MAKALAH PENCABUTAN KEMBALI HARTA WAKAF
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Wakaf
merupakan suatu perbuatan sunnah untuk tujuan kebaikan, seperti membantu
pembangunan sektor keagamaan baik pembangunan di bidang material maupun
spiritual. Sebagaimana halnya zakat, wakaf merupakan income dana umat Islam
yang sangat potensial bila dikembangkan. Sebagaimana tersirat dalam
Undang-undang Republik Indonesia no 41 tentang wakaf pasal 5; “Wakaf berfungsi
mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan
ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum” Amalan wakaf termasuk amalan
yang sangat besar pahalanya menurut ajaran Islam. Hampir seluruh amalan akan
terhenti atau terputus pahalanya bila orang itu telah meninggal dunia. Sedang
amal wakaf akan tetap mengalir pahalanya meskipun orang yang telah mewakafkan
telah meninggal dunia.
Bahwasannya
menurut Imam Syafi’i dan Imam Hambali, harta wakaf tidak boleh diminta kembali
oleh wāqif dan ahli warisnya, karena menurut mereka wakaf berarti menahan harta
dari milik wāqif sehingga wāqif sudah tidak mempunyai hak atas harta wakaf
tersebut. Menurut Imam Malik harta wakaf masih menjadi milik wāqif namun tidak
diperbolehkan mentransaksikannya atau men-tasharruf-kannya, baik dengan
menjualnya, mewariskannya atau menghibahkannya selama harta itu diwakafkan. Sedangkan
Imam Hanafi memperbolehkan harta wakaf untuk dijual, diwariskan atau dihibahkan
karena menurut Imam Hanafi wakaf itu seperti pinjam-meminjam jadi kekuasaan
atas harta itu masih milik si wāqif, sekalipun tidak dinyatakan bahwa wakaf tersebut
untuk dirinya sendiri. Sehingga wāqif atau ahli warisnya boleh mengambil
kembali harta wakaf itu sewaktu-waktu ketika ia menghendakinya.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa Definisi
Pencabutan Kembali Harta Waqaf ?
2.
Bagaimana Pencabutan
Kembali Harta Wakaf Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf ?
3.
Bagaimana?
C. Tujuan
1. Untuk
Mengetahui Definisi Pencabutan Kembali Harta Waqaf
2. Untuk
Mengetahui Pencabutan Kembali Harta Wakaf Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 Tentang Wakaf.
3. Untuk
Mengetahui Pencabutan Kembali Harta Wakaf Menurut Ulama Mazhab.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Pencabutan
Kembali Harta Waqaf
Seseorang yang telah mewakafkan sudah tidak memiliki harta
tersebut. Oleh karena itu, harta yang telah sah ditetapkan sebagai wakaf tidak
boleh diambil kembali. Bahkan, harta tersebut tidak boleh pula diambil kembali
oleh yang mewakafkannya meskipun dengan mengganti uang seharga tanah tersebut.
Kajian
mengenai wakaf jarang sekali dibahas secara terperinci sehingga masih jarang
ditemukan kajian tentang diperbolehkannya penarikan kembali harta wakaf oleh
pihak Wāqif, mengingat Imam Syafi’i dan Imam Hambali melarang adanya penarikan
kembali harta wakaf oleh wāqif dan Imam maliki tidak mengenal penarikan kembali
harta wakaf kar Untuk lebih mendalami kajian masalah wakaf khususnya tentang
penarikan kembali harta wakaf yang pada umumnya masyarakat Indonesia
memandangnya dilarang karena mayoritas umat Islam di Indonesia bermazhab
Syafi’i karena menurut beliau wakaf tidak untuk selamanya.[1]
B. Pencabutan Kembali
Harta Wakaf Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Undang
– undang no 41 tahun 2004 dan Peraturan pemerintah no 42 tahun 2006 tidak
mengantur secara detail (jelas) tentang penarikan kembali harta benda yang
sudah diwakafkan. meskipun demikian, pada pasal 40 Undang – Undang no 41 Tahun
2004 disebutkan, harta benda yang sudah diwakafkan dilarang:
- Dijadikan jaminan
- Disita
- Dihibahkan
- Dijual
- Diwariskan
- Ditukar
- Dialihkan dalam bentuk pengalihan
Kemudian
dalam pasal 49 peraturan pemerintah no 42 tahun 2006, disebutkan : 128 Ayat 1:
Perubahan status harta benda wakaf dalam bentuk penukaran dilarang kecuali
dengan izin tertulis dari materi berdasarkan pertimbangan BWI.
Ayat
2 : Izin tertulis dari menteri sebagaimana dimaksud pada pasal (1) hanya dapat
diberikan dengan pertimbangan sebagai berikut :
a. Perubahan
harta benda yang wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan umum sesuai rencana
umum tata ruang ( RUTR ) berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan
dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
b. Harta
benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan ikrar wakaf.
c. Pertukaran
dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak.[2]
Ayat
3 : selain itu dari pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Izin
penukaran harta benda wakaf hanya dapat diberikan wakaf :
a. Harta
benda penukar memiliki sertifikat atau kepemilikan sah dengan perundang – undangan
b. Nilai
dengan manfaat harta benda penukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda
wakaf semula.
Ayat
4 : nilai dan manfaat harta benda penukar sebagaimana dimaksud dengan ayat 3 (
huruf b ) ditetapkan oleh bupati atau walikota berdasarkan rekomendasi tim
penilai yang anggotanya terdiri dari unsur :
1. Pemerintah
daerah kabupaten atau kota
2. Kantor
pertanahan kabupaten atau kota
3. Majelis
Ulama Indonesia ( MUI ) kabupaten atau kota
4. Kantor
Departemen Agama kabupaten atau kota
5. Nazir
tanah wakaf yang bersangkutan.[3]
Harta
benda yang sudah diwakafkan boleh ditukar, namun persyaratan agar dapat ditukar
sangat ketat sebagaimana diatur dalam pasal 49 Pp No 42 Tahun 2006. Dengan
mengacu pada pasal diatas, maka penarikan kembali harta wakaf menurut UU No 41
Tahun 2004 adalah dilarang. Meskipun tidak ada ayat langsung yang menegaskan
bahwa penarikan harta wakaf dilarang.
Hal
ini dapat di analogis kalau dijadikan jaminan, disita dilarang. Maka untuk
melakukan tindakan yang lebih dari itu seperti menarik kembali harta yang
diwakafkan sudah jelas dilarang Apabila mengacu pada pasal 1 angka (1 ) Uu No
42 Tahun 2004 yang menyebutkan :
“Wakaf adalah perbuatan
hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagai harta benda yang
milikinya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum.”[4]
C. Pencabutan Kembali
Harta Wakaf Menurut Ulama Mazhab
Para
ulama mazhab dan pengikutnya mempunyai perbedaan pendapat mengenai pemahaman
terhadap wakaf, yaitu apakah harta wakaf yang telah diberikan si Wāqif masih
menjadi miliknya atau berpindah seketika saat ia menyerahkan kepada mauqūf
‘alaih (penerima wakaf). Lalu berikut pendapat para ulama Mazhab tentang
Penarikan harta Wakaf, yaitu:
a. Imam
Malik
Imam
Malik berpendapat bahwa harta yang diwakafkan tetap menjadi milik orang yang
mewakafkan, artinya harta wakaf itu tidak keluar dari Wāqif, tetapi walaupun
harta itu (mauquf) tidak lepas dari Wāqif, harta itu tidak boleh
di-tasyaruf-kan atau ditransaksikan oleh Wāqif. Wāqif dilarang menjual, menghibahkan dan
mewariskan harta wakafnya. Wakaf boleh untuk waktu tertentu sesuai yang
dikehendaki oleh Wāqif. Boleh untuk selama-lamanya dan boleh untuk lima tahun
misalnya, sesuai yang ditentukan oleh Wāqif. Kalau Wāqif tidak menentukan
waktunya maka wakaf berlaku untuk selama-lamanya.
Karena
menurut Imam Maliki bahwa harta wakaf itu tidak keluar dari Wāqif dan boleh untuk
waktu tertentu saja, maka apabila waktu yang ditentukan oleh Wāqif sudah habis,
si Wāqif boleh mengambil kembali hartanya. Alasan yang digunakan dalam
pendapatnya ialah pengertian dari hadits Umar bin Khattab bahwa yang
disedekahkan dalam wakaf itu hanyalah manfaat dari harta wakaf itu, sedangkan
alasannya yang ditahan, yang dimaksud dengan menahan asalnya ialah menahan
benda itu dari memindahkan milik yang dilakukan dengan tidak menjualnya, tidak
menghibahkan dan tidak mewariskannya. Sedangkan wakaf boleh dalam waktu
tertentu, karena tidak ada dalil yang mengharuskan wakaf untuk selamanya.
b. Imam
Syafi’i
Imam
Syafi’i berpendapat bahwa kepastian adanya wakaf ditunjukkan oleh adanya sighat
(pernyataan) dari Wāqif dan terpenuhinya rukun-rukun dan syarat-syarat wakaf.
Menurut beliau harta yang diwakafkan bukan lagi menjadi milik orang yang
mewakafkan (Wāqif) melainkan menjadi milik Allah. Imam Syafi’i berpendapat
bahwa kalau seseorang mewakafkan hartanya, berarti menahan harta untuk
selama-lamanya. Karena itu dia tidak membenarkan membatasi waktu wakaf seperti
pendapat Imam Malik. Oleh karena itu pula harta wakaf harus harta yang
mempunyai manfaat yang lama, bukan yang lekas rusak atau habis seketika setelah
dipergunakan.
Alasan
yang dipegang oleh Syafi’i ialah hadits yang diriwayatkan dari Umar Ibn Khattab
tentang tanahnya di Khaibar, yaitu sabda Nabi: “Kalau kau mau, kau tahan harta
asalnya, dan kau shadaqahkan hasilnya, maka Umar pun menshadaqahkan dengan
tidak menjualnya, tidak menghibahkannya dan mewariskannya. Tidak boleh harta
wakaf itu ditransaksikan lagi, dan mewakafkan itu untuk selamalamanya, tidak
boleh ditarik kembali.” Alasan lain yang dikemukakan Syafi’i ialah bahwa wakaf
adalah termasuk ‘aqad tabarru’, yaitu memindahkan hak milik dari pemilik pertama
kepada yang lain tanpa penggantian, pembayaran atau penukaran. Oleh karena itu
apabila wakafnya sudah sah maka terjadilah kepastian adanya wakaf. Dan Wāqif
tidak dapat menarik kembali wakafnya dan tidak lagi mempunyai kekuasaan
bertindak untuk mentransaksikannya.
c. Imam Hambali
Ahmad
berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari
kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh
melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti : perlakuan pemilik
dengan cara pemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukaran atau tidak. Jika
wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh
ahli warisnya.
Wakif
menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf’alaih (yang diberi
wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang
penyaluran sumbangannya tersebut . Apabila wakif melarangnya, maka Qadli berhak
memaksanya agar memberikannya kepada mauquf’alaih. Karena itu mazhab Syafi’i
mendefinisikan wakaf adalah : “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda,
yang berstatus sebagai milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada
suatu kebajikan (sosial)”.
d. Imam
Abu Hanifah
Menurut pendapat
Abu Hanifah, harta yang telah diwakafkan tetap berada pada kekuasaan Wāqif dan
boleh ditarik kembali oleh si Wāqif. Harta itu tidak berpindah hak milik, hanya
manfaatnya saja yang digunakan untuk tujuan wakaf. Dalam hal ini Imam Abu
Hanifah memberikan pengecualian pada tiga hal, yakni wakaf masjid, wakaf yang
ditentukan oleh keputusan pengadilan dan wakaf wasiat. Selain tiga hal yang
tersebut, yang dilepaskan hanya manfaatnya saja bukan benda itu secara utuh.[5]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Wakaf merupakan
suatu perbuatan sunnah untuk tujuan kebaikan, seperti membantu pembangunan
sektor keagamaan baik pembangunan di bidang material maupun spiritual.
Sebagaimana halnya zakat, wakaf merupakan income dana umat Islam yang sangat
potensial bila dikembangkan.
Undang – undang
no 41 tahun 2004 dan Peraturan pemerintah no 42 tahun 2006 tidak mengantur
secara detail (jelas) tentang penarikan kembali harta benda yang sudah
diwakafkan. meskipun demikian.
Pendapat
para Ulama Mazhab yaitu:
1. Imam
Malik berpendapat bahwa harta yang diwakafkan tetap menjadi milik orang yang
mewakafkan, artinya harta wakaf itu tidak keluar dari Wāqif, tetapi walaupun
harta itu (mauquf) tidak lepas dari Wāqif, harta itu tidak boleh
di-tasyaruf-kan atau ditransaksikan oleh Wāqif. Wāqif dilarang menjual,
menghibahkan dan mewariskan harta wakafnya
2. Imam Syafi’i berpendapat bahwa kepastian
adanya wakaf ditunjukkan oleh adanya sighat (pernyataan) dari Wāqif dan
terpenuhinya rukun-rukun dan syarat-syarat wakaf.
3. Imam Hambali
berpendapat bahwa wakaf adalah
melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna
prosedur perwakafan.
4. Imam
Abu Hanifah Menurut pendapat Abu Hanifah, harta yang telah diwakafkan tetap
berada pada kekuasaan Wāqif dan boleh ditarik kembali oleh si Wāqif.
B. Kritik dan Saran
Dalam penulisan makalah
mengenai Pencabutan atau penarikan kembali
harta wakaf, apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam penulisan,
mohon kritik dan sarannya, dan diharapkan makalah ini berguna dan menambah ilmu
bagi pembacanya. Dan diharapkan bagi pembaca supaya dapat memahami makalah ini
dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Mugniyah, Muhammad jawad. 2004. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: PT Lentera
Basritama.
Praja, Juhaya S. 1997. Perwakafan
Di Indonesia . Bandung: Yayasan Piara.
Rachmadi, Usman. 2009. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika.
Syah, Ismail Muhammad. 1992. Filsafat
Hukum Islam . Jakarta: Bumi Aksara.
Undang-undang Republik Indonesia no 1. 2007. tentang perkawinan dan kompilasi hukum Islam.
Bandung: Citra Umbara.
[2]
Usman
Rachmadi. Hukum Perwakafan di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika) 2009, hlm. 52
[4]
Undang-undang Republik
Indonesia no 1 tentang perkawinan dan kompilasi hukum Islam, Bandung: Citra
Umbara, 2007, hlm. 186.
No comments:
Post a Comment