1

loading...

Friday, March 16, 2012

Tafsir Al-Fatihah

BAB II TAFSIR AL-FATIHAH 

A. Terjemahan kosa kata kunci 
1. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang 
2. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam 
3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang 
4. Yang menguasai di hari Pembalasan 
5. Hanya Engkaulah yang kami sembah dan Hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan 
6. Tunjukilah kami jalan yang lurus, 
7. (yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

 B. Sarah Tafsir Mufradat 
Yang maha penyang yang maha pengasih Allah Dengan nama     Seluruh alam Tuhan Bagi allah Segala puji    Maha penyayang Maha pengasih    Pembalasan Hari pemilik       Kami Dan hanya Kami Hanya kepada Memohon pertolongan Kepada engkaulah Menyembah engkaulah     Yang lurus Jalan Tunjukilah kami          Mereka yang sesat Dan bukan pula jalan Kepada mereka Mereka yang dimurkai Bukan jalan Kepada mereka Telah engkau anugrahkan nikmat Orang-orang yang Yaitu jala 

C. Pokok kandungan ayat 
1. Maksudnya: saya memulai membaca al-Fatihah Ini dengan menyebut nama Allah. setiap pekerjaan yang baik, hendaknya dimulai dengan menyebut asma Allah, seperti makan, minum, menyembelih hewan dan sebagainya. Allah ialah nama zat yang Maha suci, yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya, yang tidak membutuhkan makhluk-Nya, tapi makhluk yang membutuhkan-Nya. Ar Rahmaan (Maha Pemurah): salah satu nama Allah yang memberi pengertian bahwa Allah melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-Nya, sedang Ar Rahiim (Maha Penyayang) memberi pengertian bahwa Allah senantiasa bersifat rahmah yang menyebabkan dia selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada makhluk-Nya. 
2. Alhamdu (segala puji). memuji orang adalah Karena perbuatannya yang baik yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri. Maka memuji Allah berrati: menyanjung-Nya Karena perbuatannya yang baik. lain halnya dengan syukur yang berarti: mengakui keutamaan seseorang terhadap nikmat yang diberikannya. kita menghadapkan segala puji bagi Allah ialah Karena Allah sumber dari segala kebaikan yang patut dipuji. 
3. Rabb (Tuhan) berarti: Tuhan yang ditaati yang Memiliki, mendidik dan Memelihara. Lafal Rabb tidak dapat dipakai selain untuk Tuhan, kecuali kalau ada sambungannya, seperti rabbul bait (tuan rumah). 'Alamiin (semesta alam): semua yang diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai jenis dan macam, seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Allah Pencipta semua alam-alam itu. 
4. Maalik (yang menguasai) dengan memanjangkan mim,ia berarti: pemilik. dapat pula dibaca dengan Malik (dengan memendekkan mim), artinya: Raja. 
5. Yaumiddin (hari Pembalasan): hari yang diwaktu itu masing-masing manusia menerima pembalasan amalannya yang baik maupun yang buruk. Yaumiddin disebut juga yaumulqiyaamah, yaumulhisaab, yaumuljazaa' dan sebagainya. 
6. Na'budu diambil dari kata 'ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, Karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya. 
7. Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri. 
8. Ihdina (tunjukilah kami), dari kata hidayaat: memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. yang dimaksud dengan ayat Ini bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik. 
9. yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat ialah semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam. 

D. Syarah ayat dengan ayat dan hadis yang terkait serta pendapat mufasir 

1. Tafsir taawwudz 

Allah SWT berifman yang artinya, "Jika kamu membaca Alquran, maka hendaklah kamu minta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Rabbnya. Sesungguhnya kekuasaannya (setan) itu hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya menjadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah." (An-Nahl: 98 -- 100). 
Yang masyhur menurut jumhurul ulama bahwa isti'adzah dilakukan sebelum membaca Alquran guna mengusir godaan setan. Menurut mereka, ayat yang berbunyi, (yang artinya) "Jika kamu hendak membaca Alquran, maka hendaklah kamu minta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk," artinya jika kamu hendak membaca. Sebagaimana firman-Nya, (yang artinya) "Jika kamu hendak mendirikan salat, maka basuhlah wajah dari kedua tangnmu." (Al-Maidah: 6), artinya jika kalian bermaksud mendirikan salat. Penafsiran seperti itu didasarkan pada beberapa hadis dari Rasulullah saw. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri, katanya, jika Rasulullah saw hendak mendirikan salat malam, maka beliau membuka salatnya dan bertakbir seraya mengucapkan, "Subhaanaka Allaahumma wabihamdika wa tabaa raka....................." (Maha Suci Engkau, ya Allah, dan puji bagi-Mu. Maha Agung nama-Mu dan Maha Tinggi kemuliaan-Mu. Tidak ada ilah yang haq melainkan Engkau). Kemudian beliau mengucapkan, "Laa ilaha illallaah" (tidak ada ilah yang haq kecuali Allah) sebanyak tiga kali. Setelah itu beliau mengucapkan, "Aku berlindung kepada Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk, dari godaan, tipuan, dan hembusannya." Sehingga dapat disimpulkan : 

1. Jumhurul ulama berpendapat bahwa isti'adzah itu sunnah hukumnya dan bukan suatu kewajiban, sehingga berdoa bagi orang yang meninggalkannya. Diriwayatkan dari Imam Malik, bahwasannya ia tidak membaca ta'awudz dalam mengerjakan salat wajib. 
2. Dalam kitab al-Imla', Imam asy-Syafi'i mengatakan, "Dianjurkan membaca ta'awudz dengan jahr, tetapi jika dibaca dengan sirri juga tidak apa-apa." Sedangkan dalam kitab al-Umm, beliau mengatakan, diberikan pilihan, boleh membaca ta'awudz, boleh juga tidak. Dan jika orang yang memohon perlindungan itu membaca a'uudzubillaahiminasysyaithoonirrajiimi, maka cukuplah baginya. 
3. Menurut Abu Hanifah dan Muhammad, ta'awudz itu dibaca di dalam salat untuk membaca Alquran. Sedangkan Abu Yususf berpendapat, bahwa ta'awudz itu justru dibaca untuk salat. 

2. Tafsir Bismilahirahmannirahim 
Bismillaahirahmaaniahiim (Dengan Menyebut Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) Para ulama sepakat bahwa ia merupakan bagian ayat dari surah An-Naml, namun mereka berikhtilaf apakah basmallah itu merupakan ayat yang tersendiri pada awal setiap surah. Ataukah kesendiriannya itu hanya dalam surah Al-Fatihah dan tidak pada surah lainnya atau ia merupakn pemisah antar surah sebagaimana dikemukahkan oleh Ibn Abbas yang diriwayatkan oleh Abu Daud. 

Barang siapa berpandangan bahwa ia termasuk Fatihah berarti ia berpendapat bahwa membacanya harus Zahir dalam sholat, dan yang tidak sependapat dengannya maka membacanya tidak kuat (sir)sehinggah dapat disimpulkan shalat orang yang membaca basmalah baik denga cara sir maupun zahir adalah sah, hal ini berdasarkan riwayat dari Nabi SAW. Dan para imam. Dalam kitab Sunan Abu Dawud diiwayatkan dengan isnad sahih, dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw tidak mengetahui pemisah surat Alquran sehingga turun kepadanya, bismillaahirahmaaniahiim. Hadis di atas juga diriwayatkan al-Hakim Abu Abdillah an-Nisaburi dalam kitab al-Mustadrak. 

3. Keutamaan basmalah Membaca basmalah disunnahkan pada saat mengawali setiap pekerjaan. Disunnahkan juga pada saat hendak masuk ke kamar kecil (toilet). Hal itu sebagaimana disebutkan dalam hadis. Selain itu, basmalah juga disunnahkan untuk dibaca di awal wudhu, sebagaimana diriwayatkan oleh hadis marfu' dalam kitab Musnad Imam Ahmad dan kitab-kitab sunan, dari Abu Hurairah, Sa'id bin Zaid dan Abu Sa'id, Nabi saw bersabda yang artinya, "Tidak sempurna wudhu bagi orang yang tidak membaca nama Allah padanya." (Hadis ini Hasan). Juga disunnahkan dibaca pada saat hendak makan, berdasarkan hadis dalam Sahih Muslim, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda kepada Umar bin Abi Salamah: "Ucapkan 'bismillah', makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang dekat darimu." Meski demikian, di antara ulama ada yang mewjibkannya. Disunnahkan pula membaca ketika hendak berijma' (melakukan hubungan badan), berdasarkan hadis dalam kitab Sahih al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda yang artinya, "Seandainya seseorang di antara kalian apabila hendak mencampuri istrinya membaca, 'Dengan nama Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau anugerahkan kepada kami', jika Allah menakdirkan anak melalui hubungan keduanya, maka anak itu tidak akan diganggu setan selamanya." Ar-rahmanirrahim merupakan dua nama dalam bentuk mubalaghah (bermakna lebih) yang berasal dari satu kata ar-rahmah. Ar-rahman lebih menunjukkan makna yang lebih daripada kata ar-rahim. Dalam pernyataan Ibnu Jarir, dapat dipahami adanya kecenderungan mengenai hal ini. Sedangkan dalam tafsir sebagian ulama salaf terdapat ungkapan yang menunjukkan hal tersebut. Al-Qurthubi mengatakan, dalil yang menunjukkan bahwa nama ini musytaq adalah hadis riwayat at-Tirmizi, dari Abdurrahman bin Auf ra, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, "Allah Ta'ala berfirman: 'Aku adalah ar-Rahman, Aku telah menciptakan rahim (rahm-kerabat). Aku telah menjadikan untuknya nama dari nama-Ku. Barangsiapa menyambungnya, maka Aku akan menyambungnya. Dan barangsiapa memutuskannya maka Aku pun memutuskannya'." Ini merupakan nash bahwa nama tersebut adalah musytaq, karena itu tidak diterima pendapat yang menyalahi yang menentang. Abu Ali al-Farisi mengatakan, ar-rahman merupakan nama yang bersifat umum dalam segala macam bentuk rahmat, dikhususkan bagi Allah SWT semata. Sedangkan ar-rahim, dimaksudkan bagi orang-orang yang beriman. Berkenaan dengan hal ini, Allah SWT berfirman yang artinya, "Dan Dialah yang Maha Penyanyang kepada orang-orang yang beriman." (Al-Ahzab: 43). Ibnu al-Mubarak mengatakan ar-Rahman yaitu jika dimintai, Dia akan memberi. Sedangkan ar-Rahim yaitu jika permohonan tidak diajukan kepada-Nya, Dia akan murka. 

Sebagaimana dalam hadis riwayat at-Tirmizi dan Ibnu Majah dari Abu Shalih al-Farisi al-Khuzui, dari abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang tidak memohon kepada Allah, maka Dia akan murka kepadanya." Nama "ar-Rahman" hanya dikhususkan untuk Allah semata, tidak diberikan kepada selain diri-Nya, sebagaimana firman-Nya yang artinya, Dia mempunyai al-Asma'ul-husna (nama-nama yang terbaik)'." (Al-Israa': 110). Oleh karena itu, ketika dengan sombongnya Musailamah al-Kadzdzab menyebut dirinya dengan sebutan rahman al-yamamah, maka Allah pun memakaikan padanya pakaian kebohongan dan membongkarnya, sehingga ia tidak dipanggil melainkan dengan sebutan Musailamah al-Kadzdzab (Musailamah si pendusta). Sedangkan mengenai "ar-Rahim", Allah Ta'ala pernah menyebutkan kata itu untuk selain diri-Nya, yang dalam firman-Nya Allah menyebutkan yang artinya, "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu. Amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (At-Taubah: 128). Sebagaimana Dia juga pernah menyebut selain diri-Nya dengan salah satu dari nama-nama-Nya, sebagaimana firman-Nya yang ertinya, "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari seteter air mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan ia sami'an (mendengar) dan bashiran (melihat)." Al-Insan: 2). 

Dapat disimpulkan bahwa di antara nama-nama Allah itu ada yang disebutkan untuk selain diri-Nya, tetapu ada juga yang tidak disebutkan untuk selain dri-Nya, misalnya nama Allah, ar-Rahman, al-Khaliq, ar-Razzaq, dan lain-lainya. Oleh karena itu, Dia memulai dengan nama Allah, dan menyifati-Nya dengan ar-Rahman, karena ar-Rahman itu lebih khusus daripada ar-Rahim. 

4. الحمد لله رب العالمين Segala Puji Bagi Allah Tuhan Seluruh Alam Abu Ja'far bin Jarir mengatakan, alhamdulillah berarti syukur kepada Allah SWT semata dan bukan kepada sesembahan selain-Nya, bukan juga kepada makhluk yang telah diciptakan-Nya, atas segala nikmat yang telah Dia anugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang tidak terhingga jumlahnya, dan tidak ada seorang pun selain Dia yang mengetahui jumlahnya. Berupa kemudahan berbagai sarana untuk menaati-Nya dan anugerah kekuatan fisik agar dapat menunaikan kewajiban-kewajibannya. Selain itu, pemberian rezeki kepada mereka di dunia, serta pelimpahan berbagai nikmat dalam kehidupan yang sama sekali mereka tidak memiliki hak atas hal itu, juga sebagai peringatan dan seruan kepada mereka akan sebab-sebab yang dapat membawa kepada kelanggengan hidup di surga tempat segala kenikmatan abadi. Hanya bagi Allah segala puji, baik di awal maupun di akhir. Ibnu Jarir Rahimahullah mengatakan, alhamdulillah merupakan pujian yang disampaikan Allah untuk diri-Nya sendiri. 

Di dalamnya terkandung perintah kepada hamba-hamba-Nya supaya mereka memuji-Nya. Seolah-olah Dia mengatakan, "Ucapkanlah alhamdulillah." Adapun asy-syukur tiada lain kecuali dilakukan terhadap sifat-sifat yang berkenaan dengan lainnya, yang disampaikan melalui hati, lisan, dan anggota badan, sebagaiamana diungkapkan oleh seorang penyair yang artinya: "Nikmat paling berharga, yang telah kalian peroleh dariku ada tiga macam. Yaitu melalui kedua tanganku, lisanku, dan hatiku yang tidak tampak ini." Sesuai dengan sabda Nabi. SAW. Yang artinya : Diriwayatkan dari al-Aswad bin Sari, katanya, aku berkata kepada Nabi saw, "Ya Rasulullah, maukan engkau aku puji dengan berbagai pujian seperti yang aku sampaikan untuk Rabb-ku, Allah Tabaraka wa Ta'ala." Maka beliau bersabda, "Adapun, (sesungguhnya) Rabb-mu menyukai pujian (al-hamdu)." (HR Imam Ahmad dan Nasa'i). 

Diriwayatkan Abu Isa, at-Tirmizi, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah, dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, "Sebaik-baik zikir adalah kalimat Laa ilaaha illaa Allah, dan sebaik-baik doa adalah alhamdulillah." 5. الرَّحمَنِ الرَّحِيم Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Selepas Allah swt menyebut perihal pujian dan mensucikan-Nya atas kekuasaan-Nya yang meliputi langit dan bumi dan apa-apa yang berada di antara keduanya maka seterusnya Allah swt menyebut pula disebalik kekuasaan dan pemilikan-Nya ke atas langit dan bumi serta apa-apa yang di dalamnya itu Dia (Allah) sebenarnya adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang merahmati makhluk-makhluk-Nya demikianlah hubungan ayat ini dengan ayat yang pertama seperti yang difahami oleh para ulama pada ayat pertama. Telah diperjelaskan makna tafsir ayat ini pada awal-awal ayat yang pertama (yaitu pada bismillahirahmanirahim) dan menurut Imam Al-Qurtubi bahawa Allah swt menyebut dua sifat-Nya ini sebagai mengambarkan kemurahan dan kebaikan-Nya kepada hambanya yang berada di bawah kekuasaan-Nya. Seterusnya pada ayat yang berikutnya Allah swt menyebut kembali akan kekuasaan dan kehebatan serta keagungan-Nya bagi mengulangi kepada hamba-hamba-Nya supaya mengingati dan memahami akan hakikat kehidupan yang diciptakan-Nya. 

6. مَالِكِ يَومِ الدِّين Yang menguasai hari pembalasan Malik berasal dari kata al-milk (kepemilikan), sebagaimana fiman-Nya yang artinya, "Sesungguhnya Kami mewarisi bumi dan semua orang yang ada di atasnya. Dan hanya kepada Kami-lah mereka dikembalikan." (Maryam: 40). Sedangkan malik berasal dari kata al-mulk, sebagaimana dalam firman-Nya surat Al-Mukmin ayat 16: lamanil mulkul yauma lillahil wahidil qahhar ("Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? Kepunyaan Allah yang Maha Kuasa lagi Maha Mengalahkan."). Pengkhususan kerajaan pada hari pembalasan tersebut tidak menafikannya dari yang lain (kerajaan dunia), karena telah disampaikan sebelumnya bahwa Dia adalah Rabb semesta alam. Dan yang demikian itu jelas bersifat umum di dunia maupun di akhirat. Ditambahkannya kata yaumiddin (hari pembalasan), karena pada hari itu tidak ada seorang pun yang dapat mengaku sesuatu dan tidak juga dapat berbicara kecuali dengan seizin-Nya, sebagaimana firman Allah SWT: "Pada hari ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf, mereka tidak berkata-kata kecuali siapa yang diberi izin kepadanya oleh Rabb yang Maha Pemurah, dan ia mengucapkan kata yang benar." (An-Naba': 38). Hari pembalasan berarti hari perhitungan bagi semua makhluk, disebut juga sebagai hari kiamat. 

Mereka diberi balasan sesuai dengan amalnya. Jika amalnya baik maka balasannya pun baik. Jika amalnya buruk, maka balasannya pun buruk kecuali orang yang dimaafkan. Pada hakikatnya al-malik adalah nama Allah, sebagaimana firman-Nya, “ Huwallahulladzi lailaha illahuwal malikul quddus salam yang artinya, "Dialah Allah yang tiada ilah [yang berhak disembah] selain Dia, Raja, yang Maha Suci, lagi Maha Sejahtera." (Al-Hasyr: 23). Hanya kepada Engkaulah kami sembah (tidak kepada selain-Mu) dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan (tidak kepada selain-Mu) Ayat ini membawa maksud ubudiyyah dan pengabdian yang mutlak kepada Allah swt. Pada ayat yang sebelumnya, Allah swt mengambarkan keagungan dan ke-Esaan-Nya berulang-ulang sehingga sampai kepada penegasan kekuasaan-Nya sebagai “Raja” yang mutlak bagi hamba-Nya. Pada ayat ini ianya semacam satu panduan dan perintah kepada orang-orang mukmin setelah beriman dengan ayat-ayat yang sebelumnya dan menyakini kekuasaan Allah maka apakah harus mereka lakukan. Lalu Allah menurunkan ayat ini dalam surah Al-Fatihah sebagai mengajar hamba-Nya supaya menyebut “ Hanya kepada Engkaulah kami sembah (beribadah) dan kepada Engkaulah kami memohon pertolongan” dengan melaksanakannya pada perkataan dan amal. 

7. اياك نعبد واياك نستعين Dari sudut bahasa ianya membawa maksud “ Hanya kepada Engkaulah kami sembah (beribadah) dan kepada Engkaulah kami memohon pertolongan (tidak kepada selain-Mu” (lihat Al-Quran dan terjemahnya cetakan Indonesia m/s 5). Memahami ayat ini dengan melihat konsep Islam ianya satu ayat yang cukup agung dan tertinggi dalam konsep Ubudiyyah. Ayat ini mengandungi 2 konsep utama yang penting iaitu pertama Ubudiyah, melalui ayat “hanya kepada Engkaulah kami sembah (beribadah) dan tidak pada selain-Mu” menunjukkan pertunjuk Allah kepada mereka yang beriman supaya menyembah Allah setiap masa dan ketika bahkan kerana asal tujuan manusia itu diciptakan pun sememangnya tiada lain melainkan sebagai menyembah Allah : وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ “Dan tidaklah kami menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada kami” (Surah Adz-Zariyat : 56) Dan keduanya ialah pergantungan mutlak dan tawakal kepada Allah swt tanpa wujud selain-Nya. Buah dari pengabdian ialah pergantungan sebagaimana hamba tidak akan tahu untung nasib dirinya bahkan hanya mampu menyerah dan mengharap kepada tuannya. Untuk memperbaiki nasib dirinya apa yang mampu dilakukan oleh sang hamba ialah meminta dan memohon kepada tuannya. Penyembahan Allah dan beribadah pula mestilah dengan tidak mensyirikkan-Nya serta dalam ayat ini Allah memerintahkan hamba-Nya supaya sentiasa meminta pertolongan dari-Nya sebagai kesinambungan dari pengabdian yang mana sebagai hamba perlulah merasa kerdil dan sentiasa mengharap kepada Allah yang Maha Esa dan sentiasa mengharap rahmat dan memohon pertolongan dari-Nya. اياك نعبد – Iyakana’budu (Hanya kepada Engkaulah kami sembah) Menurut qiraat sab’ah bagi jumhur ialah membacanya dengan mentasydidkan “Ya” ( الياء) pada Iyakana’budu. Melalui riwayat dari Ad-Dha’hak menyebut bahawa Ibn. Abbas ra mentafsirkan sebagai “Hanya kepada Engkau kami sembah dan mentauhidkan-Mu serta hanya pada Engkau kami takut dan harap, wahai tuhan dan tiadalah pada selain Engkau” (Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir m/s 37 Jilid 1). Dalam ayat ini para ulama’ menyebut pengabdian dan pengharapan seorang hamba ialah hanyalah pada Allah swt baik melalui amal hati (batin) dan amal perbuatan (zahir) sesuai dengan apa yang riwayatkan oleh Hakim ibn Muawiyah dari ayahnya yang bertanya nabi apakah itu Islam ? Maka baginda menjawab : ان يسلم قلبك لله تعالى و ان توجه وجهك الى الله “ Iaitu menyerahkan hati kamu kepada Allah dan menghadapkan diri kamu kepada Allah.” (Hadith Sahih, Riwayat Ahmad no. 20271 Jilid 6). 

Maka dalam hal ini para ulama’ bersepakat bahawa tiada jalan dalam beribadah kepada Allah melainkan mestilah dan wajib menurut panduan yang dibawa oleh rasulullah salallahualaihiwasalam serta menuruti sunnahnya sebagaimana yang difirmankan oleh Allah swt : يَا أَيُّهَا ٱلَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُول “ Wahai orang-orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada rasul..” (An-Nisa :59). Demikian juga disebut oleh Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya Al-Quranul Azim ketika menafsirkan ayat 85, Surah Ali Imran dengan mengatakan “ Sesiapa yang melalui sesuatu jalan (beribadah) yang tidak sama dan lain dari apa yang disyariatkan Allah maka ianya tidaklah diterima”. Sebagaimana sabda nabi salallahualaihiwasalam yang menyebut : من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهوا رد “ Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu urusan baru dalam agama kami sedang ia bukan dari kami maka sesungguhnya ianya ditolak.” (Hadith sahih disepakati Bukhari dalam Fathul Bari no. 156 Jilid 8 & Muslim no.4467) . 8. اهدِنَا الصِّرطَ المُستَقِيم Tunjukkanlah kami akan jalan yang lurus (benar) Pada kali ini dalam ayat yang ke-enam, Allah swt mengajarkan kepada hamba-Nya akan doa dan kaedah untuk mendapat rahmat-Nya. Sesungguhnya pada ayat yang sebelumnya Allah swt mengajarkan hamba-Nya akan mengenai pengibadatan dan ubudiyyah yang tertinggi iaitu mengenai penyembahan dan pergantungan yang tulus dan dalam pada ayat ini membawa kepada lanjutan dari pengabdian dan pergantungan kepada Allah dengan mengajarkan hamba-Nya dengan doa. Setelah kita memahami bahawa hanya Allah yang berhak disembah dan bukan selain-Nya begitu juga memahami bahawa pergantungan dan pengharapan dalam kehidupan hanya kepada Allah swt maka pasti kita akan dapat boleh memahami ayat ini. Iaitu betapa perlunya kita memohon selalu dan sentiasa supaya kita mendapat pertunjuk berada di jalan yang benar iaitu jalan golongan yang menyembah Allah swt dan tidak pada selain-Nya dan jalan golongan yang hanya bergantung kepada Allah dan tidak pada selain-Nya di mana jalan ini hanya dapat diperolehi dengan hanya pertunjuk dari-Nya seperti firman Allah swt : رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ ٱلْوَهَّابُ “ (Mereka orang-orang yang beriman berdoa) “Ya, tuhan kami , janganlah Engkau menjadikan hati kami cenderung kepada kesesatan sesudah Engkau beri pertunjuk kepada kami dan kurniakanlah kepada kami akan rahmat dari sisi-Mu” (Surah Ali Imran : 8).

 Bila di pandang dari sudut bahasa dalam ayat ini ialah "Tunjukkanlah kami akan jalan yang lurus (benar)" (lihat Al-Quran dan terjemahnya cetakan Indonesia m/s 5). Sesungguhnya ayat ini mengandungi panduan dan pedoman dari Allah swt kepada hamba-Nya kerana sesungguhnya hidayah dan pertunjuk kepada jalan yang lurus ini merupakan sepenting-penting perkara. Pergantungan dan permohonan kepada Allah swt ini merupakan lanjutan dari ayat yang sebelumnya yang menjelaskan kepada kita bahawa sesungguhnya pemilik hidayah dan pertunjuk ini hanyalah Allah swt. Sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an : وَمَا تَوْفِيقِيۤ إِلاَّ بِٱللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ “ Dan tiadalah pertunjuk melainkan dengan pertunjuk Allah dan kepada-Nya aku bertawakkal dan kepada-Nya aku kembali” (Surah Hud :88). Hidayah dan pertunjuk ke jalan yang lurus ini bermakna pertunjuk Allah dan panduan-Nya ke jalan yang selamat dari kesesatan dan penyelewengan. Hanya Allah yang dapat memberi hidayah dan pertunjuk kepada manusia dan kerana itu Dia (Allah) mengajar hamba-Nya supaya bermohon kepada-Nya sentiasa bagi memastikan terselamat dari kesesatan dan penyelewengan. Sedangkan nabi salallahualaihiwasalam sendiri tidak mampu memberi hidayah kepada manusia tanpa izin Allah swt sebagaimana firman-Nya : إِنَّكَ لاَ تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ “Dan sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) tidak dapat memberi hidayah kepada sesiapa yang engkau suka” (Surah Al-Qasas : 52). Dalam shahih Muslim, diriwayatkan dari al-'Ala' bn Abdur Rahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah ra, Nabi saw bersabda, "Aku telah membagi salat dua bagian antara diri-Ku dan hamba-Ku. Bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Jika ia mengucapkan, 'Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam', maka Allah berfirman, 'Hambaku telah memuji-Ku'. Dan jika ia mengucapkan, 'Yang menguasai hari pembalasan', maka Allah berfirman, 'Hamba-Ku telah memulikan-Ku'. Jika ia mengucapkan, 'Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan', maka Allah berfirman, 'Inilah bagian antara hamba-Ku dan diri-Ku. Untuk hamba-Ku apa yang ia minta'. Dan jika ia mengucapkan,'"Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau enugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai (Yahudi), dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (Nashrani)', maka Allah berfirman, "Ini untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku pula apa yang ia minta'." 9. صِرَطَ الَّذِينَ اَنعَمتَ عَلَيهِم غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِم وَلاَ الضَّآلِّينَ Ayat terakhir dari Surah Al-Fatihah ini membawa maksud “Iaitu jalan orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat dan bukanlah jalan orang yang Engkau murkai (Yahudi) atau jalan mereka yang sesat (Nasrani)” Para ulama’ menyebutkan bahawa ayat ini ialah syarah dan penjawab kepada ayat yang sebelumnya iaitu pada ayat 6 surah Al-Fatihah. Dalam ayat ini Allah swt telah mensyarahkan dan menjelaskan kepada hamba-Nya apakah yang dimaksudkan sebagai jalan yang lurus dan menjawab kemusykilan hamba-Nya mengenai jalan yang lurus dengan mengatakan yang dimaksudkan sebagai jalan yang lurus itu ialah jalan yang mempunyai padanya akan 2 ciri-ciri iaitu ciri pertama ialah jalan yang diberikan nikmat padanya dan mereka-mereka yang telah melaluinya serta ciri yang kedua ialah jalan tersebut bebas dan jauh dari jalan golongan yang dimurkai serta golongan yang sesat. Kemudian baginda salallahualaihiwasalam pun membacakan Surah Al-An’am ayat 153 : وَأَنَّ هَـٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَٱتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah ia dan janganlah kamu mengikuti jalan yang seleweng kelak kamu akan berpecah belah dari jalan-Nya dan demikianlah kami berpesan kepada kamu agar kamu dapat menjadi orang yang bertaqwa” 

E. Hukum petunjukan dan pelajaran ayat 

Mengenai hukumnya terdapat tiga pendapat berikut ini : 

1. Imam, ma’mum dan orang yang shalat sendiri (munfarid) wajib membaca Alfatihah berdasrkan keumuman hadis mengenai hal ini tidak sah sholatnya seseornga yang tidak memakai surah Al-Fatihah “ Barang siapa yang melakukan suatu sholat tanpa membaca surah Al-Fatihah (ummul Qur’an ) maka sholatnya tidak sempurna” Dan tidaklah berpahala shalat yang didalamnya tidak dibaca ummul Qur’an pendapat ini di pegang oleh imam Syafi’i r.a. 

2. Makmum dalam sholat berjamaa tidak wajib sama sekali membaca Al-Quran baik surah Al-Fatihah maupunsurah lainnya, baik dalam shalat Zahir maupun sir. Hal itu berdasarkan keterngan yang diriwayatkan oleh ahmad bin Hanbal dalma musnadnya dari Jibril bin Abdullah, dari Nabi SAW. Beliau bersabda : “Barang siapa yang mendapatkan imam maka bacaan imam untuk ma’mum juga” 3. Dalam shalat sir ma’mum wajib membaca Al-Fatihah. Hal itu tidak wajib dalam shalat jahar karena dalam sahih muslim ada hadits dari abu musa al-Asy’ari rasulullah Saw. Bersabda : “sesungguhnay imam itu dijadikan panutanApabial imam takbir, maka bertakbirlah kamu dan apabila imam membaca surah, maka simaklah olehmu”

No comments:

Post a Comment