HADIST DHA’IF DAN KEHUJAANNYA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hadist dhaif adalah bagian dari
hadist mardud. Dari segi bahasa hadist dhai’if adalah lemah. Kelemahan hadist
dha’if ini karena Sanad dan Matannya tidak memenuhi kriteria hadist kuat yang
diterima sebagai hujah. Dalam istilah hadist dhai’if adalah hadist yang tidak menghimpun
hadist hasan sebab salah satu dari beberapa syarat tidak terpenuhi.
Hukum periwayatan hadist dha’if
menurut beberapa para ulama memperbolehkan
meriwayatkan hadist dhaif sekalipun tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan dua
syarat yaitu tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah dan tidak
menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram tetapi berkaitan
masalah mau’izah, targhib wa tarhib.
Dan adapun terhujaan hadist Dhaif
para ulama berbeda pendapat dalam pengalaman hadist dhaif. Terdiri dari tiga
pendapat yaitu :
a. Hadist Dha’if
tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam kerahmanan amal ataupun hukum
sebagaiana yang diberitahukan oleh Ibnu Syayyid An-Nas.
b. Hadist dai’if
tidak dapat diamalkan secara mutlak atau dalam masalah hukum (Ahkam), pendapat
atau dawud dan imam ahmad, mereka berpendapat bahwa hadist dha’if lebih kuat
dari pada pendapat para ulama.
c. Hadist dhaif
dapat di awalkan dalam fadhail al-a’mal, mau’izah, targhib dan tarhib.
HADIS DHA’IF DAN KEHUJAANNYA
A.
Pengertian
Hadist Dha’if
Hadis dha’if
adalh bagian dari hadis mardu dari segi bahasa Dha’if lemah dari Al-Qawi (الَقوِى)
kuat. Kelemahan hadis Dha’if ini karena sunad dan matanya tidak memenuhi
kriteria hadis kuat yang di terima sebagai hujah. Dalam istilah hadis Dha’if
adalah hadis yang tidak menghimpun sifat hadis hasan sebab satu.
Jadi hadis
Dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi sebagian atau semua persyaratan hadis
hasan atau hadis sahih. Misalnya sendatnya tidak bersambung (Mutashil) para
perannya tidak adil dan terjadi keganjilan baik dalam sehat atau matan dan
terjadi cacat yang tersembunyi contohnya.
مَنْ
أَتَى حاَئِضَا أَوِ اْمرَأَةَ مِنْ ذُبْرُ أَوْ كاَهِناَ فَقَدْ كَفَرَ بِماَ أَنْزَلَ
عَلىَ مُحَمَّدِ
“Barang siapa yang mendatangi pada seorang
wanita menstruasi (Haid) atau pada seorang wanita dari jalan belakang (Dubur)
atau pada seorang dukun, maka ia tela mengingkari apa yang di turunkan pada
kepada Nabi Muhammad”.
Ø
Boleh atau tidak di jadikan landasan hukum
Menurut
para ualma, hukum hadis Dha’if adalah memperbolehkan meriwayatkan hadis
tersebut sekalipun tanpa menjelaskan Kedha’ifannya tetapi dengan dua
persyaratan yaitu :
1. Tidak berkaitan
dengan akidah seperti sifat-sifat ALLAH
2. Tidak
menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi
berkaitan dengan masalah Mau’izaha, Targhib, Watarhib dan kisah.
Dan adapun syarat-syarat
meriwayatkan hadis Dha’ib yaitu :
1. Hadis yang
Dha’if berhubungan dengan soal cerita (Pengajaran) dan keutamaan-keutamaan amal
2. Hadis itu tidak
seberapa Dha’ifnya (lemahnya)
3. Hadis itu masuk
kedalam salah satu pokok yang sahih
4. Hadis yang
lemah itu, tiada diakui sahih datangnya dari Nabi SAW.
Adapun perkataan Ahmad,
Abdur Rahman IBU Mahdi dan Abdullah Mubarak.
إِذَا رَوَيْناَ الحاَلاَلِ وَالحَرَامِ ثَرَّدْناَ.
وَإِذَا رَوَيْناَ فىِ الفَضَائِلِ وَعَحْوِهَا تَسَاهَلْناَ
“apabila kami
meriwayatkan hadist untuk halal dan haram, kami berlaku sangat keras dan
apabila kami meriwayatkan hadist untuk menerangkan ketamaan-ketamaan dan yang
sepertinya, kami bermudah-mudahan”
Maka yang dikehendaki oleh ulama
besar itu, ialah hadist-hadist yang hasan, yang tidak sampai kederajat hadist
shahih.
B. Kriteria Hadist
Dha’if
Sedangkan
syarat-syarat yang di syaratkan untuk mempergunakan hadist dha’if adalah :
1. Disetujui oleh
segenap Ulama.
2. Kebaikan itu
masuk kebawah suatu dasar yang umum
3. Jangan di
I’tiqadkan di waktu diamalkan.
C. Pembagiaan
Hadist Dhaif
Para
ulama berbeda pendapat dalam pengamalan hadist dha’if, perbedaannya tersebut :
a. Hadist Dha’if tidak
dapat di amalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-a’mal atau dalam
masalah hukum sebagai mana di beritakan sebagai mana diberitakannya oleh ibnu
Sattid An-Nas dari Yahya bin Ma’in.
b. Hadist Dha’if dapat
diamalkan secara mutlak atau dalam masalah hukum, pendapat abu Dawud dan imam
Ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadist dha’if lebih kuat dari pada pendapat
para ulama.
c. Hadist dha’if
dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal, Mauizah, targhib dan tarhib jika
memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar
Al-Asqalani, Yaitu :
1. Tidak terlalu
dha’if. Seperti diantara (Hadist Mawadhu), hadist matruk, dan hadist Munkar.
2. Masuk kedalam
kategori hadist yang diamalkan, yang tidak terjadi pertentangan dengan hadist
lain dan rajih.
3. Tidak di
yakinkan secara yakin kebenaran hadist nabi, tetapi karena Ikkiyath. Hal ini
untuk memperkuat usaha para ulama awal yang telah susah payah dan berhati-hati,
dalam meriwayatkan sunnah dan memudharahnya. Dan dari salah satu syarat hadist
dhaif yang dapat diamalkan diatas adalah tidak terlalu dhaif atau tidak terlalu
buruk kedha’ifannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat
disimpulkan bahwa hadist dha’if adalah hadist yang lemah, sesuai dengan sanad
dan matannya. Sebagaimana para ulama memperbolehkan untuk meriwayatkan hadist
dha’if tersebut dengan syarat-syarat tertentu.
Berdasarkan kehujaannya, Hadist
dha’if di bagi menjadi 3 pendapat yaitu hadist dha’if tidak dapat diamalkan
secara mutlak baik dalam keutamaan amal maupun dalam hukum. Hadist dha’if dapat
di amalkan baik dalam amal, mauizhah, janji-janji yang menggemarkan, maupun
ancaman yang menakutkan (Jika Memenuhi Persyaratan).
B. Saran
Kepada para pembaca marilah kita
mempelajari dan memahami apa itu hadist dha’if dan kehujaannya, disini penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun, demi lebih baiknya makalah
ini kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
- Ash Shiddiqy. M hasbi. 1958.
Dirayah hadist, Jakarta : Bulan Bintang
- al-A’Zhami, M Mustafa. 1992.
Studies In Haits Methology and Leterature. Terj. A . Yamin. Jakarta : Pustaka
Hidayah.
- Masjidkhan, Abdul. 2007.
Ulumul Hadist. Jakarta : Amzah
Yunus, Muhammad.
1940. Ilmu Mushthalah Al-HAdist. Jakarta : As-Sa’diyah.
DAFTAR ISI
DAFTAR
ISI ...................................................................................................... .... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hadist
Dha’if.............................................................. 2
B.
Kriteria Hadist
Dha’if.................................................................... 3
C.
Pembagiaan Hadist
Dhaif........................................................ .... 3
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 5
B. Saran-saran ....................................................................................... 5
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment