telah bertakbir bukan takbir pertama. Jika imam sudah bertakbir
lagi sebelum makmum sempat membaca al-Fatihah, yaitu imam bertakbir setelah
makmum bertakbir maka seketika itu juga makmum ikut bertakbir bersama imam danbacaan
gugur. Saat itu, makmum harus mengikuti imam menurut pendapat yang paling
shahih, sebagaimana jika imam ruku setelah makmum masbuq bertakbir, lalu
makmum ikut ruku bersama imam. Imam akan menanggung bacaan makmum. Jika imam
telah mengucapkan salam maka makmum masbuq wajib mengejar takbir yang tersisa
berikut zikir-zikirnya.
Hambali
mengatakan, siapa yang tertinggal takbir maka harus diganti dengan berurutan.
Jika makmum masbuq ikut salain bersama imam danbelum sempat mengganti maka tidak
mengapa danshalatnya tetap sah. Dengan kata lain, makmum masbuq disunnahkan untuk
mengganti takbir shalat jenazah yang tertinggal dengan bentuknya, untuk
mengamalkan perkataan Ibnu Umar r.a., bahwa ia tidak diganti. seperti juga
hadits yang diriwayatkan dari Aisyah bahwa ia berkata,

“Rasulullah, ketika aku shalat jenazah, aku tidak mendengar beberapa takbir, bagaimana
itu?" Beliau saw. menjawab, "Apa yang kamu dengar maka bertakbirlah, sedang apa yang tertinggal maka tidak perlu diganti.”[38]
Jika makmum masbuq takut jenazah sudah keburu diangkat maka ia terus melakukan takbir tanpa membaca, bershalawat, ataupun berdoa untuk mayat, baik jenazah sudah diangkat ataupun belum.
Selama jenazah sudah diangkat usai shalat secara langsung maka tidak boleh bagi seseorang untuk tetap menshalatinya agar benar-benar bersiap untuk menghantar mayat. Dengan kata lain, dimakruhkan.
8.
Syarat-syarat menshalati mayat

“Tidaklah seorang Muslim yang meninggal,
lalu ada empat puluh orang laki-laki yang tidak menyekutukan Allah dengan
sesuatupun yang menshalati jenazahnya,
kecuali Allah akan memberi syafaat kepadanya.” Kewajiban shalat jenazah akan gugur meski dilakukan oleh satu orang saja, karena jamaah tidak disyaratkan kepadanya. Namun, kewajiban shalat
jenazah tidak serta-merta gugur bila dilakukan
oleh banyak wanita, tetapi harus ada kaum
laki-lakinya, menurut pendapat yang paling shahih dalam mazhab Syafi'i.
Sebab, itu sama saja menghina mayat.
Adapun para sahabat menshalati Nabi saw.
dengan bergelombang, seperti yang diriwayatkan
oleh Baihaqi dan lainnya, karena besarnya kedudukan beliau saw. Juga,
semua berlomba agar tidak ada satu orang saja yang menjadi imam dalam menshalati beliau, ataupun tidak adanya
seorang imam yang ditunjuk untuk mengimami
semua sahabat. Jika ada satu orang
yang maju memimpin shalat niscaya ia akan menjadi pemimpin dalam segala
sesuatunya dan akan ditunjuk sebagai pengganti
beliau saw.
Disyaratkan
untuk tetap percaya, menurut Syafi'i, agar
seorang yang melakukan shalat untuk
tidak lebih maju dari jenazah yang ada, tidak pula melampaui kuburan jika shalat di atasnya, untuk mengikuti perbuatan salaf. Juga,
mayat dianggap sebagai imam.
Disyaratkan
pada mayat agar adanya kewajiban shalat kepadanya, hal-hal sebagai berikut.[40]
1.
Hendaknya
mayat seorang Muslim, meskipun hanya
mengikuti salah satu orang tuanya, atau rumah. Dengan begitu, tidak
boleh menshalati mayat kafir, berdasarkan firman Allah SWT, "Dan
janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di
antara mereka," (At-Taubah: 84) semua umat Islam harus dishalati, baik orang yang melakukan dosa besar,
dirajam karena zina, dan lainnya.
2.
Hendaknya
jasadnya ada atau sebagian besarnya. Ini
adalah syarat menurut Hanafi dan
Maliki. Tidak boleh menshalati atas satu anggota tubuh saja.
3.
Hendaknya hadir dan diletakkan di atas bumi di depan orang shalat, dengan menghadap kiblat. Ini adalah syarat menurut Hanafi dan Hambali juga.
Karena itu, tidak boleh menshalati jenazah yang tidak ada. jenazah dipanggul di atas sejenis hewan melata
dan diletakkan di belakang imam. Maliki sepakat untuk syarat mayat harus ada.
Adapun shalat untuk Najasyi maka itu adalah keistimewaan untuknya. Mayat diletakkan di depan orang shalat itu hanya dianjurkan menurut Maliki. Adapun menurut Syafi'i dan Hambali, shalat boleh dilakukan atas mayat yang dipanggul di atas hewan melata ataupun tangan manusia, atau
juga uga pundak mereka.
4.
Hendaknya sebelum dishalati diketahui bahwa mayat pernah hidup. Ini adalah syarat menurut mayoritas ulama, berbeda dengan Hambali. Karena itu, tidak perlu dishalati bayi yang barn lahir ataupun bayi
yang keguguran, kecuali jika diketahui pernah hidup dengan menyusu i, gerakan, ataupun berteriak, seperti yang akan kami terangkan.
5.
Sucinya mayat. Tidak boleh menshalati mayat sebelum dimandikan ataupun ditayammumi.
6.
Hendaknya bukan mati syahid, yaitu siapa yang meninggal di medan perang. Ini adalah syarat menurut mayoritas ulama. Karena itu, jenazah mati syahid tidak perlu dimandikan, dikafani, dishalati, dan dikuburkan dengan bajunya, serta dicabut senjatanya. Hanafi mengatakan, orang mati syahid tetap dikafani dan
dishalati, tetapi tidak dimandikan. Jika seorang Muslim dibunuh secara zalim
bukan di medan jihad ataupun keluar dari medan perang dalam keaclaan hidup dan tidak
sempat tewas, lalu meninggal maka dimandikan dan dishalati menurut pendapat
yang masyhur dari mazhab Maliki, juga beberapa ahli fiqih.
Siapa yang terbunuh dalam medan perang
ketika memerangi umat Islam juga maka tetap
dimandikan dan dishalati, menurut Maliki dan Syafi'i. Adapun Hanafi mengatakan, seperti yang telah kami jelaskan,
tidak perlu dimandikan dan dishalati. Sedangkan
Hambali berpendapat, pembangkang itu
dimandikan, dikafani, dan dishalati. Adapun orang-orang adil maka tidak perlu dimandikan, dikafani, dan dishalati,
karena mereka hukumnya seperti orang yang
mati syahid dalam memerangi kaum musyrikin.[41]
9.
Waktu menshalati jenazah
Pembicaraan ini telah dipaparkan sebelumnya
dalam pembahasan waktu-waktu yang dimakruhkan
untuk melaksanakan shalat. Ringkasnya adalah sebagai berikut.[42]
Hanafi mengatakan, makruh tahrimiy dan tidak boleh menshalati jenazah pada lima waktu, di mana terdapat larangan untuk melakukan shalat pada waktu-waktu tersebut; yaitu terbitnya matahari, terbenamnya matahari, matahari tepat berada di atas pada pertengahan hari, usai shalat Shubuh hingga terbit matahari,
usai shalat ashar hingga terbenam matahari.
Maliki dan Hambali mengatakan, diharamkan dan tidak boleh melakukan shalat jenazah pada tiga waktu, di mana terdapat larangan untuk melaksanakan shalat pada waktu-waktu tersebut, yaitu waktu terbit, terbenam, dan tergelincirnya matahari seperti maksud dzahirnya
hadits'Uqbah bin Amir,

“Tiga waktu di mana Rasulullah saw. melarang
kami untuk melakukan shalat dan mengubur
orang yang meninggal...” (al-Hadits). Lantas, boleh melakukan shalat pada dua waktu yang lain, yaitu usai shalat Sliubuh dan Ashar hingga terbit
ataupun terbenam matahari.
Syafi'i mengatakan, boleh melakukan shalat jenazah pada semua waktu,
karena shalat jenazah adalah shalat yang memiliki sebab. Karena itulah, boleh melakukannya di semua waktu.
Menurutku boleh saja mengambil pendapat mazhab Syafi'i dalam keadaan darurat atau dibutuhkan, namun tidak boleh melakukan shalat bila keadaan biasa saja, demi menjaga perbedaan pendapat.
10.
Menshalati jenazah setelah dikuburkan
dan mengulangi shalat jenazah sebelum dikuburkan
Menurut Hanafi
dan Maliki dimakruhkan mengulang shalat
jenazah, di mana shalat pertama
dilakukan secara berjamaah. jika tidak dilakukan
berjamaah maka dianjurkan untuk diulang dengan berjamaah sebelum
dikuburkan.[43]
Sedangkan
Syafi'i dan Hambali membolehkan untuk mengulang shalat jenazah sekali saja
untuk orang yang belum melakukan shalat pada kali pertama meskipun setelah
dikuburkan."'I Bahkan, itu disunnahkan menurut Syafi'i. Sejumlah sahabat
telah melakukannya. Dalam hadits yang mutafaq 'alaih dari Ibnu Abbas r.a., ia
berkata,

“Suatu ketika, Nabi saw. berhenti di kuburan yang masih merah, lalu para sahabat membuat barisan di belakang beliau, lantas beliau
bertakbir empat kali.”
Adapun shalat
jenazah setelah dikuburkan, itu dibolehkan menurut kesepakatan ahli fiqih jika belum dishalati, karena
Nabi saw. pernah melakukan shalat di atas kuburan seorang wanita Anshar[44] Alangkah baiknya menyebut pendapat para ahli fiqih sekadar untuk mengetahui aturan syariat dalam shalat jenazah.
Hanafi
mengatakan,[45] jika mayat telah dikuburkan
dan belum sempat dishalatkan maka
boleh dishalati di atas kuburannya dengan
mempertimbangkan selama belum rusak jasadnya.
Anggapan dalam mengetahui tidak rusaknya
jasad adalah pendapat yang paling besar
tanpa adanya ukuran menurut pendapat yang
paling shahih, karena berbedanya keadaan, waktu, dan tempat.
Maliki
mengatakan,[46] jika belum
dilakukan shalat kepada mayat maka
dikeluarkan untuk dilakukan shalat
selama belum selesai proses penguburannya. Sedangkan jika telah dikuburkan maka dishalatkan di atas kuburnya,
selama belum berubah.
Syafi'i
mengatakan,[47] jika mayat
telah dikuburkan sebelum sempat dishalati
maka boleh dishalati di atas kubur,
karena shalat bisa sampai kepadanya
di alam kubur. Namun, jika mayat
telah dikuburkan tanpa sempat dimandikan
ataupun menghadap tidak ke arah kiblat dan
tidak ditakutkan rusak bila digali kembali maka mayat itu harus digali,
dimandikan, dan dihadapkan ke arah kiblat.
Sebab, wajib hukumnya selama bisa. dilakukan. Namun, jika takut rusak maka tidak boleh digali karena ada
sebab untuk tidak melakukannya. Pada saat itu,
gugurlah kewajiban seperti halnya gugur kewajiban wudhu orang yang masih hidup
dan menghadap kiblat ketika ingin shalat bila
ada alasan.
Jika mayat sudah dimasukkan ke dalam kubur dan belum sempat ditimbun tanah maka mayat harus dikeluarkan dan dishalati.
Hambali
mengatakan,[48] jika mayat telah
dikuburkan tanpa menghadap kiblat, atau belum
dishalati maka harus digali dan dihadapkan ke arah kiblat. Usaha untuk
melakukannya merupakan kewajiban, lalu
dishalati karena adanya syarat shalat.
Begitu pula, mayat dikeluarkan untuk
dikafani bila dikuburkan sebelum sempat dikafani.
Dalil mereka
untuk di lakukan shalat, bahwa Nabi saw. disebutkan tentang seorang laki-laki
yang meninggal, lalu beliau saw. bersabda,

Akan tetapi, tidak boleh melakukan shalat di atas kuburan bila telah berlalu satu bulan, seperti yang diriwayatkan oleh Said bin Musayyib,

Bahwa Ummu
Sa’ad meninggal dan Nabi saw. Sedang bepergian. Lantas, ketika berita tersebut
disampaikan kepada beliau, Nabi saw. pun menshalatinya dan itu telah berlalu
satu bulan."[50]
Ahmad mengatakan, lebih banyak yang kita dengar bahwa Nabi saw. melakukan
shalat di atas kubur Ummu Sa'ad bin 'Ubadah setelah berlalu satu bulan. Masa
itu masih dianggap bahwa mayat masih ada maka dibolehkan melakukan shalat
seperti sebelum tiga, dan seperti biasanya.
Adapun kuburan
Nabi saw. tidak dilakukan shalat, karena tidak boleh dilakukan shalat di atas
kubur setelah berlalu satu bulan. [51]
[1]
Al-Ubudiyah,
Fiqih Ibadah, hal 121
[2] ad
-Dur; al-Mukhtaar, 01.1/hIm.811, 814, Muraqly al-Falaah, hlm. 98, al-inaayah bi
Hamisy Fathil Qadiir, jil.1/hlm.455, dan al-Muhadzdzab, jil. 1 /hlm. 132.
[3] Diriwayatkan
shalat atas Nabi saw. oleh Ibnu Majah dari Ibnu Abbas. Ahmad dan Abu Dawud
meriwayatkan shalat atas bayi yang keguguran dari Mughirah. Ahmad, Nasaa'i, dan
At-Tirmidziy meriwayatkan shalat atas anak kecil, sedang Ahmad dan Bukhari,
Muslim meriwayatkan shalat atas raja Najasyi. (Naylul Awthaar, jil.4/hlm.41, 45,
48).
[5]
orang fanatik
adalah orang yang membantu kaumnya atas kezaliman dan marah karena mendukungnya
dengan fanatik. Ada hadits yang berbicara tentangnya,
[6]
HR.
Muslim dari Jabir bin Samurah.
[7]
Bidaayatul
Mujtuhid, jiI.1/hIrn.231, al-Qawaunin al-fiqihiyyah, hlm.94, dan Syarh ar-Risaalah,
jil.1/hlm. 276. 1,
[8]
Ditakhrij
oleh Abu Dawud.
[9]
Hadits pertama
diriwayatkan oleh Ahmad dan pemilik Sunan kecuali At-tirmidziy, dari Zaid bin
Khalid al-juhaniy. Hadits kedua diriwayatkan oleh jarnaah ahli hadits kecuali
Bukhara, dari jabir bin Samurah. (Naylul Awthaar, jil.4/hlm.46-47).
[10]
Fathul Qudiir, jil.1/hlm.
457, 463, ad-Darr al-Mukhtuari, jil.1/hlm.823, al-Lubaab, jil.1/hlm.131,
Muraqiy al-Foluah, h1m.98, Bidauyatul Mujtahid, jil.1/hlm.223, al-Qawaanin
alfiqihiyyah, h1m. 94, asy-Syarh ash-Shaghiir, jil.1/hlm. 558, Mughniy
al-Muhtaaj, jil.hlm. 346, al-Mughniy, jil. 21 hlm. 480-485, dan Kasysyaf al-Qinaa;
jil.2 hlm.127.
[11]
Muroqiy
al-Foluoh, h1m.99, ad-Durr al-Mukhtaar, jil.1/hlm.831-822, al-Quwuanin
ulfiqihiyyah, h1m.95, Mughniy ol-Muhtaaj, jil.1/ h1m.348, dan al-Mughniy,
jil.2/hlm.562.
[12]
Ad-Durr
al-Mukhtaar, jil.1/hlm.813, 816, Muroqiy al-Falaah, h1m.98, dan Fothul Qodiir,
jil.1/him.459.
[13]
Rasulullah
saw. bersabda,
"jika kahan ingin berdoa maka pujilah Allah, lalu
bershalawatlah kepada Nabi, barn berdoa!"
[14]
Diriwayatkan
dari hadits Ibnu Abbas oleh Hakim, dari hadits Umar ibnul Khaththab oleh
Baihaqiy dan Thabraniy, dari hadits Ibnu Abi Hatsmah oleh Ibnu Abdil Bar, dari
hadits Anas oleh Harits bin Abi Usamah dalam Musnadnya. (Nashab ar-Raayah,
jil.2/ hlm.267).
[15]
Yang dimaksud
penggantian adalah sifat bukan zatnya.
[16]
HR.
Muslim, At-Tirmidziy, dan Nasaa'i dari Auf bin Malik. la berkata, "sampai-sampai
aku berharap akulah yang menjadi mayat itu." (Subulussalam, jil 3/hlm.104)
[17]
Yaitu
kuatkanlah ia ketika mengemban aural-aural shaleh, sedang jika tidak maka ia
tidak memiliki dosa. Maksudnya, generalisasi doa. Maknanya, ampunilah semua
umat Islam.
[18]HR
Muslim dan empat pengarang Sunan. (Subulussolorn, jil.2/hIm.105). Maksud dari
kata'I slam adalah arti bahasanya, yaitu berserah diri dan patch kepada Allah
SWT Maksud dari kata 'iman' adalah makna syar'iy, yaitu pembenaran hati. Islam
cocok dengan keadaan hidup, yaitu mengacu pada perbuatan-perbuatan dzahir,
sedang iman cocok dengan keadaan wafat karena aural tidak lagi ada.
[19]
Asy-Syurh
ash-Shaghiir, jil.1/hlin. 553, al-Qawaanin aI-jiqihiyyah, h1m.94, Syarh
ar-Risaalah, jil.1/him.
280-284, asy-Syarh al-Kabiir,
jil. 1/lilm. 411-413, dan Bidaoyatul Mujtohid, jil.1/hlrn.336.
[20]
AI-Mukhtashar
an-Naafi' fil ficlihil Irnaarmyyah, hlm.64.
[21]
HR
Ahmad. Dalam jalur sanadnya terdapat Yahya bin Abdullah al-jabiriy. la
dibicarakan buruk. Bukhari meriwayatkan dari Ali,
bahwa ia bertakbir atas Sah) bin Hanif sebanyak enam kali. la berkata, Sahal ikut perang Badr. (Naylul Awthaar, jil.4/hhn.59).
bahwa ia bertakbir atas Sah) bin Hanif sebanyak enam kali. la berkata, Sahal ikut perang Badr. (Naylul Awthaar, jil.4/hhn.59).
[22]
Ditakhrij
oleh Hakim dari lbnu Abbas r.a shalat jenazah terahir yang dilakukan Rasulullah
saw. sehanyak empat kali ." (Naylul Awthaar, jil.4/h(-n.58).
[23]
HR.
Abu 1)aWLICI, 11MU Hibt)Ml, Ibnu Wiph, dan diantaranya ada Ibim Ishaq (NaylulAwthaor,
)il.4/hlm.63).
[24]
Diriwayatkan I)LILi dari Abu Qjtadah. HR. Ahmad dan
Raihaqiy dan diSebUtkan oleh Syafi'i. jakir sanadnya lemah. of-Wjmuu; jil-5/hIT11.193-
195).
[25]
HR
jamaah ahlu hadits dan dianggap hasan oleh At-Tirmidziy. (NoylulAwthoor, jil.4/h1rn.66).
[26]
Mughniy al-Muhtuaj, jil.1/hlm.340-342,
361, al-Muhadzdzab, jil.1/hlm.133, u1-Mujmuu, jil.5/hlm.184-198, al-Mughniy,
jil.2/ h1m.485-492, 510-516, dan Kasysyaf al-Qinaa; jil.2/hlm.120-135
[27]
Empat
kali terdapat dalam riwayat Abu Hurairah, Ibnu Abbas, dan Jabir. (NaylulAwthuar,
jiI.4/hIm.48, 57).
[28]
HR
Khalal dengan jalur sanadnya. At-Tirmidzi berkomentar, im hadits hasan.
[29]
Hadits hasan.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi.
[30]
HR Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmidziy dan dianggap shahih
olehnya, JUga Nasaa'i, dari Hum Abbas r.a. Syafi'i juga meriwayatkan dalam
Musnad-nya dari Abi Umamah bin Sahal. (NaylulAwthuar, jil.4/h1li.60).
[31]
NaylulAwthaar, ji1.4/h1m.60 dan dalam jalur sanadnya ada
orang yang berlebihan. Baihaqiy tetah mendukungnya dalam al-Ma’rifah dari hadits Zuhriy. Hakim juga telah mentakhrijnya
dengan sisi berheda. Juga Nasaa'i dan Abdur Razak. la berkata dalam al-Fath,
jalur sanadnya shahih.
[32]
Dikumpulkan
oleh Syafi'i dari akhbar, dan dianggap baik oleh teman-temannya
[33]
HR Hakim dan
dianggap shahih olehnya
[34]
Ad-Durr al-Mukhtaar, jil.1/hIm.819, Bidaayatul Mujtahid, jil.t/hlm.228,
al-Qawaanin al-fiqihiyyah, hIm.95, Mughniy al-Muhtaaj,
[35]
HR jamaah an in hadits. (NuyiuiAwthautl
jil.4/hIm.66)
[36]
HR Ahmad, Ibnu Majah, At-Tirmicizi, dan Abu Dawud.
(ibid).
[37]
Ad-Durral-Mukhtaor, jit.1/him.819-821,
asy-Syarh ash-Shughim ji1.1/hIm.556, Mughniy al-Muhtaaj, jil.1/him.344, al-Mughniy,
jii.2/ him.494, Kasysyaf al-Qinaa', jiI.2/hIm.139,
al-Qawaanin al-fiqihiyyoh, h1m.95, danBidoo-votul
Muftahid, jil. 1/hlm.230.
[38]
Hadits
disebutkan dalam al-Mughniy danKasysyafaI-Qinaa. Op. Cit
[39]
Raddul Muhtoor,jil.1/hIm.811, at-Qawaunin
al-fiqihiyyah, h1m.95, Mughniy al-Muhtaaj, jit.1/hlm.344, Kasysyaj*a1-QinaU,
jil.2/h I m.134, 136, al-Muhudzdzoh, jil.1/hlm.133,
135, Bidaayatul Mujtahid, ji L 1/h1m.335, dan asy-Syarh ash-Shaghiir,
jil.1/hlm.574
[40]
old-Darr al-Mukhtaar wa Radd al-Muhtaar, jil.1/hlm.811-813,
al-Qawaanin al-fiqihiyyah, h1m.93, Muragiy al-Falaah, h1m.98, al-Mu‑hadzdzab,
jil.1/hlm.132, al-Majmuu', jil.5/hlm.165, Kasysyaf al-Qinaa', jil.2/him.126,
dan al-Mughniy, jil.2/hIm.558
[41]
Al-Kitaab ma'al Lubaab, jiI.1/hIm.1 36, al-Qawaanin ol-fiqihiyyah, h1m.94,
Mughniy al-Muhtaaj, jil.1/hlm.350, dan al-Mughniy, jil.2/ h1m.534.
[42]
Lihat
Biduayatul Mujtahid, jil.1/hlm.234, al-Muhadzdzab, jil.1/hlm.133,
dan al-Mughniy, jil.2/hlm.554
.
[45]
HR ibnu Hibban dalam Shahihnya dan Hakim dalam
Mustadraknya dari hadits Kharijah bin Zaid bin Tsabit. (Nashab ar-Raayah, jil.2/hlm.265).
[46]
Fathul Quchlit; ji1.1/hIm.456, al-Kitaob ma'al Lubaab, jiI.1/hIm.132,
Muraqiy al-Falaah, him.99, dan ad-Durr al-Mukhtaar, jil.1/ h1m.836.
[47]
Asy-Syarh al-Kabiir ma'ad Dusuuqiy, jil.1/hlm.412, al-Qowaaniin ul-fiqihiyyoh, h1m.95,
dan Biduayotul Muftahid, 1H.1/hIm.230.
[49]
Mutafaq
'alaih. (NaylulAwthuar, jil.4/h1m.51).
[50]
Ditakhrij oleh
At-Tirmidziy. (ibid).
[51]
Dari lbnu Abbas r.a., "bahwa Nabi saw. pernah
melakukan shalat di atas kuburan setelah berlalu satu bulan" Dari Ibnu
Abbas juga "bahwa Nabi saw. pernah melakukan shalat
untuk mayat setelah tiga hari." Keduanya telah diriwayatkan oleh
Ad-Daruquthni (Naylul Awthoari, ji1.4/h1m.51).
No comments:
Post a Comment