Prinsip Pengetahuan, Metafisika, dan Etika
A.
Prinsip Pengetahuan
1.
Bukan Skeptisme atau “Iman” Kristen
Di dunia
sekarang ini, terutama di Barat, skeptisisme telah tumbuh pesat sekali. ia telah menjadi prinsip yang dominan
di kalangan kaum "terpelajar" dan seringkali bisa ditemukan di
kalangan orang-orang awam yang meniru-niru kalangan "cerdik-pandai"
yang ada dalam masyarakat mereka. Penyebaran yang spektakuler dari skeptisisme
ini sebagiannya dikarenakan keberhasilan sains yang dipandang kemenangan lebih
lanjut dari pemikiran empiris atas pemikiran keagamaan.
Wewenang
tersebut adalah wewenang yang tidak pernah pantas dimilik Gereja, persis karena
pandangannya yang dogmatis, yakni bahwa ia menyatakan proporsi-proporsi
tertentu sebagai kebenaran tanpa terlebih dulu mengujinya secara empiris dan
menyelidikinya secara kritis.
Iman adalah sesuatu
yang terjadi dalam diri manusia, ketika kebenaran, faktualitas dari suatu obyek
terbuka bagi mata hatinya dan menyakinkannya tanpa keraguan lagi akan
kebenarannya. Ia memiliki sifat seperti kesimpulan geometri yang, dengan
dikemukannya premis-premis yang mendahuluinya, orang mengakui kebenaran dan
ketakpelakannya; atau sebagaimana dikemukakan oleh al-Qur’an, suatu objek yang
eksistensinya diragukan, dibawa dan ditepatkan di depan semua orang agar mereka
dapat melihat dan menyentuhnya.
Berbeda dari “iman”
Islam adalah kebenaran yang diberikan kepada pikiran, bukan kepada perasaan
manusia yang mudah mempercayai apa saja.
2.
Iman, Suatu Kategori Gnoseologis
Kesimpulannya, iman bukanlah
semata-mata suatu kategori etika. Sesungguhnyalah, pertama-tama ia adalah suatu
kategori kognitif; artinya ia berhubungan dengan pengetahuan, dengan kebenaran
proposisi-proposisinya.
Iman adalah suatu visi yang
menempatkan semua data dan fakta dalam perspektif yang sesuai dengan, dan perlu
bagi, pemahaman yang benar atas mereka.[1]
Ia adalah dasar bagi suatu penafsiran yang rasional atas alam semesta. Ia
sendiri, yang merupakan prinsip utama dari akal, tidak mungkin bersifat non-rasional
atau irasional, dan dengan demikian bertentangan dengan dirinya sendiri. Ia
sungguh-sung merupakan prinsip rasionalitas yang pertama. Menyangkal atau atau
menetangnya sama dengan menggelincir diri dari kebenaran dan karenanya dari
kemanusiaan.
Sebagai prinsip pengetahuan, tauhid
adalah pengakuan bahwa Allah, yakni kebenaran (al-Haqq), itu ada,
dan bahwa Dia itu Esa Ini mengimplikasikan bahwa semua keberatan, semua
keraguan, dapat diacuhkan kepada-Nya; bahwa tidak ada pernyataan yang tidak
boleh diuji, yang tidak boleh dinilai secara pasti. Tauhid adalah pengakuan
bahwa kebenaran bisa diketahui, bahwa manusia mampu mencapainya.
Sebagai prinsip epistemologi, ia
merupakan saran dari rasa keputusasaan, yang disandarkan pada asumsi apriori
bahwa manusia hidup dalam impian yang kekal dimana tidak ada realitas. Ia tidak
dapat dipisahkan dari nihilisme, atau pengingkaran terhadap terhadap
nila-nilai. Sebab, kesadaran akan nilai menuntut pengakuan bahwa manusia bisa
mencapai kebenaran nilai-nilai.
3.
Keesaan Tuhan dan Kesatupaduan Kebenaran
Sebagai Prinsip Metodologi, tauhid
terdiri dari tiga prinsip . Pertama, penolakan terhadap segala sesuatu yang
tidak berkaitan dengan realitas; kedua, penolakan kontradiksi-kontradiksi
hakikat. Ketiga, keterbukaan bagi bukti yang baru dan/atau yang bertentanggan.
Prinsip pertama meniadakan dusta dan penipuan dalam Islam, karena prinsip ini
menjadikan segala sesuatu dalam agama terbuka untuk diselidiki dan dikritik.
Pertanyaan yang tidak dikonfirmasi,
menurut al-Qur’an, adalah zhann, atau pengetahuan yang menipu, dan dilarang
oleh Tuhan,[2]
sekecil apapun objeknya. Seorang Muslim dapat didefinisikan sebagai orang yang
tidak menyatakan apa-apa kecuali kebenaran, yang tidak mengemukakan apa-apa
kecuali kebenaran, sekalipun dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri.
Prinsip kedua, yaitu tidak ada kontradiksi
yang hakiki, melindunginya dari kontradiksi di satu pihak[3],
dan paradoks di lain pihak, prinsip ini merupakan esensi dari rasionalisme.
Prinsip ketiga, tauhid sebagai
kesatuan kebenaran, yaitu keterbukaan terhadap bukti baru dan/atau yang
bertentangan, melindungi kaum Muslimin dari literalisme, fanatisme dan
konservatisme yang mengakibatkan kemandegan. Prinsip ini mendorong kaum
muslimin kepada sikap rendah hati Intelektual.
Sebagai penegasan dari keesaan
mutlak Tuhan, tauhid merupakan penegasan dari kesatupaduan sumber-sumber
kebenaran. Tuhan adalah Pencipta alam dari mana manusia memperoleh
pengetahuannya.[4]
4.
Toleransi
Tauhid adalah pengkuan bahwa Allah
sajalah yang Tuhan. Ini seperti yang telah kita ketahui, berarti bahwa Allah
SWT adalah sumber Hakiki semua Kebaikan, semua nilai.
Kebaikan dari sumber kebaikan hakiki
tak bisa diragukan. Orang harus selalu berasumsi bahwa apa yang telah
dititahkan oleh Allah SWT adalah untuk tujuan yang baik yang menjadi miliknya
sendiri.
Allah SWT tidak menciptakan kita
untuk menyiksa dan menyesatkan kita. Tidak pula dia memberikan kepada kita
fakultas-fakultas pengetahuan, instink dan nafsu, untuk menuntun kita menuju
kesesatan. Apa yang kita ketahui dengan indera kita adah benar, kecuali jika
indera kita jelas cacat atau sakit; apa yang tampak sesuai dengan akal sehat
kita adalah benar kecualai jika terbukti sebaliknya.
Sebagai prinsip epistemologi,
optimisme berarti penerimaan atas kondisi sekarang sampai kebatilannya
terbuktikan; sementara sebagai prinsip etika, dia berarti penerimaan atas apa
yang dianggap baik, sampai terbukti ketidakbaikannya.[5]
Sebagai prinsip metodologi di dalam
esensi tauhid, toleransi adalah keyakinan bahwa Tuhan tidak meninggalkan suatu
bangsa tanpa mengirimkan pada mereka seorang utusan dari kalangan mereka
sendiri untuk mengajarkan kepada mereka bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan
bahwa mereka wajib menyembah dan mengbdi kepada-Nya[6], untuk memperingatkan mereka terhadap
kejahatan dan penyembahannya.[7]
B.
Prinsip Metafisika
Kosmologi Hindu menganggap alam suatu peristiwa tal mengantungkan
yang terjadi atas dewa Brahma, yang Mutlak. Ciptaan (yakni setiap makluk
individual). Kosmologi Kristen menganggap alam sebagai makluk Tuhan yang
pernah sempurna, tetapi kemudian rusak dalam Kejatuhan dan dengan demikian
menjadi Jahat.
Secara praktis, pikiran Kristen tetap menganggap ciptaan telah
jatuh, dan alam sebagai kejahatan. Kebencian kepada materi yang menjadi ciri
gnostisisme terwariskan kepada Agama Kristen dan menguatkan rasa kejijikan dan
antagonismenya terhadap alam dan dunia yang secara gigih dikejar di segala
bidang oleh musuh-musuh pertama agama Kristen-yaitu orang-orang Romawi. Alam,
dengan kemampuan dan kecenderungan materialnya. Adalah dunia Setan. Dibidang
material, momentumnya adalah gerak menjauh dari “Akhirat” menuju “daging”,
menuju “dosa”. Dibidang sosial, momentumnya adalah godaan kepada
politik, kepada keinginan berkuasa dan penegasan diri kepada kedudukan
“Kaisar”. Programatisme-kehendak untuk mengatur gerakan sejarah menuju
transformasi alam-dalam defenisi agama Kristen adalah sia-sia. Selama seribu
tahun atau lebih “alam” telah dipertentangkan dengan “rahmat”
sebagai kebalikannya.
Dalam Islam, alam adalah ciptaan dan anugrah. Sebagai ciptaan, ia
bersifat teologis, sempurna dan teratur; sebagai anugrah ia merupakan kebaikan
yang tak mengandung dosa yang disediakan untuk manusia. Tujuannya adalah
memungkinkan manusia melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan. Tiga
penilaian ini ketraturan, kebertujuan dan kebaikan- menjadi ciri dan
meringankan pandangan Islam tentang alam.
1.
Ketertiban
Alam Semesta
Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah berarti percaya bahwa Dia sajalah Sang Pencipta yang memberikan pada
segala sesuatu wujudnya, yang merupakan sebab hakiki dari setiap kejadian, dari
Tuhan akhir dari segala yang ada; bahwa Dia adalah yang Pertama dan yakin,
dengan pemahaman yang penuh kesadaran akan isinya, berarti menyadari bahwa
segala sesuatu yang terjadi di alam, di bidang sosial atau fisik, adalah
perbuatan tuhan, pelaksanaan dari efektifitas kekuasaan kausalnya, pemenuhan
dari salah satu tujuan-Nya.
Manusia bukanlah pencipta. Mereka
tidak dapat mengadakan atau meniadakan wujud, meskipun mereka bertindak sebagai
agent dalam pengadaan atau peniadaan tersebut.
Mengikuti prakarsa ilahi dalam diri
sendiri atau dalam masyarakat berarti mempelajari kemanusiaan dan ilmu-ilmu
sosial. Dan jika seluruh alam semesta sendiri benar-benar merupakan
pengungkapan dari pemenuhan hukum-hukum alam ini, yang adalah perintah-perintah
Tuhan dan kehendak-Nya, maka alam semesta adalah, dimata seorang Muslim, suatu
panggung hidup yang digerakkan oleh perintah dan Tindakkan Tuhan.
Maka dengan sendirinya, tauhid
berarti penghapusan terhadap setiap kekuatan yang berkerja dalam alam disamping
Tuhan, yang prakassa kekal-Nya adalah hukum-hukum alam yang abadi. Ini berarti
mengingkari setiap prakarsa dalam alam dari setiap kekuatan selain Tuhan; dan
terutama sekali, ia merupakan penghapusan sihir, ruh, dan semua gagasan
perdukunan klenik campur tanga sesuaka hati dalam proses alam oleh suatu agen.
Karenanya, melalui tauhid, alam dipisahkan dari dewa-dewa dan ruh-ruh dalam
agama Primitif, dari tahayul orang-orang yang Naif dan Bodoh.
Tauhid berhasil mencapai apa yang
paling diinginkan dan dibutuhkan oleh ilmu kealaman, yaitu kondisi sine qua non
yang tanpanya ia tidak dapat berkerja. Kondisi tersebut adalah “Profanisasi”
atau “Sekularisasi” alam.
Ilmu pengetahuan tidak memerlukan
dikeluarkannya Tuhan dari Alam, melainkan ruh-ruh yang bertindak sesuaka sendiri
dan angin-angin. Tuhan, sebaliknya, tidak pernah bertindak semena-mena; sunan
atau hukum-hukum dan pola-pola-Nya tidak bisa diubah.
Tauhid mengumpulakan seluruh benang rajut kausalitas dan mengembalikan
kepada Tuhan, Bukan kepada kekuatan-kekuatan sihir. Dalam melakukan ini,
kekuatan kausal yang berkerja dalam setiap peristiwa atau benda diorganisasikan
sedemikian rupa untuk menciptakan seutas benang rajut yang sinambung, yang
bagian-bagiannya secara kausal-dan dengan demikian secara empiris-berkaitan
satu sama lain. Bahwa pada akhirnya benang tersebut kembali kepada Tuhan,
menunjukkan akhirnya benang tersebut kembali kepada Tuhan, menunjukkan bahwa
tidak ada kekuatan diluarnya yang boleh campur-tangan dalam pelaksanaan dari
kekuatan kausal atau efektifnya.
Para ilmuan modren Barat menolak
tuhan dan mengusir-Nya dari alam, disebabkan oleh kebensian mereka terhadap
gereja kristen dan kewenangan palsu yang telah dipaksakan gereja termasuk
pengetahuan kealaman. Hanya ketika mereka hal itulah ilmu pengetahuan ilmu
kealaman dapat dikembangkan dan berjaya dikalangan mereka. Gereja berusaha
untuk mengamarkan fondasi-fondasinya sendiri. Sekalipun demikian, kaum ilmuan
lamabt laun memperoleh kemenangan dan gereja menemui kekalahan.
Bagi seorang ilmuan Muslim, apa yang
disebut “Lomapatan-induksi” bukanlah lompatan sama sekali,
melainkan suatu langkah lanjut dalam silogisme ethymematik yang dimulai dengan
“lailaha illa Allah” sebagai premis mayornya.
2.
Alam
Semesta Teleogis
Alam juga merupakan lapangan
tujuan-tujuan dimana segala sesuatu memenuhi suatu tujuan dan dengan cara
demikian memberikan sumbangan bagi kesejahteraan dan keseimbangan segalanya.
Segala sesuatu yang ada, melaui
kelahiran dan pertumbuhannya, kehidupan dan kematiannya, memenuhi sautu tujuan
yang telah ditetapkan untuknya oleh Tuhan, yang perlu bagi mahluk-mahluk
lainnya. Semua mahluk adalah saling bergantung, dan seluruh ciptaan berjalan
lancar karena adanya keselarasan yang sempurna diantara bagian-bagiannya. Untuk
segala sesuatu demikian tuhan berfirman dalam al_Qur’an “kami telah memberikan
ukuran ukuran yang sesuai dengannya.” Inilah prinsip keseimbangan ekologi,
dimana manusia modern baru menyadarinya setelah berabad-abad, dan telah melihat
dirinya berada didalamnya. Sebab dia adalah bagian daripadanya sebagaimana
makluk lainnya.
Sebagai suatu sistem teologi, dunia
menyuguhkan kepada kita suatu tontonan yang agung. Ukuran dan keluasan
makrokosmos, rincian yang pelik dari mikrokosmos, serta sifat mekanisme
keseimbangan yang sempurna dan memukau. Pikiran manusia secara harfiah “merasa
kecil” dihadapan itu semua, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Qur’an; tetapi
rasa kecil tersebut disertai dengan cinta dan kekaguman, penghargaan dan
kesadaran nilai. Karena dunia sebagai ciptaan dari Yang Maha Kuasa adalah
indah, benar-benar mulia, persisi karena teologinya.
a.
Alam sebagai ladang Tuhan
Demikian tentang unsur metafisika dari doktrin Islam. Unsur lainnya
adalah etika. Islam mengajarkan bahwa alam diciptakan sebagai panggung manusia,
sebuah “lapangan” tempat tumbuh dan berkembang, menikmati anugrah Tuhan dan
dengan melakukan itu membuktikan diri secara etis berharga. Pertama-tama, alam
bukanlah milik manusia melainkan milik tuhan. Manusia diberi izin tinggal didalamnya
oleh Tuhan untuk memenuhi tujuan yang telah ditetaokan oleh-Nya.
Kedua, tatanan alam tunduk pada manusia, yang dapat mengubahnya
seperti yang dikehendakinya. Alam telah diciptakan lunak, dapat menerima campur
tangan manusia dalam proses-prosesnya, atau penyimpangan dari rangkaian
kausalnya akibat perbuatan-perbuatan manusia.
Ketiga, dalam memanfaatkan dan menikmati alam, manusia
diperintahkan untuk bertindak sesuai dengan aturan moral. Pencurian dan
penipuan, paksaan dan monopoli, penumpukkan kekayaan dan pemerasan, egoisme dan
ketidakpekaan terhadap kebutuhan-kebutuhan orang lain, tidak layak dilakukan
olehnya sebagai wakil Tuhan, dan secara keras dilarang.
Keempat, islam menuntut manusia untuk menyelidiki dan memahami
pola-pola Tuhan dalam alam, tidak hanya pola-pola yang terkandung dalam
ilmu-ilmu kealaman, tapi juga pola-pola yng terkandung dalam tatanan umum dan
keindahan alam. Kenyataan bahwa alam adalah karya Tuhan, rencana dan
Rancangan-Nya, aktualisasi dari kehendak-Nya, memberikan kepadanya sifat yang
terhormat. Ia tidak boleh dirusak, diperas atau disalah gunakan meskipun ia
boleh dimanfaatkan.
C.
Prinsip Etika
Tauhid menegaskan
bahwa tuhan yang unik telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik
dengan tujuan untuk menyembah dan mengabdi kepada-Nya.
Tauhid juga menegaskan
bahwa tujuan ini mencakup tugas manusia sebagai wakil Tuhan Bumi. Karena,
menurut Al-Qur’an, Tuhan telah memberikan amanat-Nya kepada manusia, suatu
amnat yang tidak mampu dipukul oleh langit dan bumi, amanat yang mereka hindari
dengan penuh kekuatan.
1.
HUMANISME
Tauhid mengajarkan kepada kita bahwa
Tuhan, dengan sifat-Nya yang welas-asih dan bertujuan, tidaklah menciptakan
manusia untuk main-main, atau dengan sia-sia.
Tanggung jawab atau kewajiban
(taklif) yang dibebankan pada manusia ini sama sekali tidak mengenal batas,
sepanjang menyangkut jangkauan dan ruang tindaknya yang mungkin.
Karena taklif atau kewajiban manusia
bersifat universal, kosmik. Ia hanaya berakhir pada Hari Kiamat. Taklif adalah
landasan bagi kemanusiaan manusia, makna dan kandungannya. Penerimaan manusia
atas beban ini menempatkannya pada derajat yang lebih tinggi dibanding semua
makhluk lainnya, dan bahkan, dari malaikat. Karena hanya dia yang mampu
melaksanakannya. Taklif adalah makna kosmik manusia.
Agama hindu menggolongkan ummat
manusia ke dalam kasta-kasta dan menempatkan sebagian besar manusia kedalam
kelas ter-bawah yaitu golongan yang “tak boleh disentuh” jika mereka orang asli
India, atau golongan malicha, yaitu golongan manusia najis jika mereka bukan
orang India.
Prinsip Pertama Pengetahuan Islam
karenaya adalah kesatupaduan kebenaran, sebagaimana halnya prinsip pertama
realitas adalah keesaan Tuhan. Ketiga kesatuaan ini merupakan aspek-aspek, dan
tidak bisa dipisahkan satu dari yang lain. Kesatuan ini adalah prinsip
tertinggi. Eksistensi Tuhan bukanlah masalah dalam Islam. Islam dengan benar
telah menyatakan bahwa manusia sesungguhnya adalah homoreligiosus, makluk yang
kesadarannya berfokus pada kehadiran Tuhan yang bersifat sentral. Tetapi
seruannya bagi keesaan Tuhan adalah seruan yang baru, karena hampir semua
manusia telah menyekutukan Tuhan dengan wujud-wujud atau kekuatan-kekuatan lain,
atau dengan kehendak-kehendak manusia telah menyekutukan Tuhan dengan
wujud-wujud atau kekuatan-kekuatan lain, atau dengan kehendak-kehendak manusia
sendiri dan dengan demikian merusak keesaan-Nya.
Persepsi mengenai kesatuan ilahi
menurut Islam, terjadi pada seorang manusia seperti hadirnya sebuah “data yang
konkrit” dalam kesadaran “kebenaran”-Nya sama rasionalnya. Arti dari kesatuan
Ilahi adalah bahwa hanya Allah sajalah Tuhan itu, bahwa secara mutlak tak ada
sesuatu pun dalam ciptaan, yang dapat disamakan dengan-Nya dalam hal apapun,
dan dengan demikian tak ada sesuatu pun yang dapat disekutukan dengan-Nya. Dia
adalah Pencipta segala yang ada, penguasa dan pemilik, pemelihara, Hakim dan
Pelaksana.
2.
TUJUAN
PENCIPTAAN MANUSIA
Dengan menggunakan terminologi
keagamaan dan juga terminologi Semit kuno, Islam menyatakan bahwa manusia
diciptakan untuk mengabdi kepada Tuhan. Dalam pengertian filosofis, ini berarti
bahwa tujuan eksistensi manusia adalah realisasi summum bonum, atau
perangkat lengkap nilai-nilai.
Apakah makna hidup manusia adalah
heroisme, kesucian ataukah mengejar kesenangan belaka, adalah soal lain.
Sesungguhnyalah, pertanyaan itu sendiri tidak bisa dikemukakan tanpa memberi
jawaban yang positif terhadap pertanyaan yang pertama, yaitu bahwa hidup ini
mempunyai makna atau kebaikan. Makna atau kebaikan tersebut, yang merupakan
tujuan semua ciptaan, menurut Islam adalah pemenuhan kehendak Ilahi
Seperti dalam fungsi etika,
fungsi-fungsi etika merealisasi nilai-nilai moral dan nilai-nilai moral ini
merupakan kandungan dunia tersebut yang lebih tinggi, ketentuan-ketentuan yang
lebih tinggi dari kehendak Ilahi. Dengan demikian dia menjadi semacam jembatan
kosmik lewat mana kehendak ilahi, dalam totalitasnya dan terutama unsur
etikanya, dapat memasuki ruang dan waktu, dan menjadi aktual.
Apa yang dimaksud oleh al-Qur’an
adalah bahwa hanya manusia yang dapat merealisasi nilai etis, sebab hanya dia
yang memiliki kemerdekaan yang diperlukan untuk itu; bahwa hanya dia yang dapat
mengupayakan totalitas nilai karena hanya dia yang memiliki pikiran dan wawasan
yang dibutuhkan oleh upaya tersebut.
3.
KESUCIAN
MANUSIA
Islam mengajarkan bahwa manusia
diciptakan dalam keadaan suci, dan menyusun darama kehidupannya sesudah
kelahirannya, dan bukan sebelumnya. Tak peduli di lingkungan keluarga dan
masyarakat macam apa dia dilahirkan, setiap manusia dilahirkan dalam keadaan
suci.
Setiap manusia dilahirkan dalam
keadaan bersih, demikian Islam menegaskan, dengan mendasarkan posisinya pada
otonomi dan individualitas mutlak manusia.
Islam mendefinisikan tanggung jawab
manusia semata-matadalam batas-batas perbuatannya sendiri dan mendefenisikan
perbuatan (amal) sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang manusia
dewasa yang waras, dengan jasmaninya, dengan sadar dan atas kemauan sendiri,
dalam ruang waktu. Bahwa rasabersalah dan tanggung jawab adalah
kategori-kategori etika dan hanya diterapkan jika suatu perbuatan dilakukan
secara bebas dan sadar merupakan suatu “data konkrit” (hard datum) dari kesadaran
etis.
Perhatikan sifat berorientasi pada
diri sendiri dari seorang bayi yang baru lahir, apa lagi pada orang dewasa.
Memuncaki semua apologetika Kristen modern dalam bombastisme mereka adalah
pernyataan Paul Tillich yang mendefenisikan dosa asal sebagai kesalahan pribadi
yang diperoleh dalam perubahan wujud dari esensi ke eksistensi di dalam pikiran
tuhan menyangkut gagasan tentang manusia.
4.
CITRA
TUHAN
Islam menganggap citra ini sebagai
bawaan lahir manusia dan bersifat permanen ; artinya sebagai bagian dari alam,
dia tidak bisa hilang. Islam tidak mengikuti Kristen dengan membedakan antara
imago dei (citra tuhan) yang alamiah (sebagai actus) dan imago dei yang etis
(sebagai reatus).
Islam tidak mengakui asumsi-asumsi
ini dan dengan demikian dapat menganggap setiap manusia di setiap waktu sebagai
perwujudan citra ilahi. Ia merupakan organ manusia yang paling mirip dengan
tuhan dan dengan demikian merupakan fakultas dengan mana suatu kembaran dapat
mengenal kembarannya, dengan mana dapat mengenal Tuhan.
Citra Ilahi ini terdapat dalam diri
semua manusia. Ia tidak akan pernah dapat dihancurkan atau dilenyapkan, dan
merupakan kemanusiaan manusia yang pokok. Dengan perbedaan bahwa sementara
obyek tertinggi rasionalitas adalah paideu atau kebudayaan, bagi kaum muslimin
obyek tersebut adalah taqwa atau kesalehan.
Citra tuhan secara alami dalam diri
setiap manusia, membedakan antara manusia-manusia pada tingkat kelahiran dan
sifatnya dengan memberikan status terpilih kepada orang-orang yahudi Sendiri,
mendefenisikan dirinya dalam batasan-batasan kebudayaan Eropa semata-mata, dan
dengan demikian menempatkan bangsa-bangsa Asia, Afrika dan bangsa-bangsa bukan
Eropa lainnya pada tingkat setengah Manusia.
Islam menganggap semua manusia sama
dan Tuhan berkali-kali mengingatkan manusia dalam al-Qur’an “Kami telah
menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Yang paling mulia
diantaramu di sisi Allah adalah yang paling taqwa dan berilmu”. “tidak ada
perbedaan apapun antara orang arab dengan bukan Arab kecuali dengan
ketaqwaannya”.
Fakultas kedua yang membentuk ruh
sebagai akal atau pikiran adalah kemampuan manusia untuk memikul tanggung
jawab. Para filosof Muslim berkeras mendefenisikan kemampuan ini sebagai qadar
atau kemampuan untuk menerima akibat-akibat tindakan. Karena tindakan secara
eksklusif merupakan hak prerogatif Tuhan.
Islam tidak mengenal soteriologi.
“Penyelamatan” dalam pandangannya, adalah suatu konsep agama yang tidak tepat,
yang tidak ada padanannya dalam kosa kata Islam. Islam justru menegaskan
kesucian alih-alih “keselamatan”, ia menegaskan kebahagiaan (falah). Sebagai
fungsi dari perbuatan-perbuatannya sendiri, kebahagiaan atau kesengsaraan
manusia adalah sepenuhnya hasil perbuatannya sendiri.
5.
AKSIONALISME
Islam mengakui wahyu yang diterima
Yesus, dan menguatkan wawasan-wawasan etikanya dengan penuh semangat.
Sesungguhnya lah, demi untuk memajukan wawasan tersebut, islam memerintahkan
kepada pemeluk-pemeluknya untuk mengucapkan secara verbal, sebelum melakukan
sesuatu perbuatan yang secara moral dan keagamaan penting, rumusan, “aku
berniat melakukan perbuatan ini demi tuhan semata-mata,” apakah perbuatan
tersebut adalah shalat atau sekalipun menghilangkan kerikil di jalan umum.
Islam menyatakan bahwa tidak ada satupun perbuatan yang secara etis berfaedah
kecuali jika didahului dengan niat, dan ditujukan hanya untuk mencari ridha
Allah.
Islam memerintahkan penjabarannya ke
dalam tindakan, dari lapangan kesadaran pribadi ke dalam ruang dan waktu,
kedalam kehancuran kehidupan sehari-hari , kedalam pergaulan sejarah.
Nilai-nilai, atau kehendak ilahi, tidak boleh hanya menjadi objek dari niat
semata. Ia harus menjadi aktual, dan manusia adalah makhluk yang dimaksudkan
agar mengaktualisasikannya dalam kebebasan dan demi Tuhan semata. Karenanya ia
harus mengganggu ketenangan ontologis ciptaan.
Dengan mengingat ini semua, Islam
menyatakan tindakan (amal) adalah hal yang harus menyertai Iman.
Perintah-perintah Tuhan untuk bertindak (beramal) tak terhitung banyaknya di
dalam al-Qur’an, dan tidak menyisakan ruang bagi keraguan. Celaan Tuhan terhadap
qu’ud (berpangku tangan, diam) tidak pula kurang tegasnya. Bahkan jika
kesendirian, pemisahan-diri (‘uzlah) atau pasifisme dilakukan untuk menumbuhkan
kebijakan-kebijakan batin yang bersifat pribadi, sebagaimana dalam kasus
6.
UMMATISME
Anggota-anggotanya
membentuk tiga konsesus dalam pikiran wawasan, dalam niat atau kehendak, dan
dalam realisasi atau tindakan. Ia adlah persaudaraan orang-oarang beriman
dibawah panji syari’ah atau hokum Tuhan, yang digerakkan secara terus-menerus.
Dia adalah sebuah sekolah, sebuah groses Stills, dimana upaya
“meyakinkan” pikiran yang tak henti-hentinya, sebuah sekolah bagi hati dimana
kehendak terus-menerus disiplinkan dan ditumbuhkan suatu arena dimana nasib
ditantang dan sejajar dibuat. Bahwa kehidupan manusia bukanlah suatu permainan,
bahwa ekisistensi bukankah bahan gurauan, melainkan masalah yang sangat serius.
Kami tidak menciptakanmu wahai manusia kecuali agar kamu dapat membuktikan
siapa diantaramu yang lebih baik amal perbuatannya.
7.
UNIVERSALIME
Universalisme
Islam adalah mutlak dan tanpa perkecualian, sebab tuhan adalah penguasa dan
pemilik segalanya tanpa terkecuali. Dengan demikian dunia berada dua
kemungkinan : berada didalam atau diluar tata dunia Islam. Akan tetapi,
kebalikan yang sesungguhnya dari universalisme yang mengambil bentuk sebagai
henoteisme dan tribalisme dimasa lampau dan rasisme serta nasionalisme dimasa
kini. Memang, islam memberikan kedudukan istimewa kepada pengetahuan dan
kebijaka, ketaqwaan, kebajikan, kesalehan, amal saleh dan kemandirian diri demi
Tuhan. “Tidak sama orang-orang Mu’min yang turut berperang, tanpa adanya
halangan, dengan orang-orang berjaihat dijalan Allah dengan harta dan jiwa
raganya. Allah melebihi orang-orang yang berjihat dengan harta dan jiwa raganya
satu tingkat dari orang-orang yang tinggal di rumah”. Tapi juga menyatakan
dengan tegas bahwa perbedaan tersebut hanya berlaku selama yang bersangkutan
bersikap bijaksana, taqwa, saleh dan mengendalikan diri. “Dan jika kamu
berpaling,, dia akan menggantikanmu dengan kaum yang lain. Dan mereka tidak
akan bertingka seperti kamu.” Semua agama semit mengetengahkan hubungan
Tuhan-manusia dalam pengertian suatu perjanjian dimana manusia mesti mengabdi
kepada tuha, dan tuhan akan menganugerahi manusia dengan rezeki, anak-anak,
kesejahteraan dan ke-bahagian, dan mereka semua sangat sangat sadar akan
kondisi kebalikannya, bahwa jiak manusia tidak berbakti kepada tuhan maka dia
akan ditimpa penderitaan dan hukuman.
8.
KEHIDUPAN
DAN PENEGASAN DUNIA
Dari esensi pengalaman
keagamaan islam dapat disimpulakan bahwa tuhan telah menetapkan manusia didunia
yang akan menjadi panggung tempatnya mengabdi kepadany. Jika tuhan bukan penipu
yang licik, maka pengabdian manusia tersebut haruslahlah bisa dileksanakan.
Kemungkinan ini mengharuskan dunia bersifat berolah-olah (melleable),
mampu menerima tindakan manusia, dapat diubah sesuai dengan pola yang telah
diwahyukan Tuhan.
Berbeda diri
pemikiran Hindu yang spekualitif ataupun Budhodme dan Jaonosme, Islam todak
menganggab dunia selesai perintang bagi kesalahan ataupun kebahagian relijius.
Kejahatan yang patut disangkal dan dilawan adalah pemanfaatan dunia secara
immoral. Itulah sebabnya etika Islam bukanlah etika asketisisme. Nabi Muhammad
saw telah mengajarkan kepada para pengikutnya untuk menghindari peribadatan
yang berlebih-lebihan, kehidupan selibat, puasa yang berlebihan, pesimisme dan
kemurungan.
Isalam
memerontahkan para pengikutnya untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan meraka ;
untuk memahami diri sendiri, alam dan dunia dimana mereka hidup ; memuaskan
kebutuhan mereka akan pangan, papan, kenyamana, seks dan keturunan ;
merealisasikan keseimbangan dan keselarasan dalam hubungan mereka sesama
manusia dan alam ; untuk mengubah tanah menjado ladang-ladang yang produktif,
sawah-sawah yang subur dan tanaman-tanaman yang indah ; untuk mengungkapkan
pemahaman, hasrat, perbuatan dan kesadaran mereka dalam kerya-karya seni yang
indah. Semuaini adalah sejaran dan juga tentu, kebudayaan. Membuat sejarah dan
menciptakan kebudayaan dengan baik merupakan isi dari kehendak Ilahi. Dan itu
adalah kebaikan. Siapakah, Al-Qur’an bertanya berulang-ulang Al-Qur’an
memrintahkan secara berlebih-lebihan.
Umamatisme
Islam berkaitan kehendak manusia untuk berkuasa. “Barang siapa tidak ikut serta
dalam bay’ah (pemilihan seorng khalifah) paling sedikit satu kali, maka bila ia
mati, ia mati dalam keadaan bukan Muslim,” demikian bunyi sebuah Hadits Nabi
yang terkenal. Tuhan yang melembagakan negara, tata politik, dan peran serta
dalam peroses politik sebagai satu kewajiaban agama spiritualitas.
[1]
Abu Hamid al-Ghazali, Al-Munqidz min al-Dhalal (Damaskus : University Press,
1376/1956), hal. 62-63.
[2]
Q.S, al-Hujarat, 49 : 12
[3]
Q.S, an-Nahl, 16 : 36
[4]
Ini adalah makna penggambaran al-Qur’an tentang dunia, tentang gejala-gejala
alam, sebagai mengandung yat-ayat (tanda, indeks, bukti) Tuhan. Dalam semua
contoh ini, al-Qur’an mengacu pada kesimpulan yang sangat jelas bagi mereka
yang akalnya hidup, antara ciptaan dan Penciptaannya yang eksistensi dan
aktivitasnya tersirat dalam gejala-gejala alam.
[5]
Diilhami oleh Prinsip ini, para ahli hukum Islam telah menetapkan aturan, “Pada
umumnya, semua hal diperbolehkan kecuali yang telah dilarang oleh Allah”
sebagai suatu landasan bagi hukum
[6]
Q.S, Adz-Dzariyat, 51:56
[7]
Q.S An-Nahl, 16 : 36
No comments:
Post a Comment