1

loading...

Monday, March 19, 2012

TAHAMMUL DAN ADA’HADITS


TAHAMMUL DAN ADA’HADITS

1.      Kelayakan Tahammul
Mayoritas ahli ilmu cenderung memperbolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang belum mencapai usia takluf. Sedang sebagian mereka tidak memper bolehkannya. Yang benar adalah pendapat mayoritas ulama itu. Karena sahabat, tabi’in dan ahli ilmu setelah mereka menerima wirayat sahabat yang masih berusia anak-anak, seperti Hasan, Husan, Abdullah ibn Az-Zubair, Anas ibn Malik, Abdullah ibn Abbas, Abu Sa’id Al-Khudriy, Mahmud ibn Ar-Rabi’ dan lain-lain tanpa memilah-milah antara wirayat yang mereka terima sebulum dan sesudah baligh.
Mereka yang memperbolehkan kegiatan mendenagar hadits yang dilakukan oleh anak kecil, berbeda pendapat dengan batas usianya. Karena hal itu tergantung pada masalah “tamjiz” dari anak kecil itu. Dan tamjiz ini jelas berbeda-beda antara masing-masing anak kecil. Namun demikian mereka memberikan keterangan bersamaan dengan pendapat mereka, dan kita bisa meringkas penjelasan itu kedalam tiga pendapat :
Pertama, bahwa umur minimalnya lima tahun. Hujjah yang digunakan oleh pendapat ini adalah wirayat Imam Bukhari dalam sahihnya dari hadits Muhammad ibn Ar- Rabi’ ra. Katanya : “Aku masih ingat firman Nabi SAW. Dari timbah kemukaku, dan (ketika itu) berusiah lima tahun”.
Kedua, pendapat Al-Hafidz Musa ibn Harun Al- Hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil dinilai absah bila ia telah mampu membedakan antara sapi dengan himar. Saya merasa yakin bahwa yang beliau maksudkan adalah “tamyiz”. Beliau menjelaskan pengertian tamyiz dengan kehidupan disekitar.
Ketiga, keabsahan setiap anak kecil dalam mendengar hadits didasarkan pada adanya tamyiz. Bila anak terlah memahami pembicaraan dan mampu memberikan jawaban, maka ia sudah tamyiz dan absah pendengarannya, meskipun usianya masih di bawah  lima tahun. Namun bila ia tidak memahami pembicaraan dan tidak bisa memberikan jawaban, maka kegiatannya mendengar hadits tidak absah, meskipun usianya di atas lima tahun. 
2.      Kelayakan Ada’
a.       Islam
Sehingga tidaklah diterima riwayat orang kafir, berdasarkan Ijma’ Ulama, baik diketahui agamanya tidak memperbolehkan dusta atau tidak. Dan sangat tidak logis bila riwayatnya diterima. Sebab menerima riwayatnya berarti membiarkan caciannya atas kaum muslimin. Bagaimana mungkin riwayat perusak Islam bisa diterima? Di samping itu, Allah Azza Wa Jalla juga memerintahkan kita untuk mengecek berita yang dibawa oleh fisik, melalui Firman-Nya:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ŠÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR ÇÏÈ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Al-Hujurat 6).

Bila terhadap berita yang dibawa orang fasik saja seperti itu, maka terhadap berita yang di bawa orang kafir tentu kita harus menolaknya.
b.      Baligh
Ini merupakan pusat taklit, karena itu riwayat anak yang berada di bawah usia talif tidak bisa diterima, sebagaimana firman Allh SWT:
رَفِعَ القَلْبُ عَنْ ثَلاَثٍ : عَنْ المَجْنُوْنِ المَغْلُوْبِ عَلىَ عَقْلِهِ حَتىَ يَبْرَأَ, وَعَنْ النَّائِمِ
حَتىَّ يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَبِيِّ حَتىَّ يَحْتلَِمَ
Terangkat pena dari tiga orang : dari orang gila sampai sembuh, dari orang yang tidur sampai terbangun dari anak kecil sampai mimpi basah.
Usia baligh merupakan usia dugaan adanya kemampuan menangkap pembicaraan dan memahami hukum-hukum syariat. Kerena itu keberadaan takif dikaitkan dengannya. Yang jelas, yang diaksud baligh disini adalah adanya akal sehat disertai dengan usia yang memungkinkannya bermimpi basah. Oleh kerena adanya sebagai ulama’ muta’akhkhirin yang mensyaratkan baigh dan berakal sehat. Sedangkan ulama mutaqaddimin mencukupkan diri dengan menyebut syarat berakal. Kerena umumnya tidak dijumpai kemampuan menangkap pembicaraan dan berakal sehat.
c.       Sifat adil
Ia merupakan sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong pemiliknya untuk senantiasa bertakwa dan memelihara harga diri, sehingga jiwa kita akan percaya akan kejujurannya. Menjahui dosa besar termasuk didalamnya.juga sebagian dosa kecil, seperti mengurangi timbangan sebiji, mencuri sesuap makanan, serta menjauhi perkara-perkara mubah yang dinilai mengurangi harga diri, seperti makan di jalan, buang air kecil di jalan, berteman dengan orang-orang keji dan terlalu berlebihan daam berkelakar.
d.      Dhabt
Yaitu kerjagaan seseorang perawi ketika menerima hadits dan memahaminya ketika mendengarnya serta menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya kepada orang alain. Dhabt mencakup hapalan dan tulisan, maksudnya seorang perawi harus benar-benar hafal bila ia meriwayatkan dari hafalannya, dan mamahami tulisannya dariadanya perubahan, penggantian, atau pengurangan bila ia meriwayatkan dari tulisannya.
Metode- Metode Tahamul dan ada’ Hadist
Mula-mula saya membahas metode-metode tahamul, baru kemudian metode-metode ada’ hadist.
a.       Metode-metode tahammul hadits ada delapan (طريقة التحمل)
a.       As-sima’ (mendengarkan) yaitu seorang guru membaca hadits baik dari hafalan ataupun dari kitabnya sedang hadirin mendengarnya, baik majelis itu untuk imla’ atau untuk yang lain. Menurut mayoritas ulama’ metode ini berada di peringkat tertinggi. Ada juga yang berpendapat bahwa mendengar dari seorang guru disertai dengan menuliskan darinya lebih tinggi daripada mendengar saja. Sebab sang guru sibuk membacakan hadits, sedangkan sang murid menulis darinya. Sehingga keduanya lebih terhindar dari kelalaian dan lebih dekat kepada kebenaran, sebab biasanya ada penerimaan setelah Imla. Dan mendengar adalah cara yang mula-mula ditempuh oleh periwayat.
b.      Al-Qira’ah Ala asy-Syeikh (membaca dihadapan guru). Sebagai besar ulama hadits menyebutnya Al- Aradh (penyodoran). Ada yang menyebut Ardh al-Qira’ah (penyodoran bacaan) kerena murid menyodorkan bacaannya kepada sang guru, seperti ketika ia menyodorkan bacaan Al-qur’an kepada gurunya, yang dimaksud adalah seorang membaca hadits di hadapan guru, baik dari hafalannya maupun dari kitabnya yang telah diteliti sedang guru memperhatikannya atau menyimaknya baik dengan hafalan maupun dengan dari kitab asalnya ataupun naskah yang digunakan untuk mengecek dan meneliti, kadang-kadang yang mengecek bukan gurunya, tetapi orang yang telah diberi kepercayaan olehnya, misalnya beberapa orang yang masing-msing memiliki satu naskah yang telah diteliti yang semuanya mengengar dari orang yang membaca di hadapan guru.
c.       Al-Ijazah (sertifikasi atau rekomondasi). Di dalam kedua metode yang telah saya sesi). di eberapa orang yang masing-msing memiliki satu naskah yang telah diteliti yang semuabutkan, seorang murid atau guru membunyikan hadits-hadits yang bersangkutan, baik secara langsung maupun tidak. Sedangkan ijazah ini merupakan jenis metode tahammul yang baru dan berbeda sama sekali. Namun masih tetap dalam batas  pemberian kewenangan seorang guru untuk meriwayatkan sebagian riwayatnya yang telah ditentukan kepada seseorang atau beberapa orang yang telah ditentukan kepada seseorang atau beberapa orang yang telah ditentukan pula, tanpa membacakan semua hadits yang diijazahkan. Oleh kerena itu, ada ulama’ yang memperbolehkannya dan ada yang tidak.  Contoh metode ijazah ini adalah seorang ahli hadits berkata kepada sebagian muridnya: aku ijazahkan (aku perbolehkan) kamu meriwayatkan kitab al-buyu’ dari shahih al-Bukhori dari ku. Saya telah mendengar dari seseorang. Atau: saya perbolehkan kamu meriwayatkan shahih muslim dari ku. Saya telah mendengar dari seseorang, tanpa membaca sedikitpun atau membaca sebagiannya, dan ijazahkan selebihnya.
Kata Al-Ijazah secara etimologis diambil dari kata:
جِوَارُ المَاءِ الَّذِى سَقَاهُ الماَلَ مِنَ الماَشِيَّةِ وَالحَرْثِ

Mengalirkan air yang digunakan untuk menyiram kekayaan berupa binatang ternak atau persawahan. Dikatakan :
إِسْتَجَزْتُ فُلاَناً فَأُجازِنِى

Berarti ia menyiram air ke tanaman atau kepada ternakmu. Demikian pula, seorang murid, meminta kepada guru diperbolehkan meriwayatkan ilmunya, sang guru pun berkenaan memberikan izin untuk itu.
d.      Al-munawalah maksudnya seorang ahli hadits memberikan sebuah hadits, beberapa hadits atau sebuah kitan kepada muridnya agar sang murid meriwayatkannya darinya. Misalnya, seorang guru memberikan sebuah kitab kepada muridnya seraya berkata: inilah haditsku, atau inilah riwayat-riwayat yang ku dengar, tanpa mengatakan: riwayatkanlah Ia dariku, atau aku memperbolehkanmu (untuk meriwayatkannya dariku). Sebagian ulama’ memperbolehkan metode ini, sementara sebagian yang lain tidak memperbolehkannya.

a.       Al-Mukatabah ( المكاتبة  )
Yaitu seseorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau meminta orang lain menulis darinya sebagian hadistnya untuk seorang murid yang ada dihadapannya atau murid yang berada di tempat lain lalu guru itu mengirimkannya kepada sang murid bersama orang yang bisa dipercaya. Mukatabah ini memiliki dua bagian :
Pertama, disertai dengan ijazah. Misalnya guru menulis beberapa hadist untuk sang murid seraya memberikan ijazah kepadanya. Jenis ini setarap dengan munawalah yang disertai dengan ijazah dalam kesahihan dan kekuatan.
Kedua, tanpa disertai dengan ijazah. Ada sekelompok ulama’ yang melarang meriwayatkan dirinya. Namun Pendapat yang Shahih memperbolehkannya. Dan pendapat terakhir ini dipilih oleh mayoritas ulama muttaqadimin dan muta’akhirin.
b.      I’lam asy-Syeikh ( اعلا الشيخ  )
Maksudnya seorang Syeikh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadist tertentu atau kitab tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat miliknya dan telah didengarnya atau diambilnya dari seseorang. Atau perkataan lain yang senada, tanpa menyatakan secara jelas pemberian ijazah kepada murid untuk meriwayatkan darinya. Meski dengan pemberitahuan seperti itu saja, sebagian besar ulama’ memperbolehkan meriwayatkannya. Mereka menilai bahwa pemberitahuan semacam itu sudah mengandung pengertian pemberiaan ijin atau ijazah dari guru kepada murid untuk meriwayatkan darinya. Mereka juga menilai, bahwa kejujuran dan kepercayaan sang guru tidak memungkinkannya mengaku mendengar apa yang tidak didengarnya.
Dan pemberitahuannya kepada muridnya menunjukkan keridhannya untuk menerima dan meriwayatkannya. Inilah pendapat yang dipegangi oleh mayoritas ulama’ muttaqaddimin, seperti Ibn Juraij, juga mayoritas ulama’ muta’akhhirin.
c.       Al-Washiyyah (الوصية  )
Yaitu seorang guru berwasiat, sebelum berpergian jauh atau sebelum meninggal, agar kitab riwayatnya diberikan kepada seorang untuk meriwayatkan darinya. Bentuk ini merupakan bentuk tahammul yang amat langka. Ulama muta’akhirin menghitungnya dalam jajaran metode tahammul dengan dasar riwayat dari sebagian ulama’ salaf tentang wasiat kitab-kitab mereka sebelum mereka wafat. Salah satunya adalah riwayat bahwa Abu Qilabah Abdullah ibn Zaid al-Jiriy (-104 H) mewariskan kitab-kitabnya untuk Ayyub yang berjumlah sebanyak muatan kendaraan unta. Ayyub juga memberikan upah pengangkutannya sebesar sepuluh dirham lebih.
Sebagian mereka yang  memperbolehkan periwayatan tahammul dengan metode wasiat memberikan alasan, bahwa memberikan kitab-kitab kepada yang diwasiati mengandung satu jenis Ijin dan Hampir sama dengan ‘Ardh dan munawalah, bahkan dekat dengan jenis I’lam.
Metode ini merupakan metode tahammul yang paling lemah. Yang diberi wasiat tidak diperbolehkan meriwayatkan dari yang mewasiatkan, menurut mayoritas ulama’. Yang memperbolehkan masyarakat agar yang diberi wasiat ketika menyampaikan riwayat menyertakan secara utuh ungkapan yang dikemukakan oleh yang mewasiatkan. Ia juga harus menunjukkan ungkapan seperti itu ketika meriwayatkan dari yang mewasiatkan. Ia tidak boleh menggunakan ungkapan : telah mwriwayatkan kepada si Fulan begini. Karena mewasiatkan memang tidak meriwayatkan kepadanya.

d.      Al-Wijadah/Penemuan ( الوجا د ة )
Kata al-wijadah dengan kasrah wawu merupakan konjungsi dari kata wajada-Yajidu, bentuk yang tidak analogis. Ulama’ hadist menggunakannya dengan pengertian ilmu yang diambil atau didapat dari shahifah tanpa ada proses mendengar, mendapatkan ijazah ataupun proses Munawalah. Misalnya, seseorang menemukan kitab hasil tulisan orang semasanya dan telah mengenal dengan baik tulisannya itu. Baik ia pernah bertemu atau tidak, atau hasil tulisan orang yang tidak semasanya tapi ia merasa yakin bahwa tulisan itu benar penisbatannya kepada yang bersangkutan. Bila ia telah merasa yakin melalui sarana-sarana itu, maka ia boleh meriwayatkan isi yang dikehendakinya dalam bentuk menceritakan, bukan dalam bentuk mendengar.
Periwayatan Hadist Secara Makna
Mayoritas ulama cenderung berpendapat, bahwa seorang muhaddistboleh meriwayatkan dengan makna, tidak dengan lafadz, bila ia memahami bahasa arab dengan segala seluk beluknya dan mengerti makna-makna dan kandungan hadist serta memahami kata yang bisa merubah makna dan kata yang tidak merubahnya. Bila demikian, ia diperbolehkan meriwayatkan dengan makna. Karena dengan pemahamannya yang kuat, ia bisa menghindari perubahan makna dan pergeseran hukum-hukum yang terkandung didalamnya.
Namun bila perawi tidak mengerti dan tidak memahami kata-kata yang bisa merubah makna, maka ia tidak diperbolehkan meriwayatkan hadist dengan makna. Tidak ada silang pendapat, tentang kewajiban menyampaikan riwayat dengan lafadz seperti yang didengarnya. Dalam hal ini, imam asy-Syafi’iy mengatakan : orang yang meriwayatkan harus kukuh agamanya, mengetahui dengan benar hadistnya, memahami apa yang diriwayatkan dan mengerti betul kata-kata yang bisa merubah makna. Disamping itu, ia juga harus menyampaikan hadist dengan huruf-hurufnya. Seperti yang didengarnya, tidak meriwayatkannya dengan makna. Karena bila demikian, yakni bila ia tidak mengerti kata-kata yang dapat merubah makna, maka ia tidak mengerti barangkali ia telah merubah yang halal menjadi haram. Dan bila ia menyampaikan hadist-hadist dengan lafadz. Maka tidak ada kesempatan terjadinya perubahan pengertian hadist yang bersangkutan. Ia juga harus hafal betul tulisannya bila ia meriwayatkan dari kitabnya.
Ilmu Hadist Tarikh Ar-Ruwat ( علم تاريخ الرواة  )
Ilmu Rijal al-Hadist merupakan jenis ilmu hadist yang sangat penting. Karena ilmu Hadist mencakup kajian terhadap sanad dan matan. Rijal (tokoh-tokoh) yang membentuk sanad merupakan para perawinya. Mereka yang menjadi objek ilmu rijal al-hadist, yang membentuk satu diantaranya-ulama memberikan perhatian yang sangat besar terhadapnya.
Ilmu Rijal al-Hadist terbagi menjadi dua bagian penting, yaitu Ilmu Tarikh ar-Ruwat dan Ilmu al-Jarh Wa at-Ta’dil.
Masing-masing akan saya bicarakan dalam sub-bab tersendiri. Pertama, saya akan membicarakan Ilmu Tarikh ar-Ruwat. Dan selanjutnya saya akan membicarakan Ilmu al-Jarh Wa at-Ta’dil
Yang dimaksud Ilmu Tarikh ar-Ruwat adalah :
العِلْمُ الَّذِى يَعَرِفُ بِرُوَاةِ الحَدِيْثِ مِنَ النَّاحِيَةِ الّتِى تَتَعَلَّقُ بِرِوَايَتِهِمْ لِلْحَدِيْثِ
“Ilmu yang mencoba mengenal para perawi hadist dari aspek yang berkaitan dengan periwayatan mereka terhadap hadist tersebut.”

Al- Jahr Antar Sesama
Yang patut disebut pula disini, adalah bahwa ulama’, karena kewiraian dan ketakwaan mereka, sangat berhati-hati dalam mendahulukan jahr atas ta’dil yang terjadi antar sesama ulama’ semasa, yang muncul karena pertentangan atau perbedaan aliran. Ulama sependapat untuk tidak menerima kritik sebagian ulama kepada sebagian lain yang semasa (antar kawan).
Perawi yang Tidak dikenal (al-Mahjul) menurut Ahli Hadist
Minimal untuk menghilangkan “Jahalal” ( tidak dikenal seorang perawi) menurut Muhadditsin adalah adanya dua orang yang meriwayatkan dari perawi yang bersangkutan, atau bahkan lebih. Dengan hal seperti ini, hilanglah sebutan “jahalah” terhadapnya. Hanya saja, sifat adilnya bisa ditetapkan melalui “tazkiyah”, menurut mayoritas Muhadditsin. Sementara ad-Daruquthniy mengatakan :
مَنْ رَوَى عَنهُ ثِقَاتاَنِ فَقَدْ ارْتَفَعَتْ جَهَالَتُهُ وَثَبَتَتْ عَدَالَتُهُ

Orang yang diriwayatkan darinya oleh dua orang tsiqat, maka hilanglah “jahalah”-Nya dan tetaplah sifat adilnya.
Sedangkan menurut Ibn Abdil Barr, Setiap orang yang populer dalam bidang selain hadist, seperti kezuhudan, atau propesi tertentu atau yang sejenis, maka ia tidak “Majhul”.
Perawi yang Mastur (Tidak Diketahui Hal-Ihwalnya)
Perawi yang Mastur atau mastur al-hal ialah perawi yang darinya dua orang atau lebih meriwayatkan hadistnya, sehingga hilanglah “jahalah”-nya. Secara lahiriah, ia berstatus adil. Akan tetapi tak seorangpu imam pun yang menilainya tsiqat ataupun mentajrihnya. Sejumlah ulama menerima riwayat-nya perawi “mastur” atau yang mungkin mastur tidak bisa dinilai secara tegas diterima atau ditoolak riwayatnya, tetapi harus ditangguhkan sampai keadaan menjadi jelas. Ini merupakan pendapat Ibn Hajar dan merupakan pendapat yang baik.
Apakah periwayatan Seorang Perawi Tsiqat dari Orang lain merupakan Penta’dilan Terhadap Orang lain itu?
Ada silang pendapat dikalangan ulama mengenai periwayatan seorang perawi adil dari seorang Syeikh. Apakah periwayatan itu merupakan penta’dilan terhadap Syeikh tersebut? Ada tiga Pendapat :
Pertama, periwayatan itu tidak (sekaligus) merupakan penta’dilan karena perawi yang adil kadang-kadang juga meriwayatkan dari perawi lain  yang tidak adil. Ini merupakan pendapat mayoritas ahli hadist.
Kedua, periwayatan itu merupakan penta’dilan . sebab perawi adil, seandainya mengetahui lebih jauh pada diri orang yang diambil hadistnya, tentu akan menjelaskannya.
Ketiga, bila kebiasaan perawi adil itu meriwayatkan hadist dari perawi yang tsiqat saja, maka periwayatannya dari yang lain merupakan penta’dilan . bila tidak, maka tidak merupakan penta’dilan. Inilah pendapat yang terpilih menurut ulama’ ushul dan sebagian imam hadist.
Periwayatan Dari Perawi “Mubham”(yang tidak disebut Namanya)
Bila seorang perawi adil meriwayatkan dari seorang perawi lain tanpa menyebut namanya, maka periwayatannya itu tidak merupakan penta’dilan. Namun bila perawi adil menyertakan penilaian adil, misalnya dengan mengatakan : “Telah meriwayatkan kepadaku orang yang saya Ridhai”, maka terdapat dua pendapat dikalangan ulama : 
Pertama, Penilaian tsiqat seperti itu belum cukup, tanpa penyebutan nama. Karena bisa jadi, perawi yang bersangkutan tsiqat menurutnya. Tetapi tidak tsiqat menurut yang lain seandainya ia menyebut nama perawi itu. Bisa jadi pula, ia termasuk orang yang sendiri dalam menilai tsiqat, sementara yang lain memberikan jauh terhadap perawi yang bersangkutan. Sehingga penyebutan nama secara jelas akan menghilangkan keraguan dan praduga semacam itu.
Kedua, penta’dilan diterima secara mutlak, sama halnya ketika ia menyebut nama perawi yang bersangkutan secara tegas. Karena perawi adil bisa dipercaya dalam dua keadaan, yaitu ketika menyebut nama secara tegas dan menilai tsiqat dan menyembunyikan namanya.
Periwayatan Perawi yang Bid’ah
a.       Sebagian ulama hadist berpendapat, periwayatan pelaku bid’ah tidak bisa diterima secara mutlak, meski bagaimana pun bentuk bidahnya. Ini diriwayatkan dari Imam Malik
b.      Sebagian yang lain berpendapat, riwayat pelaku bid’ah bisa diterima dengan syarat-syarat tertentu. Mereka kemudian memilah-milah bid’ah itu. Menurut mereka, ada bid’ah yang mengakibatkan kafir pelakunya, dan ada yang tidak mengakibatkan kekafiran baginya.
1.      Bila bid’ah membuatnya kafir, maka riwayatnya tidak bisa diterima menurut mayoritas ulama hadist.
2.      Bila bid’ahnya tidak membuatnya kafir, maka :
a.       Bila ia mengatakan dusta untuk membela bid’ahnya, maka hadistnya tidak bisa diterima dan tidak boleh diambil riwayat darinya. Dan dalam hal ini Sufyan al-Tsauriy mengatakan : “Aku menerima kesaksian pelaku bid’ah bila mereka adil dalam keadaan selama itu-yakni selain riwayatkan yang menguatkan bid’ah mereka dan mereka tidak menghalalkan bentuk-bentuk dukungan terhadap bid’ah mereka dan mereka tidak menghalalkan bentuk-bentuk dukungan terhadap bid’ahnya (yang sebenarnya dilarang).” Imam asy-Syafi’iy mengatakan, kesaksian pelaku bid’ah bisa diterima, kecuali sekte Khaththbiyah dari aliran Syi’ah Rafidhah. Karena mereka memperbolehkan kesaksian palsu bagi orang-orang sejalan mereka.
b.      Bila ia tidak menghalalkan kedustaan dalam membela alirannya, maka ada yang mengatakan riwayatnya bisa diterima, baik ia mendakwakan riwayatnya bisa diterima, baik ia mendakwahkan bid’ahnya (mempropogandakanya) ataupun  tidak. Ada yang mengatakan, bila tidak mendakwahkan bid’ahnya. Maka riwayatnya bisa diterima. Tetapi bila ia mempropogandakan bid’ahnya, maka riwayatnya tidak bisa diterima. Inilah pendapat mayoritas ahli Hadist.
Riwayat Perawi yang Telah Bertaubat dari Kefasikannya
Bila seorang perawi yang berkena jauh karena kefasikannya telah bertaubat dan perilakunya telah kembali baik, serta sifat adilnya diketahui setelah taubatnya itu, maka setelah itu khabar-khabarnya bisa diterima. Ini bersifat umum untuk setiap bentuk kemaksiatan kecuali sengaja berdusta atas suatu hadist Nabi SAW. Yang terakhir ini tetap tidak bisa diterima. Yakni khabar dari orang yang mendustakan hadist-hadist rasulullah SAW. Tidak bisa diterima, meskipun ia telah bertaubat dan perilakunya kembali baik setelah itu. Pendapat ini dikutip dari Imam-imam hadist terkemuka. Abu bakar al-Shairafiy mengatakan : Setiap pelaku dusta yang kami gugurkan khabarnya, kami dapati tidak kami terima khabarnya setelah bertaubat. Sementara Abu al-Mudzaffar as-Sam’aniy mengatakan : Siapa yang berdusta dalam satu Hadist, maka wajiblah mengugurkan hadist-hadistnya yang telah terdahulu.
Tingkattingkat al-Jarh dan atTa’dil
Perawi yang memindahkan hadist tidak semuanya berada pada tngkat yang sama dalam hal hafalan, ilmu dan kedhabitan. Ada yang Hafidz labi mutqin yang tidak diragukan lagi kehandalannya. Ada yang lebih rendah kedhabitan dan hafalannya. Ada juga yang sedikit melakukan kesalahan atau sering lupa dan salah, meski memiliki sifat adil dan jujur.
Ilmu Al-jarh wa At-Ta’dil ( علم لجرح والتعديل  )
1.      Ilmu Al-jarh wa At-Ta’dil Secara Etimologis dan Terminologis
a.       Al-Jarh secara etimologis merupakan bentuk mashdar dari kata
 (       حرج - يحرج         ) yang berarti seorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu. Dikatakan    حرج الحاكم و غيره الشاهد )  )    yang berarti hakim dan yang lain melontarkan sesuatu yang menjatuhkan sifat adil saksi, berupa kedustaan dan sebagainya.
b.      Al-jarh secara terminologis berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencatatkan hafalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan bertolak riwayatnya. Sedang “at-Tajrih” menyifati seorang perawi dengan sifat-sifat yang membawa konsekuensi penilaian lemah atas riwayatnya atau tidak diterima.
c.       Al-Adl secara etimologis berarti sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus, merupakan lawan dari lacur. Orang adil berarti menilainya positif.
d.      Al-adl secara terminologis berarti orang yang tidak memilik sifat yang mectatkan keagamaan dan keperwiraannya. Sehingga khabar dan kesaksiannya bisa diterima, bila dipenuhi pula syarat-syarat yang telah kami sebutkan dalam kelayakan ada’
Membersihkannya sehingga tampak sifat adilnya dan dapat diterima khabarnya. Dengan demikian, ilmu al-Jarh wa at-ta’dil berarti :
العِلْمُ الّذِى يبَْحَثُ فِى اَحْوَالِ الرُّوَاةِ مِنْ حَيْثُ قَبُوْلِ رِوَاياَتِهِمْ اَوْرَدَّهاَ


Ilmu yang membahas hal-ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka.
Ilmu ini merupakan ilmu hadist yang terpenting, teragung posisinya dan terluas pengaruhnya. Karena dengan ilmu ini, dapat dibedakan yang shahih dari yang cacat, yang diterima dari yang ditolak, karena masing-masing tingkatan jarh dan ta’dil memiliki akibat hukum yang berbeda-beda.
2.      Normativitas dan at-Ta’dil
Kaidah-kaidah umum syariat menunjukkan kewajiban memelihara sunnah. Dan menjelaskan hal-ihwal para perawi merupakan sarana yang lurus untuk menjaga sunnah. Allah Azza Wa Jalla berfirman :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ŠÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR ÇÏÈ
Artinya :   Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (al-Hujarat : 6)
Di tempat lain, dia berfirman :


Artinya : Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. (al-Baqarah : 282)
Yang dimaksud saksi yang diridhai adalah orang yang kita ridhai agama dan kejujurannya. Pengutipan dan periwayatan hadist tidak kurang dari bentuk kesaksian itu. Oleh karena itu, hadist tidak diterima kecuali dari orang-orang isiqat.
Berkenaan dengan al-Jarh, rasulullah SAW. Bersabda :

بِئْسَ أَخُوْ الْعَشِيْرَةِ
Seburuk-buruknya saudara sekeluarga adalah dia.
Dan berkenaan dengan ta’dil, beliau bersabda :
نِعْمَ عَبْدُ اللهِ خاَلِيْدِ اْبنِ الوَلِيْدِ سَيْفٌ مِنْ سُيُوْفِ اللهِ       
Sebaik-baiknya hamba Allah adalah Khalid ibn al-Walid, sebilah pedang dari Pedang-pedang Allah.
3.      Pertumbuhan Ilmu al-Jarh Wa at-Ta’dil
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil tumbuh bersama tumbuhnya periwayatan dalam Islam. Karena untuk mengetahui khabar-khabar yang shahih diperlukan pengetahuan tentang para perawinya, yakni pengetahuan yang memungkinkan ahli ilmu menilai kejujurannya ataupun kedustaannya, sehingga merek bias membedakan antara yang bias diterima dari yang ditolak. Oleh karena itu, mereka selalu bertanya tentang keadaan para perawi dan melakukan penelitian di sela-sela kehidupan intelektual mereka, dan mengenal lebih dekat semua hal-hal para perawi. Mereka melakukan penelitian yang amat cermat, sehingga mereka bisa mengetahui yang paling hafidz, yang paling kuat ingatannya dan yang paling bermujalasah dengan guru-gurunya.
Disamping yang kami riwayatkan tentang al-jarh Wa Ta’dil dari Rasulullah saw, banyak pula khabar tentang pendapat-pendapat sahabat mengenai hal ini. Setelah sahabat, yang berbicara tentang para perawi adalah tabi’in, generasi sesudah tabiin dan ahli ilmu sesudah mereka. Mereka menjelaskan hal ihwal para perawi, mengkritik dan menta’dil mereka dengan niat mencari ridha Allah SWT., tak tajut kepada siapapun dan tak terjerat rasa kasih saying. Tak seseorang pun diantara para kritikus hadist dan tokoh-tokohnya yang membela ayah, saudara ataupun anaknya. Semua mereka maksudkan untuk mengabdi kepada kepada syari’at dan memelihara sumber-sumbernya. Sehingga mereka akan mengatakan sesuatu sejujur-jujurnya dan menata niat sebaik mungkin.

·         Metode Ulama Dala Menjelaskan Hal-Ihwan Para Perawi
1.      Jujur dan tuntas dalam memeberikan penilaian. Mereka akan menyebutkan mad ibn positif maupun negatif perawi. Sebagai contoh perkataan muhammad ibn Sirin : “sungguh engkau berbuat zalim kepada saudaramu, jika kamu hanya menyebutkan keburukan-keburukannya tanpa menyebutkan kebaikannya’’.
2.      Kecermatana dalam meneliti dan menilai. Dengan mencermati pernyataan-pernyataan Ulama tentang al-Jarh Waat-Ta’dl kita bisa enemukan kecermatan mereka dalam meneliti kedalaman pengetahuan mereka tentang seluk-beluk perawi mereka kritik. Sering sekali mereka memberikan informasi saat kekacauan daya ingat, sebab kelemahan dan mapu membedakan antara perawi yang lemah disebabkan keteledoran agama dan perawai yang lemahnya dikarenakan tidak adanya kekuatan dan keteguhan hafalan dalam dirinya.
3.      Mematuhi etika al-jarh. Ulama’ al-jarh Waat-Ta’dl dalam menyatakan penilaian tidak akan keluar dari etika penelitan ilmiah. Ungkapan yang mereka kemukakan adalah “pulan wadhdha ” (fulan tukang palsu). Fulan kadzdzb (fulan tukang dusta) fulan yaftari al-kadzba ala ash-sahabat ra. (Fulan membuat kedustaan atas diri sahabat ra). Atau ungkapan-ungkapan yang memberikan untuk orang memalsukan hadist. Namun demikian ungkapan-ungkapan itu itu tidak keluar kenyataan yang ada. Ada juga yang mengindikasikan. Misalnya ungkapan “Lam Yakun Mustaqim al-Lisan”(ia tidak lurus lidahnya) atau yang senadah. Para ilmuan juga memerinahkan murid-murid mereka untuk mengetahui etika kritik. Salah satunya, riwayat al-muzaniy, katanya, suatu hari imam kepada-ku “Wahai Ibrahim gunakanlah ungkapan yang paling halus”. Jangan menhatakan”kadzhab” tetapi katakana : “hadistsuhu laisan Bi Syai” (hadistnya tidak ada apa-apanya).
4.      Secara gelobal menta’dil dan secara rinci dalam metajrih. Dari ungkapa-ungkap imam-imam al-jarh wa at ta-dil kita bias meliahat bahwa mereka tidak menyebutkan sebab-sebab ta’dil mereka terhadap perawi. Kita tidak bias melihat mereka katakana “pulan tsiqat adil karena ia melakukan sholat, melakukan puasa, tahajud dan tidak menyakiti orang lain misalnya tetapi merka hanya mengungkapkan fulan tsab tsqat atau fulan shaduk”, tanpa menjelaskan sebab-sebabnya. Karena sebab-sebab ta’dil                  sangat banyak, sehingga orang sulit unatuk menyebukan seluruhnya. Berbeda dengan al-jarh, yang umumnya mereka jelaskan sebabnya, seperti sering lupa, menerima secara lisan saja, sering salah, kacau hafalnya, tidak kuat hafalanya, dusta, fasik da lain-lain. Karena dianggap cukup menyebut satu sebab untuk mengkritik sifat adil atau daya hafalnya, mayorihkan demi kepentingan membedakan antara yang tsiqat dan yang dh’if.
·         Syarat-Syarat Penta’dil dan Petajrih
Imam-imam yang terjun dalam bidang penjelasan hal-ihwal perawi dan berusaha menjaga sunna dengan membedakan antara yang sahih dan yang cacat disamping menggunakan hidup mereka secara maksimal dalam bidang tersebut mereka mengetahui sebab-sebab keadilan, sebab-aebab jarh. Karena itu, ulama sependapat atas kewajiban terpenuhinya syarat-syarat itu dalam diri penta’dil dan pentrajrih. Siap saja yang menekuni bidang ini harus harus kriteria alim, bertaqwa, wira’i , jujur tidak terkenah jarh, tidak fanafik terhadap sebagian perawai dan mengert I betul sebab-sebab jarh dan adil.
·         Cara Mengetahui Keadilan
Keadilan seorang perawai bias diketahui melalui satu diantar dua hal : kepopuleran keadilannya dikalangan ahli ilmu, seperti Malik ibn Ana, sufyan al-tsauriy, syu’bah ibn al-hajjaj, imam ahmad dan lain-lain. Sehingga tidak abash mempertanyakan mereka. Karena yang diketahui berdasarkan kepopuleran semacam itu lebih tinggi d bandingkan yang diketahui berdarkan tazkiah (penilaian positif) oleh satu atau dua orang. Dan adakalanya tazkiyah, yaitu penta’dil orang yang telah terbukti adil terhadap orang yang belum dikenal keadilannya. Tazkiyah sudah cukup bila dilakukan oleh satu orang yang berstatus adil. Karena jumlah tidak disyaratkan pula dalam jarh dan ta’dil perawihnya. Inilah yang diriwayatkan bisa diterima, tazkiyahnya bisa diterima, merdeka atau budak, jika ia mengetahui sebab ta’dil dan tazriyhnya. Sebagian ahli fiqih mengharuskan adanya tazkiyah dari dua orang.
·         Pertentangan Antara Al-Jarh dan at-Ta’dil 
Kadang-kadang pernyataanpernyataan ulamah tentang tajrih dan ta’dil tehadap orang yang sama bisa saling bertentangan. Sebagian mentajrihkannya , sedang sebagian lain menata’dilkannya. Bila demikian , maka diperlukan penelitian lebih lanjut tentang yang sebenarnya.
Ternyata kadang-kadang sebagian mentajrih berdasarkan informasi jarh yang dahulu perna didengarnya mengenai perawi  yang bersangkutan. Kemudian perawi dan bertaubat diketahui oleh sebagian  yang lain yang kemudian menta’dilkannya, dngan demikian, sebenarnya tidak ada pertentangan antara keduanya.
Kadang-kadang ia juga dikenal tidak baik hafalanya dari seorang guru yang ia tidak menulis dari guru tersebut karena ia bertumpuh pada hafalanya sewaktu masi bisa diandalkan hafalnya, tetapi dikenal hafidz dari guru lain karena ia bertumpuh pada kitab-kitabnya, misalnya. Sehingga dalam kondisi seperti ini juga tidak ada pertentangan.


No comments:

Post a Comment