1

loading...

Sunday, November 19, 2017

KODE ETIK DAKWAH (TIDAK ADA PAKSAAN DALAM AGAMA)

KODE ETIK DAKWAH
(TIDAK ADA PAKSAAN DALAM AGAMA)





KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan ilmu-Nya Yang Maha luas, serta rahmat, karunia, taufik dan hidayah yang telah dilimpahkan-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Kode Etik Dakwah (Tidak Ada Paksaan dalam Agama) ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami mengucapkan terimakasih kepada dosen mata kuliah Tafsir Dakwah Ibu   yang telah memberikan tugas penulisan makalah ini.
Selanjutnya, kami juga menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya dalam proses pembuatan makalah ini. Kami berharap sekiranya makalah ini bermanfaat untuk menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Kode Etik Dakwah (Tidak Ada Paksaan dalam Agama). Semoga makalah yang sederhana ini dapat dipahami dan menambah ilmu bagi siapapun yang membacanya.
Terlepas dari semua itu, kami juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya dan jauh dari kata sempurna. Akhir kata kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dimasa depan.



Bengkulu, 17 November 2017



Penyusun


DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...........................................................................................            i
Daftar Isi ......................................................................................................           ii
BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang ..................................................................................           1
B.   Rumusan Masalah .............................................................................           1
C.   Tujuan Penulisan................................................................................           2
BAB II PEMBAHASAN
A Q.S Al-Baqarah ayat 256                2
B. Q.S Yunus ayat 99                     5
C.  Q.S Al-Kahfi ayat 29 ........................................................................           6
D.  Q.S Al-Ghasyiyah ayat 21-23 ...........................................................           9
BAB III PENUTUP
A.  Kesimpulan........................................................................................         12
B.   Saran .................................................................................................         12
DAFTAR  PUSTAKA ...............................................................................         13


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Etika berasal dari kata ethos yaitu untuk suatu kehendak baik yang tetap. Etika berhubungan dengan soal baik atau buruk, benar atau salah. Dalam melakukan aktifitas dakwah perlu ada aturan yang mengikat agar tidak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan. Aturan tersebut merupakan kode etik yang seharusnya diperhatikan dalam aktifitas dakwah.
Kode etik sangat dibutuhkan dalam berbagai bidang, termasuk bidang etika dakwah, dipergunakan untuk membedakan baik dan buruk atau apakah prilaku Da’i bertanggung jawab atau tidak. Salah satun contohnya seperti Q.S Al-Ghasyiah :22 “Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka”, disini juga dijelaskan bahwa seorang Da’i tidak berkuasa atas siapa pun. Beliau tidak dapat menanamkan iman (keyakinan, kepercayaan) ke dalam hati mereka. Karena yang dapat melakukan itu hanya Allah semata. Da’i hanya sekedar mengingatkan dan menasehati tanpa boleh memaksa pada apa yang di kehendaki. Tujuan utama kode etik adalah memberi pelayanan khusus dalam masyarakat tanpa mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok.
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas permasalahan yang perlu dibahas adalah:
A.                Bagaimana Kode Etik Dakwah dalam Q.S Al-Baqarah ayat 256?
B.                 Bagaimana Kode Etik Dakwah dalam Q.S Yunus ayat 99?
C.                 Bagaimana Kode Etik Dakwah dalam Q.S Al-Kahfi ayat 29?
D.                Bagaimana Kode Etik Dakwah dalam Q.S Al-Ghasyiyah ayat 21-23?
C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini, adalah :
A.                Mengetahui Kode Etik Dakwah dalam Q.S Al-Baqarah ayat 256
B.                 Mengetahui Kode Etik Dakwah dalam Q.S Yunus ayat 99
C.                 Mengetahui Kode Etik Dakwah dalam Q.S Al-Kahfi ayat 29
D.                Mengetahui Kode Etik Dakwah dalam Q.S Al-Ghasyiyah ayat 21-23
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kode Etik Dakwah dalam Q.S Al-Baqarah ayat 256
لَآ إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَيِّۚ فَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ )٢٥٦(
Terjemahan:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Q.S Al-Baqarah: 256)
  1. Pokok Kandungan Ayat
 لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ     (Tidak ada paksaan dalam agama) maksudnya untuk memasukinya.قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ  (sesungguhnya telah nyata jalan yang benar dan jalan yang salah) artinya telah jelas dengan adanya bukti-bukti dan keterangan-keteranagn yang kuat, bahwa keimanan itu berarrti kebenaran dan kekafiran itu kesesatan. Ayat ini turun mengenai seorang anshar yang mempunyai anak-anak yang hendak ia paksakan masuk islam.
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوت ( maka barang siapa yang ingkat kepada taghut) maksudnya setan atau berhala, dipakai untuk tunggal dan jamak. وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ  (dan dia beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada simpul tali yang teguh kuat) ikatan tali yang kukuh. لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ  (yang tidak akan putus-putus, dan Allah maha mendengar) akan segala ucapan. عَلِيمٌ (maha mengetahui) segala perbuatan.[1]
  1. Asbabun Nuzul
Muhammad bin Musa bin al-Fadhl memberitahu kami, Muhammad bin Ya’qub memberitahu kami, dari Syu’bah, dari Abi Bisyr, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, mengenai firman Allah SWT, ia berkata, Pernah ada seorang wanita dari kalangan kaum wanita Anshar, setiap anak yang dilahirkannya tidak  ada yang hidup. Lalu ia bersumpah, jika anaknya hidup, ia akan menjadikannya Yahudi. Ketika Bani Nadhir diusir dari Madinah, ternyata diantara mereka terdapat pula anak-anak kaum Anshar. Maka sahabat Anshar berkata, “wahai Rasulullah, anak-anak kami?!”. Lalu Allah menurunkan ayat: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)”.[2]
Mujahid berkata, ayat ini turun mengenai seorang laki-laki sahabat Anshar, ia mempunyai seorang anak hitam yang bernama Shubaih. Dia memaksanya masuk Islam.
As-Suddiy berkata, ayat ini turun mengenai seorang laki-laki dari sahabat Anshar yang dijuluki Abu al-Hushain. Ia mempunyai dua orang anak. Para saudagar dari Syiria datang ke Madinah dengan membawa barang dagangan, mentega. Ketika hendak kembali pulang dari Madinah, dua orang anak Abu al-Hushain datang pada mereka, lalu mereka mengajaknya masuk agama Nasrani, lalu kedua anak  itu menjadi Nasrani dan ikut mereka pergi ke Syiria. Abu al-Hushain memberitahukan hal itu kepada Rasulullah, kemudian beliau bersabda, “carilah keduanya”, lalu Allah menurunkan ayat: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)”.
Masruq berkata, bahwa seorang laki-laki dari sahabat Anshar dan Bani Salamah bin Auf mempunyai dua orang putra. Keduanya beragama Nasrani, kemudian keduanya datang ke Madinah  bersama sekelompok orang-orang Nasrani dengan membawa makanan. Mengetahui anaknya datang ke Madinah, orang tuanya datang menemuinya dan berkata, “Demi Allah aku tidak akan membiarkan kamu berdua sampai kamu berdua masuk Islam”. Tetapi keduanya menolak dan tidak mau masuk Islam. Mereka mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, apakah sebagian dari belahan jiwaku (anakku) masuk neraka, sedang aku melihatnya.” Lalu Allah menurunkan Q.S Al-Baqarah (2) ayat 256. Lalu ia berlepas tangan membiarkan keduanya menempuh jalannya.[3]
  1. Pelajaran Ayat
a.    Tidak ada paksaan bagi seseorang untuk memeluk agama Islam, karena telah jelas yang mana petunjuk dan yang mana kesesatan. Dari firman Allah ini juga menjelaskan bahwa tidak boleh bagi seseorang untuk memaksa seseorang memeluk agama islam. As-Sunnah telah menjelaskan tentang cara bermuamalah dengan orang-orang kafir, yaitu dengan medakwahkan Islam kepada mereka, jika mereka enggan maka wajib atas mereka untuk membayar jizyah, dan jika mereka tidak mau kita perangi mereka.
b.    Sesungguhnya hanya ada dua pilihan yaitu petunjuk atau kesesatan, karena seandainya ada yang ketiga maka Allah Ta’ala akan menyebutkannya, karena kedudukannya di sini adalah pembatasan, dan yang manunjukan hal tersebut adalah firman Allah.
c.    Sesungguhnya tidak akan sempurna keikhlasan seseorang kepada Allah kecuali dengan menolak semua bentuk kesyirikan.
d.   Sesungguhnya amal perbuatan bertingkat-tingkat, ini ditunjukan dari kata yang menandakan adanya tingkatan, adanya keutamaan pada sesuatu menghendaki adanya sesuatu yang lebih utama dan adanya sesuatu yang lebih rendah keutamaan darinya. Tidak diragukan lagi bahwasanya amal perbuatan itu bertingkat-tingkat. Kata-kata Lebih baik adalah kata yang menunjukan tingkatan. Ini menunjukan adanya tingkatan keutamaan amal di dalam kebaikan atau kebagusannya. Dan (dalam sebuah hadist Rasulullah shallallohu 'alaihi wa sallam ditanya, (أي العمل أحب إلى الله قال: الصلاة على وقتها): Amal apa yang paling Allah cintai?, beliau menjawab: Sholat pada waktunya. Dan di dalam sebuah hadist al-Qudsi Allah Subhanahu wata’ala berfirman, yang artinya: Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih aku cintai daripada apa yang telah aku wajibkan kepadanya (HR. Bukhari: 6502). Adanya tingkatan amal perbuatan mengharuskan adanya tingkatan orang yang beramal tersebut. Semakin utama amal perbuatan yang dilakukan seseorang maka semakin utama dan mulia orang tersebut.

B.     Kode Etik Dakwah dalam Q.S Yunus ayat 99
وَلَوۡ شَآءَ رَبُّكَ لَأٓمَنَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ كُلُّهُمۡ جَمِيعًاۚ أَفَأَنتَ تُكۡرِهُ ٱلنَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُواْ مُؤۡمِنِينَ )٩٩(
Terjemahan:
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya (Q.S Yunus: 99)
  1. Pokok Kandungan Ayat
Ayat berikutnya menjelaskan hikmah allah tentang hikmah menyerahkan masalah iman kepada manusia, agar iman mereka tumbuh berdasarkan keridhaan dan pilihan, bukan paksaan. Sekiranya allah menghendaki, niscaya ia akan memaksa semua orang beriman, tunduk dan patuh. Sekiranya allah menghendaki, tak kan ada orang yang ingkar dan kufur tapi hal ini menafikan hikmah ilahy yang azzali, yang karnanya allah menciptakan makhluk dan alam, sehingga atas dasar itu ada pahala dan siksa, syurga dan neraka.[4]
Ayat ini secara jelas menyerahkan masalah iman kepada piluhan manusia. Inilah yang di sebut ulama dengan istilah al-juz’ul-ikhtiyaary, yang karenanya ada pahala dan siksa. Tidaklah kalian berkehendak, melainkan allah juga berkehendak. Allah mempunyai hak penciptaan dan hamba mempunyai hak perbuatan.
Allah berfirman: walau syaa-a rabbuka, yang artinya: “Jikalau Rabbmu menghendaki”. Maksudnya, jika Allah telah berkehendak niscaya Allah mengizinkan penduduk bumi semuanya untuk beriman kepada apa yang kamu bawa kepada mereka, lalu mereka beriman semuanya. Akan tetapi Allah mempunyai hikmah dalam apa yang dilakukan-Nya.
Untuk itu, Allah Ta’ala berfirman: afa anta tukriHun naasa: “Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia?”. Maksudnya, kamu mewajibkan dan memaksa mereka hattaa yakuunuu mu’miniin: “Supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”. Maksudnya, hal itu bukan tugasmu dan tidak dibebankan atasmu, akan tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Allah adalah yang Mahaadil dalam segala sesuatu, dalam memberi petunjuk kepada siapa yang berhak ditunjuki dan menyesatkan siapa yang patut disesatkan.
  1. Pelajaran yang dapat di petik
a.       Iman kepada Allah berdasarkan pilihan memiliki nilai setelah sebelumnya mengadakan pengkajian dan perenungan, bukan semata-mata berdasarkan pemaksaan. Karena iman yang sedemikian ini bukanlah iman yang sebenarnya.
b.      Nabi Muhammad Saw dalam rangka memberi petunjuk dan hidayah kepada manusia, atas dasar keprihatinan dan kecemasan beliau. Karena itu Allah Swt menenangkan Nabi-Nya tersebut.

C.    Kode Etik Dakwah dalam Q.S Al-Kahfi ayat 29
وَقُلِ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكُمۡۖ فَمَن شَآءَ فَلۡيُؤۡمِن وَمَن شَآءَ فَلۡيَكۡفُرۡۚ إِنَّآ أَعۡتَدۡنَا لِلظَّٰلِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمۡ سُرَادِقُهَاۚ وَإِن يَسۡتَغِيثُواْ يُغَاثُواْ بِمَآءٖ كَٱلۡمُهۡلِ يَشۡوِي ٱلۡوُجُوهَۚ بِئۡسَ ٱلشَّرَابُ وَسَآءَتۡ مُرۡتَفَقًا )٢٩(
Terjemahan:
Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek (Q.S Al-Kahfi: 29)
  1. Pokok Kandungan Ayat
وَقُلِ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكُمۡ artinya adalah “Dan katakanlah: Kebenaran adalah dari Tuhanmu”. Maksudnya, kebenaran datang dai Tuhan, bukan dari aku bukan dari kamu. Kebenaran adalah diatas dari kita semua. Dalam menghadapi kebenaran itu tidaklah berbeda diantara orang kaya dengan orang yang miskin, atau orang yang kuat dengan orang yang lemah. “Sebab itu maka barangsiapa yang mau beriman, berimanlah.” Kalau dia merasa bahwa yang benar memang besar, disetujui oleh hati sendiri, kalu mau berimanlah. “Dan barang siapa yang mau, maka kafirlah”. Sebab kamu sendiri telah diberi akal. Engkau sendiri dapatlah menimbang dan mengunci kebenaran itu. Jika kamu beriman, selamatlah kamu. Karena telah menurut suara dari akalmu sendiri. Dan jika kamu mau kafir, yang akan menanggung kekafiran itu bukanlah orang lain, melainkan diri sendiri juga.[5]
Sesungguhnya Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang zalim itu api neraka; yang akan mengepung kepada mereka pagar-pagarnya”. Orang yang kafir adalah orang yang zalim, orang yang aniaya. Karena ia telah melawan kebenaran, padahal kebenaran dari Tuhan. Dan dia melawan akal murni nya sendiri. Dia zalim: artinya menganiaya dirinya sendiri. Niscaya nerakalah tempatnya, sebab dia sendiri yang memilih jalan kesana, dan mereka terkepung akan terkepung didalam sana. Mereka tidak bisa keluar, sebab pagarnya kokoh. “Dan jika mereka minta minum,akan diberi minum mereka dengan air yang seperti logam cair, yang menghanguskan muka mereka”. Sebab itu, tidaklah mereka akan terlepas dari kehausan, melainkan kian diminum kian sengsara, muka hangus dibakar oleh panasnya api neraka dan panasnya minuman yang laksana logam cair itu: “Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”.
Begitulah akhir kesudahan atau akibat dari orang-orang yang sombong itu, yang merasa kedudukannya yang sekarang terlalu tinggi, lalu menolak kebenaran yang datang dari Tuhan, karena merasa hina akan disamakan dengan manusia yang mereka anggap hina dan rendah. Tetapi sebaliknya orang-orang yang mereka rendahkan itu, padahal hidup mereka telah dipenuhi oleh ingat akan Tuhan, orang yang jiwanya telah dilatih dengan kepercayaan.[6]
Adapun menurut mufasir yang lain mengenai kandungan ayat ini adalah وَقُلِ (dan katakanlah) kepadanya dan kepada teman-temannya bahwa Al-Quran ini. الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ (adalah benar datang dari Rab kalian; maka barang siapa yang ingin beriman, dan barang siapayang ingin kafir, biarlah ia kafir) kalimat ayat ini merupakan ancaman buat mereka. إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ (sesungguhnya kami telah sediakan bagi orang-orang zhalim itu) yaitu bagi orang-orang kafir. نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا (neraka, yang gejolaknya mengepung mereka) yang melahap apa saja yang dikepungnya. وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ  (dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih) sepertiminyak yang mendidih. يَشْوِي الْوُجُوهَ (yang menghanguskan muka) karna panasnya, jika seseorang mendekat kepadanya. بِئْسَ الشَّرَابُ (seburuk-buruk minuman) adalah minuman itu. وَسَاءَتْ (dan ia adalah sejelk-jelek) yakni neraka itu. مُرْتَفَقًا (tempat istirahat) lafazd murtakvaqan sebagai lawan makna yang telah disebut didalam ayat yang lain sehubungan dengan gambaran syurga.[7] 
  1. Asbabun Nuzul
Sahabat Ibnu Abbas r.a. mengatakan, “Ayat di atas diturunkan berkenaan dengan Umayah ibnu Khalaf Al Jumahiy. Demikian itu karena Umayah menganjurkan supaya Nabi saw. mengerjakan suatu perbuatan yang tidak disukai oleh Nabi sendiri, yaitu mengusir orang-orang miskin yang menjadi pengikutnya dari sisinya, demi untuk mendekatkan akan pemimpin-pemimpin Mekah kepada dirinya. Setelah peristiwa itu, turunlah ayat di atas tadi.”
Ibnu Abu Hatim mengetengahkan sebuah hadis melalui Ar Rabi’ yang menceritakan, bahwa Nabi saw. pernah bercerita kepada kami bahwa pada suatu hari beliau bertemu dengan Umayah ibnu Khalaf yang membujuknya, sedangkan Nabi saw. pada saat itu dalam keadaan tidak memperhatikan apa yang dimaksud oleh Umayah; maka turunlah ayat di atas tadi. Ibnu Abu Hatim mengetengahkan pula hadis lain melalui sahabat Abu Hurairah r.a. yang menceritakan, bahwa pada suatu hari Uyainah ibnu Hishn datang kepada Nabi saw. sedang sahabat Salman berada di sisinya. Maka Uyainah langsung berkata, “Jika kami datang maka singkirkanlah orang ini, kemudian persilakanlah kami masuk”. Maka turunlah ayat di atas.

D.    Kode Etik Dakwah dalam Q.S Al-Ghasyiyah ayat 21-23
فَذَكِّرۡ إِنَّمَآ أَنتَ مُذَكِّرٞ )٢١(  لَّسۡتَ عَلَيۡهِم بِمُصَيۡطِرٍ )٢٢( إِلَّا مَن تَوَلَّىٰ وَكَفَرَ )٢٣(


Terjemahan:
(21) Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. (22) Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. (23) Tetapi orang yang berpaling dan kafir.
  1. Pokok Kandungan Ayat
Ayat 21: Berilah peringatan! Kembalikan ingatannya! Dzakkir berasal dari kata dzakkara, artinya 'mengingatkan, menegur'. Ingatkan mereka bahwa mereka berasal dari Allah. Ingatkan mereka dari mana mereka sebelumnya. Mereka disembunyikan oleh Allah di alam gaib. Sekarang kita masing-masing berada di alam nyata, tapi akan dikembalikan ke alam gaib, dan pada saat itu kita akan melihat.
Mengingatkan berarti meminta perhatian terhadap apa yang telah kita ketahui. Pengetahuan sudah ada dalam fitrah (sifat bawaan), dalam hati. Nabi saw. hanyalah pemberi peringatan, beliau di sini hanya untuk merefleksikan dan menggemakan kebenaran setiap orang.
Ayat 22: (Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka) menurut suatu qiraat lafal Mushaithirin dibaca Musaithirin yakni dengan memakai huruf Sin bukan Shad, artinya menguasai mereka. Ayat ini diturunkan sebelum ada perintah berjihad. Nabi tidak berkuasa atas siapa pun. Beliau tidak dapat menanamkan iman (keyakinan, kepercayaan) ke dalam hati mereka. Bahkan nabi Luth mempunyai seorang istri yang tidak bisa ditolongnya. Kita akan mengetahui kita yang mempunyai orang tua, teman dan istri bahwa ternyata kita tidak bisa berbuat apa-apa bagi mereka. Nabi tidak bertanggung jawab atas hasilnya. Beliau adalah seorang pemberi peringatan tentang kebenaran yang ada pada diri manusia.
Ayat 23: (Kecuali) tetapi (orang yang berpaling) dari keimanan (dan kafir) kepada Alquran, artinya ingkar kepadanya. Luth berkata, "Aku memperingatkan mereka pada malam hari, aku memperingatkan mereka sepanjang siang hari, aku memperingatkan mereka secara diam-diam, aku memperingatkan mereka secara terbuka, tapi semuanya sia-sia." Luth memikirkan setiap keadaan dan situasi yang mungkin; ia mencoba memberikan setiap tanda bahasa yang mungkin, dan ternyata tidak berhasil. Maka akhirnya ia berkata, "Tidak apalah; orang yang telah mengambil keimanan sebagai jalannya maka ia selamat, dan keselamatannya sesuai dengan kedalaman imannya, dan itu sesuai dengan kepastiannya. Adapun yang lain, mereka mondar-mandir dalam kerugian."
  1. Pelajaran Ayat
a.       Sebagai seorang muslim kita harus saling mengingatkan dan memberi nasehat tentang apa yang harus di kerjakan dan ditinggalkan.
b.      Mengingatkan dan memberi nasehat tanpa harus memaksa pada apa yang di kehendaki, karena hidayah itu datangnya dari allah.
c.       Setiap pilihan akan selalu ada pertanggung jawabannya baik itu pilihan yang baik maupun pilihan yang tidak baik.











BAB III
PENUTUP

A.  KESIMPULAN
Etika berhubungan dengan soal baik atau buruk, benar atau salah. Dalam melakukan aktifitas dakwah perlu ada aturan yang mengikat agar tidak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan. Aturan tersebut merupakan kode etik yang seharusnya diperhatikan dalam aktifitas dakwah. Kode etik sangat dibutuhkan dalam berbagai bidang, termasuk bidang etika dakwah, dipergunakan untuk membedakan baik dan buruk atau apakah prilaku Da’i bertanggung jawab atau tidak.
Tidak ada paksaan bagi seseorang untuk memeluk agama Islam, karena telah jelas yang mana petunjuk dan yang mana kesesatan. Dari firman Allah ini juga menjelaskan bahwa tidak boleh bagi seseorang untuk memaksa seseorang memeluk agama islam. Iman kepada Allah berdasarkan pilihan memiliki nilai setelah sebelumnya mengadakan pengkajian dan perenungan, bukan semata-mata berdasarkan pemaksaan. Karena iman yang sedemikian ini bukanlah iman yang sebenarnya.

B.  SARAN
1.                           Saran Bagi Penyusun
Sebagai penyusun, kami berharap semoga makalah yang kami buat ini dapat bermanfaat bagi kami, dapat menambah wawasan dan meningkatkan ilmu bagi kami dalam ilmu Tafsir Dakwah.
2.        Saran Bagi Pembaca
Kami juga berharap semoga makalah yang kami buat ini juga bermanfaat bagi para pembaca dan menambah wawasan pembaca. Kami juga berharap jika terdapat banyak kesalahan kami mohon untuk kritikan dan masukannya agar makalah kami kedepannya menjadi lebih baik dan dapat mendekati sempurna.


DAFTAR PUSTAKA

  As-Suyuthi, Jalaluddin dan Jalaluddin Al-Mahally. 1990. Tafsir Jalalain berikut Asbabun Nuzul Ayat (Surat Al-Fatiha s.d Surat Al-An’am). Bandung: Sinar Baru Bandung.
  An-Nisaburi, Al-Wahidi. 2014. Asbabun Nuzul; Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an. Surabaya: Amelia.
  Ash-Shabuny, Muhanad Ali. 2000. Cahaya Al-Qur’an (Tafsir Surat Al-A’Raf – Yunus). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
  Hamka. 1985. Tafsir Al-Azhar. Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd.




[1] Jalaluddin Al-Mahally, Jalaluddin  as-Suyuthi. Tafsir Jallalain berikut Asbaabun Nuzul Ayat (Surat Al-Fatiha s.d Surat Al-An’am). (Bandung, Sinar Baru Bandung, 1990). Hlm: 146.
[2] Al-Wahidi an-Nisaburi, Asbabun Nuzul; Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, (Amelia: Surabaya, 2014). Hlm: 122
[3] Al-Wahidi an-Nisaburi, Asbabun Nuzul; Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, (Amelia: Surabaya, 2014). Hlm: 123
[4] Muhanad ali ash-shabuny, Cahaya Al-Qur’an (Tafsir Surat Al-A’Raf – Yunus).(Jakarta, Pustaka Al-Kautsar,2000). Hlm:393.
[5] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 1985). Hlm: 4190-4191
[6] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 1985). Hlm: 4191
[7]Jalaluddin  Al-Mahally, Jalaluddin as-Suyuthi. Tafsir Jallalain berikut Asbaabun Nuzul Ayat (Surat Al-Kahfi s.d Surat Shad). (Bandung, Sinar Baru Algensindo Bandung ,1995). Cet ke 2. Hlm: 1201.

No comments:

Post a Comment