1

loading...

Thursday, May 9, 2019

MAKALAH PENCABUTAN KEMBALI HARTA WAKAF


MAKALAH PENCABUTAN KEMBALI HARTA WAKAF
BAB I
PENDAHULUAN
   A.  Latar Belakang Masalah
Wakaf merupakan suatu perbuatan sunnah untuk tujuan kebaikan, seperti membantu pembangunan sektor keagamaan baik pembangunan di bidang material maupun spiritual. Sebagaimana halnya zakat, wakaf merupakan income dana umat Islam yang sangat potensial bila dikembangkan. Sebagaimana tersirat dalam Undang-undang Republik Indonesia no 41 tentang wakaf pasal 5; “Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum” Amalan wakaf termasuk amalan yang sangat besar pahalanya menurut ajaran Islam. Hampir seluruh amalan akan terhenti atau terputus pahalanya bila orang itu telah meninggal dunia. Sedang amal wakaf akan tetap mengalir pahalanya meskipun orang yang telah mewakafkan telah meninggal dunia.
Bahwasannya menurut Imam Syafi’i dan Imam Hambali, harta wakaf tidak boleh diminta kembali oleh wāqif dan ahli warisnya, karena menurut mereka wakaf berarti menahan harta dari milik wāqif sehingga wāqif sudah tidak mempunyai hak atas harta wakaf tersebut. Menurut Imam Malik harta wakaf masih menjadi milik wāqif namun tidak diperbolehkan mentransaksikannya atau men-tasharruf-kannya, baik dengan menjualnya, mewariskannya atau menghibahkannya selama harta itu diwakafkan. Sedangkan Imam Hanafi memperbolehkan harta wakaf untuk dijual, diwariskan atau dihibahkan karena menurut Imam Hanafi wakaf itu seperti pinjam-meminjam jadi kekuasaan atas harta itu masih milik si wāqif, sekalipun tidak dinyatakan bahwa wakaf tersebut untuk dirinya sendiri. Sehingga wāqif atau ahli warisnya boleh mengambil kembali harta wakaf itu sewaktu-waktu ketika ia menghendakinya.

B.  Rumusan Masalah
1.    Apa Definisi Pencabutan Kembali Harta Waqaf ?
2.    Bagaimana Pencabutan Kembali Harta Wakaf Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf ?
3.    Bagaimana?

C.  Tujuan
1.    Untuk Mengetahui Definisi Pencabutan Kembali Harta Waqaf
2.    Untuk Mengetahui Pencabutan Kembali Harta Wakaf Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
3.    Untuk Mengetahui Pencabutan Kembali Harta Wakaf Menurut Ulama Mazhab.

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Definisi Pencabutan Kembali Harta Waqaf
Seseorang yang telah mewakafkan sudah tidak memiliki harta tersebut. Oleh karena itu, harta yang telah sah ditetapkan sebagai wakaf tidak boleh diambil kembali. Bahkan, harta tersebut tidak boleh pula diambil kembali oleh yang mewakafkannya meskipun dengan mengganti uang seharga tanah tersebut.
Kajian mengenai wakaf jarang sekali dibahas secara terperinci sehingga masih jarang ditemukan kajian tentang diperbolehkannya penarikan kembali harta wakaf oleh pihak Wāqif, mengingat Imam Syafi’i dan Imam Hambali melarang adanya penarikan kembali harta wakaf oleh wāqif dan Imam maliki tidak mengenal penarikan kembali harta wakaf kar Untuk lebih mendalami kajian masalah wakaf khususnya tentang penarikan kembali harta wakaf yang pada umumnya masyarakat Indonesia memandangnya dilarang karena mayoritas umat Islam di Indonesia bermazhab Syafi’i karena menurut beliau wakaf tidak untuk selamanya.[1]
B.  Pencabutan Kembali Harta Wakaf Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Undang – undang no 41 tahun 2004 dan Peraturan pemerintah no 42 tahun 2006 tidak mengantur secara detail (jelas) tentang penarikan kembali harta benda yang sudah diwakafkan. meskipun demikian, pada pasal 40 Undang – Undang no 41 Tahun 2004 disebutkan, harta benda yang sudah diwakafkan dilarang:
  • Dijadikan jaminan
  • Disita
  • Dihibahkan
  •  Dijual
  • Diwariskan
  •  Ditukar
  • Dialihkan dalam bentuk pengalihan

Kemudian dalam pasal 49 peraturan pemerintah no 42 tahun 2006, disebutkan : 128 Ayat 1: Perubahan status harta benda wakaf dalam bentuk penukaran dilarang kecuali dengan izin tertulis dari materi berdasarkan pertimbangan BWI.
Ayat 2 : Izin tertulis dari menteri sebagaimana dimaksud pada pasal (1) hanya dapat diberikan dengan pertimbangan sebagai berikut :
a.     Perubahan harta benda yang wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan umum sesuai rencana umum tata ruang ( RUTR ) berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
b.    Harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan ikrar wakaf.
c.     Pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak.[2]
Ayat 3 : selain itu dari pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Izin penukaran harta benda wakaf hanya dapat diberikan wakaf :
a.     Harta benda penukar memiliki sertifikat atau kepemilikan sah dengan perundang  – undangan
b.    Nilai dengan manfaat harta benda penukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.
Ayat 4 : nilai dan manfaat harta benda penukar sebagaimana dimaksud dengan ayat 3 ( huruf b ) ditetapkan oleh bupati atau walikota berdasarkan rekomendasi tim penilai yang anggotanya terdiri dari unsur :
1.    Pemerintah daerah kabupaten atau kota
2.    Kantor pertanahan kabupaten atau kota
3.    Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) kabupaten atau kota
4.    Kantor Departemen Agama kabupaten atau kota
5.    Nazir tanah wakaf yang bersangkutan.[3]
Harta benda yang sudah diwakafkan boleh ditukar, namun persyaratan agar dapat ditukar sangat ketat sebagaimana diatur dalam pasal 49 Pp No 42 Tahun 2006. Dengan mengacu pada pasal diatas, maka penarikan kembali harta wakaf menurut UU No 41 Tahun 2004 adalah dilarang. Meskipun tidak ada ayat langsung yang menegaskan bahwa penarikan harta wakaf dilarang.
Hal ini dapat di analogis kalau dijadikan jaminan, disita dilarang. Maka untuk melakukan tindakan yang lebih dari itu seperti menarik kembali harta yang diwakafkan sudah jelas dilarang Apabila mengacu pada pasal 1 angka (1 ) Uu No 42 Tahun 2004 yang menyebutkan :
“Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagai harta benda yang milikinya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum.”[4]

C.  Pencabutan Kembali Harta Wakaf Menurut Ulama Mazhab
Para ulama mazhab dan pengikutnya mempunyai perbedaan pendapat mengenai pemahaman terhadap wakaf, yaitu apakah harta wakaf yang telah diberikan si Wāqif masih menjadi miliknya atau berpindah seketika saat ia menyerahkan kepada mauqūf ‘alaih (penerima wakaf). Lalu berikut pendapat para ulama Mazhab tentang Penarikan harta Wakaf, yaitu:
a.    Imam Malik
Imam Malik berpendapat bahwa harta yang diwakafkan tetap menjadi milik orang yang mewakafkan, artinya harta wakaf itu tidak keluar dari Wāqif, tetapi walaupun harta itu (mauquf) tidak lepas dari Wāqif, harta itu tidak boleh di-tasyaruf-kan atau ditransaksikan oleh Wāqif.  Wāqif dilarang menjual, menghibahkan dan mewariskan harta wakafnya. Wakaf boleh untuk waktu tertentu sesuai yang dikehendaki oleh Wāqif. Boleh untuk selama-lamanya dan boleh untuk lima tahun misalnya, sesuai yang ditentukan oleh Wāqif. Kalau Wāqif tidak menentukan waktunya maka wakaf berlaku untuk selama-lamanya.
Karena menurut Imam Maliki bahwa harta wakaf itu tidak keluar dari Wāqif dan boleh untuk waktu tertentu saja, maka apabila waktu yang ditentukan oleh Wāqif sudah habis, si Wāqif boleh mengambil kembali hartanya. Alasan yang digunakan dalam pendapatnya ialah pengertian dari hadits Umar bin Khattab bahwa yang disedekahkan dalam wakaf itu hanyalah manfaat dari harta wakaf itu, sedangkan alasannya yang ditahan, yang dimaksud dengan menahan asalnya ialah menahan benda itu dari memindahkan milik yang dilakukan dengan tidak menjualnya, tidak menghibahkan dan tidak mewariskannya. Sedangkan wakaf boleh dalam waktu tertentu, karena tidak ada dalil yang mengharuskan wakaf untuk selamanya.

b.    Imam Syafi’i
Imam Syafi’i berpendapat bahwa kepastian adanya wakaf ditunjukkan oleh adanya sighat (pernyataan) dari Wāqif dan terpenuhinya rukun-rukun dan syarat-syarat wakaf. Menurut beliau harta yang diwakafkan bukan lagi menjadi milik orang yang mewakafkan (Wāqif) melainkan menjadi milik Allah. Imam Syafi’i berpendapat bahwa kalau seseorang mewakafkan hartanya, berarti menahan harta untuk selama-lamanya. Karena itu dia tidak membenarkan membatasi waktu wakaf seperti pendapat Imam Malik. Oleh karena itu pula harta wakaf harus harta yang mempunyai manfaat yang lama, bukan yang lekas rusak atau habis seketika setelah dipergunakan.
Alasan yang dipegang oleh Syafi’i ialah hadits yang diriwayatkan dari Umar Ibn Khattab tentang tanahnya di Khaibar, yaitu sabda Nabi: “Kalau kau mau, kau tahan harta asalnya, dan kau shadaqahkan hasilnya, maka Umar pun menshadaqahkan dengan tidak menjualnya, tidak menghibahkannya dan mewariskannya. Tidak boleh harta wakaf itu ditransaksikan lagi, dan mewakafkan itu untuk selamalamanya, tidak boleh ditarik kembali.” Alasan lain yang dikemukakan Syafi’i ialah bahwa wakaf adalah termasuk ‘aqad tabarru’, yaitu memindahkan hak milik dari pemilik pertama kepada yang lain tanpa penggantian, pembayaran atau penukaran. Oleh karena itu apabila wakafnya sudah sah maka terjadilah kepastian adanya wakaf. Dan Wāqif tidak dapat menarik kembali wakafnya dan tidak lagi mempunyai kekuasaan bertindak untuk mentransaksikannya.

c.   Imam Hambali
Ahmad berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti : perlakuan pemilik dengan cara pemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukaran atau tidak. Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak  dapat diwarisi oleh ahli warisnya.
Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf’alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut . Apabila wakif melarangnya, maka Qadli berhak memaksanya agar memberikannya kepada mauquf’alaih. Karena itu mazhab Syafi’i mendefinisikan wakaf adalah : “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial)”.

d.   Imam Abu Hanifah
Menurut pendapat Abu Hanifah, harta yang telah diwakafkan tetap berada pada kekuasaan Wāqif dan boleh ditarik kembali oleh si Wāqif. Harta itu tidak berpindah hak milik, hanya manfaatnya saja yang digunakan untuk tujuan wakaf. Dalam hal ini Imam Abu Hanifah memberikan pengecualian pada tiga hal, yakni wakaf masjid, wakaf yang ditentukan oleh keputusan pengadilan dan wakaf wasiat. Selain tiga hal yang tersebut, yang dilepaskan hanya manfaatnya saja bukan benda itu secara utuh.[5]


BAB III
PENUTUP
  A.  Kesimpulan
Wakaf merupakan suatu perbuatan sunnah untuk tujuan kebaikan, seperti membantu pembangunan sektor keagamaan baik pembangunan di bidang material maupun spiritual. Sebagaimana halnya zakat, wakaf merupakan income dana umat Islam yang sangat potensial bila dikembangkan.     
Undang – undang no 41 tahun 2004 dan Peraturan pemerintah no 42 tahun 2006 tidak mengantur secara detail (jelas) tentang penarikan kembali harta benda yang sudah diwakafkan. meskipun demikian.
Pendapat para Ulama Mazhab yaitu:
1.    Imam Malik berpendapat bahwa harta yang diwakafkan tetap menjadi milik orang yang mewakafkan, artinya harta wakaf itu tidak keluar dari Wāqif, tetapi walaupun harta itu (mauquf) tidak lepas dari Wāqif, harta itu tidak boleh di-tasyaruf-kan atau ditransaksikan oleh Wāqif. Wāqif dilarang menjual, menghibahkan dan mewariskan harta wakafnya
2.     Imam Syafi’i berpendapat bahwa kepastian adanya wakaf ditunjukkan oleh adanya sighat (pernyataan) dari Wāqif dan terpenuhinya rukun-rukun dan syarat-syarat wakaf.
3.    Imam Hambali  berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan.
4.    Imam Abu Hanifah Menurut pendapat Abu Hanifah, harta yang telah diwakafkan tetap berada pada kekuasaan Wāqif dan boleh ditarik kembali oleh si Wāqif.

  B.  Kritik dan Saran

Dalam penulisan makalah mengenai Pencabutan atau penarikan kembali  harta wakaf, apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam penulisan, mohon kritik dan sarannya, dan diharapkan makalah ini berguna dan menambah ilmu bagi pembacanya. Dan diharapkan bagi pembaca supaya dapat memahami makalah ini dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Mugniyah, Muhammad jawad. 2004. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: PT Lentera Basritama.
Praja, Juhaya  S. 1997. Perwakafan Di Indonesia . Bandung: Yayasan Piara.
Rachmadi, Usman. 2009. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Syah, Ismail Muhammad. 1992.  Filsafat Hukum Islam . Jakarta: Bumi Aksara.
Undang-undang Republik Indonesia no 1. 2007. tentang perkawinan dan kompilasi hukum Islam. Bandung: Citra Umbara.


[1] Juhaya S. Praja. Perwakafan Di Indonesia (Bandung: Yayasan Piara) 1997, hlm. 18
[2] Usman Rachmadi. Hukum Perwakafan di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika) 2009, hlm. 52

[3] Ismail Muhammad Syah. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara) 1992, hlm. 248
[4] Undang-undang Republik Indonesia no 1 tentang perkawinan dan kompilasi hukum Islam,                    Bandung: Citra Umbara, 2007, hlm. 186.

[5] Muhammad jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: PT Lentera Basritama, 2004, hlm. 660.


No comments:

Post a Comment