1

loading...

Thursday, November 8, 2018

MAKALAH PENERAPAN PANCASILA PADA MASA ORDE LAMA, ORDE BARU DAN REFORMASI

MAKALAH PENERAPAN PANCASILA PADA MASA ORDE LAMA, ORDE BARU DAN REFORMASI

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Pancasila adalah sebagai ideologi dasar bangsa Indonesia. Yaitu sebagai nilai-nilai yang mendasari segala aspek kehidupan bermasyarakat rakyat Indonesia. Terdiri dari lima sendi utama yaitu, Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksaan dalam permusyawaratan dan perwakilan, dan yang terakhir keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.Pancasila yang lahir pada tanggal 1 Juni 1945 ini resmi ditetapkan sebagai dasar Negara Indonesia ini masih terus digunakan hingga saat ini.
 Penerapannya pun berbeda sesuai dengan masa yang ada. Di setiap masa, pancasila mengalami perkembangan terutama dalam mengartikan Pancasila itu sendiri. Dalam makalah ini kita akan membahas tentang pancasila dalam kajian sejarah bangsa indonesia Era Orde Lama, Orde Baru dan Masa Reformasi yang tentunya memiliki penerapan yang berbeda beda antara satu sama lainnya. Masa Orde Lama yaitu di masa pemerintahan presiden Soekarno, Masa Orde Baru yaitu di masa pemerintahan presiden Soeharto, dan Masa Reformasi yaitu di masa runtuhnya pemerintahan presiden Soeharto. Dalam masa-masa tersebut terdapat banyak hal-hal yang belum relevan dalam penerapan pancasila tersebut. Banyak penyelewengan yang terjadi di masa-masa ini.


B.   Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah penerapan pancasila di masa orde lama?
2.      Bagaimanakah penerapan pancasila di masa orde baru?
3.      Bagaimanakah penerapan pancasila di era reformasi?

C.   Tujuan
1.      Mengetahui penerapan pancasila di masa orde lama.
2.      Mengetahui penerapan pancasila di masa orde baru.
3.      Mengetahui penerapan pancasila di era reformasi.

 BAB II
PEMBAHASAN
A.    Era Orde Lama
Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Pada saat itu kondisi politik dan keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam suasana transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka. Masa orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama dalam sistem kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda pada masa orde lama. Terdapat 3 periode implementasi Pancasila yang berbeda, yaitu:
1.  Periode 1945-1950.
Konstitusi yang digunakan adalah pancasila dan UUD 1995 yang presidensil, namun dalam praktek kenegaraan sistem presidensil tak dapat diwujudkan. Setelah penjajah dapat diusir, persatuan mulai mendapat tantangan. upaya–upaya untuk menggati pancasila sebagai dasar negara dengan faham komunis oleh PKI mulai memberontak di madium tahun 1948 dan oleh DI/TII yang yang akan mendirikan negara dasar islam.
2.  Periode 1950-1959
Penerapan pancasila selama priode ini adalah pancasila diarahkan sebagai ideology liberal yang ternyata tidak menjamin stabilitas pemerintahan. walaupun dasar negara tetap pancasila, tetapi rumusan sila keempat bukan berjiwa musyawarah mufakat, melaikan suara terbanyak (voting). dalam bidang  politik, demokrasi berjalan dengan baik dengan terlaksananya pemilu 1955 yang dianggap paling demokratis.
3.  Priode 1956-1965
Dikenal sebagai priode demokrasi terpimpin. demokrasi bukan berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin adalah nilai-nilai pancasila tetapi berada pada kekuasaan pribadi presiden soekarno. terjadilah berbagai penyimpangan penafsiran terhadap pancasila dalam konstitusi. akibanya soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi persiden seumur hidup, politik konfrontasi, dan menggabungkan nasionalis, agama, dan komunis, yang ternyata tidak cocok bagi NKRI. terbukti adanya kemerosotan moral di berbagai masyarakat yang tidak lagi hidup  bersendikan nila-nilai pancasila, dan berusaha untuk menggatikan pancasila dengan ideologi yang lain. dalam mengimplentasikan pancasila, bungkarno melakukan pemahaman pancasila dengan paradikma yanga disebut USDK. untuk memberi arah perjalanan bangsa, beliau menekankan pentingnya memegang teguh UUD 45, sosialisme ala indonesia, demokrasi terpinpin, ekonomi terpinpin, dan kepribadian nasional. hasilnya terjadi kudeta PKI dan kondisi ekonomi yang memprihatinkan.
Era orde lama ditandai dengan dikeluarkannya dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959.
Pada masa itu berlaku demokrasi terpimpin. Setelah menetapkan berlakunya kembali UUD 1945, Presiden Soekarno meletakkan dasar kepemimpinannya. Yang dinamakan demokrasi terimpin yaitu demokrasi khas Indonesia yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Demokrasi terpimpin dalam prakteknya tidak sesuai dengan makna yang terkandung didalamnya dan bahkan terkenal menyimpang. Dimana demokrasi dipimpin oleh kepentingan-kepentingan tertetnu.
Pada masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan politik dan pemerintah sering terjadi penyimpangan yang dilakukan Presiden dan juga MPRS yang bertentangan dengan pancasila dan UUD 1945. Artinya pelaksanaan UUD1945 pada masa itu belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang presiden dan lemahnya control yang seharusnya dilakukan DPR terhadap kebijakan-kebijakan.
Selain itu, muncul pertentangan politik dan konflik lainnya yang berkepanjangan sehingga situasi politik, keamanaan dan kehidupan ekonomi makin memburuk puncak dari situasi tersebut adalah munculnya pemberontakan G30S/PKI yang sangat membahayakan keselamatan bangsa dan Negara.
Mengingat keadaan makin membahayakan Ir. Soekarno selaku presiden RI memberikan perintah kepada Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1969 (Supersemar) untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan bagi terjaminnya keamanaan, ketertiban dan ketenangan serta kesetabilan jalannya pemerintah. Lahirnya Supersemar tersebut dianggap sebagai awal masa Orde Baru.
Kajian Kesimpulan Pada Era Orde Lama
1.      Kelebihan
a.       Munculnya aksi-aksi positif dari masyarakat sebagai bentuk demokrasi.
2.      Kekurangan
a.       Munculnya komunisme dan liberalisme.
b.      Meletusnya pemberontakkan G 30 S/PKI.
c.       Sering jatuhnya kabinet.
d.      Penyimpangan terhadap UUD dan Pancasila yang ironisnya dilakukan oleh Presiden Indonesia sendiri.
3.      Kesimpulan dan solusi
Pada masa orde lama ini banyak terjadi penyimpangan dalam badan UUD dan Pancasila. Juga terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan seperti munculnya liberlaisme dan komunisme. Puncaknya yaitu saat G 30 S/PKI dan pemeritah dinilai tidak mampu mengatasinya sehingga Presiden Soekarno memberikan mandat kepada Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan.
B.     Era Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.



Latar belakang munculnya Gerakan 30 September 1965 antara lain :
a.       Adanya krisis sosial politik dan ekonomi nasional yang memprihatinkan
b.       Pemberlakuan doktrin Nasakom yang memperkukuh kedudukan PKI dalam peraruran politik RI yang hanya dapat di imbangi oleh AD
c.       Gagasan PKI untuk mewujudkan angkatan kelima.
d.      Adanya perseteruan antara PKI dan AD.
PKI merupakan organisasi politik kelanjutan dari ISDV yang didirikan oleh H. Sneevliet pada tahun 1914. Aktivitas PKI menekan tindakan revolusioner untuk mencapai tujuannya. Misalnya :
a. Pada tahun 1926-1927 mengadakan pemberontakan di beberapa daerah tetapi di gagalkan oleh pemerintah Hindia Belanda.
b.Pada tahun1948 mengadakan pemberontakan di Madiun,
Era Orde Baru dalam sejarah republik ini merupakan masa pemerintahan yang terlama, dan bisa juga dikatakan sebagai masa pemerintahan yang paling stabil. Stabil dalam artian tidak banyak gejolak yang mengemuka, layaknya keadaan dewasa ini. Stabilitas yang diiringi dengan maraknya pembangunan di segala bidang. Era pembangunan, era penuh kestabilan, menimbulkan romantisme dari banyak kalangan.
Di era Orde Baru, yakni stabilitas dan pembangunan, serta merta tidak lepas dari keberadaan Pancasila. Pancasila menjadi alat bagi pemerintah untuk semakin menancapkan kekuasaan di Indonesia. Pancasila begitu diagung-agungkan; Pancasila begitu gencar ditanamkan nilai dan hakikatnya kepada rakyat; dan rakyat tidak memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang mengganjal.
Menurut Hendro Muhaimin bahwa Pemerintah di era Orde Baru sendiri terkesan “menunggangi” Pancasila, karena dianggap menggunakan dasar negara sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. Disamping hal tersebut, penanaman nilai-nilai Pancasila di era Orde Baru juga dibarengi dengan praktik dalam kehidupan sosial rakyat Indonesia. Kepedulian antarwarga sangat kental, toleransi di kalangan masyarakat cukup baik, dan budaya gotong-royong sangat dijunjung tinggi. Selain penanaman nilai-nilai tersebut dapat dilihat dari penggunaan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berorganisasi, yang menyatakan bahwa semua organisasi, apapun bentuknya, baik itu organisasi masyarakat, komunitas, perkumpulan, dan sebagainya haruslah mengunakan Pancasila sebagai asas utamanya.
Di era Orde Baru, terdapat kebijakan Pemerintah terkait penanaman nilai-nilai Pancasila, yaitu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Materi penataran P4 bukan hanya Pancasila, terdapat juga materi lain seperti UUD 1945, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), Wawasan Nusantara, dan materi lain yang berkaitan dengan kebangsaan, nasionalisme dan patriotisme. Kebijakan tersebut disosialisaikan pada seluruh komponen bangsa sampai level bawah termasuk penataran P4 untuk siswa baru Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA), yang lalu dilanjutkan di perguruan tinggi hingga di wilayah kerja. Pelaksanaannya dilakukan secara menyeluruh melalui Badan Penyelenggara Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) dengan metode indoktrinasi.
Visi Orde Baru pada saat itu adalah untuk mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Sejalan dengan semakin dominannya kekuatan negara, nasib Pancasila dan UUD 1945 menjadi semacam senjata bagi pemerintahan Orde Baru dalam hal mengontrol perilaku masyarakat. Seakan-akan ukurannya hanya satu: sesuatu dianggap benar kalau hal tersebut sesuai dengan keinginan penguasa, sebaliknya dianggap salah kalau bertentangan dengan kehendaknya. Sikap politik masyarakat yang kritis dan berbeda pendapat dengan negara dalam prakteknya malah dengan mudahnya dikriminalisasi.
Penanaman nilai-nilai Pancasila pada saat itu dilakukan tanpa sejalan dengan fakta yang terjadi di masyarakat, berdasarkan perbuatan pemerintah. Akibatnya, bukan nilai-nilai Pancasila yang meresap ke dalam kehidupan masyarakat, tetapi kemunafikan yang tumbuh subur dalam masyarakat. Sebab setiap ungkapan para pemimpin mengenai nilai-nilai kehidupan tidak disertai dengan keteladanan serta tindakan yang nyata, sehingga banyak masyarakat pun tidak menerima adanya penataran yang tidak dibarengi dengan perbuatan pemerintah yang benar-benar pro-rakyat.
Pada era Orde Baru sebagai era “dimanis-maniskannya” Pancasila. Secara pribadi, Soeharto sendiri seringkali menyatakan pendapatnya mengenai keberadaan Pancasila, yang kesemuanya memberikan penilaian setinggi-tingginya terhadap Pancasila. Ketika Soeharto memberikan pidato dalam Peringatan Hari Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1967. Soeharto mendeklarasikan Pancasila sebagai suatu force yang dikemas dalam berbagai frase bernada angkuh, elegan, begitu superior. Dalam pidato tersebut, Soeharto menyatakan Pancasila sebagai “tuntunan hidup”, menjadi “sumber tertib sosial” dan “sumber tertib seluruh perikehidupan”, serta merupakan “sumber tertib negara” dan “sumber tertib hukum”. Kepada pemuda Indonesia dalam Kongres Pemuda tanggal 28 Oktober 1974, Soeharto menyatakan, “Pancasila janganlah hendaknya hanya dimiliki, akan tetapi harus dipahami dan dihayati!” Dapat dikatakan tidak ada yang lebih kuat maknanya selain Pancasila di Indonesia, pada saat itu, dan dalam era Orde Baru.
Meskipun dianggap Panccasila hal yang paling luhur dan diagung-agungkan, pada tahun-tahun akhir pemerintahan Presiden Soeharto malah banyak timbul KKN dan meningkatnyta inflasi. Hutang Indonesia semakin banyak dan ekonomi pun terpuruk. Puncaknya yaitu Mei 1998 yang akhirnya menyebabkan Presiden Soeharto mengundurkan diri dan digantikan oleh wakilnya B.J. Habibie
Setelah lengsernnya Ir. Soekarno sebagai presiden, selanjutnnya jenderal Soeharto yang memegang kendali terhadap negeri ini. Dengan berpindahnya kursi kepresidenan tersebut, arah pemahaman terhadap Pancasila pun mulai diperbaiki.
Pada peringatan hari lahir Pancasila, 1 juni 1967 Presiden Soeharto mengatakan, “Pancasila makin banyak mengalami ujian zaman dan makin bulat tekad kita mempertahankan Pancasila”. Selain itu, Presiden Soeharto juga mengatakan, “Pancasila sama sekali bukan sekedar semboyan untuk dikumandangkan, Pancasila bukan dasar falsafah negara yang sekedar dikeramatkan dalam naskah UUD melainkan Pancasila harus diamalkan (Setiardja, 1994: 5).
 Jadi, Pancasila dijadikan sebagai political forcre di samping sebagai kekuatan ritual. Begitu kuatnya Pancasila digunakan sebagai dasar negara, maka pada 1 juni 1968 Presiden Soeharto mengatakan bahwa Pancasila sebagai pegangan hidup bangsa akan membuat bangsa Indonesia tidak loyo, bahkan jika ada pihak-pihak tertentu mau mengganti, merubah Pancasila dan menyimpang dari Pancasila pasti digagalkan (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed), 2010: 42).
Selanjutnya pada tahun 1968 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden nomor 12 tahun 1968 yang menjadi panduan dalam mengucapkan Pancasila sebagai dasar negara, yaitu:
Satu                 :Ke-Tuhan-an yang Maha esa
Dua                 :Kemanusiaan yang adil dan beradab
Tiga                 :Persatuan Indonesia
Empat              :Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam  permusyawaratan/ perwakilan
Lima                :Keadilan sosial bagi seluruh rak+at Indonesia.
Instruksi Presiden tersebut mulai berlaku pada tanggal 13 Aril 1968.
Pada tanggal 22 Maret 1978 ditetapkan ketetapan (disingkat TAP) MPR  nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) yang salah satu pasalnya yaitu, Pasal 4 menjelaskan,
“Pedoman Penghayatan dan Pengamalan pancasila merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik Pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh”.
Adapun nilai dan norma-norma yang terkandung dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) berdasarkan ketetapan tersebut meliputi 34 butir, yaitu:
1.      Sila Ketuhanan yang Maha Esa
a.       Percaya dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.  
b.      Hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina kerukunan hidup.
c.       Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya. d.Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
2.      Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab
a.       Mengakui persamaan derajat. persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.  
b.      Saling mencintai sesama manusia.
c.       Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepo seliro.
d.      Tidak semena-mena terhadap orang lain.
e.       Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
f.       Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
g.      Berani membela kebenaran dan keadilan.
h.      Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
3.      Sila Persatuan Indonesia
a.       Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.  
b.      Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
c.       Cinta tanah air dan bangsa.
d.      Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia.
e.       Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
4.      Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
a.       Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.  
b.      Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
c.       Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
d.      Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
e.       Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
f.       Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
g.      Keputusan yang diambil harus dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
5.      Sila Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
a.       Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap  suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan.  
b.      Bersikap adil.
c.       Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
d.      Menghormati hak-hak orang lain.
e.       Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
f.       Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
g.      Tidak bersifat botos.
h.      Tidak bergaya hidup mewah.
i.        Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.  
j.        Suka bekerja keras.
k.      Menghargai hasil karya orang lain.
l.        Bersama-sama mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.  
Nilai-nilai Pancasila yang terdiri atas 34 butir tersebut, kemudian pada tahun 1998 disarikan/dijabarkan kembali oleh BP-7 Pusat menjadi 45 butir P4. Perbedaan yang dapat digambarkan yaitu: Sila Kesatu, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Kedua, menjadi 10 (sepuluh) butir; Sila Ketiga, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Keempat; menjadi 10 (sepuluh) butir; dan Sila Kelima, menjadi 11 (sebelas) butir.
Sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan di negara Indonesia diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan ini menegaskan, “amanat penderitaan rakyat hanya dapat diberikan dengan pengamalan Pancasila secara paripurna dalam segala segi kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan dan dengan pelaksanaan secara murni dan konsekuen jiwa serta ketentuan-ketentuan UUD 1945, untuk menegakkan Republik Indonesia sebagai suatu negara hukum yang konstitusionil sebagaimana yang dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945” (ALI, 2009: 37).
. Ketika itu, sebagian golongan Islam menolak reinforcing oleh pemerintah dengan menyatakan bahwa pemerintah akan mengagamakan Pancasila. Kemarahan Pemerintah tidak dapat dibendung sehingga Presiden Soeharto bicara keras pada Rapim ABRI di Pekanbaru 27 Maret 1980. Intinya Orba tidak akan mengubah Pancasila dan UUD 1945, malahan diperkuat sebagai comparatist ideology. Jelas sekali bagaimana pemerintah Orde Baru merasa perlu membentengi Pancasila dan TAP itu meski dengan gaya militer. Tak seorang pun warga negara berani keluar dari Pancasila (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed), 2010: 43). Selanjutnya pada bulan Agustus 1982 Pemerintahan Orde Baru menjalankan “Azas Tunggal” yaitu pengakuan terhadap Pancasila sebagai Azas Tunggal, bahwa setiap partai politik harus mengakui posisi Pancasila sebagai pemersatu bangsa (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43-44).
Dengan semakin terbukanya informasi dunia, pada akhirnya pengaruh luar masuk Indonesia pada akhir 1990-an yang secara tidak langsung mengancam aplikasi Pancasila yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Demikian pula demokrasi semakin santer mengkritik praktek pemerintah Orde Baru yang tidak transparan dan otoriter, represif, korup dan manipulasi politik yang sekaligus mengkritik praktek Pancasila. Meski demikian kondisi ini bertahan sampaidengan lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998<(Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 45).

Kajian Kesimpulan Pada Era Orde Baru
1.      Kelebihan
a. Pancasila betul-betul dilaksanakan secara nyata
b. Pada awal-awal, ekonomi Indonesia sangat kuat.
c. Membangun irigasi
d. Membentuk badan PPL
2.      Kekurangan
a. Pancasila hanya dijadikan kedok untuk “pembenaran” pembangunan yang dilakukan
b. Adanya politisasi Pancasila
c. Semaraknya KKN
d. Tidak mampu menguasai pimpinan Negara
e. Terbatasnya kebebasan berpendapat (pers)
3.      Kesimpulan dan Solusi
Meskipun pada awalnya Pancasila begitu diagung-agungkan, dan masa Orde Baru ini menunjukkan kinerja positif, tetapi lama kelamaan hanya menjadi alat untuk orang yang berkepentingan. Sehingga Indonesia mencapai masa terburuk pada tahun 1998. Peristiwa lengsernya Soeharto membawa Indonesia pada era reformasi.
C.    Era Reformasi
Secara harfiah reformasi memiliki arti suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat. Oleh karena itu suatu gerakan reformasi memiliki kondisi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu penyimpangan penyimpangan.
2. Suatu gerakan reformasi dilakukan harus dengan suatu cita-cita yang jelas (landasan ideologis) tertentu.
3. Suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasarkan pada suatu kerangka structural tertentu (dalam hal ini UUD) sebagai kerangka acuan reformasi.
4. Reformasi dilakukan ke arah suatu perubahan kondisi serta keadaan yang lebih baik dalam segala aspek antara lain bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, serta kehidupan keagamaan.

Memahami peran Pancasila di era reformasi, khususnya dalam konteks sebagai dasar negara dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap warga negara Indonesia memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki persepsi dan sikap yang sama terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila sebagai paradigma ketatanegaraan artinya pancasila menjadi kerangka berpikir atau pola berpikir bangsa Indonesia, khususnya sebagai dasar negara ia sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai negara hukum, setiap perbuatan baik dari warga masyarakat maupun dari pejabat-pejabat harus berdasarkan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam kaitannya dalam pengembangan hukum, Pancasila harus menjadi landasannya. Artinya hukum yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila Pancasila. Substansi produk hukumnya tidak bertentangan dengan sila-sila pancasila.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan bidang sosial politik mengandung arti bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai wujud cita-cita Indonesia merdeka di implementasikan sebagai berikut :
1.      Penerapan dan pelaksanaan keadilaan sosial mencakup keadilan politik, agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
2.      Mementingkan kepentingan rakyat / demokrasi dalam pengambilan keputusan.
3.      Melaksanakan keadilaan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan kesatuan.
4.      Dalam pelaksanaan pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab.
5.      Nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan toleransi bersumber pada nilai ke Tuhanan Yang Maha Esa.
Pancasila sebagai paradigma nasional bidang ekonomi mengandung pengertian bagaimana suatu falsafah itu diimplementasikan secara riil dan sistematis dalam kehidupan nyata.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang kebudayaan mengandung pengertian bahwa Pancasila adalah etos budaya persatuan, dimana pembangunan kebudayaan sebagai sarana pengikat persatuan dalam masyarakat majemuk. Oleh karena itu smeboyan Bhinneka Tunggal Ika dan pelaksanaan UUD 1945 yang menyangkut pembangunan kebudayaan bangsa hendaknyamenjadi prioritas, karena kebudayaan nasional sangat diperlukan sebagai landasan media sosial yang memperkuat persatuan. Dalam hal ini bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa persatuan.
Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Hankam, maka paradigma baru TNI terus diaktualisasikan untuk menegaskan, bahwa TNI telah meninggalkan peran sosial politiknya atau mengakhiri dwifungsinya dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari sistem nasional.
Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, dengan memasuki kawasan filsafat ilmu (philosophy of science) ilmu pengetahuan yang diletakkan diatas pancasila sebagai paradigmanya perlu difahami dasar dan arah penerapannya, yaitu pada aspek ontologis, epistomologis, dan aksiologis. Ontologis, yaitu bahwa hakikat ilmu pengetahuan aktivitas manusia yang tidak mengenal titik henti dalam upayanya untuk mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Ilmu pengetahuan harus dipandang secara utuh, dalam dimensinya sebagai proses menggambarkan suatu aktivitas warga masyarakat ilmiah yang melalui abstraksi, spekulasi, imajinasi, refleksi, observasi, eksperimentasi, komparasi dan eksplorasi mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Sebagai produk, adanya hasil yang diperoleh melalui proses, yang berwujud karya-karya ilmiah beserta aplikasinya yang berwujud fisik ataupun non fisik. Epistimologi, yaitu bahwa Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijadikan metode berpikir, dalam arti dijadikan dasar dan arah didalam pengembangan ilmu pengetahuan yang parameter kebenaran serta kemanfaatan hasil-hasil yang dicapainya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila itu sendiri. Aksilogis, yaitu bahwa dengan menggunakan epistemologi tersebut diatas, pemanfaatan dan efek pengembangan ilmu pengetahuan secara negatif tidak bertentangan dengan Pancasila dan secara positif mendukung atau mewujudkan nilai-nilai ideal Pancasila.
Dunia masa kini sedang dihadapi kepada gelombang perubahan secara cepat, mendasar, spektakuler, sebagai implikasi arus globalisasi yang melanda seluruh penjuru dunia, khususnya di abad XXI sekarang ini, bersamaan arus reformasi yang sedang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Reformasi telah merombak semua segi kehidupan secara mendasar, maka semakin terasa orgensinya untuk menjadi Pancasila sebagai dasar negara dalam kerangka mempertahankan jatidiri bangsa dan persatuan dan kesatuan nasional, lebih-lebih kehidupan perpolitikan nasional yang tidak menentu di era reformasi ini. Berdasarkan hal tersebut diatas perlunya reposisi Pancasila yaitu reposisi Pancasila sebagai dasar negara yang mengandung makna Pancasila harus diletakkan dalam keutuhannya dengan Pembukaan UUD 1945, dieksplorasikan pada dimensi-dimensi yang melekat padanya.
Realitasnya bahwa nilai-nilai yang terkandung didalamnya dikonkritisasikan sebagai ceminan kondisi obyektif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, suatu rangkaian nilai-nilai yang bersifat “sein im sollen dan sollen im sein”.
Idealitasnya bahwa idealisme yang terkandung didalamnya bukanlah sekedar utopi tanpa makna, melainkan diobyektifitasikan sebagai akta kerja untuk membangkitkan gairah dan optimisme para warga masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif.
Fleksibilitasnya dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang sudah selesai dan dalam kebekuan dogmatis dan normatif, melainkan terbuka bagi tafsi-tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan zaman yang terus menerus berkembang, dengan demikian tanpa kehilangan nilai hakikinya Pancasila menjadi tetap aktual, relevan serta fungsional sebagai penyangga bagi kehidupan bangsa dan negara.
Di era reformasi ini, Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan mempengaruhi dan menuntun masyarakat. Pancasila tidak lagi populer seperti pada masa lalu. Elit politik dan masyarakat terkesan masa bodoh dalam melakukan implementasi nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila memang sedang kehilangan legitimasi, rujukan dan elan vitalnya. Sebab utamannya karena rejim Orde Lama dan Orde Baru menempatkan Pancasila sebagai alat kekuasaan yang otoriter.
Terlepas dari kelemahan masa lalu, sebagai konsensus dasar dari berdirinya bangsa ini, yang diperlukan dalam konteks era reformasi adalah pendekatan-pendekatan yang lebih konseptual, komprehensif, konsisten, integratif, sederhana dan relevan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Pancasila yang seharusnya sebagai nilai, dasar moral etik bagi negara dan aparat pelaksana Pegara, dalam kenyataannya digunakan sebagai alat legitimasi politik. Puncak dari keadaan tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi nasional, maka timbullah berbagai gerakan masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa, cendekiayan dan masyarakat sebagai gerakan moral politik yang menuntut adanya “Reformasi” di segala bidang politik, ekonomi dan hukum (Kaelan, 2000: 245). Saat Orde Baru tumbang, muncul fobia terhadap Pancasila. Dasar negara itu untuk sementara waktu seolah dilupakan karena hampir selalu identik dengan rezim Orde Baru. Dasar negara itu berubah menjadi ideologi tunggal dan satu-satunya sumber nilai serta kebenaran. Negara menjadi maha tahu mana yang benar dan mana yang salah. Nilai-nilai itu selalu ditanam ke benak masyarakat melalui indoktrinasi (Ali, 2009: 50).
Dengan seolah-olah “dikesampingkannya” Pancasila pada Era Reformasi ini, pada awalnya memang tidak napak suatu dampak negatif yang berarti, namun semakin hari dampaknya makin terasa dan berdampak sangat fatal terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Dalam kehidupan sosial, masyarakat kehilangan kendali atas dirinya, akibatnya terjadi konflik-konflik horisontal dan vertikal secara masif dan pada akhirnya melemahkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia. Dalam bidang budaya, kesadaran masyarakat atas keluhuran budaya bangsa Indonesia mulai luntur, yang pada akhirnya terjadi disorientasi kepribadian bangsa yang diikuti dengan rusaknya moral generasi muda. Dalam bidang ekonomi, terjadi ketimpangan-ketimpangan di berbagai sektor diperparah lagi dengan cengkeraman modal asing dalam perekonomian Indonesia. Dalam bidang politik, terjadi disorientasi politik kebangsaan, seluruh aktivitas politik seolah-olah hanya tertuju pada kepentingan kelompok dan golongan. Lebih dari itu, aktivitas politik hanya sekedar merupakanlibido dominandi atas hasrat untuk berkuasa, bukannya sebagai suatu aktivitas memperjuangkan kepentingan nasional yang pada akhirnya menimbulkan carutmarut kehidupan bernegara seperti dewasa ini (Hidayat, 2012).  
Namun demikian,  kesepakatan Pancasila menjadi dasar Negara Republik Indonesia secara normatif, tercantum dalam ketetapan MPR. Ketetapan MPR  Nomor XVII/MPR/1998. Pasal 1 menyebutkan bahwa “Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara” (MD. 2011). Ketetapan ini terus dipertahankan, meskipunketika itu Indonesia akan menghadapi Amandeman Undang-Undang Dasar  Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.
Selain kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila pun menjadi sumber hukum yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000
Pasal 1 Ayat (3) yang menyebutkan,
 “Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan, perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945”.

Kajian Kesimpulan Pada Era Reformasi

1.      Kelebihan
a. Munculnya kebebasan pers
b. Kembalinya jati diri bangsa Indonesia
2.      Kekurangan
a. Masih banyak system yang berantakan
b. Kurangnya penanaman nilai-nilai Pancasila.
c. Menjamurnya globalisasi
d. Kurangnya kepedulian akan Indonesia ini

3.      Kesimpulan dan Solusi
Seiring berjalannya waktu hingga kini, demokrasi di Indonesia masih juga diwarnai dengan politisasi uang. Sehingga percuma ada demokrasi. Demokrasi sudah hamper mati. Kurangnya juga penanaman nilai- nilai pancasila dalam diri anak, sehingga tidak ada rasa cinta pada tanah air. Solusinya, kita sebagai generasi muda harus berjuang memajukan Negara ini dengan Pancasila sebagai pedoman dan pembimbing kita.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Setelah di atas telah banyak di jelaskan mengenai pelaksanaan  Pancasila mulai dari orde lama, orde baru sampai reformasi, telah terlihat jelas mengenai penerapan Pancasila dari waktu ke waktu ini erat kaitannya dengan kesadaran setiap warga negara. Kesadaran untuk melaksanakan pancasila adalah buah dari akal pikiran manusia, apabila akalnya telah tertanam Pancasila maka untuk mengimplementasikannya akan lebih mudah dan terlaksana dengan baik. Dan kesadaran itu akan mencapai tingkat yang sebaiknya, apabila keadaan terdorong dan taat itu selalu ada pada kita, sehingga lambat laun melekat pada diri pribadi kita, menjadi sifat kita, lahir batin, melekat pada akal kita, melekat pada kehendak kita, baik didalam hidup kita pribadi maupun didalam hidup kita bersama dengan sesama warga keluarga, sesama warga masyarakat, sesama warga  negara, sesama manusia. Terdorong dan taat untuk melaksanakan Pancasila itu juga meliputi seluruh lingkungan  hidup kemanusiaan, baik badaniah maupun yang rohaniah, yang sosial-ekonomis, sosial-politik, kebudayaan, mental, kesusilaan, keagamaan, serta kepercayaan.

B.     Saran
Perjalanan kehidupan birokrasi di Indonesia selalu dipengaruhi oleh kondisi sebelumnya. Budaya birokrasi yang telah ditanamkan sejak jaman kolonialisme berakar kuat hingga reformasi saat ini. Paradigma yang dibangun dalam birokrasi Indonesia lebih cenderung untuk kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang demikian diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara. Budaya birokrasi yang korup semakin menjadi sorotan publik saat ini. Banyaknya kasus KKN menjadi cermin buruknya mentalitas birokrasi secara institusional maupun individu.
Sejak orde lama hingga reformasi, birokrasi selalu menjadi alat politik yang efisien dalam melanggengkan kekuasaan. Bahkan masa orde baru, birokrasi sipil maupun militer secara terang-terangan mendukung pemerintah dalam mobilisai dukungan dan finansial. Hal serupa juga masih terjadi pada masa reformasi, namun hanya di beberapa daerah. Beberapa kasus dalam Pilkada yang sempat terekam oleh media menjadi salah satu bukti nyata masih adanya penggunaan birokrasi untuk suksesi.
Sebenarnya penguatan atau ”penaklukan” birokrasi bisa saja dilakukan dengan catatan bahwa penaklukan tersebut didasarkan atas itikad baik untuk merealisasikan program-program yang telah ditetapkan pemerintah. Namun sayangnya, penaklukan ini hanya dipahami para pelaku politik adalah untuk memenuhi ambisi dalam memupuk kekuasaan.
Mungkin dalam hal ini, kita sebagai penerus bangsa harus mampu dan terus bersaing dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik dari sebelumnya , harga diri bangsa Indonesia adalah mencintai dan menjaga aset Negara untuk dijadikan simpanan buat anak cucu kelak. Dalam proses pembangunan bangsa ini harus bisa menyatukan pendapat demi kesejahteraan masyarakat umumnya.


DAFTAR PUSTAKA

Fitri,deniarti.2016.pancasila dalam kajian bangsa Indonesia.www.academia.edu.23september2017
Wahyuni,sri.2014.pancasila dalam kajian sejarah bangsa Indonesia.sriwahyunii.blogspot.co.id.23september2017




No comments:

Post a Comment