1

loading...

Kamis, 09 Mei 2019

MAKALAH PENCABUTAN KEMBALI HARTA WAKAF


MAKALAH PENCABUTAN KEMBALI HARTA WAKAF
BAB I
PENDAHULUAN
   A.  Latar Belakang Masalah
Wakaf merupakan suatu perbuatan sunnah untuk tujuan kebaikan, seperti membantu pembangunan sektor keagamaan baik pembangunan di bidang material maupun spiritual. Sebagaimana halnya zakat, wakaf merupakan income dana umat Islam yang sangat potensial bila dikembangkan. Sebagaimana tersirat dalam Undang-undang Republik Indonesia no 41 tentang wakaf pasal 5; “Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum” Amalan wakaf termasuk amalan yang sangat besar pahalanya menurut ajaran Islam. Hampir seluruh amalan akan terhenti atau terputus pahalanya bila orang itu telah meninggal dunia. Sedang amal wakaf akan tetap mengalir pahalanya meskipun orang yang telah mewakafkan telah meninggal dunia.
Bahwasannya menurut Imam Syafi’i dan Imam Hambali, harta wakaf tidak boleh diminta kembali oleh wāqif dan ahli warisnya, karena menurut mereka wakaf berarti menahan harta dari milik wāqif sehingga wāqif sudah tidak mempunyai hak atas harta wakaf tersebut. Menurut Imam Malik harta wakaf masih menjadi milik wāqif namun tidak diperbolehkan mentransaksikannya atau men-tasharruf-kannya, baik dengan menjualnya, mewariskannya atau menghibahkannya selama harta itu diwakafkan. Sedangkan Imam Hanafi memperbolehkan harta wakaf untuk dijual, diwariskan atau dihibahkan karena menurut Imam Hanafi wakaf itu seperti pinjam-meminjam jadi kekuasaan atas harta itu masih milik si wāqif, sekalipun tidak dinyatakan bahwa wakaf tersebut untuk dirinya sendiri. Sehingga wāqif atau ahli warisnya boleh mengambil kembali harta wakaf itu sewaktu-waktu ketika ia menghendakinya.

B.  Rumusan Masalah
1.    Apa Definisi Pencabutan Kembali Harta Waqaf ?
2.    Bagaimana Pencabutan Kembali Harta Wakaf Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf ?
3.    Bagaimana?

C.  Tujuan
1.    Untuk Mengetahui Definisi Pencabutan Kembali Harta Waqaf
2.    Untuk Mengetahui Pencabutan Kembali Harta Wakaf Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
3.    Untuk Mengetahui Pencabutan Kembali Harta Wakaf Menurut Ulama Mazhab.

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Definisi Pencabutan Kembali Harta Waqaf
Seseorang yang telah mewakafkan sudah tidak memiliki harta tersebut. Oleh karena itu, harta yang telah sah ditetapkan sebagai wakaf tidak boleh diambil kembali. Bahkan, harta tersebut tidak boleh pula diambil kembali oleh yang mewakafkannya meskipun dengan mengganti uang seharga tanah tersebut.
Kajian mengenai wakaf jarang sekali dibahas secara terperinci sehingga masih jarang ditemukan kajian tentang diperbolehkannya penarikan kembali harta wakaf oleh pihak Wāqif, mengingat Imam Syafi’i dan Imam Hambali melarang adanya penarikan kembali harta wakaf oleh wāqif dan Imam maliki tidak mengenal penarikan kembali harta wakaf kar Untuk lebih mendalami kajian masalah wakaf khususnya tentang penarikan kembali harta wakaf yang pada umumnya masyarakat Indonesia memandangnya dilarang karena mayoritas umat Islam di Indonesia bermazhab Syafi’i karena menurut beliau wakaf tidak untuk selamanya.[1]
B.  Pencabutan Kembali Harta Wakaf Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Undang – undang no 41 tahun 2004 dan Peraturan pemerintah no 42 tahun 2006 tidak mengantur secara detail (jelas) tentang penarikan kembali harta benda yang sudah diwakafkan. meskipun demikian, pada pasal 40 Undang – Undang no 41 Tahun 2004 disebutkan, harta benda yang sudah diwakafkan dilarang:
  • Dijadikan jaminan
  • Disita
  • Dihibahkan
  •  Dijual
  • Diwariskan
  •  Ditukar
  • Dialihkan dalam bentuk pengalihan

Kemudian dalam pasal 49 peraturan pemerintah no 42 tahun 2006, disebutkan : 128 Ayat 1: Perubahan status harta benda wakaf dalam bentuk penukaran dilarang kecuali dengan izin tertulis dari materi berdasarkan pertimbangan BWI.
Ayat 2 : Izin tertulis dari menteri sebagaimana dimaksud pada pasal (1) hanya dapat diberikan dengan pertimbangan sebagai berikut :
a.     Perubahan harta benda yang wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan umum sesuai rencana umum tata ruang ( RUTR ) berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
b.    Harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan ikrar wakaf.
c.     Pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak.[2]
Ayat 3 : selain itu dari pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Izin penukaran harta benda wakaf hanya dapat diberikan wakaf :
a.     Harta benda penukar memiliki sertifikat atau kepemilikan sah dengan perundang  – undangan
b.    Nilai dengan manfaat harta benda penukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.
Ayat 4 : nilai dan manfaat harta benda penukar sebagaimana dimaksud dengan ayat 3 ( huruf b ) ditetapkan oleh bupati atau walikota berdasarkan rekomendasi tim penilai yang anggotanya terdiri dari unsur :
1.    Pemerintah daerah kabupaten atau kota
2.    Kantor pertanahan kabupaten atau kota
3.    Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) kabupaten atau kota
4.    Kantor Departemen Agama kabupaten atau kota
5.    Nazir tanah wakaf yang bersangkutan.[3]
Harta benda yang sudah diwakafkan boleh ditukar, namun persyaratan agar dapat ditukar sangat ketat sebagaimana diatur dalam pasal 49 Pp No 42 Tahun 2006. Dengan mengacu pada pasal diatas, maka penarikan kembali harta wakaf menurut UU No 41 Tahun 2004 adalah dilarang. Meskipun tidak ada ayat langsung yang menegaskan bahwa penarikan harta wakaf dilarang.
Hal ini dapat di analogis kalau dijadikan jaminan, disita dilarang. Maka untuk melakukan tindakan yang lebih dari itu seperti menarik kembali harta yang diwakafkan sudah jelas dilarang Apabila mengacu pada pasal 1 angka (1 ) Uu No 42 Tahun 2004 yang menyebutkan :
“Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagai harta benda yang milikinya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum.”[4]

C.  Pencabutan Kembali Harta Wakaf Menurut Ulama Mazhab
Para ulama mazhab dan pengikutnya mempunyai perbedaan pendapat mengenai pemahaman terhadap wakaf, yaitu apakah harta wakaf yang telah diberikan si Wāqif masih menjadi miliknya atau berpindah seketika saat ia menyerahkan kepada mauqūf ‘alaih (penerima wakaf). Lalu berikut pendapat para ulama Mazhab tentang Penarikan harta Wakaf, yaitu:
a.    Imam Malik
Imam Malik berpendapat bahwa harta yang diwakafkan tetap menjadi milik orang yang mewakafkan, artinya harta wakaf itu tidak keluar dari Wāqif, tetapi walaupun harta itu (mauquf) tidak lepas dari Wāqif, harta itu tidak boleh di-tasyaruf-kan atau ditransaksikan oleh Wāqif.  Wāqif dilarang menjual, menghibahkan dan mewariskan harta wakafnya. Wakaf boleh untuk waktu tertentu sesuai yang dikehendaki oleh Wāqif. Boleh untuk selama-lamanya dan boleh untuk lima tahun misalnya, sesuai yang ditentukan oleh Wāqif. Kalau Wāqif tidak menentukan waktunya maka wakaf berlaku untuk selama-lamanya.
Karena menurut Imam Maliki bahwa harta wakaf itu tidak keluar dari Wāqif dan boleh untuk waktu tertentu saja, maka apabila waktu yang ditentukan oleh Wāqif sudah habis, si Wāqif boleh mengambil kembali hartanya. Alasan yang digunakan dalam pendapatnya ialah pengertian dari hadits Umar bin Khattab bahwa yang disedekahkan dalam wakaf itu hanyalah manfaat dari harta wakaf itu, sedangkan alasannya yang ditahan, yang dimaksud dengan menahan asalnya ialah menahan benda itu dari memindahkan milik yang dilakukan dengan tidak menjualnya, tidak menghibahkan dan tidak mewariskannya. Sedangkan wakaf boleh dalam waktu tertentu, karena tidak ada dalil yang mengharuskan wakaf untuk selamanya.

b.    Imam Syafi’i
Imam Syafi’i berpendapat bahwa kepastian adanya wakaf ditunjukkan oleh adanya sighat (pernyataan) dari Wāqif dan terpenuhinya rukun-rukun dan syarat-syarat wakaf. Menurut beliau harta yang diwakafkan bukan lagi menjadi milik orang yang mewakafkan (Wāqif) melainkan menjadi milik Allah. Imam Syafi’i berpendapat bahwa kalau seseorang mewakafkan hartanya, berarti menahan harta untuk selama-lamanya. Karena itu dia tidak membenarkan membatasi waktu wakaf seperti pendapat Imam Malik. Oleh karena itu pula harta wakaf harus harta yang mempunyai manfaat yang lama, bukan yang lekas rusak atau habis seketika setelah dipergunakan.
Alasan yang dipegang oleh Syafi’i ialah hadits yang diriwayatkan dari Umar Ibn Khattab tentang tanahnya di Khaibar, yaitu sabda Nabi: “Kalau kau mau, kau tahan harta asalnya, dan kau shadaqahkan hasilnya, maka Umar pun menshadaqahkan dengan tidak menjualnya, tidak menghibahkannya dan mewariskannya. Tidak boleh harta wakaf itu ditransaksikan lagi, dan mewakafkan itu untuk selamalamanya, tidak boleh ditarik kembali.” Alasan lain yang dikemukakan Syafi’i ialah bahwa wakaf adalah termasuk ‘aqad tabarru’, yaitu memindahkan hak milik dari pemilik pertama kepada yang lain tanpa penggantian, pembayaran atau penukaran. Oleh karena itu apabila wakafnya sudah sah maka terjadilah kepastian adanya wakaf. Dan Wāqif tidak dapat menarik kembali wakafnya dan tidak lagi mempunyai kekuasaan bertindak untuk mentransaksikannya.

c.   Imam Hambali
Ahmad berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti : perlakuan pemilik dengan cara pemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukaran atau tidak. Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak  dapat diwarisi oleh ahli warisnya.
Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf’alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut . Apabila wakif melarangnya, maka Qadli berhak memaksanya agar memberikannya kepada mauquf’alaih. Karena itu mazhab Syafi’i mendefinisikan wakaf adalah : “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial)”.

d.   Imam Abu Hanifah
Menurut pendapat Abu Hanifah, harta yang telah diwakafkan tetap berada pada kekuasaan Wāqif dan boleh ditarik kembali oleh si Wāqif. Harta itu tidak berpindah hak milik, hanya manfaatnya saja yang digunakan untuk tujuan wakaf. Dalam hal ini Imam Abu Hanifah memberikan pengecualian pada tiga hal, yakni wakaf masjid, wakaf yang ditentukan oleh keputusan pengadilan dan wakaf wasiat. Selain tiga hal yang tersebut, yang dilepaskan hanya manfaatnya saja bukan benda itu secara utuh.[5]


BAB III
PENUTUP
  A.  Kesimpulan
Wakaf merupakan suatu perbuatan sunnah untuk tujuan kebaikan, seperti membantu pembangunan sektor keagamaan baik pembangunan di bidang material maupun spiritual. Sebagaimana halnya zakat, wakaf merupakan income dana umat Islam yang sangat potensial bila dikembangkan.     
Undang – undang no 41 tahun 2004 dan Peraturan pemerintah no 42 tahun 2006 tidak mengantur secara detail (jelas) tentang penarikan kembali harta benda yang sudah diwakafkan. meskipun demikian.
Pendapat para Ulama Mazhab yaitu:
1.    Imam Malik berpendapat bahwa harta yang diwakafkan tetap menjadi milik orang yang mewakafkan, artinya harta wakaf itu tidak keluar dari Wāqif, tetapi walaupun harta itu (mauquf) tidak lepas dari Wāqif, harta itu tidak boleh di-tasyaruf-kan atau ditransaksikan oleh Wāqif. Wāqif dilarang menjual, menghibahkan dan mewariskan harta wakafnya
2.     Imam Syafi’i berpendapat bahwa kepastian adanya wakaf ditunjukkan oleh adanya sighat (pernyataan) dari Wāqif dan terpenuhinya rukun-rukun dan syarat-syarat wakaf.
3.    Imam Hambali  berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan.
4.    Imam Abu Hanifah Menurut pendapat Abu Hanifah, harta yang telah diwakafkan tetap berada pada kekuasaan Wāqif dan boleh ditarik kembali oleh si Wāqif.

  B.  Kritik dan Saran

Dalam penulisan makalah mengenai Pencabutan atau penarikan kembali  harta wakaf, apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam penulisan, mohon kritik dan sarannya, dan diharapkan makalah ini berguna dan menambah ilmu bagi pembacanya. Dan diharapkan bagi pembaca supaya dapat memahami makalah ini dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Mugniyah, Muhammad jawad. 2004. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: PT Lentera Basritama.
Praja, Juhaya  S. 1997. Perwakafan Di Indonesia . Bandung: Yayasan Piara.
Rachmadi, Usman. 2009. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Syah, Ismail Muhammad. 1992.  Filsafat Hukum Islam . Jakarta: Bumi Aksara.
Undang-undang Republik Indonesia no 1. 2007. tentang perkawinan dan kompilasi hukum Islam. Bandung: Citra Umbara.


[1] Juhaya S. Praja. Perwakafan Di Indonesia (Bandung: Yayasan Piara) 1997, hlm. 18
[2] Usman Rachmadi. Hukum Perwakafan di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika) 2009, hlm. 52

[3] Ismail Muhammad Syah. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara) 1992, hlm. 248
[4] Undang-undang Republik Indonesia no 1 tentang perkawinan dan kompilasi hukum Islam,                    Bandung: Citra Umbara, 2007, hlm. 186.

[5] Muhammad jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: PT Lentera Basritama, 2004, hlm. 660.


Rabu, 08 Mei 2019

MAKALAH SEJARAH FILSAFAT ISLAM


MAKALAH SEJARAH FILSAFAT ISLAM 

BAB I
PENDAHULUAN

       A.    Latar Belakang
Di Andalusia (Spanyol) muncul Bani Umayah II yang beribukota di Cordoba.Tempat tumbuhnya peradaban Islam serta tempat lahirnya pemikir-pemikir Islam, salah satunya adalah Ibn Sina. Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, dalam sosok Ibn Sina banyak hal unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh pengharganaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu-satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad. Dengan lahirnya para tokoh filsafat di Cordoba merupakan bukti kemajuan intelektual Islam yang sangat tinggi.
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu-satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad.
Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang  genius dalam menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

     A.    Sejarah Lahir dan Karyanya Ibn Sina
Nama lenngkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Al-Husain Ibnu ‘Abd Allah Ibn Hasan Ibnu ‘Ali Ibn Sina. Dibarat populer dengan sebutan api cenna akibat dari terjadinnya metamerfose  Yahudi – Spanyol – Latin.
Dengan lida spanyol kata Ibnu diucapkan dengan aben atau epenn. Terjadinya perubahan ini berawal dari usa penerjemahan dari naska-naska arab ke dalam bahasa latin pada pertengahan abad ke12 di spanyol. Ibnu Sina dilahirkan di Afsiyana dekat bukhara pada tahun 1980 M dan meninggal dunia pada tahun 1037 M dalam usia 58 tahun. Jasatnya dikebumikan di Hamadza.[1]
Karangan- karangan ibnu Sina:
1.Asy-Syifa, buku ini adalah buku filsafat yang terpenting yang terbesar dari Ibnu Sina, dan terdiri empat bagian, yaitu, logika, fisika, matematika, dan metafisika, (ketuhanan).
2.Al-Najat, latinnya Salus (penyelamat), keringakasan dari al-syifa, dan pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku al-qonun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 M di Mesir
3.Al-Isyarah wa al-Tanbihah (isyarat dan peringatan), mengenai logika dan hikmah.
4.AL-Hikmat al-Masyriqiyyah, buku ini banyak dibicarakan orang, karena tidak jelasnya maksud juduk buku, dan naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian logika. Ada yang mengatakan bahwa isi buku tersebut mengenai tasawuf, tetapi menurut Carlos Nallino, berisi filsafat timur sebagai imbangan dari filsafat barat.
5. Al-Qanun, atau canon of medicine, menurut penyebutan orang-orang barat. Buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahsa latin dan pernah menjadi buku standar untuk Universitas-universitas Eropa sampai akhir abad ketujuh belas Masehi, dan di india tahun1323 H. risalah-risalah lain yang banyak jumlahnya dalam lapangan filsafat,etika, logika, dan psikologi.
6.Hidayah al-Rais li al-Amir.
7. Risalah fi alkalam ala al-Nas al-Nathaqiyah, dan
8. Al-Manthiq al-Masyriqiyyin (logika Timur).[2]

         B.     Filasafatnya
1.      Al-Taufiq ( rekosiasi) antara agama dan filsafat
Sebagaimana Al-Alfarabi, Ibnu Sina juga mengusahakan pemaduan (rekonsiasi) antara agama dan filsafat. Menurutnya nabi dan filosof menerima kebenaran dari sumber yang sama yakni malaikat jibril juga disebut akal ke sepuluh atau akal aktif perbedaanya hanya terletak pada cara memperolehnya, bagi nabi terjadinya hubungan dengan maliakat jibril melalui akal materil yang disebut hads (kekuatan suci, qutsiyyat), sedangkan filosof melalui akal mustafad. Nabi memperoleh akal materil yang dayanya jauh lebih kuat dari pada akal mustafad yang dayanya jauh lebih rendah dari pada akal materil melalui latihan berat. Penegtahuan yang diperoleh nabi disebut wahyau, berlainan dengan pengetahuan yang diperoleh filosof hanya dalam bentuk ilham tetapi antara keduanya tidaklah bertentangan.
Ibnu Sina, sebagaimana alfarabi juga meberikan ketegasan tentang perbedaan antara para nabi dan para filosof.
a.       Menurutnya adalah manusia pilihan Allah dan tidak ada peluang bagi manusia lain untuk mengusahakan dirinya jadi nabi.
b.      Manusia yang mempunyai intelektual yang tinggi tidak bisa menjadi nabi.
Pembagian manusia yang dimajukan Ibnu Sina menjadi dua tingkatan awam dan terpelajar, adalah hal yang biasa. Namun, pendapatnya mendapatkan bahwa kebenaran dalam bentuk wahyu ditunjukan pada tingkatan awam dan kebenaran dalam bentuk filsafat ditujukan pada tingkatan terpelajar agak meragukan, tetai apabila yanng dimaksudkan kebenaran dalam bentuk wahyu secara eksplisif ditujukan pada tinngkatan awam, maka dapat diterima. Namun yang jelas Ibnu Sina dalam mengharmoniskan antara filasfat dan agama juga menggunakan takwi.
Dalm pandangan Ibnu Sina para nabi sangat diperlukan bagi kemaslahatan mannusia dan alam semesta. Hal ini disebabkan para nabi dan mukzisadnya dapat di benarkan diikuti manusia. Dengan kata lalin, kebenaran yang disampaikan nabi, seperti adanya hari akhirat dan lain lain, dapat diterima dan dibenarkan manusia baik secara rasional maupun secra syar’i.[3]
2.      Ketuhanan
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya tuhan (Isabat wujud Allah) dengan dalil wajib al-wujud dan mumkin al-wujud. Argumen ini mengesankan duplikat al-farabi, yang sepertinnya tidak ada tambahan sama sekali. Akan tetapi, dalam filsafat wujudnya, bahwa segala yang ada ia bagi pada tiga tingkatan dipandang memiliki daya kreasi tersendiri:
a.       Wajib Al-wujud, esensi yang tidak dapat tidak mesti mempunyai wujud. Disini esensi tidak biasa dipisak berwuju, tetapi dari wujud: keduanya adalah sama dan satu. Esensi ini tidak mulai dari tidak ada, kemudian berwuju, tetapi ia wajib dan mesti berwuju selama lamaya.
b.      Mumkin Al-wujud oleh, esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak berwujud. Dengan istilah lain, jika ia diandaikan tidak ada atau diandaikan ada, maka ia tidaklah mustahil, yakni boleh ada dan boleh tidak ada
c.       Mumtani Al-wujud, esensi yang tidak dapat mempuyai wujud, seperti adanya sekarang ini juga kosmos lain di samping kosmos yang ada.

Ibn Sina dalam membuktikan adanya Allah tidak perlu mencari dalil dengan salah satu mahluknya, tetapi cukup dengan dalil adanya wujud pertama, yakni wajib Al- wujud. Sebagaimana alfrabi ibn Sina juga berpendapat bahwa ilmu Allah hanya mengetahui universal (kuly) di alam dan ia tidak mengetahui yg versial.[4]
3.      Emanasi
Ibn Sina, sebagaiman juga Al-Farabi menemui kesulitan dalam menjelaskan bgaimana terjadinya yang bersifat materi (alam) dari yang esa, jauh dari arti banyak, jauh dari materi, maha sempurna dan tidak berkehendak apapun (Allah).
Telah disebutkan bahwa filsafat emanasi ini bukan hasil renungan ibn Sina (juga Al-Farabi), tetapi berasal dari “ramuan plotinus” yang menyatakan bahwa alam ini terjadi karena pancaran dari yang Esa ( the one). Kemudian filsafat plotinus yang beperinsif bahwa “dari yang satu hanya satu yang melimpah,” ini di islamkan oleh Ibn Sina (juga Al-farbi) bahwa Allah menciptakan alam secara emanasi. Ia menciptakan alam dari materi yang sudah ada secara pancaran.
Ada pun proses terjadinya pancaran tersebut ialah ketika Allah wujud (bukan dari tiada sebagi dari akal) (‘aql) langsung memikirkan (ber-ta’aqqul) terhadap satnya yang menjadi objek pepikirannya, maka memancarlah akal pertama. Dari akal pertama ini memancarlah akal kedua, demikianlah seterusnya sampai ke akal ke sepuluh.
Emanasi ibn juga menghasilkan sepuluh akal dan sembilan planet. Sembilan akal mengurusi sembilan planet dan akal kesepuluh mengurusi bumi. Sebagai Al-farabi, Ibn sina juga memajukan emanasi untuk mentauhitkan Allah semutlak-mutlaknya. Oleh karena itu Allah tidak bisa menciptakan alam yang banyak jumlah unsurnya ini secara langsung[5]
4.      Jiwa
Harus diakui bahwa keistimewaan Ibn Sina terletak pada filsafat jiwa. Kata jiwa dalm Al-Quran dan hadis diistialhkan dengan al- nafs dan al- ruh sebagaimana terekam dalam surat Shad: 71-72, al- Isra: 85, al-fajr 27-30.  Jiwa manusia,sebagai jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat dibawah rembulan, memancarkan dari akal sepuluh. Secara garis besarnya pembahasan Ibn Sina tentang jiwa terbagi menjadi dua bagian berikut:
a.       Fisika, membicarakan tentang jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan manusia.
b.      Metafisika membicarakan tentang hal-hal berikut:
1.      Wujud jiwa
2.      Hakikat jiwa
3.      Hubungan jiwa dengan jasad
4.      Kekalan jiwa.[6]


 BAB III
PENUTUP

    A.    Kesimpulan
Pada dasarnya semua tokoh filsafat/pemikir islam sangat memperhatikan akidah ketauhidan termasuk juga ibn Sina. Dari hasil filsafat mereka bahwa tujuan dari berfilsafat mereka adalah untuk mengesakan tuhan. Sehingga salah apabila dikatakan ibn Sina itu kafir seperti tudingan al-Gazali dan ini sudah dijawab oleh ibn Rusyd.Menurut Ibn Sina Allah adalah wâjib al-wujûd, Allah ada tanpa diawali dari ketiadaan, Dengan demikian, dalam menetapkan Yang Pertama (Allah) kita tidak memerlukan perenungan selain terhadap wujud itu sendiri, tanpa memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan salah satu makhluk-Nya. Dalam hal keNabian, Ibn Sina mengatakan bahwa Nabi adalah manusia biasa yang mempunyai akal perolehan sehingga mampu berkomunikasi dengan akal aktif (Jibril) sedangkan filosof tidak mampu kederajat itu. Nabi dapat menerima wahyu sedangkah ilham diberikan kepada filosof.  Dalam filsafat emanasi, menurut Ibn Sina, Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan pancaran, ketika Allah wujud (bukan dari tiada) sebagai Akal (‘aql) langsung memikirkan (ber-ta’aqqul) terhadap zat-Nya, maka mumancarlah Akal Pertama, dari akal pertama memancarlah Akal Kedua, Jiwa Pertama, dan Langit Pertama dan seterusnya sampai akal kesepuluh menghasilkan bumi, roh, materi pertama sebagai dasar bagi keempat unsur pokok: air, udara, api, dan tanah. Jiwa manusia akan kekal dalam bentuk individual, yang akan menerima pembalasan (bahagia dan celaka) di akhirat. Akan tetapi, kekalnya dikekalkan Allah (al-khulûd). Jadi, jiwa adalah baharu (al-hudûs) karena diciptakan (punya akal) dan kekal (tidak punya akhir).



DAFTAR PUSTAKA

Zar  Sirajudin ,2014, Filsafat Islam, Jakarta:PT RajaGrapindo
 Inati Shams, 2003, Ibnu Sina, Dalam Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam. Bandung,mizan






[1] Sirajudin Zar, Filsafat Islam, Jakarta:PT RajaGrapindo, 2014, hlm 93
[2] Shams Inati,Ibnu Sina, Dalam Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam. Bandung,mizan,2003, hlm 289
[3] Sirajudin Zar, Filsafat Islam, Jakarta:PT RajaGrapindo, 2014, hlm 96-97
[4] Sirajudin Zar, Filsafat Islam, Jakarta:PT RajaGrapindo, 2014, hlm 97-98
[5] Sirajudin Zar, Filsafat Islam, Jakarta:PT RajaGrapindo, 2014, hlm 101-102
[6] Sirajudin Zar, Filsafat Islam, Jakarta:pt RajaGrapindo, 2014, hlm 105-113