1

loading...

Sunday, January 13, 2019

MAKALAH PERKEMBANGAN CORAK-CORAK PENULISAN SEJARAH ISLAM KLASIK


MAKALAH PERKEMBANGAN CORAK-CORAK PENULISAN SEJARAH ISLAM KLASIK


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
            Dalam perkembangan selanjutnya penulisan sejarah mengalami Kemajuaan, yaitu Dengan munculnya gagasan baru dalam penulisan sejarah. Setelah Indonesia merdeka Sejarah sudah menjadi ilmu yang wajib dipelajari dan Diteliti kebenarannya teori dan Metode yang modern. Hal ini disebabkan nation Bulding, yaitu sejarah nasional akan Mewujudkan kristalisasi identitas bangsa , Serta memperbudayakan ilmu sejarah dalam Masyarakat Indonesia yang menuntut Pertumbuhan rakyat, meningkatkan kesejahteraan Sejarah tentang perkembangan Bangsa-bangsa.
Perkembangan penulisan sejarah dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari perkembangan budaya secara umum. Puncak dari perkembangan budaya itu terjadi pada dinasti Abbasiyah, tepatnya pada abad ke-9 dan ke-10 M. Seiring dengan perkembangan budaya dan peradaban Islam itulah penulisan sejarah dalam Islam yang sudah dimulai bersamaan dengan perkembangan penulisan hadis semakin mengalami perkembangan pesat.
B.       Rumusan masalah
1.      Bagaimana Perkembangaan Penulisan Sejarah Paska Ibn Ishad  ?
2.      Bagaimana Perkembanag  Corak Penulisan Sejarah ?
3.      Bagaimana Perkembangan Langgam Bahasa  dalam Karya Sejarah

C.      Tujuan
1.      Untuk Mengetahui Perkembangaan Penulisan Sejarah Paska Ibn Ishad
2.      Untuk Mengetahui Perkembanag  Corak Penulisan Sejarah.
3.      Untuk Mengetahui Perkembangan Langgam Bahasa  dalam Karya Sejarah.


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Perkembaangan Penulisan Sejarah Paska Ibn Ishaq

Sebagaimana telah disebutkan, perkembangan penulisan sejarah dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari perkembangan budaya secara umum.[1] Puncak dari perkembangan budaya itu terjadi pada masa dinasti Abbasiyah, tepatnya pada abad ke-9 dan ke-10 M. Seiring dengan perkembangan budaya dan peradaban Islam itulah penulisan sejarah dalam. Islam yang sudah dimulai bersamaan dengan­perkembangan penulisan hadits semakin mengalaini perkembangan pesat.
Setelah aliran-aliran penulisan sejarah di masa awal Islam melebur di dalam karya-karya sejarah ibn Ishaq, al-Waqidi, dan Muhammad Ibn Sa`d, para sejarawan besar Islam semakin banyak bermunculan. Sebagaimana para ahli hadits, para sejarawan giat melakukan pengembaraan untuk menuntut ilmu dan mengumpulkan informasi-­informasi sejarah. Dalam rihlah iliniah itu, terjadi dialog intelektual antara satu aliran dengan aliran lain, dan di samping banyak masukan-­masukan wawasan yang mereka peroleh dari pengalaman pengembaraan intelektual itu. Hal inilah yang semakin mendorong berkembangnya penulisan sejarah. Meskipun aliran-aliran lama, aliran Yaman, aliran Madinah, dan aliran Irak dapat dikatakan lebur, corak penulisan sejarah bukannya menjadi satu, justru semakin beragam. Hanya saja, seorang sejarawan tidak lagi mudah untuk dikategorikan sebagai menganut satu aliran tertentu, karena seorang sejarawan dapatmenuliskarya-­karya sejarah dengan tema yang beragam dan dengan perdekatan yang berbeda. Ketika itu, seorang sejarawan dapatmenulissejarah umum, tetapi pada saat yang lain dia jugamenulisal-ansab dan al-sirah, dan bahkan juga corak-corak baru sesuai dengan kreasi yang mereka ciptakan. Dengan ringkas dapat dikatakan, pada masa suburnya penulisan sejarah ini, langgam bahasa yang digunakan dalam penulisan sejarah semakin beragam, corak dan tema sejarah semakin banyak, dan metodologi penelitian dan kritik sejarah semakin kompleks. Di antara sejarawan besar itu adalah sebagai berikut.
1.    Ibn Qatadah al-Diriawari (w. 276 H/889 M)
Pada masa Dinasti Bani Abbas, sejarawan muslim mulaimenulissejarah umum, terpengaruh oleh contoh-contoh kitab-kitab sejarah Persia seperti yang diterjemahkan oleh Ibn al-Mugaffa' (w. 140 H/ 757 M) yaitu Kitab Siyar Muluk al-‘Ajam (Buku tentang Biografi Raja­-Raja Persia).
Buku sejarah umum yang tertua adalah karya Ibn Qatadah al­-Dinawari (w. 276 11/889 M), yaitu Uyun al Akhbar. Namun dia jugamenuliskarya sejarah yang bukan merupakan sejarah umum, seperti Thabagat al-Syu’ara’ (Tingkatan Para Penyair). Karya-karyanya berjumlah sekitar 46 buku itu, di antaranya di samping yang sudah disebutkan di atas adalah Kitab al-Ma’arif (Buku tentang Pengetahuan) dan al-Imamah wa al-Siyasah, (Kepemimpinan dan Politik).[2] Di antara Keistimewaannya adalah kritisismenya dalam berhadapan dengan sumber-sumber sejarah. Dia bukan saja bersikap kritiaterhadap sumber sejarah, tetapi juga terhadap opini yang berkembang di dalam masyarakat. Dalammenulissejarah, sumber yang digunakannya tidak lagi terbatas pada riwayat lisan, tetapi juga buku-buku.
2.      Al-Ya`qubi (wafat di Mesir pada tahun 284/897 M)
Penulis yang sezaman dengan ibn Qatadah al-Dinawari idi atas adalah Ahmad ibn Abi Ya`qub ibn Wadhih yang dikenal dengan nama al-Ya`qubi (wafat di Mesir-pada tahun 284/897 M). Dia adalah seorang sejarawan pengembara, yang hidup di Baghdad pada masa peme­ri ntahan khalifah Abbasiyah, al-Mu`tainid (870-892). Nama lengkapnya adalah  Ahmad bin Ab i Ya'qub Ishaq bin  Ja`far bin Wahhab bin Wadhih, dan dikenal dengan nama a1-Ya`qubi. Dia pernah melakukan pengembaraan panjang di Armenia, Transoksania (Asia Tengah), Iran, India, Mesir, Hijaz, dan Afrika Utara.[3] Dalam penjelajahannya ini dia -berhasil mengumpulkan banyak informasi sejarah dan geografi. Dia mengarang buku Kitdb al-Buldan (Buku Negeri-Negeri) pada tahun 891 di Mesir. Buku ini termasuk yang tertua dalam jeniageografi sejarah, menghimpun informasi penting berkenaan dengan negerl­negeri yang pernah dikunjunginya. Di awal bukunya ia menerangkan secara rinci kota Baghdad dan Samarra (utara Baghdad); setelah itu, ia melukiskan keadaan negeri Iran, Jazirah Arab, Suriah, Mesir, Nubia (utara Sudan), Afrika Utara, dan sebagainya. Di dalam buku tersebut ia juga menerangkan keadaan sosial dan sejarah dinasi-dinasti yang berkuasa di negeri-negeri itu, seperti Dinasti at-Tahiriah di Transoksania dan Dinasti Thulun di Mesir.
Al-Ya’qubi jugamenulisbuku sejarah lain yang dikenal dengan nama Tarikh'al-Ya `qubi, dua jilid. Masalah kronologi tampak doininan di dalam kitab ini. Jilid pertama -berisi sejarah dunia kuno, yakni peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan penciptaan alam, Nabi Adam as. dan putera-puteranya, Nabi Nuh as. dan peristiwa Ban jir Besar, kemudian sejarah nabi-nabi sampai dengan Nabi Isa as. Dalam hal ini ia banyak mengutip cerita rakyat dan sumber Nasrani. Setelah itu, iamelukiskan sejarah kerajaan-kerajaan kuno, seperti Assyria, Babylonia, Abbesinia, India, Yunani, Romawi, Persia, Cina, Armenia, Qibti di Mesir, Turk i, Berber,-Sudan, kerajaan-kerajaan Arab di Yaman, Suriah, dan Hirah di irak. Dalam melukiskan kerajaan-kerajaan tersebut, ia mengikutsertakan keterangan geografis, iklim, agama serta kepercayaan, dan perkembangan ilmu pengetahuan mereka , termasuk filsafat dan kebudayaan.
Jilid kedua berisi sejarah Islam, yang disusun berdasarkan urutan para khalifah, sampai tahun 259 H, pada masa pemerintahan al­Mu`tainid (257-279 H/870-892 M). la mengawalinya dari kelahiran, riwayat hidup(al-sirah), serta perang (al-maghazi dan al-saraya) Nabi Muhammad saw dan-baru kemudian tentang para khalifah.
Dia tidak begitu mengikuti metode isnad (keterangan mengenai jalan sanadaran suatu hadits) sebagaimana yang dipergunakan oleh ahli hadits dan sejarawan yang mendahuluinya, tetapi dia menyebutkan sumber pengutipan.
Di samping dua buku di atas, dia juga meninggalkan sebuah karya singkat berjudul Musyakalai’ al-Nas li Zamanihim (Kesamaan manusia pada masa mereka) Buku ini membahas bagaimana masyarakat berusaha mengikuti dan mencontoh kehidupan para penguasa, terutama tentang para khalifah Bani Umayyah dan Bani Abbas.
3.    Al-Baladzuri (w.279H/892M)
Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Ahmad bin Yahya bin Jabir bin Daud al-Baladzuri. Ia dilahirkan di Baghdad pada akhir abad ke-2H. Muhammad Ibn Sa’ad adalah salah seorang gurunya. Sejak usia muda dia sudah mengembara untuk menuntut ilmu di beberapa negeri Islam. Hal pengembaraannya ini dapat dilihat dari sumber-sumber pengambilan riwayat sejarah di dalam kitabnya Kitab Futuh al-Buldan (Buku Pembukaan Negeri-Negeri).[4] Ia pergi ke Damaskus, Homs, dan Antakia.
Dia dapat dikatakan sebagai  seorang sejarawan istana. Banyak materi sejarah yang ditulisnya bersumber dari Khalifah. Hubungannya dengan Khalifah al-Mutawakkil (khalifah Abbasiyah memerintah tahun 232-247 H/847-861 M) sangat dekat. Khalifah Abbasiyah berikutnya, al-Mu`tazz -(memerintah tahun 252-.256 H/866-869 M), bahkan mengangkatnya sebagai pendidik bagi putranya yang bernama Abdullah.
Sebagai seorang ilmuwan produktif, dia meninggalkan banyak karya, di antaranya Kitab al-Buldan al-Saghir (Buku Kecil Negeri­Negeri),- Kitab a/-Buldan 'al-Kahir (Buku Besar Negeri-Negeri) yang belum selesai, Kitab al-Akhbar wa al-Ansab (Buku Sejarah dan Silsilah/ Genealogi), Kitab Ansab al-Asyraf  (Buku'Silsilah Para Syarif), dan Kitab Futuh 'al-Buldan. Di samping megarang beberapa Buku, ia juga menerjemahkan sebuah buku berbahasa Persia ke dalam bahasa Arab dalam bentuk syair, yang dalam bahasa Arab berjudul ‘Ahd Ardasyir (Masa Ardasyir).
Bukunya Kitab Futuh al-Buldan membahas sejarah ekspansi Islam­ ke negeri-negeri timur dan barat. Dalam buku itu dia membahas penaklukan negeri-negeri Irak dan Syria secara panjang lebar, tetapi mengenai penaklukan Andalusia tidak begitu rinci.
Metode sejarahnya dapat dilihat pada sistematika penulisan Kitab Futuh al-Buldan. Ia tidak hanya memperhatikan faktor kronologi, melainkan juga faktor geografi negeri yang dimasuki Islam Ia tidak lagi menggunakan metode hawliyat (penulisan sejarah berdasarkan urutan tahun kejadian), melainkan pendekatan tematik, yaitu berdasarkan wilayah (negeri). la memulai pembahasan dengan negeri­-negeri yang ditaklukkan pada zaman Nabi Muhammad saw di Semenanjung Arab, kemudian mengarahkan pembahasan pada Perang Riddah yang terjadi tidak lama setelah Nabi saw wafat. Setelah itu ia membahas penaklukan negeri Syria, yang diiringi dengan penaklukan negeri-negeri Armenia, Mesir, Libya, dan Tanjah (kini masuk Maroko) di Afrika Utara, kemudian Andalusia dan kepulauan di Laut Tengah, dan akhirnya ditutup dengan pembahasan masalah kertas yang dibuat di Mesir. Berikutnya ia membahas penaklukan negeri-negeri di sebelah timur, seperti Qadisiyah dan Madain di Irak; Hamaddan, Isfahan, Rayy, Azerbaijan, dan Tabaristan di selatan Laut Kaspia; Sijistan, Khurasan, dan Sind di Iran bagian timur dan Afghanistan bagian barat; dan pembahasann diakhiri dengan permasahan yang berhubungan dengan kharaj (pajak tanah), upeti, stempel, dan kaligrafi. Singkatnya, ia memberikan informasi berharga tentang sistem perekonoinian, sistem adininistrasi, dan perkembangan sosial.
Dalam membicarakan setiap negeri yang dimasuki Islam, pembahasan dilanjutkan sampai. ke masa hidupnya, dengan tetap memperhatikan faktor kronologi dan kadang-kadang menggabung­kannya dengan metode isnad (metode periwayatan). Akan tetapi iakadang-kadang juga mencantumkan isnad perindividu, sebagaimana biasanya dilakukan oleh ahli hadis. Tampaknya dalam masalah yang berkenaan dengan proses penaklukan suatu negeri oleh Islam, ia berusaha mendapatkan informasi dari tangan pertama dengan menemui para tokoh setempat atau orang-orang yang sudah dewasa, yang menyaksikan peristiwa bersangkutan. Dengan demikian, ada dua sumber al-Baladzuri dalam penulisan sejarah, yaitu somber tertuliadan surnber lisan.
Karyanya yang berjudul Kitdb Ansab al-Asyraf tidak memaparkan sejarah secara runtut, melainkan iebih merupakan kumpulan kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa tertentu.

4.      Abu Hanifah al-Dinawari (w. 282 H/895 M)
Nama lengkapnya ialah Abu Hanifah Ahmad bin Dawud bin Wathan al-Dinawari al-Nahwi. la banyak meninggalkan karya tuliadalam berbagai disiplin ilmu. Karyanya dalam bidang sejarah adalah Kiitab al Akhbar a1-Thiwal (Buku Sejarah Panjang) dan Kitab al Buldan (Buku Negeri-Negeri). Para sejarawan sangat memujanya dan karya­karyanya.[5]
Di dalam kitab kitab al-Akhbar al-Thiwal (Buku Sejarah Panjang), ia pertama-tama bercerita tentang kisah anak-anak Adam, para nabi, sampai ke Nabi Ismail, secara ringkas. Kemudian ia memasuki pembahasan tentang sejarah bangsa Persia. Kemudian dia membahas sejarah Nabi Muhammad saw secara singkat. Setelah itu, dia langsung membahas tentang ekspansi Islam ke negeri Persia, tanpa menerangkan proses ekspansi Islam ke negeri lain. Dalam membicarakan ekspansi Islam ke Persia itu, ia secara rinci menyebutkan urut-urutan peristiwa sampai terbunuhnya Raja Persia yang terakhir Khusra Yasdajird III pada tahun 30 H.
Baru setelah itu, ia membahas secara singkat tentang peristiwa terbunuhnya `Utsman bin Affan, khalifah ketiga Islam, dan dibaiatnya `Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat. Yang agak rinci dibahasnya adalah peristiwa-perisuwa yang berhubungan dengan Perang Jamal, Perang Siffin, munculnya aliran Khawarij, terbunuhnya Ali bin Abi Thalib, dibaiatnya Hasan, terbunuhnya Husayn, kampanye `Abdullah bin Zubayr, pemberontakan al-Mukhtar bin Abi `Ubayd (w 67 H/687 M), seorang pemberontak pengikut Husayn bin `Ali bin Abi Thalib, pemberontakan al-As'ad (w. 75 H/ 704 M), pemberontak yang sempat menduduki kota Bashrah di Irak, beberapa pemberontakan khawarij, sejarah pemerintahan Bani Umayyah, dan munculnya gerakan Abbasiyah sampai jatuhnya dinasti Bani Urnayvah. Kemudian ia menasuki pembahasan sejarah para khalifah Bani Abbas sampai wafatnya al-Mu`tashirn bin al-Rasyid pada tahun 227 H. Sampai batas inilah sejarah yang dibahasnya di dalam karya selarahnya itu.
Al-Dinawari tidak menyebutkan sumber pengambilan (pengutipan) informasi-informasi sejarah yang ditulisnya di dalam kitabnya itu, karena berbeda dengan para.sejarawan semasa dengannya, iatidak menggunakan metode isnad, dan tidak pula menyebutkan buku-buku yang dikutipnya. Dia hauya mengatakan di awal tulisannya: "Saya mendapatkan dari beberapa buku-buku iliniah tentang sejarah masa lalu", kemudian ia langsung memaparkan peristiwa sejarah dengan metode naratif dengan bahasa yang jelas. Hanya sesekali ia menyebutkan nama-nama sejarawan yang dikutinnya, seperti `Ubayd bin Syariah al-Jurhuini, pengarang Kitab al-Muluk wa Akhbar al-Madhin (Buku tentang Sejarah dan Sejarah Masa Silam), Ibnu Kayyiaal-Namri, al-Kalbi, al-Asma`i, al-Sya`bi, dan al­Haytsam bin `Adi.
Ketika membahas sejarah Khalifah Harun al-Rasyid, ia sedikit menyimpang dan metode penulisan yang digunakannya di dalam buku ini, yaitu ia menghimpun peristiwa-peristiwa yang terjadi dan disusunnya berdasarkan tahun. Dalam tahun-tahun tertentu, ia menyebutkan nama-nama-yang menirggal pada tahun bersangkutan.


5.    Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H 922 M) dan al-Mas'udi (w. 957 M) [6]
Al-Thabari adalah seorang sejarawan besar muslim yang juga ahli dalam ilmu-ilmu tafsir, qira'at, hadist dan fiqh. Sebagai penuliaproduktif diamenulisbanyak buku dalam berbagai disiplin tersebut.[7] harya sejarahnya berjudul T'arikh al-Kusul wa al-Muluk (Se jarah Para P asul dan Para Ra) a) dan Tarlkh al-Kyal (Sejarah Para Tokoh). Dalarn kitabnya yang pertama, dia memulai sejarah dengan para rasul dan raja-raja dengan mengetengahkan sejarah Nabi Adam dan nabi-nabi dan sistem pemerintahan mereka. Pada bagian selanjutnya, ia mengetengahkan sejarah kekuasaan Sasania (Persia). Setelah itu ia masuk ke sejarah Nabi Muhanunad dan al-Khulafa' al-Rasyidun. Sejarah Dinasti Bani Umayyah merupakan bagian tersendiri, dan karyanya itu diakhiri dengan sejarah Dinasti Abbasiyah. Peristiwa yang terakhir yang diangkat al-Thabari adalah peritiwa yang terjadi pada tahun 915 M. Berkenaan dengan karyanya yang berjudul Tarikh al-Rijal (sejarah para tokoh), dia sangat berjasa karena telah memberikan informasi-informasi penting tentang tokoh-tokoh perawi hadits.
Adapun yang berkenaan dengan al-Mas’udi, kitabnya yang terkenal adalah Muruj al-Dzahab wa Ma'adin al-Jawhar dan al-Tanbih wa al-Isyraf. Berbeda dari kitab-kitab sejarah yang lain, dalam kitabnya yang pertama termuat juga sejarah Hindu (India), Persia, Romawi, dan Yahudi. Sedangkan kitabnya yang kedua berisi pendapat-pendapat filsafat sejarah dan hubungan antara hewan, tumbuh-tumbuhan dan tambang. Di dalamnya juga terdapat sejarah klasik, sejarah Islam dan negeri-negeri lain. Di dalam dua kitabnya itu tergambar pula pembaharuannya dalam penulisan sejarah. Dia tidak lagi sekedar menyusun peristiwa-peristiwa berdasarkan kronologi, tetapi juga mengumpulkannya di bawah beberapa judul/topik seperti bangsa­-bangsa, raja-raja, dare keluarga-keluarga.
Setelah para sejarawan tersebut di atas, dunia Islam masih tcrus melahirkan, sejarawan-sejarawan besar, seperti al-Biruni (362-448 H/ 973-1048 M), Ibn al-Atsir (555-630 H/1160-1234 Nf), ibn Khalikan (608-682 H/1211-1282 M), Al-Qazwini (600-682 H/1203-1283 M), Ibn Bathuthah (703-779 H/1304-1377 M), Ibn Khaldun (732-808 H/1333-1406 M), Al-Magrizi (766-845 H/1364-1442 M), Al-Sakhawi (1427 M-1497 M), Ibn Hajar a1-Asqalani (773-825 H/1372-1499 M), Ibn. ‘Iyas (1448 M-1524 M), dan AI Jabarti (1167-1240 H/1754-1825 M) .

B.  Perkembangan Corak Penulisan Sejarah
Mulai dari masa awal pertumbuhan historiografi Islam hingga masa munculnya sejarawan-sejarawan besar tersebut di atas, corak penulisan sejarah dalam karya-karya sejarah mereka dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu corak khabar, corak hawliyat (kronologi berdasarkan tahun), dan corak maivdhu'yat (tematik).
1. Khabar
Sejarawan muslim pada mulanyamenulissejarah disanadarkan pada riwayat, yang sebagaimana dalam penulisan hadits, dengan meng­gunakan sanad. Beberapa ciri berkenaan dengan riwayat-riwayat itu[8].
1.      Antara satu riwayat dan riwayat lain tidak ada hubungan, rnasing ­masing berdiri sendiri-sendiri.
2.      Riwayat itu dituliadalam bentuk cerita (kisah) yang biasanya dalam bentuk dialog.
3.      Riwayat -riwayat itu diselang-seling -dengan syair yang seringkali digunakan sebagai penguat kandungan khabar itu.
Setengah abad setelah wafatnya Rasulullah saw. kaum rnusliinin belum melahirkan tradisi menulis. Pada masa itu riwayat berpindah dari satu orang ke orang lain atau dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui tradisi lisan. Tradisi lisan yang mengambil bentuk riwayat inilah yang pertama kali muncul. Para sejarawan rnengumpulan riwayat-riwayat itu dan menulisnya dengan bersumber dari ingatan dan hapalan yang memang orang Arab dikenal kuat. Baru pada abad ke-2 H, para sejarawan ada yangmenuliskarya sejarah dengan bersumber kepada tulisan-tulisan para penuli sebelumnya. Pada masa-masa awal kebangkitan sejarah ini, para sejarawan Muslim secara berangsur-angsur melepaskan diri dari pengaruh penulisan hadits yang sangat kuat menggunakan sanad. Pada waktu itu para sejarawan tidak lebih dari sekedar pemberi riwavat (perawi) dan menuliskannya dalam tulisan. Riwayat berdiri sendiri itulah dalam ilmu se'jaraah y an;g dinamakan dengan khabar.
Al-Thabari dan para sejarawan sebelumnya sangat memperhatikan persoalan sanad, persambungan para penyampai khabar. Setelah masa al-Thabari muncul para sejarawan yang meninggalkan penyebutan sanad dalammenulissejarah.
Mereka merasa cukup dengan hanya menyebutkan matan (teks) khabar-khabar itu di dalam tulisan-tulisan sejarah mereka. Di antara mereka adalah al-Ya`qubi (w. 284 H) dan al-Mas`udi (w. 346 H). Mereka ini menganggap adalah cukup apabila disebutkan sumber-sumber pengambilan data-data sejarah itu di "pendahuluan" karya-karya mereka, yang kadang-kadang juga diikuti dengan kajian kritiaterhadap sumber-sumber itu, sebagaimana yang dilakukan al-Mas`udi di dalam bukunya yang berjudul Muruj al-Dzahab.[9] Dalam pendahuluan bukunya itu ia memuji karya sejarah al-Thabari dan mengkritik pedas Sinan bin Tsabit bin Qurrah al-Harani. Ketika memuji al-Thabari , al-Mas`udi menulis :
Karya sejarah Abu Ja`far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, sebuah karya cemerlang melebihi karya-karya sejarah yang lain, telah menghimpun bermacam-macam Khabar, meliputi berbagai peninggalan, berisi     beragam ilmu. Kitab ini adalah sebuah karya yang mempunyai faidah besar, sangat bermanfaat. Bagaimana tidak, pengarangnya adalah seorang ahli fiqih, ahli hukum Islam pada masanya, yang sangat rajin beribadah, yang dapat dikatakan bahwa ia adalah orang yang paling menguasai ilmu pada masanya, dan lebih dari itu ia adalah seorang ahli hadits.

Ketika mengkritik Sinan bin Tsabit bin Qurrah al-Ha rani, al­-Mas`udi berkata:
Saya melihat- bahwa Sinan bin Tsabit bin Qurrah al-Harani, ketika ia menjiplak karangan orang lain (plagiat), dan menggunakan metode orang lain juga, dia telah mengarang tulisan yang dijadikan surat kepada beberapa orang temannya yang juga adalah para penulis.[10]
2.  Hawliyat [11]
Kalau sebelumnya para sejarawan Islam menulis peristiwa­peristiwa sejarah itu secara acak dan tidak berurutan (kronologis), dalam perkembangaan seterusnya para sejarawan kemudian  menggunakan dua metode penulisan, yaii-u (1) metode penulisan sejarah berdasarkan urutan tahun (al-Tarikh al-Hawli, atau al Tarikh al-Sinin, atau yang lebih singkat Hailiyat, annalistic form² dan (2) metode penulisan sejarah berdasarkan .tema (tematik).[12]
Yang dimaksudkan dengan hawliat adalah metode penulisan sejarah yang menggunakan pendekatan tahun demi tahun. Dalam metode ini, bermacam-macan peristiwa sejarah dihimpun di bawahtema” tahun. Dalam meode ini peristiwa-peristiwa yang banyak terjadi pada tahun-tertentu dil hubungkan dengan kata-kata wafiha (dan pada tahun itu juga). Apabila peristiwa-periswa yang terjadi pada satu tahun itu telah habis dipaparkan sejarawan beralih-ke tahun berikutnya dengan menggunakan kata-kata tsumma' dakhalat sanah ... (kemudian masuk tahun' ...) atau tsumma` ja’a sanah, ... (kemudian terjadi peristiwa ... pada tahun ..:).
al-Thabari, salah seorang tokoh besar dan rujukan sejarawan Islam, oleh banyak pemerhati historiografi Islam sering dipandang sebagai sejarawan muslim pertama yang menghasilkan metode hawiliyat; yang menulis di dalam karya selarahnya Tarikh al-Rasul wa al-Muluk (Sejarah para Rasul dan Para Raja) yang juga dikenai dengan judul lain Tarikh al Umam wa al-Muluk (Sejarah Umat- umat dan Raja-­raja), sejak tahun pertama Hijrah sampai tahun 302 H.[13]
Namun, Rosenthal meragukan bahwa al-Thabari adalah sejarawan pertama yang menggunakan metode hawliyat dalam menulis sejarah. Hal itu karena besarnya karya sejarahnya, dari satu sisi, dan pada sisi lain, karena menurut Rosenthal, ada isyarat bahwa para sejarawan muslim sebelum al-Thabari sudah ada yang menggunakan metode hawliyat[14], di antaranya adalah Abu `Isa' 'ibn al-Munajjim (w. 279 H) yang menulis karya sejarahnya sebelum al-Thabari menulis karya sejarah. Kitab Abi-'Isa ibn al-Munajjirn itu berjudul Tarikh Sini al­-‘Alam (Sejarah Dunia berdasarkan Tahun). Sesuai dengan judulnya, ada kemungkinan, peristiwa-peristiwa sejarah itu disusun berdasarkan tahun. Sejarawan lainnya adalah Muhan d ibn Yazdad yang sejauh disebutkan oleh ibn Nadim,menulis sebuah buku yang kemudian disempurnakan oleh anaknya, Abdullah, sampai tahun 300 H. Dari ibn Nadim Rosenthal memahami bahwa buku Muhammad ibn Yazdad telah menggunakan metode hawliyat.[15] Untuk menguatkan pendapatnya itu, Rosenthal juga mengatakan bahwa Muhammad Musa al-Khawarizmi yang hidup pada pertengahan pertama abad ke-4 H juga sudah menggunakan metode ini. Hal itu, menurutnya, terlihat pada karya sejarah Harnzah al-Ashfahani dan Ilyas al-Nushaybi yang keduanya mengandung beberapa kutipan dari karya sejarah Muhammad ibn Musa al-Khawarizini tersebut.[16]
Hal lain yang menunjukkan bahwa al-Thabari bukanlah sejarawan pertama yang menggunakan metode hawliyat, menurutnya, adalah bahwa al-Haytsam ibn ‘Adiv(w 205 H) mengarang buku sejarah dengan menggunakan metode itu dengan judul Kitab al-Tarikh 'al' al-Sinin.[17] Hal ini menunjukkan bahwa penulisan sejarah yang menggunakan metode hawliyat sudah dikenal di Irak pada pertengahan kedua abad ke-2 H. Juga dinyatakan di dalam al-Fibrasat karya ibn al-Nadim bahwa Ja'far ibn Muhammad ibn al-Azllar (w. 276 H) mengarang kitab sejarah yang di susun berdasarkan urutan tahun.
Lebih jauh Rosenthal berpendapat bahwa metode penulisan sejarah berdasar tahun (hawliyat) ini bukanlah temuan sejarawan muslim. Metode ini, menurutnya, sudah dikenal di dalam karya-­karya sejarah Yunani. Metode hawliyat Yunani ini banyak kesamaan dengan metode yang digunakan oleh sejarawan muslim. Di antara karya sejarah Yunani yang menggunakan metode hawliyat adalah karya loanes Malalas, sebagaimana juga karya sejarah Siryani yang menggunakan metode itu diwakili oleh karya yang ditulis oleh Ya’qub al-Rahawi (pada abad pertama Hijrah). Metode hawliyat seperti ini masuk pertama kali dan si pergunkan oleh sejarwan muslim yang pertama melalui hubungan mereka dengan para ilmuan Kristen Siryani dan kemudian disusul oleh melalui bacaan mereka terhadap  sumber-sumber asli Yunani secara langsung.[18] Menurut Rosenthal, adalah tidak penting umtuk mengetahui buku apa yang secara langsung mempengaruhi sejarawah arab tentang metode hawliyat ini, karena metode ini memang sangat mudah berpindah dan diikuti oleh orang lain, misalnya melalui bacaan dan bisa juga melalui dialog atau diskusi antara sejarahwan muslim dengan sejarahwan Kristen. Komunikasi antara budaya kaum muslimin dengan penganut agama Kristen cukup kuat khususnya di Syria, karena mereka disana hidup bersama dan diikat oleh ikatan-ikatan sosial yang kuat.
Singkatnya, dalam pandangan Rosenthal, sejarahwan muslim mendapat inspirasi tentang metode hawliyat dalam penulisan sejarah dari sejarawan yunani dan siryani, padahal menurut ‘Abd Al-Aziz salim, karya-karya tulis yunani dan siryani pada waktu itu belum mempengaruhi sejarawan muslim, apa yang mereka kutip dari mereka terbatas dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu filsafat, matematika, falaq, georafi, kimia, kedokteran, dan obat-obatan.[19] Kemudian sejarawan-sejarawan Arab menciptakan metode ini dan mengembangkan ,elebihi apa yang mereka temukan dari sumber-sumber asli. Perkembangan itu dipermudah oleh banyaknyya materi sejarah sepanjang masa kekuasaan Islam. Orang-orang Islam banyak mengambil manfaat dari bangsa-bangsa yang mereka kalahkan. Meskipun demikian, Rosdenthal sendiri meragukan adanya hubungan yang kaut antara ilmu sejarah Yunani-Siryani dengan ilmu sejarah Arab, dan kita, kata 'Abd al-`Aziz Salim, tidak yakin bahwa ilmu sejarah Arab (Islam) yang menggunakan metode Hawliyat diambil langsung  dari karya-karya sejarah Yunani, karena karya-karya sejarah orang Yunani itu diketahui  sejarawan muslim. melalui Siryani dengan perantaraan orang-otang Kristen, dan karya-karya itu tidak ada hubungannya dengan metode hawliyat.[20]
'Abd al-Hainid al-`Ibadi yakin betul bahwa penulisan materi sejarah berdasarkan tahun, bulan dan hari jelas, hanya digunakan oleh sejarawan muslim, tidak ada hubungannya dengan sejarawan Yunani, Romawi, atau Eropa pada abad pertengahan. Sayyidah Kasyif juga berpendapat demikian. Menurutnya historiografi Siryani sama sekali tidak berpengaruh terhadap sejarawan muslim, meskipun di Raha, Nisibin, dan jundishapur terdapat Sekolah-sekolah yang menerjemahkan karya-karya Yunani. Kalau pun ada pengaruh dari luar terhadap sejarawan muslim, pengaruh itu, menurutnya, datang dari karya-karya sejarah Persia, khususnva tentang sejarah klasik Iran.[21]
Yang jelas, setelah al-Thabari, metode hawliyat ini banyak digunakan oleh sejarawan muslim, yang terpenting di antaranya adalah Miskawayh, ibn al Jawzi, ibn al-Atsir, Abu al-Fida', dan lal-Dzahabi.
Pada masa-masa berikutnya, penulisan sejarah Islam yang menggunakan metode haliyat itu mengalami pcrkembangan, yaitu ketika para sejarawan muslim merasa membutuhkan bentuk susunan materi sejarah yang baru sebagai tambahan, yaitu disusun dalam urutan masa yang lebih lama dan panjang. Oleh karena itulah Abu `Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Dzahabi (673-748 H) dalam karya besarhya yang berjudul Tarikh al-Islam yang terdiri atas 21 jilid besar, yang dimulai dengan sejak awal kebangkitan Islam sampai awal abad ke-2 H,  peristiwa-peristiwa sejarah disusun berdasarkan. sepuluh tahunan (tidak lagi pertahun) yang dalam bahasa Arab disebut dengan Nizham al-uqud  (system berdasarkan dekade/dasawarsa). Pembabakan dasawarsa ini banyak berhutang budi pada -sejarah al­-sirah. Dalam hal ini al-Dzahabi mengaitkan sejarahnya dengan corak Penulisan al-Thabaqat dan al-Tarajjim.[22]
Bahkan pembabakan berdadarkan abad (al-taqsIm hasb al-Qurun) Juga  muncul dan berkernbang terutama melalui karya-karya al-Thabaqat dan al-Tarajjim, [23]seperti buku, al-Hawaditr al Jami’ ah  fi Ayan al-mi’ah al-Tsaminah karya al-sakwhawi, kitab al- dhaw’al-safir fi a;yan al-Qarn al-Hadi ‘ Asyar karya al-Muhibbi, dan al-shaqhir. Buku-buku ini ada yang menggunakan.sistematika penulisan berdasarkan tahun dan ada juga yang berdasarkan huruf Hija'iyyah (alpabetis).

3.      Kritik  terhadap Metode Hawliyat dan Munculnya Corak Tematik
Metode halvliyat mengandung kelemahan karena iarrlemutus kontinuitas sejarah yang panjang yang saling yang sating berhubungan yang berkelanjutan dalam beberapa tahun. Sejarawan yang memakai metode ini tidak menyebutkan-peristiwa-peristiwa sejarah kecuali yang terjadi pada tahun bersangkutan dan berkelanjutan pada tahun-tahun berikutnya, maka peristiwa itu terpisah-pisah, informasi yang terpisah-­pisah itu kemudian digabungkan dengan peristiwa-peristiwa lain yang terjadi pada tahun itu. Seorang sejarawan besar telah mengkritik metode ini, Ali ibn Muhammad Am, Abd al-Karim. ibn Abd al-Ward al­Syaybard. yang dikenal, dengan. ibn al-Atslr al- uzuri, yang bergelar'Izz al-Din (555 H-630 H). Pada pendahuluan karyanya yang berjudul al-Kdinili al-Tarfkh, dia berkata:
Saya melihat bahwa mereka (maksudnya sejarawan yang menggunakan metode hawliyat ini, seperti al-Thabani), Menuliskan satu peristiwa (yang berlangsung lama secara terpisah-pisah) pada heberapa tahun dan menyebutkan banyak peristiwa pada satu tahun tertentu. Oleh karena itu, satu peristiwa terputus-putus sehingga tidak rnencapai sasaran yang dibutuhkan, dan tidak dapat dipahaini kecuali setelah penelaahan yang senius. Oleh karena itu saya mengumpulkan satuperistiwa pada satu tema, dan saya menyebutkan pada bulan dan tahun berapa peristiwa-peristiwa itu terjadi. Oleh karena itu, tulisan seperti ini menjadi tersusun secara tematiadan kronologiasekaligus. Sebagian dan bahkan ada yang membutuhkan pembicaraan pada tahun tertentu sepanjang tahun. Setiap peristiwa besar yang masyhur mendapat perhatian khusus. Adapun peristiwa-peristiwa kecil yang tidak perlu perhatian khusus, maka peristiwa-perisiiwa itu saya himpun tersendiri dan saya letakkan. di akhir setiap tahun, di bawah judul Dzikr ‘iddhan al-Hawadits (tentang  beberapa peristiwa). Kalau saya menyebut sebagian tokoh atau raja di suatuwilayah yang masa kekuasawnya tidak panjang, maka saya menyebutkan semua informasi tentangnya, dari awal sampai akhir, ketika saya menyebutkar. awal perkara itu, karena kalau saya pisah-pisahkan berdasarkan "tahun", maka orang yang tidak mengetahui sebeiumnya tidak akan menaahaininya dengan baik. Saya menyebutkan di akhir setiap tahun tentang tokoh-tokoh terkenal yang wafat pada tahun bersangkutan, seperti ulama, periguasa, dan -okoh­tokoh lain. Ketika itu saya juga menjelaskan nama-nama yang sama atau berdekatan tetapi tokohnya berbeda, atau tulisan Arabnya sama tetapi bacaannya berbeda. Itu semua saya jelaskan agar orang dapat membedakannya dan tidak mengalaini kerancuan.[24]
Ibn al-Atsir telah berusaha menghindarkan diri dari kelemahan metode hawliyat. Untuk itu ia menghimpun unsur-unsur peristiwa Yang berkelanjutan dalam beberapa tahun ini, dan menghubungkan bagian-bagiannya dalam satu tahun tertentu dalam satu tema sehingga peristiwa itu menjadi jelas dan dapat dipahami. Unsur-unsurnya disusun secara kronologis dengan baik. Akan tetapi, tidak semua peristiwa dapat dilakukan seperti itu; seperti pemberoratakan Zanj yang berlangsung sangat-lama, sekitar 14 tahun. Peristiwa ini terpisah­ di dalam beberapa "tahun", sebagaimana yang dilakukan al-Thabari.
Di samping itu, ibn al-Atsir sangat memperhatikan kemudahan bagi para pembaca, yaitu dengar. Memberikan judul bagi peristiwa-peristiwa yang menggambarkan isinya. Kadang-kadang peristiwa- peristiwa-­ kecil yang terjadi pada tahun yang sama dihimpun di bawah judul Dzikr ‘iddhan al-Hawadits (tentang beberapa peristiwa lamnya) dan diakhiri dengan riwayat hidup tokoh-tokoh yang meninggal dunia pada tahun tersebut. ,[25]
Penulis besar lainnva, Syihab al-Din -hrnad ibr. `Abd al- Iahhab al-Nuwayr (w.732 H)[26]juga mengkritik metode hawliyat dan menulis sejarah berdasarkan tema. Di dalam karya sejarahnya, ketika memaparkan sejarah dinasti-dinasti, ia menulis dinasti setelah dinasti lainnya. Dalam hal ini, dia tidak,beralih ke dinasti lain sebelum sejarah dinasti itu tuntas ditulisnya. Dalam menulis satu dinasti itu dia tetap menggunakan metode hau'liyatdalam _mremaparkan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada dinasti itu. Setelah itu, barulah dia beralih ke dinasti yang lain.
Dalam hal ini dia berkata, "Ketika saga melihat bahwa para sejarawan muslim menulis. sejarah dengan metode hawliyat, tidak dengan menggunakan pendekatan dinasti, saya menyadari bahwa hal yang demikian itu akan menyulitkan para pembaca untuk memaharni, terutama berkenaan dengan peristiwa yang tidak selesai pada satu tahun. Peristiwa yang tidak selesai -pada satu tahun itu dituangkan dalam satu"tahun" tanpa harus memperhatikan apakah informasi tentang peristiwa itu sudah sempurna atau belum. Peristiwa-peristiwaitu dipaparkan demikian saja tanpa menyebutkan secara utuh meskipun ringkas, apalagi rinci. Setelah itu sejarawan beralih ke "tahun"-. berikutnya dengan memaparkan peristwa-peristiwa yang terjadi pada tahun itu; raja-raja dan peninggalannya dinasti dan perjalanannya keadaan tertentu, dan peristiwa-peristiwa lain. Dalam hal ini sejarawan juga menuangkan peristiwa itu secara acak, berpindah-pindah dan timur ke barat, dari selatan ke utara, dan keadaan damai kekeadaan- peperangan, dan began seterusnya. Bagi pembaca yang ingin mengetahui satu peristwa, maka ia harus membaca dengan teliti paparan yang panjang dengan lelah. Tidak jarang, para penuntut itu harus berlama-lama mendapatkan kelengkapan satu peristiwa. Oleh karena itulah saya memilih untuk menulis sejarah dengan pendekatan dinasti. Ketika saya menulis tentang satu dinasti, saya paparkan peristiwa-peristiwa secara runtut dari awal sampai akhir, semua peristiwa dan akibatnya, tentang raja-­raja secara berututan, tempat kedudukan raja, asal etnis dinasti, keterkaitan raja-rajanya, peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan dinasti itu. Semuanya saya jelaskan- sejarahnya[27].Hal ini dapat dilihat dalah kitabnya. Dia membagi sejarah Islam menjadi beberapa dinasti. Dia mulai dengan al-Sirah al-Nabawiyyah (Riwayat Hidup- Nabi saw), sejarah al-Khulafa' al-Rasyidin, sejarah Bani Umayyah, sejarah Bani 'Abbas dan `Alawiyyah, dan dinasti-dinasti kecil yang berdiri pada masa al-Khilafah al-`Abbasiyyah.[28]
Walaupun Ibn al-Atsir dan Syinab al-Din Ahmad ibn 'Abd -al­Wahhab al-Nuwayri melontar kritikan terhadap corak penulisan hawliyat mengajukan cara tematik sebagai alternatif, mereka berdua bukan-sejarawan pertama dalam Islam yang menggunakan corak penulisan sejarah secara tematik (maudhu' iyydt atau hasb al-maudhu at). Jauh sebelum mereka, sebagaimana telah disebutkan di atas, al-Ya'qubi (wafat di Mesir pada tahun 284/897 M) dan al-Mas’uidi (w 957 M) sudah menggunakan corak teamatik itu di dalam karya-karya sejarah mereka..

C.      Perkembangan Langgam Bahasa Dalam Karya
Kalau dari segi teknik penulisan (al-Thariqah), penulisan sejarah terus mengalami perkembangan, dalam bidang langgam bahasa ia juga mengalami perkembangan. Pada mulanya karya-karya sejarah lainnya. Dalam Perkembangan langgam bahasa sejarah menjadi sebagian besarnya, menghimpun khabar-khabar itu dalam bentuk kalimat-kahmat pendek yang kering, yang tidak berkaitan satu sama lainnya bebas, sederhana, jelas, hampir-hampir tidak ada lagi syair di dalamnya.
Banyak juga yang menggunakan. sajak (kalimat-kaimat yang digunakan di dalamnya bersajak) dalam tulisan sejarah, meskipun sejarah sama sekali bukan cabang. dari susastra yang biasanya menggunakan sajak. Di antara para sejarawan yang terkenal banyak menggunakan sajak dalam karya-karya sejarahnya adalah al-‘imad al­-Ashbahani [29]dan al-Fath ibn Khagan[30], seorang sejarawan asal Andalus.
Ada juga sejarawan muslim yang menggabungkan antara tulisan bebas (prosa) dan kalimat-kalimat bersajak, seperti Abu Marwan Hayyan bin Khalaf yang dikenal dengan nama ibn Hayy-an (w. 460 H), seorang sejarawan muslim asal Andalus. [31]Sementara yang lainnya ada juga yang dalam karya sejarahnya menggunakan bahasa yang mudah dipahami, sederhana, dengan berusaha menghindari bahasa-­bahasa yang dibuat-dibuat agar enak didengar dan lafal-lafal yang berbelit-belit. Di antara mereka adalah ibn Hayyan, ibn al-Atsir dan ibn Thabathaba.[32]Bagi mereka yang terpenting adalah jelasnya materi sejarah dengan kalimat-kalitnat pendek, yang pengertiannya jelas dan cepat dipahaini oleh pembaca.[33]
Pada masa-masa yang lebih akhir tutisan-tulisan sejarah banyak dirasupi oleh kata-kata asing atau logat-logat daerah tertentu. Pada abad ke-9 dan 10 H, logat-logat daerah semakin banyak ditemui. Di antara sejarawan yang banyak memasukkan kata-kata asing dan logat-­:logat daerah itu adaiah ibn `Iyas (w. 930 H), sejarawan muslim asal Mesir, di dalam karya sejarahnya yang berjudul Badai.` al-Duhur fi' Bada’i al-Duhur, Abu al-Mahasim ibn Taghri Bardi, juga seorang sejarawan. asal Mesir, dalam karya sejarahnya yang berjudul al-Nujum al-Zhahirah fi Muluk mishr wa al -qahirah, dan ibn al-Furat di dalam karya sejarahnya yang berjudul Tarikh-al-Duwal wa al-Muluk.[34]
  
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Perkembangan penulisan sejarah dalam islam tidak dapat di pisahkan dari perkembangan budaya secara umum. Puncak dari perkembangan budaya Itu terjadi pada masa dinasti Abbasyiyah, Tepat nya pada abad ke 9 dan ke 10M.
Beberapa sejarawan yang mempengaruhi perkembangan penulisan sejalah islam, diantaranya:
1.      Ibn Qatadah al-Dinawari ( w. 276 H/ 889 M)
2.      Al-ya’qubi (wafat dimesir pada tahun 284 H/879 M)
3.       Al-Baladzuri (w. 279 H/892 M)
4.      Abu Hanifah Al-Dinawari (w. 282 H/895 M)
5.      Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari ( w. 310 H/ 922 M ) dan al-Mas’udi ( w. 957 M )
Beberapa perkembangan corak sejarah, diantaranya:
1.         Khabar
2.         Hawliyat
3.         Kritik terhadap metode hawliyat dan munculnya corak tematik
Pada Masa yang Lebih akhir tulisan-tulisan sejarah banyak di rasupi oleh kata-kata asing atau Logat-logat daerah tertentu.karna pada abad ke -9 dan 10 H, logat-logat Daerah semakin Banyak di temui.Menurut konsepsi historiografi dengan riwayat seperti yang dipraktikan al-thabari ini, metode sejarah pertama-tama adalah pengecekan riwayat, penelitian teks-teks, dan pengkajian terhadap sanad, dan baru setelah itu tinjauan terhadap kandungan apa yang dituturkan dan kontemplasi filosofis atau metodis terhadap isinya. Dengan demikian, informasi-informasi sejarah yang disampaikan al-Thabari adalah sesuai dengan apa  yang dituturkan penuturnya dan disampaikannya secara netral dan objektif dan para teolog dan filosof khususnya yang menganut aliran Mu’tazilah menurut Effat al-Sharqawi tidak mau menerima metoda historiografi dengan riwayat karena metode itu tidak memperhatikan prinsip-prinsip rasional dalam mrenginterpretasikan teks-teks sejarah.
B.       Saran
Menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Penulis harap kedepannya tulisan makalah ini akan lebih baik lagi serta fokus dan detail dalam menjelaskan isi dalam makalah ini dengan sumber -sumber yang lebih banyak dan lengkap yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan.
Untuk itulah penulis harap kritik atau saran terhadap penulisan makalah ini. Sehingga makalah ini akan lebih baik lagi kedepannya. Sebelum kritik dan saran itu diterima oleh penulis, penulis haturkan terimakasih sebanyak-banyaknya karena telah membaca makalah ini dan mendiskusikannya lalu dapat memberikan kritik maupun saran.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Ahmad Ramadhan, al-Rihlah wa al-Rahalah al-Muslimin, Jeddah: Dar al-Bayan al-Arabi,tth
Al-aziz duri abd, Al-Babts Fi Nasy’ah ‘Ilm Al-Tarikh Ind Al-Arab, (Beirut:1960)
Roshental, Franz, A History of Muslim Historiography, Leiden: Brill 1968
Salim, Abd al-Aziz, al-Tarikh wa al- Mu’arrikhun al- Arab, Beirut : Dar al-Nahdlah al-Arabiyah, 1968
Khalil, Muhammad Rasyad, al-Mahadir al Tarikh wa Tafsirih, Kairo: Maktabah al-Khanjil.
Margoliouth, D. S., Lectures on Arabic Historians, Delhi:Idarah-i Adabiyat-i Delli, 1997
Majid.’Abd al-Mun’im, Muqaddimah li Dirasat al-Tarikh al-Islam: Ta’rif bi Mashadir al-Tarikh al-islami wa Minhajuh al-Haditsah, Kairo : Anglo al-Mishriyyah.



[1] Abd al-Aziz Duri, Al-Bahts fi  Nasy’ah Ilm al-Tarikh ind al-‘Arab, (Beirut: 1960), h. 13
[2]  Sayyidah Isma`il Kasyif, Mashadir al-Tarikh al-Islami wa Manahij al-Bahts Fih, (Kairo: Maktabah al-Khanji, Tanpa tahun), h. 31. Tentang karya-karyanya, lihat ibn al-Nadim, al-Firhrasat.
[3] Ahmad Ramadhan Ahmad, al-Rihlab wa al-Rahalah al-Muslimun, (Jeddah: Dar al-Bayan al-Arabi, tanpa tahun), h.. 71-75
[4] Lihat a1-Baladzuri,Futuh al-Buldan, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiiyyah, Tanpa Tahun). Tentang riwayat hidupnya baca Ridhwan Muhammad Ridhwan, Hayat al-Baladzuri, dalam Ibid.
[5] Margoliouth, Lectures on Arabic Historians, (Delhi: Idarah-i Adabiyyat-i Delli, 1977), h. 112 dst.
[6]  Kedua sejarawan besar muslim ini secara lebih detail akan dibahas khusus pada bab berikut.
[7] “Muqaddimah al-Nasyir” (Pengantar Penerbit), dalam al-Thabari, Abu Jafar Muhammad ibn Jarir, Tarikh al-Umam wa Al-muluk ,(Dar al-Fikr, Tanpa tahun), h.16
[8] Abd al-'Aziz Salim, al-Tarikh wa al-mu’arrikhun al-‘Arab, (Beirut: Dar al­Nahdhah al-`Arabiyyah, 1986), h. 75; Franz Rosenthal, History ol. Muslim Hiftotiography,. (Leiden: E. J. Brill, 1968), h. 66-71
[9] Abd al-Aziz Salim, op. cit., h. 76. Lihat juga al-Mas`udi, Muruj al-Dzahab, Jilid I, (Beirut : Dar  al-Fikr, 1973), h. 15.
[10] Abd al-`Aziz Sal", loc. cit., h. 76
[11] Untuk memudahkan, di dalam buku ini dipakai hawliyat.
[12] Abd al-`Aziz Sal", loc. cit., h. 82
[13] Ibid., h. 85; Tentang riwayat hidup al-Thabari, lebihat pada bab
[14] Franz Rosenthal, op. cit., (Leiden: E: J. Brill, 1968), h. 102 .dan. seterusnya.
[15] Ibid., h. 104
[16] Ibid.
[17] Ibid, Lampiran 1, h. 174; ‘Abd al-Aziz al-Duri op cit., h. 32
[18] Franz Rosenthal, op. cit., h.151; ‘Abd al-‘Aziz Salim, op. cit., h. 88 Baca juga Oelery, Masalik al-Tsaqafah al-Ighriqiyyah ila al-‘Arab, diterjemahkan Tamam Hassan, (Kairo,1957), h. 3
[19] ‘Abd al-Aziz salim, op cit., h. 89. Baca juga Oeley, ibid
[20]  Abd al-Aziz Salim, op. Cit., h.89 ; Franz Rosenthal, op.cit., h.112
[21] Sayyidah Kasyif,op,cit,h. 50
[22] Abd al-Aziz Salim, op. Cit., h.90. Tentang al-Sirah, al-Thabaqat, dan al-Tarajjim akan dibicarakan lebih jauh pada bab VII
[23] Ibid, h.91
[24] Ibid., h.83.Lihat juga ibn al-Atsir, al-Kamil fi al-Tarkh, Jilid I, h.5-6
[25] Abd al-Azis Salim, op.cit., h.8
[26] Syibab al-din Ahmad ibn’ Abd al-Wahhab al Nuwayri adalah Penulis buku sejarah yang berjudul Nihayat al-Irb Funun al-Adab
[27] ‘Abad al-Aziz Salim, Op.cit., h.85
[28] Ibid
[29] Dia menulis kitab sejarah yang berjudul al-Fath al-Qassi al- Qudsi buku ini sudah diterbitkan ulang dan disunting oleh muhammad Mahmud Shabih.
[30] Karyanya berjudul Matham’ al-Anfus wa Masrah AL-Ta’annits fi Mulih  Ahl al-andalus, (Qasanthinah,1884 M)
[31] Abd al=Aziz Salim, op.cit., h.78
[32]  Nama Lengkap adalah Muhammad bin  Ali bin Thabathaha. Dia Mengarang buku sejarah dengan judul Kita Al-Fakhri fi al-Sulthaniyyah
[33]  Abd al-Aziz Salim, Loc.cit
[34]  Nama lengkapnya adalah Nashir al-Din Muhammad ibn’ad al-Rahim ibn al-Furat. Karya sejarahnya ini dikenal juga dengan nama Tarikh ibn al-Furat disunting oleh Qasthanthin Zurayq (Beirut,1938)

No comments:

Post a Comment