1

loading...

Sunday, November 11, 2018

MAKALAH QAWAID FIQIYAH "KEYAKINAN TIDAK BISA DIHILANGKAN DENGAN KERAGUAN"

MAKALAH QAWAID FIQIYAH "KEYAKINAN TIDAK BISA DIHILANGKAN DENGAN KERAGUAN"


ا ليقين لا يزال با لشـك

 (KEYAKINAN TIDAK BISA DIHILANGKAN DENGAN KERAGUAN)



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
            Diantara kaidah fiqih penting adalah: “Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak”(Keyakinan tidaklah bisa dihilangkan dengan keraguan). Para fuqaha memasukkan berbagai amalan ibadah, mu’amalah, dan hak-hak sesama ke dalam kaidah ini. Maka barangsiapa yang ragu akan sesuatu, maka dikembalikan lagi ke asalnya, yakni yang yakin. 
            Dan fuqaha juga mengatakan:“Asal segala sesuatu adalah suci” dan “Pada asalnya, seseorang itu terbebas dari beban kewajiban dan dari menanggung hak-hak makhluk sampai ada dalil yang menunjukkan berubahnya hal tersebut”
            Mendengar suara atau mencium bau dari gas yang keluar dari dubur akan membuat pelakunya yakin telah berhadats. Maka Rasulullah memerintahkan untuk meneruskan shalatnya hingga dia yakin telah berhadats. Ini adalah kaidah besar yang permasalahan fiqih banyak merujuk kaidah ini. Hanya sedikit bab fiqih yang tidak merujuk kaidah ini. Fuqaha bersepakat atas keabsahan kaidah ini. Imam Al Qarafy rahimahullahu berkata, “Ini adalah kaidah yang disepakati” (Al Furuq, 1/111)

B.     Rumusan Masalah
                        1.         Apa yang dimaksud dengan qa’idah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak ?
                        2.         Apa dasar hukum qa’idah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak ?
                        3.         Apa saja cabang-cabang qa’idah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak ?
                        4.         Bagaimana contoh qa’idah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak dalam ekonomi?

C.    Tujuan masalah
                        1.         Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan qa’idah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak.
                        2.         Untuk mengetahui apa dasar hukum qa’idah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak. Untuk mengetahui cabang-cabang qa’idah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak.
                        3.         Untuk mengetahui contoh qa’idah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak dalam ekonomi.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Qa’idah
            Ajaran agama tidak mempersulit umatnya. Justru, agama ini hadir di muka bumi untuk memberikan kemudahan dan jalan keluar dari kesulitan yang ada. Karena itu, segalah sikap yang cenderung berlebih-lebihan dan mempersulit diri dalam beragam sangatlah tidak dibenarkan. Karena hal ini dapat menimbulkan was-was itu disebabkan dua hal; yang pertama, adanya keraguan terhadap kebenaran ajaran yang dibawah oleh Nabi Muhammdad saw, sehingga perlu untuk ditambah, atau yang kedua, karena lemahya akal (kurangnya pemahaman terhadap ajaran agama).
            Dalam al-qu’arn dijelaska bahwa was-was sebenarnya adalah usaha setan untuk mengganggu ibadah seseorang muslim agar tidak memliki keikhlasan dalam ibadahnya. Atau agar dapat meragukan sesuatu yang sudah jelas dalam ajaran agama. Karena itu, cara yang efektif untuk menghilankan perasaan was-was itu adalah dengan melawan atau menentang perasaan was-was itu sendiri denagn didsari ulmu dan keyanakinan.
            Keyakinan yang dimaksud disini adalah keyakinan yang benar-benar datang dari hatinya, bukan sekedar pura-pura yakin, apalagi dengan alasan  malupada orang lain, Karena malu kepada Allah harus didahulukan. Ulama Malikiya mengatakan, “seseornag tidak bisa lepas dari tuntutan ibadah kecuali melaksanakannya dengan benar dan meyakinkan. Shalat yang sah hanya di dahului dengan Wudhu’ yang sah, bukan denga Wudhu’ yang diragukan sah atau tidak”.
            Secara etimologis al-yaqin adalah sesuatu yang menetap (al-istiqhar), kepercayaan yang pasti (al-jazim), teguh (al-tsabit), dan yang sesuai denagn kenyataan (al muthabiq li al waqi’). Bisa juga dimaknia dengan ilmu, sesuatu yang dapt menjauhkan dari keraguan, dan sesuatu yang nyata. Jadi yaqin merupakan kebalikan dari syakk, dan syakk lawannya yaqin. Adapula yang mengartikan al-yaqin dengan ilmu tentang sesuatu yang mengarah kepada kepastian dan kemantapan hati tentang hakikat sesuatu itu, dalam arti tidak ada keraguan lagi.
            Sedang la-syakk adalah keraguan antara dua masalah/peristiwa yang berwlawanan tanpa mengugulkan salah satunya. (al-taraddud baina al-naqidhaini bi la tarjihin li ahadhima ala al-akhari). Sejalan makna diatas dengan redaksi sedikit berbeda, Ali Ahmad al-Nadwi mendefinisikan al–syakk sebagai suatu pertentangan antara kepastian dngan ketidakpastian tentang dan kesalahan  dengan kekuatan yang sama, dalam arti tidak bisa ditarjihkan salah satunya.
            Secara terminologis, yang dimaksud dengan la-yaqin adalah sesuatu yang tetap, baik berdasarkan penaganalisaan maupun dalil. Sedang maksud dari al-syakk adalah sesuatu yang tidak menentu antara ada dan tiadanya, dan dalam ketiktentuan itu sama dengan batas kebenaran dan kesalahan. Tanpa dapat dimenangkan salah satunya.
            Dari sini menjadi jelaslah bahwa sesuatu yang hanya berasal pada perasaan atau keraguan, tidak dapat dijadikan pedoman untuk memutuskan tentang atau tidak sahnya ibadah. Dalam kitab-kitab fiqh banyak yang dibicarakan tentang hal yang berhubungan dengan keyakinan dan keraguan. Misalnya, orang yang sudah yakin suci dari hadats, kemudian dia ragu, apakah sudah batal wudhunya atau belum? Maka dia tetap dalam keadaan suci. Hanya saja ihtiyah (kehati-hatian), yang lebih utama adalah memperbarui wudhu’nya ( tajdid al-wudhu).
            Kayakinan yang dimaksud disini adalah keyakinan yang benar-benar datang dari hatinya, buakn sekadar pura-pura yakin, apalagi dengan alasan malu kepada yang lain, Karen amalu kepada Allah harus didahulukan. Ulama malikiyah mengatakan “ seseornag yang tidak bisa lepas dari tuntutan ibadah kecuali dengan melaksanakan secara benar dan meyakinkan.. shalat yang sah hanya didahului dengan wudhu yang sah, bukan dengan wudhu yang diragukan apakah sah atau tidak”.
            Contoh lain dalam kasus fiqh siyasah adalah tentang pemilihan kepalah daerah. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) menyatakan bahwa kelompok A yang menang dan kelompok B yang kemudian kalah. Kemudian kelompok B menajukan gugantan bahwa seharusnya kelompok A yang kalah dan kelompok B yang menang, alasanya krena ada kecurangan . maka, dalam hal in yang meyakinkan adalah bahwa telah terjadi pemilihan umum dan Kelompok A yang menang. Kecuali kelompok B memberikan bukti-bukti yang sah dan meyakinkan pula bahwa kelompokya yang menang. .
            Qa’idah ini sama dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innconent) dalam hukum barat. Selain itu, secara moral, seorang muslim harus mempunyai husnu al-zhann (berprasangka baik) kepada orang orang lain sebelum ada bukti yang meyakinkan bahwa orang itu tidak baik. [1]

B.     Dasar Hukum Qa’idah
            Sebenarnya qa’idah-qa’idah fiqh hanyalah kesimpulan general dari para ulama fiqh, yang diambil dari materi-materi fiqh yang pada akhirnya dapat digunakan untuk menetukan hukum dari kasus-kasus baru yang muncul belakangan dan belum jelas status hukum hukumya dalam nash. Tentunya Qa’dah-qa’dah fiqh ini tidak tidak bertentangan dengan nash karena sudah melalui uji kesesuian dengan substitusi ayat-ayat al-qur’an dan hadis nabi, sebelum menjaid suatu qa’idah fiqh yang mapan, kendatipun untuk kasus-kasus tertentu ada penegecualian. Qa’idah “al-yaqinu layazalu bi al-syakk” (keyakinan yang tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan) juga begitu halnya, tidak ada yang bertentangan dengan nash dan bila dirujuk pada beberapa hadits nabi akan terlihat kesesuaiannya.
            Menegenai rujukan qa’idah ini para ulama telah memaparkan dalil-dalil yang dinilai sebagai dasarnya, baik itu firman Allah SWT ataupun Sunnah Rasulullah saw. Diantaranya adalah ayat al-Qur’an surat Yunus ayat 36:
وَ مَا يَتَّبعُ أَ كْثَرُ هُمْ إِ لاَّ ظَنَّـا إِ نَّ لظَّنَّ لاَ يُغْنِي مِنَ الْحَقَّ شَيـْءًـا إِ نَّ ﷲ عَلِيمٌ يَفْعَلُـوَ نَ  
            Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesugguhnya Allah maha mengetahui apa yang mereka kerjakan”
            Selain itu, ada beberapa hadits Nabi saw yang telah mengajarkan bagaimana cara supaya keyakinan itu muncul. Khususnya bagi orang yang melaksanakan sholat, sebagaimanadalam riwayat yang berbunyi:
عَنْ عَبًا دِ بْنَ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ أَ نَّهُ شَكَـا إِ لَى رَ سُرو ل ا للَّـهِ صَلَّى ا للَّهُ عَلَيْهِ ؤَ سَلَّمَ ا لرَّ جُلُ ا لَّذِ ي يُخَيَّـلُ إِ لَ إِ لَيْـهِ أَ نْـهُ يَجـِدُ ا لشَّيْ ءَ فِي ا لصَّـلَـا ةِ فَقَـا لَ لَـا يَنْتِـلْ أَوْ لَـا يِنْصَـرِ فْ حَتَّى يَسئء مَعَ صَوْ تًا أَ وْ يَجِـدَ رِ يحًـا 
            “Dari Abbad bin Tamin dari pamannya, bahwa ia menyampaikan kepada rasulullah saw permasalahan seorang laki-laki yang muncul keraguannya dengan anggapan dengan adanya sesuatu yang membatalkan wudhunya, padahal dia dalam keadaan shalatnya, smapai ia mendengar adanya suara yang keluar ( dari duburnya) atau ia mencium bau yang tidak sedap.”(HR. Bukhari)
            Pada hadis lain redaksi berbeda tapi maknanya senada disebutkan:
عَنْ أَ بِي هُرَ يْرَ ةَ قَا لَ رَ سُو لُ اﷲِ صَلَّى ﷲُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إ ذَ ا وَجَدَ أَ حَدُ كُمْ فِي بَطْنِهِ شَيـْا ءً فَأَ شَكَـلَ عَلَيْـهِ أَ خَرَجَ مِنْـهُ شَيْ ءٌ أَ مْ لَـا فَلـا يَخْرُ جَنَّ مِنْ ا لْعَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَ وْ يَخِدَ رٍ يحًا
            “Dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah saw bersabda: jika seseorang mereka merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu apakah sesuatu itu telah keluar atau belum, maka orang tersebut tidak boleh keluar dari masjid (membatalkan shalatnya) hingga ia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya. (HR. Muslim)”.[2]
عَنْ أَ بِي سَتِيدِ ا لْخُدْ رِ يِّ قَا لَ رَ سُو لُ اﷲُ  عَلَيْـهِ وَ سَلَّمَ إ ذَ شَكَّ أَ حَدُكُمْ فِي صَلَـا تِهِ فَلَمْ يَدْ رِ كَمْ صَلَّى ثَاَﺎ ثَا أَ مْ أَ رْ بَعًـا فَاْيَطْـرَ حْ ا لشَّكَ وَ لْيَبْـنِ عَلَى مَـا ا سْتَيْقَنَ
            “Dari Abi Sa’id al-Khuddi berkata, Rasulullah saw bersabda; jika seorang darimu mengalaimi keraguan dalam shalatnya dan ia tidak tahu berapa rakaat ia shalat, tiga atau empat, maka hendaknya ia mebuang keraguannya (empat rekaat) dan tetaplah dengan keyakinan (tiga rekaat).” (HR. Muslim).
عَنْ أَ بي ا لْحَوْر ا ءِ السّعْد يِّ قَا لَ قُلْتُ لِلْحَسَنِ بْن عَلِي رَضِي ا ﷲُ عَنْهُمَا مَا حَفِظْتُ مِنْ رَسُل ا ﷲِ صَلَّى ا للَّـهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَا لَ حَفِظْتُ مِنْهُ دَ عْ مَـا يَرِ يَبُلُكَ إِ لَى مَـا لَـا يَرِيَبُكَ
            “Dari Abi al-Haura al-Sa’di berkta aka bertanya kepada Hasan bin ali, apa yang kau hafal dari Rasulullah saw? Ia menjawab: aku menghafal hadis dari Rasul; “tinggalkanlah apa yang meragukamu, berpindahlah kepada yang tidak meragukanmu.” (HR.Nasa’i)”.
            Maka ketika seseorang ragu, tapi ada sesuatu pendukung lain yang bisa meyakinkan atau membatalkan yang ada pada dirinya, maka hal semacam itu tidak tidak termasuk dalam kategori al-syakk, karena hal itu ditarjih (dikuatkan) salah satunya dengan meyakinkan. Namun ketika tidak bisa menentukan salah satunya, dan betul-betul ragu dan tidak bisa menentukan salah satunya, maka inilah yang dinamakan al-syakk.
a.       Pengecualian penerapan Qa’idah
      Dalam penerapanya, qa’idah ini memiliki pengecualian misalnya wanita yang sedang masa menstruasi ragu apakah sudah berhenti atau belum, maka ia wajib mandi besar untuk melakukan shalat. Contoh lain, apabila sesorang apakah yang keluar itu mani tau madzi (cairan seperti sperma akibat keletiahan) maka, ia wajib mandi tau madzi yang tidak diwajibkan mandi. Contoh lain, baju sesorang yang terkena najis, dalam hal ini, ia wajib mencuci baju sepenuhnya.
      Pada dasarnya contoh-contoh diatas menunjukan kepada Ihtiyath (kehati-hatian), dalam melakukan ibadah, tidak langsung sebagai pengecualian. Madzhab Hanafi mengecualikan dari qa’idah tersebut dengan menyebutkan 7 macam contoh. Adapun materi-materi fiqh yang terkandung dalam qa’idah al-yaqin la yazalu bi al-Syakk ini tidak dari 314 masalah fiqh.
      Madzhab yang tidak mau menggunakan hal-hal yang meragukan adalah madzhab Maliki dan sebagian ulama Syafi’iyah, karena menerapkan konsep ihtiyathnya. Memang ibadah memerlukan kepastian dan kepuasan batin, sedangkan kepastian dan kepuasan batin hanya bisa dicapai dengan ihtiyath (kehatian-hatian).
      Ulama Malikiyyah beralasan,bahwa seseorang tidak bisa lepas dari tuntutan ibadah kecuali dengan melaksanakannya dengan benar dan meyakinkan,seperti shalat yang sah hanya bisa dilaksanakan dengan didahului wudhu’ yang sah,bukan dengan wudhu’ yang meragukan  tentang apakah sudah batal atau belumnya wudhu’tadi.Ulama Hanafiyah menjawab hal ini dengan jawaban,bahwa shalat itu  merupakan tujuan (maqashid),sedangkan wudhu’merupakan wasilah (perantara/syarat-syarat sah shalat),bersikap ihtiyath di dalam memelihara maqashid lebih utama daripada ihtiyath di dalam wasa’il,karena wasa’il tingkatannya lebih rendah daripada maqashid (media lebih rendah daripada tujuan). Sedangkan Ibnu Hamz dari madzhab al-Zahiri menanggapi soal ihtiyath dari madzhab Maliki inindengan pernyataan;”semua ihtiyath yang menyebabkan kepada tambahan atau pengurangan atau penggantian dalam agama yang tidak izinkan Allah,bukanlah termasuk ihtiyath dan bukan pula kebaikan”.
         Berkaitan tentang al-syakk ini,sebagai perbandingan perlu juga diungkapkan pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang menyatakan:”perlu diketahui bahwa di dalam syari’ah tidak ada sama sekali yang meragukan. Sesunggunya al-syakk (keraguan) itu datang kepada mukallaf (pelaku hukum) karena terjadinya pertentangan dua indicator atau lebih, maka mesalahnya menjadi meragukan baginya (mukallaf). Mungkin bagi orang lain maslah tersebut tidaklah meragukan. Olrh sebab itu, al-syakk  bukanlah sifat yang tetap pada malaha tersebut, tetapi masalah yang datang kemudian ketika mesalah tersebut dihubungkan kepada hukum mukallaf.
      Hal menarik dari pernyataan Ibnu Qayyim ini adala bahwa al-syakk itu bukan didalam syari’ah tetapi dalam diri mukallaf, atau denagn kata lain perbuatan mukllaf. Karena itu menrutnya Qa’idah yng berhubungan dengan istishab didalam ushul fiqh, sesungguhnya lebih tepat dimasukan kedalam qa’idah-qa’idah fiqh, bukan dalam ushul fiqh. Selain itu, istishab pada substansinya (zat) bukanlah dalil fiqh dan bukan pula sumber istisbath, tetapi hanya menetapkan hukum yang telah ada untuk terus berlaku sampai ada yang mengubahnya. Dengan demikian tidak ada posisi ganda antara qa’idah ushu dan qa’idah fiqh.

C.    Qa’idah-qa’idah Cabang
            Dari qa’idah asasi al-yaqin la yuzal bi al Syakk ini kemudian muncul qa’idah-qa’idah yang lebih sempit ruang lingkupnya. Misalnnya;[3]
1.      ا ليقين يز ا ل بـا ليقين مثلـه
"Apakah yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meakinkan”.
      Sebagai contoh: jika seseorang yakin sudah berwudhu kemudian ia yaki telahbuang air kecil, maka wudhu’nya menjadi batal. Begitu juda jika seseorang berpraduga tidak berslaha kepada orang lain, tetapi kemudian ternyata orang lain tersebut tertangkap tangan sedang melakukan kejahatan, mak orang tersebut adalah bersalah dan harus dihukum. Contoh lain, misalnya ada bukti yang meyakinkan bahwa seseorang telah melakukan kejahatan, karena itu ia harus dihukum. Tetapi bla ada bukti lain yang meyakinkan pula bahwa orang tersebut, melainkan sedang diluar negeri misalnya, maka orang tersebut tidak bisa dianggap sebagai pelaku kejahatan. Karena keyakinan pertama menjadi hilang dengan keyakinan yang kedua. Inilah yang disebut alibi didunia hukum.
2.      إ ن ما ثنت بيقين لا ير تفع إ لا بيقين
”Sesunggunya apa yang telah menetap atas dasar keyakinan, tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lain lagi”.
      Sebagai contoh: jika seseorang telah mininggalkan shalat-shalat fardhu, tapi ia ragu berapa jumlahnya, maka ia harus meng-qadha’ shalat yang ia tinggalkan tersebut hingga smapai pada jumlah yang ia yakini telah terlunasi semuanya. Begitu juga jika seseorang telah yakin telah melaksanakan shalat isya, tapi ia ragu telah mencapai empat rekaat atau masih tiga rekaat, maka dalam hal ini, ia harus menambah satu rakaat lagi, karena sudah pasti yakin adalah ia sudah melaksanakan tiga rekaat.
3.      الأ صل بـر اءة ا لذ مـة
“Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab”.
      Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik yang berhubungan dengan hak Allah maupun hak adami, setelah dia lahir munculah hak dan kewajiban pada dirinya. Anak kecil lepas dari tanggung jawab melakukan kewajiban sampai waktu baligh. Tidak ada hak dan kewajiban antara pria dan wanita yang bersifat menikah sampai terbukti adanya akad nikah. Makan dna minum dasarnya dibolehkan sampai adanya dalil yang melarang memakanan atau meminuman minuman yang diharamkan. Dalam fiqh siyasah, seseorang bebas dari tanggung jawab jabatan tertentu sampai ada keputusan yang mengangkatnya dalam jabatan tersebut. Begitu juga seseoang bebas dari tanggung jawab seorang dosen, sampai dia diangkat dan berfungsi sebagai dosen, demikian seterusnya sampai ada yang merubahnya.
      Sebagai contoh: jika terjadi perselisihan dalam masalah ganti rugi barang titipan yang rusak. Maka dalam hal ini, yang dititipi barang tidak dibebani ganti rugi jika ia berani bersumpa tidak merusak barang titipan tersebut.
4.      الأ صل بقا ء مـا ﻜـا ن على مـا ﻜـا ن
“Hukum asal itu tetap menurut keadaanya semula secara apa adanya”.
      Sebagai contoh: jika isteri menuduh suaminya tidak memberikan nafkay yang layak padanya., sednag suami mengaku sudah memberikannya. Maka yang dimenangkan adalah perkataan isteri dengan sumpahnya. Sebab menurut hukum asal, nafkah tersebut masih tetap pada suami, kecuali ada petunjuk lain yang menggugurkannya, seperti ada saksi yang mengatakan sebaliknya. Begitu juga jika seorang suami menuduh isterinya tidak perawan dan merasa tertipu, setelah malam pertama ia menyetubuhinya, lalu melaporkanya kepada hakim. Maka hakim harus memutuskan menolak tuduhan suami tersebut, karena pada dasarnya setiap Wanita awalnya perawan. Kecuali ada petunjuk lain yang membuktikan bahwa iteri tersebut tidak perawan, mislanya karena pernah menikah, pernah kecelakaan yang menyebabkan robeknya selaput darah atau yang lainnya.
      Dengan demikian, keadaan yang tetap tersebut masih bisa terjadi perubahan jika ada unsure-unsur lain yan mengubahnya. Misalnya kewajiban-kewajiban suami istri bisa hilang lagi karena adanya perceraian, seseorang yang memegang jabata bisa hilan lagi tanggung jawabnya apabila pension atau diberhentikan dari jabatanya.
5.      ما ثبت بز يﺤﻜـم بيقا لـﮥ ما لم يقم الد ليل عـلى خلا فـه
      “Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka hukumnya tetap berdasarkan berlakunya hukum tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya”.
      Sebagai contoh: transaksi dalam jual beli pembeli mengaku sudah membayar harga barang kepada penjual, sedang penjual mengatakan belum. Maka dalam hal ini, yang dimenangkan adalah perkataan penjual, sebab menurut hukum asal, harga tersebut masih tetap pada pembeli (belum bayar) sampai ada bukti lain yang mendukungnya. Begitu juga jika ada seseorang yang pergi jauh, tidak ada kabar beritanya, maka orang tersebut tetap dianggap hidup sampai ada bukti yang meyaknkan bahwa dia sudah meninggal. Dalam hal ini, yang meyakinkan bahwa waktu dia pergi dalam keadaan hidup, maka sekarangpun ia masih dalam keadaaan hidup. Oleh sebab itu, harta warisan tidak boleh dibagikan dulu. Isteri yang ditinggalkan masih tetap dianggap isterinya. Artinya masih berhak terhadap nafkah dan hal-hal lai sebagai isteri.
6.      الأ صل العـد م
“Hukum asal adalah ketiadaan”.
      Sebagai contoh: jka terjadi perselisiahan antara penjual dan pembeli dalam masalah barang dagangan, apakah sudah diterima atau belum barangnya. Maka dalam hal ini yang dimenangkan adalah perkataan orang yang mengingkari terjadinya penerimaaan. Karena pada menurut hukum asal, tidak ada penerimaan. Begitu juga jika ada seseorang yang mengaku sudah mendapat gelar strara dua (S2) untuk mendaftar menjadi PNS untuk formasi dosen, tapi ia tidak dapat menunjukan bukti ijazah atau dokumen-dokumen pendukung lainnya. Maka dalam hal ini, ia tetap dianggap belum mencapai gelar S2 tersebut. Sejalan dengan qa’idah diatas, ada qa’idah yang lebih rinci:
الأ صل فى الصفا ت لعا ر ضة ا لعـد م
Hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada”.
      Sebagai contoh: jika terjadi perselisihan dalam transaksi jual beli mengenai sah atau tidak sahnya jual beli tersebut. Maka pendapat yang dimenangkan adalah perkataan orang yang menyatakan batal, karena hal ini berarti mengingkari terjadinya akad. Sebab secara hukum, asal yang benar adalah tidak atau belum terjadi akad. Begitu juga terjadi persengketaan anatara penjual dan pembeli tentang ada atau tidaknya cacat barang yang diperjual belikan, maka yang dimenangkan disini adalah perkataan si penjual, karena pada asalnya cacat itu tidak ada dan transaksi jula beli sudah berlangsung secara sah tanpa ada gugatan. Namun, ada pengecualian si pembeli bisa memberikan bukti yang meyakinkan bahwa cacat barang itu sudah ada ketika barang tersebut masih berada ditangan penjual.
7.      الأ صل فى ﻜل حـا د ث تقـد ير ه بأ قر ب ز منـه
      ”Hukum asal dalam segala peristiwa adalah dianggap terjadi pada waktu yang paling dekat dengannya”.
      Apabiala terjadi keraguan karena ada perbedaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hukum yang ditetapkan adalah menurut waktu yanag paling dekat denag peristiwa itu terjadi. Kecuali ada bukti lain yang meyakinkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada waktu yang lebih jauh. Sebagai contoh: seorang wanita yang sedang hamil, ada yang memukul perutnya, kemudian keluarlah bayi dalam keadaan hidup dan sehat. Selama beberapa bulan bayi itu meninggal. Maka meninggalnya  si bayi tidak didasarkan pada pemukulan yang terjadi pada waktu yang sudah lama, tetapi disebabkan hal lain yang terjadi pada waktu yang terdekat dengan kematiannya.
      Kemudian dalam akad jual beli, terjadi sengketa antara penjual dan pembeli, menurut penjual cacat yang ada pada barang itu mencul ketika barang sudah ada ditangan pembeli, sedangkan menurut pembeli, cacat itu sudah ada semenjak barang itu masih ditangan penjual, maka yang harus dipegang adalah perkataan penjual, karena inilah waktu yang paling dekat dengan terjadinya cacat dan telah sama-sama diyakini terjadinya cacat. Maka jual beli ini tidak bisa dibatalkan, kecuali ada bukti lain yang meyakini bahwa cacat yang ada itu terjadi ketika barang masih ditangan penjual.
8.      ا ﻷ صل فى ا ﻷ شيا ء ا ﻹبا حة حتى يد ل الد ليل ا لتحـر يم
      ”Hukum asal segala sesuatu itu adalah boleh,sampai ada dalil yang menunjukan keharamannya.”
      Sebagai contoh:
Jika ada dan minuman yang belum disebutkan dalil hukumnya secara tegas,maka hukumnya boleh dimakan dan diminum.begitu juga terhadap binatang-binatang yang belum ada dalil tegas tentang keharamanya, maka hukumnay boleh dimakan.
      Sebagai imbangan qa’idah diatas, sabagimana dinisbatkan oleh kalangan Syafi’iyah bahwa dikalang madhzab Hanafi adapula qa’dah kebalikanya:
ا ﻷ صل في ا ﻷ شيا ء ا لتحر يم حتى يدل الد ليل علي اﻹ با حة 
      ”Hukum asal segala sesuatu adalah haram, sampai ada dalil yang memperbolehkannya”.
      Oleh para ulama, qa’idah tersebut lalu dikompromikan menjadi dua qa’idah dalam bidang hukum yang berbeda. Kalau dalam masalah fiqh muamalah digukan qa’idah dari kalangan Syafi’iyah (asal segalah sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang mengharamkannya) sedang dalam masalah bidang fiqh ibadah digunakan qa’idah dari Hanafiyah (asalnya segalah sesuatu adalah haram sampai ada dalil yang membolehkannya).
لا ﺤﻜﻢ ﻟﻸ ﻔﻌا ﻞ ﻗﺑﻞ ﻮرﻮﺩ ا لشرع          
“Tidak ada hukum terhadap suatu perbuatan sebelum datangnya syari’ah”.
      Dalam membahas masalah hukum asal terhadap segalah sesuatu ini, terhadap perbedaan pendapat dikalangan ulama. Pertama, sebagai Mu’tazilah, Ibnu Hamid dan Abu Ya’la (Hanabilah) berpendapat bahwa hukum asal dari segala sesuatu adalah haram. Kedua, kalangan Asy’ariyah, mayoritas ahl al-hadits, Abu Hasan al-Hirzi (Hanabilah) dan Wakifiyah berpendapa bahwa hukum asal dari segalah sesuatu adalah mauquf (tidak ada jawaban hukumnya) sampai ada dalil yang menjelaskannya. Ketiga, kelompok yang mengatakan bahwa hukum asal segalah sesuatu yang bermanfaat adalah boleh, sedangkan hukum asal segala sesuatu yang berbahaya adalah haram. Keempat, pendapat terpilih (qaul mukhtar) dari kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah, Zhariyah, sebagai ulama Hanabilah, Abu Hasyim dan Juba’i (Mu’tazilah) yang menyatakan hukum asal segalah sesuatu adalah boleh.
9.      ا ﻷ صل فى ا ﻠﻜـﻼ ﻡ ا للحقيقـة
“Hukum asal dari suatu kalimat itu adalah arti yang sebenarnya (hakikat)”.
      Maksud qa’idah ini adalah bahwa mengamalkan sesuatu menurut arti hakikatnya lebih utama dari pada berdasarkan arti majaz (kiasanya), terkecuali ada dalil atau petunjuk lain yang menguatkan arti majaz. Dan penggunan majaz ini biasanya selalu dibarengi dengan petunjuk (qarinah) yang dapat memalingkan kalimat dari arti hakikatnya. Hal ini bisa dipahami karena pada dasarnya, arti hakikat merupakan hukum asal dari suatu kalimat, sedang majaz adalah cabangnya. Sebagai contoh: lafal ”nikah” yang arti hakikatnya adalah “bersetubuh” dan arti majaznya adalah “aqad”. Maka jika ada seorang ayah menikahi seorang wanita, lalu bercerai atau si ayah tersebut wafat sebelaum wanita itu disetubuhinya,  maka anak ayah tersebut boleh menikahi wanita tadi. (lihat an-Nisa’:22). Begitu juga dengan lafal “faqtha’u” pada surat al-ma’idah ayat 39 yang berasal dari kata “qhatha’a”, arti hakikatnya adalah memotong dan arti majaznya adalah menahan. Maka disini bagi pencuri yang telah memenuhi syarat diberlakukanya had, harus dipotong tangannya. Begitu pula jika seseorang berkata: “saya mau menghibahkan harta kepada anak saya”, maka yang dimaksud “anak” disini adalah anak kandung, bukan anak angkat atau cucu.
10.  لا عبر ة للتـو هم  
“ Tidak diakui adanya kira-kira (wahm)”.
      Bedanya zhann dengan wahm adalah jika didalam zhann yang salah itu persangkannya, maka didalam wahm yang salah itu zatnya. Sebagai contoh: jika seorang wafat dengan meninggalkan sejumlah ahli waris, maka harta warisan dibagikan diantara mereka ahli warisannya saja. Tidak diakui ahli waris lain yang dikira-kira keberadaannya.[4]
D.    Contoh-contoh qa’idah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak dalam ekonomi
Contoh-contohnya sebagai berikut:[5]
1.      Jika seseorang membeli mobil, kemudian ia mengatakan, bahwa mobil yang dibelinya itu cacat dan ia ingin mengembalikannya, lalu penjual menolak ucapan pembeli yang mengatakan adanya cacat itu, maka si pembeli tidak boleh mengembalikannya, karena pada asalnya mobil itu yakin dalam keadaan baik. Cacat tidak boleh ditetapkan dengan adanya keraguan, sebab yang yakin tidak boleh dihapuskan oleh keraguan.
2.      Apabila dua orang melakukan transaksi jual beli, kemudian salah seorang mensyaratkan sendiri khiyar dalam akad, ia berkeinginan membatalkan transaksi jual beli itu dan mengembalikan barang, sementara penjual menyanggah adanya syarat itu, maka perkataan yang dipercaya adalah perkataan sipenjual disertai sumpahnya, karena syarat tersebut suatu hal kejadiannya belakangan. Karena pada dasarnya dalam akad adalah bebas dari syarat-syarat tambahan, maka tidak adanya syarat tambahan, itulah yang yakin.
3.      Apabila seseorang berhutang mengatakan kepada orang yang punya piutang, bahwa ia telah membayar hutangnya, sedangkan orang yang punya piutang mengingkarinya, maka perkataan yang diperpegangi adalah perkataan piutang yang mengingkari pembayaran itu. Karena yang diyakini adalah belum bayarnya orang yang berhutang, terkecuali orang yang berhutang itu dapat membuktikan bahwa ia sudah bayar hutangnya, seperti ada alat bukti pembayaran. Karena hak orang yang punya piutang itu diyakini.
4.      Seseorang memakan makanan orang lain, ia mengatakan pemiliknya telah mengizinkannya, pada hal pemilik makanan tersebut tidak mengizinkannya. Dalam kasus ini yang dibenarkan adalah pemilik makanan, sebab menurut hukum pokok makanan orang lain itu tidak boleh di makan.
5.      Seorang yang menjalankan modal melaporkan tentang perkembangannya kepada pemilik modal, sudah mendapatkan keuntungan tetapi sedikit, maka laporannya itu dibenarkan. Karena dari awal adanya ikatan mudharabah memang belum diperoleh laba dan keadaan ini yang sudah nyata, sedangkan keuntungan yang diharap-harapkan itu hal yang belum terjadi (belum ada).
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
            Qa’idah ini merupakan pondasi syar’i yang kokoh. Didalamnya termuat banyak persoalan hukum fiqh, yang bermuara pada penghilangan kesulitan dan keberatan. Dimana qa’idah ini dengan tegas memposisikan keyakinan sebagai hukum asal, terlebih dalam masalh bersuci, dan shalat. Agar bisa memahami qa’idah ini secara detail dan mengetahui seberapa jauh jangkauannya dalam menghadapi persoalan persoalan fiqh islam, terlebih dahulu harus mengetahui bahwa tingkat daya hati dalam menangkap sesuatu selalu berbeda-beda.
            Al-Yakin secara bahsa adalah mengetahui, menyingkirkan keraguan, dan membuktikan kebenaran masalah. Al-Yakin merupakan kebalikan dari al-Syak. Sedangkan Ghalabah al-Dzan adalah dugaan tetap yaitu mendominasinya salah satu diantara dua perkara atas lainnya dengan dominasi mutlak, dan lainnya dikesampingkan karena terlalu lemah. Al-Dzan yaitu perkara yang dihasilkan dari tanda-tanda. Apabila tanda-tandanya kuat, maka akan menghasilkan pengetahuan. Dan apabila lemah sekali maka disebut salah duga. Al –Syak adalah sepadan antara dua sisi perkara, yaitu berhenti (tidak bisa menentukan) diantara dua perkara, dan hati tidak condong pada salah satunya

DAFTAR  PUSTAKA

Andiko, Toha .Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah. (Teras).
 Azhar, Fathurrahman. 2015. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. Banjarmasin: LPKN.
           



                [1] Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Teras), H. 67-71.
                [2] Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Teras), H. 71-73.
                [3] Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Teras), H. 77-79.
                [4] Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Teras), h. 87-88.
[5] Fathurrahman Azhar, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin: LPKN, 2015), h. 79-80.

No comments:

Post a Comment