1

loading...

Sunday, November 11, 2018

MAKALAH FENOMENA TASYRI PADA MASA SAHABAT KECIL DAN TABIIN SERTA BERBAGAI FAKTOR SOSIAL YANG MELATAR BELAKANGINYA



 FENOMENA TASYRI PADA MASA SAHABAT KECIL DAN TABIIN SERTA BERBAGAI FAKTOR SOSIAL YANG MELATAR BELAKANGINYA

A.    Pendahuluan
 Tarikh al-tasyri' menurut Muhammad Ali al-sayis adalah : "Ilmu yang membahas keadaan hukum Islam pada masa kerasulan (Rasulullah SAW masih hidup) dan sesudahnya dengan periodisasi munculnya hukum serta hal-hal yang berkaitan dengannya, (membahas) ciri-ciri spesifikasi keadaan fuqaha’ dan mujtahid dalam merumuskan hukum-hukum tersebut”.
 Menurut Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, tasyri' adalah pembentukan dan penetapan perundang-undangan yang mengatur hukum perbuatan orang mukallaf dan hal-hal yang terjadi tentang berbagai keputusan serta peristiwa yang terjadi dikalangan mereka. Jika pembentukan undang-undang ini sumbernya dari Allah dengan perantaraan Rasul dan kitab-kitabnya, maka hal itu dinamakan perundang-undangan Allah (at-Tasyri'ul Ilahiyah). Sedangkan jika sumbernya datang dari manusia baik secara individual maupun kolektif, maka hal itu dinamakan perundang-undangan buatan manusia (at-Tasyri'ul Wadh'iyah). Secara sederhana Tarikh Tasyri' adalah sejarah penetapan hukum Islam yang dimulai dari zaman Nabi sampai sekarang.
Berbicara tentang tarikh tasyri’ tidak akan lepas dari faktor yudikatif, eksekutif dan kondisi masyarakat, setiap pergantian generasi perkembangan selalu terjadi begitu juga dengan tarikh tasyri’, ada fenomene-feomena yang menarik dari berkembangnya tarikh tasyri’ dimulai dari masa Nabi sampai sekarang ini.
Pada masa Nabi tasyri’ langsung diterima dari Al-Rab yang menciptakan sari’at itu sendiri, dan perkembangan yang dilakukan nabi selalu diawasi oleh allah sendiri, jadi tidak diragukan lagi tentang kebenarannya, posisi nabi sebagai yudikatif dan aksekutif selalu menjadi acuan bagi masyarkat arab pada masa itu.

B.       Pembahasan
1.      Tasyrik Periode Abu Bakar, Umar Bin Khatab, Utsman Bin Affan dan Ali Bin  Abi Thalib
      Masa khulafaur rasyidin ini sangat penting dilihat dari  perkembangan hukum Islam karena dijadikan model atau contoh oleh generasi-generasi berikutnya, terutama generasi ahli hukum Islam di zaman mutakhir ini, tentang cara mereka menemukan dan menerapkan hukum Islam pada waktu itu
a.       Abu Bakar Shiddiq
            Beliau adalah ahli hukum yang tinggi mutunya. Beliau memerintah  dari tahun 632 sampai 634 M. Sebelum masuk Islam, dia terkenal sebagai orang yang jujur dan disegani. Ikut aktif mengembangkan dan menyiarkan Islam. Atas usaha dan seruannya banyak orang-orang terkemuka memeluk agama Islam yang kemudian terkenal sebagai pahlawan-pahlawan Islam yang ternama. Dan karena hubunganya yang sangat dekat dengan nabi Muhammad, beliau mempunyai pengertian yang dalam tentang jiwa Islam lebih dari yang lain. Karena itu pemilihanya sebagai khalifah pertama adalah tepat sekali.
            Banyak tindakanya yang dicatat dalam sejarah Islam, namun yang penting dalam tulisan ini adalah: (1) pidato pelantikannya yang antara lain berbunyi sebagai berikut: “Aku telah kalian pilih sebagai khalifah, kepala negara, tetapi aku bukanlah yang terbaik diantara kita sekalian. Karena itu, jika aku melakukan sesuatu yang benar ikuti dan bantulah aku tetapi jika aku melakukan kesalahan, perbaikilah, sebab, menurut pendapatku menyatakan yang benar adalah amanat, membohongi rakyat adalah pengkhianatan. “Selanjutnya beliau berkata ikutilah perintahku selama aku mengikuti perintah Allah dan rasul-Nya. Jika aku tidak mengikuti perintah Allah dan rasul-Nya kalian berhak untuk tidak patuh kepadaku dan aku pun tidak akan menuntut kepatuhan kalian.”
            Kata-kata Abu Bakar ini sangat penting artinya dipandang dari sudut hukum ketatanegaraan dan pemikiran politik Islam, sebab kata-katanya itu dapat dijadikan dasar dalam menentukan hubungan antara rakyat dengan penguasa, antara pemerintahan dengan warga negara.
            Selain pidato pelantikanya itu, yang relevan dengan pembicaraan kita ini adalah (2) cara yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam memecahkan persoalan hukum yang timbul dalam masyarakat. Mula-mula pemecahan masalah itu dicarinya dalam wahyu Tuhan. Kalau tidak terdapat di sana, dicarinya dalam sunnah nabi. Kalau dalam sunnah Rasullullah ini pemecahan masalah tidak diperoleh, Abu Bakar bertanya kepada para sahabat nabi yang dikumpulkannya dalam satu majelis. Mereka yang duduk dalam majelis itu melakukan ijtihad bersama (jama’i) atau ijtihad kolektif. Timbullah keputusan ataupun konsensus  bersama yang disebut ijma’ mengenai masalah tertentu. Dalam masa pemerintahan Abu Bakar inilah sering dicapai apa yang disebut dalam kepustakaan sebagai ijma’ sahabat
            Dalam masa pemerintahan Abu Bakar ini pula, sebagaimana telah diuraikan dahulu, (3) atas anjuran Umar, dibentuk panitia khusus yang bertugas untuk mengumpulkan catatan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah ditulis dizaman nabi pada bahan-bahan darurat seperti pelepah-pelepah kurma, tulang-tulang unta, dan sebagainya dan menghimpunya ke dalam satu naskah. Panitia ini dipimpin oleh Zaid bin Tsabit salah seorang pencatat wahyu dan Sekretaris nabi Muhammad ketika beliau masih hidup. Sebelum diserahkan kepada Abu Bakar, himpunan naskah Al-Qur’an itu diuji dahulu ketepatan pencatatanya dengan hafalan para penghafal Al-Qur’an yang selalu ada dari masa ke masa. Setelah Abu Bakar meninggal dunia naskah itu disimpan oleh Umar bin Khattab dan sesudah khalifah II ini meninggal dunia pula, naskah Al-Qur’an itu disimpan dan dipel;ihara oleh Hafsah janda nabi Muhammad. Demikianlah, di masa Abu Bakar ini telah diletakkan dasar-dasar pengembangan hukum Islam selanjutnya.

Setelah Abu Bakar meninggal dunia, Umar menggantikan kedudukannya sebagai Khalifah yang ke-2. Pemerintahan Umar bin Khattab ini berlangsung dari tahun 634-644M. Sebagai sahabat nabi, (1) Sayyidina Umar turut aktif menyiarkan agama Islam. Beliau melanjutkan usaha Abu Bakar meluaskan daerah Islam sampai ke Palestina, Sirya, Iraq dan Persia disebelah Utara, serta ke Mesir di Barat Daya. (2) Beliau menetapkan tahun Islam yang dikenal dengan tahun Hijriyah berdasarkan peredaran bulan (Qomariyah). Dibandingkan dengan tahun Masehi (Maladiyah) yang berdasarkan pada peredaran matahari atau Syamsiyah, tahun Hijriyah lebih pendek. Perbedaannya setiap tahun adalah 11 hari, sekian jam, sekian menit (Hazairin 1955). Oleh karena itu, tiap tahun permulaan puasa, misalnya, bergeser 11 hari lebih dahulu dari tahun sebelumnya. Penetapan tahun Hijriyah ini dilakukan Umar pada tahun 638 M dengan bantuan para ahli ilmu hisab (hitung) pada waktu itu. Dimulai sejak nabi Muhammad hijrah ke Madina. Selain itu (3) penetapan Umar yang diikuti oleh umat Islam di seluruh dunia sampai sekarang (dan juga masa yang akan datang) adalah membiasakan shalat at-tarawih, yaitu shalat sunnah malam yang dilakukan sesudah sholat isya’, selama bulan Ramadhan. Disamping itu yang perlu dicatat mengenai khalifah Umar ini adalah sikap tolerannya terhadap pemeluk agama lain. Hal ini terbukti ketika beliau hendak mendirikan masjid (yang sekarang terkenal dengan masjid Umar) di Jerussalem (Palestina) di suatu tempat dari sana menurut keyakinan beliau nabi Muhammad dahulu Mi’roj ke langit. Karena di dekat tempat itulah telah berdiri tempat ibadah orang Kristen dan Yahudi, sebelum mendirikan masjid tersebut khalifah Umar terlebih dahulu memberitahukan maksudnya dan meminta izin kepada pemimpin  agama golongan Kristen dan Yahudi di tempat itu padahal sebagai penguasa atas seluruh daerah baru tersebut, beliau tidak wajib melakukan hal itu. Namun beliau melakukan hal tersebut karena sikapnya yang toleran terhadap pemeluk agama lain
b.      Umar Bin Khattab
            Karena usianya yang relatif masih muda dibandingkan dengan Abu Bakar, Umar lama memegang pemerintahan. Sifatnya keras dan sebagaimana biasanya, orang yang mempunyai sifat keras selalu berusaha bertindak adil melaksanakan hukum. Terkenal keberanianya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan keadaan-keadaan yang nyata pada suatu waktu tertentu. Ia mengikuti cara Abu Bakar dalam menentukan hukum. Namun demikian, khalifah Umar terkenal keberanian dan kebijaksanaannya dalam menerapkan ketentuan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an  untuk mengatasi suatu masalah yang timbul dalam masyarakat berdasarkan kemaslahatan atau kepentingan umum. Sepintas lalu keputusan-keputusan (dalam kepustakaan terkenal dengan ijtihad) Umar itu seakan-akan bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Al-Qur’an, namun jika dikaji sifat hakekat ayat tersebut dalam kerangka tujuan hukum Islam keseluruhanya, ijtihad yang dilakukan oleh Umar bin Khattab itu tidak bertentangan dengan maksud ayat-ayat tersebut. Banyak tindakan Umar di lapangan hukum, namun yang akan dikemukakan adalah (a) contoh-contoh ijtihad Umar yang telah disinggung juga dalam pembicaraan yang lalu, yakni:
1.      Talak tiga yang diucapkan sekaligus disuatu tempat pada suatu ketika, dianggap sebagai talak yang tidak mungkin rujuk (kembali) sebagai suami istri, kecuali salah satu pihak (dalam hal ini mantan istri) menikah lebih dahulu dengan orang lain. Garis hukum ini ditentukan oleh Umar berdasarkan kepentingan wanita, karena di zamanya banyak pria yang dengan mudah mengucapkan talak tiga sekaligus pada istrinya, untuk dapat bercerai dan kawin lagi dengan wanita lain. Tujuanya adalah untuk melindungi kaum wanita dari penyalahgunaan hak talak yang berada di tangan pria. Tindakan ini dilakukan oleh Umar agar pria berhati-hati menggunakan hak talak itu dan tidak mudah mengucapkan talak tiga sekaligus yang di zaman nabi dan khalifah Abu Bakar dianggap talak satu. Umar menetapkan garis hukum yang demikian, untuk mendidik suami agar tidak menyalahgunakan wewenang yang berada dalam tanganya
2.      Al-Qur’an telah menetapkan golongan-golongan yang berhak menerima zakat, termasuk muallaf di dalamnya, yaitu (diantaranya) orang-orang yang baru memeluk agama Islam yang seyogianya dilindungi karena masih lemah imanya dan karena ia memeluk agama Islam, hubunganya dengan keluarganya (mungkin) terputus. Pada zaman Rasulullah golongan ini memperoleh zakat tetapi khalifah Umar menghentikan pemberian zakat terhadap muallaf berdasarkan pertimbangan bahwa Islam telah kuat, umat Islam telah banyak sehingga tidak perlu lagi diberikan keistimewaan kepada golongan khusus dalam tubuh umat Islam.
3.      Menurut AL-Qur’an surat Al Maidah (5) ayat 38 orang yang mencuri diancam dengan potong tangan. Di masa pemerintahan Umar terjadi kelaparan di masyarakat semenanjung Arabia. Dalam keadaan masyarakat ditimpa oleh bahaya kelaparan itu, ancaman hukuman terhadap pencuri yang disebut dalam Al-Qur’an tidak dilaksanakan oleh Khalifah Umar berdasarkan pertimbangan keadaan (darurat) dan kemaslahatan (jiwa) masyarakat.
4.      Di dalam Al-Qur’an (QS 5:5) terdapat ketentuan yang membolehkan pria muslim menikahi wanita ahlul kitab (wanita Yahudi dan Nasrani). Akan tetapi, khalifah Umar melarang perkawinan campuran yang demikian, untuk melindungi kedudukan wanita Islam dan keamanan (rahasia) negara
Demikianlah beberapa contoh ijtihad khalifah Umar bin Khattab. Disamping itu, Umar juga mengemukakan (b) pokok-pokok pikiran mengenai peradilan seperti yang tercantum dalam suratnya kepada Abu Musa Al-Asy’ari yang menjadi hakim (kadi) di Kufah, Irak. Isinya antara lain sebagai berikut: (M.S.Madkur, 1982: 43-46) “Sesungguhnya tugas untuk memutuskan suatu masalah adalah tugas seorang hakim. Apabila kepada anda dimajukan suatu perkara, hendaklah anda pelajari dahulu (berkas) perkara itu sebaik-baiknya setelah jelas benar duduk perkaranya berilah keputusan seadil-adilnya. Keadilan harus duwujudkan dalam praktek, sebab kalau ia tidak diwujudkan tidak akan ada artinya. Selain itu, dalam pandangan dan keputusan anda, para pihak haruslah anda samakan kedudukanya. Dengan demikian, orang yang kuat tidak akan dapat mengharapkan sesuatu dan yang lemah tidak akan sampai putus asa karena mendambakan keadilan anda. Anda boleh mendamaikan pihak-pihak yang bersangkutan, tetapi isi perdamaian itu tidak boleh menghalalkan yang haram dan mengharamkan hal yang halal. Dan apabila anda telah menjatuhkan suatu keputusan, janganlah anda ragu-ragu untuk mengubahnya kembali, apabila kemudian ternyata terdapat kekeliruan dalam keputusan anda itu.
Jika suatu perkara yang diajukan kepada anda tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an dan tidak pula terdapat sunnah nabi maka bandingkanlah perkara itu dengan perkara sebelumnya. Apabila ada kasus yang sama dalam penyelesaiannya maka pergunakanlah hukum yang telah ada itu untuk menyelesaikan perkara tersebut, yang menurut pendapat anda yang paling diridhoi Allah, yang lebih sesuai serta lebih mendekati kebenaran. Hindari dari perasaan marah dan ragu-ragu dalam menyelesaikan sesuatu serta jangan menyakiti hati orang-orang yang berperkara.
Demikianlah cuplikan surat khalifah Umar bin Khattab kepada salah seorang hakim di masa pemerintahannya. Isi dan makna surat itu, agaknya masih tetap aktual dan berlaku juga untuk hakim zaman sekarang.
c.       Usman
           Setelah Umar bin Khattab memimpin sebagai khalifah ke-2 maka panitia pemilian khalifah memilih Sayyidina Usman menjadi khalifah ke-3 untuk menggantikan Sayyidina Umar bin Khattab, yang mana beliau telah berumur 70 tahun, dengan kepribadian yang agak lemah. Kelemahan ini dipergunakan oleh orang-orang disekitarnya untuk mengejar keuntungan pribadi, kemewahan dan kekayaan. Hal ini di manfaatkan terutama oleh keluarganya sendiri dari golongan Umayyah.
           Banyak jasa-jasa Sayyidina Usman yang relevan untuk diuraikan seperti; tindakannya untuk menyalin dan membuat Al-Qur’an standart, yang didalam kepustakaan kadang-kadang disebut dengan kodifikasi Al-Qur’an atau peresmian Al-Qur’an. Dalam kalangan pemeluk agama Islam terjadi perbedaan ungkapan dan ucapan tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang disebarkan melalui hafalan. Perbedaan cara mengucapkan itu menimbulkan perbedaan arti dan berita ini sampai di telinga Sayyidina Usman. Beliau membentuk panitia yang kembali dipimpin oleh Zaid ibn Tsabit untuk menyalin naskah Al-Qur’an yang telah dihimpun di masa khalifah Abu Bakar dahulu yang disimpan oleh Sayyidah Hafsah, janda nabi Muhammad. Dalam penyalinan naskah Al-Qur’an kedalam lima Mushaf (kumpulan lembaran-lembaran yang di tulis, dan Al-Qur’an itu sendiri disebut pula mushaf), untuk mengenang jasa Sayyidina Usman naskah yang disalin pada masa pemerintahannya itu disebut Mushaf Usmani atau al- Imam karena ia menjadi standart bagi Al-Qur’an yang lain.
d.      Ali Bin Abi Thalib
           Setelah Sayyidina Usman meninggal dunia orang-orang terkemuka memilih Sayyidina Ali bin Abi Tholib menjadi khalifah ke-4. Dari kecil beliau diasuh dan dididik oleh nabi Muhammad, oleh karena itu hubungan mereka sangat erat sekali.
           Semasa pemerintahannya, Sayyidina Ali tidak dapat banyak berbuat untuk mengembangkan hukum Islam. Karena keadaan negara tidak stabil. Banyak perpecahan yang serius dalam tubuh umat Islam yang bermuara pada perang saudara sehingga menimbulkan beberapa kelompok diantaranya Ahlus sunnah wal jama’ah (sunni) yaitu kelompok umat Islam yang berpegang teguh pada sunnah nabi Muhammad dan Syi’ah yaitu pengikut Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Perpecahan antara dua kelompok ini dimulai dengan perbedaan pendapat mengenai masalah politik yakni siapakah yang berhak menjadi khalifah, kemudian disusul dengan masalah pemahaman aqidah, pelaksanaan ibadah, sistem hukum dan kekeluargaan. Sumber hukum Islam dimasa khulafa al-Rasyidun ini adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ sahabat dan qias.

2.      Sumber-Sumber Tasyrik
Sumber Tasyri’ pada masa ini adalah Al Qur’an, As-sunnah dan ljtihad (termasuk didalamnya ijma’ dan qiyas). Sebab pada hakekatnya keduanya dihasilkan dari jerih payah mujtahiddin. Al qur’an pada masa ini sudah dibukukan, yaitu pada Utsman bin Afan, setelah dipertimbangkan akan kemaslahatannya yang lebih besar. Adapun sumber hukum Islam yang kedua adalah Hadits, yang ketika itu belum dibukukan, sebab dikhawatirkan akan bercampur dengan al-Qur’ an. 
 Meski demikian upaya untuk pemeliharaan tetap dilakukan. Sehingga kebenaran riwayatnya dapat dijamin. Abu Bakar Misalnya, beliau tidak mau menerima hadits dari seseorang kecuali mendapat pengakuan dan pengetahuan dari orang lain yang terpercaya. Umar bin Khattab menuntut adanya bukti-bukti bahwa hadits tersebut datang dari Rasulullah. Demikian juga Ali bin Abi Thalib, beliau senantiasa menyumpah perawinya.
Kemudian sumber hukum yang ketiga, adalah ijtihad. Para shahabat dalam berijtihad tidak selalu sama, artinya pendapat mereka kadang-kadang berbeda. Berkenaan dengan ini Ibnu Qoyyim pernah berkata bila seseorang sahabat mengemukakan pendapat atau mengemukakan suatu hukum atau memberikan fatwa, tentu ia telah mempunyai pengetahuan, baik yang dimiliki oleh para sahabat maupun pengetahuan yang kita miliki. Adapun pengetahuan yang hanya dimiliki oleh sahabat, mungkin didengar langsung dari Nabi melalui sahabat yang lain. Pengetahuan yang hanya diketahui oleh masing-masing sahabat banyak sekali, sehingga para sahabat tidak semua dapat meriwayatkan semua hadits¬hadits yang didergar dari Khulafa’ ar Rasyidin dan sahabat-sahabat lainnya.
Walaupun Abu bakar Assiddiq selalu mendampingi Nabi, hingga nabi tidak pernah lepas dari pantauan Abu Bakar dan ia digolongkan sebagai orang yang mengetahui tentang Rasulullah SAW, tetapi hadits-hadits yang ia riwayatkan tidak lebih dari seratus hadits. Anggapan orang bahwa seorang sahabat selalu meriwayatkan suatu Hadits atau menyatakan suatu kejadian yang ia ketahui, adalah anggapan yang keliru, bahwa orang tersebut tidak mengetahui sikap dan tingkah laku para sahabat. Sebab mereka sangat takut untuk meriwayatkan suatu hadits, lantaran khawatir akan menambah atau mengurangi hadits tersebut. Karena itu mereka sedikit sekali meriwayatkan dan hanya menceritakan apa yang mereka dengar dari Rasulullah, atau sabda beliau.

3.      Pengeruh Fatwa Sahabat Terhadap Perkembangan Tasyrik
Para Sahabat dalam menghadap suatu masalah atau berbagai masalah mereka lebih dahulu mencari nashnya dari Al Quran atau Sunnah, kalau mereka tidak menemukan dalam Al Quran dan Sunnah mereka mengadakan pertemuan dengan fuqoha sahabat untuk meminta pendapat mereka. Apabila mereka telah sepakati suatu pendapat, maka mereka menetapkan pendapat itu sebagai suatu keputusan. Inilah yang disebut ijma’.
Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru para sahabat kembali kepada Alqur’an dan Sunnah Nabi. Para sahabat banyak yang hafal al-Qur’an, kendati pernah timbul keresahan ketika banyak yang gugur ketika menghadapi peperangan. Karenanya kembali kepada al-Qur’an itu mudah. Hadits memang diriwayatkan dan dihafal. Tetapi nasib hadits tidak sebagus al-Qur’an karena perhatian mereka lebih terpusat kepada al-Qur’an. Disamping dihafal, al-Qur’an juga ditulis. Namun demikian, sumber hukum Islam dimasa ini adalah al-Qur’an dan hadits. Berdasar kedua sumber hukum itulah para kahlifah dan sahabat berijtihad dengan menggunakan akal pikiran.
Pada umumnya dalam memutuskan hukum, sahabat tidak sendirian, tetapi bertanya terlebih dahulu kepada sahabat lain, takut kalau salah. Sikap ini menunjukkan bahwa penafsiran terhadap al-Qur’an bukan hak perogratif sahabat. Selanjutanya keputusan diambil dari hasil consensus, yang lazim disebut ijma’. Melihat luasnya kekuasaan Islam, tetapi kesepakatan beberapa pemuka Islam yang dipandang mewakili keseluruhan.
Pada awal masa sahabat ini , yaitu pada masa khalifah Abu Bakar dan masa khalifah Umar, para sahabat dengan cara bersama-bersama menetapkan hukum terhadap sesuatu yang tidak ada nashnya. Hukum yang di keluarkan oleh para sahabat dengan cara bersama-sama ini di sebut sebagai ijma’ sahabat.
Khalifah Umar pun berbuat demikian, yaitu apabila sulit baginya mendapatkan hukum dalam al-qur’an dan as-sunnah, maka beliau memperhatikan apakah telah ada keputusan-keputusan terhadap masal itu. Jika Abu Bakar mendapatkan suatu keputusan hukum, maka Umar memutuskan dengan hukum itu, dan kalau tidak maka beliau memanggil pemuka-pemuka kaum muslimin, apabila sepakat tentang hukum tersebut, maka beliau memberikan keputusan dengan hukum yang telah di sepakati tersebut.
Jadi, dalam menghadapi permasalahan yang terjadi, berkembanglah pemikiran para sahabat. Adapun metode yang digunakan pada masa sahabat dapat melalui beberapa cara diantaranya :
a.       Dengan semata pemahaman lafaz yaitu memahami maksud yang terkandung dalam lahir lafaz. Umpamanya bagaimana hukum membakar harta anak yatim. Ketentuan yang jelas dalamm alquran hanya larangan memakan harta anak yatim. Ketentuan jelas dalam alquran hanya larangan memakan harta anak yatim secara aniaya, sedangkan hukum membakarnya tidak ada. Karena semua orang itu tahu bahwa membakar dan memakan harta itu sama dalam hal mengurangi atau menghilangkan harta anak yatim, maka keduanya juga sama hukumnya yaitu haram. Cara ini kemudian disebut penggunaan metode mafhum.
b.      Dengan cara memahami alasan atau illat yang terdapat dalam suatu kasus (kejadian) yang baru, kemudian menghubungkannya kepada dalil nash yang memiliki alasan atau illat yang sama dengan kasus tersebut. Cara ini kemudian disebut metode qiyas.

4.      Tasyri pada Masa Tabi’in
  Dalam bidang Tasyri —begitu pula dengan bidang keilmuan Islam lainnya—, masa Tabi’in merupakan masa peralihan dari masa Sahabat kepada masa eksistensi para imam madzhab. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa masa ini merupakan kelanjutan yang wajar dari masa Sahabat, yang di dalamnya ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh dengan sikap yang relatif lebih mandiri dengan mengarah pada spesialisasi dalam bidang keilmuan Islam.
Secara historis, masa Tabi’in merupakan masa yang dipenuhi dengan kompleksitas permasalahan. Perkembangan wilayah politik Islam yang semakin luas, kehidupan masyarakat yang semakin maju dan kompleks. Dalam hal ini, pemeluk Islam bukan hanya dari bangsa Arab, tetapi sudah berbaur dengan bangsa lain yang berbeda-beda bahasa dan tradisinya. Perkembangan ini menyebabkan pengetahuan umat Muslim terhadap sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang berbahasa Arab, tidak lagi sesempurna generasi sebelumnya. Di samping itu, permasalahan kehidupan yang memerlukan jawaban hukum semakin meningkat yang lebih menuntut pelaksanaan ijtihad.
Dalam melakukan ijtihad, para ulama Tabi’in mengikuti cara yang telah dirintis sebelumnya oleh para Sahabat. Mereka menggunakan al-Qur’an dan Sunnah sebagai rujukan utama. Selanjutnya mereka mengikuti ijma’ Sahabat. Apabila tidak ditemukan dalam ijma’, mereka berpedoman kepada hasil ijtihad pribadi dari Sahabat yang dianggap kuat dalilnya. Di samping itu, mereka menggunakan ra’yu sebagaimana yang dilakukan Sahabat. Dalam penggunaan ra’yu, mereka sedapat mungkin menempuhnya melalui qiyas, jika mereka menemukan padanan masalahnya dengan apa yang terdapat dalam nash. Apabila tidak mungkin, mereka menempatkan kepentingan umum atau kemaslahatan sebagai rujukan dalam ijtihad.
Di antara faktor-faktor sosial yang mempengaruhi perkembangan Tasyri pada masa ini, yaitu sebagai berikut:
a.       Perpecahan di kalangan umat Islam
Pada awal masa ini, umat Islam mengalami berbagai gejolak politik yang menyebabkan munculnya faksi-faksi. Pemberontakan yang paling serius adalah pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok Khawarij, Syi’ah, dan kelompok Abdullah bin Zubair. Persaingan dan pertikaian terus-menerus antar faksi yang saling bertentangan tersebut dalam memperebutkan hegemoni politik mengakibatkan kekacauan dalam pemahaman keagamaan.
Dua faksi pertama, yaitu Khawarij dan Syi’ah, berkembang ke dalam sekte-sekte keagamaan yang kemudian mengembangkan sistem Tasyri tersendiri. Dengan bersandar pada interpretasi terhadap al-Qur’an dan Sunnah yang disesuaikan dengan pandangannya sendiri, mereka menolak kontribusi sebagian besar Sahabat. Bahkan mereka menyebut para Sahabat sebagai kaum murtad, dan sebagai gantinya, mereka mengangkat para tokoh pemimpin mereka sendiri dalam membuat sistem hukum.
Khawarij, misalnya, berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah kafir —dalam hal ini, para Sahabat yang terlibat dalam peristiwa Tahkim—. Sementara Syi’ah, misalnya, dalam menetapkan hukum hanya berpegang pada hadits yang diriwayatkan Ahlu al-Bait —keturunan Nabi Saw dari Fatimah, serta Hasan dan Husein—, dan mereka tidak menerima qiyas sebagai dalil hukum, dengan alasan bahwa qiyas berdasarkan kepada pemikiran manusia.
b.      Penyimpangan para khalifah Bani Umayyah
Para khalifah Umayyah memperkenalkan sejumlah praktek yang lazim berlaku di negeri-negeri non-Muslim pada waktu itu, seperti Byzantium, Persia dan India. Banyak dari praktek-praktek tersebut jelas-jelas bertentangan dengan fiqh pada periode sebelumnya. Sebagai contoh, bait al-mal digeser menjadi kepemilikan pribadi para khalifah dan keluarganya, dan pajak yang tidak diperbolehkan Islam diberlakukan untuk meningkatkan keuntungan mereka. Musik, gadis-gadis penari, tukang sulap, para ahli nujum, secara resmi diperkenalkan sebagai bentuk hiburan istana kekhalifahan.
Lebih jauh, dengan dukungan kekuasaan Yazid sebagai putra mahkota yang ditetapkan oleh khalifah Muawiyah pada tahun 679 M, khalifah diubah menjadi jabatan turun-temurun. Ikatan fiqh-negara dihancurkan dan faktor pemersatu madzhab yang cukup penting pun lenyap. Karena faktor-faktor tersebut, para ulama pada periode ini menghindari beraudiensi dengan para khalifah, sehingga prinsip syura (dewan penasehat pemerintahan) menjadi hilang. Lewat pergantian khalifah, pemerintahan semakin diperburuk dengan sistem monarkhi diktatorial yang serupa dengan pemerintahan non-Muslim pada masa itu. Akibatnya, sebagian khalifah berupaya memanipulasi fiqh untuk menjustifikasi penyimpangan-penyimpangannya. Untuk memberantas distorsi ini, dan memelihara fiqh otentik untuk generasi berikutnya, para ulama mulai mengumpulkan dan menghimpun fiqh yang berasal dari periode sebelumnya.
c.       Persebaran para ulama ke daerah-daerah luar
Banyak dari para ulama pada masa ini yang melarikan diri dari pusat-pusat pemerintahan Bani Umayyah untuk menghindari konflik, kekacauan, serta pertikaian dari berbagai faksi. Hal ini mengakibatkan rusaknya prinsip ijma’. Seiring dengan tersebarnya para ulama ke seluruh pelosok wilayah Muslim yang letaknya berjauhan antara satu dengan yang lain, maka kesepakatan pandangan tentang hukum menjadi mustahil untuk disatukan. Hal seperti ini pada akhirnya memicu tumbuhnya ijtihad-ijtihad individual dari para ulama ketika mereka berhadapan dengan keanekaragaman adat istiadat, cara hidup dan permasalahan baru di wilayah mereka.
Pada perkembangan berikutnya, kondisi di atas mempengaruhi lahirnya berbagai madzhab di masa Tabi’in. Sebagai contoh, ketika seorang ulama fiqh terkemuka hadir di suatu wilayah, para pelajar dan para ulama di daerah tersebut berbondong-bondong mengelilinginya. Bahkan, para pelajar dan para ulama yang berasal dari daerah lain acapkali turut bergabung. Dengan cara seperti inilah sejumlah madzhab menjadi berkembang.
d.      Maraknya praktik pemalsuan hadits
Periwayatan hadits-hadits meningkat ketika kebutuhan informasi juga meningkat. Karena negara telah berhenti bersandar pada Sunnah Nabi Saw, para ulama dengan beragam kapasitasnya bergerak mencari laporan-laporan individual tentang Sunnah yang diriwayatkan oleh para Sahabat dan murid-muridnya untuk membuat ketentuan hukum. Pada saat yang sama berkembang fenomena baru, yaitu untuk pertama kalinya hadits-hadits palsu, baik yang berupa ucapan maupun tindakan dinisbahkan kepada Nabi Saw.
Bagi seorang pembuat hadits, agar dipercaya, dia harus menyiarkan beberapa hadits yang sesungguhnya bersama-sama dengan hadits-hadits bikinannya sendiri. Dengan adanya peristiwa ini, untuk pertama kalinya mulai dilakukan upaya pengumpulan hadits dan mulai berkembang ilmu tentang kritik hadits, yang kemudian membantu para ulama dalam melakukan ijtihad. Namun, sebelum ilmu hadits berkembang, beragam hadits yang benar dan palsu sudah masuk ke dalam kerangka keilmuan Islam yang terkadang secara gegabah digunakan oleh sebagian ulama untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum. Dengan cara inilah, bangunan fiqh yang salah disusun, dan lebih jauh lagi, ditopang dengan keputusan-keputusan fiqh yang dibuat oleh para ulama yang telah menolak hadits-hadits yang benar sebab ketentuan-ketentuan fiqh itu hanya mereka ketahui lewat para pembuat hadits di wilayahnya.


C.    Kesimpulan
Khulafaurrasyidin adalah pewaris kepemimpinan Islam setelah wafatnya Rasulullah Saw. Setelah Rasul Saw wafat para sahabat berkedudukan sebagai musyar’i dalam istinbat suatu hukum yang tentunya dengan jalan musyawarah seperti yang dilakukan Rasul dan mereka bertindak sebagai musyawirin Rasul Saw.
Adapun sumber atau dalil hukum Islam yang digunakan pada zaman sahabat adalah Al-Quran, Sunnah dan Ijtihad ( ra’yu ). Ijtihad yang dilakukan ketika itu berbentuk kolektif, para sahabat berkumpul dan memusyawarahkan hukum suatu kasus, hasil musyawarah sahabat disebut Ijma’. Walaupun para sahabat melakukan musyawarah tetapi diantara mereka tetap terjadi khilafiah dalam istinbat hukum. Faktor yang mempengaruhi adalah sifat Al-Quran, dan Sunnah serta perbedaan ra’yu. Disamping sosiokultur yang jelas sangat mempengaruhi.
Perkembangan tasyri’ pada masa Khulafaurrasyidin sangat hidup dan semarak. Beberapa ikhtilaf mulai muncul meskipun lebih kecil disbanding masa-masa berikutnya. Para sahabat Khulafaurrasyidin tidak menyikapi hukum-hukum Islam secara ideal yang lepas dari konteks social, tetapi dimensi social itu telah menyadarkan mereka untuk mencari jawaban-jawaban yang tepat dan ideal terhadap berbagai problematika yang bermunculan. 

  
DAFTAR PUSTAKA


Al-Hudhori, Muhammad. Tarikh at-Tasyi’ al-Islami. al-Haromain.

Hasbi as-shiddieqy,Teungku Muhammad.Pengantar ilmu Fiqh.PT.Pustaka Rizki Putra.Semarang.

Hudhari Bik.1980.Tarjamah tarikh al-tasyri’ al-islamy.Alih bahasa Muhammad Zuhri.P.T.Darul Ikhya. Semarang.

Mubarok, Jaih. 2003. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam.  Bandung: Rosda.

Roibin. 2007. Tasyri’ dalam Lintas Sejarah.


No comments:

Post a Comment