MAKALAH PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK MENURUT ERIKSON
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Perilaku seseorang tidak hanya
dipengaruhi oleh dorongan dari dalam
dirinya. Perkembangan tersebut ditentukan juga oleh kompleksitas faktor
eksternal. Interaksi dengan orang-orang atau kelompok disekitarnya merupakan
salah satu faktor ekternal yang
mempengaruhi proses pembentukan perilaku. Interaksi tersebut bahkan
menjadi salah satu kebutuhan dasar
manusia mengingat bahwa seseorang tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain
(Maslow). John Bowlby juga menjelaskan kebergantungan terhadap orang lain sudah
dirasakan seseorang sejak masih bayi sebagai perilaku penyesuaian sosial paling
awal melalui kelekatannya dengan
orangtua. Penyesuaian sosial akan terus berlangsung hingga usia dewasa yang
terbentuk melalui proses belajar dari sesamanya (Albert Bandura).
Erikson berpendapat bahwa
sepanjang sejarah hidup manusia, setiap orang mengalami tahapan perkembangan
dari bayi sampai dengan usia lanjut. Perkembangan sepanjang hayat tersebut
diperhadapkan dengan delapan tahapan yang masing-masing mempunyai nilai
kekuatan yang membentuk karakter positif atau sebaliknya, berkembang sisi
kelemahan sehingga karakter negatif yang mendominasi pertumbuhan seseorang.
Erikson menyebut setiap tahapan tersebut sebagai krisis atau konflik yang
mempunyai sifat sosial dan psikologis yang sangat berarti bagi kelangsungan
perkembangan di masa depan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Sebutkan tahap-tahap perkembangan
menurut Erikson?
2.
Bagaimana proses perkembangan
pada anak menurut Erikson ?
3.
Apa saja persamaan antara
Teori Erikson dan Psikoseksual Freud?
4.
Apa sajaperbedaan antara
Teori Erikson dan Psikoseksual Freud?
C.
Tujuan Makalah
1. Mahasiswa
dapat mengetahui dan memahami tahap-tahap atau fase-fase perkembangan pada anak
menurut Erikson.
2. Mahasiswa
bisa mengetahui persamaan dan berbedaan antara Teori
Erikson dan Psikoseksual Freud tentang perkembangan pada anak .
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Teori
Pentahapan Erikson
1.
Tahap
Oral
Zona-zona dan mode-modenya. Pertama-tama, Erikson berusaha memberikan kepada pentahapan
Freudian generelitas lebih besar dengan menunjukan bahwa disetiap zona
libidinal kita bisa menemukan ego yang khas. Ditahap awal, zona utamanya adalah
mulut, namun dia memiliki mode aktivitas yang disebut inkorporasi,
memasukan sesuatu kedalam dirinya secara pasif namun sangat mendambakan sesuatu
itu. Namun aktivitas inkorporasi tidak berhenti hanya pada mulut, dia juga
mencirikan aktivitas indriawi yang lain. Artinya ketika melihat sesuatu yang menarik,
dia membuka matanya lebar-lebar dengan penuh semangat, berusaha memasukan objek
itu kedalam dirinya dengan segenap kemampuannya. Sejalan dengan itu, tampaknya
mereka juga memasukan kedalam dirinya perasaan-perasaan, lewat indra mereka
yang masih rapuh.
Tahapan oral kedua Frued ditandai munculnya gigi dan gigitan
agresif. Menurut Erikson, mode pengigitan atau penggenggaman sama
seperti inkorporasi, yaitu mode umum yang tidak berhenti pada aktivitas mulut
saja. Seiring pertumbuhannya, bayi dapat aktif menjangkau dan menggenggam
segala sesuatu dengan tangan mereka. Dengan cara yang sama, “mata, bagian
pertama dari sistem yang awalnya pasif menerima kesan-kesan, sekarang belajar
untuk menfokuskan diri, menggenggam objek-objek dari latar belakang yang lebih
buram, dan mengikuti objek tersebut. Akhirnya, organ-organ pendengaran
meneguhkan mode menggenggam secara lebih aktif lagi. Bayi sekarang bisa
membedakan suara-suara yang signifikan, sambil menggerakkan kepala dan
tubuhnya.[1]
Tahap paling umum: kepercayaan vs ketidakpercayaan mendasar. Percaya vs tidak percaya
(0-1 tahun) Komponenawal yang sangat penting untuk berkembang ialah rasa
percaya. Membangun rasa percaya ini mendasari tahun pertama kehidupan. Begitu bayi
lahir dan kontak dengan dunia luar, maka ia mutlak tergantung dengan orang
lain. Hubungan ibu dan anak yang harmonis yaitu melalui pemenuhan kebutuhan fisik,
psikologis, dansosial, merupakan pengalaman dasar rasa percaya bagi anak.
Apabila pada umur ini tidak tercapai rasa percaya dengan lingkungan, maka dapat
timbu lberbagai masalah. Rasa tidak percaya ini timbul bila pengalaman untuk meningkatkan
rasa percaya kurang atau kebutuhan dasar tidak terpenuhi secara adekuat, yaitu kurangnya
pemenuhan kebutuhan fisik, psikologis, dansosial.[2]
Tahap umum periode oral ini terdiri
atas perkenalan umum ego anak yang sedang berkembang dengan dunia sosial.
Ditahap pertama, ketika bayi berusaha memasukkan hal-hal yang merka butuhkan,
mereka berinteraksi dengan para pengasuhnya, mengikuti cara budaya bertindak
pada dirinya. Ketika memahami bahwa orang tua cukup konsisten dan bisa
diandalkan, mereka mulai mengembangkan pemahaman tentang kepercayaan mendasar
kepada orang tua. Bayi merasa paham jika merasa dingin, basah atau lapar, maka
orang tua bisa diandalkan untuk membebaskan rasa sakit itu.
Disisi lain, bayi juga harus
berusaha mempercayai dirinya sendiri. Ketika bayi mengatur dorongan yaitu
menyedot asi tanpa mengigit, menggenggam tanpa menyakiti, bayi mulai melihat
dirinya “cukup bisa dipercaya sehingga para pengasuhnya tidak perlu khawatir
akan digigit”. Untuk ibu sendiri, Erikson menyarankan agar mereka tidak menarik
diri terlalu mencolok atau menyapih
terlalu cepat bayinya. Karena jika hal itu terjadi, sibayi akan merasa
perawatannya tidak bisa dipercaya karena tiba-tiba dihentikan begitu saja.
Setelah berhasil mengembangkan rasa
percaya kepada pengasuh, bayi akan menunjukannya didalam tingkah laku. Erikson
melihat tanda pertaama kepercayaan pada ibu ini muncul ketika bayi rela
“membiarka ibu meghilang dari pandangan matanya tanpa rasa cemas atau marah.
Kebanyakan bayi mengalami kecemasan akan perpisahan disebabkan orang tuanya
tidak bisa diandalkan. Erikson menyebutkan kalau rasa percaya bergantungkepada
sesuatu yang lebih dari keyakinan diri orang tua itu sendiri. Orang tua harus
mampu menunjukan sebuah keyakinan mendalam kepada sang anak, bahwa yang sedang
mereka kerjakan itu sangat berarti.
Erikson tampak memiliki pendapat
yang mirip dengan psikiatris H.S. Sullivan (1953) yaitu percaya bahwa pada
bulan-buln pertama kehidupannya, bayi memiliki sejenis empati fisik yang khusus
dengan figur ibunya. Contohnya, secara otomatis bayi dapat merasakan ibu yang
sedang berada dalam kondisi tegang, bila ibu cemas bayi ikut merasa cemas,
sebaliknya bila ibu merasa tenang bayi ikut merasa tenang juga. Erikson melihat
bahwa buku-buku seperti yang ditulis Spock (1945) dan yang lain-lain, amat
banyak membantu, Spock mendukung orang tua untuk percaya kepada dirinya
sendiri. Dia menyarankan orang tua agar mempercayai pengasuhan yang sudah
mereka lakukan, bahwa mereka mengetahui lebih banyak dari yang mereka
bayangkan, dan supaya mereka mengikuti implus-implus yang merespons kebutuhan
bayi mereka.
2.
Tahap
Anal
Zona-zona dan mode-modenya. Tahap kedua Freud, yang berlangsung selama tahun kedua dan ketiga
bayi, memperlihatkan pendominasian zona anal. Seiring dengan kematangan sisitem
saraf, anak memperoleh kontrol kehendak atas otot-otot perutnya. Sekarang
mereka dapat menahan atau menghilangkan dorongan untuk buang hajat sesuai
kehendak mereka.
Erikson setuju dengan Freud kalau mode dasar tahapan ini adalah
retensi dan eliminasi, menahan atau melepaskan. Contohnya, anak-anak mulai
menggunakan tangan untuk memegang erat-erat objek dan sebaliknya, bisa
melemparnya kuat-kuat. Sekali sanggup jongkok dengan baik, anak dapat mengubur
barang dengan hati-hati, untuk kemudian mengeluarkannya esok harinya.[3]
Tahap umum: otonomi vs rasa malu dan ragu-ragu. Otonomi vs rasa
malu dan ragu (1-3 Tahun) Pada masa ini alat
gerak dan rasa telah matang dan ada rasa percaya terhadap ibu dan lingkungan.
Pekembangan otonomi selama periode balita berfokus pada peningkatan kemampuan
anak untuk mengontrol tubuh, diri, dan lingkungannya. Anak menyadari ia dapat menggunakan
kekuatannya untuk bergerak dan berbuat sesuai kemauannya. Anak menggunakan kemampuan
mentalnya untuk menolak dan mengambil keputusan. Rasa otonomi diri ini perlu dikembangkan
karena penting untuk terbentuknya rasa percaya dan harga diri di kemudian hari.
Hubungan dengan orang lain bersifat ego sentrisataume mentingkan diri sendiri.
Peran lingkungan pada usia ini ialah memberikan support/dorongan dan memberi keyakinan
yang jelas. Perasaan negative yaitu rasa malu dan ragu timbul apabila anak merasa
tidak mampu mengatasi tindakan yang dipilihnya serta kurangnya support dari
orang tua dan lingkungannya.[4]
Diantara menahan dan membuang, anak
berusaha melatih kemampuan memilih. Anak yang berusia 2 tahun ingin memegang
apapunyang diinginkan, dan mendorong apapunyang tidak diinginkan. Mereka
melatih kehendak mereka, tepatnya otonomi. Kematangan biologis juga turut
mendukung kemunculan otonomi selama tahun kedua dan tahun ketiga. Anak sekarang
bisa berdiri dengan dua kaki mereka sendiri, mereja juga mulai minta makan
sendiri meski latihan inimembuat makanan bertumpahan. Ketika anak sudah sanggup
mengontrol diri dan mencapai puncak-puncak kehendak, orang tua memutuskan kalau
inilah waktunya untuk mengajar mereka cara bertindak yang benar. Orang tua
kemudian melatih anak menggunakan toilet dengan membuat mereka merasa malu atas
perilaku anal mereka yang berantakan dan tidak pantas itu.
Erikson setuju kalau peperangan
menggunakan toilet sangat penting. Namun dia juga melihat kalau peperangan ini
antara otonomi anak dan regulasi masyarakat yang berlangsung di sejumlah arena
yang lain. Contohnya, cepat atau lambat orang tua memutuskan untuk melatih
bahwa anak 2 tahun tidak boleh lagi mengatakan “tidak” terhadap setiap
permintaan orang tua. Mereka harus hidup di masyarakat dan menghargai keinginan
orang lain.
Erikson mendefinisikan konflik di
titik ini sebagai otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu. Otonomi muncul dari
dalam, sebuah pendewasaan biologis yang mengasah kemampuan anak untuk melakukan
segala hal denga caranya sendiri. Rasa malu dan ragu-ragu, sebaliknya datang
dari kesadaran akan ekspektasi dan tekanan sosial. Contohnya, seorang gadis
kecil yang mengompol di celana jadi sadar diri, khawatir kalau orang lain
melihatnya dalam kondisi itu. Rasa ragu berasal dari kesadaran bahwa dirinya
tidak begitu berkuasa, sehingga orang lain bisa mengontrol dia dan bertindak
lebih baik dari pada dia.
Bagi anak yang sanggup mengimbangi
rasio otonomi lebih dari rasa malu dan ragu-ragu, maka mereka akan
mengembangkan kekuatan ego dalam bentuk kehendak yang kokoh. “kehendak”
kata Erikson merupakan kebulatan tekad yang tidak bisa dipatahkan untuk melatih
pilihan bebas dan pengendalian diri.
3.
Tahap
Falik (Odipal)
Zona-zona dan mode-modenya. Selama tahap ketiga Freud (antara usia 3-6 tahun), kepedulian
anak kepada zona anal membuka jalan menuju perhatian kepada zona genital. Anak
memfokoskan ketertarikkan pada alat kelaminnya dan menjadi sangat ingin tau
organ kelamin anak lain. Mereka juga membayangkan dirinya kedalam peran orang
dewasa, bahkan berani bersaing dengan salah satu orang tuanya untuk memperoleh
kasih sayang yang lain. Anak memasuki krisis odipal. Erikson menyebut mode
utama di tahap ini sebagai intrusi. Lewat istilah ini, dia berharap bisa menagkap masud Freud tantang anak yang
semakin tumbuh dalam keberanian, keingintahuan dan hasrat persaingan. Istialah intrusi
melukiskan aktivitas kelamin anak laki-laki. Bagi kedua janis kelamin,
kematangan fisik dan kemampuan mental mendorong anak maju menuju beragam
aktivitas.
Tahap umum:
insiatif vs rasa bersalah. Inisiatif,
berarti pergerakan kedepan. Lewat inisiatif, anak membuat rencana, menetapkan
tujuan dan mempunyai semangat untuk mencapainya. Di titik ini, krisis datang
ketika anak mulai menyadari bahwa rencana-rencana terbesar mereka dan
harapan-harapan terdalamnya hancur berantakan.
Ambisi-ambisi ini tentunya ambisi odipal, keinginan untuk memiliki salah satu orang tua dan bersaing
dengan yang satunya. Lalu anak menemuakan kalau harapan-harapan ini melanggar
tata sosial dan amat berbahaya dari yang bisa ia bayangkan. Karena itu anak
mulai memperhatikan larangan-larangan sosial, sebuah rasa bersalah pembentuk
superego, demi menjaga implus dan fantasi bernahaya tetap terkendali.
Di mata Erikson, penciptaan superego
melandasi salah satu tragedi besar hidup manusia. Superego di butuhkan bagi
perilaku yang tersosialisasikan, namun ternyata dia masih mengandung sejumlah
insiatif keberanian seperti yang ditemuinya ketika masih berada di tahapan
fisik dulu. Namun Erikson tidak pesimis dengan hal itu, dia malah mengamati
kalau anak-anak yang berusia 3-6 tahun, lebih dari periode waktu manapun, sudah
siap untuk belajar dengan cepat dan gigih, dan bersedia mencari cara untuk
menghubungkan ambisi mereka dengan tujuan-tujuan yang berguna secara sosial.
Orang tua bisa membantu proses ini dengan memperlunak otoritas dan
memperbolehkan anak berpartisipasi
dengan setara untuk menghadapi proyek-proyek kehidupan yang menarik. Lewat cara
inilah, orang tua bisa membantu anak keluar dari krisis tahapan ini dengan
pengertian penuh mengenai tujuan, “keberanian untuk memimpikan dan mengejar tujuan-tujuan yang bernilai,
yang tidak akan bisa dirusak oleh rasa bersalah maupun larangan.
4.
Tahap
Letensi
Di dalam teori Freud, jalan keluar
bagi kompleks odipus adalah periode latensi, yang bertahan sampai usia 11
tahun. Selama periode ini, dorongan-dorongan seksual dan agresif yang
menghasilkan krisis di periode-periode sebelumnya tidur untuk sementara waktu.
Tidak ada zona libidinal (seksual) di tahap ini. Namun begitu, kehidupan anak
diperiode ini tidak lah bebas konflik. Contohnya, kelahiran saudara kandung
bisa saja membangkitkan kecemburuan mendalam. Tapi umumnya, periode ini tenang
dan stabil, tidak ada gejolak dalam insting maupun dorongan.
Mesikpun tenang, Erikson menunjukan
kalau tahap ini justru paling menentukan bagi pertumbuhan ego. Disini anak
belajar menguasai kemampuan kognitif dan sosial yang penting. Sementara krisis
di tahap ini adalah industri vs inferioritas. Anak melupakan
harapan dan keinginan masa lalu, yang sering kali merupakan harapan dan
keinginan keluarganya, dan sangat ingin mempelajari kemampuan dan kegunaan
peralatan budayanya yang lebih luas.di dalam masyarakat anak mulai berburu,
bertani dan membuat perkakas.
Bahaya di tahapan ini adalah
perasaan berlebih-lebihan karena ketidaktepatan dan infrioritas. Kebanyakan
dari kita mungkin masih ingat rasa sakit dari kegagalan di kelas atau
diperolok-olok teman bermain. Namun perasaan inferior yang terlalu mendalam
memiliki akar yang sangat beragam. Bisa jadi anak menemui kesulitan di tahap
ini kerena tidak berhasil menyelesaikan konflik di tahap-tahap sebelumnya.
Disisi lain, guru yang baik (yang merasa dirinya dipercaya dan dihargai
komunitas) bisa membantu anak di masa-masa kritis ini. Erikson berulang kali
menemukan bahwa didalam kehidupan orang-orang yang penuh inspirasi basar dan
bertalenta tinggi, ternyata gurulah yang dulu sudah membuat dia merasa berbeda
dan unik, dengan mendukung talenta-talentanya sewaktu dia masih kecil. Dan
keberhasilan memecahkan masalah di tahap ini akan membawa anak kepada penguatan
ego yang di sebut Erikson kompetensi, sebuah latihan inteligensia dan
kemampuan secara bebas dalam menyelesaikan tugas-tugas, tanpa diganggu perasaan
infreoritas yang berlebihan.
5.
Tahap
Pubertas (Tahap Genital)
Menurut Sigmund dan Anna Freud, masa
remaja merupakan masa penuh gejolak karena perubahan fisiologis yang dramastis
di alami di usia-usia ini. Dorongan-dorongan seksual dan agresif, yang tidur
selama tahap litensi, sekarang mengancam untuk menaklukan ego dan membobol
pertahanannya. Zona genital, khususnya mulai di rasuki energi seksual yang
sangat dasyat, membuat masa remaja sekali lagi di ganggu oleh fantasi-fantasi
odipal.
Erikson setuju kalau peningkatan
pesat di dalam energi pendorong ini
sangat mengganggu remaja, namun dia juga melihat bahwa persoalan hanya sebagian
dari yang sesungguhnya. Masa remaja juga terganggu dan kacau lantaran konflik dan tututan sosial yang baru. Tugas
utama remaja, kata Erikson adalah membangun pemahaman baru mengenai identitas
ego, sebuah perasaan tentang siapa dirinya dan tempatnya di tatanan sosial
yang lebih besar. Krisis ini merupakan salah satu dari krisis identitas
vs kebingungan peran.
Perubahan fisik yang sangat cepat
pada masa pubertas telah menciptakan rasa kebingungan identitas. Anak muda mulai tumbuh sangat
cepat dan mengubah begitu banyak cara yang sudah ditemukan sebelumnya. Mungkin
karena alasan inilah para remaja menghabiskan waktu menatap cermin dan begitu
memperhatikan penampilan mereka. Masalah identitas yang di hadapi remaja sama
banyaknya dengan masalah sosialnya, bahkan mungkin lebih banyak lagi. Tapi
bukan pertumbuhan fisik atau implus
seksual yang mengganggu mereka, melainkan ketakutan tidak terlihat baik atau
tidak memenuhi harapan orang lain. Karena remaja merasa tidak begitu pasti
dengan siapa dirinya, merekapun sangat bersemangat untuk mengidentifikasikan
diri dengan membentuk geng atau kelompok tertentu. Mereka bisa menjadi tidak
toleran dan kejam waktu mengucilkan orang lain yang berbeda dari mereka.
Untuk memahami pembentukan
identitas, kita harus paham lebih dulu kalau ini proses seumur hidup. Sebagian
dari diri kita, membentuk identitasnya lewat pengidentifikasian. Tanpa sadar
kita sedah menjadikan diri kita seperti mereka. Untuk sebagian lain, kita
mengembangkan pemahaman identitas lewat pencapaian tertentu. Kemampuan unuk
berlari, berdiri, berjalan, bermain bola, menggambar dan semual hal lain,
memberikan kontribusi yang besar bagi pemahan kita mengenai identitas ego. Kita
melihat diri kita sebagai “pribadi yang sanggup melakukan hal-hal ini”.
Pencapaian seperti ini lalu menjadi bagian dari pemahaman positif dan abadi
mengenai identitas kita untuk bisa berperan penting di dalam budaya.
Walaupun pembentukan identitas
merupakan proses seumur hidup, tapi masalah identitas ini mencapai krisisnya di
masa remaja. Inilah waktu terjadinya begitu banyak perubahan batin, saking
banyaknya sampai-sampai komitmen masa depan dipertaruhkan di masa ini.
Identitas sebelumnya jadi tampak tidak kuat bagi semua pilihan dan keputusan
yang harus di buat sekarang. Pembentukan identitas merupakan proses yang
terjadi di dalam ketidaksadaran. Yang bisa di sadari anak muda hanyalah bisa
pengalaman pahit atas ketidakmampuan mereka membuat komitmen abadi. Mereka
merasa terlalu banyak yang harus diputuskan
segera, dan bahwa setiap keputusan mereduksi alternatif lain masa depan
mereka. Karena komitmen begitu sulit, terkadang mereka harus memasuki periode moratorium
psikososial terlebih dahulu, sejenis periode “penarikan diri” untuk
menemukan jati diri sendiri. Banyak anak muda berhasil menyelesaikan masalah
ini ketika mencapai kondisi moratorium yang bebas. Tapi sebelum tiba kondisi
itu, sebelum benar-benar yakin siapa dirinya dan apa yang dikerjakannya di
hidup ini, sering kali mereka mengalami perasaan terisolasi (merasa waktu
sedang mengulang dirinya, tidak mampu menemukan makna dalam aktivitas apa pun,
dan sebuah perasaan bahwa hidup asal jalan).
Remaja sering kali menunda komitmen
apa pun karena kebutuhan batinnya untuk menghindari identitas yang terlalu
mapan, sebuah perasaan terlalu prematur unuk menerima pesan-pesan sosial
yang terkontak-kontakkan. Dan meskipun pencarian identitas yang berlarut-larut
ini amat menyakitkan, namun akhirnya mereka sampai juga kepada bentuk integrasi
personal yang lebih tinggi dan inovasi sosial yang lebih sejati. Jadi, tugas
utama remaja adalah menemukan sejumlah cara hidup dimana kita bisa membuat
komitmen permanen. Perjuangan di tahapan ini membawa mereka pada kekuatan ego
baru dalam bentuk kesetiaan, sebuah kemampuan untuk mempertahankan
loyalitas yang sudah diniati sejak dulu.
6.
Tahap
Dewasa Muda
Erikson adalah Freudian pertama dan
salah satu dari sejumlah kecil penulis perkembangan yang sanggup mengamati
tahap dewasa secara mendetail. Tahap perkembangan dewasa Erikson berisi
lankah-langkah manusia memperluas dan memperdalam kapasitas mencintai dan
memperhatikan orang lain. Pada masa remaja, mereka hanya berpusat kepada diri
sendiri, lebih bergulat pada penampilan mereka dimata orang lain, dan akan
menjadi apa mereka di masa depan. Mereka jadi tertarik secara seksual kepada
orang lain bahkan jatuh cinta, namun kedekatan itu sering kali hanya bertujuan
untuk mendefinisikan dirinya saja. Di dalam interaksi-interaksi awal, anak muda
berusaha menemukan siapa diri mereka lewat percakapan tanpa batas mengenai
perasaan mereka yang sesungguhnya, mengenai pandangan terhadap satu sama lain,
mengenai rencana, harapan dan cita-cita mereka.
Masa remaja masih terlalu asik
dengan siapa dirinya atau tugas apa yang harus dipilih untuk menyongsong masa
dewasa muda, yang intinya mencapai sebuah keintiman. Keintiman yang riil
adalah satu-satunya perasaan identitas paling masuk akal yang sudah dibangun
selama ini. Erikson mengamati anak muda menikah sebelum mampu meletakkan
fondasi yang baik bagi identitas dirinya. Mereka berharap sanggup menemukan
diri mereka didalam pernikahan. Sayangnya pernikahan jarang menghasilkan apa
yang mereka cari. Pasangan muda ini cepat atau lambat mulai merasa terkekang
oleh kewajiban sebagai kekasih dan orang tua. Mereka akan segera mengeluh
pasangannya tidak lagi memberinya kesempatan untuk mengembangkan diri. Didalam
keintimannya, Erikson membahas organisme merupakan pengalaman tertinggi dari
pengaturan timbal balik yang bisa mengurangi kepahitan yang tidak perlu dan
diperlisihkan diantara dua manusia. Namun dia juga menambahkan ini lebih dari
sekedar masalah seksual. Keintiman yang benar berarti dua orang rela berbagi dan
beregulasi timbal-balik semua aspek terpenting hidup mereka. Tidak akan pernah
ada pasangan yang dapat mengalami keintiman total karena setiap orang berbeda
(secara seksual dan yang lainnya).
7.
Tahap
Dewasa
Sekali dua insan muda-mudi sanggup
membangun keintiman yang benar, ketertarikan mereka mulai berkembang melampaui
fokus pada diri sendiri. Mereka jadi peduli dengan membesarkan generasi
selanjutnya. Di dalam terminologi Erikson, mereka memasuki tahapan semangat
berbagi vs penyerapan-diri dan stagnasi. Semangat berbagi merupakan
istilah yang sangat luas, mengacu bukan hanya kepada memproduksi anak, tetapi
juga memproduksi hal-hal dan ide-ide lewat kerja. Namun Erikson lebih menyoroti
yang perama adalah membesarkan seorang anak.
Fakta seorang sudah memiliki anak
tidak menjamin dia memiliki semangat berbagi. Orang tua harus melakukan lebih
banyak hal dari pada hanya menghasilkan keturunan. Mereka juga harus melindungi
dan membimbing mereka. Artinya orang tua harus sering mengorbankan
kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Mereka harus mengatasi godaan untuk
memuaskan diri sendiri, yang hanya akan mengarah kepada stagnasi yang tidak
produktif. Apabila mereka bisa mengatasi konflik ini secara positif, mereka
akan mengembangkan kemampuan untuk memperhatikan generasi selanjutnya. Bahkan
orang-orang yang tidak mempunyai anak dapat mengajar dan menuntun generasi
selanjutnya “dengan membimbing anak orang lain atau menciptakan dunia yang
lebih baik bagi mereka”. Orang dewasa seperti ini jelas mengalami jenis
frustasi yang berbeda, khususnya wanita, karena tubuh mereka dirancang untuk
melahirkan dan membesarkan keturunan. Meski pun begitu, rasa perhatian dan
semangat berbagi masih mungkin mereka lakukan dengan baik.
Disisi lain, ada juga banyak orang
yang menikah tetapi kekurangan semangat berbagi, pasangan ini sering kali
mundur atau mulai menutup diri seolah-olah mereka satu-satunya anak tunggal.
Dan di sisi lain ada sejumlah alasan bagi ketidakmampuan manusia
mengembangkan tahap ini. Mungkin karena
masa kecilnya dulu begitu hampa atau frustasi sehingga tidak bisa memiliki
bayangan apa pun tentang yang sebaiknya dilakukan dengan anak-anak mereka.
8.
Tahap
Usia Senja
Leteratur psikologis mengenai usia
senja, yang masih jarang jumlahnya, biasanya melihat periode ini sebagai
kemunduran. Kaum tua-tua, berulang kali ditunjukan harus menghadapi serangkaian
kehilangan fisik dan sosial. Mereka kehilangan kekuatan fisik dan kesehatan,
kehilangan pekerjaan sehingga pendapatan mereka sekarang bergantung pada dana
pensiun, mereka juga mulai kehilangan kerabat, pasangan dan teman-teman satu
persatu. Yang sama merusaknya adalah mereka menderita kehilangan status
sosialnya, menjadi tidak bisa aktif lagi, dan merasa diri “tidak berguna”
Erikson sangat menyadari bahwa
banyak penyesuaian, fisik maupun sosial harus dilakukan para lansia. Dia
menyadari fakta bahwa para lansia tidak bisa seaktif dulu. Namun penekanan
mestinya bukan diberikan pada penyesuaian eksternal, melainkan pergulatan batin
di periode ini, sebuah pergulatan yang berpotensi untu tumbuh bahkan mencapai
kebijaksanaan. Erikson menyebut pergulatan ini integritas ego vs
keputusasaan.
Seiring dengan mendekatnya lansia
menghadapi kematian, mereka pun terlibat, kata Erikson itu adalah ulasan hidup.
Mereka menengok kembali hidupnya dan bertanya-tanya apakah hidup yang sudah di
jalani berharga. Di dalam proses ini mereka berkonfrontasi dengan rasa putus
asa puncak, perasaan bahwa hidup bukan seperti yang diinginkan dahulu, namun
sekarang waktunya sudah habis, dan tidak ada lagi kesempatan untuk mencoba gaya
hidup alternatif.
Semakin para lansia menghadapi rasa
putus asa, mereka akan semakin berusaha menemukan pengertian mengenai
integritas ego. Kata Erikson, Integritas ego sangat sulit didefinisikan
mencakup perasaan bahwa terdapat sebuah suratan bagi hidupnya dan penerimaan
atas suratan tersebut, sebuah siklus hidup yang harus terjadi dan dan tidak ada
yang bisa menggantikannya. Integritas adalah perasaan yang berkembang melampaui
diri bahkan mentransendensikan ikatan-ikatan nasional dan ideologis.[5]
B.
Teori
Kepribadian Sigmund Freud
Sigmund Freud membagi struktur
kepribadian menjadi 3 bagian yaitu:
1.
Id
Adalah sistem kepribadian yang
paling dasar. Id berada di dalam naluri bawaan.
Id berisi unsur-unsur biologis termasuk di dalamnya instink-instink. Id
berfungsi sebagai pusat dari ketidaksadaran pikiran manusia.
2.
Ego
Ego merupakan bagian dari
ketidaksadaran pikiran manusia. Ego
mempunyai fungsi sebagai penyalur keinginan dari Id yang berisi
keinginan dan dorongan.
3.
Superego
Adalah sistem kepribadian yang
berisikan nilai atau aturan bersifat evaluatif (menyangkut baik dan buruk).[6]
C.
Persamaan
Antara Teori Erikson dan Psikoseksual Freud
Sebagai tokoh yang lebih suka
disebut “psikolog Ego pasca-Freudian”, Erik mempunyai beberapa kesamaan pandang
dengan Freud sebagai panutannya:
1.
Sebagaimana
Freud, Erik melihat realitas serta urutan semua tahap dalam perkembangan setiap
individu sebagai hal yang tidak berubah karena sudah ditentukan
sebelumnya.
2.
Erik
juga mengakui adanya struktur kepribadian triganda manusia yang terdiri dari
tiga komponen yaitu Id, Ego dan Superego.Pengakuan terhadap akar dan dasar
seksual serta biologis sebagai kecenderungan motivasional dan kepribadian selanjutnya.
3.
Menyetujui
bahwa rencana dasar kepribadian manusia ditandai oleh berbagai hal tetap
seperti: konflik traumatis yang mungkin berhubungan dengan menyusui anak,
pembuangan air seni atau feses, penegasan diri falis pada anak laki-laki maupun
sifat mudah menerima pada anak perempuan.
D.
Perbedaan
Pendapat Antara Erikson dan Freud
Sekalipun salah satu sumber yang dipakai Erikson untuk menciptakan
teorinya adalah berdasarkan pandangan Freud, namun tetap ada
perbedaan-perbedaan diantara keduanya, yaitu:
1.
Psikoseksual
Freud berdasarkan pendekatan perkembangan afektif, irasional, dan naluriah
(seksualitas dan agresi) manusia sedangkan Erikson menciptakan pendekatan
psikososial dari hasil penelitiannya terhadap psikoanalisis Freud yang
diperluas.
2.
Menurut
Erikson, Ego atau aspek pkikologis adalah struktur kepribadian manusia yang
relatif otonom, berkembang secara sosial dan adaptif sehingga mendorong
perkembangan manusia. Adapun Freud berpendapat bahwa Id menjadi daya dorong
bagi segala perkembangan.
3.
Freud
mengemukakan gambaran manusia sebagai pribadi yang suram dan pesimistis dimana
sikap positif hanya sebagai penyamaran dari dimensi negatif. Tanggapan Erikson adalah
bahwa ia melihat gambaran manusia sebagai pribadi yang optimis dan
menggairahkan.
4.
Solusi
yang ditawarkan Freud dalam memecahkan masalah ialah mengembalikan fenomena
psikis kepada trauma awal yang terjadi pada masa lampau yang dialami seseorang
pada masa anak. Sedangkan pemikiran Erikson mengarah pada masa depan serta daya-daya penyembuhan yang sedang
berpengaruh dalam setiap manusia.
5.
Freud
memfokuskan teorinya berdasarkan daya-daya naluri infra-psikis yang berada di
dalam diri setiap orang. Erikson berpendapat bahwa perspektif psikososial yang
memperhitungkan faktor ekstern menjadi aspek penting yang ikut menentukan
perkembangan dan pembentukan identitas seseorang.
6.
Berkaitan
dengan pengujian teori, Erikson adalah psikoanalis anak pria yang pertama
dimana teorinya teruji melalui kontak langsung dengan anak-anak khususnya lewat
permainan. Sedangkan Freud tidak pernah secara langsung dan sistematis
menangani atau mengobati anak kecil sehingga teorinya lebih berdasarkan data
empiris yang diperolehnya sendiri.[7]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
Makalah ini dapat disimpulkan bahwa Salah satu ahli yang mendasari
teorinya dari sudut sosial ialah Erik H. Erikson dengan menyebut pendekatannya
“Psikososial” atau “Psikohistoris”.
Erikson berusaha menjelaskan bahwa ada hubungan timbal balik antara pribadi
dan kebudayaan sampai orang tersebut menjadi dewasa. Disini terlihat bahwa
lingkungan hidup seseorang dari awal sampai akhir dipengaruhi oleh sejarah
seluruh masyarakat karena perkembangan relasi antara sesama manusia, masyarakat
serta kebudayaan semua saling terkait. Itu berarti tiap individu punya
kesanggupan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang senantiasa
berkembang dari orang-orang atau institusi supaya ia bisa menjadi bagian dari
perhatian kebudayaan secara terus-menerus.
Erikson berusaha menemukan
perkembangan psikososial Ego melalui berbagai organisasi sosial dalam kelompok
atau kebudayaan tertentu. Ia mencoba meletakkan hubungan antara gejala psikis,
edukatif dan gejala budaya masyarakat. Dalam penelitiannya, Erikson membuktikan
bahwa masyarakat atau budaya melalui kebiasaan mengasuh anak, struktur keluarga
tertentu, kelompok sosial maupun susunan institusional, membantu perkembangan
anak dalam berbagai macam daya Ego yang diperlukan untuk menerima berbagai
peran serta tanggung jawab sosial
B.
Saran
Dengan adanaya makalah ini, diharapkan bagi para pembaca untuk giat
dalam memahami teori-teori atau tahap-tahap perkembangan secara gamblang.
Walaupun didalamnya menggunakan bahasa yang sulit dipahami, dengan itu pembaca
dapat memperluas pemahaman dan membuka wawasan. Materi perkembangan ini sangat
penting bagi kita nanti setelah membangun sebuah keluarga. Tentunya kita akan
menjadi orang tua. Dengan adanya pemaparan materi ini, kita tentunya bisa
menjadikan dasar bagaimana cara memahami perkembangan pada anak kita nanti.
DAFTAR PUSTAKA
William Crain, Teori Perkembangan Konsep dan Aplikasi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)
Yudrik Jahya, Psikoligi
Perkembangan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011)
Siti Rokhana, Analisis Tokoh Utama Dengan Teori Psikoanalisa
SIgmund Freud Pada Cerpen Hana Karya Akutagawa Ryunosuke, (Semarang: jurnal
2009)
Yeni Krismawati, Teori Psikologi Perkembangan Erik H. Erikson
dan Manfaatnya Bagi Tugas Pendidikan
Dewasa Ini, (Jakarta: KURIOS, ISSN: 2406-8306 (print), http://www.sttpb.ac.id/e-journal/index.php/kurios)
[1]
William Crain, Teori Perkembangan Konsep dan Aplikasi, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007). Hal 428-429
[2]
Yudrik Jahya, Psikoligi Perkembangan, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011). Hal 93
[3]
William Crain, Teori Perkembangan Konsep dan Aplikasi, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007). Hal 434
[4]
Yudrik Jahya, Psikoligi Perkembangan, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011). Hal 93-94
[5]
William Crain, Teori Perkembangan Konsep dan Aplikasi, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007). Hal 434-449
[6]
Siti Rokhana, Analisis Tokoh Utama Dengan Teori Psikoanalisa SIgmund Freud
Pada Cerpen Hana Karya Akutagawa Ryunosuke, (Semarang: jurnal 2009). Hal 9
[7]
Yeni Krismawati, Teori Psikologi Perkembangan Erik H. Erikson dan
Manfaatnya Bagi Tugas Pendidikan Dewasa
Ini, (Jakarta: KURIOS, ISSN: 2406-8306 (print), http://www.sttpb.ac.id/e-journal/index.php/kurios).
Hal 48-49
No comments:
Post a Comment