1

loading...

Kamis, 21 Januari 2016

MAKALAH ILMU SOSIAL DASAR & ILMU BUDAYA DASAR (ISD & IBD)

MAKALAH  ILMU SOSIAL DASAR & ILMU BUDAYA DASAR (ISD & IBD)  
“KONSEPSI ILMU BUDAYA DASAR DALAM KESUSASTRAAN”




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Keutuhan manusia sebagai pribadi dapat dimungkinkan melalui pemahaman, penghayatan, dan meresapkan nilai-nilai yang terkandung dalam suatu karya seni rupa sebagai salah satu bagian dari kebudayaan. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang dianugerahi pikiran, perasaan dan kemauan secara naluriah memerlukan prantara budaya untuk menyatakan rasa seninya, baik secara aktif dalam kegiatan kreatif, maupun secara pasif dalam kegiatan apresiatif. Siapakah di antara kita yang tidak menyukai-keindahan atau nilai­nilai estetika? Setiap manusia memiliki kecenderungan untuk menghadirkan keindahan dalam hidupnya.
.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah Yang Dimaksud Dengan Keindahan itu ?
2.      Apa Saja Contoh Karya Seni/Keindahan ?

C.    Tujuan Masalah
1.      Agar Dapat Memahami Yang Dimaksud Dengan Keindahan.
2.      Agar Dapat Mengetahui Apa Saja Contoh Karya Seni/Keindahan.




BAB II
KONSEPSI DALAM KUSUSASTRAAN,
SENI RUPA, DAN SENI MUSIK

A.    Pengertian Keindahan
Siapakah di antara kita yang tidak menyukai-keindahan atau nilai­-nilai estetika ? Setiap manusia memiliki kecenderungan untuk menghadirkan keindahan dalam hidupnya.
Itu dapat kita amati dalam kehidupan kita sehari-hari. Pakaian yang kita dapati. penataan interior dan eksterior rumah kita, tempat kerja kita, sampul buku ilmiah buku sastra juga bacaan pop, segala jenis majalah. kampus. tempat ibadah. tempat rekreasi, semuanya ditata dengan sentuhan keindahan. Tata kota, tata lampu. tata boga, tata busana potongan rambut, wajah pun. ditampilkan dengan membawa cita rasa estetik tertentu. Rasanya, harga diri kita kurang bergengsi manakala dalam hidup ini kita hanya mengandalkan fungsi, tetapi dan sama sekali mengabaikan selera keindahan.
Keindahan bagi manusia merupakan sesuatu yang sangat penting, yang menunjukkan bahwa manusia itu memiliki perasaan yang halus, lembut. Searta menghargai kualitas. Tingginya cita rasa artistik seseorang dalam meresapkan karya-karya yang indah, pada gilirannya akan memberikan pengaruh positif terhadap sikap emosi dan sikap moralnya.
Memiliki apreasiasi terhadap seni, berarti memiliki penghargaan. Keakraban, dan kecintaan terhadap karya seni itu sendiri. Rasa dan sikap batin tersebut berangkat dari suatu kemampuan meresap dan menghayati keindahan serta kemampuan memahami makna yang terkandung di dalamnya.
Ada keindahan dalam-arti luas dan ada pula keindahan dalam arti sempit. ada pula estetik murni, kontemplasi, ekstese. nilai estetis karya seni, dan lain-lain. The Liang Gie dalam bukunya Garis Bestir Estetik (filsafat keindahan), menerjemahkan keindahan dengan kata beautiful. Menurut cakupannya. maka harus dibedakan antara keindahan sebagai suatu kualitas abstrak dan sebagai sebuah benda tertentu yang indah.
Menurut The Liang Gie, keindahan dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1.      indah dalam arti luas
2.      indah dalam arti estetika murni
3.      indah dalam arti terbatas pada penglihatan.
Keindahan dalam arti luas mengandung ide kebaikan. Plato menyebutnya sebagai watak yang indah dan hukum yang indah, sedangkan Aristoteles merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang baik juga menyenangkan. Pengertian keindahan dalam arti estetik murni, adalah pengalaman estetik seseorang dalam hubungannya dengan sesuatu yang diserapnya. Adapun pengertian keindahan dalam arti terbatas. hanya benda-benda yang dapat diserap dengan penglihatan, yaitu berupa keindahan bentuk dan warna.
Keindahan dianggap sehagai salah satu jenis nilai, seperti halnya nilai moral, nilai pendidikan dan sebagainya. Nilai yang tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai estetis.
Para filosof mendefinisikan keindahan sebagai suatu kesatuan hubungan yang formal pengamatan, yang dapat menimbulkan rasa senang. Dengan batasan tersebut, orang sering mencampur adukkan pengertian keindahan dan seni. Pada hal kesenian mempunyai gejala yang lebih kongkret dari keindahan. Dengan demikian pernyataan bahwa segala sesuatu yang indah adalah seni. dan seni pastilah indah, tidak selalu benar.
Para ahli merumuskan beberapa delinisi keindahan sebagai berikut:
a.       Loe Tolstoy (Rusia)
Dalam bahasa Rusia, keindahan adalah krasota artinya sesuatu yang mendatangkan rasa senang bagi yang melihat dengan mata. Bangsa Rusia tidak dapat menyebutkan keindahan untuk musik. Yang indah hanya dapat dilihat dengan mata (visual). Itulah sebabnva Leo. Tolstoy berpendapat bahwa keindahan adalah suatu yang mendatangkan rasa menyenangkan bagi yang melihat.


b.      AlexanderBauntgarten (Jerman)
Keindahan adalah suatu bagian yang memiliki susunan teratur, yang bagian-bagian itu dan yang Barat hubungannya antara satu dan lain, dan juga dengan keseluruhan.
c.       Sulzer
Keindahan itu hanya untuk yang baik. Jika belum baik, sesuatu itu belum dapat dikatakan indah. Keindahan harus memupuk perasaan moral. amoral adalah tidak indah karena tidak dapat digunakan untuk memupuk moral.
d.      Winchelmann
Keindahan itu dapat terlepas sama sekali dari kebaikan.
e.       Shaftesbury (Jerman)
Yang indah itu adalah yang memiliki proporsi yang harmonis. Karena yang mempunyai proporsi yang harmonis itu nyata, maka keindahan dapat disamakan dengan kebaikan. Yang indah adalah yang nyata dan yang nyata adalah yang baik.
f.       Humo (Inggris)
Keindahan adalah sesuatu yang menyebabkan atau mendatangkan rasa senang.
g.      Hemsterhuis (Belanda)
Yang indah adalah yang paling banyak mendatangkan rasa senang, dan yang dalam waktu sesingkat-singkatnya paling banyak memberikan pengamatan yang menyenangkan.
h.      Emmanuel karat
Ada dua rumusan tentang keindahan
1.      Yang subjektif, keindahan adalah sesuatu yang tanpa direnungkan dan tanpa bersangkut-paut dengan kegunaan praktis. tetapi mendatangkan rasa senang.
2.      Yang objektif, mendatangkan keserasian dari suatu objek terhadap tujuan yang dikandungnya sejauh objek ini tidak ditinjau dari segi gunanya.
i.        Al-Ghazali
Keindahan suatu benda terletak dari kesempurnaan, yang dapat dikenali, kembali dan sesuai dengan sifat benda itu. Setiap benda memiliki karakteristik yang perfeksi. Sifat perfeksi dalam sebuah benda merupakan representasi keindahan yang bernilai paling tinggi. Apabila hanya sebagian yang ada, benda itu mempunyai sebagian nilai keindahan. Misalnya, karangan yang paling indah adalah karangan yang mempunyai sifat perfeksi yang khas bagi karangan (tulisan), seperti keharmonisan huruf hubungan arti yang tepat satu sama lainnva. Spasi yang tepat, serta susunan yang baik. Di samping itu, mengantarkan jiwa sehingga mampu merasakan keindahan dalam diunia yang lebih dalam. yaitu nilai-nilia spiritual moral, dan agama.
j.        Herbert Read
Keindahan dipandang sebagai gejala-gejala yang tidak tetap sifatnya.
k.       Sarpetreit
Perasaan dan keindahan gejala yang tak tetap sifatnya sehingga manifestasinya juga tidak tetap wujudnya.
Pendapat tentang keindahan sangat beragam sehingga orang  lebih cenderung membicarakan kesenian dari pada keindahan. Hal ini karna kesenian mempunyai gejala yang lebih kongkret dari pada unsur keindahan. Hampir semua. kesalahan tentang konsepsi seni disebabkan kurang ajegnya penggunaan kata seni dan keindahan.. Kalau sudah menggidentifikasikan antara seni dan keindahan. ada anggapan bahwa yang indah adalah seni tidaklah tetap karena seni sudah pasti indah. Identifikasi seperti ini seni belum tentu indah dan tidak ada keharusan harus indah. Secara historis, hasil seni pada masa silam tidak sama dengan hasil seni pada masa sekarang. Sebab kriteria antara seni masa silam dan seni masa kini adalah berbeda. Demikian pula secara sosiologis bahwa manifestasi seni sekarang ini tidak sama dengan hasil seni pelbagai tempat dunia.
Seperti dikemukakan pada defnisi-definisi di atas, rumusan keindahan yang paling sederhana adalah kesatuan hubungan bentuk-bentuk yang ada di antara kesadaran persepsi kita atau Iebih sederhana lagi adalah sesuatu yang memberi kesenangan. Sekarang kalau dibandingkan dengan pengertian seni, supaya makin tampak perbedaannya dan makin jelas. Benedetto Crose mempunyai dalil seni yang paling tepat adalah sebagai intuisi.
Secara sederhana seni adalah suatu usaha untuk menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan. Bentuk yang demikian itu memuaskan kesadaran keindahan kita dan rasa indah itu terpenuhi bila kita dapat menemukan kesatuan atau harmonis dari hubungan bentuk­bentuk yang kita amati itu.
1)      Perbedaan antara Seni dan Keindahan
Hampir semua kesalahan kita mengenai konsepsi semi ditimbulkan oleh kekurang tepatan dalam penggunaan kata seni dan keindahan. Yang jelas bagi kita ialah bahwa kedua kata itu selalu salah dalam penggunaannya. Kita selalu menganggap bahwa semua yang indah itu adalah seni, atau sebaliknya, bahwa semua seni itu indah dan yang tidak indah itu bukanlah seni. Identifikasi seni dan keindahan seperti ini adalah dasar dari segala kesukaran kita di dalam memberikan apresiasi kepada seni. Bahkan, pada orang-orang nyata-nyata sensitif terhadap segi-segi estetis pun, anggapan itu secara tidak disadari, merupakan sensor dalam hal-hal tertentu pada sesuatu hasil seni kebetulan tidak indah. Sebetulnya seni tidaklah selalu harus indah. Baik pandangan historis (dengan meneliti bagaimana hasil-hasil seni di masa silam) maupun secara sosiologis (dengan mengingat, bagaimanakah manifestasi-manifestasi semi sekarang ini di berbagai tempat di dunia) ternyata bahwa hasil seni sering tidak indah.
Seni tidak identik dengan keindahan. Dalam menghadapi sebuah karya seni, tidak hanya kategori keindahan yang bergetar dalam hati seorang penonton, melainkan kategori lainnya juga. Perasaan estetik hanya merupakan sebagian saja dari perasaan seni. Sebuah contoh yang sangat sederhana dapat menerangkan bahwa keselarasan tidak selalu merupakan satu-satunya pedoman untuk menimbulkan efek estetik, bahkan penyimpanan rnenambah efek estetik. Misalnya, meja, persegi, daun meja ditutup dengan taplak yang juga persegi, tetapi taplak itu tidak dipasang sedemikian rupa sehingga tepi taplak tidak selaras dengan daun meja, tetapi justru menyilang. Karena persilangan inilah, efeknya justru lebih menarik dan enak untuk dipandang.
Selain itu perlu kita perhatikan bahwa manusia menciptakan karya karya seni dan manusia pula yang menikmati. Manusia tidak melulu merupakan homo estheticus, melainkan sebagai manusia sosial yang secara historis berakar dalam suatu masyarakat clan zaman tertentu. itulah sebabnya dalam menciptakan barang-barang seni, seorang seniman juga terpenganih lingkungan dan zamannya, yang mungkin oleh generasi sebelumnya kurang diperhatikan.
Dunia moderen memang penuh kejutan dan ketegangan yang dalam waktu singkat dapat menggoncangkan hati kita akibat adanya sistem komunikasi moderen. Generasi muda ketika menciptakan karya seni dan mengekspresikan diri, tidak terdorong oleh gambaran keindahan, melainkan oleh kejutan-kejutan yang sedang mereka alami. Protes terhadap pembunuhan massal, tindakan yang merajalela, kemunafikan kaum beragama yang melarikan diri ke dalam benteng agama dan tidak mau melihat martabat manusia diinjak-injak, sernua itu, lebih bermakna ,dan lebih mendesak bagi seniman modern daripada mengungkapkan hasil kontemplasi yang dinikmati di temp at yang tenang dan tenteram. Jeroen Bosch, seorang pehikis Belanda yang hidup pada abad ke-15, abad penuh pergolakan yang di dalanuiya terjadi peperangan dan wabah pes yang merajalela menampilkan gambar dari impian buruk dan penuh dengan makhluk yang aneh dan menakutkan dalam lukisamlya.
2)      Karya Seni yang Tidak Indah
Seni moderen memang sukar dimengerti, bahkan mengejutkan. Para seniman moderen tidak tertarik lagi oleb keindahan clan keharmonisan, melainkan oleh sesuatu yang menggernparkan dan merisaukan hati. Sesuatu _yang dalam kesenian tradisional disinggung atau disublimasikan, diabstrakkan atau dilapisi dengan cahaya keindahan, kini ditonjolkan secara blak-blakan, kasar, dan serba menantang.
Sifat umum yang dewasa ini Bering tampak dalam kesenian Barat ialah usaha untuk menimbulkan efek shock, memperlihatkan rasa frustrasi dan kejemuan yang dirasakan oleh sang seniman dan sebagaian masyarakat. Balk dalam semi sastra, seni drama, seni pahat, dan seni film, yang kita jumpai adalah gej ala senlpa itu.
Shock menggoncangkan yang dulu dianggap telah melemparkan batu ke kaca yang melindungi harta nilai tradisional, dengan sengaja menertawakan dan mencemoohkan apa yang oleh angkatan-angkatan dulu dianggap suci dan keramat, memberontak tata tertib yang semula tak pernah diragukan serta membubuhkan tanda tanya di belakang setiap pernyataan dan ucapan.
Gejala fnistrasi tampak dari suasana keabu-abuan yang meliputi banyak karya seni kontemporer, yang tak menyiratkan gairah, serta ditonjolkan tanpa emosi dan secara faktual saja. Sebelum Perang Dunia II, dosa masih memperlihatkan sebagai suatu yang memang dilarang, tetapi toh ada segi-segi yang indah, yang membebaskannya, sebagai ekspresi gaga hidup yang vital. Akan tetapi sekarang sering digambar­kan sebagai sesuatu yang menjemukan serta ditonjolkan dalam kejelekannya yang dengan sengaja dijauhkan dari segala sesuatu yang indah. Misalnya film televisi Madema Bovare (berdasarkan karangan Flaubert pada pertengahan abad yang lalu) terra asmara dilukiskan sebagai sesuatu yang romantis dan merayu walaupun haram, dan Last Tango is Paris sebagai sesuatu yang percuma tanpa makna dan tanpa tujuan. Kita dapat melihat juga hal serupa itu dalam Nyanyian Angsa dan Khotbah karangan Renda sajak-sajak dari Sutardji Dalzoum Bachri.
3)      Sifat-sifat keindahan
Untuk mengatakan sesuatu itu indah atau tidak, berikut ini akan diungkapkan sifat keindahan. Atas dasar sifat ini, juga akai dikemukakan beberapa tanggapan mengenai keinrlahan.
a)      Keindahan itu kebenaran
Kebenaran artinya bukan tiruan. Oleh karena itu, tiruan lukisan Monalisa tidak indah karena dasarnya tidak benar. Mana yang indah, gadis cantik atau lukisan gadis cantik itu?
b)      Keindahan itu abadi
Abadi artinya tidak pernah dilupakan, tidak pernah hilang susut. Karya musik Beethoven tidak pernah dilupakan orang karena indah. Acara TVRI, dari masa 'ke masa menunjukkan bahwa lagu-lagu itu indah. John Keats menyatakan bahwa sesuatu yang indah adalah abadi, sedangkan yang tidak abadi adalah tidak indah.
c)      Keindahan mempunyai daya tank
Daya tank artinya memikat perhatian orang, menyenangkan, tidak membosankan. Bali menyenangkan orang, is mempunyai daya tank. Karena itu, dikatakan bahwa Bali itu indah. John Keats juga menyatakan bahwa sesuatu yang indah itu selain abadi, juga mempunyai daya tarik yang selaht bertambah.
d)      Keindahan itu universal
Universal artinya tidak terikat dengan seiera perseorang=an, waktu. dan tempat. Selera mode tidak universal karena terikat dengan pilihan seseorang dalam kunm waktu tertenta pula. Jadi_ mode itu tidak indah.
e)      Keindahan itu wajar
Wajar artinya tidak berlebihan dan tidak pula kurang atau menurut apa adanya. Misahiya, foto berwarna yang dicetak-iebih indah dari pada warna aslinya, justru tidak indah karena berlebihan. Penyanyi yang berteriak-teriak dan be rjingkrak-jingkrak ketika membawakan lagunya sehingga melampaui kewajaran, justru tidak indah.
f)        Keindahan itu kenikmatan
Kenikmatan artinya kesenangan _yang memberikan kepuasan. Menonton filer atau pertunjukan tari-tan an yang tidak menyenangkan dikatakan tidak indah. Apabila pencipta suahl karya seni memperoleh kenikmatan atau kepuasan apabila karyanya itu dikatakan indah. Contohnva ialah banyaknya pembaca clan penonton film yang diangkat dari novel Kabut Sutra Ungu oleh Ike Sutopo, dan Cintaku di Kampus Biru oleh Ashadi Siregar, menyebabkan si pengarang merasa peas karena keindahan karyanya.
g)      Keindahan itu kebiasoan
ebiasaan artinya dilakukan berulang-ulang. Yang tidak biasa menjadi biasa karena dilakukan_ bentlang-clang. Yang tidak biasa tidak indah namun karena dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi biasa dan indah. Contohnya ialah Hanafi dalam upacara perkawinan dengan Rafiah (Salah Asuhan, karya Abdul Muis) tidak mau mengenakan pakaian adat Minangkabau karena is terbiasa dengan pendidikan Barat dan berpakaian. ala Barat. Menurut Coleridge, seorang penyair romantik, keindahan itu dapat dipengaruhi oleh kebiasaan. Kebiasaan mempunyai akibat terhadap daya tangkap atas sesuatu. Sesuatu yang tidak nikmat menjadi nikmat karena terbiasa (misalnya merokok). Sesuatu yang tidak berarti dapat menjadi berarti karena terbiasa. Sesuatu yang tidak indah dapat berubah menjadi indah karena kebiasaan. AAan tetapi memirut Coleridge (1772- 1834) kebiasaan jangan pula sampai mengubah konsep keindahan.
1.      Estetika
Berbagai definisi tentang keindahan bersifat abstrak padahal keindahan adalah sesuatu yang nyata. Oleh karena itu, orang lebih suka berbicara tentang seni dan pengalaman estetik, karena_pengalaman estetika seseorang merupakan sesuatu yang abstrak.
Estetika dapat diartikan sebagai'teori tentang keindahan dan seni. Arti keindahan sud_ah diuraikan di muka, sedangkan arti seni adalah keindahan yang diciptakan oleh manusia. Pemandangan alam yang indah adalah ciptaan Tuhan. Begitu pula bu nga yang indah dan warna yang beragam. Akan tetapi keelokan tubuh manusia bukanlah merupakan seni karena kesemuanya itu bukan ciptaan manusia, tetapi ciptaan Tuhan.
Pada hakikatnya seni adalah indah, tetapi bukan berarti bahwa segalanya yang indah adalah seni_ Di dalam seni orang mencoba mendeskripsikan sebuah gejala dengan sepenuh maknanya. Melalui berbagai kemampuan, manusia berusaha mengungkapkan objek penelaahan itu sehingga betniakna bagi penciptanya dan sekaligus bagi orang lain yang menikmatinya. Muhtar Lubis mengatakan bahwa seni merupakan produk daya inspirasi dan daya cipta manusia yang bebas dari cengkerarnan dan belenggu berbagai ikatan.
Karya seni ditujukan kepada manusia dengan harapan bahwa pencipta dan objek yang diungkapkannya mampu berkomunikasi dengan manusia Dengan demikian, memungkinkana manusia tersebut berkomunikasi dengan cara menangkap pesan yang dibawa oleh karya seni tersebut. Pesan yang- dibawakan oleh para seniman biasanya bersifat moral, estetik, gagasan pemikiran atau politik. Pesan yang disampaikan hanya berupa imbauan, yang diharapkan mampu mem­pengaruhi sikap dan perilaku mereka. Singkatnya, seni merupakan pengaturan dari isi kesadaran jiwa atau kehidupan perasaan penciptanya dalam segala aspeknya.
The Liang Gie mengungkapkan bahwa pengertian keindahan dianggap sebagai salah satu jenis nilai, yaitu nilai estetis. Mengenai nilai itu sendiri, adalah berbagai pernbedaan, yaitu.
1.              Nilai subjektif
2.              Nilai objektif
3.              Nilai perseorangan
4.              Nilai kemasyarakatan
5.              Nilai ntrinsik
6.              Nilai ekstrinsik.
Nilai estetis lebih condong kepada penggolongan niai intrinsik dan ekstrinsik. Hal ini karena nilai intrinsik berhubungan dengan isi pesan yang terkandung di dalam karya seni tersebut, sedangkan nilai ekstrinsik berhubungan dengan bentuk karya seni yang bersa,ngkutan.
2.      Kontemplasi dan Ekstasi
dapat dinikmati menurut selera seni dan selera biasa. Keindahan yang didasarkan pada selera didukung oleh faktor kontemplasi dan ekstasi. KontempIasi adalah dasar dalam dirt nianusia untuk menciptakan sesuatu yang indah. Ekstasi adalah dasar dalam dirt manusia umtuk menyatakan, merasakan, dan menikmati sesuatu yang indah. Apabila kedua dasar ini dihubungkan dengan bentuk di luar dirt manusia, terjadilah penilaian bahwa sesuatu itu indah. Sesuatu yang indah itu mengikat atau menarik perhatian orang yang melihat, dan mendengar. Bentuk di luar dirt manusia itu merupakan karya budaya, yaitu karya seni lukis, seni suara, seni tart, seni sastra, sent drama dan film, atau berupa ciptaan Tuhan, misalnya, pemandangan alam, bunga wama warn dan lain-lain.
Apabila kontemplasi dan ekstasi itu dihubungkan dengan kreativitas, kontemplasi itu merpakan faktor pendorong untuk menciptakan yang indah, sedangkan ekstasi merupakan pendorong untuk merasakan dan menikmati keindahan. Karena derajat kontemplasi dan ekstasi itu berbeda-beda antara setiap manusia, tanggapan terhadap keindahan karya seni juga berbeda-beda. Mungkin orang yang satu mengatakan karya seni itu indah tetapi orang yang laic mengatakan karya seni itu tidak atau kurang indah, karena selera seni yang berlainan.
Bagi seseorang seniman, selera seni lebih dominan dibandingkan dengan orang bukan seniman. Bagi orang bukan seniman, mungkin menonjol, sehingga is lebih suka menikmati karya tari dari pada menciptakan karya seni. Dengan kata lain, ia hanya mampu menikmati keindahan, tetapi tidak mampu menciptakan yang indah.
3.              Teori-teori Penciptaan Seni
Dalam merenung untuk menciptakan seni ada beberapa teori. Contoh teori itu ialah teori pengungkapan, teori metafisis, dan teori psikologik.
a.              Teori Pengungkapan
Liang Gie dalam bukunya Garis Besar Estetik (filsafat keindahan) menjelaskan bahwa setelah mendapat inspirasi, yaitu yang pengalaman, maka apa yang telah dialami itu direnungkan, lalu diungkapkan, dan hasil ungkapan itu adalah basil send.
Tokoh ekspresi yang paling terkenal ialah filosof Italia, Benedetto Croce (1899 "1952) dengan karyanya yang telah diterjemahkan di dalam bahasa Inggris. Aesthetics as Science of Expression and General Linguistic antara lain mengatakan art is expression of Impression: Seni adalah pengungkapan kesan­kesan. Ekspresi adalah sama dengan intuisi. Dan intuisi adalah pengetahuan intuitif yang diperoleh melalui pengkhayalan tentang hal-hal individual yang menghasilkan gambaran angan-angan (image). Dengan demikian peng­ungkapan itu berwujud bermacam-macam gambaran angan-angan, seperti gambaran warna, garis, dan data. Bagi seseorang, mengungkapkan hasil renungan berarti menciptakan seni dalam dirinya, tanpa perlu adanya kegiantan jasmaniah ke luar.
Pengalaman estetik seseorang tidak lain adalah ekspresi dalam gambaran angan-angan. Teori Croce yang tidak banyak meng­hiraukan karya seni yang diwujudkan keluar, terasa kurang memuaskan bagi ahli estetika.
b.              Metafisik
The Liang Gie menjelaskan bahwa teori seni yang bercorak metafisis menipakan salah satu teori yang tertua. yakni berasal dan Plato, yang karya tulisnya membahas estetik filsafat, konsepsi keindahan, dan teori seni. Plato mengemukakan suatu teori peniruan (imitation theory), sesuai dengan metafisika Plato yang mendalilkan adanya dunia ide pada taraf yang tinggi sebagai realita Ilahi itu. Karya seni yang dibuat manusia hanyalah merupakan imitasi dari realita duniawi. Sebagai contoh, Plato mengemukakan ide keranjangan yang abadi, asli dan indah sempurna ciptaan Tuhan. Kemudian tukang kayu membuat ranjang dari kayu sebagai imitasi dari ide tertinggi keranjangan itu. Akhirnya, seniman meniru ranjang kayu itu dengan menggambarnya dalam sebuah lukisan. Jadi, karya seni adalah tiruan dari suatu tiruan lain sehingga bersifat jauh dari kebenaran atau dapat menyesatkan. Oleh karena itu, seniman tidak mendapat tempat sebagai warga dari negara republik yang ideal menurut konsepsi Plato.
Dalam zaman moderen, suatu teori seni lainnya yang juga bercorak metafisis dikemukakan antara lain oleh filsuf Arthur Schopenhauer (1788 - 1860). Menurutnya, seni adalah suatu bentuk dari pemahaman terhadap realita, dan realita yang sejati ialah suatu keingian (will) yang semesta. Dunia objektif sebagai ide hanyalah wujud luar dari keinginan itu Selanjutnya, ide-ide itu mempunyai perwujudan sebagai benda-benda khusus. Pengetahuan sehari-hari adalah pengetahuan praktis yang berhubungan dengan benda-benda itu. Akan tetapi, ada pengetahuan yang lebih tinggi kedudukannya, yakni yang diperoleh bilamana pikiran diarahkan kepada ide-ide itu sendiri.Melalui perenungan semacam ]ini, lahirlah karya seni.
Seniman besar ialah seseorang yang dengan perenungannya itu mampu menembus segi-segi praktis dari benda-benda di sekelilingnya sampai pada maknanya yang dalam, yakni memahami ide-ide di baliknva.
c.               Teori Psikologis
Lebih lanjut The Liang Gie menguraikan bahwa teori-teori metafisik dari filsuf yang bergerak. di atas taraf manusiawi dengan konsepsi-konsepsi tentang ide tertinggi atau kehendak semesta umumnya tidak mermuaskan karena terlampau abstrak dan spekulatif. Hal tersebut mendorong sebagian ahli estetika dalam abad moderen untuk menelaah teori-teori seni dari sudut hubungan karya seni dan alam pikiran penciptaannya dengan mempergunakan metode-metode psikologis. Misalnya, berdasarkan psikoanalisis ditemukan teori bahwa proses penciptaan seni adalah pemenuhan keinginan bawah sadar seorang seniman, sedangkan karya seni merupakan bentuk terselubung atau perluasan yang diwujudkan dari keinginan itu.
Suatu teori lain tentang sumber seni ialah teori peiuiainan yang dikembangkan oleh Friedrick Schiller (1757- 1805) dan Herber Spencer (1820- 1903). Menurut Schiller asal mula seni adalah dorongan untuk bermain-main (play impulse) diri seseorang. Seni merupakan semacam permainan yang untuk mengembangkan segenap kemampuan mental manusia yang berhubungan dengan adanya kelebihan energi yang harus dikeluarkan. Bagi Spencer, permainan itu berperan untuk mencegah kemampuan-kemampuan mental manusia yang menganggur kemudian menciut karena disia­ siakan. Seseorang yang makin meningkat taraf kehidupannya, tidak memakan habis energinya untuk keperluan sehari-hari. Kelebihan tenaga itu digunakan untuk menciptakan kebutuhan dan kesempatan untuk melakukan rangkaian permainan yang imajinatif. Teori permainan tentang seni tidak sepenulmya diterima oleh para estetika, bahwa permainan merupakan suatu kreasi, padahal seni adalah kegiatan yang serius yang pada dasarnya kreatif.
Teori lain yang dapat digolongkan dalam teori psikologis ialah teori penandaan (signification Theory) yang memandang seni sebagai suatu lambang atau mirip dengan benda yang dilambangkan. Misalnya tanda lalu lintas memperingatkan jalan yang berbelok-belok dengan semacam huruf Z, yaitu suatu tanda yang serupa atau mirip dengan keadaan jalan yang akan dilalui. Menurut teori penandaan itu, karya seni adalah iconic sign dari proses psikologis yang berlangsung dalam diri manusia, khususnya, tanda­tanda dari perasaannva. Sebagai contoh, sebuah lagu dengan irama naik turun dan alunan cepat lamban serta akhirnya berhenti adalah simbol atau tanda dari kehidupan manusia dengan berbagai perasaannya. Ada pasang atau surutnya, ada saat tergesa-gesa atau santai, dan ada pula akhirnya.

B.           Contoh Karya Seni/Keindahan
Puisi-puisi ciptaan Lord Byron (1788 - 1824) di Inggris, dan musik­musik susunan Wagner dan lukisan Monalise merupakan contoh karya seni yang indah.
Di Indonesia, karya sastra yang bergaya romantik yang lebih mengutamakan pengorbanan perasaan daripada penalaran dihasilkan oleh pada umumnya pengarang-pengarang zaman Balai Pustaka (1920-1930) dan Pujangga Baru (1933 1943). Buku-buku jenis prosa roman ataupun puisi-puisi pada masa tersebut lebih banyak meng­gerakkan perasaan haru dibandingkan puisi-puisi dan prosa-prosa Indonesia moderen yang lebih banyak membuat pembacanya berpikir dan berkreasi keras. Keindahan cipta seni sastra zaman itu kurun dua puluh dan tiga puluh- adalah keindahan romantik yang semata-mata berdampak emosional. Awan, mega, angin dan margasatwa diimbau penyair dalam bahasa sendu untuk menyeirtai rasa duka nestapanva. Sebuah contoh berikut ini dapat membuktikan nada emosi tersebut.

BUAH RINDU

Datanglah engkau wahai maut
Lepaskan aku dari nestapa
Engkau lagi tempatku berpaut
di waktu ini gelap gulita

Kicau murai tiada merdu
Pada beta bujang melayu
Himhau pungguk tiada merindu
Dalam telingaku seperti dahulu

Tuan ayuhai mega berarak
Yang meliputi dewangga raya
Berhentilah tuan tiada teratak
Anak lengkat musyafir lata

Sesaat, sekejap mata beta berpesan
Padamu tuan aduhai awam
Arah menatah tuan berjalan
Di negeri menatah tuan bertahan?



Sampai rinduku pada adinda
Bisikan rayuanku pada juita
Liputi lututnya muda kencana
Serupa beta memeluk dia

Ibu, Konon jauh tanah selindung
Tempat gadis duduk berjuntai
Bondan, hajat hati memeluk gunung
apatah daya tangan tak sampai

Elang Rajawali burung angkasa
Turunlah tuan bareng semesta
Beta bertanya sepatah kata
Adakah tuan melihat adinda?

Mega telah kusapa
Margasatwa telah kutanya
Maut telah kupuja
Tetapi adinda menatah dial

(Amir Hamzah, Buah rindu)

contoh nyanyian:

MALAM SYAHDU         Lagu/Syair: Iskandar/F. Zai

Malam Syahdu bergema
Dengan urama hati tulis memuji
Mendoa suci bermohon ampun
Dan segala dosa-noda

Maha besar berikanlah hamba
Karunia dan cahaya dalam hidup
Malam syahdu bergema
Dengan irama suci





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Masalah sastra dan seni sangat erat hubungannya dengan ilmu budaya dasar, karena materi-materi yang diulas oleh ilmu budaya dasar ada yang berkaitan dengan sastra dan seni. Siapakah di antara kita yang tidak menyukai-keindahan atau nilai­-nilai estetika ? Setiap manusia memiliki kecenderungan untuk menghadirkan keindahan dalam hidupnya.
Itu dapat kita amati dalam kehidupan kita sehari-hari. Pakaian yang kita dapati. penataan interior dan eksterior rumah kita, tempat kerja kita, sampul buku ilmiah buku sastra juga bacaan pop, segala jenis majalah. kampus. tempat ibadah. tempat rekreasi, semuanya ditata dengan sentuhan keindahan. Tata kota, tata lampu. tata boga, tata busana potongan rambut, wajah pun. ditampilkan dengan membawa cita rasa estetik tertentu. Rasanya, harga diri kita kurang bergengsi manakala dalam hidup ini kita hanya mengandalkan fungsi, tetapi dan sama sekali mengabaikan selera keindahan.

B.     Saran
Ketika seseorang memiliki ilmu budaya dasar dan sifat kesusastraan, pasti  dapat membuat pelihat hasil cipta  karyanya menghayati dan melakukan hal positif dengan hasil cipta karya yang di buat. untuk itu bagi seseorang yang telah  mampu melakukan hal tersebut, tuangkanlah hal-hal yang positif agar suatu ketika ada pelihat hasil cipta karya dapat menirukan hal yang positif yang memiliki nilai ke indahan, dan jangan buat cipta karya yang negatif yang dapat merusak pemikiran manusia dan membuat manusia melakukan hal -hal yang positif.







DAFTAR PUSTAKA

Mawardi, Nur Hidayati, Editor, Maman Abd. Djaliel. Ilmu Alami Dasar, Ilmu Budaya Dasar (IAD, ISD, IBD), Bandung Pustaka Setia, 2007






MAKALAH SOSIOLOGI AGAMA

MAKALAH  SOSIOLOGI AGAMA

PARADIGMA SOSIOLOGI AGAMA





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Sejak kecil individu-individu sudah harus mengerti bahwa dalam berperilaku tidak boleh berbuat sekehendaknya, melainkan harus selalu melakukan adaptasi dengan masyarakat di sekelilingnya. Dengan demikian, dalam kehidupan ini ada kemauan umum yang harus diikuti di atas keinginan-keinginan individual. Namun kadangkala terjadi perilaku yang menyimpang yang dilakukan secara sadar atau tidak sadar yang sering disebut sebagai penyimpangan sosial. Penyimpangan sosial dapat terjadi dimanapun dan dilakukan oleh siapapun. Sejauh mana penyimpangan itu terjadi, besar atau kecil, dalam skala luas atau sempit tentu akan berakibat terganggunya keseimbangan kehidupan dalam masyarakat.
Suatu perilaku dianggap menyimpang apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. dengan kata lain penyimpangan adalah segala macam pola perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri terhadap kehendak masyarakat. Seseorang yang melakukan tindak penyimpangan oleh masyarakat akan dicap sebagai penyimpang. Di pihak lain, seorang pelaku penyimpangan senantiasa berusaha mencari kawan yang sama untuk bergaul bersama, dengan tujuan melegalkan tindak penyimpangan yang dilakukan. Maka lama-kelamaan berkumpullah berbagai individu pelaku penyimpangan dalam bentuk penyimpangan kelompok yang akhirnya bermuara kepada penentangan terhadap norma masyarakat. Dampak yang ditimbulkan dari penentangan norma inilah yang pada akhirnya akan menimbulkan konflik dalam masyarakat. Maka diperlukan usaha sadar melalui langkah-langkah tertentu untuk mengantisipasi penyimpangan yang mungkin terjadi atau akan terjadi. Dalam konteks inilahparadigma sosiologi diperlukan sebagai acuan dalam sikap dan tindakan sehingga dapat ditemukan pola-pola penanggulangan yang efektif dan efisien.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka untuk memudahkan pembahasan, kami buat rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apakah pengertian dari paradigma sosiologi?
2.      Bagaimanakah pembagian paradigma sosiologi?
3.      Apa sajakah teori yang mendukung paradigma sosiologi?
C.    Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah agar mahasiswa/pembaca tahu tentang:
1.      Pengertian paradigma sosiologi.
2.      Pembagianparadigma sosiologi.
3.      Teoripendukung paradigma sosiologi.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Paradigma Sosiologi
Paradigma berasal dari bahasa Inggris paradigm yang berarti: model pola, contoh. Dalam kamus ilmiah populer, paradigma dapat diartikan sebagai contoh, tasrif, teladan, pedoman, dipakaiuntuk menunjukkan gugusan sistem pemikiran bentuk kasus dan polape mecahannya. Sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia paradigma diartikan sebagai kerangka berpikir, model teori ilmu pengetahuan.
Pengertian paradigma menurut kamus filsafat adalah:
1.      Cara memandang sesuatu.
2.      Model, pola, ideal dalam ilmu pengetahuan. Dari model-model ini fenomena dipandang dan dijelaskan.
3.      Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan dan atau mendefinisikan sutau study ilmiah kongkrit dan ini melekat di dalam praktek ilmiah pada tahap tertentu.
4.      Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.
Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh fisikawan Amerika Thomas Samuel Kuhn (1922-1996) dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution (1962) dan kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs dalam bukunya Sociology of Sociology (1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik. Menurut Khun yang dikutip George Ritzer, Paradigma adalah gambaranfundamental dari pokok bahasan dalam ilmu pengetahuan.Dia menentukan apa yang harus dipelajari,pertanyaan apa yang harus diajukan, bagaimana pertanyaan-pertanyaan tersebut harus diajukan, dan aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban-jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah unit terluas dari konsensus dalam ilmu pengetahuan dan membedakan satu komunitas ilmiah dari yang lain. Ia memasukkan, mendefinisikan, dan menghubungkan sejumlah contoh, teori dan metode serta instrument yang ada didalamnya.
Di dalam masyarakat banyak sekali permasalahan yang dihadapi, baik berupa masalah yang ringan sampai yang paling berat. Dalam menghadapi masalah yang ada dalam masyarakat tersebut, masyarakat biasanya menggunakan cara atau pola pikir tertentu ketika memandang suatu fakta atau keadaan yang terjadi dalam masayarakat. Pola pikir masyarakat dalam memandang suatu fakta sosial itulah yang di sebut dengan paradigma sosiologi. Di dalam paradigma sosiologi, ada beberapa unsur ilmu sehingga paradigma sosiologi dipandang sebagai suatu disiplin ilmu yang bisa dijadikan sebagai acuan atau landasan dalam penelitian mengenai problem-problem  sosial.

B.     Pembagian Paradigma Sosiologi
Thomas Samuel Kuhn mengemukakan bahwa paradigma ilmu itu amat beragam. Keragaman paradigma ini pada dasarnya adalah akibat dari perkembangan pemikiran filsafat yang berbeda-beda sejak zaman Yunani. Sebab sudah dapat dipastikan bahwa pengetahuan yang didasarkan pada filsafat Rasionalisme akan berbeda dengan yang didasarkan Empirisme, dan berbeda pula dengan Positivisme, Marxisme dan seterusnya, karena masing-masing aliran filsafat tersebut memiliki cara pandang sendiri tentang hakikat sesuatu serta memiliki ukuran-ukuran sendiri tentang kebenaran. Menurut Ritzer (1980), perbedaan aliran filsafat yang dijadikan dasar berpikir oleh para ilmuwan akan berakibat pada perbedaan paradigma yang dianut. Palingtidak terdapat tiga alasan untuk mendukung asumsi ini; Pertama, pandanganfilsafat yang menjadi dasar ilmuwan untuk menentukan tentang hakikat apa yang harus dipelajari sudah berbeda; Kedua, pandangan filsafat yang berbeda akan menghasilkan obyek yang berbeda; Ketiga, karena obyek berbeda, maka metode yang digunakan juga berbeda.
Perbedaan paradigma itu khususnya terjadi dalam keilmuan sosiologi. Perbedaan itu terjadi pada dimensi obyek kajian atau what is the subject matter of sociology. Dengan adanya perbedaan pandangan ini, Geoger Ritzer menilai bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempunyai beberapa paradigma (multiple paradigm). Setiap paradigma memiliki obyek kajian, teori, metode analisa yang berbeda. Meskipun masih banyak terjadi perdebatan penggolongan paradigma dalam ilmu sosiologi, namun menurut George Ritzer,4 secara garis besar ada tiga paradigma yang mendominasi dalam keilmuan sosiologi, yakni:
1.      Paradigma fakta sosial
Paradigma ini merupakan sumbangsih dari pemikiran Durkheim yang didasarkan atas karyanya The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897). Paradigma fakta sosial dirintis Durkheim sebagai antitesis atas tesis Comte dan Herbert Spencer. Comte dan Herbert Spencer berpendapat bahwa dunia ide adalah pokok bahasan dalam sosiologi. Dengan tegas pendapat ini ditolak oleh Durkheim. Menurut Durkheim, dunia ide bukanlah obyek riset dalam sosiologi. Sebab dunia ide itu hanyalah sebagai suatu konsepsi pikiran dan bukan sesuatu yang dapat dipandang. Bagi Durkheim, pendapat Comte dan Herbert Spencer ini menjerumuskan sosiologi pada bidang filsafat dan tidak berdiri sendiri. Padahal sosiologi adalah ilmu yang berdiri sendiri dan lepas dari bidang filsafat. Berangkat dari kritik ini,  akhirnya Durkheim membangunkonsepfakta sosial sebagai dinding pemisah antara obyek kajian sosiologi dengan filsafat. Durkheim mengklaim bahwa fakta sosial adalah barang yang nyata dan bukanlah ide. Fakta sosial tidak dapat dipahami melalui kegiatan spekulatif yang dilakukan dalam pemikiran manusia. Sebaliknya fakta sosial dipahami melalui kegiatan penyusunan data nyata yang dilakukan di luar pemikiran manusia.
Pada studi fakta sosial, Durkheim tidak hanya melihat sesuatu dalam konteks yang nyata (material) saja,melainkan juga berkaitan dengan sesuatu diluar materi. Untuk mempermudah memahaminya, Durkheim membagi ranah fakta sosial menjadi dua bentuk, yaitu:
a.       Fakta sosial material, yang terdiri dari sesuatu yang dapat dipahami, dilihat dan diamati. Inti dari fakta sosial material ini adalah sesuatu yang ada dunia nyata dan bukanlah imajinatif. Misalnya, bentuk bangunan, hukum dan peraturan.
b.      Fakta sosial non-material, sebenarnya dapat dikatakan suatu ekspresi atau fenomena yang terkandung dalam diri manusia sendiri atas fakta sosial materialnya, dan ini hanya muncul dalam kesadaran manusia. Misalnya, moralitas, kesadaran, egoisme, altruisme dan opini.
Dengan demikian, kajian fakta sosial terdiri atas: kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dan sebagainya. Sedangkan teori yang tergabung dalam paradigma ini yaitu, teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori sistem, dan teori sosiologi makro. Namun yang dominan dari teori ini yang biasa digunakan oleh para penganut fakta sosial, yaitu teori fungsionalisme struktural, dan teori konflik.
2.      Paradigma Definisi Sosial
Paradigma ini dilandasi analisa Max Weber tentang tindakan sosial (social action). Perbedaan analisa Weber dengan Durkheim terlihat jelas. Jika Durkheim memisahkan struktur dan institusi sosial, sebaliknya Weber melihat ini menjadi satu kesatuan yang membentuk tindakan manusia yang penuh arti atau makna. Tindakan sosial merupakan tindakan individu yang mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Sebaliknya, tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati atau obyek fisik semata tanpa dihubungkan dengan tindakan orang lain bukan suatu tindakan sosial.
3.      Paradigma Perilaku Sosial
Paradigma ini memusatkan perhatian pada hubungan antar individu dan hubungan individu dengan lingkungannya. Paradigma ini menyatakanbahwa obyek studi sosiologi yang konkrit dan realistis adalah perilakumanusia atauindividu yang tampak dan kemungkinan perulangannya.
Menurut paradigma ini, tingkah laku seorang individu mempunyai hubungan dengan lingkungan yang mempengaruhinya dalam bertingkah laku. Tingkah laku manusia atau individu di sini lebih ditentukan oleh sesuatu diluar dirinya seperti norma-norma, nilai-nilai atau struktur sosialnya. Jadi dalam hal ini individu kurang sekali memiliki kebebasan.
Paradigma ini mengacu pada karya psikolog Amerika Burrhus Frederic Skinner, salah satunya Beyond Freedom And Dignity. Menurut George Ritzer, Skinner mencoba menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran behaviorisme ke dalam sosiologi. Karyanya meliputi spektrum yang sangat luas. Teori, gagasan dan praktik yang dilakukannya telah memegang peranan penting dalam pengembangan sosiologi behavior.
Pada paradigma perilaku sosial, Skinner mencoba mengkritik apa yang menjadi obyek dari paradigma fakta sosial dan definisi sosial. Obyek dari kedua paradigma itu seperti struktur dan institusi sosial adalah sesuatu yang bersifat mistik atau obyek hanya terjadi dalam pemikiran manusia. Dengan tegas Skinner menolak obyek kedua paradigma ini. Bagi Skinner, obyek mistik itu justru menjauhkan sosiologi dari obyek studi yang sebenarnya yaitu sesuatu yang bersifat konkrit dan realistis. Skinner mengklaim bahwa obyek perilaku manusia adalah obyek studi sosiologi yang konkrit dan realistis. Teori yang tergabung dalam paradigma ini adalah teori behavioral sociology dan teori pertukaran (exchange).
4.      Paradigma Integratif/Multi Paradigma
Seiring perkembangan analisis tiga paradigma di atas dengan berbagai macam perdebatannya mengenai subject matter dari sosiologi, makamenurut George Ritzer, perlu adanya paradigma yang mengakomodasi penyatuan dari ketiga paradigma tersebut,sebab teramat sulit untuk memahami fenomena sosialyang begitu kompleks.  MakaGeorge Ritzer berusaha mengetengahkan masalah ini dengan mengajukan konsep  paradigma integratif yakni dengan menggabungkan subject matterdari ketiga paradigma ini, yang meliputi semua tingkatan realitas, baik tingkat makro-obyektif seperti masyarakat, hukum, birokrasi dan bahasa, tingkat makro-subyektif seperti nilai, norma dan budaya, tingkat mikro-obyektif seperti pola perilaku, tindakan, dan interaksi, serta tingkat mikro-subyektif seperti persepsi dan keyakinan.
Ketiga paradigma ini memang berbeda subject matter-nya, namun sesungguhnya saling memperkaya analisis. Masing-masing paradigma yang ada menjelaskan satu tingkat realitas sosial tertentu, dan paradigma integratif berusaha menjelaskan semua tingkat realitas sosial yang ada. Kelemahan paradigma integratif terletak pada tingkat kedalaman analisisnya. Paradigma integratif dalam menjelaskan tingkat realitas tidak sedalam analisis pada masing-masing paradigma yang ada. Untuk itu, dalam menentukan suatu paradigma ditentukan dari pertanyaan penelitian yang diajukan. Hal ini berarti bahwa tidak semua masalah sosiologi memerlukan pendekatan integratif, namun bisa juga fokus pada salah satu paradigma.

C.    Teori Pendukung Paradigma Sosiologi
1.      Teori pendukung paradigma fakta sosial
a.       Teori fungsionalisme struktural
Teori fungsionalisme struktural lahir dari pemikiran biologis yang dikonsepkan oleh Comte   dan   Herbert   Spencer,  di mana masyarakat dianalogikan sebagai organisme biologis. Maksudnya, masyarakat terdiri dari organ-organ yang saling bergantung guna kebertahanan hidup. Kemudian lebih lanjut teori ini dikembangkan oleh Durkheim. Karena pengaruh dari Comte dan Herbert Spencer, Durkheim mengonsepkan teori sosiologinya dengan terminologi organisme.
Kelemahan teori ini yakni bersifat tertutup terhadap proses terjadinya perubahan sosial karena terlalu menekankan order dan kemapanan struktur sosial yang sudah formal, serta mempertahankan status quo dan tidak membuka kepada orang atau hal lain berperan. Keterlibatan non status quo dipandang sebagai ancaman bagi masyarakat dan pemegang status quo.


b.      Teori konflik
Teori konflikmerupakan teori yang lahir sebagai kritik atas teori fungsionalisme struktural. Teori ini dikembangkan oleh Marx. Pendukung teori ini antara lain George Simmel, Lewis A. Coser, dan Ralf Dahrendorf.
Menurut teori ini, masyarakat berada dalam ketidakseimbangan yang selalu ditandai dengan adanya pertentangan atau konflik. Jika teori fungsionalisme struktural memandang keteraturan terjadi karena masyarakat terikat secara informal atas institusi sosialnya, maka teori konflik memandang itu terjadi karena adanya pemaksaan oleh pihak yang berkuasa.
Konsep utama teori konflik yaitu dominasi, paksaan dan kekuasaan. Adapun kelemahan dari teori ini menolak keseimbangan dalam masyarakat dan terlalu menekankan perubahan dalam konteks konflik. Metode yang digunakan dalam paradigma fakta sosial yaitu interview-kuesioner. Menurut George Ritzer, untuk metode interview-kuesioner memang bersifat ironi. Sebab, metode ini tidak mampu menyajikan informasi yang bersifat fakta sosial, atau informasi yang didapat lebih bersifat subyektif dari informan. Walaupun begitu, bagi para penganut fakta sosial metode interview-kuesioner merupakan sesuatu metode yang cocok dalam penelitian empiris mereka guna mendapatkan fakta-fakta sosial yang menjadi subject matter sosiologi.
2.      Teori pendukung paradigma perilaku sosial
a.       Teori behavioral sociology
Teori behavioral sociologymerupakan implementasi dari perpaduan obyek kajian psikologi perilaku ke dalam sosiologi. Menurut George C. Homan, manusia di dalam masyarakat tidak memiliki sifat selain yang diperolehnya dari, dan mungkin dibentuknya sendiri.  Inti analisis teori ini terfokus pada hubungan kausal atas perilaku individu. Teori ini menekankan adanya hubungan historis antara akibat tingkah laku yang terjadi dalam lingkungan individu dengan tingkah laku yang terjadi sekarang. Akibat dari tingkah laku yang terjadi di masa lalu akan mempengaruhi tingkah laku yang terjadi di masa sekarang.
b.      Teori pertukaran (exchange)
Teori pertukarandikembangkan oleh George Homan. Teori ini berangkat dari asumsi dasar bahwa semua kontak di antara manusia bertolak dari skema memberi dan mendapatkan kembali dalam jumlah yang sama. Secara garis besar Homan menyusun lima proposisi dari teoriini yaitu: Pertama, semakin sering individu melakukan suatu tindakan tertentu yang dinilainya membawa keuntungan atau manfaat, maka semakin sering individu tersebut akan melakukan tindakan yang sama; Kedua, jika di masa lalu ada stimulus yang di mana tindakan individu tersebut memperoleh ganjaran (positif), maka semakin besar kemungkinan orang itu melakukan tindakan serupa; Ketiga, semakin tinggi apresiasi yang diberikan atas suatu tindakan individu, maka akan semakin sering individu melakukan tindakan tersebut; Keempat, semakin sering seseorang menerima satu ganjaran dalam waktu yang berdekatan, maka semakin kurang bernilai ganjaran tersebut; Kelima, bila tindakan seseorang tidak memperoleh ganjaran yang diharapkan atau menerima hukuman, maka akan timbul perasaan emosi atau kecewa dalam diri individu tersebut. Sebaliknya bila seseorang menerima ganjaran yang lebih besardari apa yang dia harapkan, maka dia akan merasa senang dan lebih besar kemungkinan dia akan terus melakukan perilaku tersebut.





BAB III
KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan makalah di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Paradigma sosiologi ialah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama. Paradigma sosiologi adalah kerangka berpikir dalam masyarakat yang menjelaskan bagaimana cara pandang terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan terhadap ilmu atau teori yang ada. Paradigma ini juga menjelaskan bagaimana meneliti dan memahami suatu masalah, serta kriteria pengujian sebagai landasan untuk menjawab masalah.
2.      Teori pendukung dari masing-masing paradigma ini adalah:
a.       Paradigma fakta sosial didukung oleh teori fungsionalisme struktural dan teori konflik.
b.      Paradigma definisi sosial didukung oleh teori aksi, teori interaksionisme simbolik, teori fenomenologi dan teori etnometodologi.
c.       Paradigma perilaku sosial didukung oleh teori behavioral socilology dan teori pertukaran (exchange).
d.      Paradigma integratif (multi paradigma) didukung oleh teori konstruksi sosial dan teori strukturasi.












DAFTAR PUSTAKA
George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2010), h. 697

George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hal. 38.

Lihat Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 1994).

Anthony Giddens, dan Jonathan H. Turner (ed), Social Theory Today; Panduan Sistematis Tradisi dan Tren Terdepan Teori Sosial, diterjemahkan oleh Yudi Santoso, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h.127.

George C. Homans, Behaviorisme dan Sesudahnya, dalam Anthony Giddens, dan Jonathan H. Turner (ed), h. 103.

Lihat Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, (Jakarta: LP3ES, 1990).

Lihat Anthony Giddens, Teori Strukturasi; Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).