1

loading...

Tuesday, January 15, 2019

MAKALAH IJMA MULTIKULTULAR


 MAKALAH

PARADIGMA IJMA’, QIYAS, ISTHSAN, MASHLAHAH, URF (tradisi), SYADZ AL-DZARI’AH MULTIKULTULAR

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada prinsipnya, pendidikan multikultural adalah pendidikan yang mengharagai perbedaan. Pendidikan multikultural senantiasa menciptakan struktur dan proses dimana setiap kebudayaan bisa melakukan ekspresi .tentu saja untuk mendesain pendidikan multikulturalsecara praksis, itu tidak mudah. Tetapi,paling tidak kita mencoba melakukan ijtihad untuk mendesain sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan multikulturalisme. setidaknya ada dua hal bila kita akan mewujudkan pendidikan multikulturalismeyang mampu memberikan ruang kebebasan bagi semua kebudayaan untuk berekspresi. Pertama adalah dialog.pendidikan multikultural tidak mungkin berlangsung tanpa dialog. Dalam pendidikan multikultural, setiap peradapan dan kebudayaan yang ada berada dalam posisi yang sejajar dan sama. Tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi atau dianggap lebih tinggi (superior) dari kebudayaan yang lain. Dialog meniscayakan adanya persamaan dan kesamaan diantara pihak-pihak yang terlibat, anggapan bahwa kebudayaan tertentu lebih tinggi dari kebudayaan yang lain  akan melahirkan fasisme, nativisme,dan chauvinism.dengan dialog, diharapkan terjadi sumbang pemikiran yang pada gilirannya akan memperkaya kebudayaan atau peradaban yang bersangkutan. Di samping sebagai pengkayaan ,dialog juga sangat penting untuk mencari titik temu  (kalimatun sawa) antar peradaban dan kebudayaan yang ada.pendidikan multikultural dapat dirumuskan sebagai wujud kesadaran tentang keanekaragaman kultural, hak-hak asasi manusia serta pengurangan atau penghapusan  berbagai jenis prasangka atau prejuduce ( Pengaruh Nrgatif ) untuk membangun suatu kehidupan masyarakat yang adil dan maju.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa  Paradigma ijma’multikultular     ?
2.      Apa  Paradigma qiyas multikultular    ?        
3.      Apa Paradigma isthsan multikultular ?
4.      Apa  Paradigma mashalahah multikultular?
5.      Apa  Paradigma urf multikultular ?
6.      Apa  Paradigma syadz al-dzari’ah multikultular ?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui Paradigma ijma’multikultular
2.      Untuk mengetahui Paradigma qiyas multikultular
3.      Untuk mengetahui Paradigma isthsan multikultular
4.      Untuk mengetahui Paradigma mashalahah multikultular
5.      Untuk mengetahui Paradigma urf multikultular
6.      Untuk mengetahui Paradigma syadz al-dzari’ah multikultular

BAB II
PEMBAHASAN
       1.      Paradigma Ijma’Multikultural
Ijma menurut Bahasa
Pengertian etimologi kedua  dari ijma’ adalah العجز علي شيء (ketetapan hati untuk melakukan sesuatu). Pengertian kedua ini ditemukan dalam surat yunus ayat 71, yaitu:
فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ
makabulatkanlah keputusanmu dan kumpulkanlah sekutu-sekutumu…
Ijma’ menurut istilah
Secara terminologi, ada beberapa rumusan ijma’ yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh. Ibrahim Ibnu Siyar Al-Nazzam, seorang tokoh mu’tazilah, merumuskan ijma’ dengan ”setiap pendapat yang didukung oleh hujjah, sekalipun pendapat itu munculdari seseorang. ”Akan tetapi, rumusan al-Nazzam ini tidak sepaham dengan pengertian etimologi di atas.
Kehidupan umat manusia saat ini semakin tergantung antara satu kelompok dengan kelompok lainnya dan satu negara dengan negara lainnya. Konsensus bersama menjadi tuntutan mendesak untuk dibangun demi menjaga kepentingan masing-masing pihak tettap harmonis dan kondustif. Demikian juga realitas hidup umat islam Indonesia saat ini tidak hanya berhubungan dengan sesamanaya saja, tetapi juga dengan realitas hidup umat islam.
Dalam ilmu ushul Fiqih,kesepakatan bersama itu dapat disebut dengan ijma.
Menurut Abdula Wahab khallaf,ijma adalah kesepakatan seluruh mujtahid pada satu masa setelah wafatanya Nabi Muhammad saw terhadap suatu hukum syara; mengenai perrmasalah hukum. 
Menurut Ahmad Hasan mengatakan bahwa ijma “Kesepakatan umat islam dalam mengenai maslah agama”, ijma’ juga bisa bermakna “kesepaktan  pendapat para ahli untuk ber-ijma’ (ahl al-ijma) dalam nyelesaikan kasus-kasus hukum agama.
Menurut Al-Amidi menyatakan bahwa ijima’ adalah kesepakataan ablul balli wal aqdi  dari umat Muhammad saw pada suatu masa terhadap suatu hukum  dari sattu peristiwa.
Ijma’ adalah dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan hukum setingkat dibawa dalil al-Qura’an dan Sunnah. Ia merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Sunnah yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali dan merumuskan hukum-hukum syara. Adapun dalil Ijma’ berdasarkan sabda Nabi saw asebagai berikut ; ia tajtami’u ummati ala dlalatin ( Umatku tidak akan bersepakat atas perbuataan sesat) dan ma ra’ah al-muslimuna hasanan fa huwa indallahi hasanun (apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut pandangan Allah juga baik).Adapaun dalial Al-Quran dinyatakan berikut :
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Artinya : Dan barang siapa yang menetang Rasul seseudah jelas kebenaran baginya, dan  mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan ang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (Q.S.An-Nisa 4 :155).
Persyartan terwujudnya ijama, dalam membentuk rumusan hukum fiqih dapat diaajabarkan sebgai berikut
1.    Adanya sejumlah mujtahid/ahli hukum islam yang memiliki perhatian terhadap maslah-maslah  hukum islam.
2.    Adanya kesepakatan seluruh mujtahid dalam memecahkan permasalahan hukum
3.    Kesepakatan seluruh mujtahid itu disampaikan secara jelas melalui pernyatan dan perbuatan.
4.    Kesepakatan seluruh mujtahid seluruh mujtahid terjadi secara total dalam menetapkan keputusan hukum dan tidak ada perselisihan di dalamnya.
Dalam koridor ijma tradisional, ijma’ itu akan mengalami kesulitan untuk berkembang karena ijma’ mengandai seluruh kesepakatan mujtahid  di dunia Islam. Sedangkan pada masa tabi’in mereka telah mulai terpencar-pencar ke berbagai negara, sehingga sulit untuk mengadakan pertemuan di antara mereka. Ijma dikalangan mereka menjadi sesuatau yang sulit terjadi, boleh dikatakan tidak mungkin terjadi. Sebab para mujtahid hampir-hampir tidak ada yang bersepakat terhadap masalah-masalah  yang disepakati oleh sebagian sahabat Nabi SAW.
Dalam kehidupan kehidupan kini Ijma perlu dirumuskan dengan menajemen yang profesional dengan menentukan batasan kebetulan dan cakupan ijma, dari para ulama, misalnya kita perlu mengakui Ijma yang dirumuskan oleh suatu negara, atau organisasi keagamaan professional seperti MUI, lajnah Bahstu Masa’il NU, Majilis Tarjid dan Tadjid Muhammaddiyah, sehinggah sepakat suatu bangsa, negara  atau golongan tertsenutdapat diakui sebagai konsensus (Ijmak) ang sah melalui mekanisme tertentu yang disepakati, misalnya dengan menghadiri perwakilan atau segenap umat dalam mengambil keputusan hukum. Ijma, itudapat terbentuk
konsensus para politis atau ablul halli wal aqdi. Ijma yang bersifat multikultural ini adalah suatu rumusan model pengambilan keputusan hukum ynag dibangun  berdasarkan pada perkembangan aspirasi masyarakat yang beragam untuk dicarikan titik temunaya dan kemudian titik temu itu dijadikan dasar dalam kehidupan bersama.
Menurut KH Abdurrahman Wahit menekankan perlunya membangun konsep ijma (konsesnsus) yang mampu memelihara hak dan kewajiban setiap induvidu dan masyarakat kalau hukum publik  Ialam  akan diterapkan dalam tataran kenegaran. Konsekuensinya, seluruh waraga negara (tanpa melihat agama, budaya dan entitas) harus memiliki hak yang sama dalam mempengaruhi formulasi dan penetapan kebijakan hukum publik. Ia  mengutarakan bahwa konsensus  itu melahirkan ketentuan yang memberikan kebebasan kepada umat Manusia.
Konsensus (ijma) ini tidak hanya  mengandalkan suara  mayoritas sebagai tolak ukurnya, tetapi juga, memelihara dan melindungi hak dan kebebasan serta menjamin kesejahtraan seluruh warganya berdasarkan khazanah budaya setempat yang dianggap baik.
Dalam konteks internal keindinesiaan, umat perlu membangun sistem permusyawaratan yang benr-benar mampu menampung aspirasi kelompok masyarakat dan berakar pada kultur-budayanya sehinggah sistem pengambil keputusan kita bisa tegak dan memberi kemaslahatan bagi masyrakat. Apalagi ajaran fiqih islam memiliki orientasi pada penjaminan kesejahteran (kemaslahatan) warga masyarakat, sehingga negara/pemerintah bisa ditegakan tanpa harus berlandasan secara formal pada agama tertentu demi tercapainya pemeliharaan dan pemberian hak-hak yang adil dan serta terhadap semuah warga negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu contoh ijma yang resmi kenegara adalah sebgai berikut :
Ruang lingkup tauhid di negara kita, maka para wakil organisasi islam,menerima pencabutan piagam jakarta  dari UUD 1945.
Ijmak Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Se-indonesia II tentang Ashriyah wathaniyah menegaskan bahwa, kesepaktan bangasa indonesia untuk membentuk negara kesatuan Republik Indonesia sebagai ikhtiyar untuk memelihara keluhuran agama dan mengatur kesejahtran hidup bersama adalah mengikat seluruh elemen bangsa. Sebab itu, setiap upaya pemisahan dari NKRI atau penghianatan terhadap, NKRI adalah tindakan bughat tersebut. Dasar hukum ijma MUI  ini adalah ( Q.S An-Nisa Ayat 59), yang  intinya memerintahkan umat untuk taat kepada Allah SWT, Rasulnya, dan ulil amri/pemerintahan, sedangkan Hadits Nabi SAW menegaskan bahwa “barang siapa keluar dari ketaatan dan memisahkan dari jamaah atau kelompoknya, maka jika ia mati berada dalam kematian jahiliyah. Kehudupan kebangsaan dan kenegaraan, nilai-nilai hukum agama harus dijadikan pedoman agar tidak terjadi benturan antara kerangka berpikir keagamaan dan kebangsaan.
Secara subtansi, UUD-NRI 1945 juga mengakui adanya ijma dalam terminologinya sendiri yang dikenal dengan “kerakyaan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan/perwakilan”. Sedangkan permusyawaratan itu merupakan mekanisme yang dapat digunakan untuk menyelsaikan permasalahan-permasalahan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan secara damai. Permusyawaratan dapat dijalankan dapat dijalankan secara langsung sebagaimana pemilihan kepada desa, kepada daerah, pemilihan presiden atau anggota legislatif, sedangkan perwakilan adalah sistem pemerintahan yang menerapkan sistem perwakilan dalam mengambil keputusan sebgaimana ditetapkan di DPRD/DPRI.
Dalam konteks internasional, ijma (kesepaktan) antara negara akan tercapai apabila dipenuhu beberapa syarat, yaitu :
1.    Harus disadari bahwa pertimbangan yang diberikan memiliki spritualitasnya sendiri, ditengah-tengah orientasi PBB sendiri yang bersabdarkan filsafat materialisme dengan segenap teori pembangunan sekulernya yang juah dari ukuran-ukuran keagama.
2.    Argumentasi yang diberikan memiliki latar belakang dinamika masing-masing agama yang penuh dengan perubahan, yang berarti ia adalah hasil dan sebuah proses ynag belum selesai.
3.    Proses yang mrnghasilkan pertimbangan-pertimbangan itu harus dilihat dari perspektif dialog antara agama.
Salah satu ijma’ yang dicapai melalui forum internasional adalah masalah pengharaman bunga bank yang dihadiri oleh 300 ulama dan pakar ekonomi dunia yang ahli fiqih dan ahli ekonomi Isalam. Tidak seorang pun yang memantah keharaman bunga bank. Menurut M Akram Khan, Guru Besar Ekonomi  Islam, menyebutkan bahwa pengharaman bunga bank sudah menjadi kesepaktan dalam ijma’ ulama.
        2.      Paradigma Qiyas Muktikultural
Qiyas adalah menyamkan sesuatu yang tidak ada nas hukumnya dengan sesutau yang ada nas hukumnya karena adanya kesamaan illat hukum. Dengan demikian, qiyas sebagai salah satu paradigma ijtihad  hukum islam bertujuan untuk menggali hukum-hukum dari dalil-dalial Al-Qur’an dan Sunnahda, dalam menjawab kasus-kasus hukum baru yang tidak ada ketentuan nas hukumnya secara eksplisit dengan pertimbangan adanya kesamaan illat hukum antara kasus baru dengan hukum yang ada dalam Al-Qur’an.
Apabila ada suatu kasus yang  di kalangan masyarakat yang tidak dijumpai ketentuan tersuratanya dalam Al-Qur’an dan Sunnah, maka jalan yang dapat digunakan adalah dengan menerapkan paradigma qiyas, yakni menetapkan hukum terhadap kasus-kasus hukum yang tersurat dalam nas Al-Qur’an dan Sunnah dengan melihat adanya kesamaan illat.
Imam Asy-Syafi’i menegaskan setiap pristiwa pasti ada ketentuan hukumnya dan umat Islam wajib mencarinya untukmelaksanakan ketentuan tersebut. Jika belum dijumpai ketentuan hukumnya secara jelas dan rinci, maka harus dicari pendektanya yang sah, yaitu dengan menggunkan qiyas untuk menggali hukum baru.
Adapun  dasar normatif adanya perintah dalam Al-Qur’an untuk “kembali kepada Allah dan Rasull-nya” yang tidak lain kecuali dimaksudkan untuk menggali dan mengkaji, hikma-hikma hukum yang dikendalikan Allah SWT dan Rasullulah sebagaimana diterangkan dalm Al-Qur’an berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
Artinya : wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian mentaati Allah dan mentaati Rasul (Nya) dan ulil amri diantara kamu sekalian. Kemuadian jika kamu berbeda pendapat tentang (Sesuatu, maka kembalilah kepada Allah dan Rasul jika kamu sekalian benar-benar iman kepada Allah dan hari kemudian (Q.S An-Nisa’ (4) : 59).
Jalan pengamabilan dalil qiyas dalam ayat tersebut adalah bahwa Allah SWT memerintahkan kaum muslimin dalam menyelesaikan perselisihan pendapat dan perbedaan pendapat untuk menjawab permasalahan ynag tidak ada hukum dalam Al-Qur’an, Sunnah dan sepakat ulil ambri agar kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Menyamakan sesutau yang belum ada ketentuan teks hukumnya dengan ketentuan hukum yang ada teks/nasnya karena adanya kesamaan illat dinamakan qiyas, sehinggah hal itu masuk kategori kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah.
Rukun qiyas meliputi empat hal :
1.    Al-Ashl adalah sumber hukum yang berupa nas-nas yang menjelskan dan menerangkan hukum atau wilayah tempat sumber hukum,
2.    Al-Far’u suatu ayang tidak ada ketentuan nas-nya.
3.    Al-hkm adalah hukum yang digunakan teori qiyas untuk memperluas ketentuan hukum dari hukum asal ke hukum cabang.
4.    Illat adalah alasan yang serupa antara masalah hukum yanga ada dalam hukum asal dan masalah hukum yang ada dalam hukum cabang.
Menurut KH Abdukrahman Wahid,qiyas adalah penyamaan suatau kasus hukum baru yang belum ada ketentuan hukumnya ke dalam ketentuan hukum nas hukum agama dengan adanya kesamaan illat hukum.
Paradigma qiyas tersebut merupakan analogis yang inklusif terhadap adanya perbedaan pendapat dengan tetapi berada dalam koridor ketentuan hukum fiqih yang tertera dalam Al-Qur’an dan Sunnah.Paradigma ini memiliki arti penting dalam mengembangkan  hukum fiqih dalam menjawab perkembangan masalah-masalah hukum yang terjadi di masyrakat dengan wawasan qiyas yang terbuka dan tidak ekslusif.
Adapun pembagian qiyas terhadap beberapa macam. Dari segi illatnya yang ada pada hukum cabang dengan illat yang ada pada hukum asal ada tiga macam :
1.    Qiyas awlawi adalah kasusu hukum yang ada hukum cabang lebih berat dari pada illat yanga ada pada hukum asal, seperti larangan mendekati zina dengan keharaman melakukan perzinahan.
2.    Qiyas musawi adalah  qiyas yang mana illat hukum yang ada pada hukum cabang dengan yang ada hukum asal sama, misalnya memakan harta anak yatim sama haramnya dengan membakar harta anak yatim.
3.    Qiyas adwan  adalah qiyas yang sama illat hukum yang ada pada cabang lebih ringan dari pada illat hukum yang  ada pada hukum asalnya, misalnya mengharamkan riba fadl  dari gandum kepada apel.
Jika disnalisis  dari segi jelas atau tindakanya illat yang ada pada hukum fiqih, terbagi menjadi dua macam ;
1.    Qiyas Jali adalah qiyas yang illat-nya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum ashl
2.    Qiyas Khafi adalah qiyas yang illat-nya tidak disebutkan dalam nash.
Qiyas juga berkembang pada sitem perekonomian, dalamm bidang ekonomi islam, qiyas mudlarib yudlarib ke taqbil’amal pada ijarah bertingkat. Mudlarib dibolehkan untuk melakukan akad mudlarabah kepada pihak lain dengan asumsi menyamakan (mengqiyas-kan) akad muldlarabah pada penyerahan kerja (taqbil’amal).
        3.      Paradigma Istishan Muktikultural
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik, sedangkan menurut istilah, istihsan adalah meninggalkan qiyas yang nyata untuk menjalankan qiyas yang tidak nyata (samar-samar) atau meninggalkan hukum kulli (umum) untuk menjalankan hukum istina’i (pengecualian) disebabkan ada dalil yang menurut logika  membenarkannya.
Menurut istilah yang diberikan ulama Malikiyah dalam buku Pengantar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh tulisan Zarkasyi Abdul Salam dan Oman Fathurrahman, disebutkan bahwa istihsan adalah mengutamakan meninggalkan pengertian suatu dalil dengan cara istina’ dan berdasarkan pada keringanan agama karena adanya hal yang bertentangan dengan sebagian pengertian tadi. Pengertian istishan oleh seorang ulama Hanafiyah adalah beralih kepada penetapan hukum suatu masalah dan meninggalkan yang lainnya karena adanya dalil syarak yang lebih khusus.
Abdul Wahab Khallaf menyebutkan bahwa istihsan secara kebahasaan adalah menganggap baik terhadap sesuatu, sedangkan secara istilah istihsan adalalah berpindahnya seorang mujtahid darituntutan qiyas jali pada qiyas khafi atau dari dalil kulli kepada dalil juzi karena adanya tuntutan hukum yang lebih kuata untuk mewujudkan kebaikan. Imam Abu Hasan Al-Karki menyatakan bahwa istihsan adalah penetapan hukum dari mujtahid terhadap suatu masalah yang berahli dari ketetapan hukum yang sudah perna ditetapkan pada masalah serupa, karena adanya alasan hukum yang lebih kuat yang mengharuskan adanya peralihan hukum itu, misalnya dari yang umum kepada yang khusus atau pengecualian.
Antara istihsan dan mashlabah ( mursalah) memiliki perbedaan ynag sangat  tipis. Istihsan berhubungan dengan masalah-masalah hukum fiqih yang pada awalnya mengikuti ketentuan qiyas kemudian istihsan menggantinya sebagai paradigma ijtihad untuk mencetuskan keputusan hukun fiqih,  sedangkan mashlalah sejak dari awal mula sudah dalil ijtihad  yang digunakan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan hukum di dalam ruang lingkupnya. Oleh sebab itu, Usaman menyatakan bahwa salah satu jenis istihsan adalah istihsan dengan paramenter mashlahah . Yaitu untuk mengukur berlaku atau tidaknya keputusan hukum berdasarkan asas kemaslahatan tersbut. Misalnya ada larangan jual beli yang tidak sah (bai al-ma’dum). Tetapi dengan adanya tuntutan kemaslahatan yang dibutuhkan  oleh segenap umat manusia dan tidak bisa dihindari kebutuhan itu, sehinggah akad salam sebgai bentuk bai’ul ma’dum dibolehkan  berdasarkan pada dalil istihsan. Demikian juga juga uang muka dalam murabahah Fatwa Dewan Nasional (DSN) No. 13 yang berlandasan kaidah maslahah.
Penerapan istihsan dalam bidang hubungan antar agama, KH.Abdurrahman Wahid menjelaskan bahwa kita bisa menggunakan hukum juz’iyah  dari pada hukum kuliyyah kalau ada tuntutan yang menghendaki diterapkanya hukum tersebut, misalnya, kaum muslim sekarang sudah tak mingkin lagi hidup sendiri tanpa adanya  kerjasama dengan semuah orang, termasuk dengan non-muslim dalam bidang mu’amalah. Karena itu dibolehkan hukum mengadakan kerjasama mu’amalah dengan non-muslim. Walaupun hukum aslinya yang ditetapkan oleh para ulama salaf  tentang “kerjasama muslim dengan non-muslim tersebut” tidak bolehkan.
Pendapat ini berdasarkan firman Allah SWT.
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
Artinya : “dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan suatu jalan bagi orang-orang kafir ( untuk hidup bersama orang-orang muslim). (Q.S.An-Nisa :141)
Dalam mengomentari fenomena kerjasama dengan non-muslim, KH.Abdurrahman Wahid lalu menggunakan dasar hukum juz’iyyah dari pada hukum kulliyah atau menghindari kesulitan demi mendapatkan kemudahan yang mengaharuskan melakukan kerjasama dengan non-muslim, baik secara normatif maupun realitas sosiologi. Firman Allah swt :
وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ
Artinya : dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka. (Q.S. Al-Baqarah (2) :120)
Menurut KH Abdurrahman Wahid, kata walan tardu itu bermakna tidak rela dan millah dengan arti kebenaran/aqidah, sehingga setiap muslim tidak mungkin relah dengan orang Yahudi dan Nasrani karena mereka pada dasarnya sesudah memiliki keyakinan berbeda.
Kaidah usul Fiqih menyebut :  mala yatimu al-wajib illa bihi fahuwa wajib yang artinya ; sesuatu yang membuat kewajiban agama yang tarwujud  tanpa kehadirannya, akan menjadi wajib pula.
     4.      Paradigma Maslahah Multikultural
Secara etimologis, mashlahah berarti kebaikan (shalah) dan kemanfaatan (naf’u). Maslahah  bermakna segalah sesuatu yang memiliki nilai manfaat ataupun dengan cara menolak kemadlaratan yang akan menimpahnya. Secara teriminologi  Maslahah , menurut ulamah fiqh adalah kemanfaatan ditunjukan oleh allah swt kepada manusia untuk dapat memelihara agama, akal, keturuanan, dan harta sesuai denga  urutan sebagai basis pembangunan hukum fiqh yang kokoh dan pasti. 
        Paradigma maslahah multikultural yaitu kemanfaatan yang ditujukan untuk manusia agar dapat menjaga keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Paradigma mashlah sebagai sebagai metode ijtihad hukum mewujudkan lima jaminan dasar yang harus dipenuhi seperti yang telah dijabarkan oleh KH Abdurrahman Wahid yaitu; keselamatan fisik warga masyarakat, keselamatan keyakinan agama masing-masing, keselamatan keluarga dan keturunan, keselamatan harta benda pribadi, dan keselamatan profesi. 
Dalam konteks kemaslahatan ini KH Abdurrahman Wahid mengulas pentingnya dialog antar umat beragama yang sebelumnya merupakan hal yang tidak wajib namun demi membangun kerja sama dalam hal muamalah maka hal ini penting untuk dilakukan.
Dalam pengakuan syara’ mashlahah dibagi dalam tiga jenis yang kemudian diilustrasikan oleh KH Abdurrahman Wahid sebagai berikut; mashlahah mu’tabarah,  yang diilustrasikan bahwa Islam sebagai agama hukum tidak perlu dibela sebagaimana halnya Allah. Sebab keduanya bisa membela dengan sendirinya, seperti yang dijelaskan dalam surat Al-Maidah ayat 3.
Dalam konteks mashlahah mursalah diilustrasikan dalam proses pencalonannya sebagai presiden. Sedangkan mashlahah mulghah dikaitkannya dengan kerjasama dalam bidang akidah antar muslim dan non muslim yang tidak ada aturannya dalam Al-Qur’an.
Dalam konteks cakupannya ada dua yaitu mashlahah ‘amma yang dijabarkan oleh KH Abdurrahman Wahid dalam hal kesediannya menjadi calonan presiden, untuk menghindari lahirnya banyak korban dan perang saudara. Dalam mashlahah khasash dijabarkan dalam hal pencabutan TAP MPRS no 25 tahun 1966 yang berguna bagi kemaslahatan golongan tertentu yaitu PKI.  Dalam hal pembangunan sistem ekonomi ia sangat memperhatikannya terutama dalam hal kemaslahatan rakyat kecil.
      5.      Paradigma ‘Urf Multikultural
Paradigma ‘urf multikultural yakni melibatkan dan melestarikan kearifan budaya/tradisi lokal dalam menentukan suatu hukum. Dalam hal ini ‘urf dibagi dalam dua macam yaitu ‘urf shahihah  dan ‘urf fasidah, namun yang dipandang oleh KH Abdurrahman Wahid merupakan ‘urf yang harus dilestarikan adalah ‘urf shahihah, hal ini penting dalam kaitannya dengan proses pembentukan hukum Islam dan proses peradilan, sehingga ‘urf dapat dikukuhkan menjadi hukum syara’.
Salah satu contoh yang dijabarkan olehnya adalah tentang pembagian harta warisan sangat memungkinkan untuk mengikuti kebudayaan dan kearifan lokal suatu daerah, walaupun ketentuannya dalam Al-Qur’an sudah diatur dua banding satu antara laki-laki dan perempuan, namun hal ini bisa disesuaikan dengan kebiasaan tergantung situasi dan kondisi yang memungkinkan. 
       6.      Paradigma Syadz Al-Dzara’ah Multikultural
Paradigma Syadz Al-Dzara’ah Multikultural yaitu mempertimbang sesuatu yang menjadi perantara kearah perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan dalam menentukan suatu hukum. Dalam konteks ini KH Abdurrahman Wahid menyebutnya sebagai tindakan preventif agar tidak muncul tindakan kemafsadatan.  
Ia mencontohkan dalam hal lahirnya terorisme yang sangat dipengaruhi oleh pemahan agama/fiqih yang dangkal sehingga kewajiban bagi kaum muslimin adalah untuk melakukan reinterpretasi.  Dalam konteks fath al-dzari’ah, ia menyebutkan bahwa ekonomi negara akan tegak dan kokoh jika sistem ekonomi dibangun berorientasi pada penguatan dan keberpihakan pada kepentingan Usaha Kecil Menengah (UKM).


BAB III
PENUTUP
       A.    Kesimpulan
Ijma menurut Bahasa
Pengertian etimologi kedua  dari ijma’ adalah العجز علي شيء  (ketetapan hati untuk melakukan sesuatu). Pengertian kedua ini ditemukan dalam surat yunus ayat 71, yaitu:
menurut istilah
Qiyas adalah menyamkan sesuatu yang tidak ada nas hukumnya dengan sesutau yang ada nas hukumnya karena adanya kesamaan illat hukum.
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik, sedangkan menurut istilah, istihsan adalah meninggalkan qiyas yang nyata untuk menjalankan qiyas yang tidak nyata (samar-samar) atau meninggalkan hukum kulli (umum) untuk menjalankan hukum istina’i (pengecualian) disebabkan ada dalil yang menurut logika  membenarkannya.
Secara etimologis, mashlahah berarti kebaikan (shalah) dan kemanfaatan (naf’u). Maslahah  bermakna segalah sesuatu yang memiliki nilai manfaat ataupun dengan cara menolak kemadlaratan yang akan menimpahnya.
Paradigma ‘urf multikultural yakni melibatkan dan melestarikan kearifan budaya/tradisi lokal dalam menentukan suatu hukum.
Paradigma Syadz Al-Dzara’ah Multikultural yaitu mempertimbang sesuatu yang menjadi perantara kearah perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan dalam menentukan suatu hukum.

      B.     Saran
Dengan adanya makalah ini, diharapkan pada mahasiswa agar lebih muda memahami secara mendalam tentang hal-hal yang berkaitan dengan “paradigm ijma’, qiyas, isthsan, mashlahah, urf (tradisi) syadz al-dzari’iah”. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan kekhilafan oleh karena itu, kepada para pembaca dan para pakar utama, penulis mengharapkan saran dan kritik ataupun teguran yang sifatnya membangun, akan diterima dengan senang hati demi kesempurnaan makalah selanjutnya.
Kepada semua pihak khususnya kepada Dosen Pembimbing yang telah memberikan saran dan kritik konstruktif demi kesempurnaan makalah ini. Kami ucapkan terima kasih


DAPTAR PUSTAKA

Dahlan, 2013, PARADIGMA USHUL FIQH MULTIKULTULAR GUUS DUR, Bengkulu, iain Bengkulu press.

No comments:

Post a Comment