MAKALAH KEDUDUKAN AGAMA DALAM PENDIDIKAN NASIONAL
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Pendidikan pada
hakekatnya merupakan proses pendewasaan manusia menjadi manusia seutuhnya. Pendidikan
agama di sekolah sebagai salah satu upaya pendewasaan manusia pada dimensi
spiritual-religius. Adanya pelajaran agama di sekolah di satu pihak sebagai upaya
pemenuhan hakekat manusia sebagai makhluk religius (homo religiousus).
Sekaligus di lain pihak pemenuhan apa yang objektif dari para siswa akan
kebutuhan pelayanan hidup keagamaan. Agama dan hidup beriman merupakan suatu
yang objektif menjadi kebutuhan setiap manusia.
Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, pasal 12, ayat (1) huruf a,
mengamanatkan: “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak
mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan
oleh pendidik yang seagama.” Bukan hanya di sekolah negeri, juga di sekolah
swasta, bahwa setiap siswa berhak mendapatkan pelajaran agama sesuai dengan
agamanya harus dipenuhi, maka pemerintah berkewajiban menyediakan / mengangkat
tenaga pengajar agama untuk semua siswa sesuai dengan agamanya baik sekolah
negeri maupun swasta. Pasal 55, ayat (5) menegaskan: “Lembaga pendidikan
berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana dan sumber
daya lian secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
B. Rumusan Masalah.
1. Bagaimana Kedudukan
Agama Dalam Pendidikan Nasional?
2. Bagaimana Sistem
Pendidikan Agama Dalam Pendidikan Nasional?
3. Apa saja Problem
pendidikan Agama Disekolah?
4. Bagaimana Solusi
Pendidikan Agama Disekolah?
C. Tujuan.
1. Untuk mengetahui
Kedudukan Agama Dalam Pendidikan Nasional?
2. Bagaimana Sistem
Pendidikan Agama Dalam Pendidikan Nasional?
3. Apa saja Problem
pendidikan Agama Disekolah?
4. Bagaimana Solusi
Pendidikan Agama Disekolah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Agama
Dalam Pendidikan Nasional
Agama memiliki
kedudukan yang penting dalam pendidikan nasional. Pertama, tujuan pendidikan
nasional: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.” (UU 20/2003, pasal 3).
Kedua,
pengembangan kurikulum: Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
(a) peningkatan iman dan takwa,
(b) peningkatan akhlak mulia,
(c) peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta
didik,
(d) keragaman potensi daerah dan lingkungan,
(e) tuntutan pengembangan daerah dan nasional,
(f) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni,
(g) agama,
(h) dinamika perkembangan global,
(i) persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.”
(UU 20/2003, pasal 36).
Ketiga, pendidikan agama merupakan bagian tak
terpisahkan dari pembaharuan dan pembangunan pendidikan nasional: “Pembaharuan
sistem pendidikan nasional memerlukan strategi tertentu. Strategi pembangunan
pendidikan nasional dalam undang-undang ini meliputi: (1) pelaksanaan
pendidikan agama serta akhlak mulia, (2)…”(Penjelasan umum UU 20/2003).
Keempat, kelembagaan pendidikan agama. Selain
pendidikan agama, di dalam sistem pendidikan nasional pemerintah dan/atau
kelompok masyarakat dapat menyelenggarakan pendidikan keagamaan yang berfungsi
mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan
nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (UU 20/2003,
pasal 30/2).
Kelima,
pendidikan agama merupakan mata pelajaran wajib di dalam kurikulum pendidikan
dasar, menengah dan tinggi
1.
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan
sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olah raga,
keterampilan/kejuruan, muatan lokal.
2. Kurikulum pendidikan
tinggi wajib memuat: pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa.” (UU
20/2003, pasal 37/1-2).
B. Sistem
Pendidikan Agama Dalam Pendidikan Nasional.
1. Pengertian
pendidikan agama.
Pendidikan agama
adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian
dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang
dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan.” (Pasal 1/1, PP. 55/2007, tentang Pendidikan
Agama dan Keagamaan).
2. Fungsi dan
Tujuan Pendidikan Agama.
Pendidikan agama
berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa serta berkhlak mulia, dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan
hubungan intern dan antar umat beragama.” Dan Pendidikan bertujuan untuk
berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan
mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni.” (PP. 55/2007, pasal 2/1-2).
3. Sistem
pembelajaran agama.
Setiap peserta
didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai
dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama…. “ (UU
20/2003, pasal 12/1).“Pendidik dan/atau guru agama yang seagama dengan peserta
didik difasilitasi dan/atau disediakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah sesuai kebutuhan satuan pendidikan…” (Penjelasan UU 20/2003 pasal 12 (1)
a) Pendidikan agama
dilaksanakan sesuai Standar Nasional Pendidikan.
b) Pendidikan agama
diajarkan sesuai dengan tahap perkembangan kejiwaan peserta didik.
c) Pendidikan agama
mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan
sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam
kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
d) pendidikan agama
mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat diantara sesama pemeluk
agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain.
e) Pendidikan agama
membangun sikap mental peserta didik untuk bersikap dan berperilaku jujur,
amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri, kompetitif, kooperatif,
tulus, dan bertanggung jawab.
f) Pendidikan agama
menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong
peserta didik untuk memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, dan/atau olah raga.
g) Pendidikan Agama
diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
mendorong kreativitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses.
(PP. 55/2007, pasal 5).
4. Kewajiban Satuan
Pendidikan
Kewajiban satuan
pendidikan yakni: setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama. setiap satuan pendidikan
menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama. Satuan pendidikan yang
tidak dapat menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama dapat
bekerjasama dengan satuan pendidikan yang setingkat atau menyelenggarakan
pendidikan agama di masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan agama bagi
peserta didik. Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat dan kesempatan
kepada peserta didik untuk melaksanakan ibadah berdasarkan ketentuan agama yang
dianut oleh peserta didik.
5. Praktik
Pendidikan Agama di sekolah.
Walaupun ketentuan
tentang sistem pendidikan agama sudah sangat jelas, dalam praktiknya
penyelenggaraan pendidikan agama berbeda-beda. Perbedaan model/sistem
pendidikan agama disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: faktor teologis, faktor kelembagaan, faktor
sosial/budaya, strategis politis.
Secara umum,
terdapat empat praktik / model penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah,
yakni :
a. Praktik/model
sebagaimana ketentuan sistem pendidikan nasional. Peserta didik mendapatkan
pendidikan agama sesuai agamanya dan diajarkan oleh guru yang seagama. Model
ini diselenggarakan di sekolah negeri/swasta yang tidak memiliki misi agama
tertentu dan sebagian swasta yang berciri khas agama tertentu.
b. Model pendidikan
relijiusitas. Dalam model ini peserta didik mempelajari agama-agama secara
bersama-sama di bawah bimbingan guru agama satuan pendidikan yang bersangkutan.
Peserta didik yang menganut agama sesuai dengan satuan pendidikan mendapatkan
pendalaman materi dari guru agama. Yang lainnya cukup mendiskusikan ajaran agama
dan pengalaman beragama sesuai dengan keyakinannya. Model ini diselenggarakan
di lembaga pendidikan Katolik di bawah Keuskupan Agung Semarang.
c. Praktik/Model
pendidikan agama dimana peserta didik dari semua agama hanya menerima
pendidikan agama sesuai dengan agama satuan pendidikan dan diajarkan oleh
pendidikan agama satuan pendidikan. Biasanya model ini dilakukan dengan
persetujuan orang tua peserta didik sebelum diterima di satuan pendidikan yang
bersangkutan. Sebagian besar satuan pendidikan swasta berciri khas agama
tertentu menyelenggarakan model ini.
d. Praktik/model
pendidikan agama dimana peserta didik menerima pendidikan agama sebagaimana
ketentuan pemerintah dengan pelajaran tambahan tentang ciri khusus keagamaan
satuan pendidikan yang bersangkuta. Model ini antara lain dikembangkan di
sekolah Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah dimana peserta didik mendapatkan
pendidikan agama sesuai ketentuan Pemerintah dan tambahan pendidikan Ke NU an
atau Kemuhammadiyahan.
C. Problem
pendidikan Agama Disekolah.
Problem
pendidikan agama di sekolah terkait dengan empat pokok masalah, yaitu:
1. Problem teologis
Yang terkait
dengan sistem pendidikan agama Konfesional yaitu pendidikan agama yang
bertujuan untuk membentuk/menjadikan (learning to be) peserta didik sebagai
pemeluk agama yang bertakwa. Dengan sistem ini, pendidikan agama dimaknai dan
berfungsi sebagai media/alat “misi dakwah” agama, termasuk satuan pendidikan berciri
khas agama tertentu.
2. Problem politis
Yang terkait
dengan “pengakuan” agama oleh pemerintah. Secara resmi Pemerintah mengakui enam
agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hucu. Problem dialami
oleh pemeluk agama selain enam agama tersebut. Karena alasan praktis/pragmatis
peserta didik dipersilakan memilih pendidikan agama yang diselenggarakan di
satuan pendidikan atau mengikuti agama satuan pendidikan. Alasan pemilihan seringkali
karena “kemudahan/kemurahan” nilai/skor.
3. Problem
administratif-paedagogis
Dimana
pendidikan agama tidak diajarkan oleh pendidik/guru agama. Sesuai dengan
ketentuan, kewenangan mengajar pendidikan agama anya oleh pendidik/guru agama.
Karena kekurangan guru, seringkali pendidikan agama diajarkan oleh tokoh
agama/guru bidang studi lain yang dinilai menguasai agama. Problem “mis-match”
ini disebabkan oleh kurangnya guru agama dan sebaran guru agama.
4. Problem
kurikuler
Dimana
pendidikan agama tidak/kurang memberikan perspektif/pengenalan terhadap agama
lain karena faktor muatan dan metode pendidikan. Problem ini ditengarai menjaci
pemicu rendahnya sikap toleransi internal dan antar umat beragama. Kekerasan
keagamaan sebagiannya dipicu oleh sikap tertutup dan tidak toleran terhadap
pemeluk keyakinan lain.
D. Solusi
Pendidikan Agama Disekolah.
Solusi pendidikan agama di sekolah Alternatif solusi
yang bisa dilaksanakan untuk pelayanan pendidikan agama anak di sekolah :
1. Solusi hukum
dimana
Pemerintah dan Pemerintah Daerah memastikan satuan pendidikan mematuhi
perundang-undangan kependidikan yang berlaku (PP. 55/2007, pasal 7). Problem
pendidikan agama sebagiannya disebabkan oleh lemahnya pengawasan dan pembinaan
oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
2. Solusi Kurikuler
dimana materi
dan metode pendidikan agama dapat mengenalkan mengenai agama lain, bukan dalam
bentuk perbandingan isi ajaran agama tetapi memahami secara sosiologis pemeluk
agama lain. Pendidikan agama perlu memberikan pengalaman kepada peserta didik
untuk berinteraksi dengan pemeluk agama lain baik di dalam lingkungan sekolah
maupun di masyarakat.
3. Solusi kultural
dimana
Pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama mendorong terjadinya dialog dan
kemungkinan kerjasama umat beragama dalam masalah-masalah sosial, moral, dan
kebangsaan. Peserta didik perlu mendapatkan pengalaman bekerjasama bagaimana
menyelesaikan masalah sosial seperti tawuran, kekerasan, penyalahgunaan
narkoba, korupsi, pornografi,
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
Agama memiliki kedudukan yang penting dalam pendidikan
nasional. Pertama, tujuan pendidikan nasional: “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.” (UU 20/2003, pasal 3).
Secara umum, terdapat empat praktik / model
penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah, yakni : Praktik/model, Model
pendidikan relijiusitas, Praktik/Model pendidikan agama dimana peserta didik
dari semua agama hanya menerima pendidikan agama sesuai dengan agama satuan
pendidikan dan diajarkan oleh pendidikan agama satuan pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_20_03.htm
No comments:
Post a Comment