MAKALAH SOSIOLOGI AGAMA
PARADIGMA SOSIOLOGI AGAMA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sejak kecil individu-individu sudah
harus mengerti bahwa dalam berperilaku tidak boleh berbuat sekehendaknya,
melainkan harus selalu melakukan adaptasi dengan masyarakat di sekelilingnya.
Dengan demikian, dalam kehidupan ini ada kemauan umum yang harus diikuti di
atas keinginan-keinginan individual. Namun kadangkala terjadi perilaku yang
menyimpang yang dilakukan secara sadar atau tidak sadar yang sering disebut
sebagai penyimpangan sosial. Penyimpangan sosial dapat terjadi dimanapun dan
dilakukan oleh siapapun. Sejauh mana penyimpangan itu terjadi, besar atau
kecil, dalam skala luas atau sempit tentu akan berakibat terganggunya
keseimbangan kehidupan dalam masyarakat.
Suatu perilaku dianggap menyimpang
apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku
dalam masyarakat. dengan kata lain penyimpangan adalah segala macam pola
perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri terhadap kehendak masyarakat.
Seseorang yang melakukan tindak penyimpangan oleh masyarakat akan dicap sebagai
penyimpang. Di pihak lain, seorang pelaku penyimpangan senantiasa berusaha
mencari kawan yang sama untuk bergaul bersama, dengan tujuan melegalkan tindak
penyimpangan yang dilakukan. Maka lama-kelamaan berkumpullah berbagai individu
pelaku penyimpangan dalam bentuk penyimpangan kelompok yang akhirnya bermuara
kepada penentangan terhadap norma masyarakat. Dampak yang ditimbulkan dari
penentangan norma inilah yang pada akhirnya akan menimbulkan konflik dalam masyarakat.
Maka diperlukan usaha sadar melalui langkah-langkah tertentu untuk
mengantisipasi penyimpangan yang mungkin terjadi atau akan terjadi. Dalam
konteks inilahparadigma sosiologi diperlukan sebagai acuan dalam sikap dan
tindakan sehingga dapat ditemukan pola-pola penanggulangan yang efektif dan
efisien.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
yang dipaparkan di atas, maka untuk memudahkan pembahasan, kami buat rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apakah
pengertian dari paradigma sosiologi?
2. Bagaimanakah
pembagian paradigma sosiologi?
3. Apa sajakah
teori yang mendukung paradigma sosiologi?
C. Tujuan
Pembahasan
Tujuan pembahasan dalam makalah ini
adalah agar mahasiswa/pembaca tahu tentang:
1. Pengertian
paradigma sosiologi.
2. Pembagianparadigma
sosiologi.
3. Teoripendukung
paradigma sosiologi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Paradigma Sosiologi
Paradigma berasal dari bahasa
Inggris paradigm yang berarti: model
pola, contoh. Dalam kamus ilmiah populer, paradigma dapat diartikan sebagai
contoh, tasrif, teladan, pedoman, dipakaiuntuk menunjukkan gugusan sistem
pemikiran bentuk kasus dan polape mecahannya. Sedangkan dalam kamus besar
Bahasa Indonesia paradigma diartikan sebagai kerangka berpikir, model teori
ilmu pengetahuan.
Pengertian
paradigma menurut kamus filsafat adalah:
1.
Cara memandang sesuatu.
2.
Model, pola, ideal dalam ilmu pengetahuan. Dari
model-model ini fenomena dipandang dan dijelaskan.
3.
Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang
menentukan dan atau mendefinisikan sutau study ilmiah kongkrit dan ini melekat
di dalam praktek ilmiah pada tahap tertentu.
4.
Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk
memecahkan problem-problem riset.
Istilah paradigma pertama kali
diperkenalkan oleh fisikawan Amerika Thomas Samuel Kuhn (1922-1996) dalam
bukunya The Structure of Scientific
Revolution (1962) dan kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs dalam
bukunya Sociology of Sociology
(1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang
dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang kemudian
menghasilkan mode of knowing yang spesifik. Menurut Khun yang dikutip George
Ritzer, Paradigma adalah gambaranfundamental dari pokok bahasan dalam ilmu
pengetahuan.Dia menentukan apa yang harus dipelajari,pertanyaan apa yang harus
diajukan, bagaimana pertanyaan-pertanyaan tersebut harus diajukan, dan aturan
apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban-jawaban yang diperoleh.
Paradigma adalah unit terluas dari konsensus dalam ilmu pengetahuan dan
membedakan satu komunitas ilmiah dari yang lain. Ia memasukkan, mendefinisikan,
dan menghubungkan sejumlah contoh, teori dan metode serta instrument yang ada
didalamnya.
Di dalam masyarakat banyak sekali
permasalahan yang dihadapi, baik berupa masalah yang ringan sampai yang paling
berat. Dalam menghadapi masalah yang ada dalam masyarakat tersebut, masyarakat
biasanya menggunakan cara atau pola pikir tertentu ketika memandang suatu fakta
atau keadaan yang terjadi dalam masayarakat. Pola pikir masyarakat dalam
memandang suatu fakta sosial itulah yang di sebut dengan paradigma sosiologi.
Di dalam paradigma sosiologi, ada beberapa unsur ilmu sehingga paradigma
sosiologi dipandang sebagai suatu disiplin ilmu yang bisa dijadikan sebagai
acuan atau landasan dalam penelitian mengenai problem-problem sosial.
B. Pembagian Paradigma Sosiologi
Thomas Samuel Kuhn mengemukakan
bahwa paradigma ilmu itu amat beragam. Keragaman paradigma ini pada dasarnya
adalah akibat dari perkembangan pemikiran filsafat yang berbeda-beda sejak
zaman Yunani. Sebab sudah dapat dipastikan bahwa pengetahuan yang didasarkan
pada filsafat Rasionalisme akan berbeda dengan yang didasarkan Empirisme, dan
berbeda pula dengan Positivisme, Marxisme dan seterusnya, karena masing-masing
aliran filsafat tersebut memiliki cara pandang sendiri tentang hakikat sesuatu
serta memiliki ukuran-ukuran sendiri tentang kebenaran. Menurut Ritzer (1980),
perbedaan aliran filsafat yang dijadikan dasar berpikir oleh para ilmuwan akan
berakibat pada perbedaan paradigma yang dianut. Palingtidak terdapat tiga
alasan untuk mendukung asumsi ini; Pertama,
pandanganfilsafat yang menjadi dasar ilmuwan untuk menentukan tentang hakikat
apa yang harus dipelajari sudah berbeda; Kedua,
pandangan filsafat yang berbeda akan menghasilkan obyek yang berbeda; Ketiga, karena obyek berbeda, maka
metode yang digunakan juga berbeda.
Perbedaan paradigma itu khususnya
terjadi dalam keilmuan sosiologi. Perbedaan itu terjadi pada dimensi obyek
kajian atau what is the subject matter of
sociology. Dengan adanya perbedaan pandangan ini, Geoger Ritzer menilai
bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempunyai beberapa paradigma (multiple paradigm). Setiap paradigma
memiliki obyek kajian, teori, metode analisa yang berbeda. Meskipun masih
banyak terjadi perdebatan penggolongan paradigma dalam ilmu sosiologi, namun
menurut George Ritzer,4 secara garis besar ada tiga paradigma yang
mendominasi dalam keilmuan sosiologi, yakni:
1.
Paradigma
fakta sosial
Paradigma ini merupakan sumbangsih
dari pemikiran Durkheim yang didasarkan atas karyanya The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897). Paradigma fakta sosial dirintis Durkheim sebagai
antitesis atas tesis Comte dan Herbert Spencer. Comte dan Herbert Spencer
berpendapat bahwa dunia ide adalah pokok bahasan dalam sosiologi. Dengan tegas
pendapat ini ditolak oleh Durkheim. Menurut Durkheim, dunia ide bukanlah obyek
riset dalam sosiologi. Sebab dunia ide itu hanyalah sebagai suatu konsepsi
pikiran dan bukan sesuatu yang dapat dipandang. Bagi Durkheim, pendapat Comte
dan Herbert Spencer ini menjerumuskan sosiologi pada bidang filsafat dan tidak
berdiri sendiri. Padahal sosiologi adalah ilmu yang berdiri sendiri dan lepas
dari bidang filsafat. Berangkat dari kritik ini, akhirnya Durkheim membangunkonsepfakta sosial
sebagai dinding pemisah antara obyek kajian sosiologi dengan filsafat. Durkheim
mengklaim bahwa fakta sosial adalah barang yang nyata dan bukanlah ide. Fakta
sosial tidak dapat dipahami melalui kegiatan spekulatif yang dilakukan dalam
pemikiran manusia. Sebaliknya fakta sosial dipahami melalui kegiatan penyusunan
data nyata yang dilakukan di luar pemikiran manusia.
Pada studi fakta sosial, Durkheim
tidak hanya melihat sesuatu dalam konteks yang nyata (material) saja,melainkan
juga berkaitan dengan sesuatu diluar materi. Untuk mempermudah memahaminya,
Durkheim membagi ranah fakta sosial menjadi dua bentuk, yaitu:
a.
Fakta sosial material, yang terdiri dari sesuatu yang
dapat dipahami, dilihat dan diamati. Inti dari fakta sosial material ini adalah
sesuatu yang ada dunia nyata dan bukanlah imajinatif. Misalnya, bentuk
bangunan, hukum dan peraturan.
b.
Fakta sosial non-material, sebenarnya dapat dikatakan
suatu ekspresi atau fenomena yang terkandung dalam diri manusia sendiri atas
fakta sosial materialnya, dan ini hanya muncul dalam kesadaran manusia.
Misalnya, moralitas, kesadaran, egoisme, altruisme dan opini.
Dengan demikian, kajian fakta sosial terdiri atas:
kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, peranan, nilai-nilai,
keluarga, pemerintahan dan sebagainya. Sedangkan teori yang tergabung dalam
paradigma ini yaitu, teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori
sistem, dan teori sosiologi makro. Namun yang dominan dari teori ini yang biasa
digunakan oleh para penganut fakta sosial, yaitu teori fungsionalisme
struktural, dan teori konflik.
2.
Paradigma
Definisi Sosial
Paradigma ini dilandasi analisa Max Weber tentang
tindakan sosial (social action). Perbedaan analisa Weber dengan Durkheim
terlihat jelas. Jika Durkheim memisahkan struktur dan institusi sosial,
sebaliknya Weber melihat ini menjadi satu kesatuan yang membentuk tindakan
manusia yang penuh arti atau makna. Tindakan sosial merupakan tindakan individu
yang mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada
tindakan orang lain. Sebaliknya, tindakan individu yang diarahkan kepada benda
mati atau obyek fisik semata tanpa dihubungkan dengan tindakan orang lain bukan
suatu tindakan sosial.
3.
Paradigma
Perilaku Sosial
Paradigma ini memusatkan perhatian
pada hubungan antar individu dan hubungan individu dengan lingkungannya.
Paradigma ini menyatakanbahwa obyek studi sosiologi yang konkrit dan realistis
adalah perilakumanusia atauindividu yang tampak dan kemungkinan perulangannya.
Menurut paradigma ini, tingkah laku
seorang individu mempunyai hubungan dengan lingkungan yang mempengaruhinya
dalam bertingkah laku. Tingkah laku manusia atau individu di sini lebih
ditentukan oleh sesuatu diluar dirinya seperti norma-norma, nilai-nilai atau
struktur sosialnya. Jadi dalam hal ini individu kurang sekali memiliki
kebebasan.
Paradigma ini mengacu pada karya
psikolog Amerika Burrhus Frederic Skinner, salah satunya Beyond Freedom And Dignity. Menurut George Ritzer, Skinner mencoba
menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran behaviorisme ke dalam sosiologi.
Karyanya meliputi spektrum yang sangat luas. Teori, gagasan dan praktik yang
dilakukannya telah memegang peranan penting dalam pengembangan sosiologi
behavior.
Pada paradigma perilaku sosial,
Skinner mencoba mengkritik apa yang menjadi obyek dari paradigma fakta sosial
dan definisi sosial. Obyek dari kedua paradigma itu seperti struktur dan
institusi sosial adalah sesuatu yang bersifat mistik atau obyek hanya terjadi
dalam pemikiran manusia. Dengan tegas Skinner menolak obyek kedua paradigma
ini. Bagi Skinner, obyek mistik itu justru menjauhkan sosiologi dari obyek
studi yang sebenarnya yaitu sesuatu yang bersifat konkrit dan realistis.
Skinner mengklaim bahwa obyek perilaku manusia adalah obyek studi sosiologi
yang konkrit dan realistis. Teori yang tergabung dalam paradigma ini adalah
teori behavioral sociology dan teori pertukaran (exchange).
4.
Paradigma
Integratif/Multi Paradigma
Seiring perkembangan analisis tiga
paradigma di atas dengan berbagai macam perdebatannya mengenai subject matter
dari sosiologi, makamenurut George Ritzer, perlu adanya paradigma yang
mengakomodasi penyatuan dari ketiga paradigma tersebut,sebab teramat sulit
untuk memahami fenomena sosialyang begitu kompleks. MakaGeorge Ritzer berusaha mengetengahkan
masalah ini dengan mengajukan konsep
paradigma integratif yakni dengan menggabungkan subject matterdari
ketiga paradigma ini, yang meliputi semua tingkatan realitas, baik tingkat
makro-obyektif seperti masyarakat, hukum, birokrasi dan bahasa, tingkat
makro-subyektif seperti nilai, norma dan budaya, tingkat mikro-obyektif seperti
pola perilaku, tindakan, dan interaksi, serta tingkat mikro-subyektif seperti
persepsi dan keyakinan.
Ketiga paradigma ini memang berbeda
subject matter-nya, namun sesungguhnya saling memperkaya analisis.
Masing-masing paradigma yang ada menjelaskan satu tingkat realitas sosial
tertentu, dan paradigma integratif berusaha menjelaskan semua tingkat realitas
sosial yang ada. Kelemahan paradigma integratif terletak pada tingkat kedalaman
analisisnya. Paradigma integratif dalam menjelaskan tingkat realitas tidak
sedalam analisis pada masing-masing paradigma yang ada. Untuk itu, dalam
menentukan suatu paradigma ditentukan dari pertanyaan penelitian yang diajukan.
Hal ini berarti bahwa tidak semua masalah sosiologi memerlukan pendekatan
integratif, namun bisa juga fokus pada salah satu paradigma.
C.
Teori Pendukung Paradigma Sosiologi
1. Teori
pendukung paradigma fakta sosial
a.
Teori fungsionalisme struktural
Teori fungsionalisme struktural lahir dari pemikiran biologis yang
dikonsepkan oleh Comte dan Herbert
Spencer, di mana masyarakat
dianalogikan sebagai organisme biologis. Maksudnya, masyarakat terdiri dari
organ-organ yang saling bergantung guna kebertahanan hidup. Kemudian lebih
lanjut teori ini dikembangkan oleh Durkheim. Karena pengaruh dari Comte dan
Herbert Spencer, Durkheim mengonsepkan teori sosiologinya dengan terminologi
organisme.
Kelemahan teori ini yakni bersifat tertutup terhadap proses terjadinya
perubahan sosial karena terlalu menekankan order dan kemapanan struktur sosial
yang sudah formal, serta mempertahankan status quo dan tidak membuka kepada
orang atau hal lain berperan. Keterlibatan non status quo dipandang sebagai
ancaman bagi masyarakat dan pemegang status quo.
b.
Teori konflik
Teori konflikmerupakan teori yang lahir sebagai kritik atas teori
fungsionalisme struktural. Teori ini dikembangkan oleh Marx. Pendukung teori
ini antara lain George Simmel, Lewis A. Coser, dan Ralf Dahrendorf.
Menurut teori ini, masyarakat berada dalam ketidakseimbangan yang selalu
ditandai dengan adanya pertentangan atau konflik. Jika teori fungsionalisme
struktural memandang keteraturan terjadi karena masyarakat terikat secara
informal atas institusi sosialnya, maka teori konflik memandang itu terjadi
karena adanya pemaksaan oleh pihak yang berkuasa.
Konsep utama teori konflik yaitu dominasi, paksaan dan kekuasaan. Adapun
kelemahan dari teori ini menolak keseimbangan dalam masyarakat dan terlalu
menekankan perubahan dalam konteks konflik.
Metode yang digunakan dalam paradigma fakta sosial yaitu
interview-kuesioner. Menurut George Ritzer, untuk metode interview-kuesioner
memang bersifat ironi. Sebab, metode ini tidak mampu menyajikan informasi yang
bersifat fakta sosial, atau informasi yang didapat lebih bersifat subyektif
dari informan. Walaupun begitu, bagi para penganut fakta sosial metode
interview-kuesioner merupakan sesuatu metode yang cocok dalam penelitian
empiris mereka guna mendapatkan fakta-fakta sosial yang menjadi subject matter
sosiologi.
2.
Teori pendukung paradigma perilaku sosial
a.
Teori behavioral sociology
Teori behavioral sociologymerupakan implementasi dari
perpaduan obyek kajian psikologi perilaku ke dalam sosiologi. Menurut George C.
Homan, manusia di dalam masyarakat tidak memiliki sifat selain yang
diperolehnya dari, dan mungkin dibentuknya sendiri. Inti analisis teori ini terfokus pada
hubungan kausal atas perilaku individu. Teori ini menekankan adanya hubungan
historis antara akibat tingkah laku yang terjadi dalam lingkungan individu dengan
tingkah laku yang terjadi sekarang. Akibat dari tingkah laku yang terjadi di
masa lalu akan mempengaruhi tingkah laku yang terjadi di masa sekarang.
b.
Teori pertukaran (exchange)
Teori pertukarandikembangkan oleh
George Homan. Teori ini berangkat dari asumsi dasar bahwa semua kontak di antara
manusia bertolak dari skema memberi dan mendapatkan kembali dalam jumlah yang
sama. Secara garis besar Homan menyusun lima proposisi dari teoriini yaitu: Pertama, semakin sering individu
melakukan suatu tindakan tertentu yang dinilainya membawa keuntungan atau
manfaat, maka semakin sering individu tersebut akan melakukan tindakan yang
sama; Kedua, jika di masa lalu ada
stimulus yang di mana tindakan individu tersebut memperoleh ganjaran (positif),
maka semakin besar kemungkinan orang itu melakukan tindakan serupa; Ketiga, semakin tinggi apresiasi yang
diberikan atas suatu tindakan individu, maka akan semakin sering individu
melakukan tindakan tersebut; Keempat,
semakin sering seseorang menerima satu ganjaran dalam waktu yang berdekatan,
maka semakin kurang bernilai ganjaran tersebut; Kelima, bila tindakan seseorang tidak memperoleh ganjaran yang
diharapkan atau menerima hukuman, maka akan timbul perasaan emosi atau kecewa
dalam diri individu tersebut. Sebaliknya bila seseorang menerima ganjaran yang
lebih besardari apa yang dia harapkan, maka dia akan merasa senang dan lebih
besar kemungkinan dia akan terus melakukan perilaku tersebut.
BAB III
KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan makalah di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Paradigma sosiologi ialah cara pandang seseorang
terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir,
bersikap, dan bertindak. Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi,
konsep, nilai, dan praktik yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah
komunitas yang sama. Paradigma sosiologi adalah kerangka berpikir dalam
masyarakat yang menjelaskan bagaimana cara pandang terhadap fakta kehidupan
sosial dan perlakuan terhadap ilmu atau teori yang ada. Paradigma ini juga
menjelaskan bagaimana meneliti dan memahami suatu masalah, serta kriteria
pengujian sebagai landasan untuk menjawab masalah.
2.
Teori pendukung dari masing-masing paradigma ini
adalah:
a.
Paradigma fakta sosial didukung oleh teori
fungsionalisme struktural dan teori konflik.
b.
Paradigma definisi sosial didukung oleh teori aksi,
teori interaksionisme simbolik, teori fenomenologi dan teori etnometodologi.
c.
Paradigma perilaku sosial didukung oleh teori
behavioral socilology dan teori pertukaran (exchange).
d.
Paradigma integratif (multi paradigma) didukung oleh
teori konstruksi sosial dan teori strukturasi.
DAFTAR
PUSTAKA
George
Ritzer, Teori Sosiologi Modern,
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2010), h. 697
George
Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan
Berparadigma Ganda, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hal. 38.
Lihat
Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer,
(Jakarta: Rajawali Pers, 1994).
Anthony
Giddens, dan Jonathan H. Turner (ed), Social
Theory Today; Panduan Sistematis Tradisi dan Tren Terdepan Teori Sosial,
diterjemahkan oleh Yudi Santoso, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h.127.
George C.
Homans, Behaviorisme dan Sesudahnya,
dalam Anthony Giddens, dan Jonathan H. Turner (ed), h. 103.
Lihat Peter
Ludwig Berger dan Thomas Luckman, Tafsir
Sosial atas Kenyataan Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, (Jakarta:
LP3ES, 1990).
Lihat
Anthony Giddens, Teori Strukturasi;
Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010).
No comments:
Post a Comment