FENOMENA TASYRI PADA MASA SAHABAT KECIL DAN TABIIN SERTA
BERBAGAI FAKTOR SOSIAL YANG MELATAR BELAKANGINYA
A. Pendahuluan
Tarikh
al-tasyri' menurut Muhammad Ali
al-sayis adalah : "Ilmu
yang membahas keadaan hukum Islam pada masa kerasulan (Rasulullah SAW masih
hidup) dan sesudahnya dengan periodisasi munculnya hukum serta hal-hal yang
berkaitan dengannya, (membahas) ciri-ciri spesifikasi keadaan fuqaha’ dan mujtahid dalam merumuskan
hukum-hukum tersebut”.
Menurut Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, tasyri' adalah pembentukan dan
penetapan perundang-undangan yang mengatur hukum perbuatan orang mukallaf dan
hal-hal yang terjadi tentang berbagai keputusan serta peristiwa yang terjadi
dikalangan mereka. Jika pembentukan undang-undang ini sumbernya dari Allah
dengan perantaraan Rasul dan kitab-kitabnya, maka hal itu dinamakan
perundang-undangan Allah (at-Tasyri'ul Ilahiyah). Sedangkan jika
sumbernya datang dari manusia baik secara individual maupun kolektif, maka hal
itu dinamakan perundang-undangan buatan manusia (at-Tasyri'ul Wadh'iyah).
Secara sederhana Tarikh Tasyri'
adalah sejarah penetapan hukum Islam yang dimulai dari zaman Nabi sampai
sekarang.
Berbicara tentang tarikh
tasyri’ tidak akan lepas dari faktor yudikatif, eksekutif dan kondisi
masyarakat, setiap pergantian generasi perkembangan selalu terjadi begitu juga
dengan tarikh tasyri’, ada fenomene-feomena yang menarik dari berkembangnya
tarikh tasyri’ dimulai dari masa Nabi sampai sekarang ini.
Pada masa Nabi tasyri’
langsung diterima dari Al-Rab yang menciptakan sari’at itu sendiri, dan
perkembangan yang dilakukan nabi selalu diawasi oleh allah sendiri, jadi tidak
diragukan lagi tentang kebenarannya, posisi nabi sebagai yudikatif dan
aksekutif selalu menjadi acuan bagi masyarkat arab pada masa itu.
B.
Pembahasan
1. Tasyrik Periode Abu Bakar, Umar Bin
Khatab, Utsman Bin Affan dan Ali Bin Abi
Thalib
Masa khulafaur rasyidin ini sangat
penting dilihat dari perkembangan hukum Islam karena dijadikan model atau
contoh oleh generasi-generasi berikutnya, terutama generasi ahli hukum Islam di
zaman mutakhir ini, tentang cara mereka menemukan dan menerapkan
hukum Islam pada waktu itu
a.
Abu Bakar Shiddiq
Beliau
adalah ahli hukum yang tinggi mutunya. Beliau memerintah dari tahun 632
sampai 634 M. Sebelum masuk Islam, dia terkenal sebagai orang yang jujur dan
disegani. Ikut aktif mengembangkan dan menyiarkan Islam. Atas usaha dan seruannya
banyak orang-orang terkemuka memeluk agama Islam yang kemudian terkenal sebagai
pahlawan-pahlawan Islam yang ternama. Dan karena hubunganya yang sangat dekat
dengan nabi Muhammad, beliau mempunyai pengertian yang dalam tentang jiwa Islam
lebih dari yang lain. Karena itu pemilihanya sebagai khalifah pertama adalah
tepat sekali.
Banyak
tindakanya yang dicatat dalam sejarah Islam, namun yang penting dalam tulisan
ini adalah: (1) pidato pelantikannya yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
“Aku telah kalian pilih sebagai khalifah, kepala negara, tetapi aku bukanlah
yang terbaik diantara kita sekalian. Karena itu, jika aku melakukan sesuatu
yang benar ikuti dan bantulah aku tetapi jika aku melakukan kesalahan,
perbaikilah, sebab, menurut pendapatku menyatakan yang benar adalah amanat,
membohongi rakyat adalah pengkhianatan. “Selanjutnya beliau berkata ikutilah
perintahku selama aku mengikuti perintah Allah dan rasul-Nya. Jika aku tidak
mengikuti perintah Allah dan rasul-Nya kalian berhak untuk tidak patuh kepadaku
dan aku pun tidak akan menuntut kepatuhan kalian.”
Kata-kata
Abu Bakar ini sangat penting artinya dipandang dari sudut hukum ketatanegaraan
dan pemikiran politik Islam, sebab kata-katanya itu dapat dijadikan dasar dalam
menentukan hubungan antara rakyat dengan penguasa, antara pemerintahan dengan
warga negara.
Selain
pidato pelantikanya itu, yang relevan dengan pembicaraan kita ini adalah (2)
cara yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam memecahkan persoalan hukum yang timbul
dalam masyarakat. Mula-mula pemecahan masalah itu dicarinya dalam wahyu Tuhan.
Kalau tidak terdapat di sana, dicarinya dalam sunnah nabi. Kalau dalam sunnah
Rasullullah ini pemecahan masalah tidak diperoleh, Abu Bakar bertanya kepada
para sahabat nabi yang dikumpulkannya dalam satu majelis. Mereka yang duduk
dalam majelis itu melakukan ijtihad bersama (jama’i) atau ijtihad kolektif.
Timbullah keputusan ataupun konsensus bersama yang disebut ijma’ mengenai
masalah tertentu. Dalam masa pemerintahan Abu Bakar inilah sering dicapai apa
yang disebut dalam kepustakaan sebagai ijma’ sahabat
Dalam
masa pemerintahan Abu Bakar ini pula, sebagaimana telah diuraikan dahulu, (3)
atas anjuran Umar, dibentuk panitia khusus yang bertugas untuk mengumpulkan
catatan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah ditulis dizaman nabi pada bahan-bahan
darurat seperti pelepah-pelepah kurma, tulang-tulang unta, dan sebagainya dan
menghimpunya ke dalam satu naskah. Panitia ini dipimpin oleh Zaid bin Tsabit
salah seorang pencatat wahyu dan Sekretaris nabi Muhammad ketika beliau masih
hidup. Sebelum diserahkan kepada Abu Bakar, himpunan naskah Al-Qur’an itu diuji
dahulu ketepatan pencatatanya dengan hafalan para penghafal Al-Qur’an yang
selalu ada dari masa ke masa. Setelah Abu Bakar meninggal dunia naskah itu
disimpan oleh Umar bin Khattab dan sesudah khalifah II ini meninggal dunia
pula, naskah Al-Qur’an itu disimpan dan dipel;ihara oleh Hafsah janda nabi
Muhammad. Demikianlah, di masa Abu Bakar ini
telah diletakkan dasar-dasar pengembangan hukum Islam selanjutnya.
Setelah Abu Bakar
meninggal dunia, Umar menggantikan kedudukannya sebagai Khalifah yang ke-2.
Pemerintahan Umar bin Khattab ini berlangsung dari tahun 634-644M. Sebagai
sahabat nabi, (1) Sayyidina Umar turut aktif menyiarkan agama Islam. Beliau
melanjutkan usaha Abu Bakar meluaskan daerah Islam sampai ke Palestina, Sirya,
Iraq dan Persia disebelah Utara, serta ke Mesir di Barat Daya. (2) Beliau
menetapkan tahun Islam yang dikenal dengan tahun Hijriyah berdasarkan peredaran
bulan (Qomariyah). Dibandingkan dengan tahun Masehi (Maladiyah) yang
berdasarkan pada peredaran matahari atau Syamsiyah, tahun Hijriyah lebih
pendek. Perbedaannya setiap tahun adalah 11 hari, sekian jam, sekian menit
(Hazairin 1955). Oleh karena itu, tiap tahun permulaan puasa, misalnya, bergeser
11 hari lebih dahulu dari tahun sebelumnya. Penetapan tahun Hijriyah ini
dilakukan Umar pada tahun 638 M dengan bantuan para ahli ilmu hisab (hitung)
pada waktu itu. Dimulai sejak nabi Muhammad hijrah ke Madina. Selain itu (3)
penetapan Umar yang diikuti oleh umat Islam di seluruh dunia sampai sekarang
(dan juga masa yang akan datang) adalah membiasakan shalat at-tarawih, yaitu
shalat sunnah malam yang dilakukan sesudah sholat isya’, selama bulan Ramadhan.
Disamping itu yang perlu dicatat mengenai khalifah Umar ini adalah sikap
tolerannya terhadap pemeluk agama lain. Hal ini terbukti ketika beliau hendak
mendirikan masjid (yang sekarang terkenal dengan masjid Umar) di Jerussalem
(Palestina) di suatu tempat dari sana menurut keyakinan beliau nabi Muhammad
dahulu Mi’roj ke langit. Karena di dekat tempat itulah telah berdiri tempat
ibadah orang Kristen dan Yahudi, sebelum mendirikan masjid tersebut khalifah
Umar terlebih dahulu memberitahukan maksudnya dan meminta izin kepada
pemimpin agama golongan Kristen dan Yahudi di tempat itu padahal sebagai
penguasa atas seluruh daerah baru tersebut, beliau tidak wajib melakukan hal
itu. Namun beliau melakukan hal tersebut karena sikapnya yang toleran terhadap pemeluk agama lain
b. Umar Bin
Khattab
Karena usianya yang relatif masih muda
dibandingkan dengan Abu Bakar, Umar lama memegang pemerintahan. Sifatnya keras
dan sebagaimana biasanya, orang yang mempunyai sifat keras selalu berusaha
bertindak adil melaksanakan hukum. Terkenal keberanianya dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan keadaan-keadaan yang nyata pada suatu waktu
tertentu. Ia mengikuti cara Abu Bakar dalam menentukan hukum. Namun demikian,
khalifah Umar terkenal keberanian dan kebijaksanaannya dalam menerapkan
ketentuan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an untuk mengatasi suatu
masalah yang timbul dalam masyarakat berdasarkan kemaslahatan atau kepentingan
umum. Sepintas lalu keputusan-keputusan (dalam kepustakaan terkenal dengan
ijtihad) Umar itu seakan-akan bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
Al-Qur’an, namun jika dikaji sifat hakekat ayat tersebut dalam kerangka tujuan
hukum Islam keseluruhanya, ijtihad yang dilakukan oleh Umar bin Khattab itu
tidak bertentangan dengan maksud ayat-ayat tersebut. Banyak tindakan Umar di lapangan
hukum, namun yang akan dikemukakan adalah (a) contoh-contoh ijtihad Umar yang
telah disinggung juga dalam pembicaraan yang lalu, yakni:
1.
Talak
tiga yang diucapkan sekaligus disuatu tempat pada suatu ketika, dianggap
sebagai talak yang tidak mungkin rujuk (kembali) sebagai suami istri, kecuali
salah satu pihak (dalam hal ini mantan istri) menikah lebih dahulu dengan orang
lain. Garis hukum ini ditentukan oleh Umar berdasarkan kepentingan wanita,
karena di zamanya banyak pria yang dengan mudah mengucapkan talak tiga
sekaligus pada istrinya, untuk dapat bercerai dan kawin lagi dengan wanita
lain. Tujuanya adalah untuk melindungi kaum wanita dari penyalahgunaan hak
talak yang berada di tangan pria. Tindakan ini dilakukan oleh Umar agar pria
berhati-hati menggunakan hak talak itu dan tidak mudah mengucapkan talak tiga
sekaligus yang di zaman nabi dan khalifah Abu Bakar dianggap talak satu. Umar menetapkan
garis hukum yang demikian, untuk mendidik suami agar tidak menyalahgunakan
wewenang yang berada dalam tanganya
2.
Al-Qur’an
telah menetapkan golongan-golongan yang berhak menerima zakat, termasuk muallaf
di dalamnya, yaitu (diantaranya) orang-orang yang baru memeluk agama Islam yang
seyogianya dilindungi karena masih lemah imanya dan karena ia memeluk agama
Islam, hubunganya dengan keluarganya (mungkin) terputus. Pada zaman Rasulullah
golongan ini memperoleh zakat tetapi khalifah Umar menghentikan pemberian zakat
terhadap muallaf berdasarkan pertimbangan bahwa Islam telah kuat, umat Islam
telah banyak sehingga tidak perlu lagi diberikan keistimewaan kepada golongan
khusus dalam tubuh umat Islam.
3.
Menurut
AL-Qur’an surat Al Maidah (5) ayat 38 orang yang mencuri diancam dengan potong
tangan. Di masa pemerintahan Umar terjadi kelaparan di masyarakat semenanjung
Arabia. Dalam keadaan masyarakat ditimpa oleh bahaya kelaparan itu, ancaman
hukuman terhadap pencuri yang disebut dalam Al-Qur’an tidak dilaksanakan oleh
Khalifah Umar berdasarkan pertimbangan keadaan (darurat) dan kemaslahatan
(jiwa) masyarakat.
4.
Di
dalam Al-Qur’an (QS 5:5) terdapat ketentuan yang membolehkan pria muslim
menikahi wanita ahlul kitab (wanita Yahudi dan Nasrani). Akan tetapi, khalifah
Umar melarang perkawinan campuran yang demikian, untuk melindungi kedudukan
wanita Islam dan keamanan (rahasia) negara
Demikianlah
beberapa contoh ijtihad khalifah Umar bin Khattab. Disamping itu, Umar juga
mengemukakan (b) pokok-pokok pikiran mengenai peradilan seperti yang tercantum
dalam suratnya kepada Abu Musa Al-Asy’ari yang menjadi hakim (kadi) di Kufah,
Irak. Isinya antara lain sebagai berikut: (M.S.Madkur, 1982: 43-46)
“Sesungguhnya tugas untuk memutuskan suatu masalah adalah tugas seorang hakim.
Apabila kepada anda dimajukan suatu perkara, hendaklah anda pelajari dahulu
(berkas) perkara itu sebaik-baiknya setelah jelas benar duduk perkaranya
berilah keputusan seadil-adilnya. Keadilan harus duwujudkan dalam praktek,
sebab kalau ia tidak diwujudkan tidak akan ada artinya. Selain itu, dalam
pandangan dan keputusan anda, para pihak haruslah anda samakan
kedudukanya. Dengan demikian, orang yang kuat tidak akan dapat
mengharapkan sesuatu dan yang lemah tidak akan sampai putus asa karena
mendambakan keadilan anda. Anda boleh mendamaikan pihak-pihak yang
bersangkutan, tetapi isi perdamaian itu tidak boleh menghalalkan yang haram dan
mengharamkan hal yang halal. Dan apabila anda telah menjatuhkan suatu
keputusan, janganlah anda ragu-ragu untuk mengubahnya kembali, apabila kemudian
ternyata terdapat kekeliruan dalam keputusan anda itu.
Jika
suatu perkara yang diajukan kepada anda tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam
Al-Qur’an dan tidak pula terdapat sunnah nabi maka bandingkanlah perkara itu
dengan perkara sebelumnya. Apabila ada kasus yang sama dalam penyelesaiannya
maka pergunakanlah hukum yang telah ada itu untuk menyelesaikan perkara
tersebut, yang menurut pendapat anda yang paling diridhoi Allah, yang lebih
sesuai serta lebih mendekati kebenaran. Hindari dari perasaan marah dan
ragu-ragu dalam menyelesaikan sesuatu serta jangan menyakiti hati orang-orang
yang berperkara.
Demikianlah
cuplikan surat khalifah Umar bin Khattab kepada salah seorang hakim di masa
pemerintahannya. Isi dan makna surat itu, agaknya masih tetap aktual dan
berlaku juga untuk hakim zaman sekarang.
c.
Usman
Setelah Umar bin Khattab memimpin sebagai khalifah ke-2 maka
panitia pemilian khalifah memilih Sayyidina Usman menjadi khalifah ke-3 untuk
menggantikan Sayyidina Umar bin Khattab, yang mana beliau telah berumur 70
tahun, dengan kepribadian yang agak lemah. Kelemahan ini dipergunakan oleh
orang-orang disekitarnya untuk mengejar keuntungan pribadi, kemewahan dan
kekayaan. Hal ini di manfaatkan terutama oleh keluarganya sendiri dari golongan
Umayyah.
Banyak jasa-jasa Sayyidina Usman yang relevan untuk
diuraikan seperti; tindakannya untuk menyalin dan membuat Al-Qur’an standart,
yang didalam kepustakaan kadang-kadang disebut dengan kodifikasi Al-Qur’an atau
peresmian Al-Qur’an. Dalam kalangan pemeluk agama Islam terjadi perbedaan
ungkapan dan ucapan tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang disebarkan melalui
hafalan. Perbedaan cara mengucapkan itu menimbulkan perbedaan arti dan berita
ini sampai di telinga Sayyidina Usman. Beliau membentuk panitia yang kembali
dipimpin oleh Zaid ibn Tsabit untuk menyalin naskah Al-Qur’an yang telah
dihimpun di masa khalifah Abu Bakar dahulu yang disimpan oleh Sayyidah Hafsah,
janda nabi Muhammad. Dalam penyalinan naskah Al-Qur’an kedalam lima Mushaf (kumpulan
lembaran-lembaran yang di tulis, dan Al-Qur’an itu sendiri disebut pula
mushaf), untuk mengenang jasa Sayyidina Usman naskah yang disalin pada masa
pemerintahannya itu disebut Mushaf Usmani atau al- Imam karena ia
menjadi standart bagi Al-Qur’an yang lain.
d.
Ali Bin Abi Thalib
Setelah Sayyidina Usman meninggal dunia orang-orang
terkemuka memilih Sayyidina Ali bin Abi Tholib menjadi khalifah ke-4. Dari
kecil beliau diasuh dan dididik oleh nabi Muhammad, oleh karena itu hubungan mereka
sangat erat sekali.
Semasa pemerintahannya, Sayyidina Ali tidak dapat banyak
berbuat untuk mengembangkan hukum Islam. Karena keadaan negara tidak stabil.
Banyak perpecahan yang serius dalam tubuh umat Islam yang bermuara pada perang
saudara sehingga menimbulkan beberapa kelompok diantaranya Ahlus sunnah wal
jama’ah (sunni) yaitu kelompok umat Islam yang berpegang teguh pada sunnah nabi
Muhammad dan Syi’ah yaitu pengikut Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Perpecahan
antara dua kelompok ini dimulai dengan perbedaan pendapat mengenai masalah
politik yakni siapakah yang berhak menjadi khalifah, kemudian disusul dengan
masalah pemahaman aqidah, pelaksanaan ibadah, sistem hukum dan kekeluargaan.
Sumber hukum Islam dimasa khulafa al-Rasyidun ini adalah Al-Qur’an, As-Sunnah,
ijma’ sahabat dan qias.
2. Sumber-Sumber Tasyrik
Sumber Tasyri’ pada
masa ini adalah Al Qur’an, As-sunnah dan ljtihad (termasuk didalamnya ijma’ dan
qiyas). Sebab pada hakekatnya keduanya dihasilkan dari jerih payah mujtahiddin.
Al qur’an pada masa ini sudah dibukukan, yaitu pada Utsman bin Afan, setelah
dipertimbangkan akan kemaslahatannya yang lebih besar. Adapun sumber hukum
Islam yang kedua adalah Hadits, yang ketika itu belum dibukukan, sebab
dikhawatirkan akan bercampur dengan al-Qur’ an.
Meski demikian
upaya untuk pemeliharaan tetap dilakukan. Sehingga kebenaran riwayatnya dapat
dijamin. Abu Bakar Misalnya, beliau tidak mau menerima hadits dari seseorang
kecuali mendapat pengakuan dan pengetahuan dari orang lain yang terpercaya.
Umar bin Khattab menuntut adanya bukti-bukti bahwa hadits tersebut datang dari
Rasulullah. Demikian juga Ali bin Abi Thalib, beliau senantiasa menyumpah
perawinya.
Kemudian sumber hukum
yang ketiga, adalah ijtihad. Para shahabat dalam berijtihad tidak selalu sama,
artinya pendapat mereka kadang-kadang berbeda. Berkenaan dengan ini Ibnu Qoyyim
pernah berkata bila seseorang sahabat mengemukakan pendapat atau mengemukakan
suatu hukum atau memberikan fatwa, tentu ia telah mempunyai pengetahuan, baik
yang dimiliki oleh para sahabat maupun pengetahuan yang kita miliki. Adapun
pengetahuan yang hanya dimiliki oleh sahabat, mungkin didengar langsung dari
Nabi melalui sahabat yang lain. Pengetahuan yang hanya diketahui oleh
masing-masing sahabat banyak sekali, sehingga para sahabat tidak semua dapat
meriwayatkan semua hadits¬hadits yang didergar dari Khulafa’ ar Rasyidin dan
sahabat-sahabat lainnya.
Walaupun Abu bakar
Assiddiq selalu mendampingi Nabi, hingga nabi tidak pernah lepas dari pantauan
Abu Bakar dan ia digolongkan sebagai orang yang mengetahui tentang Rasulullah
SAW, tetapi hadits-hadits yang ia riwayatkan tidak lebih dari seratus hadits.
Anggapan orang bahwa seorang sahabat selalu meriwayatkan suatu Hadits atau
menyatakan suatu kejadian yang ia ketahui, adalah anggapan yang keliru, bahwa
orang tersebut tidak mengetahui sikap dan tingkah laku para sahabat. Sebab
mereka sangat takut untuk meriwayatkan suatu hadits, lantaran khawatir akan
menambah atau mengurangi hadits tersebut. Karena itu mereka sedikit sekali
meriwayatkan dan hanya menceritakan apa yang mereka dengar dari Rasulullah,
atau sabda beliau.
3. Pengeruh Fatwa Sahabat Terhadap Perkembangan Tasyrik
Para Sahabat dalam
menghadap suatu masalah atau berbagai masalah mereka lebih dahulu mencari
nashnya dari Al Quran atau Sunnah, kalau mereka tidak menemukan dalam Al Quran
dan Sunnah mereka mengadakan pertemuan dengan fuqoha sahabat untuk meminta
pendapat mereka. Apabila mereka telah sepakati suatu pendapat, maka mereka
menetapkan pendapat itu sebagai suatu keputusan. Inilah yang disebut ijma’.
Untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan baru para sahabat kembali kepada Alqur’an dan Sunnah Nabi.
Para sahabat banyak yang hafal al-Qur’an, kendati pernah timbul keresahan
ketika banyak yang gugur ketika menghadapi peperangan. Karenanya kembali kepada
al-Qur’an itu mudah. Hadits memang diriwayatkan dan dihafal. Tetapi nasib
hadits tidak sebagus al-Qur’an karena perhatian mereka lebih terpusat kepada
al-Qur’an. Disamping dihafal, al-Qur’an juga ditulis. Namun demikian, sumber
hukum Islam dimasa ini adalah al-Qur’an dan hadits. Berdasar kedua sumber hukum
itulah para kahlifah dan sahabat berijtihad dengan menggunakan akal pikiran.
Pada umumnya dalam
memutuskan hukum, sahabat tidak sendirian, tetapi bertanya terlebih dahulu
kepada sahabat lain, takut kalau salah. Sikap ini menunjukkan bahwa penafsiran
terhadap al-Qur’an bukan hak perogratif sahabat. Selanjutanya keputusan diambil
dari hasil consensus, yang lazim disebut ijma’. Melihat luasnya
kekuasaan Islam, tetapi kesepakatan beberapa pemuka Islam yang dipandang
mewakili keseluruhan.
Pada awal masa
sahabat ini , yaitu pada masa khalifah Abu Bakar dan masa khalifah Umar, para
sahabat dengan cara bersama-bersama menetapkan hukum terhadap sesuatu yang
tidak ada nashnya. Hukum yang di keluarkan oleh para sahabat dengan cara
bersama-sama ini di sebut sebagai ijma’ sahabat.
Khalifah Umar pun
berbuat demikian, yaitu apabila sulit baginya mendapatkan hukum dalam al-qur’an
dan as-sunnah, maka beliau memperhatikan apakah telah ada keputusan-keputusan
terhadap masal itu. Jika Abu Bakar mendapatkan suatu keputusan hukum, maka Umar
memutuskan dengan hukum itu, dan kalau tidak maka beliau memanggil pemuka-pemuka
kaum muslimin, apabila sepakat tentang hukum tersebut, maka beliau memberikan
keputusan dengan hukum yang telah di sepakati tersebut.
Jadi, dalam
menghadapi permasalahan yang terjadi, berkembanglah pemikiran para sahabat.
Adapun metode yang digunakan pada masa sahabat dapat melalui beberapa cara
diantaranya :
a.
Dengan semata pemahaman lafaz
yaitu memahami maksud yang terkandung dalam lahir lafaz. Umpamanya bagaimana
hukum membakar harta anak yatim. Ketentuan yang jelas dalamm alquran hanya
larangan memakan harta anak yatim. Ketentuan jelas dalam alquran hanya larangan
memakan harta anak yatim secara aniaya, sedangkan hukum membakarnya tidak ada.
Karena semua orang itu tahu bahwa membakar dan memakan harta itu sama dalam hal
mengurangi atau menghilangkan harta anak yatim, maka keduanya juga sama
hukumnya yaitu haram. Cara ini kemudian disebut penggunaan metode mafhum.
b.
Dengan cara memahami alasan atau
illat yang terdapat dalam suatu kasus (kejadian) yang baru, kemudian
menghubungkannya kepada dalil nash yang memiliki alasan atau illat yang sama
dengan kasus tersebut. Cara ini kemudian disebut metode qiyas.
4. Tasyri pada Masa Tabi’in
Dalam bidang Tasyri —begitu pula dengan bidang keilmuan Islam lainnya—,
masa Tabi’in merupakan masa peralihan dari masa Sahabat kepada masa eksistensi
para imam madzhab. Secara
sederhana, dapat dikatakan bahwa masa ini merupakan kelanjutan yang wajar dari
masa Sahabat, yang di dalamnya ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh dengan
sikap yang relatif lebih mandiri dengan mengarah pada spesialisasi dalam bidang
keilmuan Islam.
Secara historis, masa Tabi’in merupakan
masa yang dipenuhi dengan kompleksitas permasalahan. Perkembangan wilayah
politik Islam yang semakin luas, kehidupan masyarakat yang semakin maju dan
kompleks. Dalam hal ini, pemeluk Islam bukan hanya dari bangsa Arab, tetapi
sudah berbaur dengan bangsa lain yang berbeda-beda bahasa dan tradisinya.
Perkembangan ini menyebabkan pengetahuan umat Muslim terhadap sumber ajaran
Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang berbahasa Arab, tidak lagi sesempurna
generasi sebelumnya. Di samping itu, permasalahan kehidupan yang memerlukan
jawaban hukum semakin meningkat yang lebih menuntut pelaksanaan ijtihad.
Dalam melakukan ijtihad, para ulama
Tabi’in mengikuti cara yang telah dirintis sebelumnya oleh para Sahabat. Mereka
menggunakan al-Qur’an dan Sunnah sebagai rujukan utama. Selanjutnya mereka
mengikuti ijma’ Sahabat. Apabila tidak ditemukan dalam ijma’, mereka berpedoman
kepada hasil ijtihad pribadi dari Sahabat yang dianggap kuat dalilnya. Di
samping itu, mereka menggunakan ra’yu sebagaimana yang dilakukan Sahabat. Dalam
penggunaan ra’yu, mereka sedapat mungkin menempuhnya melalui qiyas, jika mereka
menemukan padanan masalahnya dengan apa yang terdapat dalam nash. Apabila tidak
mungkin, mereka menempatkan kepentingan umum atau kemaslahatan sebagai rujukan
dalam ijtihad.
Di antara
faktor-faktor sosial yang mempengaruhi perkembangan Tasyri pada masa ini, yaitu
sebagai berikut:
a. Perpecahan di
kalangan umat Islam
Pada awal masa ini, umat Islam mengalami
berbagai gejolak politik yang menyebabkan munculnya faksi-faksi. Pemberontakan
yang paling serius adalah pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok Khawarij,
Syi’ah, dan kelompok Abdullah bin Zubair. Persaingan dan pertikaian terus-menerus
antar faksi yang saling bertentangan tersebut dalam memperebutkan hegemoni
politik mengakibatkan kekacauan dalam pemahaman keagamaan.
Dua faksi
pertama, yaitu Khawarij dan Syi’ah, berkembang ke dalam sekte-sekte keagamaan
yang kemudian mengembangkan sistem Tasyri tersendiri. Dengan bersandar pada
interpretasi terhadap al-Qur’an dan Sunnah yang disesuaikan dengan pandangannya
sendiri, mereka menolak kontribusi sebagian besar Sahabat. Bahkan mereka
menyebut para Sahabat sebagai kaum murtad, dan sebagai gantinya, mereka
mengangkat para tokoh pemimpin mereka sendiri dalam membuat sistem hukum.
Khawarij, misalnya, berpendapat bahwa
orang yang melakukan dosa besar adalah kafir —dalam hal ini, para Sahabat yang
terlibat dalam peristiwa Tahkim—. Sementara Syi’ah, misalnya, dalam menetapkan
hukum hanya berpegang pada hadits yang diriwayatkan Ahlu al-Bait —keturunan
Nabi Saw dari Fatimah, serta Hasan dan Husein—, dan mereka tidak menerima qiyas
sebagai dalil hukum, dengan alasan bahwa qiyas berdasarkan kepada pemikiran
manusia.
b. Penyimpangan para
khalifah Bani Umayyah
Para khalifah Umayyah memperkenalkan
sejumlah praktek yang lazim berlaku di negeri-negeri non-Muslim pada waktu itu,
seperti Byzantium, Persia dan India. Banyak dari praktek-praktek tersebut
jelas-jelas bertentangan dengan fiqh pada periode sebelumnya. Sebagai contoh,
bait al-mal digeser menjadi kepemilikan pribadi para khalifah dan keluarganya,
dan pajak yang tidak diperbolehkan Islam diberlakukan untuk meningkatkan
keuntungan mereka. Musik, gadis-gadis penari, tukang sulap, para ahli nujum,
secara resmi diperkenalkan sebagai bentuk hiburan istana kekhalifahan.
Lebih jauh, dengan dukungan kekuasaan
Yazid sebagai putra mahkota yang ditetapkan oleh khalifah Muawiyah pada tahun
679 M, khalifah diubah menjadi jabatan turun-temurun. Ikatan fiqh-negara
dihancurkan dan faktor pemersatu madzhab yang cukup penting pun lenyap. Karena
faktor-faktor tersebut, para ulama pada periode ini menghindari beraudiensi
dengan para khalifah, sehingga prinsip syura (dewan penasehat pemerintahan)
menjadi hilang. Lewat pergantian khalifah, pemerintahan semakin diperburuk
dengan sistem monarkhi diktatorial yang serupa dengan pemerintahan non-Muslim pada
masa itu. Akibatnya, sebagian khalifah berupaya memanipulasi fiqh untuk
menjustifikasi penyimpangan-penyimpangannya. Untuk memberantas distorsi ini,
dan memelihara fiqh otentik untuk generasi berikutnya, para ulama mulai
mengumpulkan dan menghimpun fiqh yang berasal dari periode sebelumnya.
c. Persebaran para ulama
ke daerah-daerah luar
Banyak dari para ulama pada masa ini yang
melarikan diri dari pusat-pusat pemerintahan Bani Umayyah untuk menghindari
konflik, kekacauan, serta pertikaian dari berbagai faksi. Hal ini mengakibatkan
rusaknya prinsip ijma’. Seiring dengan tersebarnya para ulama ke seluruh
pelosok wilayah Muslim yang letaknya berjauhan antara satu dengan yang lain,
maka kesepakatan pandangan tentang hukum menjadi mustahil untuk disatukan. Hal
seperti ini pada akhirnya memicu tumbuhnya ijtihad-ijtihad individual dari para
ulama ketika mereka berhadapan dengan keanekaragaman adat istiadat, cara hidup
dan permasalahan baru di wilayah mereka.
Pada perkembangan berikutnya, kondisi di
atas mempengaruhi lahirnya berbagai madzhab di masa Tabi’in. Sebagai contoh,
ketika seorang ulama fiqh terkemuka hadir di suatu wilayah, para pelajar dan
para ulama di daerah tersebut berbondong-bondong mengelilinginya. Bahkan, para
pelajar dan para ulama yang berasal dari daerah lain acapkali turut bergabung.
Dengan cara seperti inilah sejumlah madzhab menjadi berkembang.
d. Maraknya praktik
pemalsuan hadits
Periwayatan hadits-hadits meningkat ketika
kebutuhan informasi juga meningkat. Karena negara telah berhenti bersandar pada
Sunnah Nabi Saw, para ulama dengan beragam kapasitasnya bergerak mencari
laporan-laporan individual tentang Sunnah yang diriwayatkan oleh para Sahabat
dan murid-muridnya untuk membuat ketentuan hukum. Pada saat yang sama
berkembang fenomena baru, yaitu untuk pertama kalinya hadits-hadits palsu, baik
yang berupa ucapan maupun tindakan dinisbahkan kepada Nabi Saw.
Bagi seorang pembuat hadits, agar
dipercaya, dia harus menyiarkan beberapa hadits yang sesungguhnya bersama-sama
dengan hadits-hadits bikinannya sendiri. Dengan adanya peristiwa ini, untuk
pertama kalinya mulai dilakukan upaya pengumpulan hadits dan mulai berkembang
ilmu tentang kritik hadits, yang kemudian membantu para ulama dalam melakukan
ijtihad. Namun, sebelum ilmu hadits berkembang, beragam hadits yang benar dan
palsu sudah masuk ke dalam kerangka keilmuan Islam yang terkadang secara
gegabah digunakan oleh sebagian ulama untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum.
Dengan cara inilah, bangunan fiqh yang salah disusun, dan lebih jauh lagi,
ditopang dengan keputusan-keputusan fiqh yang dibuat oleh para ulama yang telah
menolak hadits-hadits yang benar sebab ketentuan-ketentuan fiqh itu hanya
mereka ketahui lewat para pembuat hadits di wilayahnya.
C. Kesimpulan
Khulafaurrasyidin adalah pewaris kepemimpinan
Islam setelah wafatnya Rasulullah Saw. Setelah Rasul Saw wafat para sahabat
berkedudukan sebagai musyar’i dalam istinbat suatu hukum yang tentunya dengan
jalan musyawarah seperti yang dilakukan Rasul dan mereka bertindak sebagai
musyawirin Rasul Saw.
Adapun sumber atau dalil hukum Islam yang
digunakan pada zaman sahabat adalah Al-Quran, Sunnah dan Ijtihad ( ra’yu ).
Ijtihad yang dilakukan ketika itu berbentuk kolektif, para sahabat berkumpul
dan memusyawarahkan hukum suatu kasus, hasil musyawarah sahabat disebut Ijma’.
Walaupun para sahabat melakukan musyawarah tetapi diantara mereka tetap terjadi
khilafiah dalam istinbat hukum. Faktor yang mempengaruhi adalah sifat Al-Quran,
dan Sunnah serta perbedaan ra’yu. Disamping sosiokultur yang jelas sangat
mempengaruhi.
Perkembangan tasyri’ pada masa
Khulafaurrasyidin sangat hidup dan semarak. Beberapa ikhtilaf mulai muncul
meskipun lebih kecil disbanding masa-masa berikutnya. Para sahabat
Khulafaurrasyidin tidak menyikapi hukum-hukum Islam secara ideal yang lepas
dari konteks social, tetapi dimensi social itu telah menyadarkan mereka untuk
mencari jawaban-jawaban yang tepat dan ideal terhadap berbagai problematika
yang bermunculan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hudhori, Muhammad. Tarikh
at-Tasyi’ al-Islami. al-Haromain.
Hasbi
as-shiddieqy,Teungku Muhammad.Pengantar ilmu Fiqh.PT.Pustaka Rizki
Putra.Semarang.
Hudhari Bik.1980.Tarjamah
tarikh al-tasyri’ al-islamy.Alih bahasa Muhammad Zuhri.P.T.Darul Ikhya. Semarang.
Mubarok, Jaih. 2003.
Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: Rosda.
Roibin. 2007. Tasyri’ dalam Lintas Sejarah.
No comments:
Post a Comment