1

loading...

Sunday, January 13, 2019

RESUME SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM


RESUME SEJARAH PEMIKIRAN ISLAM 

SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM SYED NAWAB HAIDAR NAQVI, MUHAMMAD AKRAM KHAN DAN MUHAMMAD FAHIM KHAN

Abstrak
Ekonomi islam merupakan ilmu pengetahuan yang menggabungkan antara ilmu ekonomi dengan prinsip ajaran syariah. Perkembangan pemikiran dan ilmu ekonomi islam sudah bermula dari zaman Rasulullah SAW, sahabat sampai saat ini. Dalam penulisan artikel ini adalah bertujuan untuk mengetahui tokoh ekonomi islam dan kontribusi mereka dalam pengembangannya. Penulis membagikan tokoh ekonomi islam dalam dua kategori klasik dan kontemporer. Dalam tokoh ekonomi islam klasik, yaitu Abu Hanifah, Abu Yusuf, Al Ghazali Ibnu Taimiyah dll, sedangkan kategori tokoh ekonomi islam kontemporer dibagi dalam tiga kategori yaitu ada Syed Nawab Haider Naqvi, Muhammad Akram Khan dan  Muhammad Fahim Khan.

Kata kunci : pemikiran, tokoh ekonomi islam dan kontemporer

A. Pendahuluan
Ekonomi Islam merupakan hasil pemikiran para Muslim yang sumber kepadanilai-nilai Islam yaitu al-Qur’an danal-Hadith. Ekonomi Islam juga merupakansebuah sistem ekonomi yang menjelaskan segala fenomena tentang prilaku, pilihandan pengambilan keputusan dalam setiap unit kegiatan atau aktivitas ekonomi denganmendasarkan pada aturan moral dan etika Islam. Tujuan akhir ekonomi Islam adalahsebagaimana tujuan darimaqāṣid shāriah, yaitu mencapai kebahagiaan di dunia danakhirat (falāh) melalui tata kehidupan yang baik dan terhormat. Pada asasnyapemikiran ekonomi Islam adalah untuk merumuskan sebuah konsep penawaran danpermintaan, mekanisme, regulasi pasar, penetapan harga yang adil, pemerataankekayaan yang maksimum, dan tentunya pelaranganriba,gharar , danmaisirdemiterciptanya keadilan yang merata di segala sektor. Untuk keberhasilan ekonomi Islam, diperlukan kepada kita mengenal pastiilmu ini. Salah satu cara adalah dengan mengetahui tokoh-tokoh klasik ataupunkontemporer yang memberikan pemikiran mereka terhadap perkembangan ilmuekonomi Islam.
B. Tokoh Pemikir Ekonimi Islam
a. Syed Nawab Haider Naqvi
1.    Biografi
Syed Nawab Haider Naqvi dilahirkan di Pakistan pada 1935. Ia mendapatkan gelar Master dari Universitas Yale (1961) dan Ph.D. dari Universitas Priceton (1996) Amerika Serikat. Selanjutnya Naqvi mengajar di sejulah lembaga pendidikan tinggi dan riset ternama di Norwegia, Turki dan Jerman Barat sebelum akhirnya kembali ke Universitas Quad-i-Azam, Pakistan, pada 1975.[1]
Kelebihan akademiknya menyebabkan ditunjuk di berbagai panitia formulasi kebijakan ekonomi di Pakistan maupun di luar negeri. Ia ditunjuk sebagai kepala di Economics Affairs Divison of Pakistan selama 1971-1973. Pada tingkat internasional, Naqvi adalah konsultan untuk OECD dari 1972 hingga 1975 dan Economic and Social Comission on Asia and Pacific (ESCAP). Ketajaman sebagai ahli ekonomi membawanya pada jabatan Directorship of the Pakistan Institute of Development Economics pada tahun 1979, dan kepala seksi Ekonomi pada Islamization Comittee di tahun 1980.
2. Pemikiran Ekonomi Syed Nawab Haider Naqvi
Ada tiga tema besar yang mendominasi pemikiran Naqvi di dalam ekonomi Islam. Pertama,kegiatan ekonomi dilihat sebagai suatu subjek dari upaya manusia yang lebih luas untuk mewujudkan masyarakat adil berdasarkan pada prinsip etika ilahiyah, yakni al-adl wa al-ihsan. Menurut Naqvi, hal itu berarti bahwa etika harus secara eksplisit mendominasi ekonomi di dalam ekonomi Islam dan faktor inilah yang membedakan sistem ekonomi Islam dari sistem lainnya. Kedua, melalui prinsip al-adl wa al-ihsan , ekonomi Islam memerlukan kebijakan-kebijakan yang memihak kaum miskin dan mereka yang lemah secara ekonomis. Aktifitas ini yang disebut egalitarianisme. Ketigaadalah diperlukannya suatu peran utama negara di dalam kegiatan ekonomi. Negara tidak hanya berperan sebagai regulator kekuatan-kekuatan pasar dan penyedia kebutuhan dasar seperti yang terdapat di dalam pandangan Mannan dan Siddiqi, tetapi juga sebagai partisipan aktif dalam produksi dan distribusi, baik di pasar produk maupun faktor produksi, demikian pula peran negara sebagai pengontrol sistem perbankan. Ia melihat negara Islam sebagai perwujudan kepercayaan Allah Swt. sebagai penyedia penopang dan pendorong kegiatan ekonomi.[2]
Dalam membangun kerangka teoritisnya, Naqvimemandang bahwa teori haruslah berisi sejumlah minimal aksioma agar dapat dikelola secara operasional, harus konsisten secara internal dan harus memiliki kekuatan prediktif, yakni cukup umum agar dapat menerangkan fenomena yang bermacam-macam. Ia menetapkan empat aksioma yang menurutnya membentuk suatu himpunan rentang bagi aksioma-aksioma yang mendasari filsafat ekonomi Islam. Keempat aksioma tersebut adalah kesatuan, keseimbangan, kemauan bebas dan tanggung jawab.[3]
Persatuan. Menurut Naqvi hal ini membentuk dimensi vertial kegiatan ekonomi dan memiliki “ jangkauan konsekuensi yang jauh terhadap prilaku ekonomi”. Karakter manusia ekonomi akan berubah sepenuhnya, dan prilakunya memaksimumkan guna akan dibatasi tidak hanya oleh “feasible constraint”yang biasa itu melainkan juga oleh “allowability constraint” Islam.
Keseimbangan. Menurut Naqvi, mewakili dimensi horizontal Islam. Keadilan harus ditegakkan di semua segi kehidupan sosial melalui komitmen dan upaya, yakni melalui jihad. Hal itu merupakan penyatuan komitmen moral diantara individu di dalam masyarakat untuk mewujudkan suatu keseimabngan dalam seluruh aspek kehidupan mereka, dan oleh karenanya berbeda dengan konsep mekanis murni yang digunakan dalam ekonomi murni yang digunakan dalam ilmu ekonomi positif konvensional, yang menganggap bahwa komitmen etika mmaupun normatif itu tidak ada, yakni bebas nilai. Menurut Naqvi, aksioma ini memiliki beberapa implikasi bagi sistem ekonomi Islam:
1). Konsumsi, produksi dan distribusi harus terhindar dari konsentrasi kekuatan ekonomi di tangan sebagai kecil orang, dan ini bermakna penghapusan eksploitasi.
2). Keadaan perekonomian yang tidak konsisten dengan distribusi pendapatan dan kekeyaan yangdinilai secara Islam “terbaik”, akan disingkirkan. Idealnya, menurut Naqvi, distribusi yang terbaik itu adalah “absolute income equality”, yang merupakan suatu posisi yang ditolak oleh kebanyakan ahli ekonomi Muslim. Distribusi awal kekayaan dan pendapan haruslah adil, karena sistem Islam akan menuntut terjadinya pemaksimuman kesejahteraan total dan tidak hanya sekedar kesejahteraan marginal. Itu berarti bahwa ketimpangan bruto distribusi pendapatan dan kekayaan juga bertentangan dengan cita-cita Islam.[4]
3). Bias egalitarianyang amat tegas di dalam Islam dibatasi hak-hak individu untuk memiliki kekayaan secara tak terbatas. Ini perlu menurut Naqvi, karena tidak ada satu pun program ekonomi yang diarahkan pada keadilan sosial yang dapat berhasil tanpa pembatasan kekayaan swasta secara substansial. Sebaiknya, hak memilki kekayaan itu didasarkan pada konsep perwalian. Oleh karena itu, sekalipun hak memiliki kekayaan oleh swasta diakui namun jika dibatasi, supaya ada jalan bagi kepemilikan kolektif dan umum, sejalan dengan prinsip manusia secara keseluruhan adalah kepercayaan atau khalifah Allah SWT.
Bebas menentukan kegiatan. Menurut Naqvi konsep perwalian itu menunjukan adanya pembatasan pada kebebasan individu. Di dalam Islam, sekalipun kemauan bebas dan kebebasan individu itu harus dijamin, namun hanya dapat dicapai dengan tidak sengaja untuk membebaskan tanggung    jawab   seorang untuk menolong kaum miskin didalam masyarakat.[5]
Metodelogi pemikiran Syed Nawab Haidar Naqvi menyatakan bahwa al-Qur’an  dan as-Sunnah sebagai petunjuk dan acuan nilai serta rujukan dalam menjalankan perekonomian yang berfungsi sebagai prinsip pengorganisasian, yakni alat untuk memilih, mengorganisasi dan pengorganisasian pernyataan tertentu. Hal tersebut sebagai acuan untuk melawan pemikiran kapitalis dalam menjalankan perekonomian.Bagi Naqvi harus ada sejumlah besar intrumen kebijakan dan bukan hanya penghapusan riba dan pemberlakuan zakat. Naqvi melihat penghapusan riba tidak hanya sebagai penghapusan bunga, melainkan penghapusan segala bentuk eksploitasi dan penolakan seluruh sistem feodalistik-kapitalistik yang menurutnya mau melakukan eksploitasi untuk meningkatkan pertumbuhan. Zakat bukan hanya pajak keagamaan dan juga bukan basis keuangan negara, melainkan suatu tanda filsafat ekonomi Islam yang amat egalitarian.
b. Muhammad Akram Khan
1. Biografi
       Muhammad Akram Khan lahir pada tanggal 3 April 1945 di Pakistan. Ayahnya bernama Chaudhry Ali Muhammad. Akram Khan dilahirkan dalam keluarga yang taat beragama, sehingga ia tumbuh menjadi sosok yang mempunyai karakter yang baik. Keluarganya termasuk orang yang berkcukupan yang memungkinkan ia mendapatkan pendidikan yang baik pula.[6] Beliau bersekolah di Punjab University pada tahun 1966-1967 dengan prestasi mendapatkan mendali emas pada dua tahun tersebut. Pengalaman Bergabung Departemen Auditor Jenderal Pakistan pada tahun 1970 setelah melewati pemeriksaan CSS sebagai Asisten Comptroller. Sejak itu telah melayani berbagai kapasitas dan naik ke tingkat Deputy General Auditor. Kemudian melanjutkan pendidikannya ke  University of Aston, Birmingham (Industrial Administration) U.K. pada tahun 1971. Mengikuti Pelatihan Profesional pada tahun 1983-1984 program satu tahun di Kanada Komprehensif Audit Foundation, Ottawa. Pernah bekerja pada bidang organisasi pada tahun 1998-2000 Mewakili Pakistan di UNCTAD Kelompok Pakar Antarpemerintah tentang Standar Internasional akuntansi dan Pelaporan (ISAR) di Jenewa.
Beliau seorang pakar ekonomi islam dari Pakistan sebagaimana mengatakan bahwa ilmu ekonomi bertujuan mempelajari kesejahteraan manusia (falah) yang dicapai dengan mengorganisir sumber-sumber daya bumi atas dasar kerjasama dan partisipasi. Oleh sebab itu, aktivitas ekonomi merupakan bagian dari kehidupan manusia. Setiap perilaku manusia didorong dari keinginannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.  Selain dibidang ekonomi beliau juga maju dibidang akutansi dan menejemennya.

2. Pemikiran ekonomi Muhammad Akram Khan
Beberapa pemikiran ekonomi Muhammad Akram Khan yang memberikan sumbangsih dalam perkembanganekonomi Islam Kontemporer akan diuraikan di bawah ini.[7]
1.      Larangan Terhadap Bunga Bank
Muhammad Akram Khan ahli ekonomi Islam yang mengatakan benar ijma’nya ulama tentang keharaman bunga bank yang merujuk kepada unsur riba. Seorang pakar ekonomi terkemuka dari Pakistan. Sebagai seorang ekonomi muslim, beliau melakukan penelitian terhadap pendapat para ahli ekonomi Islam di seluruh dunia. Dalam penelitiannya beliau tidak menemukan ada pakar (ilmuwan) ekonomi Islam yang membolehkan bunga bank. Akram Khan menegaskan kembali ajaran dasar Islam yang berkaitan dengan ekonomi. Ulasan upaya sebelumnya dibuat dengan memperhatikan penghapusan bunga dari perekonomian Pakistan.
Mengusulkan strategi untuk melangkah lebih jauh dan memperbaiki kesalahan yang dibuat sejauh ini. Beliau mengusulkan kepada pemerintah untuk menyajikan rancangan undang-undang untuk larangan riba. Juga menganalisis efek kemungkinan adanya larangan riba pada berbagai indikator makro ekonomi. Karena  riba mengalokasikan sumber daya secara tidak efisien. Ini mendistorsi distribusi pendapatan. Larangan riba tidak akan mempengaruhi tingkat tabungan. Beliau Menganalisa alasan untuk non-implementasi perbankan bebas bunga di Pakistan dan  menyimpulkan bahwa kepemimpinan politik di negara ini tidak serius atau tulus dalam menghapuskan bunga dari perekonomian.[8] Terdapat literatur yang cukup besar yang menunjukkan jalan bagi perubahan yang lebih. Pengalaman praktis bank syariah juga memberi kesaksian pada kesimpulan yang sama. Berpendapat bahwa sistem kapitalis saat ini yang didasarkan pada bunga telah gagal membawa kesejahteraan bagi umat manusia. Beliau Berpendapat bahwa skema hadiah diumumkan oleh berbagai bank di Pakistan tidak sesuai dengan syariah. Mereka melibatkan bunga, perjudian dan ketidakpastian, semua dilarang oleh syariat. Berpendapat bahwa syariat Islam memiliki tujuan tertentu seperti masyarakat beradab lainnya. Islam telah melarang bunga karena merupakan kendala dalam mewujudkan tujuan tersebut.[9]Peran negatif adalah kepentingan dalam mempromosikan pengangguran, kesenjangan pendapatan, kemubaziran konsumsi, dan pengurangan tabungan dan investasi. Riba adalah fenomena ekonomi, ia harus dihilangkan dari ekonomi melalui kepentingan ekonomi. Syariah tidak menyebarluaskan hukum apapun untuk melarang itu. Sebaliknya, itu harus diserahkan kepada kehendak bebas rakyat. Negara harus mencoba untuk menghilangkannya melalui mekanisme ekonomi. Ini harus memfasilitasi pengembangan dan evolusi sistem keuangan Islam dan orang-orang harus dibujuk oleh pengoperasian lembaga keuangan Islam untuk mengadopsi mereka dan meninggalkan transaksi berbasis riba. Mengusulkan mekanisme kelembagaan untuk menghilangkan riba. Berpendapat bahwa riba adalah fenomena ekonomi. Ini harus dihilangkan dari ekonomi melalui kepentingan ekonomi. Ini bukan fenomena hukum. Syariah tidak menyebarluaskan hukum apapun untuk melarang itu. Sebaliknya, itu harus diserahkan kepada kehendak bebas rakyat.Negara harus mencoba untuk menghilangkannya melalui mekanisme ekonomi. Ini harus memfasilitasi pengembangan dan evolusi sistem keuangan Islam dan orang-orang harus dibujuk oleh pengoperasian lembaga keuangan Islam untuk mengadopsi mereka dan meninggalkan transaksi berbasis riba. Mengusulkan mekanisme kelembagaan untuk menghilangkan riba.[10] Mengembangkan kritik berbasis bunga pembiayaan utang. Berpendapat bahwa analisis Islam perbankan dan keuangan adalah pilihan yang layak dibandingkan dengan pembiayaan berbasis bunga. Dilihat dari sudut pengalaman aktual perbankan dan keuangan Islam, hal itu menunjukkan jalan bagi mempertimbangkan kemungkinan memperkenalkan pembiayaan tanpa bunga di negara-negara Barat. Mengembangkan sebuah model pembagian laba-rugi. Berpendapat bahwa pembiayaan tanpa bunga membawa stabilitas yang lebih besar dibandingkan dengan pembiayaan berbunga. Membahas konsep riba. Juga membahas berbagai modus alternatif pembiayaan seperti mudharabah, musyarakah, ijarah, waktu multiple-counter-pinjaman, dan bai 'mu'ajjal. Menelusuri sejarah perbankan Islam di Pakistan. Poin membutuhkan perubahan hukum yang diperlukan untuk membuat perubahan ini efektif. Dengan mengacu pada perdebatan tentang penghapusan bunga dari perekonomian Pakistan, berpendapat bahwa hal itu tidak akan menimbulkan gangguan ekonomi dalam perekonomian. Komunitas bisnis lebih memilih untuk mengandalkan ekuitas. Tabungan, investasi dan distribusi pendapatan dan kekayaan akan membaik. Pemerintah akan mampu membiayai kegiatannya atas dasar alternatif bebas bunga. Berpendapat bahwa riba adalah fenomena ekonomi. Ini harus dihilangkan dari ekonomi melalui kepentingan ekonomi. Ini bukan fenomena hukum. Syariah tidak menyebarluaskan hukum apapun untuk melarang itu. Sebaliknya, itu harus diserahkan kepada kehendak bebas rakyat. Negara harus mencoba untuk menghilangkannya melalui mekanisme ekonomi. Ini harus memfasilitasi pengembangan dan evolusi sistem keuangan Islam dan orang-orang harus dibujuk oleh pengoperasian lembaga keuangan Islam untuk mengadopsi mereka dan meninggalkan transaksi berbasis riba. Setelah Beliau Mengusulkan mekanisme kelembagaan untuk menghilangkan riba maka akhirnya. Putusan Banding Bench syariah Mahkamah Agung Pakistan memutuskan pada tanggal 23 Desember 1999. Penghakiman itu pada sejumlah banding berbaring dengan Mahkamah Agung Pakistan terhadap Federal syariah Pengadilan Putusan November 1991 yang menyatakan bahwa semua jenis bunga sebagai riba. Penghakiman ini menguatkan Putusan FSC dan memerintahkan Pemerintah Pakistan untuk mengambil sejumlah langkah, termasuk undang-undang baru dan mendirikan sebuah Komisi Islamisasi Sistem Keuangan pada bulan Juni 2001. Prof.Dr..M. Akram juga tidak sembarangan mengatakan ijma’nya ulama tentang bunga bank, kecuali setelah mempejalari pendapat-pendapat para ahli yang diakuinya sebagai ulama kridible dalam bidang ekonomi. Beliau tentu telah membaca ribuan buku tentang ekonomi Islam yang menjadi bidang keahliannya.[11]
2.      Ekonomi Zakat
Memberikan latar belakang hukum zakat di Pakistan. Bergerak ke distribusi zakat dan pengaruhnya terhadap pengentasan kemiskinan di Pakistan. Menggunakan Pendapatan Rumah Tangga data Survei yang diterbitkan oleh Biro Statistik, Pemerintah Pakistan pada tahun 1990-1991. Menyimpulkan zakat yang telah mempengaruhi tingkat pendapatan lebih dari 1,73 juta orang. Tapi karena jumlah penduduk yang menderita karena kemiskinan sangat besar dan bantuan yang diberikan oleh zakat tidak memadai, masyarakat secara keseluruhan belum mampu mengentaskan kemiskinan. Menyajikan pandangan ekonomi pendapat fiqh tentang zakat dan menunjukkan bahwa beberapa dari mereka mungkin tidak konsisten dengan keadilan sosial dan ekonomi. Di Pakistan bahwa mayoritas pendapat fiqh zakat tidak mengambil prinsip keadilan menjadi pertimbangan. Sebagian besar orang kaya di setiap masyarakat muslim kontemporer hampir dibebaskan dari zakat sedangkan populasi pertanian yang buruk dibebankan pada tingkat yang lebih besar. Mengidentifikasi beberapa kelemahan dalam ijtehad hari ini dan menyerukan peran ulama khusus dalam mempertimbangkan kembali masalah ini.
Maka Akram Khan Memberika beberapa saran yang komprehensif dan luas tentang masalah ini.Membahas perannya dalam mengentas kemiskinan. Mengutip studi kasus dari Pakistan, Sudan, Yaman, dan Mesir. Akram Khan Menyimpulkan bahwa peran zakat dalam mengentaskan kemiskinan di negara-negara belum berkembang dengan baik berdasarkan survei lapangan dari tehsil di Pakistan. Merangkum respon dari survei tersebut maka beliau memperkenalkan konsep Islam alokasi sumber daya dan membawa keluar pentingnya aspek ketepatan cara dalam menjalankan sesuatu seperti alokasi sumber daya dalam model kesejahteraan. Mengembangkan model manfaat analisis empiris biaya dan manfaat dari program pelatihan zakat.
 Sehingga menunjukkan efek kesejahteraan zakat. Perkiraan hubungan multiplier pendapatan dan zakat dan menunjukkan hubungan yang lebih umum antara zakat, pendapatan dan kesempatan kerja. Maka zakat dikelolah dengan baik bukan langsung dibagikan terus habis tetapi dikembangkan dengan memunculkan lapangan pekerjaan baru sehingga masyarakat miskin tersebut bisa bekerja dan hasilnya bisa berkembang yang tujuannya juga untuk kesejahtraan mereka dan  zakat juga sebagai alat fiskal yang membahas masalah transfer zakat dan wajib dalam ekonomi Islam. Ini adalah lembaga pertama kalinya dalam sejarah manusia untuk transfer wajib pendapatan dan kekayaan dari orang kaya kepada orang miskin.
3.      Makro Ekonomi Teori
Mengembangkan model ekonomi makro ekonomi Islam bebas bunga menggabungkan zakat sebagai variabel. Dengan asumsi kecenderungan marjinal lebih tinggi untuk mengkonsumsi kelompok berpenghasilan rendah yang menerima zakat dari kelompok berpenghasilan tinggi, model menetapkan tingkat pendapatan lebih tinggi untuk nilai-nilai tertentu parameter lainnya. Model ini juga menunjukkan bahwa fungsi investasi berdasarkan nisbah bagi laba rugi di tempat suku bunga menghasilkan keseimbangan yang stabil antara tabungan dan investasi. Sebelum menjelaskan penentuan dalam ekonomi Islam sistem yang berbeda dari penentuan pendapatan dalam ekonomi kapitalis juga dikaji. Setelah pengenalan singkat pembagian rugi-laba, mengembangkan model makro ekonomi matematika, ekonomi berlatih laba loss sharing bukan pembiayaan berbasis bunga.

c. Muhammad Fahim Khan
1. Biografi
Biografi Fahim Khan Fahim Khan merupakan pemikir Muslim yang lahir di India pada tahun 1946. Fahim Khan termasuk jajaran ahli ekonomi Islam kontemporer yang di samping memiliki kapabilitas yang handal secara akademis juga memiliki pengalaman praktis dalam pengembangan ekonomi Islam. Dengan gelar Master dalam Ekonomi Politik dan Statistik serta Ph.D di bidang ekonomi, beliau telah memiliki 39 tahun pengalaman dalam kebijakan ekonomi dan perencanaan, dalam mengajar dan pelatihan, pengembangan kapasitas kelembagaan, dan juga dalam penelitian serta konsultan.[12] Beliau memperoleh gelar B.A. dan M.A. dalam bidang Statistik dari Universitas Punjab, Pakistan pada tahun 1968. Serta memperoleh gelar M.A. pada tahun 1977 dan juga Ph.D dalam ilmu Ekonomi dari Universitas Boston, USA pada tahun 1978. Beliau bergabung dengan Islamic Research and Training Institute (IRTI) sejak tahun 1988 dan menduduki berbagai posisi seperti Kepala Divisi Riset, Kepala Divisi Pelatihan, serta Kepala Divisi Pengembangan dan Kerjasama Ekonomi Islam. Beliau juga pernah menjabat sebagai Direktur IRTI selama setahun. Sebelum bergabung dengan IRTI, Beliau menjabat Deputy Chief Kementerian Perencanaan (1969-1981), dan juga sebagai Profesor Ekonomi dan Direktur School of Economics di International Islamic University, Islamabad, Pakistan (1981- 1988).3 Di samping itu, Beliau juga menjadi dosen tamu sejumlah universitas dunia, salah satunya di Quaid-e-Azam University, King Abdul Aziz University dan Islamic Foundation. Beliau juga merupakan anggota Dewan Gubernur (Academic Group), Institut Perbankan Syariah dan Asuransi di London, Sejak tahun 2000 hingga saat ini. Serta, anggota Dewan Editorial, Pakistan Development Review, Pakistan Institute of Development Economics Sejak 1995. Beliau juga menjabat sebagai Kepala Pusat Bisnis Islam, Universitas Internasional Riphah Islamabad Pakistan.[13]
2.Pemikiran
               Muhammad Fahim Khan merupakan salah satu penggiat pembangunan paradigma ekonomi islam. Dengan pengalaman kerja di bidang ekonomi dan sepak terjangnya dalam dunia akademisi membuat nama Muhammad Fahim Khan sangat diperhitungkan dan komentar-komentarnya tentang ekonomi Islam senantiasa mejadi rujukan baku sekaligus ikut mewarnai perkembangan ekonomi Islam kontemporer. Adapun gagasan-gagasan Muhammad Fahim Khan dalam ekonomi islam akan diuraikan sebagai berikut.
Pendapat Fahim Khan tentang Perilaku Konsumen Pemikiran Fahim Khan tentang perilaku konsumen didasarkan pada kerangka yang tidak dapat digunakan untuk menjelaskan semua aspek perilaku konsumen. Beliau berpendapat bahwa perilaku konsumen seharusnya didasarkan pada pemenuhan kebutuhan dan bukan pada keinginan memuaskan.7 Menurut Beliau, ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertimbangan dan pengambilan keputusan (decisions making) seorang konsumen dalam berperilaku yang semuanya saling berhubungan yaitu pendidikan, agama (kepercayaan), pengaruh lingkungan sosial dan sekitarnya, budaya, adat dan juga tradisi.
Konsep Konsumsi dalam islam
Konsumsi adalah bentuk perilaku ekonomi yang asasi dalam khidupan manusia. Pada ilmu ekonomi, konsumsi adalah setiap perilaku seseorang untuk menggunakan dan memanfaatkan barang/jasa untukmemenihi kebutuhan hidup. Jadi, perilaku konsumen tidak hanya menyangkut makan dan minum saja, tetapi juga perilaku ekonomi lainnya seperti membeli dan memakai baju, membeli, dan memakai kendaraan.
   Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap perekonomian, karena tiada kehidupan bagi manusia tanpa konsumsi. Menurut Fahim Khan ekonomi islam memberi kerangka analisis yang benar-benar berbeda, di mana keinginan tidak dapat menjadi kekuatan pendorong bagi perilaku konsumen dalam islam. oleh karena itu,  diperlukan sebuah alternatif yang dapat menjadi basis bagi perilaku konsumen.
Pertama, konsumsi untuk kebutuhan duniawi dan konsumsi untukjalan Allah. Pilihan tersebut adalah berapa banyak pendapatan yang dikeluarkan untuk kebutuhan duniawi dan berapa banyak untuk jalan Allah (infaq fi sabilillah).
Kedua, konsumsi untuk kebutuhan sekarang dan yang untuk dikonsumsi nanti. Sudut pandang islam dalam hal ini sangat jelas, meliputi menabung untuk masa mendatang sangat diperbolehkan dan diinginkan, serta the expected rate of return dari tabungan yang berguna untuk menolong orang lain terutama dalam bidang zakat. Bahkan Fahim Khan memasukkan semua pengeluaran akhirat (zakat, infak, sedekah, wakaf, dan sebagainya) ke dalam konsumsi, dengan asumsi bahwa konsumsi total terdiri atas konsumsi dunia dan konsumsi akhirat.
Dengan mengacu pada pandangan Keynes yang menyatakan bahwa konsumen yang dilakukan rumah tangga konsumen dipengaruhi oleh tingkat pendapatan. Maka, Khan membagi tingkat pendapatan masyarakat tersebut : (1) pendapatan yang berada diatas nisab (angka minimal aset yang terkena kewajiban zakat) yang dinotasikan dengan Yu (upper lasses/golongan kaya). (2) pendapatan yang berada di bawah nisab yang dikonotasikan dengan YL (lower classes/golongan miskin)
Komponen pengeluaran konsumsi yang dilakukanrumah tangga konnsumen menurut Khan juga dibagi atas dua bentuk pengeluaran: (1) konsumsi yang dilakukan oleh rumah tangga tersebut untuk kebutuhan sendiri (for self) yang dilambangkan dengan notasi E1 dan (2) konsumsi yang dilakukan rumah tangga untuk jalan menuju keridhaan Allah (cause of Allah) yang dinotasikan dengan E2. Berdasakan rumusan di atas, maka Khan mewarkan fungsi konsumsi, sebagai berikut: = A0 + AU YU
Kepuasaan manusia dalam memiliki barang lebih banyak dipengaruhi beragam keinginan. Beragam keinginan dipengaruhi oleh berbagai preferensi, misalnya pengaruh keluarga, lingkungan dan media visual/nonvisual, sehingga rasa kepuasan setiap orang tidak disamaratakan karena ukuran pun tidak rata. Oleh karena itu, teori nilai guna kurang mewakili untuk digunaka sebagai pengukur tingkat kepuasaan.
Islam menolak asumsi bahwa semua keinginan itu sama pentingnya dan semuanya itu harus dipuaskan. Sebaliknya, islam memahami bahwa manusia memiliki kebutuhan tertentu, yang sebagian di antaranya lebih penting dari yang lain. Kebutuhan yang lebih penting harus dipenuhi terlebih dahulu, diikuti oleh pemenuhan kebutuhan yang kurang penting. Manusia yang berbudaya tidak memperlakukan semua keinginan sama pentingnya. Bagi mereka, beberapa keinginan itu lebih penting daripada yang lain.
Artinya, tidaklah semua kebutuhan itu sama pentingnya. Menurut Fahim Khan setidaknya terdapat tiga tingkatan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seseorang, yaitu:
a.       Tingkat dimana lima unsur mendasar itu sedikit saja terlindungi.
b.      Tingkat dimana perlindungan terhadaplima unsur mendasar itu dilengkapi dan dikuatkan.
c.       Tingkat dimana kelima unsur mendasar trsebut tidak saja terjamin melainkan juga diperbaiki dan diperindah.
Berangkat dari konsep tersebut, Fahim Khan sama dengan para ekonom Islam lainnya, sepakat bahwa mashlahah merupakan konsep yang lebih objektif dari pada utility untuk menganalisis perilaku ekonomi. Meskipun mashlaha, seperti utility, tetap saja merupakan konsep yang subjektif, tetapi subjektivitasnya tidak membuatnya menjadi sehampa utility. Subjektif di sini dalam pengertian bahwa konsumen individual itu sendiri yang merupakan hakim yang terbaik untuk menilai apakah suatu barang/jasa itu memiliki mashlahah baginya.
Selain itu, dalam konteks kebutuhan Fahim Khan meliha tbahwa sumber daya harus pertama kali dialokasikan untuk hal yang terpenting, yakni dharuriyyat (kebutuhan primer). Jika telah terpenuhi dan setelahnya konsumen masih memiliki sumber daya, ia dapat melanjutkan kebarang yang menjadi komplemen bagi dharuriyyat, yakni hajiyyat (kebutuhan sekunder). Dan jika masih ada sumber daya lagi, maka sisa itu dapat dialokasikan kepada kegiatan memperindah, yakni tahsiniyyat (kebutuhan tersier).
Islam mengajarkan agar dalam memenuhi kebutuhannya baik dharuriyyat, hajiyyat, maupun tahsiniyyat, manusia melakukannya dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah (infaq fi sabililillah) dengan mematuhi norma-norma ajaran islam, seperti tidak boros dan berlebihan, tidak kikir, tetapi  dengan sederhana dan hemat serta berkonsumsi tidak boleh menimbulkan kezaliman dan merugikan diri sendiri, orang lain, dan merusak alam. Rasionalitas islam dalam perilaku ekonomi tidak hanya didasarkan kepada pemuasan nilai guna atau ukuran-ukuran material lainnya tetapi mempertimbangkan pula aspek memenuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh syariat islam.
Individu dalam islam juga dibatasi oleh aturan-aturan syariat, di mana   ada beberapa barang yang tidak boleh dikonsumsi karena ada suatu alasan tertentu, barang itu hukumnya haram. Sehingga konsumen muslim hanya boleh mengonsumsi barang atau objek yang halal, baik produknya maupun prosesnya.

DAFTAR PUSTAKA
Ali Murtadho, Formulasi Konsep Islam Tentang Pembangunan Ekonomi Padat      Penduduk: Analisis Pemikiran Fahim Khan, Laporan Penelitian Individual, Semarang: LP2M UIN Walisongo Semarang, 2014
Muhammad Akram Khan. The Role of Government in the Economy, The American Journal of Islami
Syed  Nawab Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Pustaka Pelajar, Cetakan I, 2003
Mohamed Aslam Haneef, Pemikiran Ekonomi Kontemporer: Analisis Komparatif Terpilih, 127.  Informasi mengenai Naqvi diperoleh dari publikasi Pakstan Institute of Development Economics, Pakistan
Syed Nawab Haider Naqvi, Ethics and Economics: An Islamic Synthesis. (The Islamic Foundation, 1981)
Heri Sudarsono,  Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar , Ekonesia, Yogyakarrta, 2002
Khan, Muhammad Akram Islamic Economics: The State of the Art. American  Journal of Islamic Social Sciences, Herndon, V A., (16:2), 1999 
Muhammad Akram Khan, The Role of Government in the Economy, The American Journal of Islamic Social Sciences




[1] Syed  Nawab Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Pustaka Pelajar, Cetakan I, 2003
[2] Mohamed Aslam Haneef, Pemikiran Ekonomi Kontemporer: Analisis Komparatif Terpilih, 127.  Informasi mengenai Naqvi diperoleh dari publikasi Pakstan Institute of Development Economics, Pakistan
[3] Syed Nawab Haider Naqvi, Ethics and Economics: An Islamic Synthesis. (The Islamic Foundation, 1981)
[4] Syed Nawab Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Pustaka Pelajar, Cetakan I, 2003
[5] Heri Sudarsono,  Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar , Ekonesia, Yogyakarrta, 2002
[6] Khan, Muhammad Akram Islamic Economics: The State of the Art",  American  Journal of Islamic Social Sciences, Herndon, V A., (16:2), 1999 
[7] Muhammad Akram Khan, “The Role of Government in the Economy,” The American Journal of Islamic Social Sciences
[8] Muhammad Akram Khan, “The Role of Government in the Economy,” The American Journal of Islamic Social Sciences
[9] Muhammad Akram Khan, “The Role of Government in the Economy,” The American Journal of Islamic Social Sciences
[10] Muhammad Akram Khan, “The Role of Government in the Economy,” The American Journal of Islamic Social Sciences
[11] Muhammad Akram Khan, “The Role of Government in the Economy,” The American Journal of Islami
[12] Ali Murtadho, Formulasi Konsep Islam Tentang Pembangunan Ekonomi Padat Penduduk: Analisis Pemikiran Fahim Khan, Laporan Penelitian Individual, Semarang: LP2M UIN Walisongo Semarang, 2014
[13] Ali Murtadho, Formulasi Konsep Islam Tentang Pembangunan Ekonomi Padat Penduduk: Analisis Pemikiran Fahim Khan, Laporan Penelitian Individual, Semarang: LP2M UIN Walisongo Semarang, 2014

No comments:

Post a Comment