MAKALAH PENERAPAN PANCASILA PADA MASA ORDE LAMA, ORDE BARU DAN REFORMASI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pancasila adalah sebagai ideologi dasar
bangsa Indonesia. Yaitu sebagai nilai-nilai yang mendasari segala aspek
kehidupan bermasyarakat rakyat Indonesia. Terdiri dari lima sendi utama yaitu,
Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksaan dalam
permusyawaratan dan perwakilan, dan yang terakhir keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.Pancasila yang lahir pada tanggal 1 Juni 1945 ini resmi
ditetapkan sebagai dasar Negara Indonesia ini masih terus digunakan hingga saat
ini.
Penerapannya pun berbeda sesuai dengan masa
yang ada. Di setiap masa, pancasila mengalami perkembangan terutama dalam
mengartikan Pancasila itu sendiri. Dalam makalah ini kita akan membahas tentang
pancasila dalam kajian sejarah bangsa indonesia Era Orde Lama, Orde Baru dan
Masa Reformasi yang tentunya memiliki penerapan yang berbeda beda antara satu
sama lainnya. Masa Orde Lama yaitu di masa pemerintahan presiden Soekarno, Masa
Orde Baru yaitu di masa pemerintahan presiden Soeharto, dan Masa Reformasi
yaitu di masa runtuhnya pemerintahan presiden Soeharto. Dalam masa-masa
tersebut terdapat banyak hal-hal yang belum relevan dalam penerapan pancasila
tersebut. Banyak penyelewengan yang terjadi di masa-masa ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
penerapan pancasila di masa orde lama?
2. Bagaimanakah
penerapan pancasila di masa orde baru?
3. Bagaimanakah
penerapan pancasila di era reformasi?
C. Tujuan
1. Mengetahui
penerapan pancasila di masa orde lama.
2. Mengetahui
penerapan pancasila di masa orde baru.
3. Mengetahui
penerapan pancasila di era reformasi.
PEMBAHASAN
A.
Era Orde Lama
Pada masa Orde lama, Pancasila
dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang pada situasi dunia yang diliputi
oleh tajamnya konflik ideologi. Pada saat itu kondisi politik dan keamanan
dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam
suasana transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi masyarakat
merdeka. Masa orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi Pancasila
terutama dalam sistem kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang
berbeda-beda pada masa orde lama. Terdapat 3 periode implementasi Pancasila
yang berbeda, yaitu:
1. Periode 1945-1950.
Konstitusi yang digunakan adalah
pancasila dan UUD 1995 yang presidensil, namun dalam praktek kenegaraan sistem
presidensil tak dapat diwujudkan. Setelah penjajah dapat diusir, persatuan
mulai mendapat tantangan. upaya–upaya untuk menggati pancasila sebagai dasar
negara dengan faham komunis oleh PKI mulai memberontak di madium tahun 1948 dan
oleh DI/TII yang yang akan mendirikan negara dasar islam.
2. Periode 1950-1959
Penerapan pancasila selama priode
ini adalah pancasila diarahkan sebagai ideology liberal yang ternyata tidak
menjamin stabilitas pemerintahan. walaupun dasar negara tetap pancasila, tetapi
rumusan sila keempat bukan berjiwa musyawarah mufakat, melaikan suara terbanyak
(voting). dalam bidang politik, demokrasi berjalan dengan baik
dengan terlaksananya pemilu 1955 yang dianggap paling demokratis.
3. Priode 1956-1965
Dikenal sebagai priode demokrasi
terpimpin. demokrasi bukan berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin
adalah nilai-nilai pancasila tetapi berada pada kekuasaan pribadi presiden
soekarno. terjadilah berbagai penyimpangan penafsiran terhadap pancasila dalam
konstitusi. akibanya soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi persiden
seumur hidup, politik konfrontasi, dan menggabungkan nasionalis, agama, dan
komunis, yang ternyata tidak cocok bagi NKRI. terbukti adanya kemerosotan moral
di berbagai masyarakat yang tidak lagi hidup bersendikan nila-nilai
pancasila, dan berusaha untuk menggatikan pancasila dengan ideologi yang lain.
dalam mengimplentasikan pancasila, bungkarno melakukan pemahaman pancasila
dengan paradikma yanga disebut USDK. untuk memberi arah perjalanan bangsa,
beliau menekankan pentingnya memegang teguh UUD 45, sosialisme ala indonesia,
demokrasi terpinpin, ekonomi terpinpin, dan kepribadian nasional. hasilnya
terjadi kudeta PKI dan kondisi ekonomi yang memprihatinkan.
Era orde lama
ditandai dengan dikeluarkannya dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959.
Pada masa itu
berlaku demokrasi terpimpin. Setelah menetapkan berlakunya kembali UUD 1945,
Presiden Soekarno meletakkan dasar kepemimpinannya. Yang dinamakan demokrasi
terimpin yaitu demokrasi khas Indonesia yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan. Demokrasi terpimpin dalam prakteknya tidak sesuai
dengan makna yang terkandung didalamnya dan bahkan terkenal menyimpang. Dimana
demokrasi dipimpin oleh kepentingan-kepentingan tertetnu.
Pada masa
pemerintahan Orde Lama, kehidupan politik dan pemerintah sering terjadi
penyimpangan yang dilakukan Presiden dan juga MPRS yang bertentangan dengan
pancasila dan UUD 1945. Artinya pelaksanaan UUD1945 pada masa itu belum
dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan
pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang presiden dan lemahnya control yang
seharusnya dilakukan DPR terhadap kebijakan-kebijakan.
Selain itu, muncul pertentangan politik dan konflik lainnya yang
berkepanjangan sehingga situasi politik, keamanaan dan kehidupan ekonomi makin
memburuk puncak dari situasi tersebut adalah munculnya pemberontakan G30S/PKI
yang sangat membahayakan keselamatan bangsa dan Negara.
Mengingat
keadaan makin membahayakan Ir. Soekarno selaku presiden RI memberikan perintah
kepada Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1969 (Supersemar) untuk
mengambil segala tindakan yang diperlukan bagi terjaminnya keamanaan,
ketertiban dan ketenangan serta kesetabilan jalannya pemerintah. Lahirnya
Supersemar tersebut dianggap sebagai awal masa Orde Baru.
Kajian Kesimpulan Pada Era Orde
Lama
1.
Kelebihan
a.
Munculnya aksi-aksi positif dari
masyarakat sebagai bentuk demokrasi.
2.
Kekurangan
a.
Munculnya komunisme dan
liberalisme.
b.
Meletusnya pemberontakkan G 30
S/PKI.
c.
Sering jatuhnya kabinet.
d.
Penyimpangan terhadap UUD dan
Pancasila yang ironisnya dilakukan oleh Presiden Indonesia sendiri.
3.
Kesimpulan dan solusi
Pada masa orde lama ini banyak terjadi
penyimpangan dalam badan UUD dan Pancasila. Juga terjadi hal-hal yang tidak
sesuai dengan harapan seperti munculnya liberlaisme dan komunisme. Puncaknya
yaitu saat G 30 S/PKI dan pemeritah dinilai tidak mampu mengatasinya sehingga
Presiden Soekarno memberikan mandat kepada Jenderal Soeharto untuk mengambil
tindakan.
B.
Era Orde Baru
Orde Baru adalah
sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru
menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru
hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang
dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Latar belakang
munculnya Gerakan 30 September 1965 antara lain :
a.
Adanya krisis sosial politik dan
ekonomi nasional yang memprihatinkan
b.
Pemberlakuan doktrin Nasakom yang memperkukuh
kedudukan PKI dalam peraruran politik RI yang hanya dapat di imbangi oleh AD
c.
Gagasan PKI untuk mewujudkan angkatan
kelima.
d.
Adanya perseteruan antara PKI dan
AD.
PKI merupakan organisasi politik
kelanjutan dari ISDV yang didirikan oleh H. Sneevliet pada tahun 1914.
Aktivitas PKI menekan tindakan revolusioner untuk mencapai tujuannya. Misalnya
:
a. Pada tahun 1926-1927 mengadakan
pemberontakan di beberapa daerah tetapi di gagalkan oleh pemerintah Hindia
Belanda.
b.Pada tahun1948 mengadakan pemberontakan di
Madiun,
Era Orde Baru
dalam sejarah republik ini merupakan masa pemerintahan yang terlama, dan bisa
juga dikatakan sebagai masa pemerintahan yang paling stabil. Stabil dalam
artian tidak banyak gejolak yang mengemuka, layaknya keadaan dewasa ini.
Stabilitas yang diiringi dengan maraknya pembangunan di segala bidang. Era
pembangunan, era penuh kestabilan, menimbulkan romantisme dari banyak kalangan.
Di era Orde
Baru, yakni stabilitas dan pembangunan, serta merta tidak lepas dari keberadaan
Pancasila. Pancasila menjadi alat bagi pemerintah untuk semakin menancapkan
kekuasaan di Indonesia. Pancasila begitu diagung-agungkan; Pancasila begitu
gencar ditanamkan nilai dan hakikatnya kepada rakyat; dan rakyat tidak
memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang mengganjal.
Menurut Hendro
Muhaimin bahwa Pemerintah di era Orde Baru sendiri terkesan “menunggangi”
Pancasila, karena dianggap menggunakan dasar negara sebagai alat politik untuk
memperoleh kekuasaan. Disamping hal tersebut, penanaman nilai-nilai Pancasila
di era Orde Baru juga dibarengi dengan praktik dalam kehidupan sosial rakyat
Indonesia. Kepedulian antarwarga sangat kental, toleransi di kalangan
masyarakat cukup baik, dan budaya gotong-royong sangat dijunjung tinggi. Selain
penanaman nilai-nilai tersebut dapat dilihat dari penggunaan Pancasila sebagai
asas tunggal dalam kehidupan berorganisasi, yang menyatakan bahwa semua
organisasi, apapun bentuknya, baik itu organisasi masyarakat, komunitas,
perkumpulan, dan sebagainya haruslah mengunakan Pancasila sebagai asas
utamanya.
Di era Orde
Baru, terdapat kebijakan Pemerintah terkait penanaman nilai-nilai Pancasila,
yaitu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Materi penataran P4
bukan hanya Pancasila, terdapat juga materi lain seperti UUD 1945, Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN), Wawasan Nusantara, dan materi lain yang berkaitan
dengan kebangsaan, nasionalisme dan patriotisme. Kebijakan tersebut
disosialisaikan pada seluruh komponen bangsa sampai level bawah termasuk
penataran P4 untuk siswa baru Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Menengah
Atas (SMA), yang lalu dilanjutkan di perguruan tinggi hingga di wilayah kerja.
Pelaksanaannya dilakukan secara menyeluruh melalui Badan Penyelenggara
Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) dengan metode
indoktrinasi.
Visi Orde Baru
pada saat itu adalah untuk mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara yang melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Sejalan dengan
semakin dominannya kekuatan negara, nasib Pancasila dan UUD 1945 menjadi semacam
senjata bagi pemerintahan Orde Baru dalam hal mengontrol perilaku masyarakat.
Seakan-akan ukurannya hanya satu: sesuatu dianggap benar kalau hal tersebut
sesuai dengan keinginan penguasa, sebaliknya dianggap salah kalau bertentangan
dengan kehendaknya. Sikap politik masyarakat yang kritis dan berbeda pendapat
dengan negara dalam prakteknya malah dengan mudahnya dikriminalisasi.
Penanaman
nilai-nilai Pancasila pada saat itu dilakukan tanpa sejalan dengan fakta yang
terjadi di masyarakat, berdasarkan perbuatan pemerintah. Akibatnya, bukan
nilai-nilai Pancasila yang meresap ke dalam kehidupan masyarakat, tetapi
kemunafikan yang tumbuh subur dalam masyarakat. Sebab setiap ungkapan para
pemimpin mengenai nilai-nilai kehidupan tidak disertai dengan keteladanan serta
tindakan yang nyata, sehingga banyak masyarakat pun tidak menerima adanya
penataran yang tidak dibarengi dengan perbuatan pemerintah yang benar-benar
pro-rakyat.
Pada era Orde
Baru sebagai era “dimanis-maniskannya” Pancasila. Secara pribadi, Soeharto
sendiri seringkali menyatakan pendapatnya mengenai keberadaan Pancasila, yang
kesemuanya memberikan penilaian setinggi-tingginya terhadap Pancasila. Ketika
Soeharto memberikan pidato dalam Peringatan Hari Lahirnya Pancasila, 1 Juni
1967. Soeharto mendeklarasikan Pancasila sebagai suatu force yang dikemas dalam
berbagai frase bernada angkuh, elegan, begitu superior. Dalam pidato tersebut,
Soeharto menyatakan Pancasila sebagai “tuntunan hidup”, menjadi “sumber tertib
sosial” dan “sumber tertib seluruh perikehidupan”, serta merupakan “sumber
tertib negara” dan “sumber tertib hukum”. Kepada pemuda Indonesia dalam Kongres
Pemuda tanggal 28 Oktober 1974, Soeharto menyatakan, “Pancasila janganlah
hendaknya hanya dimiliki, akan tetapi harus dipahami dan dihayati!” Dapat
dikatakan tidak ada yang lebih kuat maknanya selain Pancasila di Indonesia,
pada saat itu, dan dalam era Orde Baru.
Meskipun
dianggap Panccasila hal yang paling luhur dan diagung-agungkan, pada
tahun-tahun akhir pemerintahan Presiden Soeharto malah banyak timbul KKN dan
meningkatnyta inflasi. Hutang Indonesia semakin banyak dan ekonomi pun
terpuruk. Puncaknya yaitu Mei 1998 yang akhirnya menyebabkan Presiden Soeharto
mengundurkan diri dan digantikan oleh wakilnya B.J. Habibie
Setelah
lengsernnya Ir. Soekarno sebagai presiden, selanjutnnya jenderal Soeharto
yang memegang kendali terhadap negeri ini. Dengan berpindahnya kursi
kepresidenan tersebut, arah pemahaman terhadap Pancasila pun mulai
diperbaiki.
Pada
peringatan hari lahir Pancasila, 1 juni 1967 Presiden Soeharto mengatakan,
“Pancasila makin banyak mengalami ujian zaman dan makin bulat tekad kita
mempertahankan Pancasila”. Selain itu, Presiden Soeharto juga mengatakan,
“Pancasila sama sekali bukan sekedar semboyan untuk dikumandangkan, Pancasila
bukan dasar falsafah negara yang sekedar dikeramatkan dalam naskah UUD
melainkan Pancasila harus diamalkan (Setiardja, 1994: 5).
Jadi, Pancasila dijadikan sebagai political forcre di samping sebagai
kekuatan ritual. Begitu kuatnya Pancasila digunakan sebagai dasar negara,
maka pada 1 juni 1968 Presiden Soeharto mengatakan bahwa Pancasila
sebagai pegangan hidup bangsa akan membuat bangsa Indonesia tidak loyo,
bahkan jika ada pihak-pihak tertentu mau mengganti, merubah Pancasila dan
menyimpang dari Pancasila pasti digagalkan (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed),
2010: 42).
Selanjutnya
pada tahun 1968 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden nomor 12
tahun 1968 yang menjadi panduan dalam mengucapkan Pancasila sebagai dasar
negara, yaitu:
Satu :Ke-Tuhan-an yang Maha esa
Dua :Kemanusiaan
yang adil dan beradab
Tiga :Persatuan
Indonesia
Empat :Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan
Lima :Keadilan sosial bagi seluruh
rak+at Indonesia.
Instruksi
Presiden tersebut mulai berlaku pada tanggal 13 Aril 1968.
Pada tanggal
22 Maret 1978 ditetapkan ketetapan (disingkat TAP) MPR nomor
II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) yang salah satu
pasalnya yaitu, Pasal 4 menjelaskan,
“Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan pancasila merupakan penuntun dan pegangan hidup
dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara bagi setiap warga
negara Indonesia, setiap penyelenggara negara serta setiap lembaga
kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik Pusat maupun di Daerah dan
dilaksanakan secara bulat dan utuh”.
Adapun nilai
dan norma-norma yang terkandung dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa)
berdasarkan ketetapan tersebut meliputi 34 butir, yaitu:
1.
Sila Ketuhanan yang Maha Esa
a.
Percaya dan takwa kepada Tuhan yang
Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
b.
Hormat-menghormati dan bekerja sama
antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda,
sehingga terbina kerukunan hidup.
c.
Saling menghormati kebebasan
menjalankan ibadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya. d.Tidak memaksakan
suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
2.
Sila Kemanusiaan yang adil dan
beradab
a.
Mengakui persamaan derajat.
persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
b.
Saling mencintai sesama manusia.
c.
Mengembangkan sikap tenggang rasa
dan tepo seliro.
d.
Tidak semena-mena terhadap orang
lain.
e.
Menjunjung tinggi nilai
kemanusiaan.
f.
Gemar melakukan kegiatan
kemanusiaan.
g.
Berani membela kebenaran dan
keadilan.
h.
Bangsa Indonesia merasa dirinya
sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat
menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
3.
Sila Persatuan Indonesia
a.
Menempatkan persatuan, kesatuan,
kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan
golongan.
b.
Rela berkorban untuk kepentingan
bangsa dan negara.
c.
Cinta tanah air dan bangsa.
d.
Bangga sebagai bangsa Indonesia dan
bertanah air Indonesia.
e.
Memajukan pergaulan demi persatuan
dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
4.
Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
a.
Mengutamakan kepentingan negara dan
masyarakat.
b.
Tidak memaksakan kehendak kepada
orang lain.
c.
Mengutamakan musyawarah dalam
mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
d.
Musyawarah untuk mencapai mufakat
diliputi oleh semangat kekeluargaan.
e.
Dengan itikad baik dan rasa
tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
f.
Musyawarah dilakukan dengan akal
sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
g.
Keputusan yang diambil harus
dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan yang Maha Esa, menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
5.
Sila Keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia
a.
Mengembangkan perbuatan-perbuatan
yang luhur yang mencerminkan sikap
suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan.
b.
Bersikap adil.
c.
Menjaga keseimbangan antara hak dan
kewajiban.
d.
Menghormati hak-hak orang lain.
e.
Suka memberi pertolongan kepada
orang lain.
f.
Menjauhi sikap pemerasan terhadap
orang lain.
g.
Tidak bersifat botos.
h.
Tidak bergaya hidup mewah.
i.
Tidak melakukan perbuatan yang
merugikan kepentingan umum.
j.
Suka bekerja keras.
k.
Menghargai hasil karya orang lain.
l.
Bersama-sama mewujudkan kemajuan
yang merata dan berkeadilan sosial.
Nilai-nilai
Pancasila yang terdiri atas 34 butir tersebut, kemudian pada tahun 1998
disarikan/dijabarkan kembali oleh BP-7 Pusat menjadi 45 butir P4. Perbedaan
yang dapat digambarkan yaitu: Sila Kesatu, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Kedua,
menjadi 10 (sepuluh) butir; Sila Ketiga, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Keempat;
menjadi 10 (sepuluh) butir; dan Sila Kelima, menjadi 11 (sebelas) butir.
Sumber hukum
dan tata urutan peraturan perundang-undangan di negara Indonesia diatur dalam
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan ini menegaskan,
“amanat penderitaan rakyat hanya dapat diberikan dengan pengamalan
Pancasila secara paripurna dalam segala segi kehidupan kenegaraan dan
kemasyarakatan dan dengan pelaksanaan secara murni dan konsekuen jiwa serta
ketentuan-ketentuan UUD 1945, untuk menegakkan Republik Indonesia sebagai
suatu negara hukum yang konstitusionil sebagaimana yang dinyatakan dalam
pembukaan UUD 1945” (ALI, 2009: 37).
. Ketika itu,
sebagian golongan Islam menolak
reinforcing oleh pemerintah dengan menyatakan bahwa pemerintah akan
mengagamakan Pancasila. Kemarahan Pemerintah tidak dapat dibendung sehingga
Presiden Soeharto bicara keras pada Rapim ABRI di Pekanbaru 27 Maret 1980.
Intinya Orba tidak akan mengubah Pancasila dan UUD 1945, malahan diperkuat
sebagai comparatist ideology. Jelas
sekali bagaimana pemerintah Orde Baru merasa perlu membentengi Pancasila dan
TAP itu meski dengan gaya militer. Tak seorang pun warga negara berani keluar
dari Pancasila (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed), 2010: 43). Selanjutnya pada
bulan Agustus 1982 Pemerintahan Orde Baru menjalankan “Azas Tunggal” yaitu
pengakuan terhadap Pancasila sebagai Azas Tunggal, bahwa setiap partai politik
harus mengakui posisi Pancasila sebagai pemersatu bangsa (Pranoto dalam
Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43-44).
Dengan semakin
terbukanya informasi dunia, pada akhirnya pengaruh luar masuk Indonesia
pada akhir 1990-an yang secara tidak langsung mengancam aplikasi Pancasila yang
dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Demikian pula demokrasi semakin santer
mengkritik praktek pemerintah Orde Baru yang tidak transparan dan
otoriter, represif, korup dan manipulasi politik yang sekaligus mengkritik
praktek Pancasila. Meski demikian kondisi ini bertahan sampaidengan lengsernya
Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998<(Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.),
2010: 45).
Kajian Kesimpulan Pada Era Orde Baru
1.
Kelebihan
a. Pancasila betul-betul dilaksanakan secara nyata
b. Pada awal-awal, ekonomi Indonesia sangat kuat.
c. Membangun irigasi
d. Membentuk badan PPL
a. Pancasila betul-betul dilaksanakan secara nyata
b. Pada awal-awal, ekonomi Indonesia sangat kuat.
c. Membangun irigasi
d. Membentuk badan PPL
2.
Kekurangan
a. Pancasila hanya dijadikan kedok untuk “pembenaran” pembangunan yang dilakukan
b. Adanya politisasi Pancasila
c. Semaraknya KKN
d. Tidak mampu menguasai pimpinan Negara
e. Terbatasnya kebebasan berpendapat (pers)
a. Pancasila hanya dijadikan kedok untuk “pembenaran” pembangunan yang dilakukan
b. Adanya politisasi Pancasila
c. Semaraknya KKN
d. Tidak mampu menguasai pimpinan Negara
e. Terbatasnya kebebasan berpendapat (pers)
3.
Kesimpulan dan Solusi
Meskipun pada awalnya Pancasila begitu
diagung-agungkan, dan masa Orde Baru ini menunjukkan kinerja positif, tetapi
lama kelamaan hanya menjadi alat untuk orang yang berkepentingan. Sehingga
Indonesia mencapai masa terburuk pada tahun 1998. Peristiwa lengsernya Soeharto
membawa Indonesia pada era reformasi.
C.
Era Reformasi
Secara harfiah reformasi memiliki
arti suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali
hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula
sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat. Oleh karena itu
suatu gerakan reformasi memiliki kondisi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Suatu gerakan reformasi dilakukan karena
adanya suatu penyimpangan penyimpangan.
2. Suatu gerakan reformasi dilakukan harus
dengan suatu cita-cita yang jelas (landasan ideologis) tertentu.
3. Suatu gerakan reformasi dilakukan dengan
berdasarkan pada suatu kerangka structural tertentu (dalam hal ini UUD) sebagai
kerangka acuan reformasi.
4. Reformasi dilakukan ke arah suatu perubahan
kondisi serta keadaan yang lebih baik dalam segala aspek antara lain bidang
politik, ekonomi, sosial, budaya, serta kehidupan keagamaan.
Memahami peran
Pancasila di era reformasi, khususnya dalam konteks sebagai dasar negara dan
ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap warga negara Indonesia
memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki persepsi dan sikap yang sama
terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Pancasila
sebagai paradigma ketatanegaraan artinya pancasila menjadi kerangka berpikir
atau pola berpikir bangsa Indonesia, khususnya sebagai dasar negara ia sebagai
landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai negara hukum, setiap
perbuatan baik dari warga masyarakat maupun dari pejabat-pejabat harus
berdasarkan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam
kaitannya dalam pengembangan hukum, Pancasila harus menjadi landasannya.
Artinya hukum yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan
dengan sila-sila Pancasila. Substansi produk hukumnya tidak bertentangan dengan
sila-sila pancasila.
Pancasila
sebagai paradigma pembangunan bidang sosial politik mengandung arti bahwa
nilai-nilai Pancasila sebagai wujud cita-cita Indonesia merdeka di implementasikan
sebagai berikut :
1.
Penerapan dan pelaksanaan keadilaan
sosial mencakup keadilan politik, agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
2.
Mementingkan kepentingan rakyat /
demokrasi dalam pengambilan keputusan.
3.
Melaksanakan keadilaan sosial dan
penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan kesatuan.
4.
Dalam pelaksanaan pencapaian tujuan
keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab.
5.
Nilai-nilai keadilan, kejujuran,
dan toleransi bersumber pada nilai ke Tuhanan Yang Maha Esa.
Pancasila
sebagai paradigma nasional bidang ekonomi mengandung pengertian bagaimana suatu
falsafah itu diimplementasikan secara riil dan sistematis dalam kehidupan
nyata.
Pancasila
sebagai paradigma pembangunan nasional bidang kebudayaan mengandung pengertian
bahwa Pancasila adalah etos budaya persatuan, dimana pembangunan kebudayaan
sebagai sarana pengikat persatuan dalam masyarakat majemuk. Oleh karena itu
smeboyan Bhinneka Tunggal Ika dan pelaksanaan UUD 1945 yang menyangkut
pembangunan kebudayaan bangsa hendaknyamenjadi prioritas, karena kebudayaan
nasional sangat diperlukan sebagai landasan media sosial yang memperkuat
persatuan. Dalam hal ini bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa persatuan.
Pancasila
sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Hankam, maka paradigma baru TNI
terus diaktualisasikan untuk menegaskan, bahwa TNI telah meninggalkan peran
sosial politiknya atau mengakhiri dwifungsinya dan menempatkan dirinya sebagai
bagian dari sistem nasional.
Pancasila
sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, dengan memasuki kawasan filsafat ilmu
(philosophy of science) ilmu pengetahuan yang diletakkan diatas pancasila
sebagai paradigmanya perlu difahami dasar dan arah penerapannya, yaitu pada
aspek ontologis, epistomologis, dan aksiologis. Ontologis, yaitu bahwa hakikat
ilmu pengetahuan aktivitas manusia yang tidak mengenal titik henti dalam
upayanya untuk mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Ilmu pengetahuan
harus dipandang secara utuh, dalam dimensinya sebagai proses menggambarkan
suatu aktivitas warga masyarakat ilmiah yang melalui abstraksi, spekulasi,
imajinasi, refleksi, observasi, eksperimentasi, komparasi dan eksplorasi
mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Sebagai produk, adanya hasil
yang diperoleh melalui proses, yang berwujud karya-karya ilmiah beserta
aplikasinya yang berwujud fisik ataupun non fisik. Epistimologi, yaitu bahwa
Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijadikan metode
berpikir, dalam arti dijadikan dasar dan arah didalam pengembangan ilmu
pengetahuan yang parameter kebenaran serta kemanfaatan hasil-hasil yang
dicapainya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila itu sendiri.
Aksilogis, yaitu bahwa dengan menggunakan epistemologi tersebut diatas,
pemanfaatan dan efek pengembangan ilmu pengetahuan secara negatif tidak
bertentangan dengan Pancasila dan secara positif mendukung atau mewujudkan
nilai-nilai ideal Pancasila.
Dunia masa
kini sedang dihadapi kepada gelombang perubahan secara cepat, mendasar,
spektakuler, sebagai implikasi arus globalisasi yang melanda seluruh penjuru
dunia, khususnya di abad XXI sekarang ini, bersamaan arus reformasi yang sedang
dilakukan oleh bangsa Indonesia. Reformasi telah merombak semua segi kehidupan
secara mendasar, maka semakin terasa orgensinya untuk menjadi Pancasila sebagai
dasar negara dalam kerangka mempertahankan jatidiri bangsa dan persatuan dan
kesatuan nasional, lebih-lebih kehidupan perpolitikan nasional yang tidak
menentu di era reformasi ini. Berdasarkan hal tersebut diatas perlunya reposisi
Pancasila yaitu reposisi Pancasila sebagai dasar negara yang mengandung makna
Pancasila harus diletakkan dalam keutuhannya dengan Pembukaan UUD 1945,
dieksplorasikan pada dimensi-dimensi yang melekat padanya.
Realitasnya
bahwa nilai-nilai yang terkandung didalamnya dikonkritisasikan sebagai ceminan
kondisi obyektif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, suatu rangkaian
nilai-nilai yang bersifat “sein im sollen dan sollen im sein”.
Idealitasnya
bahwa idealisme yang terkandung didalamnya bukanlah sekedar utopi tanpa makna,
melainkan diobyektifitasikan sebagai akta kerja untuk membangkitkan gairah dan
optimisme para warga masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif.
Fleksibilitasnya
dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang sudah selesai dan dalam
kebekuan dogmatis dan normatif, melainkan terbuka bagi tafsi-tafsir baru untuk
memenuhi kebutuhan zaman yang terus menerus berkembang, dengan demikian tanpa
kehilangan nilai hakikinya Pancasila menjadi tetap aktual, relevan serta
fungsional sebagai penyangga bagi kehidupan bangsa dan negara.
Di era
reformasi ini, Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan mempengaruhi dan
menuntun masyarakat. Pancasila tidak lagi populer seperti pada masa lalu. Elit
politik dan masyarakat terkesan masa bodoh dalam melakukan implementasi
nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila memang
sedang kehilangan legitimasi, rujukan dan elan vitalnya. Sebab utamannya karena
rejim Orde Lama dan Orde Baru menempatkan Pancasila sebagai alat kekuasaan yang
otoriter.
Terlepas dari
kelemahan masa lalu, sebagai konsensus dasar dari berdirinya bangsa ini, yang
diperlukan dalam konteks era reformasi adalah pendekatan-pendekatan yang lebih
konseptual, komprehensif, konsisten, integratif, sederhana dan relevan dengan
perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Pancasila yang
seharusnya sebagai nilai, dasar moral etik bagi negara dan aparat pelaksana
Pegara, dalam kenyataannya digunakan sebagai alat legitimasi politik. Puncak
dari keadaan tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi nasional, maka
timbullah berbagai gerakan masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa,
cendekiayan dan masyarakat sebagai gerakan moral politik yang menuntut adanya
“Reformasi” di segala bidang politik, ekonomi dan hukum (Kaelan, 2000: 245).
Saat Orde Baru tumbang, muncul fobia terhadap Pancasila. Dasar negara itu untuk
sementara waktu seolah dilupakan karena hampir selalu identik dengan rezim Orde
Baru. Dasar negara itu berubah menjadi ideologi tunggal dan satu-satunya sumber
nilai serta kebenaran. Negara menjadi maha tahu mana yang benar dan mana
yang salah. Nilai-nilai itu selalu ditanam ke benak masyarakat melalui
indoktrinasi (Ali, 2009: 50).
Dengan
seolah-olah “dikesampingkannya” Pancasila pada Era Reformasi ini, pada awalnya
memang tidak napak suatu dampak negatif yang berarti, namun semakin hari
dampaknya makin terasa dan berdampak sangat fatal terhadap kehidupan berbangsa
dan bernegara Indonesia. Dalam kehidupan sosial, masyarakat kehilangan kendali
atas dirinya, akibatnya terjadi konflik-konflik horisontal dan vertikal
secara masif dan pada akhirnya melemahkan sendi-sendi persatuan dan
kesatuan bangsa dan negara Indonesia. Dalam bidang budaya, kesadaran masyarakat
atas keluhuran budaya bangsa Indonesia mulai luntur, yang pada akhirnya
terjadi disorientasi kepribadian bangsa yang diikuti dengan rusaknya moral
generasi muda. Dalam bidang ekonomi, terjadi ketimpangan-ketimpangan di berbagai
sektor diperparah lagi dengan cengkeraman modal asing dalam perekonomian
Indonesia. Dalam bidang politik, terjadi disorientasi politik kebangsaan,
seluruh aktivitas politik seolah-olah hanya tertuju pada kepentingan kelompok
dan golongan. Lebih dari itu, aktivitas politik hanya sekedar merupakanlibido dominandi atas hasrat untuk
berkuasa, bukannya sebagai suatu aktivitas memperjuangkan kepentingan nasional
yang pada akhirnya menimbulkan carutmarut kehidupan bernegara seperti dewasa
ini (Hidayat, 2012).
Namun demikian, kesepakatan Pancasila menjadi dasar Negara
Republik Indonesia secara normatif, tercantum dalam ketetapan MPR.
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. Pasal 1 menyebutkan bahwa
“Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten
dalam kehidupan bernegara” (MD. 2011). Ketetapan ini terus dipertahankan,
meskipunketika itu Indonesia akan menghadapi Amandeman Undang-Undang
Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.
Selain
kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila pun menjadi sumber hukum
yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000
Pasal 1 Ayat
(3) yang menyebutkan,
“Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila
sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan, perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi
seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945”.
Kajian Kesimpulan Pada Era
Reformasi
1.
Kelebihan
a. Munculnya kebebasan pers
b. Kembalinya jati diri bangsa Indonesia
a. Munculnya kebebasan pers
b. Kembalinya jati diri bangsa Indonesia
2.
Kekurangan
a. Masih banyak system yang berantakan
b. Kurangnya penanaman nilai-nilai Pancasila.
c. Menjamurnya globalisasi
d. Kurangnya kepedulian akan Indonesia ini
a. Masih banyak system yang berantakan
b. Kurangnya penanaman nilai-nilai Pancasila.
c. Menjamurnya globalisasi
d. Kurangnya kepedulian akan Indonesia ini
3.
Kesimpulan dan Solusi
Seiring berjalannya waktu hingga kini,
demokrasi di Indonesia masih juga diwarnai dengan politisasi uang. Sehingga
percuma ada demokrasi. Demokrasi sudah hamper mati. Kurangnya juga penanaman
nilai- nilai pancasila dalam diri anak, sehingga tidak ada rasa cinta pada
tanah air. Solusinya, kita sebagai generasi muda harus berjuang memajukan
Negara ini dengan Pancasila sebagai pedoman dan pembimbing kita.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah di atas telah banyak di jelaskan mengenai pelaksanaan Pancasila mulai dari orde lama, orde baru
sampai reformasi, telah terlihat jelas mengenai penerapan Pancasila dari waktu
ke waktu ini erat kaitannya dengan kesadaran setiap warga negara. Kesadaran
untuk melaksanakan pancasila adalah buah dari akal pikiran manusia, apabila
akalnya telah tertanam Pancasila maka untuk mengimplementasikannya akan lebih
mudah dan terlaksana dengan baik. Dan kesadaran itu akan mencapai tingkat yang
sebaiknya, apabila keadaan terdorong dan taat itu selalu ada pada kita,
sehingga lambat laun melekat pada diri pribadi kita, menjadi sifat kita, lahir
batin, melekat pada akal kita, melekat pada kehendak kita, baik didalam hidup
kita pribadi maupun didalam hidup kita bersama dengan sesama warga keluarga,
sesama warga masyarakat, sesama warga negara, sesama manusia. Terdorong
dan taat untuk melaksanakan Pancasila itu juga meliputi seluruh
lingkungan hidup kemanusiaan, baik badaniah maupun yang rohaniah, yang
sosial-ekonomis, sosial-politik, kebudayaan, mental, kesusilaan, keagamaan,
serta kepercayaan.
B.
Saran
Perjalanan
kehidupan birokrasi di Indonesia selalu dipengaruhi oleh kondisi sebelumnya.
Budaya birokrasi yang telah ditanamkan sejak jaman kolonialisme berakar kuat
hingga reformasi saat ini. Paradigma yang dibangun dalam birokrasi Indonesia
lebih cenderung untuk kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan
regulasi birokrasi yang demikian diwarnai dengan orientasi pemenuhan
kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara. Budaya
birokrasi yang korup semakin menjadi sorotan publik saat ini. Banyaknya kasus
KKN menjadi cermin buruknya mentalitas birokrasi secara institusional maupun
individu.
Sejak orde
lama hingga reformasi, birokrasi selalu menjadi alat politik yang efisien dalam
melanggengkan kekuasaan. Bahkan masa orde baru, birokrasi sipil maupun militer
secara terang-terangan mendukung pemerintah dalam mobilisai dukungan dan
finansial. Hal serupa juga masih terjadi pada masa reformasi, namun hanya di
beberapa daerah. Beberapa kasus dalam Pilkada yang sempat terekam oleh media
menjadi salah satu bukti nyata masih adanya penggunaan birokrasi untuk suksesi.
Sebenarnya
penguatan atau ”penaklukan” birokrasi bisa saja dilakukan dengan catatan bahwa
penaklukan tersebut didasarkan atas itikad baik untuk merealisasikan
program-program yang telah ditetapkan pemerintah. Namun sayangnya, penaklukan
ini hanya dipahami para pelaku politik adalah untuk memenuhi ambisi dalam
memupuk kekuasaan.
Mungkin dalam
hal ini, kita sebagai penerus bangsa harus mampu dan terus bersaing dalam
mewujudkan Indonesia yang lebih baik dari sebelumnya , harga diri bangsa
Indonesia adalah mencintai dan menjaga aset Negara untuk dijadikan simpanan
buat anak cucu kelak. Dalam proses pembangunan bangsa ini harus bisa menyatukan
pendapat demi kesejahteraan masyarakat umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Fitri,deniarti.2016.pancasila dalam kajian bangsa Indonesia.www.academia.edu.23september2017
Wahyuni,sri.2014.pancasila dalam kajian sejarah bangsa Indonesia.sriwahyunii.blogspot.co.id.23september2017
No comments:
Post a Comment