1

loading...

Monday, March 19, 2012

MAKALAH HUKUM DAGANG



BAB I
PENGERTIAN POKOK PERBANKAN DI INDONESIA

1.      Asal-usul Bank
Adapun pengurusan bank timbul dan berkembang dari kegiatan tukar menukar uang, sedang usaha tukar menukar uang ini sudah dikenal sejak zaman purbakala di babilonia, athena, dan romawi.Pada zaman itu orang yang menjalankan tugas tukar-menukar uang dinamakan trapezites (orang dihadapan meja) di athena atau argentarius di romawi.
Selain melakukan tugas tukar menukar uang juga menjalankan tugas menyimpan serta meminjam uang bagi orang yang memerlukan. Usaha tukar-menukar dan simpan-pinjam uang ini menjadi lebih berkembang pada akhir abad pertengahan berhubungan dengan perkembangan usaha-usaha pedagangan di eropa seta timbulnya berbagai mata uang yang dipunyai oleh beberapa negara.
Khusus dalan tugas peminjaman uang terutama dilakukan oleh orang-orang yahudi, kemudian di ikuti oleh orang-orang italia yang berasal dari orang-orang lombardia; itulah sebabnya dari dunia perbankan banyak di kenal istilah-istilah dari bahasa italia.
2.      Arti dan fungsi Bank
Pada hakikatnya yang dimaksudkan dengan “bank” ialah semua badan usaha yang bertujuan untuk menyediakan jasa-jasanya jika terdapat permintaan atau penawaran akan kredit.
Sesuatu bank memperoleh kredit dari orang lain,karna ia membayarkan bunga (rente) untuk kredit itu, dan sebaliknya ia menberikan kredit kepada orng lain dengan memungut bunga yang lebih tinggi dari bunga yang dibayarkan itu.
 Keadaan perbankan sebelum perang dunia II
Di Indonesia (pada waktu itu Nederland indie) terdapat 3 buah bank, di dalamnya pemerintah mempunyai peranan tertentu. Ketiga bank tersebut adalah:
1)      De Javasche Bank N.V., didirikan tanggal 10 oktober 1827, kemudian dinasionalisir oleh pemerintah RI pada tanggal 6 desember 1951 dan akhirnya menjadi bank sental di indonesia berdasarkan UU No. 13 tahun 1968.
2)      De Algemene Volkscredietbank, didirikan tahun 1934 di batavia (jakarta).Kemudian kegiatan bank ini dilanjutkan oleh lembaga kredit jepang (pada masa pendudukan jepang) dengan nama syomin ginko dan sekarang menjadi bank rakyat indonesia.
3)      De postpaarbank, didirikan tahun 1898, yang selanjutnya dengan UU No. 9 Drt.tahun 1950 diganti dengan nama bank tabungan pos dan terakhir dengan UU No. 20 tahun 1968 menjadi bank tabungan negara.
Keadaan Perbankan setelah perang dunia II (1945-1949)
Bersama dengan kekalahan jepang, pemerintah belanda berusaha kembali ke indonesia dengan membonceng tentara inggris (sekutu), dan terjadilah perang kemerdekaan melawan penjajah.
Pada akhirnya terbentuk 2 wilayah yakni daerah republik yang dikuasai, oleh RI dan daerah federal yang merupakan daerah wilayah RI yang diduduki belanda. Masing-masing daerah mengalami perkembangan. 
1)      Perkembangan perbankan di daerah republik
Pada masa itu ada 2 bank pemerintah, yakni bank negara indonesia dan bank rakyat indonesia.
Bank negara indonesia  didirikan pada tanggal 5 juli 1946 dengan peraturan pemerintah dengan penggantian undang-undang (Perpu) No. 2/1946 yang kemudian bernama BNI 1946.
Bank Rakyat indonesia Didirikan dengan peraturan pemerintah (PP) pada tanggal 22 februari 1946.



BAB II
DASAR-DASAR HUKUM PERBANKAN DI INDONESIA
                 
            Dalam UUD 1945 Pasal 23 ditegaskan bahwa macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang (ayat 3)dan mengenai hal keuangan negara selanjutnya diatur juga dengan undang-undang (ayat 4).
A.    Dasar Pertimbangan
Adapun yang menjadi dasar pertimbangan pemerintah dan DPR-GR untuk mengeluarkan undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang pokok-pokok perbankan disebutkan 4 hal yang berikut:
1)      Negara kita adalah negara yang agraris yang perlu dibangun untuk memperbesar produksi dan yang menyangkut langsung dibidang industri, prasarana kegiatan dan kesejahteraan rakyat;
2)      Dalam rangka pembangunan tata-perekonomian nasional perlu diadakan penilaian kembali terhadap tata-perbankan yang sekarang berlaku sesuai dengan ketetapan majelis permusyawaratan rakyat sementara No. XXIII/MPRS/1966;
3)      Berhubungan dengan itu perlu segera mengatur kembali tata perbankan supaya dapat lebih dimanfaatkan untuk kepentingan perkembangan ekonomi dan moneter;
4)      Oleh karenanya perlu ditetapkan ketentuan-ketentuan pokok mengenai perbankan dengan suatu undang-undang.
B.     Landasan Hukum Penyusunan Undang-undang No. 14 Tahun 1967
Sebagai landasan hukum bagi penyusunan undang-undang No. 14 Tahun 1967 ini antara lain disebutkan perundang-undangan yang berikut:
a)      Undang-undang Dasar 1945
(1)   Pasal 23
(a)    Anggaran pedapatan dan belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang.Apabila DPR tidak menyetujui anggaran yang di usulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu;
(b)   Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang;
(c)    Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang;
(d)   Hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan undang-undang;
(e)    Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu badan pemeriksa keuangan,yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. 
Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada DPR.
(2)   Pasal 33 :
(a)    Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas ;
(b)   Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
(c)    Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
b)      Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966 pasal 55
Dalam rangka pengamanan keuangan negara pada umumnya dan pengawasan serta penyehatan tata perbankan pada khususnya, maka segera harus ditetapkan Undang-undang pokok perbankan dan Undang-undang bank sentral.
c)      Diktum Undang-undang No. 14 Tahun 1967
            Dalam memutuskan, ditetapkan hal yang berikut :
(a)    Mencabut peraturan pemerintah No. 1 Tahun 1955 tentang pengawasan terhadap urusan kredit (Lembar negara No. 2 Tahun 1955) sebagaimana ditambahkan dan di ubah;
(b)   Mencabut undang-undang No. 23 Prp Tahun 1960 tentang rahasia Bank.


       Sistematika dan isi pokok undang-undang No. 14 Tahun 1967
Undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang pokok-pokok perbankan ini di syahkan pejabat Presiden Republik indonesia pada tanggal 30 Desember 1967 dan diundangkan dalan lembaran negara No. 34 Tahun 1967, mempunyai sistematika sebagai birikut :
a.       Konsideran (alasan-alasan dikeluarkannya undang-undang ini) yang terdiri dari :
1)      Dasar pertimbangan : 4 alenia (telah disebut diatas ).
2)      Landasan hukum :
a)      UUD-1945, Pasal-pasal 5ayat (1), 20 ayat (1),23 dan 33 (sebagiannya telah disebut diatas);
b)      Ketetapan-ketetapan MPRS :
(1)   No. XXIII/MPRS/1966,Pasal 55.
(2)   No. XXXIII/MPRS/1967.
b.      Diktum yang berbunyi  :
1)      Mencabut Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1955 dan Undang-undang No. 23 Prp Tahun 1960.
2)      Menetapkan Undang-undang tentang pokok-pokok perbankan.
Pengaturan kembali Tata Perbankan di indonesia
Sesuai dengan jiwa dan makna Ketetapan majelis dan Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXIII/MPRS/1966, maka usaha untuk menuju arah  perbaikan ekonomi rakyat, adalah penilaian kembali semua landasan kebijaksanaan ekonomi, keuangan dan pembangunan, dengan maksud untuk memperoleh keseimbangan yang tepat antara upaya yang di usahakan dan tujuan yang hendak dicapai, yakni masyarakat indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Berhubung dengan hal-hal tersebut diatas, maka pengturan tata perbankan dilandaskan pada hal-hal seperti berikut :
a.       Tata perbankan harus merupakan suatu kesatuan sistem yang menjamin adanya kesatuan pimpinan dalam mengtur seluruh perubahan di Indonesia serta mengawasi pelaksanaan kebijakansanaan moneter Pemerintah di bidang perbankan.
b.      Mobilisasikan dan mengembangkan seluruh potensi Nasional yang bergerak di bidang perbankan berdasarkan asas-asas demokrasi ekonomi
c.       Membimbing dan memanfaatkan segala potensi tersebut huruf b bagi kepentingan perbaikan ekonomi rakyat.

BAB III
PERBANKAN DEWASA INI
A.    Dasar Hukum Perbankan Tahun 1992
1.      Dasar Hukum
Pada tanggal 25 Maret 1992, dengan persetujuan D.P.R., Presi­den R.I. telah mensahkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan 1992 = UUP - 1992). Undang­-Undang Perbankan Tahun 1992 diundangkan dalam Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31 dan Penjelasannya diumumkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472. UUP - 1992 mencabut dan menggantikan Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan yang telah berlaku selama seperempat abad yang lalu.
Selain itu UUP-1992 telah menyatakan tidak berlaku lagi
a.       Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357 tanggal 14 September 1929 tentang Aturan-aturan mengenai Badan-badan Kredit Desa dalam propinsi-propinsi di Jawa dan Madura di luar wilayah kotapraja-kotapraja;
b.      Undang-undang Nomor 12 Tahun 1962 tentang Bank Pembangunan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2489);

Adapun dasar hukum dikeluarkan UUP-1992 ialah :
(1)   Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Un­dang Dasar 1945;
(2)   Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2387);
(3)   Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2832);
(4)   Undang-undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 63, Tambahan Lembar­an Negara Nomor 2865);
(5)   Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2890) menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2904).
B.     Isi Pokok UUP 1992
UUP-1992 yang terdiri dari 10 Bab dan 61 pasal ini, memuat pokok-pokok isi yang berikut :
  1. Ketentuan Umum
  2. Asas, Fungsi, dan Tujuan
  3. Jenis dan Usaha Bank
  4. Perizinan, Bentuk Hukum dan Kepemilikan
  5. Pembinaan dan Pengawasan
  6. Dewan Komisaris, Direksi dan Tenaga Acsing
  7. Rahasia Bank
  8. Ketentuan Pidana dan Sanksi Administratif
  9.  Ketentuan Peralihan
  10. Ketentuan Penutup.

C.    Pengertian Umum Tentang Perbankan Dewasa Ini
Dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, kesinambungan dan peningkatan pelaksanaan pembangunan nasional yang berasaskan kekeluargaan, perlu senantiasa dipelihara dengan baik. Guna mencapai tujuan tersebut, maka pelaksanaan pembangunan ekonomi harus lebih memperhatikan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan unsur-unsur pemerataan pemba­ngunan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional.
Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis dalain menyerasikan dan menyeimbangkan masing-masing unsur dari Trilogi Pembangunan adalah perbankan.

BAB IV
BANK SENTRAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
A.     Bank Sentral
Dasar Pertimbangan
a.       Sebagai langkah ke arah perbaikan ekonomi rakyat perlu diada­kan penilaian kembali daripada semua landasan kebijaksanaan ekonomi, keuangan dan pembangunan dengan maksud untuk memperoleh keseimbangan yang tepat antara upaya yang di­usahakan dan tujuan yang hendak dicapai yaitu terciptanya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
b.      Dalam rangka pengamanan keuangan Negara pada umumnya dan pengawasan serta penyehatan tata-perbankan pada khusus­nya, dianggap perlu segera dihidupkannya kembali suatu Bank Sentral yang dapat menjalankan tugasnya dengan sebaik-baik­nya, satu dan lain sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusya­waratan Rakyat Sementara No. XXIII/MPRS/ 1966.
c.       Berhubung dengan hal-hal tersebut di atas perlu segera menin­jau kembali peraturan perundangan yang berlaku terhadap Bank Negara Indonesia Unit I dan menetapkan suatu Undang­undang tentang Bank Sentral.

B.     Dasar Hukum
1.    Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1), pasal 23 dan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
2.    Pasal 55 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Semen­tara No. XXIII/MPRS/1966;
3.    Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968;
4.    Undang-Undang No. 14Tahun 1967 tentang Pokok-pokok perbakan.
5.    Undang-undang No. 32 tahun 1964 tentang peraturan Lalu Lintas Devisa
Dengan Persetujuan Dewan PErwakilan Rakyat Gotong Royong.
C.     Pengertian Lembaga Keuangan
1.      Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB)
Lembaga keuangan bukan bank mulai banyak didirikan dalam tahun 1972. Tujuannya untuk mendorong pengembangan pasar uang dan pasar modal serta membantu permodalan perusahaan­perusahaan, terutama pengusaha golongan ekonomi lemah. Untuk tujuan tersebut LKBB diperkenankan menghimpun dana dari masyarakat dengan cara mengeluarkan surat-surat berharga untuk kemudian menyalurkannya kepada perusahaan-perusahaan dan melakukan kegiatan sebagai perantara dalam penerbitan surat-surat berharga serta menjamin terjualnya surat-surat berharga tersebut.

2.      Dasar Hukum, Pengertian dan Jenis Lembaga Keuangan Bukan Bank
a.      Dasar Hukum
Adapun dasar hukum bagi pendirian dan usaha Lembaga Keuangan Bukan Bank adalah :
a)    Undang-undang No. 15 Tahun 1952 tentang Bursa (Lembaran Negara No. 67 Tahun 1952).
b)   Surat Keputusan Menteri Keuangan No. Kep. - 38/MK/IV/1972 tanggal 18 Januari 1972 tentang Perubahan dan Tambahan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. Kep. -792/MK/IV/12/1970 tanggal 7 Desem4er 1970.
b.      Pengertian
Lembaga Keuangan Bukan Bank ialah semua badan yang mela­kukan kegiatan di bidang keuangan, yang secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana terutama dengan jalan menge­luarkan kertas berharga dan menyalurkannya ke dalam masyara­kat, terutama guna membiayai investasi perusahaan-perusahaan.


BAB V
PENGERTIAN BURSA
A.    Dasar Pertimbangan dan Dasar Hukum

Undang-Undang Bursa Nomor 15 Tahun 1952 tentang penetapan “Undang-Undang Darurat tentang Bursa” (Lembaran Negara Tahun 1951 nomor 79) sebagai Undang-Undang. (Lembaran Negara Tahun 1952 Nomor 67).
1.      Dasar Pertimbangan
Pemerintah dengan mempergunakan haknya termaktub dalam Pasal 96 ayat 1 Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indo­nesia telah menetapkan “Undang-Undang Darurat tentang Bursa”. (Undang-Undang Darurat Nomor 13 Tahun 1951);
2.      Dasar Hukum

Pasal 97 ayat 4 jo. pasal 89 Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia dan pasal 59 Kitab Hukum Dagang;
Dengan persetujuan : Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
3.Diktum
Menetapkan :
”Undang-Undang penetapan” Undang-Undang Darurat tentang Bursa” sebagai Undang-Un­dang.
I.                   Peraturan-peraturan yang termaktub dalam “Undang-Undang Darurat No. 13 Tahun 1951 tentang "Bursa" yang termuat dalam lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 79 ditetapkan sebagai Undang-Undang.
BAB VI
PENGERTIAN POKOK PASAR MODAL
A.    Dasar Pertimbangan dan Dasar Hukum
Dasar Pertimbangan
a.       Pasar modal merupakan alternatif penting bagi pengerah­an dana yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan pem­bangunan ekonomi nasional dan perluasan pengikutserta­an masyarakat dalam pemilikan efek perusahaan menuju pemerataan pendapatan masyarakat
b.      Dalam rangka menunjang perkembangan pasar modal, penyelenggaraan Bursa Efek dapat dipercayakan kepada sektor swasta;
c.       Dalam rangka menciptakan pasar yang tertib, terbuka, dan efisien serta dalam rangka melindungi kepentingan umum dan pemodal, perlu ditetapkan ketentuan yang mengatur hal tersebut;
d.        Berhubung dengan hal tersebut, dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan mengenai pasar modal dengan Keputusan Presiden.
Dasar Hukum
1.      Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
2.      Undang-undang Nomor 15 Tahun 1952 tentang Pendap­an “Undang-undang Darurat tentang Bursa” sebagai Undang-undang (Lembaran Negara Tahun..1952 Nomor 67);
Diktum
Menetapkan :
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG    PASAR MODAL.
B.     Ketentuan Umum
Dalam Keputusan presider ini yang dimaksud dengan
  1. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
  2. Bursa Efek adalah suatu tempat pertemuan yang diorgani­sasikan dan digunakan untuk menyelenggarakan pertemu­an penawaran jual bell atau perdagangan Efek.
  3. Efek adalah setiap surat pengakuan hutang, surat ber­harga komersial, saliarn, obhgasi, sekuritas kredit, tanda bukti hutang, setiap rights, warranty, opal, atau setiap derivatif dari efek, atau setiap instrumen yang ditetapkan oleh Menteri sebagai Efek.
  4. Lembaga Miring Penyelesaian dan Penyimpanan adalah suatu lembaga yang sertanggung jawab atas Miring, dan penyelesaian transaksi yang te--g'adi di Bursa Efek, serta penyimpanan Efek dalam penitipan uniuk pihak lain.
  5. Reksa Dana (Investment Fund) adalah Emiten yang ke­giatan utamanya melakukan investasi, reinvestasi atau perdagangan Efek.

BAB VII
PENGERTIAN KHUSUS PASAR MODAL
A.    Dasar Pertimbangan dan Dasar Hukum

A.     Dasar Pertimbangan
Menimbang :
a.       bahwa dalam rangka pembangunan ekonomi nasional perlu pengerahan dana dan perluasan pengikutsertaan masyarakat dalam pemilikan Efek perusahaan menuju pemerataan pendapatan masyarakat:
b.      bahwa dalam rangka menunjang perkembangan pasar modal, penyelenggaraan Bursa Efek dapat dipercayakan kepada sektor swasta:
c.       bahwa berhubung dengan hal tersebut pada huruf a dan huruf b serta untuk menciptakan pasar yang tertib, ter­buka, dan efisien dalam rangka melindungi kepentingan umum dan pemodal, perlu ditetapkan ketentuan menge­nai pasar modal dengan keputusan Menteri Keuangan;
B.     Dasar Hukum
Mengingat :
1.Undang-undang Nomor 15 Tahun 1952 tentang Penetap­an Undang-undang Darurat tentang Bursa (Lembaran Negara No. 79 Tahun 1951) sebagai Undang-undang (Lembaran Negara No. 67 Tahun 1952);
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan;
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 1990 tentang Pasar Modal;
C.     Diktum
Menetapkan          :
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PASAR MODAL

BAB VIII
PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI
A.    Pengertian Umum Tentang Modal Dalam Negeri
Dalam Demokrasi Pancasila modal harus diberi tempat yang sewajarnya, sesuai dengan arti dan pentingnya faktor tersebut dalam pembangunan masyarakat yang adil dan makmur. Pembangun­an tidak akan mungkin tanpa adanya pemupukan modal dalam negeri sendiri secara besar-besaran, sedangkan penggunaan modal tersebut harus diatur dan disalurkan hingga timbul kegiatan­kegiatan ekonomi yang produktif dan efisien. Setiap negeri yang belum maju mengalami kemerosotan atau kemandekan perkem­bangan ekonomi karena kelemahan masyarakat itu untuk memu­puk modalnya sendiri. Hal itu juga disebabkan karena lemahnya kemampuan para pengusaha, baik dari pihak swasta maupun dari pihak Pemerintah. Karena itu perlu diadakan ketentuan-ketentu­an dan pengaturan-pengaturan yang dapat memperbesar kemam­puan masyarakat Indonesia untuk berusaha secara produktif.
Kelemahan-kelemahan tersebut masih lagi ditambah dengan kesulitan dengan adanya dominasi perekonomian Indonesia pada umumnya dan dominasi modal khususnya oleh orang-orang asing yang memiliki dan berusaha dengan modal dalam negeri. Keadaan ini telah berlangsung berabad-abad lamanya dan sekarang tiba waktunya untuk mengakhiri keadaan tersebut. Sebaliknya justru adanya dominasi tersebut sangat membatasi kemampuan-kemam­puan Pemerintah pada dewasa ini untuk bertindak secara radikal dalam waktu yang sangat singkat. Sesuai dengan semangat Panca­sila maka yang selalu dipentingkan di atas segala-galanya adalah perbaikan nasib rakyat.
Karena itu pengakhiran dominasi orang asing atas perekonomian Indonesia, harus dilaksanakan dengan cara memanfaatkan orang asing dan modalnya, tanpa meninggal­kan realitas-realitas yang berlaku.
Mengingat hal-hal tersebut di atas maka perlu diadakan pemi­sahan yang tegas antara perlakuan terhadap modal dan perlakuan terhadap perusahaan. Seluruh modal yang berada di Indonesia yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan pasal 2 Undang-undang No. I Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing adalah modal dalam negeri. Walaupun modal dalam negeri dapat dimiliki oleh berbagai pihak termasuk orang asing, namun terhadap seluruh modal dalam negeri tidak diadakan pembedaan perlakuan. Pem­bedaan perlakuan diadakan secara tegas terhadap orang-orang asing dan perusahaannya yang menguasai dan memiliki modal dalam negeri. Pada prinsipnya orang asing tidak dibolehkan berusaha dengan modal dalam negeri, akan tetapi mengingat keadaan-keada­an perekonomian dan masyarakat Indonesia, maka orang-orang asing dengan modalnya perlu dimanfaatkan dengan membeiikan kepada mereka ketentuan-ketentuan dan kepastian atas dasar mana mereka dapat bekerja secara produktif dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Lebih penting lagi ialah adanya ketentuan-ketentuan dan kepastian tentang modal dan perusahaan supaya dinamik masya­rakat dan daya kreatif rakyat dapat menimbulkan akumulasi modal yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan produktif Hanya dengan keadaan demikian inilah pembangunan ekonomi dapat di laksanakan. Dalam hal ini Pemerintah memegang peranan yang sangat vital sebagai pimpinan dan pelopor dari pembanguna. Dengan penanaman-penanaman modal secara berencana dalam jumlah-jumlah yang cukup besar maka Pemerintah dapat merintis dan merangsang penanaman-penanaman modal dari pihak masyarakat pada umumnya.
Pembangunan yang sungguh-sungguh dapat dirasakan oleh rakyat hanya dapat dicapai dengan mobilisasi modal dari seluruh masyarakat. Karena itu Undang-undang tentang Penanaman Modal Dalam Negeri ini mengandung ketentuan-ketentuan yang dapat merangsang dan menjamin pemupukan modal baik yang kecil mau­pun yang besar. Antara lain pemupukan modal dalam cara tabung­an-tabungan, deposito-deposito berjangka, pembelian-pembelian kertas-kertas berharga, mendapat perangsang-perangsang supaya makin lama makin menjadi sumber-sumber modal yang berarti.
Undang-undang ini sesungguhnya tidak hanya mengatur modal dalam negeri, akan tetapi juga mengatur dalam garis besar pengusaha-pengusaha dan perusahaan-perusahaannya. Selain de­ngan itu, maka dalam Undang-undang ini juga terdapat ketentuan­ketentuan yang pada hakikatnya merupakan pembaruan dan peningkatan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959. Karena itu Undang-undang ini seyogianya dijadikan Undang-undang pokok yang dapat dipakai sebagai landasan untuk semua ketentuan-keten­tuan yang mengatur hal-hal dalam berbagai bidang usaha.
B.     Pengertian Penanaman Modal dalam Negeri
Adapun yang dimaksud dengan “modal dalam negeri” menurut pasal 1 UU. No. 6 Tahun 1968, ialah bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia, termasuk hak-hak dan benda-benda, baik yang dimiliki. oleh Negara maupun swasta nasional atau swasta asing yang berdomisili di Indonesia, yang disisihkan/disediakan guna menjalankan sesuatu usaha sepanjang modal tersebut tidak diatur oleh ketentuan Pasal 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
Pihak swasta yang memiliki modal dalam negeri tersebut da­pat terdiri atas perorangan dan/atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia.
Modal dalam negeri diartikan sebagai sumber produktif dari masyarakat Indonesia yang dapat dipergunakan bagi pembangunan ekonomi pada umumnya. Modal dalam negeri adalah modal yang merupakan bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia, termasuk hak-hak dan benda-benda (bergerak dan tidak bergerak), yang dapat disediakan untuk menjalankan suatu Usaha/perusahaan (Contoh dari kekayaan termaksud adalah : tanah, bangunan, kayu di hutan, dan lain-lain). Kekayaan tersebut dapat dimiliki. oleh Negara (Pemerintah) dan swasta. Kekayaan yang dimiliki oleh pihak swasta selanjutnya dapat dibagi lagi menjadi :
a.       yang dimiliki oleh swasta nasional (warganegara Indonesia), baik perorangan maupun badan hukum, termasuk koperasi;
b.      yang dimiliki oleh swasta asing (warganegara asing), baik per­orangan maupun badan hukum.
Di samping itu alai-alai pembayaran luar negeri yang dimiliki oleh Negara dan swasta nasional yang disahkan/disediakan untuk menjalankan usahanya di Indonesia termasuk pula sebagai modal dalam negeri.
Adapun yang dimaksud dalam Undang-undang No. 6 Tahun 1968 dengan “penanaman modal dalam negeri” ialah penggunaan bagian dari kekayaan seperti tersebut dalam pasal 1, baik secara langsung atau tidak langsung, untuk menjalankan usaha menurut atau berdasarkan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.

C.    Batas Waktu Berusaha
Dalam pasal 6 UU No. 6 Tahun 1968, disebutkan bahwa waktu berusaha bagi perusahaan asing, baik perusahaan barn mau­pun lama, dibatasi sebagai berikut :
a.       dalam bidang perdagangan berakhir pada tanggal 31 Desem­ber tahun 1977;
b.      dalam bidang industri berakhir pada tanggal 31 Desember tahun 1997;
c.       dalam bidang-bidang usaha lainnya akan ditentukan lebih lan­jut oleh Pemerintah dengan batas waktu antara 10 dan 30 tahun.
Dalam perekonomian Indonesia ada kenyataan bahwa modal dalam negeri untuk bagian yang sangat penting dikuasai oleh orang asing. Keadaan ini yang telah berlangsung berabad-abad, tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Sebaliknya tidak pula boleh diabai­kan kenyataan bahwa keadaan tersebut tidak bisa diakhiri dalam waktu yang singkat. Untuk menghilangkan dominasi asing atas modal dan perekonomian Indonesia, mulai sekarang sudah harus diadakan persiapan-persiapan.
Persiapan-persiapan tersebut adalah kewajiban masyarakat Indonesia, baik swasta nasional maupun Pemerintah, yang harus jelas memberikan fasilitas-fasilita untuk menjamin kelancaran peralihan kekuasaan dalam perekonomian dari orang asing kepada pihak nasional.
Karena itu pada prinsipnya orang asing tidak diperbolehkan berusaha dengan modal dalam negeri, akan tetapi mengingat per­kembangan tersebut di atas, orang asing masih diperbolehkan ber­usaha dengan batas waktu, yaitu antara 10 tahun untuk perdagang­an dan 30 tahun untuk industri. Tidak ditentukannya batas waktu yang lebih pendek, adalah karena mengingat kepentingan jalannya perekonomian, sedangkan kemampuan-kemampuan sesungguhnya dari pihak nasional masih sangat terbatas dalam segala bidang. Dalam bidang-bidang lain, termasuk jasajasa yang sangat diperlu­kan bagi rakyat banyak. Pemerintah dapat menentukan batas waktu antara 10 Tahun dan 30 tahun. Ini tidak berarti bahwa sebelum berakhirnya batas waktu itu tidak dapat diadakan peralihan kekuasaan atas modal. Batas-batas waktu tersebut berlaku untuk semua perusahaan asing, baik yang baru maupun yang lama.

BAB IX
PENANAMAN MODAL ASING
A.    Pengertian Umum Tentang Modal Asing
Keadaan ekonomi kita sejak beberapa tahun ditandai oleh kemerosotan daya beli rakyat secara terus-menerus dan perbedaan tingkat hidup yang makin menonjol. Keidaan yang menyedihkan ini tidak dapat dibiarkan berlangsung terus dan harus segera dihentikan.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara telah menetapkan bahwa kepada masalah perbaikan ekonomi rakyat harus d­berikan prioritas utama di antara soal-soal Nasional dan cara menghadapi masalah-masalah ekonomi harus didasarkan kepada prinsip-prinsip ekonomi yang rasional dan realistis. Dengan berpegang teguh kepada Ketentuan MPRS ini maka segera harus ­diambil langkah-langkah untuk memperbaiki nasib ekonomi rakyat.
Masalah ekonomi masalah meningkatkan kemakmuran rakyat dengan menambah produksi barang dan jasa, sedang selanjutnya adalah masalah mengusahakan pembagian yang adil dari barang dan jasa hasil produksi. Peningkatan produksi dapat tercapai melalui penanaman modal, penggunaan teknologi, penambahan kemampuan pengetahuan, peningkatan keterampilan, penambahan kemampuan ­berorganisasi dan manajemen. Dalam rangka ini penanaman modal memegang poranan yang sangat penting.
B.     Badan Usaha Modal Asing
Dalam pasal 5 UPMA disebutkan, bahwa :
1.      Pemerintah menetapkan perincian bidang-bidang usaha yang terbuka bagi modal asing menurut urutan prioritas, dan menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh penanam­an modal asing dalam tiap-tiap usaha tersebut.
2.      Perincian menurut urutan prioritas ditetapkan tiap kali pada waktu Pemerintah menyusun rencana-rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang, dengan memperhatikan perkembangan ekonomi Serta teknologi.
Bidang-bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing secara penguasaan penuh ialah bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak menurut pasal 6 UPMA adalah sebagai berikut :
a)      pelabuhan-pelabuhan
b)      produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum
c)      telekomunikasi
d)     pelayaran
e)      penerbangan
f)       air minum
g)      kereta api umum
h)      pembangkit tenaga atom
i)        mass media.
Bidang-bidang yang menduduki peranan penting dalam pertahanan Negara antara lain produksi senjata, mesiu, alat-alat peledak dan peralatan perang dilarang sama sekali bagi modal asing.
Selain yang tersebut pada pasal 6 ayat (l) Pemerintah dapat menetapkan bidang-bidang usaha tertentu di mana tidak boleh lagi ditanam modal asing (pasal 7).
Penanaman modal asing di bidang pertambangan didasarkan pada suatu kerjasama dengan Pemerintah atas dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
BAB X
BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL (BKPM)
A.    Kedudukan, Fungsi dan Tugas BKPM
Pada tanggal 26 Mei 1973 telah dikeluarkan Keputusan Presiden No. 20 tahun 1973 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal Asing (BKPM) sebagai peraturan pelaksanaan Undang, undang No. 1 Tahun 1967 yo. Undang-undang No. 11 Tahun 1970, dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 yo. Undang-undang No. 12 Tahun 1970, dan sekaligus mencabut keputusan Presiden No. 286 Tahun 1968.
Sebagai dasar pertimbangan untuk mengeluarkan Keputusan Presiden No. 20 Tahun 1973 ini, disebutkan hal-hal yang berikut :
1.      bahwa untuk lebih meningkatkan Koordinasi dalam penyelenggaraan dan proses penyelesaian penanaman modal, dipandang perlu untuk membentuk suatu Badan Koordinasi. Pena­naman Modal sebagai suatu pusat pelayanan kegiatan penana­man modal;
2.      bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada sub a di atas, dipandang perlu untuk mengubah Struktur Organisasi Panitia Teknis Penanaman Modal yang dibentuk berdasarkan Kepu­tusan Presiden No. 286 tahun 1968.
Dalam pasal 1 Keputusan Presiden No. 20 Tahun 1973 dise­butkan, bahwa Badan Koordinasi Penanaman Modal selanjutnya disingkat BKPM adalah suatu Lembaga Pemerintah Non Departe­men yang berkedudukan langsung di bawah dan sertanggung jawab kepada Presiden.
BKPM mempunyai fungsi membantu Presiden dalam menenentukan kebijaksanaan di bidang Penanaman Modal serta penanaman pelaksanaan (pasal 2).
B.     Susunan dan Tata Kerja BKPM
1.      Susunan BKPM menurut Pasal 4 terdiri dari :
2.      Ketua,
3.      Wakil Ketua,
4.      Koordinator Bidang Hukum dan Tenaga
5.      Koordinator Bidang Fasilitas
6.      Koordinator Bidang Perizinan Daerah
7.      Koordinator Bidang Administrasi dan Pengawasan
8.      Koordinator Bidang Promosi Penanaman Modal
BAB XI
TATA CARA PENANAMAN MODAL
A.    Ketentuan pokok tata cara Permohonan Penanaman Modal Dalam Negeri
Untuk lebih mendorong dan meningkatkan kegiatan-kegiatan penanaman modal baik dalam negeri maupun asing serta sebagai tindak lanjut pembentukan Badan koordinasi Penanaman Modal sebagaimana ditetapkan dalam keputusan Presiden No. 20 Tahun 1973, Pemerintah RI merasa perlu mengatur ketentuan pokok tata cara permohonan, proses penyelesaian dan pengawasan modal.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka pada tanggal 26 Mei 1973, telah dikeluarkan Keputusan Presiden No. 21 Tahun 1973, yang merupakan tindak lanjut pelaksanaan UU No. I Tahun 1967 yo UU No. 12 Tahun 1970.
Keputusan Presiden No. 21 Tahun, 1973 juga mencabut :
1.      Keputusan Presidium Kabinet No. 104/EK/KEP/4/1967
a.       Keputusan Presiden No. 63 Tahun 1969.
Pasal 1 Keputusan Presiden No. 21 Tahun 1973 ini menetap­kan Ketentuan Pokok Tata Cara Permohonan Penanaman Modal Dalam Negeri, sebagai berikut :
1.      Calon penanam modal yang akan mengadakan usaha dalam rangka penanaman modal dalam negeri menyatakan minatnya dengan menghubungi BKPM Daerah untuk memperoleh kete­rangan mengenai kemungkinan penanaman modal di bidang usaha tersebut.
2.      Setelah talon penanam modal mendapatkan keterangan‑ keterangan tentang terbukanya bidang usaha, maka calon penanaman modal menghubungi Notaris untuk menyelesai­kan Akte Notaris guna pendirian Badan Hukum, kecuali bagi calon penanaman modal yang telah mempunyai bidang usaha berbentuk Badan Hukum.
3.      Setelah memperoleh Akte Notaris pembentukan Badan Hu­kum, calon penanaman modal mengajukan permohonan kepada BKPM Daerah untuk memperoleh
a.       Izin usaha Sementara;
b.      Izin penggunaan tanah Sementara;
c.       Izin bangunan Sementara;
d.      Izin Undang-undang Gangguan Sementara.
4.      Penyelenggaraan untuk memperoleh izin-izin tersebut ad. 3 Pasal ini, dikoordinir oleh BKPM Daerah.
5.      Tembusan Izin-izin Sementara tersebut ad. 3 Pasal ini yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah clan oleh Perwakil­an yang bersangkutan di Daerah, dikirimkan ke Departemen yang bersangkutan di Pusat.
6.      Dalam hal calon penanam modal akan melakukan usahanya tanpa memerlukan fasilitas/keringanan fiskal dalam negeri, maka calon tersebut mengajukan permohonan kepada BKPM Daerah untuk memperoleh izin usaha tetap.
7.      Permohonan calon penanam modal tersebut ad. 5 Pasal ini, diteruskan oleh BKPM Daerah kepada BKPM Pusat, dengan melampirkan salinan-salinan izin yang telah dikeluarkan ter­sebut ad. 5 pasal ini beserta Akte Notaris pembentukan Badan Hukum.
8.      BKPM Pusat meneliti apakah permohonan tersebut ad. 6 Pasal ini sesuai dengan ketentuan penanaman modal dalam negeri serta kebijaksanaan Pemerintah yang berlaku. Kepu­tusan BKPM terhadap permohonan tersebut segera diberi­tahukan kepada calon penanam modal yang bersangkutan.
9.      Apabila permohonan untuk memperoleh izin tetap tersebut dikabulkan, maka BKPM mengkoordinir penyelesaian izin-izin yang meliputi :
a.       Izin tetap dari Departemen yang bersangkutan;
b.      Pengesahan badan hukum/Perseroan Terbatas oleh Departemen Kehakiman. Izin-izin tersebut disampaikan oleh BKPM kepada calon penanam modal yang bersankutan, sedangkan tembusannya disampaikan kepada BKPM Daerah dan Instansi-instansi Pemerintah lainya, yang dipandang perlu.
10.  Penyelesaian izin penggunaan tanah sementara, izin, bangun an sementara dan izin Undang-undang Gangguan sementara menjadi izin-izin yang bersifat tetap dikoordinasi oleh BKPM Daerah dengan instansi Pemerintah Daerah yang bersangktan.
11.  Bagi para penanam modal dalam negeri yang telah mempunyai  bidang usaha tertentu dan ingin memanfaatkan fasilitas keringanan fiskal dalam rangka Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri, yang bersangkutan menyatakan minat nya juga dengan menghubungi BKPM Daerah.
12.  Calon penanam modal maupun penanam modal yang berminat untuk memperoleh fasilitas/keringanan-keringanan fiskal dalam rangka Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri maka yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada BKPM Daerah dengan mengisi formulir, sesuai dengan bentuk dan tata cara yang akan diatur lebih lanjut oleh Ketua BKPM Pusat dengan melampirkan :
a)      Akte Notaris pembentukan Badan Hukum/Akte penge sahan Badan Hukum,
b)      Izin usaha sementara/izin usaha tetap,
c)      Izin penggunaan tanah sementara/tetap,
d)     Izin bangunan sementara/tetap,
e)      Izin Undang-undang Gangguan sementara/tetap.
13.  BKPM Daerah setelah meneliti kelengkapan permohonan ter­sebut ad. 1 pasal itu, kemudian meneruskannya kepada BKPM Pusat dengan disertai pertimbangan pertimbangan seperlunya.
14.  BKPM Pusat meneliti apakah permohonan fasilitas/keringan­an fiskal tersebut wajar untuk dikabulkan, sesuai dengan ketentuan dan kebijaksanaan yang berlaku di bidang penanaman modal dalam negeri. Keputusan BKPM terhadap permo­honan tersebut segera diberitahukan kepada yang bersang­kutan.
15.   Apabila permohonan untuk memperoleh fasilitas/keringanan fiskal tersebut dikabulkan, maka BKPM mengkoordinir penyelesaian izin-izin yang meliputi :
a.       Izin usaha tetap dari Departemen yang bersangkutan.
b.      Pengesahan Perseroan Terbatas oleh Departemen Keha­kiman.
c.       Fasilitas/keringanan pajak dari Departemen Keuangan.
d.      Fasilitas/keringanan bea masuk dari Departemen Keuang­an.
Tembusan Keputusan-keputusan/izin-izin tersebut disampai­kan kepada BKPM Daerah clan instansi Pemerintah lainnya yang dipandang perlu.
16.  Keputusan-keputusan/izin-izin tersebut ad. 15 Pasal ini disampaikan oleh BKPM Pusat Kepada yang bersangkutan.
17.  Dalam hal calon penanam modal yang bersangkutan, masih memiliki izin penggunaan tanah sementara, izin bangunan sementara dan izin Undang-undang Gangguan Sementara, maka penyelesaian izin-izin tersebut menjadi izin instansi Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
18.  Besarnya biaya-biaya yang diperlukan untuk memperoleh keputusan-keputusan/izin-izin dalam rangka penanaman mo­dal dalam negeri yang diatur dalam Keputusan Presiden ini, dibebankan kepada penanam modal yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XII
PASAR MODAL
A.    Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1976 Tentang Pasar Modal

1.      Sistematik dan Isi Pokok Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1976
Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1976 tentang Pasar Modal yang ditetapkan Presiden Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1976 mempunyai sistematik sebagai berikut :
a.       Konsiderans (alasan-alasan dikeluarkannya Keputusan Presi­den ini) yang terdiri tiga alinea.
Sebagai alasan dan dasar pertimbangan Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut :
1.      Dalam rangka mempercepat proses perluasan pengikutserta­an masyarakat dalam pemilikan saham perusahaan-perusaha­an swasta menuju pemerataan pendapatan masyarakat, serta untuk lebih menggairahkan partisipasi masyarakat dalam pengarahan dan penghimpunan dana untuk digunakan secara produktif dalam pembiayaan pembangunan nasional, perlu mengembangkan pasar modal.
2.      Untuk efisiensi dan efektivitasnya usaha Pemerintah di bidang pasar modal, baik kegiatan maupun tujuannya, perlu mem­bentuk suatu badan yang mengendalikan dan melaksanakan pasar modal;
3.      Untuk herhasilnya pasar modal di Indonesia secara optimal, perlu mendorong perusahaan-perusahaan swasta yang sehat dan baik untuk menjual saham-sahamnya melaui pasar modal dengan memberikan keringanan-keringanan di bidang perpajakan.

BAB XIII
PENGERTIAN POKOK HUKUM ANGGARAN BELANJA RUTIN
A.    Daftar Isian Kegiatan (DIK)
1.      Pembagian Anggaran Belanja Rutin.
2.      Pengisian daftar Isian Kegiatan DIK.
3.      Penyampaian DIK.
4.      Pertanggungjawaban Kepala Kantor/Satuan Kerja.
5.      Batas Pembayaran Triwulan.
6.      Pengajuan SPPR kepada KPN.
7.      SPJR yang tak dapat disahkan KPN.
8.      Perubahan/Pengesahan Biaya dalam DIK.
BAB XIV
PENGERTIAN POKOK HUKUM ANGGARAN BELANJA PEMBANGUNAN
A.    Daftar Isian Proyek (DIP)
1.      Pembagian Anggaran Belanja Pembangunan.
2.      Penetapan Pemimpin dan Bendaharawan Proyek.
3.      Pengisian Daftar Isian Proyek (DIP).
4.      Pengawasan Petunjuk Operasional (PO).
5.      Pertanggungjawaban Pemimpin Proyek.
6.      Pembiayaan Pelaksanaan Anggaran Pembangunan.
7.      Pengajuan SPPP kepada KPN.
8.      Pembayaran oleh KPN.
9.      Biaya tak terduga.
10.  Sisa Anggaran Pembangunan (SIAP).
11.  Kewajiban Penyelenggaraan Pembukuan oleh Pemimpin Proyek.
12.  Penyampaian laporan Triwulan oleh Pemimpin Proyek.










No comments:

Post a Comment