KODE ETIK DAKWAH
(TIDAK ADA PAKSAAN DALAM AGAMA)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa yang telah memberikan ilmu-Nya Yang Maha luas, serta rahmat, karunia,
taufik dan hidayah yang telah dilimpahkan-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Kode Etik Dakwah (Tidak Ada Paksaan dalam Agama) ini
dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami mengucapkan
terimakasih kepada dosen mata kuliah Tafsir Dakwah Ibu yang
telah memberikan tugas penulisan makalah ini.
Selanjutnya, kami juga menyampaikan banyak
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya dalam proses pembuatan
makalah ini. Kami berharap sekiranya makalah ini bermanfaat untuk menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Kode Etik Dakwah (Tidak Ada Paksaan dalam Agama). Semoga makalah yang
sederhana ini dapat dipahami dan menambah ilmu bagi siapapun yang membacanya.
Terlepas
dari semua itu, kami juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini
terdapat kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya dan
jauh dari kata sempurna. Akhir kata kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan dimasa depan.
Bengkulu, 17 November 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................................................... i
Daftar Isi ...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A Q.S
Al-Baqarah ayat 256 2
B. Q.S
Yunus ayat 99 5
C. Q.S Al-Kahfi ayat 29 ........................................................................ 6
D. Q.S Al-Ghasyiyah ayat 21-23 ........................................................... 9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................ 12
B. Saran ................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Etika
berasal dari kata ethos yaitu untuk suatu kehendak baik yang tetap. Etika
berhubungan dengan soal baik atau buruk, benar atau salah. Dalam melakukan
aktifitas dakwah perlu ada aturan yang mengikat agar tidak terjadi hal-hal yang
tidak di inginkan. Aturan tersebut merupakan kode etik yang seharusnya
diperhatikan dalam aktifitas dakwah.
Kode
etik sangat dibutuhkan dalam berbagai bidang, termasuk bidang etika dakwah,
dipergunakan untuk membedakan baik dan buruk atau apakah prilaku Da’i
bertanggung jawab atau tidak. Salah satun contohnya seperti Q.S Al-Ghasyiah :22
“Kamu
bukanlah orang yang berkuasa atas mereka”, disini juga dijelaskan bahwa seorang
Da’i tidak berkuasa atas siapa pun. Beliau tidak
dapat menanamkan iman (keyakinan, kepercayaan) ke dalam hati mereka. Karena yang dapat melakukan itu hanya Allah semata. Da’i hanya sekedar
mengingatkan dan menasehati tanpa boleh memaksa pada apa
yang di kehendaki. Tujuan utama kode etik adalah memberi pelayanan khusus dalam
masyarakat tanpa mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas permasalahan yang
perlu dibahas adalah:
A.
Bagaimana Kode Etik Dakwah dalam
Q.S Al-Baqarah ayat 256?
B.
Bagaimana Kode Etik Dakwah dalam Q.S Yunus ayat 99?
C.
Bagaimana Kode Etik Dakwah dalam Q.S Al-Kahfi ayat 29?
D.
Bagaimana Kode Etik Dakwah dalam Q.S Al-Ghasyiyah ayat 21-23?
C. Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini, adalah :
A.
Mengetahui
Kode Etik
Dakwah dalam Q.S Al-Baqarah ayat 256
B.
Mengetahui Kode Etik Dakwah dalam Q.S Yunus ayat 99
C.
Mengetahui Kode Etik Dakwah dalam Q.S Al-Kahfi ayat 29
D.
Mengetahui Kode Etik Dakwah dalam Q.S Al-Ghasyiyah ayat 21-23
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kode
Etik Dakwah dalam Q.S Al-Baqarah ayat 256
لَآ
إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَيِّۚ فَمَن يَكۡفُرۡ
بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ
لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ )٢٥٦(
Terjemahan:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Q.S
Al-Baqarah: 256)
- Pokok Kandungan Ayat
لَا إِكْرَاهَ فِي
الدِّينِ (Tidak ada paksaan dalam agama) maksudnya
untuk memasukinya.قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ
الْغَيِّ (sesungguhnya telah
nyata jalan yang benar dan jalan yang salah) artinya telah jelas dengan adanya
bukti-bukti dan keterangan-keteranagn yang kuat, bahwa keimanan itu berarrti
kebenaran dan kekafiran itu kesesatan. Ayat ini turun mengenai seorang anshar
yang mempunyai anak-anak yang hendak ia paksakan masuk islam.
فَمَنْ
يَكْفُرْ بِالطَّاغُوت (
maka barang siapa yang ingkat kepada taghut) maksudnya setan atau berhala,
dipakai untuk tunggal dan jamak. وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ
فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ (dan dia beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada simpul tali yang teguh kuat) ikatan tali
yang kukuh. لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ (yang tidak akan putus-putus, dan Allah maha
mendengar) akan segala ucapan. عَلِيمٌ
(maha mengetahui) segala perbuatan.[1]
- Asbabun Nuzul
Muhammad
bin Musa bin al-Fadhl memberitahu kami, Muhammad bin Ya’qub memberitahu kami,
dari Syu’bah, dari Abi Bisyr, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, mengenai
firman Allah SWT, ia berkata, Pernah ada seorang wanita dari kalangan kaum
wanita Anshar, setiap anak yang dilahirkannya tidak ada yang hidup. Lalu ia bersumpah, jika
anaknya hidup, ia akan menjadikannya Yahudi. Ketika Bani Nadhir diusir dari
Madinah, ternyata diantara mereka terdapat pula anak-anak kaum Anshar. Maka
sahabat Anshar berkata, “wahai Rasulullah, anak-anak kami?!”. Lalu Allah
menurunkan ayat: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)”.[2]
Mujahid
berkata, ayat ini turun mengenai seorang laki-laki sahabat Anshar, ia mempunyai
seorang anak hitam yang bernama Shubaih. Dia memaksanya masuk Islam.
As-Suddiy
berkata, ayat ini turun mengenai seorang laki-laki dari sahabat Anshar yang
dijuluki Abu al-Hushain. Ia mempunyai dua orang anak. Para saudagar dari Syiria
datang ke Madinah dengan membawa barang dagangan, mentega. Ketika hendak
kembali pulang dari Madinah, dua orang anak Abu al-Hushain datang pada mereka,
lalu mereka mengajaknya masuk agama Nasrani, lalu kedua anak itu menjadi Nasrani dan ikut mereka pergi ke
Syiria. Abu al-Hushain memberitahukan hal itu kepada Rasulullah, kemudian
beliau bersabda, “carilah keduanya”, lalu Allah menurunkan ayat: “Tidak ada
paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)”.
Masruq
berkata, bahwa seorang laki-laki dari sahabat Anshar dan Bani Salamah bin Auf
mempunyai dua orang putra. Keduanya beragama Nasrani, kemudian keduanya datang
ke Madinah bersama sekelompok orang-orang
Nasrani dengan membawa makanan. Mengetahui anaknya datang ke Madinah, orang
tuanya datang menemuinya dan berkata, “Demi Allah aku tidak akan membiarkan
kamu berdua sampai kamu berdua masuk Islam”. Tetapi keduanya menolak dan tidak
mau masuk Islam. Mereka mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah dan berkata,
“Wahai Rasulullah, apakah sebagian dari belahan jiwaku (anakku) masuk neraka,
sedang aku melihatnya.” Lalu Allah menurunkan Q.S Al-Baqarah (2) ayat 256. Lalu
ia berlepas tangan membiarkan keduanya menempuh jalannya.[3]
- Pelajaran Ayat
a.
Tidak ada paksaan bagi seseorang untuk memeluk agama
Islam, karena telah jelas yang mana petunjuk dan yang mana kesesatan. Dari firman Allah ini juga
menjelaskan bahwa tidak boleh bagi seseorang untuk memaksa seseorang memeluk
agama islam. As-Sunnah
telah menjelaskan tentang cara bermuamalah dengan orang-orang kafir, yaitu
dengan medakwahkan Islam kepada mereka, jika mereka enggan maka wajib atas
mereka untuk membayar jizyah, dan jika mereka tidak mau kita perangi mereka.
b.
Sesungguhnya hanya ada dua pilihan yaitu petunjuk
atau kesesatan, karena seandainya ada yang ketiga maka Allah Ta’ala akan
menyebutkannya, karena kedudukannya di sini adalah pembatasan, dan yang
manunjukan hal tersebut adalah firman Allah.
c.
Sesungguhnya tidak akan sempurna keikhlasan
seseorang kepada Allah kecuali dengan menolak semua bentuk kesyirikan.
d.
Sesungguhnya amal perbuatan bertingkat-tingkat, ini
ditunjukan dari kata yang menandakan adanya tingkatan, adanya
keutamaan pada sesuatu menghendaki adanya sesuatu yang lebih utama dan adanya
sesuatu yang lebih rendah keutamaan darinya. Tidak diragukan lagi bahwasanya
amal perbuatan itu bertingkat-tingkat. Kata-kata Lebih baik adalah kata yang menunjukan
tingkatan. Ini menunjukan adanya tingkatan keutamaan amal di dalam kebaikan
atau kebagusannya. Dan (dalam sebuah hadist Rasulullah shallallohu 'alaihi
wa sallam ditanya,
(أي العمل أحب إلى الله قال: الصلاة على وقتها): Amal apa yang paling Allah
cintai?, beliau menjawab: Sholat pada waktunya. Dan di dalam sebuah hadist
al-Qudsi Allah Subhanahu wata’ala berfirman, yang artinya: Tidaklah seorang hamba
mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih aku cintai daripada apa
yang telah aku wajibkan kepadanya
(HR. Bukhari: 6502). Adanya tingkatan amal perbuatan mengharuskan adanya
tingkatan orang yang beramal tersebut. Semakin utama amal perbuatan yang
dilakukan seseorang maka semakin utama dan mulia orang tersebut.
B. Kode
Etik Dakwah dalam Q.S Yunus ayat 99
وَلَوۡ
شَآءَ رَبُّكَ لَأٓمَنَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ كُلُّهُمۡ جَمِيعًاۚ أَفَأَنتَ
تُكۡرِهُ ٱلنَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُواْ مُؤۡمِنِينَ )٩٩(
Terjemahan:
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki,
tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak)
memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya (Q.S
Yunus: 99)
- Pokok Kandungan Ayat
Ayat berikutnya menjelaskan hikmah allah tentang
hikmah menyerahkan masalah iman kepada manusia, agar iman mereka tumbuh
berdasarkan keridhaan dan pilihan, bukan paksaan. Sekiranya allah menghendaki,
niscaya ia akan memaksa semua orang beriman, tunduk dan patuh. Sekiranya allah
menghendaki, tak kan ada orang yang ingkar dan kufur tapi hal ini menafikan
hikmah ilahy yang azzali, yang karnanya allah menciptakan makhluk dan alam,
sehingga atas dasar itu ada pahala dan siksa, syurga dan neraka.[4]
Ayat ini secara jelas menyerahkan masalah iman
kepada piluhan manusia. Inilah yang di sebut ulama dengan istilah
al-juz’ul-ikhtiyaary, yang karenanya ada pahala dan siksa. Tidaklah kalian
berkehendak, melainkan allah juga berkehendak. Allah mempunyai hak penciptaan
dan hamba mempunyai hak perbuatan.
Allah berfirman: walau
syaa-a rabbuka, yang
artinya: “Jikalau Rabbmu menghendaki”. Maksudnya, jika Allah telah berkehendak niscaya Allah
mengizinkan penduduk bumi semuanya untuk beriman kepada apa yang kamu bawa
kepada mereka, lalu mereka beriman semuanya. Akan tetapi
Allah mempunyai hikmah dalam apa yang dilakukan-Nya.
Untuk itu, Allah Ta’ala berfirman: afa anta
tukriHun naasa: “Maka
apakah kamu (hendak) memaksa manusia?”. Maksudnya, kamu mewajibkan dan
memaksa mereka hattaa
yakuunuu mu’miniin: “Supaya
mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”. Maksudnya, hal itu bukan tugasmu dan
tidak dibebankan atasmu, akan tetapi Allah menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Allah adalah yang Mahaadil dalam segala
sesuatu, dalam memberi petunjuk kepada siapa yang berhak ditunjuki dan
menyesatkan siapa yang patut disesatkan.
- Pelajaran yang
dapat di petik
a.
Iman kepada
Allah berdasarkan pilihan memiliki nilai setelah sebelumnya mengadakan
pengkajian dan perenungan, bukan semata-mata berdasarkan pemaksaan. Karena iman
yang sedemikian ini bukanlah iman yang sebenarnya.
b.
Nabi Muhammad Saw
dalam rangka memberi petunjuk dan hidayah kepada manusia, atas dasar
keprihatinan dan kecemasan beliau. Karena itu Allah Swt menenangkan Nabi-Nya
tersebut.
C. Kode
Etik Dakwah dalam Q.S Al-Kahfi ayat 29
وَقُلِ
ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكُمۡۖ فَمَن شَآءَ فَلۡيُؤۡمِن وَمَن شَآءَ فَلۡيَكۡفُرۡۚ
إِنَّآ أَعۡتَدۡنَا لِلظَّٰلِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمۡ سُرَادِقُهَاۚ وَإِن
يَسۡتَغِيثُواْ يُغَاثُواْ بِمَآءٖ كَٱلۡمُهۡلِ يَشۡوِي ٱلۡوُجُوهَۚ بِئۡسَ ٱلشَّرَابُ
وَسَآءَتۡ مُرۡتَفَقًا )٢٩(
Terjemahan:
Dan katakanlah: "Kebenaran itu
datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia
beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir".
Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang
gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan
diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka.
Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek (Q.S
Al-Kahfi: 29)
- Pokok Kandungan Ayat
وَقُلِ
ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكُمۡ artinya adalah “Dan katakanlah: Kebenaran adalah dari
Tuhanmu”. Maksudnya, kebenaran datang dai Tuhan, bukan dari aku bukan dari
kamu. Kebenaran
adalah diatas dari kita semua. Dalam menghadapi kebenaran itu tidaklah berbeda
diantara orang kaya dengan orang yang miskin, atau orang yang kuat dengan orang
yang lemah. “Sebab itu maka barangsiapa yang mau beriman,
berimanlah.” Kalau dia merasa bahwa yang benar memang besar, disetujui oleh
hati sendiri, kalu mau berimanlah. “Dan
barang siapa yang mau, maka kafirlah”. Sebab kamu sendiri telah diberi
akal. Engkau sendiri dapatlah menimbang dan mengunci kebenaran itu. Jika kamu
beriman, selamatlah kamu. Karena telah menurut suara dari akalmu sendiri. Dan
jika kamu mau kafir, yang akan menanggung kekafiran itu bukanlah orang lain,
melainkan diri sendiri juga.[5]
“Sesungguhnya Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang zalim itu api neraka; yang akan mengepung kepada mereka
pagar-pagarnya”. Orang yang kafir adalah orang yang zalim, orang yang
aniaya. Karena ia telah melawan kebenaran, padahal kebenaran dari Tuhan. Dan
dia melawan akal murni nya sendiri. Dia zalim: artinya menganiaya dirinya
sendiri. Niscaya nerakalah tempatnya, sebab dia sendiri yang memilih jalan
kesana, dan mereka terkepung akan terkepung didalam sana. Mereka tidak bisa
keluar, sebab pagarnya kokoh. “Dan jika
mereka minta minum,akan diberi minum mereka dengan air yang seperti logam cair,
yang menghanguskan muka mereka”. Sebab itu, tidaklah mereka akan terlepas
dari kehausan, melainkan kian diminum kian sengsara, muka hangus dibakar oleh
panasnya api neraka dan panasnya minuman yang laksana logam cair itu: “Itulah minuman yang paling buruk dan tempat
istirahat yang paling jelek”.
Begitulah
akhir kesudahan atau akibat dari orang-orang yang sombong itu, yang merasa
kedudukannya yang sekarang terlalu tinggi, lalu menolak kebenaran yang datang
dari Tuhan, karena merasa hina akan disamakan dengan manusia yang mereka anggap
hina dan rendah. Tetapi sebaliknya orang-orang yang mereka rendahkan itu,
padahal hidup mereka telah dipenuhi oleh ingat akan Tuhan, orang yang jiwanya
telah dilatih dengan kepercayaan.[6]
Adapun menurut mufasir yang lain mengenai kandungan ayat
ini adalah وَقُلِ (dan katakanlah) kepadanya dan kepada teman-temannya
bahwa Al-Quran ini. الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ (adalah benar datang dari Rab kalian; maka barang siapa
yang ingin beriman, dan barang siapayang ingin kafir, biarlah ia kafir) kalimat
ayat ini merupakan ancaman buat mereka. إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ (sesungguhnya kami telah sediakan bagi orang-orang
zhalim itu) yaitu bagi orang-orang kafir. نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا (neraka, yang gejolaknya mengepung mereka) yang melahap
apa saja yang dikepungnya. وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ (dan jika mereka
meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang
mendidih) sepertiminyak yang mendidih. يَشْوِي الْوُجُوهَ (yang menghanguskan muka) karna panasnya, jika seseorang
mendekat kepadanya. بِئْسَ الشَّرَابُ (seburuk-buruk minuman) adalah minuman itu. وَسَاءَتْ (dan ia adalah sejelk-jelek) yakni neraka itu. مُرْتَفَقًا (tempat istirahat) lafazd murtakvaqan sebagai lawan
makna yang telah disebut didalam ayat yang lain sehubungan dengan gambaran
syurga.[7]
- Asbabun Nuzul
Sahabat Ibnu Abbas r.a. mengatakan, “Ayat di atas diturunkan berkenaan
dengan Umayah ibnu Khalaf Al Jumahiy. Demikian itu karena Umayah menganjurkan
supaya Nabi saw. mengerjakan suatu perbuatan yang tidak disukai oleh Nabi
sendiri, yaitu mengusir orang-orang miskin yang menjadi pengikutnya dari
sisinya, demi untuk mendekatkan akan pemimpin-pemimpin Mekah kepada dirinya.
Setelah peristiwa itu, turunlah ayat di atas tadi.”
Ibnu Abu Hatim mengetengahkan sebuah hadis melalui Ar Rabi’ yang
menceritakan, bahwa Nabi saw. pernah bercerita kepada kami bahwa pada suatu
hari beliau bertemu dengan Umayah ibnu Khalaf yang membujuknya, sedangkan Nabi
saw. pada saat itu dalam keadaan tidak memperhatikan apa yang dimaksud oleh
Umayah; maka turunlah ayat di atas tadi. Ibnu Abu Hatim mengetengahkan pula
hadis lain melalui sahabat Abu Hurairah r.a. yang menceritakan, bahwa pada
suatu hari Uyainah ibnu Hishn datang kepada Nabi saw. sedang sahabat Salman
berada di sisinya. Maka Uyainah langsung berkata, “Jika kami datang maka
singkirkanlah orang ini, kemudian persilakanlah kami masuk”. Maka turunlah ayat
di atas.
D.
Kode Etik Dakwah dalam Q.S
Al-Ghasyiyah ayat 21-23
فَذَكِّرۡ
إِنَّمَآ أَنتَ مُذَكِّرٞ )٢١(
لَّسۡتَ عَلَيۡهِم بِمُصَيۡطِرٍ )٢٢( إِلَّا مَن تَوَلَّىٰ
وَكَفَرَ )٢٣(
Terjemahan:
(21) Maka berilah
peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. (22) Kamu bukanlah
orang yang berkuasa atas mereka. (23) Tetapi orang yang
berpaling dan kafir.
- Pokok Kandungan Ayat
Ayat 21: Berilah peringatan! Kembalikan ingatannya! Dzakkir berasal
dari kata dzakkara, artinya 'mengingatkan, menegur'. Ingatkan mereka
bahwa mereka berasal dari Allah. Ingatkan mereka dari mana mereka sebelumnya.
Mereka disembunyikan oleh Allah di alam gaib. Sekarang kita masing-masing
berada di alam nyata, tapi akan dikembalikan ke alam gaib, dan pada saat itu
kita akan melihat.
Mengingatkan
berarti meminta perhatian terhadap apa yang telah kita ketahui. Pengetahuan
sudah ada dalam fitrah (sifat bawaan), dalam hati. Nabi saw. hanyalah pemberi
peringatan, beliau di sini hanya untuk merefleksikan dan menggemakan kebenaran
setiap orang.
Ayat 22: (Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka)
menurut suatu qiraat lafal Mushaithirin dibaca Musaithirin yakni dengan memakai
huruf Sin bukan Shad, artinya menguasai mereka. Ayat ini
diturunkan sebelum ada perintah berjihad. Nabi tidak
berkuasa atas siapa pun. Beliau tidak dapat menanamkan iman (keyakinan,
kepercayaan) ke dalam hati mereka. Bahkan nabi Luth mempunyai seorang istri
yang tidak bisa ditolongnya. Kita akan mengetahui kita yang mempunyai orang tua, teman
dan istri bahwa ternyata kita tidak bisa berbuat apa-apa bagi mereka. Nabi
tidak bertanggung jawab atas hasilnya. Beliau adalah seorang pemberi peringatan
tentang kebenaran yang ada pada diri manusia.
Ayat 23: (Kecuali) tetapi (orang yang
berpaling) dari keimanan (dan kafir) kepada Alquran, artinya ingkar kepadanya. Luth berkata, "Aku memperingatkan mereka pada
malam hari, aku memperingatkan mereka sepanjang siang hari, aku memperingatkan
mereka secara diam-diam, aku memperingatkan mereka secara terbuka, tapi semuanya
sia-sia." Luth memikirkan setiap keadaan dan situasi yang mungkin; ia
mencoba memberikan setiap tanda bahasa yang mungkin, dan ternyata tidak
berhasil. Maka akhirnya ia berkata, "Tidak apalah; orang yang telah
mengambil keimanan sebagai jalannya maka ia selamat, dan keselamatannya sesuai
dengan kedalaman imannya, dan itu sesuai dengan kepastiannya. Adapun yang lain,
mereka mondar-mandir dalam kerugian."
- Pelajaran Ayat
a. Sebagai seorang
muslim kita harus saling mengingatkan dan memberi nasehat tentang apa yang
harus di kerjakan dan ditinggalkan.
b. Mengingatkan dan
memberi nasehat tanpa harus memaksa pada apa yang di kehendaki, karena hidayah
itu datangnya dari allah.
c. Setiap pilihan akan
selalu ada pertanggung jawabannya baik itu pilihan yang baik maupun pilihan
yang tidak baik.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Etika
berhubungan dengan soal baik atau buruk, benar atau salah. Dalam melakukan
aktifitas dakwah perlu ada aturan yang mengikat agar tidak terjadi hal-hal yang
tidak di inginkan. Aturan tersebut merupakan kode etik yang seharusnya
diperhatikan dalam aktifitas dakwah. Kode etik sangat dibutuhkan dalam berbagai
bidang, termasuk bidang etika dakwah, dipergunakan untuk membedakan baik dan
buruk atau apakah prilaku Da’i bertanggung jawab atau tidak.
Tidak
ada paksaan bagi seseorang untuk memeluk agama Islam, karena telah jelas yang
mana petunjuk dan yang mana kesesatan. Dari
firman Allah ini juga menjelaskan bahwa tidak boleh bagi seseorang untuk
memaksa seseorang memeluk agama islam. Iman
kepada Allah berdasarkan pilihan memiliki nilai setelah sebelumnya mengadakan
pengkajian dan perenungan, bukan semata-mata berdasarkan pemaksaan. Karena iman
yang sedemikian ini bukanlah iman yang sebenarnya.
B.
SARAN
1.
Saran Bagi Penyusun
Sebagai penyusun, kami
berharap semoga makalah yang kami buat ini dapat bermanfaat bagi kami, dapat
menambah wawasan dan meningkatkan ilmu bagi kami dalam ilmu Tafsir Dakwah.
2.
Saran Bagi Pembaca
Kami juga berharap
semoga makalah yang kami buat ini juga bermanfaat bagi para pembaca dan
menambah wawasan pembaca. Kami juga berharap jika terdapat banyak kesalahan
kami mohon untuk kritikan dan masukannya agar makalah kami kedepannya menjadi
lebih baik dan dapat mendekati sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
As-Suyuthi,
Jalaluddin dan Jalaluddin Al-Mahally. 1990. Tafsir
Jalalain berikut Asbabun Nuzul Ayat (Surat Al-Fatiha s.d Surat Al-An’am).
Bandung:
Sinar Baru Bandung.
An-Nisaburi,
Al-Wahidi. 2014. Asbabun
Nuzul; Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an. Surabaya: Amelia.
Ash-Shabuny,
Muhanad
Ali. 2000. Cahaya
Al-Qur’an (Tafsir Surat Al-A’Raf – Yunus). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Hamka. 1985. Tafsir
Al-Azhar. Singapura: Pustaka
Nasional Pte Ltd.
[1] Jalaluddin Al-Mahally, Jalaluddin as-Suyuthi. Tafsir Jallalain berikut Asbaabun Nuzul Ayat (Surat Al-Fatiha s.d Surat
Al-An’am). (Bandung,
Sinar Baru Bandung, 1990). Hlm: 146.
[2] Al-Wahidi an-Nisaburi, Asbabun Nuzul; Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an,
(Amelia: Surabaya, 2014). Hlm: 122
[3] Al-Wahidi an-Nisaburi, Asbabun Nuzul; Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an,
(Amelia: Surabaya, 2014). Hlm: 123
[4] Muhanad ali ash-shabuny, Cahaya
Al-Qur’an (Tafsir Surat Al-A’Raf – Yunus).(Jakarta, Pustaka Al-Kautsar,2000). Hlm:393.
[5] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 1985). Hlm:
4190-4191
[6] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 1985). Hlm:
4191
[7]Jalaluddin Al-Mahally, Jalaluddin as-Suyuthi. Tafsir Jallalain berikut Asbaabun Nuzul Ayat (Surat Al-Kahfi s.d Surat
Shad). (Bandung,
Sinar Baru Algensindo Bandung ,1995). Cet ke 2. Hlm: 1201.
No comments:
Post a Comment