RESUME SEJARAH PEMIKIRAN ISLAM
SEJARAH PEMIKIRAN
EKONOMI ISLAM SYED NAWAB HAIDAR NAQVI, MUHAMMAD AKRAM KHAN DAN MUHAMMAD FAHIM
KHAN
Abstrak
Ekonomi islam merupakan
ilmu pengetahuan yang menggabungkan antara ilmu ekonomi dengan prinsip ajaran
syariah. Perkembangan pemikiran dan ilmu ekonomi islam sudah bermula dari zaman
Rasulullah SAW, sahabat sampai saat ini. Dalam penulisan artikel ini adalah
bertujuan untuk mengetahui tokoh ekonomi islam dan kontribusi mereka dalam
pengembangannya. Penulis membagikan tokoh ekonomi islam dalam dua kategori
klasik dan kontemporer. Dalam tokoh ekonomi islam klasik, yaitu Abu Hanifah, Abu
Yusuf, Al Ghazali Ibnu Taimiyah dll, sedangkan kategori tokoh ekonomi islam
kontemporer dibagi dalam tiga kategori yaitu ada Syed Nawab Haider Naqvi, Muhammad Akram Khan
dan Muhammad Fahim Khan.
Kata kunci
: pemikiran, tokoh ekonomi islam dan kontemporer
A. Pendahuluan
Ekonomi
Islam merupakan hasil pemikiran para Muslim yang sumber kepadanilai-nilai Islam
yaitu al-Qur’an danal-Hadith. Ekonomi Islam juga merupakansebuah sistem ekonomi
yang menjelaskan segala fenomena tentang prilaku, pilihandan pengambilan
keputusan dalam setiap unit kegiatan atau aktivitas ekonomi denganmendasarkan
pada aturan moral dan etika Islam. Tujuan akhir ekonomi Islam adalahsebagaimana
tujuan darimaqāṣid shāriah, yaitu mencapai kebahagiaan di dunia danakhirat (falāh)
melalui tata kehidupan yang baik dan terhormat. Pada asasnyapemikiran ekonomi
Islam adalah untuk merumuskan sebuah konsep penawaran danpermintaan, mekanisme,
regulasi pasar, penetapan harga yang adil, pemerataankekayaan yang maksimum,
dan tentunya pelaranganriba,gharar , danmaisirdemiterciptanya keadilan
yang merata di segala sektor. Untuk keberhasilan ekonomi Islam,
diperlukan kepada kita mengenal pastiilmu ini. Salah satu cara adalah dengan
mengetahui tokoh-tokoh klasik ataupunkontemporer yang memberikan pemikiran
mereka terhadap perkembangan ilmuekonomi Islam.
B. Tokoh Pemikir Ekonimi Islam
a. Syed Nawab Haider
Naqvi
1. Biografi
Syed Nawab Haider Naqvi dilahirkan di
Pakistan pada 1935. Ia mendapatkan gelar Master dari Universitas Yale (1961) dan
Ph.D. dari Universitas Priceton (1996) Amerika Serikat. Selanjutnya Naqvi
mengajar di sejulah lembaga pendidikan tinggi dan riset ternama di Norwegia,
Turki dan Jerman Barat sebelum akhirnya kembali ke Universitas Quad-i-Azam,
Pakistan, pada 1975.[1]
Kelebihan akademiknya menyebabkan ditunjuk
di berbagai panitia formulasi kebijakan ekonomi di Pakistan maupun di luar
negeri. Ia ditunjuk sebagai kepala di Economics Affairs Divison of Pakistan
selama 1971-1973. Pada tingkat internasional, Naqvi adalah konsultan untuk OECD
dari 1972 hingga 1975 dan Economic and Social Comission on Asia and Pacific
(ESCAP). Ketajaman sebagai ahli ekonomi membawanya pada jabatan Directorship of
the Pakistan Institute of Development Economics pada tahun
1979, dan kepala seksi Ekonomi pada Islamization Comittee di tahun 1980.
2. Pemikiran Ekonomi Syed Nawab Haider
Naqvi
Ada tiga tema besar yang mendominasi pemikiran Naqvi di dalam ekonomi
Islam. Pertama,kegiatan ekonomi dilihat sebagai suatu subjek dari
upaya manusia yang lebih luas untuk mewujudkan masyarakat adil berdasarkan pada
prinsip etika ilahiyah, yakni al-adl wa al-ihsan. Menurut Naqvi,
hal itu berarti bahwa etika harus secara eksplisit mendominasi ekonomi di dalam
ekonomi Islam dan faktor inilah yang membedakan sistem ekonomi Islam dari sistem
lainnya. Kedua, melalui prinsip al-adl wa al-ihsan ,
ekonomi Islam memerlukan kebijakan-kebijakan yang memihak kaum
miskin dan mereka yang lemah secara ekonomis. Aktifitas ini yang disebut
egalitarianisme. Ketigaadalah diperlukannya suatu peran utama
negara di dalam kegiatan ekonomi. Negara tidak hanya berperan sebagai regulator
kekuatan-kekuatan pasar dan penyedia kebutuhan dasar seperti yang terdapat di
dalam pandangan Mannan dan Siddiqi, tetapi juga sebagai partisipan aktif dalam
produksi dan distribusi, baik di pasar produk maupun faktor produksi, demikian
pula peran negara sebagai pengontrol sistem perbankan.
Ia melihat negara Islam sebagai perwujudan kepercayaan Allah Swt. sebagai
penyedia penopang dan pendorong kegiatan ekonomi.[2]
Dalam membangun kerangka teoritisnya, Naqvimemandang bahwa teori haruslah
berisi sejumlah minimal aksioma agar dapat dikelola secara operasional, harus
konsisten secara internal dan harus memiliki kekuatan prediktif, yakni cukup
umum agar dapat menerangkan fenomena yang bermacam-macam. Ia menetapkan empat
aksioma yang menurutnya membentuk suatu himpunan rentang bagi aksioma-aksioma
yang mendasari filsafat ekonomi Islam. Keempat aksioma tersebut adalah
kesatuan, keseimbangan, kemauan bebas dan tanggung jawab.[3]
Persatuan. Menurut Naqvi hal ini membentuk dimensi
vertial kegiatan ekonomi dan memiliki “ jangkauan konsekuensi yang
jauh terhadap prilaku ekonomi”. Karakter manusia ekonomi akan berubah
sepenuhnya, dan prilakunya memaksimumkan guna akan dibatasi tidak hanya
oleh “feasible constraint”yang biasa itu melainkan juga oleh “allowability constraint” Islam.
Keseimbangan. Menurut Naqvi, mewakili dimensi
horizontal Islam. Keadilan harus ditegakkan di semua segi kehidupan
sosial melalui komitmen dan upaya, yakni melalui jihad. Hal itu merupakan penyatuan
komitmen moral diantara individu di dalam masyarakat untuk mewujudkan suatu
keseimabngan dalam seluruh aspek kehidupan mereka, dan oleh karenanya berbeda
dengan konsep mekanis murni yang digunakan dalam ekonomi murni yang digunakan
dalam ilmu ekonomi positif konvensional, yang menganggap bahwa komitmen etika
mmaupun normatif itu tidak ada, yakni bebas nilai. Menurut Naqvi, aksioma ini
memiliki beberapa implikasi bagi sistem ekonomi Islam:
1). Konsumsi, produksi
dan distribusi harus terhindar dari konsentrasi kekuatan ekonomi di tangan
sebagai kecil orang, dan ini bermakna penghapusan eksploitasi.
2). Keadaan perekonomian
yang tidak konsisten dengan distribusi pendapatan dan kekeyaan yangdinilai
secara Islam “terbaik”, akan disingkirkan. Idealnya, menurut Naqvi, distribusi
yang terbaik itu adalah “absolute income equality”, yang merupakan suatu
posisi yang ditolak oleh kebanyakan ahli ekonomi Muslim. Distribusi awal
kekayaan dan pendapan haruslah adil, karena sistem Islam akan menuntut
terjadinya pemaksimuman kesejahteraan total dan tidak hanya sekedar
kesejahteraan marginal. Itu berarti bahwa ketimpangan bruto distribusi
pendapatan dan kekayaan juga bertentangan dengan cita-cita Islam.[4]
3). Bias egalitarianyang amat tegas di dalam Islam dibatasi hak-hak
individu untuk memiliki kekayaan secara tak terbatas. Ini perlu menurut Naqvi,
karena tidak ada satu pun program ekonomi yang diarahkan pada keadilan sosial
yang dapat berhasil tanpa pembatasan kekayaan swasta secara substansial.
Sebaiknya, hak memilki kekayaan itu didasarkan pada konsep perwalian. Oleh
karena itu, sekalipun hak memiliki kekayaan oleh swasta diakui namun jika
dibatasi, supaya ada jalan bagi kepemilikan kolektif dan umum, sejalan dengan
prinsip manusia secara keseluruhan adalah kepercayaan atau khalifah Allah SWT.
Bebas menentukan kegiatan. Menurut
Naqvi konsep perwalian itu menunjukan adanya pembatasan pada kebebasan
individu. Di dalam Islam, sekalipun kemauan bebas dan kebebasan
individu itu harus dijamin, namun hanya dapat dicapai dengan tidak sengaja
untuk membebaskan tanggung jawab seorang
untuk menolong kaum miskin didalam masyarakat.[5]
Metodelogi pemikiran Syed Nawab Haidar Naqvi menyatakan bahwa al-Qur’an
dan as-Sunnah sebagai petunjuk dan acuan nilai serta rujukan dalam menjalankan
perekonomian yang berfungsi sebagai prinsip pengorganisasian, yakni alat untuk
memilih, mengorganisasi dan pengorganisasian pernyataan tertentu. Hal tersebut
sebagai acuan untuk melawan pemikiran kapitalis dalam menjalankan
perekonomian.Bagi Naqvi harus ada sejumlah besar intrumen kebijakan dan bukan
hanya penghapusan riba dan pemberlakuan zakat. Naqvi melihat penghapusan riba
tidak hanya sebagai penghapusan bunga, melainkan penghapusan segala bentuk
eksploitasi dan penolakan seluruh sistem feodalistik-kapitalistik yang
menurutnya mau melakukan eksploitasi untuk meningkatkan pertumbuhan. Zakat
bukan hanya pajak keagamaan dan juga bukan basis keuangan negara, melainkan
suatu tanda filsafat ekonomi Islam yang amat egalitarian.
b. Muhammad Akram Khan
1. Biografi
Muhammad Akram Khan lahir pada tanggal 3
April 1945 di Pakistan. Ayahnya bernama Chaudhry Ali Muhammad. Akram Khan
dilahirkan dalam keluarga yang taat beragama, sehingga ia tumbuh menjadi sosok
yang mempunyai karakter yang baik. Keluarganya termasuk orang yang berkcukupan
yang memungkinkan ia mendapatkan pendidikan yang baik pula.[6] Beliau bersekolah di
Punjab University pada tahun 1966-1967 dengan prestasi mendapatkan mendali emas
pada dua tahun tersebut. Pengalaman Bergabung Departemen Auditor Jenderal
Pakistan pada tahun 1970 setelah melewati pemeriksaan CSS sebagai Asisten
Comptroller. Sejak itu telah melayani berbagai kapasitas dan naik ke tingkat
Deputy General Auditor. Kemudian melanjutkan pendidikannya ke University
of Aston, Birmingham (Industrial Administration) U.K. pada tahun 1971.
Mengikuti Pelatihan Profesional pada tahun 1983-1984 program satu tahun di
Kanada Komprehensif Audit Foundation, Ottawa. Pernah bekerja pada bidang organisasi pada tahun
1998-2000 Mewakili Pakistan di UNCTAD Kelompok Pakar Antarpemerintah tentang
Standar Internasional akuntansi dan Pelaporan (ISAR) di Jenewa.
Beliau seorang pakar ekonomi islam dari Pakistan sebagaimana mengatakan bahwa ilmu ekonomi bertujuan mempelajari kesejahteraan manusia (falah) yang dicapai dengan mengorganisir sumber-sumber daya bumi atas dasar kerjasama dan partisipasi. Oleh sebab itu, aktivitas ekonomi merupakan bagian dari kehidupan manusia. Setiap perilaku manusia didorong dari keinginannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain dibidang ekonomi beliau juga maju dibidang akutansi dan menejemennya.
Beliau seorang pakar ekonomi islam dari Pakistan sebagaimana mengatakan bahwa ilmu ekonomi bertujuan mempelajari kesejahteraan manusia (falah) yang dicapai dengan mengorganisir sumber-sumber daya bumi atas dasar kerjasama dan partisipasi. Oleh sebab itu, aktivitas ekonomi merupakan bagian dari kehidupan manusia. Setiap perilaku manusia didorong dari keinginannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain dibidang ekonomi beliau juga maju dibidang akutansi dan menejemennya.
2.
Pemikiran ekonomi Muhammad Akram Khan
Beberapa
pemikiran ekonomi Muhammad Akram Khan yang memberikan sumbangsih dalam
perkembanganekonomi Islam Kontemporer akan diuraikan di bawah ini.[7]
1.
Larangan
Terhadap Bunga Bank
Muhammad Akram Khan ahli ekonomi Islam yang mengatakan
benar ijma’nya ulama tentang keharaman bunga bank yang merujuk kepada unsur
riba. Seorang pakar ekonomi terkemuka dari Pakistan. Sebagai seorang ekonomi
muslim, beliau melakukan penelitian terhadap pendapat para ahli ekonomi Islam
di seluruh dunia. Dalam penelitiannya beliau tidak menemukan ada pakar
(ilmuwan) ekonomi Islam yang membolehkan bunga bank. Akram Khan menegaskan
kembali ajaran dasar Islam yang berkaitan dengan ekonomi. Ulasan upaya sebelumnya
dibuat dengan memperhatikan penghapusan bunga dari perekonomian Pakistan.
Mengusulkan strategi untuk melangkah lebih jauh dan
memperbaiki kesalahan yang dibuat sejauh ini. Beliau mengusulkan kepada
pemerintah untuk menyajikan rancangan undang-undang untuk larangan riba. Juga
menganalisis efek kemungkinan adanya larangan riba pada berbagai indikator
makro ekonomi. Karena riba mengalokasikan sumber daya secara tidak
efisien. Ini mendistorsi distribusi pendapatan. Larangan riba tidak akan
mempengaruhi tingkat tabungan. Beliau Menganalisa alasan untuk non-implementasi
perbankan bebas bunga di Pakistan dan menyimpulkan bahwa kepemimpinan
politik di negara ini tidak serius atau tulus dalam menghapuskan bunga dari
perekonomian.[8] Terdapat literatur yang
cukup besar yang menunjukkan jalan bagi perubahan yang lebih. Pengalaman
praktis bank syariah juga memberi kesaksian pada kesimpulan yang sama.
Berpendapat bahwa sistem kapitalis saat ini yang didasarkan pada bunga telah
gagal membawa kesejahteraan bagi umat manusia. Beliau Berpendapat bahwa skema
hadiah diumumkan oleh berbagai bank di Pakistan tidak sesuai dengan syariah.
Mereka melibatkan bunga, perjudian dan ketidakpastian, semua dilarang oleh
syariat. Berpendapat bahwa syariat Islam memiliki tujuan tertentu seperti
masyarakat beradab lainnya. Islam telah melarang bunga karena merupakan kendala
dalam mewujudkan tujuan tersebut.[9]Peran
negatif adalah kepentingan dalam mempromosikan pengangguran, kesenjangan
pendapatan, kemubaziran konsumsi, dan pengurangan tabungan dan investasi. Riba adalah fenomena ekonomi, ia harus
dihilangkan dari ekonomi melalui kepentingan ekonomi. Syariah tidak
menyebarluaskan hukum apapun untuk melarang itu. Sebaliknya, itu harus
diserahkan kepada kehendak bebas rakyat. Negara harus mencoba untuk
menghilangkannya melalui mekanisme ekonomi. Ini harus memfasilitasi
pengembangan dan evolusi sistem keuangan Islam dan orang-orang harus dibujuk
oleh pengoperasian lembaga keuangan Islam untuk mengadopsi mereka dan
meninggalkan transaksi berbasis riba. Mengusulkan mekanisme kelembagaan untuk
menghilangkan riba. Berpendapat bahwa riba adalah fenomena ekonomi. Ini harus
dihilangkan dari ekonomi melalui kepentingan ekonomi. Ini bukan fenomena hukum.
Syariah tidak menyebarluaskan hukum apapun untuk melarang itu. Sebaliknya, itu
harus diserahkan kepada kehendak bebas rakyat.Negara harus mencoba untuk
menghilangkannya melalui mekanisme ekonomi. Ini harus memfasilitasi
pengembangan dan evolusi sistem keuangan Islam dan orang-orang harus dibujuk
oleh pengoperasian lembaga keuangan Islam untuk mengadopsi mereka dan
meninggalkan transaksi berbasis riba. Mengusulkan mekanisme kelembagaan untuk
menghilangkan riba.[10]
Mengembangkan kritik berbasis bunga pembiayaan utang. Berpendapat bahwa
analisis Islam perbankan dan keuangan adalah pilihan yang layak dibandingkan
dengan pembiayaan berbasis bunga. Dilihat dari sudut pengalaman aktual
perbankan dan keuangan Islam, hal itu menunjukkan jalan bagi mempertimbangkan
kemungkinan memperkenalkan pembiayaan tanpa bunga di negara-negara Barat.
Mengembangkan sebuah model pembagian laba-rugi. Berpendapat bahwa pembiayaan
tanpa bunga membawa stabilitas yang lebih besar dibandingkan dengan pembiayaan
berbunga. Membahas konsep riba. Juga membahas berbagai modus alternatif pembiayaan
seperti mudharabah, musyarakah, ijarah, waktu multiple-counter-pinjaman, dan
bai 'mu'ajjal. Menelusuri sejarah perbankan Islam di Pakistan. Poin membutuhkan
perubahan hukum yang diperlukan untuk membuat perubahan ini efektif. Dengan
mengacu pada perdebatan tentang penghapusan bunga dari perekonomian Pakistan,
berpendapat bahwa hal itu tidak akan menimbulkan gangguan ekonomi dalam
perekonomian. Komunitas bisnis lebih memilih untuk mengandalkan ekuitas.
Tabungan, investasi dan distribusi pendapatan dan kekayaan akan membaik.
Pemerintah akan mampu membiayai kegiatannya atas dasar alternatif bebas bunga.
Berpendapat bahwa riba adalah fenomena ekonomi. Ini harus dihilangkan dari
ekonomi melalui kepentingan ekonomi. Ini bukan fenomena hukum. Syariah tidak menyebarluaskan
hukum apapun untuk melarang itu. Sebaliknya, itu harus diserahkan kepada
kehendak bebas rakyat. Negara harus mencoba untuk menghilangkannya melalui
mekanisme ekonomi. Ini harus memfasilitasi pengembangan dan evolusi sistem
keuangan Islam dan orang-orang harus dibujuk oleh pengoperasian lembaga
keuangan Islam untuk mengadopsi mereka dan meninggalkan transaksi berbasis
riba. Setelah Beliau Mengusulkan mekanisme kelembagaan untuk menghilangkan
riba maka akhirnya. Putusan Banding Bench syariah Mahkamah Agung Pakistan
memutuskan pada tanggal 23 Desember 1999. Penghakiman itu pada sejumlah banding
berbaring dengan Mahkamah Agung Pakistan terhadap Federal syariah Pengadilan
Putusan November 1991 yang menyatakan bahwa semua jenis bunga sebagai riba. Penghakiman
ini menguatkan Putusan FSC dan memerintahkan Pemerintah Pakistan untuk
mengambil sejumlah langkah, termasuk undang-undang baru dan mendirikan sebuah
Komisi Islamisasi Sistem Keuangan pada bulan Juni 2001. Prof.Dr..M. Akram juga
tidak sembarangan mengatakan ijma’nya ulama tentang bunga bank, kecuali setelah
mempejalari pendapat-pendapat para ahli yang diakuinya sebagai ulama kridible
dalam bidang ekonomi. Beliau tentu telah membaca ribuan buku tentang ekonomi
Islam yang menjadi bidang keahliannya.[11]
2.
Ekonomi
Zakat
Memberikan latar belakang hukum zakat di Pakistan. Bergerak ke distribusi
zakat dan pengaruhnya terhadap pengentasan kemiskinan di Pakistan. Menggunakan
Pendapatan Rumah Tangga data Survei yang diterbitkan oleh Biro Statistik,
Pemerintah Pakistan pada tahun 1990-1991. Menyimpulkan zakat yang telah
mempengaruhi tingkat pendapatan lebih dari 1,73 juta orang. Tapi karena jumlah
penduduk yang menderita karena kemiskinan sangat besar dan bantuan yang
diberikan oleh zakat tidak memadai, masyarakat secara keseluruhan belum mampu
mengentaskan kemiskinan. Menyajikan pandangan ekonomi pendapat fiqh tentang
zakat dan menunjukkan bahwa beberapa dari mereka mungkin tidak konsisten dengan
keadilan sosial dan ekonomi. Di Pakistan bahwa mayoritas pendapat fiqh zakat
tidak mengambil prinsip keadilan menjadi pertimbangan. Sebagian besar orang
kaya di setiap masyarakat muslim kontemporer hampir dibebaskan dari zakat
sedangkan populasi pertanian yang buruk dibebankan pada tingkat yang lebih
besar. Mengidentifikasi beberapa kelemahan dalam ijtehad hari ini dan
menyerukan peran ulama khusus dalam mempertimbangkan kembali masalah ini.
Maka Akram Khan Memberika beberapa saran yang komprehensif dan luas tentang
masalah ini.Membahas perannya dalam mengentas kemiskinan. Mengutip studi kasus
dari Pakistan, Sudan, Yaman, dan Mesir. Akram Khan Menyimpulkan bahwa peran
zakat dalam mengentaskan kemiskinan di negara-negara belum berkembang dengan
baik berdasarkan survei lapangan dari tehsil di Pakistan. Merangkum respon dari
survei tersebut maka beliau memperkenalkan konsep Islam alokasi sumber daya dan
membawa keluar pentingnya aspek ketepatan cara dalam menjalankan sesuatu
seperti alokasi sumber daya dalam model kesejahteraan. Mengembangkan model
manfaat analisis empiris biaya dan manfaat dari program pelatihan zakat.
Sehingga menunjukkan efek
kesejahteraan zakat. Perkiraan hubungan multiplier pendapatan dan zakat dan
menunjukkan hubungan yang lebih umum antara zakat, pendapatan dan kesempatan
kerja. Maka zakat dikelolah dengan baik bukan langsung dibagikan terus habis
tetapi dikembangkan dengan memunculkan lapangan pekerjaan baru sehingga
masyarakat miskin tersebut bisa bekerja dan hasilnya bisa berkembang yang
tujuannya juga untuk kesejahtraan mereka dan zakat juga sebagai alat
fiskal yang membahas masalah transfer zakat dan wajib dalam ekonomi Islam. Ini
adalah lembaga pertama kalinya dalam sejarah manusia untuk transfer wajib
pendapatan dan kekayaan dari orang kaya kepada orang miskin.
3.
Makro
Ekonomi Teori
Mengembangkan model ekonomi makro ekonomi Islam bebas bunga menggabungkan
zakat sebagai variabel. Dengan asumsi kecenderungan marjinal lebih tinggi untuk
mengkonsumsi kelompok berpenghasilan rendah yang menerima zakat dari kelompok
berpenghasilan tinggi, model menetapkan tingkat pendapatan lebih tinggi untuk
nilai-nilai tertentu parameter lainnya. Model ini juga menunjukkan bahwa fungsi
investasi berdasarkan nisbah bagi laba rugi di tempat suku bunga menghasilkan
keseimbangan yang stabil antara tabungan dan investasi. Sebelum menjelaskan
penentuan dalam ekonomi Islam sistem yang berbeda dari penentuan pendapatan
dalam ekonomi kapitalis juga dikaji. Setelah pengenalan singkat pembagian
rugi-laba, mengembangkan model makro ekonomi matematika, ekonomi berlatih laba loss
sharing bukan pembiayaan berbasis bunga.
c.
Muhammad Fahim Khan
1.
Biografi
Biografi Fahim
Khan Fahim Khan merupakan pemikir Muslim yang lahir di India pada tahun 1946.
Fahim Khan termasuk jajaran ahli ekonomi Islam kontemporer yang di samping
memiliki kapabilitas yang handal secara akademis juga memiliki pengalaman
praktis dalam pengembangan ekonomi Islam. Dengan gelar Master dalam Ekonomi
Politik dan Statistik serta Ph.D di bidang ekonomi, beliau telah memiliki 39
tahun pengalaman dalam kebijakan ekonomi dan perencanaan, dalam mengajar dan
pelatihan, pengembangan kapasitas kelembagaan, dan juga dalam penelitian serta
konsultan.[12]
Beliau memperoleh gelar B.A. dan M.A. dalam bidang Statistik dari Universitas
Punjab, Pakistan pada tahun 1968. Serta memperoleh gelar M.A. pada tahun 1977
dan juga Ph.D dalam ilmu Ekonomi dari Universitas Boston, USA pada tahun 1978.
Beliau bergabung dengan Islamic Research and Training Institute (IRTI) sejak
tahun 1988 dan menduduki berbagai posisi seperti Kepala Divisi Riset, Kepala
Divisi Pelatihan, serta Kepala Divisi Pengembangan dan Kerjasama Ekonomi Islam.
Beliau juga pernah menjabat sebagai Direktur IRTI selama setahun. Sebelum
bergabung dengan IRTI, Beliau menjabat Deputy Chief Kementerian Perencanaan
(1969-1981), dan juga sebagai Profesor Ekonomi dan Direktur School of Economics
di International Islamic University, Islamabad, Pakistan (1981- 1988).3 Di
samping itu, Beliau juga menjadi dosen tamu sejumlah universitas dunia, salah
satunya di Quaid-e-Azam University, King Abdul Aziz University dan Islamic
Foundation. Beliau juga merupakan anggota Dewan Gubernur (Academic Group),
Institut Perbankan Syariah dan Asuransi di London, Sejak tahun 2000 hingga saat
ini. Serta, anggota Dewan Editorial, Pakistan Development Review, Pakistan
Institute of Development Economics Sejak 1995. Beliau juga menjabat sebagai
Kepala Pusat Bisnis Islam, Universitas Internasional Riphah Islamabad Pakistan.[13]
2.Pemikiran
Muhammad Fahim Khan merupakan
salah satu penggiat pembangunan paradigma ekonomi islam. Dengan pengalaman
kerja di bidang ekonomi dan sepak terjangnya dalam dunia akademisi membuat nama
Muhammad Fahim Khan sangat diperhitungkan dan komentar-komentarnya tentang
ekonomi Islam senantiasa mejadi rujukan baku sekaligus ikut mewarnai perkembangan
ekonomi Islam kontemporer. Adapun gagasan-gagasan Muhammad Fahim Khan dalam
ekonomi islam akan diuraikan sebagai berikut.
Pendapat Fahim Khan
tentang Perilaku Konsumen Pemikiran Fahim Khan tentang perilaku konsumen
didasarkan pada kerangka yang tidak dapat digunakan untuk menjelaskan semua
aspek perilaku konsumen. Beliau berpendapat bahwa perilaku konsumen seharusnya
didasarkan pada pemenuhan kebutuhan dan bukan pada keinginan memuaskan.7
Menurut Beliau, ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertimbangan dan
pengambilan keputusan (decisions making) seorang konsumen dalam berperilaku
yang semuanya saling berhubungan yaitu pendidikan, agama (kepercayaan),
pengaruh lingkungan sosial dan sekitarnya, budaya, adat dan juga tradisi.
Konsep Konsumsi dalam islam
Konsumsi adalah bentuk
perilaku ekonomi yang asasi dalam khidupan manusia. Pada ilmu ekonomi, konsumsi
adalah setiap perilaku seseorang untuk menggunakan dan memanfaatkan barang/jasa
untukmemenihi kebutuhan hidup. Jadi, perilaku konsumen tidak hanya menyangkut
makan dan minum saja, tetapi juga perilaku ekonomi lainnya seperti membeli dan
memakai baju, membeli, dan memakai kendaraan.
Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap
perekonomian, karena tiada kehidupan bagi manusia tanpa konsumsi. Menurut Fahim
Khan ekonomi islam memberi kerangka analisis yang benar-benar berbeda, di mana
keinginan tidak dapat menjadi kekuatan pendorong bagi perilaku konsumen dalam
islam. oleh karena itu, diperlukan
sebuah alternatif yang dapat menjadi basis bagi perilaku konsumen.
Pertama, konsumsi untuk
kebutuhan duniawi dan konsumsi untukjalan Allah. Pilihan tersebut adalah berapa
banyak pendapatan yang dikeluarkan untuk kebutuhan duniawi dan berapa banyak
untuk jalan Allah (infaq fi sabilillah).
Kedua, konsumsi untuk
kebutuhan sekarang dan yang untuk dikonsumsi nanti. Sudut pandang islam dalam
hal ini sangat jelas, meliputi menabung untuk masa mendatang sangat
diperbolehkan dan diinginkan, serta the expected rate of return dari tabungan
yang berguna untuk menolong orang lain terutama dalam bidang zakat. Bahkan
Fahim Khan memasukkan semua pengeluaran akhirat (zakat, infak, sedekah, wakaf,
dan sebagainya) ke dalam konsumsi, dengan asumsi bahwa konsumsi total terdiri
atas konsumsi dunia dan konsumsi akhirat.
Dengan mengacu pada
pandangan Keynes yang menyatakan bahwa konsumen yang dilakukan rumah tangga
konsumen dipengaruhi oleh tingkat pendapatan. Maka, Khan membagi tingkat
pendapatan masyarakat tersebut : (1) pendapatan yang berada diatas nisab (angka
minimal aset yang terkena kewajiban zakat) yang dinotasikan dengan Yu (upper
lasses/golongan kaya). (2) pendapatan yang berada di bawah nisab yang
dikonotasikan dengan YL (lower classes/golongan miskin)
Komponen pengeluaran
konsumsi yang dilakukanrumah tangga konnsumen menurut Khan juga dibagi atas dua
bentuk pengeluaran: (1) konsumsi yang dilakukan oleh rumah tangga tersebut
untuk kebutuhan sendiri (for self) yang dilambangkan dengan notasi E1 dan (2)
konsumsi yang dilakukan rumah tangga untuk jalan menuju keridhaan Allah (cause
of Allah) yang dinotasikan dengan E2. Berdasakan rumusan di atas, maka Khan
mewarkan fungsi konsumsi, sebagai berikut: = A0 + AU YU
Kepuasaan manusia dalam
memiliki barang lebih banyak dipengaruhi beragam keinginan. Beragam keinginan
dipengaruhi oleh berbagai preferensi, misalnya pengaruh keluarga, lingkungan
dan media visual/nonvisual, sehingga rasa kepuasan setiap orang tidak
disamaratakan karena ukuran pun tidak rata. Oleh karena itu, teori nilai guna
kurang mewakili untuk digunaka sebagai pengukur tingkat kepuasaan.
Islam menolak asumsi
bahwa semua keinginan itu sama pentingnya dan semuanya itu harus dipuaskan.
Sebaliknya, islam memahami bahwa manusia memiliki kebutuhan tertentu, yang
sebagian di antaranya lebih penting dari yang lain. Kebutuhan yang lebih
penting harus dipenuhi terlebih dahulu, diikuti oleh pemenuhan kebutuhan yang
kurang penting. Manusia yang berbudaya tidak memperlakukan semua keinginan sama
pentingnya. Bagi mereka, beberapa keinginan itu lebih penting daripada yang
lain.
Artinya, tidaklah semua
kebutuhan itu sama pentingnya. Menurut Fahim Khan setidaknya terdapat tiga
tingkatan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seseorang, yaitu:
a. Tingkat dimana lima unsur mendasar itu
sedikit saja terlindungi.
b. Tingkat dimana perlindungan terhadaplima
unsur mendasar itu dilengkapi dan dikuatkan.
c. Tingkat dimana kelima unsur mendasar
trsebut tidak saja terjamin melainkan juga diperbaiki dan diperindah.
Berangkat dari konsep tersebut, Fahim Khan sama dengan
para ekonom Islam lainnya, sepakat bahwa mashlahah merupakan konsep yang lebih objektif
dari pada utility untuk menganalisis perilaku ekonomi. Meskipun mashlaha,
seperti utility, tetap saja merupakan konsep yang subjektif, tetapi subjektivitasnya
tidak membuatnya menjadi sehampa utility. Subjektif di sini dalam pengertian bahwa
konsumen individual itu sendiri yang merupakan hakim yang terbaik untuk menilai
apakah suatu barang/jasa itu memiliki mashlahah baginya.
Selain itu, dalam konteks kebutuhan Fahim Khan
meliha tbahwa sumber daya harus pertama kali dialokasikan untuk hal yang
terpenting, yakni dharuriyyat (kebutuhan primer). Jika telah terpenuhi dan setelahnya
konsumen masih memiliki sumber daya, ia dapat melanjutkan kebarang yang menjadi
komplemen bagi dharuriyyat, yakni hajiyyat (kebutuhan sekunder). Dan jika masih
ada sumber daya lagi, maka sisa itu dapat dialokasikan kepada kegiatan memperindah,
yakni tahsiniyyat (kebutuhan tersier).
Islam mengajarkan agar dalam memenuhi kebutuhannya baik
dharuriyyat, hajiyyat, maupun tahsiniyyat, manusia melakukannya dengan tujuan untuk
beribadah kepada Allah (infaq fi sabililillah) dengan mematuhi norma-norma ajaran
islam, seperti tidak boros dan berlebihan, tidak kikir, tetapi dengan sederhana dan hemat serta berkonsumsi tidak
boleh menimbulkan kezaliman dan merugikan diri sendiri, orang lain, dan merusak
alam. Rasionalitas islam dalam perilaku ekonomi tidak hanya didasarkan kepada pemuasan
nilai guna atau ukuran-ukuran material lainnya tetapi mempertimbangkan pula
aspek memenuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh syariat islam.
Individu dalam islam juga dibatasi oleh aturan-aturan
syariat, di mana ada beberapa barang
yang tidak boleh dikonsumsi karena ada suatu alasan tertentu, barang itu hukumnya
haram. Sehingga konsumen muslim hanya boleh mengonsumsi barang atau objek yang
halal, baik produknya maupun prosesnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali
Murtadho, Formulasi Konsep Islam Tentang Pembangunan Ekonomi Padat Penduduk: Analisis Pemikiran Fahim Khan, Laporan
Penelitian Individual, Semarang: LP2M UIN Walisongo Semarang, 2014
Muhammad Akram Khan. The Role of Government in the Economy,
The American Journal of Islami
Syed Nawab Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Pustaka Pelajar, Cetakan I, 2003
Mohamed Aslam Haneef, Pemikiran Ekonomi Kontemporer: Analisis Komparatif Terpilih, 127.
Informasi mengenai Naqvi diperoleh dari publikasi Pakstan Institute of
Development Economics, Pakistan
Syed Nawab Haider Naqvi, Ethics and Economics: An Islamic
Synthesis. (The Islamic Foundation, 1981)
Heri
Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar , Ekonesia, Yogyakarrta, 2002
Khan, Muhammad Akram Islamic Economics: The
State of the Art. American Journal of Islamic Social Sciences,
Herndon, V A., (16:2), 1999
Muhammad Akram Khan, The
Role of Government in the Economy, The American Journal of Islamic
Social Sciences
[2] Mohamed Aslam Haneef, Pemikiran Ekonomi Kontemporer: Analisis
Komparatif Terpilih, 127. Informasi mengenai Naqvi
diperoleh dari publikasi Pakstan Institute of Development Economics, Pakistan
[3] Syed Nawab Haider Naqvi, Ethics and Economics: An Islamic
Synthesis. (The Islamic Foundation, 1981)
[6] Khan, Muhammad Akram Islamic Economics: The State
of the Art", American Journal of Islamic Social Sciences,
Herndon, V A., (16:2), 1999
[7] Muhammad Akram Khan, “The Role of Government in the
Economy,” The American Journal of Islamic Social Sciences
[8] Muhammad
Akram Khan, “The Role of Government in the Economy,” The American
Journal of Islamic Social Sciences
[9] Muhammad Akram Khan, “The Role of Government in the
Economy,” The American Journal of Islamic Social Sciences
[10] Muhammad Akram Khan, “The Role of Government in the
Economy,” The American Journal of Islamic Social Sciences
[12] Ali Murtadho,
Formulasi Konsep Islam Tentang Pembangunan Ekonomi Padat Penduduk: Analisis
Pemikiran Fahim Khan, Laporan Penelitian Individual, Semarang: LP2M UIN
Walisongo Semarang, 2014
[13] Ali Murtadho,
Formulasi Konsep Islam Tentang Pembangunan Ekonomi Padat Penduduk: Analisis
Pemikiran Fahim Khan, Laporan Penelitian Individual, Semarang: LP2M UIN
Walisongo Semarang, 2014
No comments:
Post a Comment