MAKALAH FIQH MUNAQAHAT DAN MAWARIS
“TALAK DAN
RUJUK”
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkawinaan
adalah akad yang menghalalkan hubungan laki-laki dengan perempuan dalam ikatan
suami istri. Dalam perkawinan setiap orang ingin membentuk keluarga bahagia dan
utuh sampai akhir hayat tetapi, kadang ada suatu permasalahan yang membuat pertengkaran bahkan menngambil jalan
perceraian. Allah paling membenci hal tersebut.
Talak ialah
melepaskan ikatan nikah dari pihak suami dengan mengucapkan lafazh yang
tertentu, misalnya suami berkata kepada istrinya. Pada dasarnya talak hukumnya
boleh, tetapi sangat dibenci menurut pandangan syara’. Ucapan untuk mentalak
istri ada dua yaitu ucapan sharih, yaitu ucapan yang tegas maksudnya untuk
mentalak, dan ucapan yang kinayah yaitu ucapan yang tidak jelas maksudnya. Salah
satu jalan untuk kembali yang digunakan seorang suami kepada mantan istrinya
ialah dengan rujuk. Kesempatan itu diberikan kepada setiap manusia oleh Allah
untuk memperbaiki perkawinannya yang sebelumnya kurang baik. Hal tersebut
merupakn salah satu hikmah rujuk.
Rujuk sendiri
mempunyai penngertian yang luas yaitu kembalinya seorang suami kepada istri
yang telah ditalak raj’i bukan talak ba’in selama masih dalam masa iddah. Dari definisi
tersebut, terlihat beberapa kata kunci yang menunjukan hakikat perbuatan rujuk.
Seseorang yang ingin melakukuan rujuk harus memperhatikan hal-hal yang
berkaitan mengenai rujuk agar terlaksana dengan baik. Diantara hal-hal yang
berkaitan ialah: tata cara rujuk, hak rujuk, hukum rujuk serta rukun dan syarat
dalam rujuk. Untuk lebih jelas, dimakalah ini akan dibahas mengenai hal-hal tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk dari talak?
2. Bagaimana bentuk dari rujuk?
C.
Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui bentuk dari talak?
2. Untuk mengetahui bentuk dari rujuk?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Talak
1.
Pengertian Talak
Talak secara bahasa ialah memutuskan
ikatan. Diambil dari kata itlaq yang artinya adalah melepaskan dan
meninggalkan.[1] Sedangkan
menurut istilah syara’, talak yaitu “melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri
hubungan suami isteri.”[2]
Dalam istilah fiqh talak mempunyai dua arti,
yaitu arti yang umum dan arti yang khusus. Talak menurut arti yang umum ialah
segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan
oleh Hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian
karena meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri. Sedangkan Talak dalam
arti yang khusus ialah perceraian yang dijatuhkan oleh suami.
Dengan
pengertian talak tersebut, maka jelas yang dimaksud dengan talak adalah
melepaskan ikatan antara suami-isteri, sehingga diantara keduanya tidak berhak
berkumpul lagi dalam arti tidak boleh mengadakan hubungan suami-isteri tanpa
diadakan rujuk terlebih dahulu dalam masa iddahnya.
2.
Macam-macam Talak
Secara garis
besar ditinjau dari boleh atau tidaknya rujuk kembali, talak dibagi menjadi dua
macam, yaitu:
a.
Talak Raj’i
Talak raj’i yaitu talak dimana suami mempunyai hak merujuk kembali istrinya,
setelah talak itu dijatuhkan dengan lafaz-lafaz tertentu dan isteri benar-benar
sedah digauli.[3]
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Qs. Al-Talak ayat 1:
Yang dimaksud dengan :menghadapi idah yang wajar” dalam ayat tersebut
adalah istri-sitri itu hendaknya ditalak ketika suci dan belum dicampuri.
Sedangkan yang dimaksud dengan “perbuatan keji” adalah apabila istri melakukan
perbuatan-perbuatan pidana, berkelakuan tidak sopan terhadap merentua, ipar dan
sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan “sesuatu yang baru” adalah keinginan
dari suami untuk rujuk kembali apabila talaknya baru dijatuhkan sekali atau dua
kali.[4]
Dalam talak raj’i seorang suami memiliki hak untuk kembali kepada isterinya
(rujuk) sepanjang isterinya masih dalam masa iddah, baik isteri tersebut
bersedia dirujuk maupun tidak. Adapun yang termasuk dalam kategori talak raj’i
adalah sebagai berikut:
a) Talak satu atau talak dua tanpa ‘iwadh dan telah kumpul.
b) Talak karena ila’ yang dilakukan Hakim.
c) Talak Hakamain artinya talak yang diputuskan oleh juru
damai (hakam) dari pihak suami maupun dari pihak isteri
b.
Talak Ba’in
Talak ba’in adalah talak yang ketiga kalinya, dan talak yang jatuh sebelum
suami isteri berhubungan serta talak yang dijatuhkan isteri kepada suaminya.
Talak ba’in dibagi menjadi dua yaitu:
1) Talak ba’in sughra adalah talak yang tidak boleh
dirujuk tetapi boleh akad nikah baru denga bekas isterinya meskipun dengan masa
iddah.
2) Talak ba’in kubra adalah talak yang ketiga dari
talak-talak yang dijatuhkan oleh suami. Dalam talak ba’in kubra ini
mengakibatkan si suami tidak boleh merujuk atau mengawini kembali isterinya
baik dalam masa iddah maupun sesudah masa iddah habis. Seorang suami yang
mentalak ba’in kubra isterinya boleh mengawini isterinya kembali apabila
telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a) Isteri telah kawin dengan laki-laki lain.
b) Isteri telah dicampuri oleh suaminya yang baru.
c) Isteri telah dicerai oleh suami yang
baru
d) Telah habis masa iddahnya.
3.
Hukum Talak dalam Islam
Pada prinsipnya
asalnya, talak itu hukumnya makhruh berdasarkan sabda Rasulullah saw.
“Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah Azza
Wajalla adalah talak”. (Hr Abu Dawud
dan Al Hakim)
Ulama Hanabilah
(penganut mazhab Hambali) memperinci hukum talak sebagai berikut:
Talak adakalanya wajib, kadang-kadang haram, mubah, dan
kadang-kadang dihukum sunnah, talak wajib, misalnya talak dari jakam perkara syiqaq
yakni perselisihan suami istri yang sudah tidak dapat didamaikan lagi, dan
kedua pihak memandang perceraian sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan
persengketaan mereka. Termasuk talak wajib ialah talak dari orang yang
melakukan ila, terhadap istrinya setelah lewat waktu empat bulan.
Adapun talak
yang diharamkan, yaitu talak yang tidak diperlukan. Talak ini dihukumi haram
karena akan merugikan suami dan istri serta tidak ada manfaatnya. Talak mubah
terjadi hanya apabila diperlukan, misalnya karena istri sangat jelek,
pergaulannya jelek, atau tidak dapat diharapkan adanya kebaikan dari pihak
istri.
Sedangkan talak
mandub atau talak sunnah, yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri yang sudah
keterlaluan dalam melanggar perintah-perintah Allah, misalnya meninggalkan shalat atau kelakuannya sudah tidak dapat
diperbaiki lagi atau istri sudah tidak menjaga kesopanan dirinya.
4.
Orang yang Berhak Menjatuhkan Talak
Ulama fiqh
sependapat bahwa suami yang waras akalnya, dewasa dan orang yang bebas
menentukn keinginanya berhak menjatuhkan talak atas istrinya. Apabila terpaksa,
gila atau masih kanak-kanak, maka talaknya dianggap main-main, karena talak
adala perbuatan yang mempunyai akibat hukum atas suami istri.
Bahwa talak
yang diucapkan oleh orang mabuk dianggap jatuh, karena ia sendiri memasukkan
unsur uang memabukkan ke dalam akalnya. Pada
ayat tersebut Allah menjadikan mabuk sebagai halangan shalat, karena orang yang
mabuk itu tidak memahaminya. Amirul mukminin Utsman bin Affan r.a. menganggap
sah talak yang diucapkan oleh orang yang mabuk dan tidak seorang sahabt pun
yang membatalkannya. Allah berfirman dalam surah An-Nissa ayat 43.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا
تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ وَإِنْ
كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا
طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا
غَفُورًا
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti
apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan
junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit
atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah
Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
B.
Rujuk
1.
Pengertian Rujuk
Menurut bahasa
Arab, kata rujuk berasal dari kata رجع
– يرجع – رجوعا yang berarti
kembali, dan mengembalikan. Dalam istilah hukum Islam, para fuqaha mengenalkan
istilah “ Ruju’ “ dan “ Raj’ah “ yang keduanya semakna. Yaitu kembalinya
seorang suami kepada istrinya yang telah ditalak raj’i tanpa melalui perkawinan
dalam masa iddah. Dasar hukum dari iddah ini adalah
QS. Al-Baqarah ( 2 ) : 228 yang berbunyi :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا
خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا
إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.” ( Q.S.
Al-Baqarah: 229)
Rujuk adalah tindakan suami kembali kepada istrinya yang
telah dijatuhi talak sebelum habis masa iddahnya. Suami boleh melakukan rujuk
kepada mantan istrinya yang dijatuhi talak satu atau talak dua dan tidak perlu
akad nikah lagi., Cuma menyatakan, “ Saya telah rujuk kepadamu “. Sedangkan
istri yang dijatuhi talak tiga, atau dicerai dengan cara faskh tidak boleh dirujuk
kembali oleh mantan suami.[5]
2. Macam-macam Rujuk
Rujuk dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Rujuk untuk talak 1 dan 2 (talak raj’iy)
Dalam suatu
hadist disebutkan : dari Ibnu Umar r.a. waktu itu ia ditanya oleh
seseorang, ia berkata, “Adapun engkau yang telah menceraikan ( istri) baru
sekali atau dua kali, maka sesungguhnya Rasulullah SAW telah menyuruhku merujuk
istriku kembali” (H.R. Muslim).
Karena besarnya
hikmah yang terkandung dalam ikatan perkawinan, maka bila seorang suami telah
menceraikan istrinya, ia telah diperintahkan oleh Allah SWT agar merujukinya
kembali.
Firman Allah SWT :
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ
النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ
سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ ۚ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا ۚ وَمَنْ
يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ۚ وَلَا تَتَّخِذُوا آيَاتِ اللَّهِ
هُزُوًا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ
مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka
mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau
ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka
untuk memberi kemudharatan, Karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa
berbuat demikian, Maka sungguh ia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.
janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah
padamu, dan apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al
hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang
diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta Ketahuilah bahwasanya
Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. Al-Baqarah : 231)
b. Rujuk untuk talak 3 (talak ba’in)
Hukum rujuk
pada talak ba’in sama dengan pernikahan baru, yaitu tentang persyaratan adanya
mahar, wali, dan persetujuan. Hanya saja jumhur berpendapat bahwa utuk
perkawinan ini tidak dipertimbangkan berakhirnya masa iddah.
3. Hukum Rujuk dalam Islam
Seorang suami
yang hendak rujuk kepada istrinya, menurut Syafi’i dan Hanbali harus ada dua
orang yang menjadi saksi. Hal tersebut
digunakan untuk menghindari kemadhorotan dan menghindari fitnah atau gunjingan
masyarakat. Argumentasi yang digunakan kedua Ulama ternama ini adalah firman
Allah swt.
فَإِذَا
بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ
بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ
لِلَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
“Apabila
mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau
lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang
adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.
Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan
hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan
baginya jalan keluar”( Q.S.
Ath-Thalaaq [65] : 2 ).
Hal
ini berbeda dengan pendapat Hanafi dan Maliki serta jumhur ulama lainnya, yang
menyatakan bahwa amar yang terdapat dalam ayat diatas adalah menunjukkan pada
amar irsyad atau amar sunnah, bukan amar wajib. Kelompok ini memberikan suatu
komparasi ( perbandingan ) bahwa mendatangkan orang untuk menjadi saksi pada
pelaksanaan talak adalah sunnah, bukan wajib. Demikian juga dengan hukum
mendatangkan saksi untuk proses rujuk adalah sunnah, apalagi fungsi rujuk
adalah untuk meneruskan pernikahan yang lama, sehingga rujuk itu tidak perlu
kehadiran wali dan kerelaannya orang yang dirujuki.
Imam Syafi’i berkata dalam kitabnya : “Siapa saja
diantara suami merdeka yang menceraikan istrinya dengan talak satu atau talak
dua setelah ia mencampurinya, maka ia lebih berhak untuk rujuk dengan istrinya
itu selama iddah belum berakhir.”
Ini berdasarkan kitab Allah Azza wa Jalla dan sunnah
Rasulullah, karena sesungguhnya rukanah menceraikan istrinya dengan mengucapkan
perkataan yang bemakna talak ba’in kubra, namun maksudnya hanyalah talak satu,
maka Rasulullah mengembalikan istrinya kepadanya.
Sama saja dalam hal ini, semua wanita yang menjadi istri
laki-laki merdeka, baik ia wanita muslimah, kafir dzimmi atau budak. Talak bagi
budak hanya dua kali, adapun orang merdeka yang kafir dzimmi dalam masalah
talak dan rujuk sama seperti laki-laki muslim yang merdeka. Apabila
iddah telah berakhir, maka tidak ada jalam bagi suami untuk rujuk dengan
istrinya kecuali melalui proses pernikahan yang baru.[6]
4.
Syarat
dan Rukun Rujuk
Syarat-syarat rujuk yang harus dipenuhi antara lain:
a.
Saksi untuk rujuk
Fuqaha berbeda pendapat tentang adanya saksi dalam rujuk,
apakah menjadi syarat sahnya rujuk atau tidak. Imam Malik berpendapat bahwa
saksi dalam rujuk adalah disunahkan sedangkan Imam Syafi’i mewajibkan.
b. Rujuk dengan kata-kata atau pergaulan istri
Terdapat perbedaan pendapat pula dalam hal ini, sebagai
berikut:
·
Menurut pendapat Imam Malik mengatakan bahwa rujuk dengan pergaulan, istri
hanya dianggap sah apabila diniatkan untuk merujuk. Karena bagi golongan ini,
perbuatan disamakan dengan kata-kata dan niat.
·
Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, yang mempersoalkan rujuk dengan
pergaulan, jika ia bermaksud merujuk dan ini tanpa niat.
·
Menurut pendapat Imam Syafi’i, bahwa rujuk itu disamakan dengan perkawinan
dan Allah SWT memerintahkan untuk diadakan persaksian, sedang persaksian hanya
terdapat dalam kata-kata.
c. Kedua belah pihak yakin dapat hidup bersama kembali
dengan baik.
d. Istri telah dicampuri. Jika istri yang dicerai belum
pernah dicampuri, maka tidak sah rujuk, tetapi harus dengan perkawinan baru
lagi
e. Istri baru dicerai dua kali. Jika istri telah ditalak
tiga maka tidak sah rujuk lagi, melainkan harus telah menikah dengan orang lain
kemudian bercerai, barulah boleh rujuk kembali dengan akad yang baru.
f. Istri yang dicerai dalam masa iddah raj’iy. Jika
bercerainya dari istri karena fasakh atau khulu’ atau talak ba’in atau istri
yang dicerai belum pernah dicampuri, maka rujuknya tidak sah.
Adapun rukun rujuk, yaitu:
1) Ada suami yang merujuk atau wakilnya.
2) Ada istri yang dirujuk dan sudah dicampuri.
3) Kedua belah pihak sama-sama suka dan ridho.
4) Dengan pernyataan ijab dan qobul. Misalnya, “Aku
rujuk engkau pada hari ini” atau “Telah kurujuk istriku yang
bernama ………… pada hari ini”
5.
Prosedur Rujuk
Pasangan mantan
suami istri yang akan melakukan rujuk harus datang menghadap PPN (Pegawai Pencatat Nikah) atau Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)
yang mewilayahi tempat tinggal istri dengan membawa surat keterangan untuk
rujuk dari Kepala Desa/Lurah serta Kutipan dari Buku Pendaftaran Talak/Cerai
atau Akta Talak/Cerai.
Adapun prosedurnya
adalah sebagai berikut:
1) Di hadapan PPn suami mengikrarkan rujuknya kepada istri
disaksikan minimal dua orang saksi.
2) PPN mencatatnya dalam Buku Pendaftaran Rujuk, kemudian
membacanya dihadapan suami-istri tersebut terhadap saksi-saksi, dan selanjutnya
masing-masing membubuhkan tanda tangan.
3) PPN membuatkan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk rangkap dua
dengan nomor dan kode yang sama.
4) Kutipan diberikan kepada suami-istri yang rujuk.
5) PPN membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan
mengirimnya ke Pengadilan Agama yang mengeluarkan akta talak yang bersangkutan.
6) Suami-istri dengan membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk
datang ke Pengadilan Agama tempat terjadinya talak untuk mendapatkan kembali
Akta Nikahnya masing-masing.
7) Pengadilan Agama memberikan Kutipan Akta Nikah yang
bersangkutan dengan menahan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk.[7]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Talak adalah melepaskan ikatan antara suami-isteri,
sehingga diantara keduanya tidak berhak berkumpul lagi dalam arti tidak boleh
mengadakan hubungan suami-isteri tanpa diadakan rujuk terlebih dahulu dalam
masa iddahnya. Talak dapat dibedakan menjadi dua yaitu; Talak raj’i yaitu talak
dimana suami mempunyai hak merujuk kembali istrinya, setelah talak itu
dijatuhkan dengan lafaz-lafaz tertentu dan isteri benar-benar sedah digauli.
Dan Talak ba’in adalah talak yang ketiga kalinya, dan talak yang jatuh sebelum
suami isteri berhubungan serta talak yang dijatuhkan isteri kepada suaminya.
Rujuk yaitu kembalinya seorang suami kepada istrinya yang
telah ditalak raj’i tanpa melalui perkawinan dalam masa iddah. Macam rujuk
dapat dibedakan menjadi dua yaitu Rujuk untuk talak 1 dan 2 (talak raj’iy),
Karena besarnya hikmah yang terkandung dalam ikatan perkawinan, maka bila
seorang suami telah menceraikan istrinya, ia telah diperintahkan oleh Allah SWT
agar merujukinya kembali. Dan Rujuk untuk talak 3 (talak ba’in), hukum rujuk
pada talak ba’in sama dengan pernikahan baru, yaitu tentang persyaratan adanya
mahar, wali, dan persetujuan.
B. Saran
Demikianlah
makalah yang dapat penulis sampaikan. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Untuk itu
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat saya harapkan demi kesempurnaan
makalah ini dan selanjutnyaAkhirnya penulis mohon maaf apabila terdapat banyak
kesalahan, baik dalam sistematika penulisan, isi dalam pembahasan maupun dalam
hal penyampaian materi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis
sendiri khususnya dan bagi pembaca yang budiman pada umumnya dalam kehidupan
ini.
Daftar Pustaka
Asmawi Mohammad i, 2004. Nikah dalam
perbincangan dan perbedaan, Yogyakarta: Darussalam.
As-Sayyid Salim bin
Kamal, 2007. Fiqh Sunnah lin Nisa’, Cet. 1, Jakarta:
Tiga Pilar.
Drs. Slamet Abidin & Drs. H.
Aminuddin, 1999. Fiqh Munakahat
2, Bandung :
Pustaka Setia.
Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, 2007. Terjemahan Ringkasan
Kitab Al-Umm Buku 2 ( jilid 3-6 ), Jakarta : Pustaka Azzam.
[4]Slamet Abidin dan H.Aminuddin, Fiqh Munaqahat 2, Op.Cit.
hlm.18.
[5] Mohammad Asmawi, Nikah dalam perbincangan dan perbedaan, (Yogyakarta:
Darussalam, 2004), hlm. 276
[6] Imam Syafi’i Abu Abdullah
Muhammad bin Idris, Terjemahan Ringkasan Kitab Al-Umm Buku 2 ( jilid 3-6 ), (Jakarta : Pustaka Azzam, 2007.hlm.524
[7]Drs.
Slamet Abidin & Drs. H. Aminuddin, Fiqh Munakahat 2, (Bandung : Pustaka Setia, 1999). hlm. 149
No comments:
Post a Comment