MAKALAH
PARADIGMA IJMA’, QIYAS, ISTHSAN, MASHLAHAH, URF (tradisi), SYADZ AL-DZARI’AH MULTIKULTULAR
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada prinsipnya, pendidikan multikultural
adalah pendidikan yang mengharagai perbedaan. Pendidikan multikultural
senantiasa menciptakan struktur dan proses dimana setiap kebudayaan bisa
melakukan ekspresi .tentu saja untuk mendesain pendidikan multikulturalsecara
praksis, itu tidak mudah. Tetapi,paling tidak kita mencoba melakukan ijtihad
untuk mendesain sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan multikulturalisme.
setidaknya ada dua hal bila kita akan mewujudkan pendidikan
multikulturalismeyang mampu memberikan ruang kebebasan bagi semua kebudayaan
untuk berekspresi. Pertama adalah dialog.pendidikan multikultural tidak mungkin
berlangsung tanpa dialog. Dalam pendidikan multikultural, setiap peradapan dan
kebudayaan yang ada berada dalam posisi yang sejajar dan sama. Tidak ada
kebudayaan yang lebih tinggi atau dianggap lebih tinggi (superior) dari
kebudayaan yang lain. Dialog meniscayakan adanya persamaan dan kesamaan
diantara pihak-pihak yang terlibat, anggapan bahwa kebudayaan tertentu lebih
tinggi dari kebudayaan yang lain akan melahirkan fasisme, nativisme,dan
chauvinism.dengan dialog, diharapkan terjadi sumbang pemikiran yang pada
gilirannya akan memperkaya kebudayaan atau peradaban yang bersangkutan. Di
samping sebagai pengkayaan ,dialog juga sangat penting untuk mencari titik
temu (kalimatun sawa) antar peradaban dan kebudayaan yang ada.pendidikan
multikultural dapat dirumuskan sebagai wujud kesadaran tentang keanekaragaman
kultural, hak-hak asasi manusia serta pengurangan atau penghapusan
berbagai jenis prasangka atau prejuduce ( Pengaruh Nrgatif ) untuk membangun
suatu kehidupan masyarakat yang adil dan maju.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa Paradigma
ijma’multikultular ?
2. Apa Paradigma qiyas multikultular ?
3. Apa Paradigma isthsan multikultular ?
4. Apa Paradigma mashalahah multikultular?
5. Apa Paradigma urf multikultular ?
6. Apa Paradigma syadz al-dzari’ah multikultular ?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui
Paradigma
ijma’multikultular
2. Untuk mengetahui
Paradigma qiyas
multikultular
3. Untuk mengetahui Paradigma isthsan multikultular
4. Untuk mengetahui
Paradigma mashalahah
multikultular
5. Untuk mengetahui
Paradigma urf
multikultular
6. Untuk mengetahui
Paradigma syadz
al-dzari’ah multikultular
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Paradigma Ijma’Multikultural
Ijma menurut Bahasa
Pengertian
etimologi kedua dari ijma’ adalah العجز علي
شيء (ketetapan hati untuk melakukan sesuatu).
Pengertian kedua ini ditemukan dalam surat yunus ayat 71, yaitu:
فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ
makabulatkanlah
keputusanmu dan kumpulkanlah sekutu-sekutumu…
Ijma’ menurut istilah
Secara
terminologi, ada beberapa
rumusan ijma’ yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh. Ibrahim Ibnu
Siyar Al-Nazzam, seorang
tokoh mu’tazilah, merumuskan ijma’ dengan ”setiap pendapat yang didukung oleh hujjah, sekalipun
pendapat itu munculdari seseorang. ”Akan
tetapi, rumusan al-Nazzam ini tidak sepaham dengan pengertian etimologi di
atas.
Kehidupan umat manusia saat ini
semakin tergantung antara satu kelompok dengan kelompok lainnya dan satu negara
dengan negara lainnya. Konsensus bersama menjadi tuntutan mendesak untuk
dibangun demi menjaga kepentingan masing-masing pihak tettap harmonis dan
kondustif. Demikian juga realitas hidup umat islam Indonesia saat ini tidak
hanya berhubungan dengan sesamanaya saja, tetapi juga dengan
realitas hidup umat islam.
Dalam ilmu ushul Fiqih,kesepakatan bersama itu dapat
disebut dengan ijma.
Menurut Abdula
Wahab khallaf,ijma adalah kesepakatan seluruh mujtahid pada satu masa setelah
wafatanya Nabi Muhammad saw terhadap suatu hukum syara; mengenai perrmasalah
hukum.
Menurut Ahmad Hasan
mengatakan bahwa ijma “Kesepakatan umat islam dalam mengenai maslah agama”,
ijma’ juga bisa bermakna “kesepaktan
pendapat para ahli untuk ber-ijma’ (ahl
al-ijma) dalam nyelesaikan kasus-kasus hukum agama.
Menurut Al-Amidi
menyatakan bahwa ijima’ adalah kesepakataan ablul
balli wal aqdi dari umat Muhammad
saw pada suatu masa terhadap suatu hukum
dari sattu peristiwa.
Ijma’ adalah dalil syara’ yang memiliki tingkat
kekuatan hukum setingkat dibawa dalil al-Qura’an dan Sunnah. Ia merupakan dalil
pertama setelah Al-Qur’an dan Sunnah yang dapat dijadikan pedoman dalam
menggali dan merumuskan hukum-hukum syara. Adapun dalil Ijma’ berdasarkan sabda
Nabi saw asebagai berikut ; ia tajtami’u ummati ala dlalatin ( Umatku tidak
akan bersepakat atas perbuataan sesat) dan ma ra’ah al-muslimuna hasanan fa
huwa indallahi hasanun (apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka
menurut pandangan Allah juga baik).Adapaun dalial Al-Quran dinyatakan berikut :
وَمَنْ يُشَاقِقِ
الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ
الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ
مَصِيرًا
Artinya : Dan
barang siapa yang menetang Rasul seseudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan ang telah dikuasainya itu
dan kami masukkan ia ke dalam jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (Q.S.An-Nisa
4 :155).
Persyartan terwujudnya ijama, dalam membentuk
rumusan hukum fiqih dapat diaajabarkan sebgai berikut
1. Adanya sejumlah mujtahid/ahli hukum
islam yang memiliki perhatian terhadap maslah-maslah hukum islam.
2. Adanya kesepakatan seluruh mujtahid
dalam memecahkan permasalahan hukum
3. Kesepakatan seluruh mujtahid itu
disampaikan secara jelas melalui pernyatan dan perbuatan.
4. Kesepakatan seluruh mujtahid seluruh
mujtahid terjadi secara total dalam menetapkan keputusan hukum dan tidak ada
perselisihan di dalamnya.
Dalam
koridor ijma tradisional, ijma’ itu akan mengalami kesulitan untuk berkembang
karena ijma’ mengandai seluruh kesepakatan mujtahid di dunia Islam. Sedangkan pada masa tabi’in
mereka telah mulai terpencar-pencar ke berbagai negara, sehingga sulit untuk
mengadakan pertemuan di antara mereka. Ijma dikalangan mereka menjadi sesuatau
yang sulit terjadi, boleh dikatakan tidak mungkin terjadi. Sebab para mujtahid
hampir-hampir tidak ada yang bersepakat terhadap masalah-masalah yang disepakati oleh sebagian sahabat Nabi
SAW.
Dalam kehidupan kehidupan kini Ijma perlu dirumuskan
dengan menajemen yang profesional dengan menentukan batasan kebetulan dan
cakupan ijma, dari para ulama, misalnya kita perlu mengakui Ijma yang
dirumuskan oleh suatu negara, atau organisasi keagamaan professional seperti
MUI, lajnah Bahstu Masa’il NU, Majilis Tarjid dan Tadjid Muhammaddiyah,
sehinggah sepakat suatu bangsa, negara
atau golongan tertsenutdapat diakui sebagai konsensus (Ijmak) ang sah
melalui mekanisme tertentu yang disepakati, misalnya dengan menghadiri
perwakilan atau segenap umat dalam mengambil keputusan hukum. Ijma,
itudapat terbentuk
konsensus para
politis atau ablul halli wal aqdi. Ijma yang bersifat
multikultural ini adalah suatu rumusan model pengambilan keputusan hukum ynag
dibangun berdasarkan pada perkembangan
aspirasi masyarakat yang beragam untuk dicarikan titik temunaya dan kemudian titik
temu itu dijadikan dasar dalam kehidupan bersama.
Menurut KH Abdurrahman Wahit menekankan perlunya
membangun konsep ijma (konsesnsus) yang mampu memelihara hak dan kewajiban
setiap induvidu dan masyarakat kalau hukum publik Ialam
akan diterapkan dalam tataran kenegaran. Konsekuensinya,
seluruh waraga negara (tanpa melihat agama, budaya dan entitas) harus memiliki
hak yang sama dalam mempengaruhi formulasi dan penetapan kebijakan hukum
publik. Ia mengutarakan bahwa konsensus itu melahirkan ketentuan yang memberikan
kebebasan kepada umat Manusia.
Konsensus (ijma) ini tidak hanya mengandalkan suara mayoritas sebagai tolak ukurnya, tetapi juga,
memelihara dan melindungi hak dan kebebasan serta menjamin kesejahtraan seluruh
warganya berdasarkan khazanah budaya setempat yang dianggap baik.
Dalam konteks internal keindinesiaan, umat perlu
membangun sistem permusyawaratan yang benr-benar mampu menampung aspirasi
kelompok masyarakat dan berakar pada kultur-budayanya sehinggah sistem
pengambil keputusan kita bisa tegak dan memberi kemaslahatan bagi masyrakat. Apalagi
ajaran fiqih islam memiliki orientasi pada penjaminan kesejahteran
(kemaslahatan) warga masyarakat, sehingga negara/pemerintah bisa ditegakan
tanpa harus berlandasan secara formal pada agama tertentu demi tercapainya
pemeliharaan dan pemberian hak-hak yang adil dan serta terhadap semuah warga
negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu contoh ijma yang
resmi kenegara adalah sebgai berikut :
Ruang
lingkup tauhid di negara kita, maka para wakil organisasi islam,menerima
pencabutan piagam jakarta dari UUD 1945.
Ijmak
Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Se-indonesia II tentang Ashriyah
wathaniyah menegaskan bahwa, kesepaktan bangasa indonesia untuk membentuk
negara kesatuan Republik Indonesia sebagai ikhtiyar untuk memelihara keluhuran
agama dan mengatur kesejahtran hidup bersama adalah mengikat seluruh elemen
bangsa. Sebab itu, setiap upaya pemisahan dari NKRI atau penghianatan terhadap,
NKRI adalah tindakan bughat tersebut.
Dasar hukum ijma MUI ini adalah ( Q.S
An-Nisa Ayat 59), yang intinya
memerintahkan umat untuk taat kepada Allah SWT, Rasulnya, dan ulil
amri/pemerintahan, sedangkan Hadits Nabi SAW menegaskan bahwa “barang siapa
keluar dari ketaatan dan memisahkan dari jamaah atau kelompoknya, maka jika ia
mati berada dalam kematian jahiliyah. Kehudupan kebangsaan dan kenegaraan,
nilai-nilai hukum agama harus dijadikan pedoman agar tidak terjadi benturan
antara kerangka berpikir keagamaan dan kebangsaan.
Secara subtansi, UUD-NRI 1945 juga mengakui adanya ijma
dalam terminologinya sendiri yang dikenal dengan “kerakyaan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan/perwakilan”. Sedangkan
permusyawaratan itu merupakan mekanisme yang dapat digunakan untuk menyelsaikan
permasalahan-permasalahan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan secara damai.
Permusyawaratan dapat dijalankan dapat dijalankan secara langsung sebagaimana
pemilihan kepada desa, kepada daerah, pemilihan presiden atau anggota
legislatif, sedangkan perwakilan adalah sistem pemerintahan yang menerapkan
sistem perwakilan dalam mengambil keputusan sebgaimana ditetapkan di DPRD/DPRI.
Dalam
konteks internasional, ijma (kesepaktan) antara negara akan tercapai apabila
dipenuhu beberapa syarat, yaitu :
1.
Harus disadari bahwa pertimbangan yang diberikan memiliki spritualitasnya
sendiri, ditengah-tengah orientasi PBB sendiri yang bersabdarkan filsafat
materialisme dengan segenap teori pembangunan sekulernya yang juah dari
ukuran-ukuran keagama.
2. Argumentasi yang diberikan memiliki
latar belakang dinamika masing-masing agama yang penuh dengan perubahan, yang
berarti ia adalah hasil dan sebuah proses ynag belum selesai.
3. Proses yang mrnghasilkan
pertimbangan-pertimbangan itu harus dilihat dari perspektif dialog antara
agama.
Salah
satu ijma’ yang dicapai melalui forum internasional adalah masalah pengharaman
bunga bank yang dihadiri oleh 300 ulama dan pakar ekonomi dunia yang ahli fiqih
dan ahli ekonomi Isalam. Tidak seorang pun yang memantah keharaman bunga bank.
Menurut M Akram Khan, Guru Besar Ekonomi
Islam, menyebutkan bahwa pengharaman bunga bank sudah menjadi kesepaktan
dalam ijma’ ulama.
2.
Paradigma Qiyas Muktikultural
Qiyas
adalah menyamkan sesuatu yang tidak ada nas hukumnya dengan sesutau yang ada
nas hukumnya karena adanya kesamaan illat hukum. Dengan demikian, qiyas sebagai
salah satu paradigma ijtihad hukum islam
bertujuan untuk menggali hukum-hukum dari dalil-dalial Al-Qur’an dan Sunnahda,
dalam menjawab kasus-kasus hukum baru yang tidak ada ketentuan nas hukumnya
secara eksplisit dengan pertimbangan adanya kesamaan illat hukum antara kasus
baru dengan hukum yang ada dalam Al-Qur’an.
Apabila
ada suatu kasus yang di kalangan
masyarakat yang tidak dijumpai ketentuan tersuratanya dalam Al-Qur’an dan
Sunnah, maka jalan yang dapat digunakan adalah dengan menerapkan paradigma
qiyas, yakni menetapkan hukum terhadap kasus-kasus hukum yang tersurat dalam
nas Al-Qur’an dan Sunnah dengan melihat adanya kesamaan illat.
Imam
Asy-Syafi’i menegaskan setiap pristiwa pasti ada ketentuan hukumnya dan umat
Islam wajib mencarinya untukmelaksanakan ketentuan tersebut. Jika belum
dijumpai ketentuan hukumnya secara jelas dan rinci, maka harus dicari
pendektanya yang sah, yaitu dengan menggunkan qiyas untuk menggali hukum baru.
Adapun dasar normatif adanya perintah dalam
Al-Qur’an untuk “kembali kepada Allah dan Rasull-nya” yang tidak lain kecuali
dimaksudkan untuk menggali dan mengkaji, hikma-hikma hukum yang dikendalikan
Allah SWT dan Rasullulah sebagaimana diterangkan dalm Al-Qur’an berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى
اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
Artinya
: wahai orang-orang yang beriman, hendaklah
kalian mentaati Allah dan mentaati Rasul (Nya) dan ulil amri diantara kamu
sekalian. Kemuadian jika kamu berbeda pendapat tentang (Sesuatu, maka
kembalilah kepada Allah dan Rasul jika kamu sekalian benar-benar iman kepada
Allah dan hari kemudian (Q.S An-Nisa’ (4) : 59).
Jalan
pengamabilan dalil qiyas dalam ayat tersebut adalah bahwa Allah SWT
memerintahkan kaum muslimin dalam menyelesaikan perselisihan pendapat dan
perbedaan pendapat untuk menjawab permasalahan ynag tidak ada hukum dalam
Al-Qur’an, Sunnah dan sepakat ulil ambri agar kembali kepada Al-Qur’an dan
Sunnah. Menyamakan sesutau yang belum ada ketentuan teks hukumnya dengan
ketentuan hukum yang ada teks/nasnya karena adanya kesamaan illat dinamakan
qiyas, sehinggah hal itu masuk kategori kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah.
Rukun qiyas
meliputi empat hal :
1. Al-Ashl
adalah sumber hukum yang berupa nas-nas yang menjelskan dan menerangkan hukum
atau wilayah tempat sumber hukum,
2. Al-Far’u
suatu ayang tidak ada ketentuan nas-nya.
3. Al-hkm
adalah hukum yang digunakan teori qiyas
untuk memperluas ketentuan hukum dari hukum asal ke hukum cabang.
4. Illat
adalah alasan yang serupa antara masalah hukum yanga ada dalam hukum asal dan
masalah hukum yang ada dalam hukum cabang.
Menurut
KH Abdukrahman Wahid,qiyas adalah penyamaan suatau kasus hukum baru yang belum
ada ketentuan hukumnya ke dalam ketentuan hukum nas hukum agama dengan adanya
kesamaan illat hukum.
Paradigma qiyas tersebut merupakan analogis yang inklusif
terhadap adanya perbedaan pendapat dengan tetapi berada dalam koridor ketentuan
hukum fiqih yang tertera dalam Al-Qur’an dan Sunnah.Paradigma ini memiliki arti
penting dalam mengembangkan hukum fiqih
dalam menjawab perkembangan masalah-masalah hukum yang terjadi di masyrakat
dengan wawasan qiyas yang terbuka dan tidak ekslusif.
Adapun
pembagian qiyas terhadap beberapa macam. Dari segi illatnya yang ada pada hukum
cabang dengan illat yang ada pada hukum asal ada tiga macam :
1. Qiyas
awlawi adalah kasusu hukum yang ada hukum
cabang lebih berat dari pada illat yanga ada pada hukum asal, seperti larangan
mendekati zina dengan keharaman melakukan perzinahan.
2. Qiyas
musawi adalah
qiyas yang mana illat hukum yang ada pada hukum cabang dengan yang ada
hukum asal sama, misalnya memakan harta anak yatim sama haramnya dengan
membakar harta anak yatim.
3. Qiyas
adwan adalah qiyas yang sama illat hukum yang ada
pada cabang lebih ringan dari pada illat hukum yang ada pada hukum asalnya, misalnya mengharamkan
riba fadl dari gandum kepada apel.
Jika
disnalisis dari segi jelas atau tindakanya illat yang ada pada hukum fiqih, terbagi
menjadi dua macam ;
1. Qiyas
Jali adalah qiyas yang illat-nya
ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum ashl
2. Qiyas
Khafi adalah qiyas yang illat-nya tidak
disebutkan dalam nash.
Qiyas juga
berkembang pada sitem perekonomian, dalamm bidang ekonomi islam, qiyas mudlarib yudlarib ke taqbil’amal pada ijarah bertingkat.
Mudlarib dibolehkan untuk melakukan akad mudlarabah kepada pihak lain dengan
asumsi menyamakan (mengqiyas-kan) akad muldlarabah pada penyerahan kerja (taqbil’amal).
3.
Paradigma Istishan Muktikultural
Istihsan
menurut bahasa berarti menganggap baik, sedangkan menurut istilah, istihsan
adalah meninggalkan qiyas yang nyata untuk menjalankan qiyas yang tidak nyata
(samar-samar) atau meninggalkan hukum kulli (umum) untuk menjalankan hukum istina’i (pengecualian)
disebabkan ada dalil
yang menurut logika membenarkannya.
Menurut istilah yang diberikan ulama Malikiyah dalam buku Pengantar Ilmu
Fiqih dan Ushul Fiqh tulisan Zarkasyi Abdul Salam dan Oman Fathurrahman,
disebutkan bahwa istihsan adalah mengutamakan meninggalkan pengertian suatu
dalil dengan cara istina’ dan berdasarkan pada keringanan agama karena adanya
hal yang bertentangan dengan sebagian pengertian tadi. Pengertian istishan oleh
seorang ulama Hanafiyah adalah beralih kepada penetapan hukum suatu masalah dan
meninggalkan yang lainnya karena adanya dalil syarak yang lebih khusus.
Abdul Wahab Khallaf menyebutkan bahwa istihsan secara
kebahasaan adalah menganggap baik terhadap sesuatu, sedangkan secara istilah
istihsan adalalah berpindahnya seorang mujtahid darituntutan qiyas jali pada qiyas khafi atau dari dalil
kulli kepada dalil juzi karena
adanya tuntutan hukum yang lebih kuata untuk mewujudkan kebaikan. Imam Abu
Hasan Al-Karki menyatakan bahwa istihsan adalah
penetapan hukum dari mujtahid
terhadap suatu masalah yang berahli dari ketetapan hukum yang sudah perna
ditetapkan pada masalah serupa, karena adanya alasan hukum yang lebih kuat yang
mengharuskan adanya peralihan hukum itu, misalnya dari yang umum kepada yang
khusus atau pengecualian.
Antara istihsan dan mashlabah ( mursalah) memiliki perbedaan ynag
sangat tipis. Istihsan berhubungan dengan masalah-masalah hukum fiqih yang pada
awalnya mengikuti ketentuan qiyas kemudian
istihsan menggantinya sebagai paradigma ijtihad untuk mencetuskan keputusan
hukun fiqih, sedangkan mashlalah sejak dari awal mula sudah
dalil ijtihad yang digunakan untuk
memecahkan permasalahan-permasalahan hukum di dalam ruang lingkupnya. Oleh sebab itu, Usaman
menyatakan bahwa salah satu jenis istihsan
adalah istihsan dengan paramenter mashlahah . Yaitu untuk mengukur
berlaku atau tidaknya keputusan hukum berdasarkan asas kemaslahatan tersbut. Misalnya ada larangan
jual beli yang tidak sah (bai al-ma’dum).
Tetapi dengan adanya tuntutan kemaslahatan yang dibutuhkan oleh segenap umat manusia dan tidak bisa
dihindari kebutuhan itu, sehinggah akad
salam sebgai bentuk bai’ul ma’dum dibolehkan
berdasarkan pada dalil istihsan. Demikian juga juga uang muka dalam
murabahah Fatwa Dewan Nasional (DSN) No. 13 yang berlandasan kaidah maslahah.
Penerapan istihsan dalam bidang hubungan antar agama, KH.Abdurrahman Wahid menjelaskan
bahwa kita bisa menggunakan hukum juz’iyah
dari pada hukum kuliyyah kalau ada tuntutan yang menghendaki diterapkanya hukum
tersebut, misalnya, kaum muslim sekarang sudah tak mingkin lagi hidup sendiri
tanpa adanya kerjasama dengan semuah
orang, termasuk dengan non-muslim dalam bidang mu’amalah. Karena
itu dibolehkan hukum mengadakan kerjasama mu’amalah
dengan non-muslim. Walaupun hukum aslinya yang ditetapkan oleh para ulama
salaf tentang “kerjasama muslim dengan
non-muslim tersebut” tidak bolehkan.
Pendapat ini berdasarkan firman Allah SWT.
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
Artinya : “dan
Allah sekali-kali tidak akan memberikan suatu jalan bagi orang-orang kafir (
untuk hidup bersama orang-orang muslim). (Q.S.An-Nisa :141)
Dalam mengomentari fenomena
kerjasama dengan non-muslim, KH.Abdurrahman Wahid lalu menggunakan dasar hukum juz’iyyah dari pada hukum kulliyah atau
menghindari kesulitan demi mendapatkan kemudahan yang mengaharuskan melakukan
kerjasama dengan non-muslim, baik secara normatif maupun realitas sosiologi.
Firman Allah swt :
وَلَنْ تَرْضَىٰ
عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ
Artinya : dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu hingga
kamu mengikuti agama mereka. (Q.S. Al-Baqarah (2) :120)
Menurut KH
Abdurrahman Wahid, kata walan tardu
itu bermakna tidak rela dan millah
dengan arti kebenaran/aqidah,
sehingga setiap muslim tidak mungkin relah dengan orang Yahudi dan Nasrani
karena mereka pada dasarnya sesudah memiliki keyakinan berbeda.
Kaidah usul
Fiqih menyebut : mala yatimu al-wajib illa bihi fahuwa wajib yang artinya ; sesuatu
yang membuat kewajiban agama yang tarwujud
tanpa kehadirannya, akan menjadi wajib pula.
4.
Paradigma Maslahah Multikultural
Secara etimologis, mashlahah berarti
kebaikan (shalah) dan kemanfaatan (naf’u). Maslahah bermakna segalah sesuatu yang memiliki nilai
manfaat ataupun dengan cara menolak kemadlaratan yang akan menimpahnya. Secara
teriminologi Maslahah , menurut
ulamah fiqh adalah kemanfaatan ditunjukan oleh allah swt kepada manusia untuk
dapat memelihara agama, akal, keturuanan, dan harta sesuai denga urutan sebagai basis pembangunan hukum fiqh
yang kokoh dan pasti.
Paradigma maslahah multikultural
yaitu kemanfaatan yang ditujukan untuk manusia agar dapat menjaga keselamatan
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Paradigma mashlah sebagai sebagai
metode ijtihad hukum mewujudkan lima jaminan dasar yang harus dipenuhi seperti
yang telah dijabarkan oleh KH Abdurrahman Wahid yaitu; keselamatan fisik warga
masyarakat, keselamatan keyakinan agama masing-masing, keselamatan keluarga dan
keturunan, keselamatan harta benda pribadi, dan keselamatan profesi.
Dalam konteks kemaslahatan ini KH
Abdurrahman Wahid mengulas pentingnya dialog antar umat beragama yang
sebelumnya merupakan hal yang tidak wajib namun demi membangun kerja sama dalam
hal muamalah maka hal ini penting untuk dilakukan.
Dalam pengakuan syara’ mashlahah dibagi
dalam tiga jenis yang kemudian diilustrasikan oleh KH Abdurrahman Wahid sebagai
berikut; mashlahah mu’tabarah, yang diilustrasikan bahwa
Islam sebagai agama hukum tidak perlu dibela sebagaimana halnya Allah. Sebab
keduanya bisa membela dengan sendirinya, seperti yang dijelaskan dalam surat
Al-Maidah ayat 3.
Dalam konteks mashlahah
mursalah diilustrasikan dalam proses pencalonannya sebagai presiden.
Sedangkan mashlahah mulghah dikaitkannya dengan kerjasama
dalam bidang akidah antar muslim dan non muslim yang tidak ada aturannya dalam
Al-Qur’an.
Dalam konteks cakupannya ada dua
yaitu mashlahah ‘amma yang dijabarkan oleh KH Abdurrahman Wahid
dalam hal kesediannya menjadi calonan presiden, untuk menghindari lahirnya
banyak korban dan perang saudara. Dalam mashlahah khasash dijabarkan
dalam hal pencabutan TAP MPRS no 25 tahun 1966 yang berguna bagi kemaslahatan
golongan tertentu yaitu PKI. Dalam hal pembangunan sistem ekonomi
ia sangat memperhatikannya terutama dalam hal kemaslahatan rakyat kecil.
5.
Paradigma
‘Urf Multikultural
Paradigma ‘urf multikultural
yakni melibatkan dan melestarikan kearifan budaya/tradisi lokal dalam
menentukan suatu hukum. Dalam hal ini ‘urf dibagi dalam dua
macam yaitu ‘urf shahihah dan ‘urf
fasidah, namun yang dipandang oleh KH Abdurrahman Wahid
merupakan ‘urf yang harus dilestarikan adalah ‘urf
shahihah, hal ini penting dalam kaitannya dengan proses pembentukan hukum
Islam dan proses peradilan, sehingga ‘urf dapat dikukuhkan
menjadi hukum syara’.
Salah satu contoh yang dijabarkan
olehnya adalah tentang pembagian harta warisan sangat memungkinkan untuk
mengikuti kebudayaan dan kearifan lokal suatu daerah, walaupun ketentuannya
dalam Al-Qur’an sudah diatur dua banding satu antara laki-laki dan perempuan,
namun hal ini bisa disesuaikan dengan kebiasaan tergantung situasi dan kondisi
yang memungkinkan.
6.
Paradigma Syadz
Al-Dzara’ah Multikultural
Paradigma Syadz Al-Dzara’ah Multikultural yaitu
mempertimbang sesuatu yang menjadi perantara kearah perbuatan yang diharamkan
atau dihalalkan dalam menentukan suatu hukum. Dalam konteks ini KH Abdurrahman
Wahid menyebutnya sebagai tindakan preventif agar tidak muncul tindakan
kemafsadatan.
Ia mencontohkan dalam hal lahirnya terorisme yang sangat
dipengaruhi oleh pemahan agama/fiqih yang dangkal sehingga kewajiban bagi kaum muslimin
adalah untuk melakukan reinterpretasi. Dalam konteks fath
al-dzari’ah, ia menyebutkan bahwa ekonomi negara akan tegak dan kokoh jika
sistem ekonomi dibangun berorientasi pada penguatan dan keberpihakan pada
kepentingan Usaha Kecil Menengah (UKM).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ijma menurut Bahasa
Pengertian
etimologi kedua dari ijma’ adalah العجز علي
شيء (ketetapan hati untuk melakukan
sesuatu). Pengertian kedua ini ditemukan dalam surat yunus ayat 71,
yaitu:
menurut istilah
Qiyas
adalah menyamkan sesuatu yang tidak ada nas hukumnya dengan sesutau yang ada
nas hukumnya karena adanya kesamaan illat hukum.
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik, sedangkan menurut istilah,
istihsan adalah meninggalkan qiyas yang nyata untuk menjalankan qiyas yang
tidak nyata (samar-samar) atau meninggalkan hukum kulli (umum) untuk
menjalankan hukum istina’i (pengecualian) disebabkan ada dalil yang menurut
logika membenarkannya.
Secara etimologis, mashlahah berarti
kebaikan (shalah) dan kemanfaatan (naf’u). Maslahah bermakna segalah sesuatu yang memiliki nilai
manfaat ataupun dengan cara menolak kemadlaratan yang akan menimpahnya.
Paradigma ‘urf multikultural
yakni melibatkan dan melestarikan kearifan budaya/tradisi lokal dalam
menentukan suatu hukum.
Paradigma Syadz
Al-Dzara’ah Multikultural yaitu mempertimbang sesuatu yang menjadi perantara
kearah perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan dalam menentukan suatu hukum.
B.
Saran
Dengan
adanya makalah ini, diharapkan pada mahasiswa agar lebih muda memahami
secara mendalam tentang hal-hal yang berkaitan dengan “paradigm ijma’, qiyas, isthsan, mashlahah, urf (tradisi) syadz al-dzari’iah”. Kami menyadari bahwa dalam
makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan kekhilafan oleh karena
itu, kepada para pembaca dan para pakar utama, penulis mengharapkan saran dan
kritik ataupun teguran yang sifatnya membangun, akan diterima dengan senang
hati demi kesempurnaan makalah selanjutnya.
Kepada semua pihak khususnya kepada Dosen Pembimbing yang
telah memberikan saran dan kritik konstruktif demi
kesempurnaan makalah ini. Kami
ucapkan terima kasih
DAPTAR
PUSTAKA
Dahlan,
2013, PARADIGMA USHUL FIQH MULTIKULTULAR GUUS DUR, Bengkulu, iain Bengkulu
press.
No comments:
Post a Comment