1

loading...

Monday, December 2, 2019

MAKALAH PERADILAN AGAMA DI INDONESIA


MAKALAH
PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
A.        Latar Belakang

Indonesia telah menubuhkan sebuah negara yang berdasarkan pada kedaulatan hukum.Oleh karena itu, supermasi hukum menjadi dari tujuan segala elemen di dalam pemerintahan dan rakyat itu sendiri. Oleh karena melihat kenyataan Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sebuah negara yang terbentuk dari berbagai agama, ras, bahasa, dan budaya; maka tuntutan hukum yang digunakan di dalam Peradilan Agama di Indonesia juga ditentukan.
Dalam hal ini, jenis-jenis perkara yang dikuasai oleh sebuah badan peradilan juga ditentukan. Maka setiap pengadilan yang ada di indonesia, telah ditentukan dalam hal apa saja dan di mana proses peradilan itu patut untuk dilaksanakan. Sudah tentunya, Peradilan Agama yang berada di Indonesia memiliki ciri-ciri yang sama. Ini dikarenakan kesemua peradilan yang ada di Indonesia ini berada di bawah naungan/kekuasaan Mahkamah Agung.
Peradilan Agama pada awalnya diatur dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang tersebar di berbagai peraturan. Kemudian baru pada tahun 1989 Peradilan Agama diatur dalam satu peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dan telah dirubah sebanyak dua kali.Dengan adanya perubahan tersebut Peradilan Agama mengalami pula perubahan tentang kekuasaan atau kewenangan mengadili di pengadilan pada lingkungan Peradilan Agama.

BAB II
PEMBAHASAN

      B.    KEKUASAAN MUTLAK PERADILAN AGAMA
      1.      Pengertian Kekuasaan Mutlak Peradilan
Kata ‘kekuasaan’ sering disebut ‘kompetensi’ yang berasal dari bahasa Belanda ‘competentie’, yang kadang-kadang diterjemahkan dengan ‘kewenangan’ dan kadang dengan ‘kekuasaan’. Kekuasaan atau kewenangan peradilan ini kaitannya adalah dengan hukum acara.
Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan peradilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkat Pengadilan,dlam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkat Pengadilan lainnya. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.

       2.      Kekuasaan Mutlak Peradilan Agama
Di lingkungan Peradilan Agama terdapat dua tingkat Pengadilan, yaitu Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai Pengadilan Tingkat Banding.
Pengaadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama, baerwenang mengadili perkara perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah serta wakaf dan shadaqah.Sedangkan Pengadilan Tinggi Agama berwenang mengadili perkara tersebut untuk tingkat banding atau tingkat kasasi.
       3.      Cakupan Kekuasaan Badan-Badan Peradilan Agama
Pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
Peradilan  Agama  merupakan  salah  satu  pelaksana  kekuasaan  kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini.

Dari pasal tersebut ditentukan bahwa Peradilan Agama ditentukan untuk rakyat pencari keadilan yang beragama Islam.Ini sesuai dengan asas Personalitas KeIslaman. Dan perkara-perkara yang menjadi cakupan kekuasaan Peradilan Agama adalah sesuai pasal 49 UU No. 7 Th. 89:
(1)   Pengadilan  Agama  bertugas  dan  berwenang  memeriksa,  memutus,  dan
menyelesaikan  perkara-perkara  di  tingkat  pertama  antara  orang-orang  yang beragama Islam di bidang:
a.       perkawinan;
b.      kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
c.       wakaf dan shadaqah.
(2) Bidang  perkawinan  sebagaimana  yang  dimaksud  dalam  ayat  (1)  huruf  a  ialah hal-hal  yang  diatur  dalam  atau  berdasarkan  undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.
(3) Bidang  kewarisan  sebagaimana  yang  dimaksud  dalam  ayat  (1)  huruf  b  ialah penentuan  siapa-siapa  yang  menjadi  ahli  waris,  penentuan  mengenai  harta peninggalan,  penentuan  bagian  masing-masing  ahli  waris,  dan  melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.

       a.       Bidang Perkawinan
Yang menjadi kekuasaan mutlak Pengadilan Agama adalah perkara perkawinan sebagaimana diatur UU No. 1 Th. 74 dan PP No. 9 Th. 75. Perkara-perkara perkawinan dimaksud adalah:
      1)      izin beristri lebih dari seorang;
     2)      izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
      3)      dispensasi kawin;
     4)      pencegahan perkawinan;
     5)      penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
    6)      pembatalan perkawinan;
    7)      gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;
    8)      perceraian karena talak;
    9)      gugatan perceraian;
    10)  penyelesian harta bersama;
    11)  penguasaan anak-anak;
   12)  ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bilamana bapak yang seharusnya bertangung jawab tidak memenuhinya; 
    13)  penentuan kewajiban memberi biaya peng-hidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
    14)  putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
     15)  putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
    16)  pencabutan kekuasaan wali;
    17)  penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
    18)  menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukkan wali oleh orang tuanya;
    19)  pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
    20)  penetapan asal usul seorang anak;
   21)  putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
   22)  pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.[7]
Dalam Kompilasi Hukum Islam juga ada pasal-pasal memberikan kewenangan Peradilan Agama untuk memeriksa perkara perkawinan, yaitu:
   23)  Penetapan Wali Adlal;
   24)  Perselisihan penggantian mahar yang hilang sebelum diserahkan

     b.      Bidang Kewarisan, Wasiat, Hibah
    1)      “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris. Pada permasalahan waris ini umat Islam diberi hak opsi atau diberi kebebasan untuk memilih Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri.
   2)      “wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia. Kewenangan Peradilan Agama adalah bila wasiat dan hibah dilakuakan berdasarkan hukum Islam
   3)      “hibah” adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
    c.       Bidang Wakaf dan Sedekah 
    1)      “wakaf’ adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah. Cakupan kekuasaan mutlak Pengadilan Agama tidak meliputi sengketa hak milik. Ini merupakan salah satu masalah yang berkaitan dengan tidak penuhya kekuasaan Peradilan Agama.
   2)      “shadaqah” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata’ala dan pahala semata.

Setelah ditetapkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989. Ketentuan pemilihan hukum dalam perkara kewarisan (hak opsi) yang didasarkan pada penjelasan umum Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang berbunyi:
“Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan”. Dinyatakan dihapus berdasarakan penjelasan umum perubahan Undang-Undang  No. 7 Tahun 1989.
Dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2006 ini juga terjadi perluasan kewenangan di lingkungan Peradilan Agama.
Pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
“Peradilan  Agama  merupakan  salah  satu  pelaksana  kekuasaan  kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini”
Pasal 2 Undang-undang No. 3 Tahun 2006
Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”.

Hal ini bertujuan agar perkara-perkara yang menjadi kewenangan Mahkamah Syariah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang tidak menjadi kewenangan pengadilan di lingkungan Pengadilan Agama menjadi dasar dengan undang-undang baru ini.
Disamping itu perubahan kewenangan Peradilan Agama adalah ketentuan pasal 49 Undang-UndangNo.3 Tahun 2006

“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,  dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a.  perkawinan;
b.  waris;
c.  wasiat;
d.  hibah;
e.  wakaf;
f.  zakat;
g.  infaq;
h.  shadaqah; dan
i.  ekonomi syari'ah”
Dengan ini, maka cakupan kekuasaan mutlak Pengadilan Agama adalah
     a.       Bidang Perkawinan
Cakupan kekuasaan mutlak Peradilan Agama tetap
     b.      Kewarisan, Wasiat dan Hibah
Ada dua macam perubahan mendasar di bidang ini:
     1)      Tidak lagi mencantumkan syarat “yang diberlakukan hukum Islam”
     2)      Hak Opsi di bidang kewarisan di hapuskan
     c.       Zakat dan Infak
Merupakan dua bidang perkara baru yang menjadi keekuasaan Peradilan Agama.
     d.      Ekonomi Syariah
Kekuasaan Peradilan Agama di bidang ini sesuai penjelasan pasal 50 huruf i:
lembaga keuangan mikro syari’ah.
        1)      asuransi syari’ah;
        2)      reksa dana syari’ah;
        3)      obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
       4)      sekuritas syari’ah;
       5)      pembiayaan syari’ah;
      6)      pegadaian syari’ah;  
      7)      dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
      8)      bisnis syari’ah.

      1.      Cakupan Kekuasaan Mahkamah Syar’iah
Mahkamah Syar’iyah di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam mempunyai kekuasaan mutlak yang lebih luas. Kekuasaan itu meliputi tiga bidang;
     a.       kewenangan dalam bidang al-ahwal al-syahsiyah meliputi hal-hal yang diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama beserta penjelaan dari pasal tersebut, kecuali wakaf, hibah, dan sadaqah.
       b.      kewenangan bidang muamalah meliputi kebendaan dan perikatan seperti:
      1)      jual beli, hutang piutang
      2)      qiradh (permodalan)
      3)      musaqah, muzara’ah, mukhabarah (bagi hasil pertanian)
     4)      wakilah (kuasa), syirkah (perkongsian)
     5)      ariyah (pinjam meminjam), hajru (penyitaan harta), syuf’ah (hak langgeh), rahnu (gadai)
     6)      ihya’u al-mawat (pembukaan tanah), ma’adin (tambang), luqathah (barang temuan)
     7)      perbankan, ijarah (sewa menyewa), takaful
     8)      perburuhan
     9)      harta rampasan
     10)  waqaf, hibah, sadaqah, dan hadiah.
        c.       kewenangan di bidang jinayah adalah sebagai berikut.
Hudud yang meliputi:
      1)      zina
      2)      menuduh berzina (qadhaf)
      3)      mencuri
      4)      merampok 
     5)      minuman keras dan napza
     6)      murtad
     7)      pemberontakan (bughat);

Qishash/diat yang meliputi:
    1)      pembunuhan
     2)      penganiayaan;

Ta’zir yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan pelanggaran syari’at selain hudud dan qishash/diat seperti:
        1)      judi
        2)      khalwat
        3)      meninggalkan shalat fardhu dan puasa Ramadhan.






BAB III
PENUTUP

A.  KESIMPULAN
Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:
Kekuasaan relatif (relative competentie) adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama. Seperti misal, antara Pengadilan Agama Bandung dengan Pegadilan Agama Bogor.
Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan.Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam. Jenis perkara yang menjadi kekuasaan Peradilan Agama terdapat sebanyak 9 item sebagai berikut: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, Infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah

DAFTAR PUSTAKA


Asasriwarni dan Nurhasnah. 2006. Peradilan Agama di Indonesia. Padang: Hayfa Press

Djalil, Basiq. 2006. Peradilan. Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana

A Rasyid, Roihan. 1998. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada

Ali, Daud. 2002. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Fauzan. 2007. Pokok-Pokok Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group


No comments:

Post a Comment