MAKALAH SEJARAH FILSAFAT ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Andalusia
(Spanyol) muncul Bani Umayah II yang beribukota di Cordoba.Tempat tumbuhnya
peradaban Islam serta tempat lahirnya pemikir-pemikir Islam, salah satunya
adalah Ibn Sina. Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, dalam sosok
Ibn Sina banyak hal unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya
unik, tapi juga memperoleh pengharganaan yang semakin tinggi hingga masa
modern. Ia adalah satu-satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun
sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah
mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad. Dengan lahirnya para tokoh
filsafat di Cordoba merupakan bukti kemajuan intelektual Islam yang sangat
tinggi.
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam
banyak hal unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi
juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah
satu-satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat
yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi
filsafat muslim beberapa abad.
Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi
karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis
jiwa yang genius dalam menemukan
metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali
pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan
lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Lahir dan Karyanya Ibn Sina
Nama lenngkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Al-Husain
Ibnu ‘Abd Allah Ibn Hasan Ibnu ‘Ali Ibn Sina. Dibarat populer dengan sebutan
api cenna akibat dari terjadinnya metamerfose
Yahudi – Spanyol – Latin.
Dengan lida spanyol kata Ibnu diucapkan dengan aben
atau epenn. Terjadinya perubahan ini berawal dari usa penerjemahan dari
naska-naska arab ke dalam bahasa latin pada pertengahan abad ke12 di spanyol.
Ibnu Sina dilahirkan di Afsiyana dekat bukhara pada tahun 1980 M dan meninggal
dunia pada tahun 1037 M dalam usia 58 tahun. Jasatnya dikebumikan di Hamadza.[1]
Karangan- karangan ibnu Sina:
1.Asy-Syifa, buku ini adalah buku filsafat yang terpenting yang terbesar dari
Ibnu Sina, dan terdiri empat bagian, yaitu, logika, fisika, matematika, dan
metafisika, (ketuhanan).
2.Al-Najat, latinnya Salus (penyelamat), keringakasan dari al-syifa, dan
pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku al-qonun dalam ilmu kedokteran pada
tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 M di Mesir
3.Al-Isyarah wa al-Tanbihah (isyarat dan peringatan), mengenai logika dan
hikmah.
4.AL-Hikmat al-Masyriqiyyah, buku ini banyak dibicarakan orang, karena tidak
jelasnya maksud juduk buku, dan naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian
logika. Ada yang mengatakan bahwa isi buku tersebut mengenai tasawuf, tetapi
menurut Carlos Nallino, berisi filsafat timur sebagai imbangan dari filsafat
barat.
5. Al-Qanun, atau canon of medicine, menurut penyebutan
orang-orang barat. Buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahsa latin dan
pernah menjadi buku standar untuk Universitas-universitas Eropa sampai akhir
abad ketujuh belas Masehi, dan di india tahun1323 H. risalah-risalah lain yang
banyak jumlahnya dalam lapangan filsafat,etika, logika, dan psikologi.
6.Hidayah al-Rais li al-Amir.
7. Risalah fi alkalam ala al-Nas al-Nathaqiyah, dan
B.
Filasafatnya
1. Al-Taufiq
( rekosiasi) antara agama dan filsafat
Sebagaimana Al-Alfarabi, Ibnu Sina juga mengusahakan
pemaduan (rekonsiasi) antara agama dan filsafat. Menurutnya nabi dan filosof
menerima kebenaran dari sumber yang sama yakni malaikat jibril juga disebut
akal ke sepuluh atau akal aktif perbedaanya hanya terletak pada cara
memperolehnya, bagi nabi terjadinya hubungan dengan maliakat jibril melalui
akal materil yang disebut hads (kekuatan suci, qutsiyyat), sedangkan filosof
melalui akal mustafad. Nabi memperoleh akal materil yang dayanya jauh lebih
kuat dari pada akal mustafad yang dayanya jauh lebih rendah dari pada akal
materil melalui latihan berat. Penegtahuan yang diperoleh nabi disebut wahyau,
berlainan dengan pengetahuan yang diperoleh filosof hanya dalam bentuk ilham
tetapi antara keduanya tidaklah bertentangan.
Ibnu Sina, sebagaimana alfarabi juga meberikan
ketegasan tentang perbedaan antara para nabi dan para filosof.
a. Menurutnya
adalah manusia pilihan Allah dan tidak ada peluang bagi manusia lain untuk
mengusahakan dirinya jadi nabi.
b. Manusia
yang mempunyai intelektual yang tinggi tidak bisa menjadi nabi.
Pembagian manusia yang dimajukan Ibnu Sina menjadi
dua tingkatan awam dan terpelajar, adalah hal yang biasa. Namun, pendapatnya
mendapatkan bahwa kebenaran dalam bentuk wahyu ditunjukan pada tingkatan awam
dan kebenaran dalam bentuk filsafat ditujukan pada tingkatan terpelajar agak
meragukan, tetai apabila yanng dimaksudkan kebenaran dalam bentuk wahyu secara
eksplisif ditujukan pada tinngkatan awam, maka dapat diterima. Namun yang jelas
Ibnu Sina dalam mengharmoniskan antara filasfat dan agama juga menggunakan
takwi.
Dalm pandangan Ibnu Sina para nabi sangat diperlukan
bagi kemaslahatan mannusia dan alam semesta. Hal ini disebabkan para nabi dan
mukzisadnya dapat di benarkan diikuti manusia. Dengan kata lalin, kebenaran
yang disampaikan nabi, seperti adanya hari akhirat dan lain lain, dapat
diterima dan dibenarkan manusia baik secara rasional maupun secra syar’i.[3]
2. Ketuhanan
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya tuhan (Isabat
wujud Allah) dengan dalil wajib al-wujud dan mumkin al-wujud. Argumen ini
mengesankan duplikat al-farabi, yang sepertinnya tidak ada tambahan sama
sekali. Akan tetapi, dalam filsafat wujudnya, bahwa segala yang ada ia bagi pada
tiga tingkatan dipandang memiliki daya kreasi tersendiri:
a. Wajib
Al-wujud, esensi yang tidak dapat tidak mesti mempunyai wujud. Disini esensi
tidak biasa dipisak berwuju, tetapi dari wujud: keduanya adalah sama dan satu.
Esensi ini tidak mulai dari tidak ada, kemudian berwuju, tetapi ia wajib dan
mesti berwuju selama lamaya.
b. Mumkin
Al-wujud oleh, esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak berwujud.
Dengan istilah lain, jika ia diandaikan tidak ada atau diandaikan ada, maka ia
tidaklah mustahil, yakni boleh ada dan boleh tidak ada
c. Mumtani
Al-wujud, esensi yang tidak dapat mempuyai wujud, seperti adanya sekarang ini
juga kosmos lain di samping kosmos yang ada.
Ibn Sina dalam membuktikan adanya Allah tidak perlu
mencari dalil dengan salah satu mahluknya, tetapi cukup dengan dalil adanya
wujud pertama, yakni wajib Al- wujud. Sebagaimana alfrabi ibn Sina juga
berpendapat bahwa ilmu Allah hanya mengetahui universal (kuly) di alam dan ia
tidak mengetahui yg versial.[4]
3. Emanasi
Ibn Sina,
sebagaiman juga Al-Farabi menemui kesulitan dalam menjelaskan bgaimana
terjadinya yang bersifat materi (alam) dari yang esa, jauh dari arti banyak,
jauh dari materi, maha sempurna dan tidak berkehendak apapun (Allah).
Telah disebutkan
bahwa filsafat emanasi ini bukan hasil renungan ibn Sina (juga Al-Farabi),
tetapi berasal dari “ramuan plotinus” yang menyatakan bahwa alam ini terjadi
karena pancaran dari yang Esa ( the one). Kemudian filsafat plotinus yang
beperinsif bahwa “dari yang satu hanya satu yang melimpah,” ini di islamkan
oleh Ibn Sina (juga Al-farbi) bahwa Allah menciptakan alam secara emanasi. Ia
menciptakan alam dari materi yang sudah ada secara pancaran.
Ada pun proses
terjadinya pancaran tersebut ialah ketika Allah wujud (bukan dari tiada sebagi
dari akal) (‘aql) langsung memikirkan (ber-ta’aqqul) terhadap satnya yang
menjadi objek pepikirannya, maka memancarlah akal pertama. Dari akal pertama
ini memancarlah akal kedua, demikianlah seterusnya sampai ke akal ke sepuluh.
Emanasi ibn juga
menghasilkan sepuluh akal dan sembilan planet. Sembilan akal mengurusi sembilan
planet dan akal kesepuluh mengurusi bumi. Sebagai Al-farabi, Ibn sina juga
memajukan emanasi untuk mentauhitkan Allah semutlak-mutlaknya. Oleh karena itu
Allah tidak bisa menciptakan alam yang banyak jumlah unsurnya ini secara
langsung[5]
4. Jiwa
Harus diakui
bahwa keistimewaan Ibn Sina terletak pada filsafat jiwa. Kata jiwa dalm
Al-Quran dan hadis diistialhkan dengan al- nafs dan al- ruh sebagaimana terekam
dalam surat Shad: 71-72, al- Isra: 85, al-fajr 27-30. Jiwa manusia,sebagai jiwa-jiwa lain dan segala
apa yang terdapat dibawah rembulan, memancarkan dari akal sepuluh. Secara garis
besarnya pembahasan Ibn Sina tentang jiwa terbagi menjadi dua bagian berikut:
a. Fisika,
membicarakan tentang jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan manusia.
b. Metafisika
membicarakan tentang hal-hal berikut:
1. Wujud
jiwa
2. Hakikat
jiwa
3. Hubungan
jiwa dengan jasad
4. Kekalan
jiwa.[6]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada
dasarnya semua tokoh filsafat/pemikir islam sangat memperhatikan akidah
ketauhidan termasuk juga ibn Sina. Dari hasil filsafat mereka bahwa tujuan dari
berfilsafat mereka adalah untuk mengesakan tuhan. Sehingga salah apabila
dikatakan ibn Sina itu kafir seperti tudingan al-Gazali dan ini sudah dijawab
oleh ibn Rusyd.Menurut Ibn Sina Allah adalah wâjib al-wujûd, Allah ada tanpa
diawali dari ketiadaan, Dengan demikian, dalam menetapkan Yang Pertama (Allah)
kita tidak memerlukan perenungan selain terhadap wujud itu sendiri, tanpa
memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan salah satu makhluk-Nya. Dalam hal
keNabian, Ibn Sina mengatakan bahwa Nabi adalah manusia biasa yang mempunyai
akal perolehan sehingga mampu berkomunikasi dengan akal aktif (Jibril)
sedangkan filosof tidak mampu kederajat itu. Nabi dapat menerima wahyu
sedangkah ilham diberikan kepada filosof. Dalam filsafat emanasi, menurut
Ibn Sina, Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan pancaran, ketika Allah wujud
(bukan dari tiada) sebagai Akal (‘aql) langsung memikirkan (ber-ta’aqqul)
terhadap zat-Nya, maka mumancarlah Akal Pertama, dari akal pertama memancarlah
Akal Kedua, Jiwa Pertama, dan Langit Pertama dan seterusnya sampai akal
kesepuluh menghasilkan bumi, roh, materi pertama sebagai dasar bagi keempat
unsur pokok: air, udara, api, dan tanah. Jiwa manusia akan kekal dalam bentuk
individual, yang akan menerima pembalasan (bahagia dan celaka) di akhirat. Akan
tetapi, kekalnya dikekalkan Allah (al-khulûd). Jadi, jiwa adalah baharu
(al-hudûs) karena diciptakan (punya akal) dan kekal (tidak punya akhir).
DAFTAR
PUSTAKA
Zar
Sirajudin ,2014, Filsafat Islam, Jakarta:PT RajaGrapindo
Inati Shams, 2003, Ibnu Sina, Dalam
Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam. Bandung,mizan
[1]
Sirajudin Zar, Filsafat Islam, Jakarta:PT RajaGrapindo, 2014, hlm 93
[2] Shams
Inati,Ibnu Sina, Dalam Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam.
Bandung,mizan,2003, hlm 289
[3]
Sirajudin Zar, Filsafat Islam, Jakarta:PT RajaGrapindo, 2014, hlm 96-97
[4]
Sirajudin Zar, Filsafat Islam, Jakarta:PT RajaGrapindo, 2014, hlm 97-98
[5]
Sirajudin Zar, Filsafat Islam, Jakarta:PT RajaGrapindo, 2014, hlm
101-102
[6]
Sirajudin Zar, Filsafat Islam, Jakarta:pt RajaGrapindo, 2014, hlm
105-113
No comments:
Post a Comment