1

loading...

Tuesday, March 20, 2012

Prinsip Pengetahuan Metafisika


Prinsip Pengetahuan, Metafisika, dan Etika
A.     Prinsip Pengetahuan
1.      Bukan Skeptisme atau “Iman” Kristen
Di dunia sekarang ini, terutama di Barat, skeptisisme telah tum­buh pesat  sekali. ia telah menjadi prinsip yang dominan di kalangan kaum "terpelajar" dan seringkali bisa ditemukan di kalangan orang­-orang awam yang meniru-niru kalangan "cerdik-pandai" yang ada dalam masyarakat mereka. Penyebaran yang spektakuler dari skeptisisme ini sebagiannya dikarenakan keberhasilan sains yang dipandang kemenangan lebih lanjut dari pemikiran empiris atas pemikiran ke­agamaan.
Wewenang tersebut adalah wewenang yang tidak pernah pantas dimilik Gereja, persis karena pandangannya yang dogmatis, yakni bahwa ia menyatakan proporsi-proporsi tertentu sebagai kebenaran tanpa terlebih dulu mengujinya secara empiris dan menyelidikinya secara kritis.
Iman adalah sesuatu yang terjadi dalam diri manusia, ketika kebenaran, faktualitas dari suatu obyek terbuka bagi mata hatinya dan menyakinkannya tanpa keraguan lagi akan kebenarannya. Ia memiliki sifat seperti kesimpulan geometri yang, dengan dikemukannya premis-premis yang mendahuluinya, orang mengakui kebenaran dan ketakpelakannya; atau sebagaimana dikemukakan oleh al-Qur’an, suatu objek yang eksistensinya diragukan, dibawa dan ditepatkan di depan semua orang agar mereka dapat melihat dan menyentuhnya.
Berbeda dari “iman” Islam adalah kebenaran yang diberikan kepada pikiran, bukan kepada perasaan manusia yang mudah mempercayai apa saja.
2.      Iman, Suatu Kategori Gnoseologis
Kesimpulannya, iman bukanlah semata-mata suatu kategori etika. Sesungguhnyalah, pertama-tama ia adalah suatu kategori kognitif; artinya ia berhubungan dengan pengetahuan, dengan kebenaran proposisi-proposisinya.
Iman adalah suatu visi yang menempatkan semua data dan fakta dalam perspektif yang sesuai dengan, dan perlu bagi, pemahaman yang benar atas mereka.[1] Ia adalah dasar bagi suatu penafsiran yang rasional atas alam semesta. Ia sendiri, yang merupakan prinsip utama dari akal, tidak mungkin bersifat non-rasional atau irasional, dan dengan demikian bertentangan dengan dirinya sendiri. Ia sungguh-sung merupakan prinsip rasionalitas yang pertama. Menyangkal atau atau menetangnya sama dengan menggelincir diri dari kebenaran dan karenanya dari kemanusiaan.
Sebagai prinsip pengetahuan, tauhid adalah pengakuan bahwa Allah, yakni kebenaran (al-Haqq), itu ada, dan bahwa Dia itu Esa Ini mengimplikasikan bahwa semua keberatan, semua keraguan, dapat diacuhkan kepada-Nya; bahwa tidak ada pernyataan yang tidak boleh diuji, yang tidak boleh dinilai secara pasti. Tauhid adalah pengakuan bahwa kebenaran bisa diketahui, bahwa manusia mampu mencapainya.
Sebagai prinsip epistemologi, ia merupakan saran dari rasa keputusasaan, yang disandarkan pada asumsi apriori bahwa manusia hidup dalam impian yang kekal dimana tidak ada realitas. Ia tidak dapat dipisahkan dari nihilisme, atau pengingkaran terhadap terhadap nila-nilai. Sebab, kesadaran akan nilai menuntut pengakuan bahwa manusia bisa mencapai kebenaran nilai-nilai.
3.      Keesaan Tuhan dan Kesatupaduan Kebenaran
Sebagai Prinsip Metodologi, tauhid terdiri dari tiga prinsip . Pertama, penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan realitas; kedua, penolakan kontradiksi-kontradiksi hakikat. Ketiga, keterbukaan bagi bukti yang baru dan/atau yang bertentanggan. Prinsip pertama meniadakan dusta dan penipuan dalam Islam, karena prinsip ini menjadikan segala sesuatu dalam agama terbuka untuk diselidiki dan dikritik.
Pertanyaan yang tidak dikonfirmasi, menurut al-Qur’an, adalah zhann, atau pengetahuan yang menipu, dan dilarang oleh Tuhan,[2] sekecil apapun objeknya. Seorang Muslim dapat didefinisikan sebagai orang yang tidak menyatakan apa-apa kecuali kebenaran, yang tidak mengemukakan apa-apa kecuali kebenaran, sekalipun dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri.
Prinsip kedua, yaitu tidak ada kontradiksi yang hakiki, melindunginya dari kontradiksi di satu pihak[3], dan paradoks di lain pihak, prinsip ini merupakan esensi dari rasionalisme.
Prinsip ketiga, tauhid sebagai kesatuan kebenaran, yaitu keterbukaan terhadap bukti baru dan/atau yang bertentangan, melindungi kaum Muslimin dari literalisme, fanatisme dan konservatisme yang mengakibatkan kemandegan. Prinsip ini mendorong kaum muslimin kepada sikap rendah hati Intelektual.
Sebagai penegasan dari keesaan mutlak Tuhan, tauhid merupakan penegasan dari kesatupaduan sumber-sumber kebenaran. Tuhan adalah Pencipta alam dari mana manusia memperoleh pengetahuannya.[4]
4.      Toleransi
Tauhid adalah pengkuan bahwa Allah sajalah yang Tuhan. Ini seperti yang telah kita ketahui, berarti bahwa Allah SWT adalah sumber Hakiki semua Kebaikan, semua nilai.
Kebaikan dari sumber kebaikan hakiki tak bisa diragukan. Orang harus selalu berasumsi bahwa apa yang telah dititahkan oleh Allah SWT adalah untuk tujuan yang baik yang menjadi miliknya sendiri.
Allah SWT tidak menciptakan kita untuk menyiksa dan menyesatkan kita. Tidak pula dia memberikan kepada kita fakultas-fakultas pengetahuan, instink dan nafsu, untuk menuntun kita menuju kesesatan. Apa yang kita ketahui dengan indera kita adah benar, kecuali jika indera kita jelas cacat atau sakit; apa yang tampak sesuai dengan akal sehat kita adalah benar kecualai jika terbukti sebaliknya.
Sebagai prinsip epistemologi, optimisme berarti penerimaan atas kondisi sekarang sampai kebatilannya terbuktikan; sementara sebagai prinsip etika, dia berarti penerimaan atas apa yang dianggap baik, sampai terbukti ketidakbaikannya.[5]
Sebagai prinsip metodologi di dalam esensi tauhid, toleransi adalah keyakinan bahwa Tuhan tidak meninggalkan suatu bangsa tanpa mengirimkan pada mereka seorang utusan dari kalangan mereka sendiri untuk mengajarkan kepada mereka bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan bahwa mereka wajib menyembah dan mengbdi kepada-Nya[6],  untuk memperingatkan mereka terhadap kejahatan dan penyembahannya.[7]
B.     Prinsip Metafisika
Kosmologi Hindu menganggap alam suatu peristiwa tal mengantungkan yang terjadi atas dewa Brahma, yang Mutlak. Ciptaan (yakni setiap makluk individual). Kosmologi Kristen menganggap alam sebagai makluk Tuhan yang pernah sempurna, tetapi kemudian rusak dalam Kejatuhan dan dengan demikian menjadi Jahat.
Secara praktis, pikiran Kristen tetap menganggap ciptaan telah jatuh, dan alam sebagai kejahatan. Kebencian kepada materi yang menjadi ciri gnostisisme terwariskan kepada Agama Kristen dan menguatkan rasa kejijikan dan antagonismenya terhadap alam dan dunia yang secara gigih dikejar di segala bidang oleh musuh-musuh pertama agama Kristen-yaitu orang-orang Romawi. Alam, dengan kemampuan dan kecenderungan materialnya. Adalah dunia Setan. Dibidang material, momentumnya adalah gerak menjauh dari “Akhirat” menuju “daging”, menuju “dosa”. Dibidang sosial, momentumnya adalah godaan kepada politik, kepada keinginan berkuasa dan penegasan diri kepada kedudukan “Kaisar”. Programatisme-kehendak untuk mengatur gerakan sejarah menuju transformasi alam-dalam defenisi agama Kristen adalah sia-sia. Selama seribu tahun atau lebih “alam” telah dipertentangkan dengan “rahmat” sebagai kebalikannya.
Dalam Islam, alam adalah ciptaan dan anugrah. Sebagai ciptaan, ia bersifat teologis, sempurna dan teratur; sebagai anugrah ia merupakan kebaikan yang tak mengandung dosa yang disediakan untuk manusia. Tujuannya adalah memungkinkan manusia melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan. Tiga penilaian ini ketraturan, kebertujuan dan kebaikan- menjadi ciri dan meringankan pandangan Islam tentang alam.
1.      Ketertiban Alam Semesta
Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah berarti percaya bahwa Dia sajalah Sang Pencipta yang memberikan pada segala sesuatu wujudnya, yang merupakan sebab hakiki dari setiap kejadian, dari Tuhan akhir dari segala yang ada; bahwa Dia adalah yang Pertama dan yakin, dengan pemahaman yang penuh kesadaran akan isinya, berarti menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam, di bidang sosial atau fisik, adalah perbuatan tuhan, pelaksanaan dari efektifitas kekuasaan kausalnya, pemenuhan dari salah satu tujuan-Nya.
Manusia bukanlah pencipta. Mereka tidak dapat mengadakan atau meniadakan wujud, meskipun mereka bertindak sebagai agent dalam pengadaan atau peniadaan tersebut.
Mengikuti prakarsa ilahi dalam diri sendiri atau dalam masyarakat berarti mempelajari kemanusiaan dan ilmu-ilmu sosial. Dan jika seluruh alam semesta sendiri benar-benar merupakan pengungkapan dari pemenuhan hukum-hukum alam ini, yang adalah perintah-perintah Tuhan dan kehendak-Nya, maka alam semesta adalah, dimata seorang Muslim, suatu panggung hidup yang digerakkan oleh perintah dan Tindakkan Tuhan.
Maka dengan sendirinya, tauhid berarti penghapusan terhadap setiap kekuatan yang berkerja dalam alam disamping Tuhan, yang prakassa kekal-Nya adalah hukum-hukum alam yang abadi. Ini berarti mengingkari setiap prakarsa dalam alam dari setiap kekuatan selain Tuhan; dan terutama sekali, ia merupakan penghapusan sihir, ruh, dan semua gagasan perdukunan klenik campur tanga sesuaka hati dalam proses alam oleh suatu agen. Karenanya, melalui tauhid, alam dipisahkan dari dewa-dewa dan ruh-ruh dalam agama Primitif, dari tahayul orang-orang yang Naif dan Bodoh.
Tauhid berhasil mencapai apa yang paling diinginkan dan dibutuhkan oleh ilmu kealaman, yaitu kondisi sine qua non yang tanpanya ia tidak dapat berkerja. Kondisi tersebut adalah “Profanisasi” atau “Sekularisasi” alam.
Ilmu pengetahuan tidak memerlukan dikeluarkannya Tuhan dari Alam, melainkan ruh-ruh yang bertindak sesuaka sendiri dan angin-angin. Tuhan, sebaliknya, tidak pernah bertindak semena-mena; sunan atau hukum-hukum dan pola-pola-Nya tidak bisa diubah.
Tauhid mengumpulakan seluruh benang rajut kausalitas dan mengembalikan kepada Tuhan, Bukan kepada kekuatan-kekuatan sihir. Dalam melakukan ini, kekuatan kausal yang berkerja dalam setiap peristiwa atau benda diorganisasikan sedemikian rupa untuk menciptakan seutas benang rajut yang sinambung, yang bagian-bagiannya secara kausal-dan dengan demikian secara empiris-berkaitan satu sama lain. Bahwa pada akhirnya benang tersebut kembali kepada Tuhan, menunjukkan akhirnya benang tersebut kembali kepada Tuhan, menunjukkan bahwa tidak ada kekuatan diluarnya yang boleh campur-tangan dalam pelaksanaan dari kekuatan kausal atau efektifnya.
Para ilmuan modren Barat menolak tuhan dan mengusir-Nya dari alam, disebabkan oleh kebensian mereka terhadap gereja kristen dan kewenangan palsu yang telah dipaksakan gereja termasuk pengetahuan kealaman. Hanya ketika mereka hal itulah ilmu pengetahuan ilmu kealaman dapat dikembangkan dan berjaya dikalangan mereka. Gereja berusaha untuk mengamarkan fondasi-fondasinya sendiri. Sekalipun demikian, kaum ilmuan lamabt laun memperoleh kemenangan dan gereja menemui kekalahan.
Bagi seorang ilmuan Muslim, apa yang disebut “Lomapatan-induksi” bukanlah lompatan sama sekali, melainkan suatu langkah lanjut dalam silogisme ethymematik yang dimulai dengan “lailaha illa Allah” sebagai premis mayornya.
2.      Alam Semesta Teleogis
Alam juga merupakan lapangan tujuan-tujuan dimana segala sesuatu memenuhi suatu tujuan dan dengan cara demikian memberikan sumbangan bagi kesejahteraan dan keseimbangan segalanya.
Segala sesuatu yang ada, melaui kelahiran dan pertumbuhannya, kehidupan dan kematiannya, memenuhi sautu tujuan yang telah ditetapkan untuknya oleh Tuhan, yang perlu bagi mahluk-mahluk lainnya. Semua mahluk adalah saling bergantung, dan seluruh ciptaan berjalan lancar karena adanya keselarasan yang sempurna diantara bagian-bagiannya. Untuk segala sesuatu demikian tuhan berfirman dalam al_Qur’an “kami telah memberikan ukuran ukuran yang sesuai dengannya.” Inilah prinsip keseimbangan ekologi, dimana manusia modern baru menyadarinya setelah berabad-abad, dan telah melihat dirinya berada didalamnya. Sebab dia adalah bagian daripadanya sebagaimana makluk lainnya.
Sebagai suatu sistem teologi, dunia menyuguhkan kepada kita suatu tontonan yang agung. Ukuran dan keluasan makrokosmos, rincian yang pelik dari mikrokosmos, serta sifat mekanisme keseimbangan yang sempurna dan memukau. Pikiran manusia secara harfiah “merasa kecil” dihadapan itu semua, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Qur’an; tetapi rasa kecil tersebut disertai dengan cinta dan kekaguman, penghargaan dan kesadaran nilai. Karena dunia sebagai ciptaan dari Yang Maha Kuasa adalah indah, benar-benar mulia, persisi karena teologinya.
a.      Alam sebagai ladang Tuhan
Demikian tentang unsur metafisika dari doktrin Islam. Unsur lainnya adalah etika. Islam mengajarkan bahwa alam diciptakan sebagai panggung manusia, sebuah “lapangan” tempat tumbuh dan berkembang, menikmati anugrah Tuhan dan dengan melakukan itu membuktikan diri secara etis berharga. Pertama-tama, alam bukanlah milik manusia melainkan milik tuhan. Manusia diberi izin tinggal didalamnya oleh Tuhan untuk memenuhi tujuan yang telah ditetaokan oleh-Nya.
Kedua, tatanan alam tunduk pada manusia, yang dapat mengubahnya seperti yang dikehendakinya. Alam telah diciptakan lunak, dapat menerima campur tangan manusia dalam proses-prosesnya, atau penyimpangan dari rangkaian kausalnya akibat perbuatan-perbuatan manusia.
Ketiga, dalam memanfaatkan dan menikmati alam, manusia diperintahkan untuk bertindak sesuai dengan aturan moral. Pencurian dan penipuan, paksaan dan monopoli, penumpukkan kekayaan dan pemerasan, egoisme dan ketidakpekaan terhadap kebutuhan-kebutuhan orang lain, tidak layak dilakukan olehnya sebagai wakil Tuhan, dan secara keras dilarang.
Keempat, islam menuntut manusia untuk menyelidiki dan memahami pola-pola Tuhan dalam alam, tidak hanya pola-pola yang terkandung dalam ilmu-ilmu kealaman, tapi juga pola-pola yng terkandung dalam tatanan umum dan keindahan alam. Kenyataan bahwa alam adalah karya Tuhan, rencana dan Rancangan-Nya, aktualisasi dari kehendak-Nya, memberikan kepadanya sifat yang terhormat. Ia tidak boleh dirusak, diperas atau disalah gunakan meskipun ia boleh dimanfaatkan.
C.     Prinsip Etika
Tauhid menegaskan bahwa tuhan yang unik telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik dengan tujuan untuk menyembah dan mengabdi kepada-Nya.
Tauhid juga menegaskan bahwa tujuan ini mencakup tugas manusia sebagai wakil Tuhan Bumi. Karena, menurut Al-Qur’an, Tuhan telah memberikan amanat-Nya kepada manusia, suatu amnat yang tidak mampu dipukul oleh langit dan bumi, amanat yang mereka hindari dengan penuh kekuatan.
1.      HUMANISME
Tauhid mengajarkan kepada kita bahwa Tuhan, dengan sifat-Nya yang welas-asih dan bertujuan, tidaklah menciptakan manusia untuk main-main, atau dengan sia-sia.
Tanggung jawab atau kewajiban (taklif) yang dibebankan pada manusia ini sama sekali tidak mengenal batas, sepanjang menyangkut jangkauan dan ruang tindaknya yang mungkin.
Karena taklif atau kewajiban manusia bersifat universal, kosmik. Ia hanaya berakhir pada Hari Kiamat. Taklif adalah landasan bagi kemanusiaan manusia, makna dan kandungannya. Penerimaan manusia atas beban ini menempatkannya pada derajat yang lebih tinggi dibanding semua makhluk lainnya, dan bahkan, dari malaikat. Karena hanya dia yang mampu melaksanakannya. Taklif adalah makna kosmik manusia.
Agama hindu menggolongkan ummat manusia ke dalam kasta-kasta dan menempatkan sebagian besar manusia kedalam kelas ter-bawah yaitu golongan yang “tak boleh disentuh” jika mereka orang asli India, atau golongan malicha, yaitu golongan manusia najis jika mereka bukan orang India.
Prinsip Pertama Pengetahuan Islam karenaya adalah kesatupaduan kebenaran, sebagaimana halnya prinsip pertama realitas adalah keesaan Tuhan. Ketiga kesatuaan ini merupakan aspek-aspek, dan tidak bisa dipisahkan satu dari yang lain. Kesatuan ini adalah prinsip tertinggi. Eksistensi Tuhan bukanlah masalah dalam Islam. Islam dengan benar telah menyatakan bahwa manusia sesungguhnya adalah homoreligiosus, makluk yang kesadarannya berfokus pada kehadiran Tuhan yang bersifat sentral. Tetapi seruannya bagi keesaan Tuhan adalah seruan yang baru, karena hampir semua manusia telah menyekutukan Tuhan dengan wujud-wujud atau kekuatan-kekuatan lain, atau dengan kehendak-kehendak manusia telah menyekutukan Tuhan dengan wujud-wujud atau kekuatan-kekuatan lain, atau dengan kehendak-kehendak manusia sendiri dan dengan demikian merusak keesaan-Nya.
Persepsi mengenai kesatuan ilahi menurut Islam, terjadi pada seorang manusia seperti hadirnya sebuah “data yang konkrit” dalam kesadaran “kebenaran”-Nya sama rasionalnya. Arti dari kesatuan Ilahi adalah bahwa hanya Allah sajalah Tuhan itu, bahwa secara mutlak tak ada sesuatu pun dalam ciptaan, yang dapat disamakan dengan-Nya dalam hal apapun, dan dengan demikian tak ada sesuatu pun yang dapat disekutukan dengan-Nya. Dia adalah Pencipta segala yang ada, penguasa dan pemilik, pemelihara, Hakim dan Pelaksana.
2.      TUJUAN PENCIPTAAN MANUSIA
Dengan menggunakan terminologi keagamaan dan juga terminologi Semit kuno, Islam menyatakan bahwa manusia diciptakan untuk mengabdi kepada Tuhan. Dalam pengertian filosofis, ini berarti bahwa tujuan eksistensi manusia adalah realisasi summum bonum, atau perangkat lengkap nilai-nilai.
Apakah makna hidup manusia adalah heroisme, kesucian ataukah mengejar kesenangan belaka, adalah soal lain. Sesungguhnyalah, pertanyaan itu sendiri tidak bisa dikemukakan tanpa memberi jawaban yang positif terhadap pertanyaan yang pertama, yaitu bahwa hidup ini mempunyai makna atau kebaikan. Makna atau kebaikan tersebut, yang merupakan tujuan semua ciptaan, menurut Islam adalah pemenuhan kehendak Ilahi
Seperti dalam fungsi etika, fungsi-fungsi etika merealisasi nilai-nilai moral dan nilai-nilai moral ini merupakan kandungan dunia tersebut yang lebih tinggi, ketentuan-ketentuan yang lebih tinggi dari kehendak Ilahi. Dengan demikian dia menjadi semacam jembatan kosmik lewat mana kehendak ilahi, dalam totalitasnya dan terutama unsur etikanya, dapat memasuki ruang dan waktu, dan menjadi aktual.
Apa yang dimaksud oleh al-Qur’an adalah bahwa hanya manusia yang dapat merealisasi nilai etis, sebab hanya dia yang memiliki kemerdekaan yang diperlukan untuk itu; bahwa hanya dia yang dapat mengupayakan totalitas nilai karena hanya dia yang memiliki pikiran dan wawasan yang dibutuhkan oleh upaya tersebut.
3.      KESUCIAN MANUSIA
Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan suci, dan menyusun darama kehidupannya sesudah kelahirannya, dan bukan sebelumnya. Tak peduli di lingkungan keluarga dan masyarakat macam apa dia dilahirkan, setiap manusia dilahirkan dalam keadaan suci.
Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan bersih, demikian Islam menegaskan, dengan mendasarkan posisinya pada otonomi dan individualitas mutlak manusia.
Islam mendefinisikan tanggung jawab manusia semata-matadalam batas-batas perbuatannya sendiri dan mendefenisikan perbuatan (amal) sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang manusia dewasa yang waras, dengan jasmaninya, dengan sadar dan atas kemauan sendiri, dalam ruang waktu. Bahwa rasabersalah dan tanggung jawab adalah kategori-kategori etika dan hanya diterapkan jika suatu perbuatan dilakukan secara bebas dan sadar merupakan suatu “data konkrit” (hard datum) dari kesadaran etis.
Perhatikan sifat berorientasi pada diri sendiri dari seorang bayi yang baru lahir, apa lagi pada orang dewasa. Memuncaki semua apologetika Kristen modern dalam bombastisme mereka adalah pernyataan Paul Tillich yang mendefenisikan dosa asal sebagai kesalahan pribadi yang diperoleh dalam perubahan wujud dari esensi ke eksistensi di dalam pikiran tuhan menyangkut gagasan tentang manusia.
4.      CITRA TUHAN
Islam menganggap citra ini sebagai bawaan lahir manusia dan bersifat permanen ; artinya sebagai bagian dari alam, dia tidak bisa hilang. Islam tidak mengikuti Kristen dengan membedakan antara imago dei (citra tuhan) yang alamiah (sebagai actus) dan imago dei yang etis (sebagai reatus).
Islam tidak mengakui asumsi-asumsi ini dan dengan demikian dapat menganggap setiap manusia di setiap waktu sebagai perwujudan citra ilahi. Ia merupakan organ manusia yang paling mirip dengan tuhan dan dengan demikian merupakan fakultas dengan mana suatu kembaran dapat mengenal kembarannya, dengan mana dapat mengenal Tuhan.
Citra Ilahi ini terdapat dalam diri semua manusia. Ia tidak akan pernah dapat dihancurkan atau dilenyapkan, dan merupakan kemanusiaan manusia yang pokok. Dengan perbedaan bahwa sementara obyek tertinggi rasionalitas adalah paideu atau kebudayaan, bagi kaum muslimin obyek tersebut adalah taqwa atau kesalehan.
Citra tuhan secara alami dalam diri setiap manusia, membedakan antara manusia-manusia pada tingkat kelahiran dan sifatnya dengan memberikan status terpilih kepada orang-orang yahudi Sendiri, mendefenisikan dirinya dalam batasan-batasan kebudayaan Eropa semata-mata, dan dengan demikian menempatkan bangsa-bangsa Asia, Afrika dan bangsa-bangsa bukan Eropa lainnya pada tingkat setengah Manusia.
Islam menganggap semua manusia sama dan Tuhan berkali-kali mengingatkan manusia dalam al-Qur’an “Kami telah menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Yang paling mulia diantaramu di sisi Allah adalah yang paling taqwa dan berilmu”. “tidak ada perbedaan apapun antara orang arab dengan bukan Arab kecuali dengan ketaqwaannya”.
Fakultas kedua yang membentuk ruh sebagai akal atau pikiran adalah kemampuan manusia untuk memikul tanggung jawab. Para filosof Muslim berkeras mendefenisikan kemampuan ini sebagai qadar atau kemampuan untuk menerima akibat-akibat tindakan. Karena tindakan secara eksklusif merupakan hak prerogatif Tuhan.
Islam tidak mengenal soteriologi. “Penyelamatan” dalam pandangannya, adalah suatu konsep agama yang tidak tepat, yang tidak ada padanannya dalam kosa kata Islam. Islam justru menegaskan kesucian alih-alih “keselamatan”, ia menegaskan kebahagiaan (falah). Sebagai fungsi dari perbuatan-perbuatannya sendiri, kebahagiaan atau kesengsaraan manusia adalah sepenuhnya hasil perbuatannya sendiri.
5.      AKSIONALISME
Islam mengakui wahyu yang diterima Yesus, dan menguatkan wawasan-wawasan etikanya dengan penuh semangat. Sesungguhnya lah, demi untuk memajukan wawasan tersebut, islam memerintahkan kepada pemeluk-pemeluknya untuk mengucapkan secara verbal, sebelum melakukan sesuatu perbuatan yang secara moral dan keagamaan penting, rumusan, “aku berniat melakukan perbuatan ini demi tuhan semata-mata,” apakah perbuatan tersebut adalah shalat atau sekalipun menghilangkan kerikil di jalan umum. Islam menyatakan bahwa tidak ada satupun perbuatan yang secara etis berfaedah kecuali jika didahului dengan niat, dan ditujukan hanya untuk mencari ridha Allah.
Islam memerintahkan penjabarannya ke dalam tindakan, dari lapangan kesadaran pribadi ke dalam ruang dan waktu, kedalam kehancuran kehidupan sehari-hari , kedalam pergaulan sejarah. Nilai-nilai, atau kehendak ilahi, tidak boleh hanya menjadi objek dari niat semata. Ia harus menjadi aktual, dan manusia adalah makhluk yang dimaksudkan agar mengaktualisasikannya dalam kebebasan dan demi Tuhan semata. Karenanya ia harus mengganggu ketenangan ontologis ciptaan.
Dengan mengingat ini semua, Islam menyatakan tindakan (amal) adalah hal yang harus menyertai Iman. Perintah-perintah Tuhan untuk bertindak (beramal) tak terhitung banyaknya di dalam al-Qur’an, dan tidak menyisakan ruang bagi keraguan. Celaan Tuhan terhadap qu’ud (berpangku tangan, diam) tidak pula kurang tegasnya. Bahkan jika kesendirian, pemisahan-diri (‘uzlah) atau pasifisme dilakukan untuk menumbuhkan kebijakan-kebijakan batin yang bersifat pribadi, sebagaimana dalam kasus
6.      UMMATISME 
Anggota-anggotanya membentuk tiga konsesus dalam pikiran wawasan, dalam niat atau kehendak, dan dalam realisasi atau tindakan. Ia adlah persaudaraan orang-oarang beriman dibawah panji syari’ah atau hokum Tuhan, yang digerakkan secara terus-menerus. Dia adalah sebuah sekolah, sebuah groses Stills, dimana upaya “meyakinkan” pikiran yang tak henti-hentinya, sebuah sekolah bagi hati dimana kehendak terus-menerus disiplinkan dan ditumbuhkan suatu arena dimana nasib ditantang dan sejajar dibuat. Bahwa kehidupan manusia bukanlah suatu permainan, bahwa ekisistensi bukankah bahan gurauan, melainkan masalah yang sangat serius. Kami tidak menciptakanmu wahai manusia kecuali agar kamu dapat membuktikan siapa diantaramu yang lebih baik amal perbuatannya.
7.    UNIVERSALIME    
Universalisme Islam adalah mutlak dan tanpa perkecualian, sebab tuhan adalah penguasa dan pemilik segalanya tanpa terkecuali. Dengan demikian dunia berada dua kemungkinan : berada didalam atau diluar tata dunia Islam. Akan tetapi, kebalikan yang sesungguhnya dari universalisme yang mengambil bentuk sebagai henoteisme dan tribalisme dimasa lampau dan rasisme serta nasionalisme dimasa kini. Memang, islam memberikan kedudukan istimewa kepada pengetahuan dan kebijaka, ketaqwaan, kebajikan, kesalehan, amal saleh dan kemandirian diri demi Tuhan. “Tidak sama orang-orang Mu’min yang turut berperang, tanpa adanya halangan, dengan orang-orang berjaihat dijalan Allah dengan harta dan jiwa raganya. Allah melebihi orang-orang yang berjihat dengan harta dan jiwa raganya satu tingkat dari orang-orang yang tinggal di rumah”. Tapi juga menyatakan dengan tegas bahwa perbedaan tersebut hanya berlaku selama yang bersangkutan bersikap bijaksana, taqwa, saleh dan mengendalikan diri. “Dan jika kamu berpaling,, dia akan menggantikanmu dengan kaum yang lain. Dan mereka tidak akan bertingka seperti kamu.” Semua agama semit mengetengahkan hubungan Tuhan-manusia dalam pengertian suatu perjanjian dimana manusia mesti mengabdi kepada tuha, dan tuhan akan menganugerahi manusia dengan rezeki, anak-anak, kesejahteraan dan ke-bahagian, dan mereka semua sangat sangat sadar akan kondisi kebalikannya, bahwa jiak manusia tidak berbakti kepada tuhan maka dia akan ditimpa penderitaan dan hukuman. 
8.    KEHIDUPAN DAN PENEGASAN DUNIA
Dari esensi pengalaman keagamaan islam dapat disimpulakan bahwa tuhan telah menetapkan manusia didunia yang akan menjadi panggung tempatnya mengabdi kepadany. Jika tuhan bukan penipu yang licik, maka pengabdian manusia tersebut haruslahlah bisa dileksanakan. Kemungkinan ini mengharuskan dunia bersifat berolah-olah (melleable), mampu menerima tindakan manusia, dapat diubah sesuai dengan pola yang telah diwahyukan Tuhan.  
Berbeda diri pemikiran Hindu yang spekualitif ataupun Budhodme dan Jaonosme, Islam todak menganggab dunia selesai perintang bagi kesalahan ataupun kebahagian relijius. Kejahatan yang patut disangkal dan dilawan adalah pemanfaatan dunia secara immoral. Itulah sebabnya etika Islam bukanlah etika asketisisme. Nabi Muhammad saw telah mengajarkan kepada para pengikutnya untuk menghindari peribadatan yang berlebih-lebihan, kehidupan selibat, puasa yang berlebihan, pesimisme dan kemurungan.
Isalam memerontahkan para pengikutnya untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan meraka ; untuk memahami diri sendiri, alam dan dunia dimana mereka hidup ; memuaskan kebutuhan mereka akan pangan, papan, kenyamana, seks dan keturunan ; merealisasikan keseimbangan dan keselarasan dalam hubungan mereka sesama manusia dan alam ; untuk mengubah tanah menjado ladang-ladang yang produktif, sawah-sawah yang subur dan tanaman-tanaman yang indah ; untuk mengungkapkan pemahaman, hasrat, perbuatan dan kesadaran mereka dalam kerya-karya seni yang indah. Semuaini adalah sejaran dan juga tentu, kebudayaan. Membuat sejarah dan menciptakan kebudayaan dengan baik merupakan isi dari kehendak Ilahi. Dan itu adalah kebaikan. Siapakah, Al-Qur’an bertanya berulang-ulang Al-Qur’an memrintahkan secara berlebih-lebihan.
Umamatisme Islam berkaitan kehendak manusia untuk berkuasa. “Barang siapa tidak ikut serta dalam bay’ah (pemilihan seorng khalifah) paling sedikit satu kali, maka bila ia mati, ia mati dalam keadaan bukan Muslim,” demikian bunyi sebuah Hadits Nabi yang terkenal. Tuhan yang melembagakan negara, tata politik, dan peran serta dalam peroses politik sebagai satu kewajiaban agama spiritualitas.



[1] Abu Hamid al-Ghazali, Al-Munqidz min al-Dhalal (Damaskus : University Press, 1376/1956), hal. 62-63.
[2] Q.S, al-Hujarat, 49 : 12
[3] Q.S, an-Nahl, 16 : 36
[4] Ini adalah makna penggambaran al-Qur’an tentang dunia, tentang gejala-gejala alam, sebagai mengandung yat-ayat (tanda, indeks, bukti) Tuhan. Dalam semua contoh ini, al-Qur’an mengacu pada kesimpulan yang sangat jelas bagi mereka yang akalnya hidup, antara ciptaan dan Penciptaannya yang eksistensi dan aktivitasnya tersirat dalam gejala-gejala alam.
[5] Diilhami oleh Prinsip ini, para ahli hukum Islam telah menetapkan aturan, “Pada umumnya, semua hal diperbolehkan kecuali yang telah dilarang oleh Allah” sebagai suatu landasan bagi hukum
[6] Q.S, Adz-Dzariyat, 51:56
[7] Q.S An-Nahl, 16 : 36

No comments:

Post a Comment