1

loading...

Wednesday, December 11, 2019

MAKALAH PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK MENURUT ERIKSON


MAKALAH PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK MENURUT ERIKSON 

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar belakang
Perilaku seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh dorongan dari dalam  dirinya. Perkembangan tersebut ditentukan juga oleh kompleksitas faktor eksternal. Interaksi dengan orang-orang atau kelompok disekitarnya merupakan salah satu faktor ekternal  yang mempengaruhi proses pembentukan perilaku. Interaksi tersebut bahkan menjadi  salah satu kebutuhan dasar manusia mengingat bahwa seseorang tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain (Maslow). John Bowlby juga menjelaskan kebergantungan terhadap orang lain sudah dirasakan seseorang sejak masih bayi sebagai perilaku penyesuaian sosial paling awal melalui  kelekatannya dengan orangtua. Penyesuaian sosial akan terus berlangsung hingga usia dewasa yang terbentuk melalui proses belajar dari sesamanya (Albert Bandura).
Erikson berpendapat bahwa sepanjang sejarah hidup manusia, setiap orang mengalami tahapan perkembangan dari bayi sampai dengan usia lanjut. Perkembangan sepanjang hayat tersebut diperhadapkan dengan delapan tahapan yang masing-masing mempunyai nilai kekuatan yang membentuk karakter positif atau sebaliknya, berkembang sisi kelemahan sehingga karakter negatif yang mendominasi pertumbuhan seseorang. Erikson menyebut setiap tahapan tersebut sebagai krisis atau konflik yang mempunyai sifat sosial dan psikologis yang sangat berarti bagi kelangsungan perkembangan di masa depan.  

B.  Rumusan Masalah
1.    Sebutkan tahap-tahap perkembangan menurut Erikson?
2.    Bagaimana proses perkembangan pada anak menurut Erikson ?
3.    Apa saja persamaan antara Teori Erikson dan Psikoseksual Freud?
4.    Apa sajaperbedaan antara Teori Erikson dan Psikoseksual Freud?

C.  Tujuan Makalah
1.      Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tahap-tahap atau fase-fase perkembangan pada anak menurut Erikson.
2.      Mahasiswa bisa mengetahui persamaan dan berbedaan antara Teori Erikson dan Psikoseksual Freud tentang perkembangan pada anak .

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Teori Pentahapan Erikson
1.    Tahap Oral
Zona-zona dan mode-modenya. Pertama-tama, Erikson berusaha memberikan kepada pentahapan Freudian generelitas lebih besar dengan menunjukan bahwa disetiap zona libidinal kita bisa menemukan ego yang khas. Ditahap awal, zona utamanya adalah mulut, namun dia memiliki mode aktivitas yang disebut inkorporasi, memasukan sesuatu kedalam dirinya secara pasif namun sangat mendambakan sesuatu itu. Namun aktivitas inkorporasi tidak berhenti hanya pada mulut, dia juga mencirikan aktivitas indriawi yang lain. Artinya ketika melihat sesuatu yang menarik, dia membuka matanya lebar-lebar dengan penuh semangat, berusaha memasukan objek itu kedalam dirinya dengan segenap kemampuannya. Sejalan dengan itu, tampaknya mereka juga memasukan kedalam dirinya perasaan-perasaan, lewat indra mereka yang masih rapuh.
Tahapan oral kedua Frued ditandai munculnya gigi dan gigitan agresif. Menurut Erikson, mode pengigitan atau penggenggaman sama seperti inkorporasi, yaitu mode umum yang tidak berhenti pada aktivitas mulut saja. Seiring pertumbuhannya, bayi dapat aktif menjangkau dan menggenggam segala sesuatu dengan tangan mereka. Dengan cara yang sama, “mata, bagian pertama dari sistem yang awalnya pasif menerima kesan-kesan, sekarang belajar untuk menfokuskan diri, menggenggam objek-objek dari latar belakang yang lebih buram, dan mengikuti objek tersebut. Akhirnya, organ-organ pendengaran meneguhkan mode menggenggam secara lebih aktif lagi. Bayi sekarang bisa membedakan suara-suara yang signifikan, sambil menggerakkan kepala dan tubuhnya.[1]
Tahap paling umum: kepercayaan vs ketidakpercayaan mendasar. Percaya vs tidak  percaya (0-1 tahun) Komponenawal yang sangat penting untuk berkembang ialah rasa percaya. Membangun rasa percaya ini mendasari tahun pertama kehidupan. Begitu bayi lahir dan kontak dengan dunia luar, maka ia mutlak tergantung dengan orang lain. Hubungan ibu dan anak yang harmonis yaitu melalui pemenuhan kebutuhan fisik, psikologis, dansosial, merupakan pengalaman dasar rasa percaya bagi anak. Apabila pada umur ini tidak tercapai rasa percaya dengan lingkungan, maka dapat timbu lberbagai masalah. Rasa tidak percaya ini timbul bila pengalaman untuk meningkatkan rasa percaya kurang atau kebutuhan dasar tidak terpenuhi secara adekuat, yaitu kurangnya pemenuhan kebutuhan fisik, psikologis, dansosial.[2]
Tahap umum periode oral ini terdiri atas perkenalan umum ego anak yang sedang berkembang dengan dunia sosial. Ditahap pertama, ketika bayi berusaha memasukkan hal-hal yang merka butuhkan, mereka berinteraksi dengan para pengasuhnya, mengikuti cara budaya bertindak pada dirinya. Ketika memahami bahwa orang tua cukup konsisten dan bisa diandalkan, mereka mulai mengembangkan pemahaman tentang kepercayaan mendasar kepada orang tua. Bayi merasa paham jika merasa dingin, basah atau lapar, maka orang tua bisa diandalkan untuk membebaskan rasa sakit itu.
Disisi lain, bayi juga harus berusaha mempercayai dirinya sendiri. Ketika bayi mengatur dorongan yaitu menyedot asi tanpa mengigit, menggenggam tanpa menyakiti, bayi mulai melihat dirinya “cukup bisa dipercaya sehingga para pengasuhnya tidak perlu khawatir akan digigit”. Untuk ibu sendiri, Erikson menyarankan agar mereka tidak menarik diri  terlalu mencolok atau menyapih terlalu cepat bayinya. Karena jika hal itu terjadi, sibayi akan merasa perawatannya tidak bisa dipercaya karena tiba-tiba dihentikan begitu saja.
Setelah berhasil mengembangkan rasa percaya kepada pengasuh, bayi akan menunjukannya didalam tingkah laku. Erikson melihat tanda pertaama kepercayaan pada ibu ini muncul ketika bayi rela “membiarka ibu meghilang dari pandangan matanya tanpa rasa cemas atau marah. Kebanyakan bayi mengalami kecemasan akan perpisahan disebabkan orang tuanya tidak bisa diandalkan. Erikson menyebutkan kalau rasa percaya bergantungkepada sesuatu yang lebih dari keyakinan diri orang tua itu sendiri. Orang tua harus mampu menunjukan sebuah keyakinan mendalam kepada sang anak, bahwa yang sedang mereka kerjakan itu sangat berarti.
Erikson tampak memiliki pendapat yang mirip dengan psikiatris H.S. Sullivan (1953) yaitu percaya bahwa pada bulan-buln pertama kehidupannya, bayi memiliki sejenis empati fisik yang khusus dengan figur ibunya. Contohnya, secara otomatis bayi dapat merasakan ibu yang sedang berada dalam kondisi tegang, bila ibu cemas bayi ikut merasa cemas, sebaliknya bila ibu merasa tenang bayi ikut merasa tenang juga. Erikson melihat bahwa buku-buku seperti yang ditulis Spock (1945) dan yang lain-lain, amat banyak membantu, Spock mendukung orang tua untuk percaya kepada dirinya sendiri. Dia menyarankan orang tua agar mempercayai pengasuhan yang sudah mereka lakukan, bahwa mereka mengetahui lebih banyak dari yang mereka bayangkan, dan supaya mereka mengikuti implus-implus yang merespons kebutuhan bayi mereka.

2.    Tahap Anal
Zona-zona dan mode-modenya. Tahap kedua Freud, yang berlangsung selama tahun kedua dan ketiga bayi, memperlihatkan pendominasian zona anal. Seiring dengan kematangan sisitem saraf, anak memperoleh kontrol kehendak atas otot-otot perutnya. Sekarang mereka dapat menahan atau menghilangkan dorongan untuk buang hajat sesuai kehendak mereka.
Erikson setuju dengan Freud kalau mode dasar tahapan ini adalah retensi dan eliminasi, menahan atau melepaskan. Contohnya, anak-anak mulai menggunakan tangan untuk memegang erat-erat objek dan sebaliknya, bisa melemparnya kuat-kuat. Sekali sanggup jongkok dengan baik, anak dapat mengubur barang dengan hati-hati, untuk kemudian mengeluarkannya esok harinya.[3]
Tahap umum: otonomi vs rasa malu dan ragu-ragu. Otonomi  vs rasa malu dan ragu (1-3 Tahun) Pada masa ini alat gerak dan rasa telah matang dan ada rasa percaya terhadap ibu dan lingkungan. Pekembangan otonomi selama periode balita berfokus pada peningkatan kemampuan anak untuk mengontrol tubuh, diri, dan lingkungannya. Anak menyadari ia dapat menggunakan kekuatannya untuk bergerak dan berbuat sesuai kemauannya. Anak menggunakan kemampuan mentalnya untuk menolak dan mengambil keputusan. Rasa otonomi diri ini perlu dikembangkan karena penting untuk terbentuknya rasa percaya dan harga diri di kemudian hari. Hubungan dengan orang lain bersifat ego sentrisataume mentingkan diri sendiri. Peran lingkungan pada usia ini ialah memberikan support/dorongan dan memberi keyakinan yang jelas. Perasaan negative yaitu rasa malu dan ragu timbul apabila anak merasa tidak mampu mengatasi tindakan yang dipilihnya serta kurangnya support dari orang tua dan lingkungannya.[4]
Diantara menahan dan membuang, anak berusaha melatih kemampuan memilih. Anak yang berusia 2 tahun ingin memegang apapunyang diinginkan, dan mendorong apapunyang tidak diinginkan. Mereka melatih kehendak mereka, tepatnya otonomi. Kematangan biologis juga turut mendukung kemunculan otonomi selama tahun kedua dan tahun ketiga. Anak sekarang bisa berdiri dengan dua kaki mereka sendiri, mereja juga mulai minta makan sendiri meski latihan inimembuat makanan bertumpahan. Ketika anak sudah sanggup mengontrol diri dan mencapai puncak-puncak kehendak, orang tua memutuskan kalau inilah waktunya untuk mengajar mereka cara bertindak yang benar. Orang tua kemudian melatih anak menggunakan toilet dengan membuat mereka merasa malu atas perilaku anal mereka yang berantakan dan tidak pantas itu.
Erikson setuju kalau peperangan menggunakan toilet sangat penting. Namun dia juga melihat kalau peperangan ini antara otonomi anak dan regulasi masyarakat yang berlangsung di sejumlah arena yang lain. Contohnya, cepat atau lambat orang tua memutuskan untuk melatih bahwa anak 2 tahun tidak boleh lagi mengatakan “tidak” terhadap setiap permintaan orang tua. Mereka harus hidup di masyarakat dan menghargai keinginan orang lain.
Erikson mendefinisikan konflik di titik ini sebagai otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu. Otonomi muncul dari dalam, sebuah pendewasaan biologis yang mengasah kemampuan anak untuk melakukan segala hal denga caranya sendiri. Rasa malu dan ragu-ragu, sebaliknya datang dari kesadaran akan ekspektasi dan tekanan sosial. Contohnya, seorang gadis kecil yang mengompol di celana jadi sadar diri, khawatir kalau orang lain melihatnya dalam kondisi itu. Rasa ragu berasal dari kesadaran bahwa dirinya tidak begitu berkuasa, sehingga orang lain bisa mengontrol dia dan bertindak lebih baik dari pada dia.
Bagi anak yang sanggup mengimbangi rasio otonomi lebih dari rasa malu dan ragu-ragu, maka mereka akan mengembangkan kekuatan ego dalam bentuk kehendak yang kokoh. “kehendak” kata Erikson merupakan kebulatan tekad yang tidak bisa dipatahkan untuk melatih pilihan bebas dan pengendalian diri.

3.    Tahap Falik (Odipal)
Zona-zona dan mode-modenya. Selama tahap ketiga Freud (antara usia 3-6 tahun), kepedulian anak kepada zona anal membuka jalan menuju perhatian kepada zona genital. Anak memfokoskan ketertarikkan pada alat kelaminnya dan menjadi sangat ingin tau organ kelamin anak lain. Mereka juga membayangkan dirinya kedalam peran orang dewasa, bahkan berani bersaing dengan salah satu orang tuanya untuk memperoleh kasih sayang yang lain. Anak memasuki krisis odipal. Erikson menyebut mode utama di tahap ini sebagai intrusi. Lewat istilah ini, dia berharap  bisa menagkap masud Freud tantang anak yang semakin tumbuh dalam keberanian, keingintahuan dan hasrat persaingan. Istialah intrusi melukiskan aktivitas kelamin anak laki-laki. Bagi kedua janis kelamin, kematangan fisik dan kemampuan mental mendorong anak maju menuju beragam aktivitas.
Tahap umum: insiatif vs rasa bersalah. Inisiatif, berarti pergerakan kedepan. Lewat inisiatif, anak membuat rencana, menetapkan tujuan dan mempunyai semangat untuk mencapainya. Di titik ini, krisis datang ketika anak mulai menyadari bahwa rencana-rencana terbesar mereka dan harapan-harapan terdalamnya hancur berantakan.  Ambisi-ambisi ini tentunya ambisi odipal, keinginan untuk  memiliki salah satu orang tua dan bersaing dengan yang satunya. Lalu anak menemuakan kalau harapan-harapan ini melanggar tata sosial dan amat berbahaya dari yang bisa ia bayangkan. Karena itu anak mulai memperhatikan larangan-larangan sosial, sebuah rasa bersalah pembentuk superego, demi menjaga implus dan fantasi bernahaya tetap terkendali.
Di mata Erikson, penciptaan superego melandasi salah satu tragedi besar hidup manusia. Superego di butuhkan bagi perilaku yang tersosialisasikan, namun ternyata dia masih mengandung sejumlah insiatif keberanian seperti yang ditemuinya ketika masih berada di tahapan fisik dulu. Namun Erikson tidak pesimis dengan hal itu, dia malah mengamati kalau anak-anak yang berusia 3-6 tahun, lebih dari periode waktu manapun, sudah siap untuk belajar dengan cepat dan gigih, dan bersedia mencari cara untuk menghubungkan ambisi mereka dengan tujuan-tujuan yang berguna secara sosial. Orang tua bisa membantu proses ini dengan memperlunak otoritas dan memperbolehkan  anak berpartisipasi dengan setara untuk menghadapi proyek-proyek kehidupan yang menarik. Lewat cara inilah, orang tua bisa membantu anak keluar dari krisis tahapan ini dengan pengertian penuh mengenai tujuan, “keberanian untuk memimpikan  dan mengejar tujuan-tujuan yang bernilai, yang tidak akan bisa dirusak oleh rasa bersalah maupun larangan.

4.    Tahap Letensi
Di dalam teori Freud, jalan keluar bagi kompleks odipus adalah periode latensi, yang bertahan sampai usia 11 tahun. Selama periode ini, dorongan-dorongan seksual dan agresif yang menghasilkan krisis di periode-periode sebelumnya tidur untuk sementara waktu. Tidak ada zona libidinal (seksual) di tahap ini. Namun begitu, kehidupan anak diperiode ini tidak lah bebas konflik. Contohnya, kelahiran saudara kandung bisa saja membangkitkan kecemburuan mendalam. Tapi umumnya, periode ini tenang dan stabil, tidak ada gejolak dalam insting maupun dorongan.
Mesikpun tenang, Erikson menunjukan kalau tahap ini justru paling menentukan bagi pertumbuhan ego. Disini anak belajar menguasai kemampuan kognitif dan sosial yang penting. Sementara krisis di tahap ini adalah industri vs inferioritas. Anak melupakan harapan dan keinginan masa lalu, yang sering kali merupakan harapan dan keinginan keluarganya, dan sangat ingin mempelajari kemampuan dan kegunaan peralatan budayanya yang lebih luas.di dalam masyarakat anak mulai berburu, bertani dan membuat perkakas.
Bahaya di tahapan ini adalah perasaan berlebih-lebihan karena ketidaktepatan dan infrioritas. Kebanyakan dari kita mungkin masih ingat rasa sakit dari kegagalan di kelas atau diperolok-olok teman bermain. Namun perasaan inferior yang terlalu mendalam memiliki akar yang sangat beragam. Bisa jadi anak menemui kesulitan di tahap ini kerena tidak berhasil menyelesaikan konflik di tahap-tahap sebelumnya. Disisi lain, guru yang baik (yang merasa dirinya dipercaya dan dihargai komunitas) bisa membantu anak di masa-masa kritis ini. Erikson berulang kali menemukan bahwa didalam kehidupan orang-orang yang penuh inspirasi basar dan bertalenta tinggi, ternyata gurulah yang dulu sudah membuat dia merasa berbeda dan unik, dengan mendukung talenta-talentanya sewaktu dia masih kecil. Dan keberhasilan memecahkan masalah di tahap ini akan membawa anak kepada penguatan ego yang di sebut Erikson kompetensi, sebuah latihan inteligensia dan kemampuan secara bebas dalam menyelesaikan tugas-tugas, tanpa diganggu perasaan infreoritas yang berlebihan.

5.    Tahap Pubertas (Tahap Genital)
Menurut Sigmund dan Anna Freud, masa remaja merupakan masa penuh gejolak karena perubahan fisiologis yang dramastis di alami di usia-usia ini. Dorongan-dorongan seksual dan agresif, yang tidur selama tahap litensi, sekarang mengancam untuk menaklukan ego dan membobol pertahanannya. Zona genital, khususnya mulai di rasuki energi seksual yang sangat dasyat, membuat masa remaja sekali lagi di ganggu oleh fantasi-fantasi odipal.
Erikson setuju kalau peningkatan pesat di dalam energi pendorong  ini sangat mengganggu remaja, namun dia juga melihat bahwa persoalan hanya sebagian dari yang sesungguhnya. Masa remaja juga terganggu dan kacau lantaran  konflik dan tututan sosial yang baru. Tugas utama remaja, kata Erikson adalah membangun pemahaman baru mengenai identitas ego, sebuah perasaan tentang siapa dirinya dan tempatnya di tatanan sosial yang lebih besar. Krisis ini merupakan salah satu dari krisis identitas vs kebingungan peran.
Perubahan fisik yang sangat cepat pada masa pubertas telah menciptakan rasa kebingungan  identitas. Anak muda mulai tumbuh sangat cepat dan mengubah begitu banyak cara yang sudah ditemukan sebelumnya. Mungkin karena alasan inilah para remaja menghabiskan waktu menatap cermin dan begitu memperhatikan penampilan mereka. Masalah identitas yang di hadapi remaja sama banyaknya dengan masalah sosialnya, bahkan mungkin lebih banyak lagi. Tapi bukan pertumbuhan fisik  atau implus seksual yang mengganggu mereka, melainkan ketakutan tidak terlihat baik atau tidak memenuhi harapan orang lain. Karena remaja merasa tidak begitu pasti dengan siapa dirinya, merekapun sangat bersemangat untuk mengidentifikasikan diri dengan membentuk geng atau kelompok tertentu. Mereka bisa menjadi tidak toleran dan kejam waktu mengucilkan orang lain yang berbeda dari mereka.
Untuk memahami pembentukan identitas, kita harus paham lebih dulu kalau ini proses seumur hidup. Sebagian dari diri kita, membentuk identitasnya lewat pengidentifikasian. Tanpa sadar kita sedah menjadikan diri kita seperti mereka. Untuk sebagian lain, kita mengembangkan pemahaman identitas lewat pencapaian tertentu. Kemampuan unuk berlari, berdiri, berjalan, bermain bola, menggambar dan semual hal lain, memberikan kontribusi yang besar bagi pemahan kita mengenai identitas ego. Kita melihat diri kita sebagai “pribadi yang sanggup melakukan hal-hal ini”. Pencapaian seperti ini lalu menjadi bagian dari pemahaman positif dan abadi mengenai identitas kita untuk bisa berperan penting di dalam budaya.
Walaupun pembentukan identitas merupakan proses seumur hidup, tapi masalah identitas ini mencapai krisisnya di masa remaja. Inilah waktu terjadinya begitu banyak perubahan batin, saking banyaknya sampai-sampai komitmen masa depan dipertaruhkan di masa ini. Identitas sebelumnya jadi tampak tidak kuat bagi semua pilihan dan keputusan yang harus di buat sekarang. Pembentukan identitas merupakan proses yang terjadi di dalam ketidaksadaran. Yang bisa di sadari anak muda hanyalah bisa pengalaman pahit atas ketidakmampuan mereka membuat komitmen abadi. Mereka merasa terlalu banyak yang harus diputuskan  segera, dan bahwa setiap keputusan mereduksi alternatif lain masa depan mereka. Karena komitmen begitu sulit, terkadang mereka harus memasuki periode moratorium psikososial terlebih dahulu, sejenis periode “penarikan diri” untuk menemukan jati diri sendiri. Banyak anak muda berhasil menyelesaikan masalah ini ketika mencapai kondisi moratorium yang bebas. Tapi sebelum tiba kondisi itu, sebelum benar-benar yakin siapa dirinya dan apa yang dikerjakannya di hidup ini, sering kali mereka mengalami perasaan terisolasi (merasa waktu sedang mengulang dirinya, tidak mampu menemukan makna dalam aktivitas apa pun, dan sebuah perasaan bahwa hidup asal jalan).
Remaja sering kali menunda komitmen apa pun karena kebutuhan batinnya untuk menghindari identitas yang terlalu mapan, sebuah perasaan terlalu prematur unuk menerima pesan-pesan sosial yang terkontak-kontakkan. Dan meskipun pencarian identitas yang berlarut-larut ini amat menyakitkan, namun akhirnya mereka sampai juga kepada bentuk integrasi personal yang lebih tinggi dan inovasi sosial yang lebih sejati. Jadi, tugas utama remaja adalah menemukan sejumlah cara hidup dimana kita bisa membuat komitmen permanen. Perjuangan di tahapan ini membawa mereka pada kekuatan ego baru dalam bentuk kesetiaan, sebuah kemampuan untuk mempertahankan loyalitas yang sudah diniati sejak dulu.

6.    Tahap Dewasa Muda
Erikson adalah Freudian pertama dan salah satu dari sejumlah kecil penulis perkembangan yang sanggup mengamati tahap dewasa secara mendetail. Tahap perkembangan dewasa Erikson berisi lankah-langkah manusia memperluas dan memperdalam kapasitas mencintai dan memperhatikan orang lain. Pada masa remaja, mereka hanya berpusat kepada diri sendiri, lebih bergulat pada penampilan mereka dimata orang lain, dan akan menjadi apa mereka di masa depan. Mereka jadi tertarik secara seksual kepada orang lain bahkan jatuh cinta, namun kedekatan itu sering kali hanya bertujuan untuk mendefinisikan dirinya saja. Di dalam interaksi-interaksi awal, anak muda berusaha menemukan siapa diri mereka lewat percakapan tanpa batas mengenai perasaan mereka yang sesungguhnya, mengenai pandangan terhadap satu sama lain, mengenai rencana, harapan dan cita-cita mereka.
Masa remaja masih terlalu asik dengan siapa dirinya atau tugas apa yang harus dipilih untuk menyongsong masa dewasa muda, yang intinya mencapai sebuah keintiman. Keintiman yang riil adalah satu-satunya perasaan identitas paling masuk akal yang sudah dibangun selama ini. Erikson mengamati anak muda menikah sebelum mampu meletakkan fondasi yang baik bagi identitas dirinya. Mereka berharap sanggup menemukan diri mereka didalam pernikahan. Sayangnya pernikahan jarang menghasilkan apa yang mereka cari. Pasangan muda ini cepat atau lambat mulai merasa terkekang oleh kewajiban sebagai kekasih dan orang tua. Mereka akan segera mengeluh pasangannya tidak lagi memberinya kesempatan untuk mengembangkan diri. Didalam keintimannya, Erikson membahas organisme merupakan pengalaman tertinggi dari pengaturan timbal balik yang bisa mengurangi kepahitan yang tidak perlu dan diperlisihkan diantara dua manusia. Namun dia juga menambahkan ini lebih dari sekedar masalah seksual. Keintiman yang benar berarti dua orang rela berbagi dan beregulasi timbal-balik semua aspek terpenting hidup mereka. Tidak akan pernah ada pasangan yang dapat mengalami keintiman total karena setiap orang berbeda (secara seksual dan yang lainnya).

7.    Tahap Dewasa
Sekali dua insan muda-mudi sanggup membangun keintiman yang benar, ketertarikan mereka mulai berkembang melampaui fokus pada diri sendiri. Mereka jadi peduli dengan membesarkan generasi selanjutnya. Di dalam terminologi Erikson, mereka memasuki tahapan semangat berbagi vs penyerapan-diri dan stagnasi. Semangat berbagi merupakan istilah yang sangat luas, mengacu bukan hanya kepada memproduksi anak, tetapi juga memproduksi hal-hal dan ide-ide lewat kerja. Namun Erikson lebih menyoroti yang perama adalah membesarkan seorang anak.
Fakta seorang sudah memiliki anak tidak menjamin dia memiliki semangat berbagi. Orang tua harus melakukan lebih banyak hal dari pada hanya menghasilkan keturunan. Mereka juga harus melindungi dan membimbing mereka. Artinya orang tua harus sering mengorbankan kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Mereka harus mengatasi godaan untuk memuaskan diri sendiri, yang hanya akan mengarah kepada stagnasi yang tidak produktif. Apabila mereka bisa mengatasi konflik ini secara positif, mereka akan mengembangkan kemampuan untuk memperhatikan generasi selanjutnya. Bahkan orang-orang yang tidak mempunyai anak dapat mengajar dan menuntun generasi selanjutnya “dengan membimbing anak orang lain atau menciptakan dunia yang lebih baik bagi mereka”. Orang dewasa seperti ini jelas mengalami jenis frustasi yang berbeda, khususnya wanita, karena tubuh mereka dirancang untuk melahirkan dan membesarkan keturunan. Meski pun begitu, rasa perhatian dan semangat berbagi masih mungkin mereka lakukan dengan baik.
Disisi lain, ada juga banyak orang yang menikah tetapi kekurangan semangat berbagi, pasangan ini sering kali mundur atau mulai menutup diri seolah-olah mereka satu-satunya anak tunggal. Dan di sisi lain ada sejumlah alasan bagi ketidakmampuan manusia mengembangkan  tahap ini. Mungkin karena masa kecilnya dulu begitu hampa atau frustasi sehingga tidak bisa memiliki bayangan apa pun tentang yang sebaiknya dilakukan dengan anak-anak mereka.

8.    Tahap Usia Senja
Leteratur psikologis mengenai usia senja, yang masih jarang jumlahnya, biasanya melihat periode ini sebagai kemunduran. Kaum tua-tua, berulang kali ditunjukan harus menghadapi serangkaian kehilangan fisik dan sosial. Mereka kehilangan kekuatan fisik dan kesehatan, kehilangan pekerjaan sehingga pendapatan mereka sekarang bergantung pada dana pensiun, mereka juga mulai kehilangan kerabat, pasangan dan teman-teman satu persatu. Yang sama merusaknya adalah mereka menderita kehilangan status sosialnya, menjadi tidak bisa aktif lagi, dan merasa diri “tidak berguna”
Erikson sangat menyadari bahwa banyak penyesuaian, fisik maupun sosial harus dilakukan para lansia. Dia menyadari fakta bahwa para lansia tidak bisa seaktif dulu. Namun penekanan mestinya bukan diberikan pada penyesuaian eksternal, melainkan pergulatan batin di periode ini, sebuah pergulatan yang berpotensi untu tumbuh bahkan mencapai kebijaksanaan. Erikson menyebut pergulatan ini integritas ego vs keputusasaan.
Seiring dengan mendekatnya lansia menghadapi kematian, mereka pun terlibat, kata Erikson itu adalah ulasan hidup. Mereka menengok kembali hidupnya dan bertanya-tanya apakah hidup yang sudah di jalani berharga. Di dalam proses ini mereka berkonfrontasi dengan rasa putus asa puncak, perasaan bahwa hidup bukan seperti yang diinginkan dahulu, namun sekarang waktunya sudah habis, dan tidak ada lagi kesempatan untuk mencoba gaya hidup alternatif.
Semakin para lansia menghadapi rasa putus asa, mereka akan semakin berusaha menemukan pengertian mengenai integritas ego. Kata Erikson, Integritas ego sangat sulit didefinisikan mencakup perasaan bahwa terdapat sebuah suratan bagi hidupnya dan penerimaan atas suratan tersebut, sebuah siklus hidup yang harus terjadi dan dan tidak ada yang bisa menggantikannya. Integritas adalah perasaan yang berkembang melampaui diri bahkan mentransendensikan ikatan-ikatan nasional dan ideologis.[5]

B.  Teori Kepribadian Sigmund Freud
Sigmund Freud membagi struktur kepribadian menjadi 3 bagian yaitu:
1.    Id 
Adalah sistem kepribadian yang paling dasar.  Id berada di dalam naluri bawaan. Id berisi unsur-unsur biologis termasuk di dalamnya instink-instink. Id berfungsi sebagai pusat dari ketidaksadaran pikiran manusia.
2.    Ego 
Ego merupakan bagian dari ketidaksadaran pikiran manusia. Ego  mempunyai fungsi sebagai penyalur keinginan dari Id yang berisi keinginan dan dorongan.
3.    Superego
Adalah sistem kepribadian yang berisikan nilai atau aturan bersifat evaluatif (menyangkut baik dan buruk).[6]

C.  Persamaan Antara Teori Erikson dan Psikoseksual Freud
Sebagai tokoh yang lebih suka disebut “psikolog Ego pasca-Freudian”, Erik mempunyai beberapa kesamaan pandang dengan Freud sebagai panutannya: 
1.    Sebagaimana Freud, Erik melihat realitas serta urutan semua tahap dalam perkembangan setiap individu sebagai hal yang tidak berubah karena sudah ditentukan sebelumnya. 
2.    Erik juga mengakui adanya struktur kepribadian triganda manusia yang terdiri dari tiga komponen yaitu Id, Ego dan Superego.Pengakuan terhadap akar dan dasar seksual serta biologis sebagai kecenderungan motivasional dan kepribadian selanjutnya.
3.    Menyetujui bahwa rencana dasar kepribadian manusia ditandai oleh berbagai hal tetap seperti: konflik traumatis yang mungkin berhubungan dengan menyusui anak, pembuangan air seni atau feses, penegasan diri falis pada anak laki-laki maupun sifat mudah menerima pada anak perempuan.

D.  Perbedaan Pendapat Antara Erikson dan Freud
Sekalipun salah satu sumber  yang dipakai Erikson untuk menciptakan teorinya adalah berdasarkan pandangan Freud, namun tetap ada perbedaan-perbedaan diantara keduanya, yaitu:
1.    Psikoseksual Freud berdasarkan pendekatan perkembangan afektif, irasional, dan naluriah (seksualitas dan agresi) manusia sedangkan Erikson menciptakan pendekatan psikososial dari hasil penelitiannya terhadap psikoanalisis Freud yang diperluas.
2.    Menurut Erikson, Ego atau aspek pkikologis adalah struktur kepribadian manusia yang relatif otonom, berkembang secara sosial dan adaptif sehingga mendorong perkembangan manusia. Adapun Freud berpendapat bahwa Id menjadi daya dorong bagi segala perkembangan.
3.    Freud mengemukakan gambaran manusia sebagai pribadi yang suram dan pesimistis dimana sikap positif hanya sebagai penyamaran dari dimensi negatif. Tanggapan Erikson adalah bahwa ia melihat gambaran manusia sebagai pribadi yang optimis dan menggairahkan.
4.    Solusi yang ditawarkan Freud dalam memecahkan masalah ialah mengembalikan fenomena psikis kepada trauma awal yang terjadi pada masa lampau yang dialami seseorang pada masa anak. Sedangkan pemikiran Erikson mengarah pada masa depan  serta daya-daya penyembuhan yang sedang berpengaruh dalam setiap manusia.
5.    Freud memfokuskan teorinya berdasarkan daya-daya naluri infra-psikis yang berada di dalam diri setiap orang. Erikson berpendapat bahwa perspektif psikososial yang memperhitungkan faktor ekstern menjadi aspek penting yang ikut menentukan perkembangan dan pembentukan identitas seseorang.
6.    Berkaitan dengan pengujian teori, Erikson adalah psikoanalis anak pria yang pertama dimana teorinya teruji melalui kontak langsung dengan anak-anak khususnya lewat permainan. Sedangkan Freud tidak pernah secara langsung dan sistematis menangani atau mengobati anak kecil sehingga teorinya lebih berdasarkan data empiris yang diperolehnya sendiri.[7]


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari Makalah ini dapat disimpulkan bahwa Salah satu ahli yang mendasari teorinya dari sudut sosial ialah Erik H. Erikson dengan menyebut pendekatannya “Psikososial” atau “Psikohistoris”.  Erikson berusaha menjelaskan bahwa ada hubungan timbal balik antara pribadi dan kebudayaan sampai orang tersebut menjadi dewasa. Disini terlihat bahwa lingkungan hidup seseorang dari awal sampai akhir dipengaruhi oleh sejarah seluruh masyarakat karena perkembangan relasi antara sesama manusia, masyarakat serta kebudayaan semua saling terkait. Itu berarti tiap individu punya kesanggupan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang senantiasa berkembang dari orang-orang atau institusi supaya ia bisa menjadi bagian dari perhatian kebudayaan secara terus-menerus.
Erikson berusaha menemukan perkembangan psikososial Ego melalui berbagai organisasi sosial dalam kelompok atau kebudayaan tertentu. Ia mencoba meletakkan hubungan antara gejala psikis, edukatif dan gejala budaya masyarakat. Dalam penelitiannya, Erikson membuktikan bahwa masyarakat atau budaya melalui kebiasaan mengasuh anak, struktur keluarga tertentu, kelompok sosial maupun susunan institusional, membantu perkembangan anak dalam berbagai macam daya Ego yang diperlukan untuk menerima berbagai peran serta tanggung jawab sosial 
B.  Saran
Dengan adanaya makalah ini, diharapkan bagi para pembaca untuk giat dalam memahami teori-teori atau tahap-tahap perkembangan secara gamblang. Walaupun didalamnya menggunakan bahasa yang sulit dipahami, dengan itu pembaca dapat memperluas pemahaman dan membuka wawasan. Materi perkembangan ini sangat penting bagi kita nanti setelah membangun sebuah keluarga. Tentunya kita akan menjadi orang tua. Dengan adanya pemaparan materi ini, kita tentunya bisa menjadikan dasar bagaimana cara memahami perkembangan pada anak kita nanti.


DAFTAR PUSTAKA

William Crain, Teori Perkembangan Konsep dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)
Yudrik Jahya, Psikoligi Perkembangan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011)
Siti Rokhana, Analisis Tokoh Utama Dengan Teori Psikoanalisa SIgmund Freud Pada Cerpen Hana Karya Akutagawa Ryunosuke, (Semarang: jurnal 2009)
Yeni Krismawati, Teori Psikologi Perkembangan Erik H. Erikson dan Manfaatnya  Bagi Tugas Pendidikan Dewasa Ini, (Jakarta: KURIOS, ISSN: 2406-8306 (print), http://www.sttpb.ac.id/e-journal/index.php/kurios)



[1] William Crain, Teori Perkembangan Konsep dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007). Hal 428-429
[2] Yudrik Jahya, Psikoligi Perkembangan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011). Hal 93
[3] William Crain, Teori Perkembangan Konsep dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007). Hal 434
[4] Yudrik Jahya, Psikoligi Perkembangan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011). Hal 93-94
[5] William Crain, Teori Perkembangan Konsep dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007). Hal 434-449
[6] Siti Rokhana, Analisis Tokoh Utama Dengan Teori Psikoanalisa SIgmund Freud Pada Cerpen Hana Karya Akutagawa Ryunosuke, (Semarang: jurnal 2009). Hal 9
[7] Yeni Krismawati, Teori Psikologi Perkembangan Erik H. Erikson dan Manfaatnya  Bagi Tugas Pendidikan Dewasa Ini, (Jakarta: KURIOS, ISSN: 2406-8306 (print), http://www.sttpb.ac.id/e-journal/index.php/kurios). Hal 48-49

No comments:

Post a Comment