1

loading...

Kamis, 16 Mei 2019

MAKALAH HADIST MUTAWATIR DAN HADIST AHAD


MAKALAH HADIST MUTAWATIR DAN HADIST AHAD 
BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang kajian keilmuan Isalam, terutama dalam ilmu hadist banyak sekali bahasan dalam ilmu hadist yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu hadist.
Hadist merupakan semua hal, baik berupa ucapan, perbuatan, pernyataan dan hal yang disandarkan kepad Nabi Muhammad SAW. Dalam agama Islam kedudukan hadist menjadi sumber ajaran yang berada dibawah kitab suci Al- Quran. Akan tetapi tidak semua atau sembarang hadist bisa dijadikan sebagai pedoman atau dasar hukum. Dan kita harus mengetahui pembagian-pembagian hadist agar kita tau tingkatan atau kelas hadist yang akan kita pakai tersebut.
Maka dari sinilah kami menulis makalah tentang pembagian hadist dari segi kuantitas prawi yang bertujuan agar kita dapat mengetahui kelas-kelas hadist yang akan kita jadikan sebagai pedoman.

B.       RUMUSAN MASALAH
1.      Dibagi berapa bagian hadist yang ditinjau dari segi kuantitas perawi?
2.      Apa pengertian dan pembagian Hadist Mutawatir dan Hadist Ahad?
3.      Bagaimana kedudukan Hadist Mutawatir dan Hadist Ahad?

C.      TUJUAN PENULISAN
1.      Menyebutkan bagian-bagian hadist apabila ditinjau dari segi kuantitas perawi.
2.      Menjelaskan pengertian dan pembagian Hadist Mutawatir dan Hadist Ahad.
3.      Menjelaskan kedudukan Hadist Mutawatir dan Hadist Ahad
BAB II
PEMBAHASAN

      A.    Pembagian Hadis Berdasarkan Kuantitas Rawi
Hadis ditinjau dari segi sedikit banyaknya rawi yang menjadi sumber berita terbagi pada dua macam, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.[1]
1.      Hadis Mutawatir
a.       Pengertian hadis mutawatir
Mutawatir, menurut bahasa adalah isim fa’il musytaq dari at-tawatur artinya At-tatabu’(berturut-turut).
Adapun hadis mutawatir menurut istilah ulama hadis adalah,
Khabar yang didasarkan pada pancaindra yang dikabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil menurut adat mereka bersepakat untuk mengkabarkan berita itu dengan dusta.
Adapun dari redaksi lain pengertian mutawatir ialah:
مَاكانَ عَنْ مَحْسُوسٍ اَخْبَرَ بِهِ جَمَا عَةٌ بَلَغُوْا فِى الكَسْرَةِ مَبْلَغًا تَحِيْلُ العَادَةُ تَوَاْطؤهُمْ على الكَدِ بِ
“Hadist yang berdasarkan pada panca indra (dilihat atau didengar) yang diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat berbohong”.

b.      Syarat-syarat Hadis Mutawatir
Syarat Hadis Mutawatir ini adalah:
1.      Pewartaan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan pancaindra, yakni warta yang mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.
2.      Jumlah rawinya harus mencapai kuantitas tertentu sehingga tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta. Dengan demikian, jumlahnya adalah relatif, tidak ada batas tertentu. Menurut Abu Ath Thayib, jumlah perawinya empat orang, Ashab Asy-Syafi’i menyatakan lima orang, dan ulama lain menyatakan mencapai dua puluh atau empat puluh orang.
3.      Adanya keseimbangan jumlah antara para rawi dalam thabaqah pertama dengan jumlah rawi dalam thabaqah berikutnya.
c.       Klasifikasi Hadis Mutawatir
Para ulama membagi hadis mutawatir menjadi tiga, yaitu mutawatir lafdzi, mutawatir maknawi, dan mutawatir amali.
1.      Hadis Mutawatir Lafzhi
Hadis mutawatir lafzhi adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi dan maknanya sesuai benar antara riwayat yang satu dan lainnya, yakni :
مَاتَوَاتَرَلَفْظُهُ وَمَعْنَاهُ
Hadis yang sama bunyi lafazh, hukum, dan maknanya.
Contoh Hadis mutawatir lafzhi adalah :
Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, hendaklah ia bersiap-siap menduduki tempat duduknya di neraka. (H.R. Bukhari)
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadis tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Sebagian ulama mengatakan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan lafazh dan makna yang sama. Hadis tersebut terdapat pada sepuluh kitab hadis, yaitu Al-Bukhari, Muslim, Ad-Darimi, Abu Dawud, Ibn Majah, At-Tirmidzi, At-Thayasili, Abu hanifah, Ath-Thabrani, dan Al-Hakim.
2.      Hadis Mytawatir Ma’nawi
Hadis mutawatir ma’nawi adalah hadis yang lafazh dan maknanya berlainan antara satu riwayat dan riwayat lainnya, tetapi terdapat persesuaian makna secara umum (kulli). Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis,
َاتَوَاتَرمَعْنَاهُ دُوْنَ لفْظِهِ

Hadis yang berlainan bunyi dan maknanya, tetapi dapat diambil makna umum.
Contoh hadis mutawatir ma’nawi adalah
Nabi SAW tidak mengangkat kedua tangannya dalam doa-doa beliau, kecuali dalam shalat istisqa, dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya. (H.R.Bukhari)
Hadis-hadis yang semakin dengan hadis tersebut banyak sekali, lebih dari 100 hadis.
3.      Hadis Mutawatir ‘Amali
Hadis Mutawatir ‘amali adalah,Sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir di kalangan umat islam bahwa Nabi SAW. Mengajarkannya atau menyuruhnya atau selain dari itu. Dari hal itu dapat dikatakan soal yang telah disepakati.
Contoh hadis mutawatir ‘amali adalah berita-berita yang menerangkan waktu dan rakaat shalat, shalat jenazah, shalat ‘Ied, hijab perempuan yang bukan mahram, kadar zakat, dan segala rupa amal yang telah menjadi kesempatan, ijma.
d.      Kitab-kitab tentang Hadis-hadis Mutawatir
Sebagian ulama telah mengumpulkan hadis-hadis mutawatir dalam sebuah kitab tersendiri. Dia antara kitab-kitab tersebut adalah :
1)      Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi, berurutan berdasarkan bab.
2)      Qathf Al-Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab di atas.
3)      Al-La’ali Al-Mutanatsirrah fi  Al-Alhadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi.
4)      Nazhm Al-Mutanatsirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Ja’far Al-Kattani.
2.      Hadis Ahad
a.      Pengertian Hadis Ahad
Hadis ahad adalah hadis yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir. Hal ini dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis berikut ini.
Menurut istilah, hadits ahad adalah:
مَالَمْ يَجْمَعْ شُرُوْطَ الْمُتَوَاتِرِ
Hadits yang tidak memenuhi beberapa persyaratan hadits mutawatir

Hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir
Hadis yang tidak sampai jumlah rawinya kepada jumlah hadis mutawatir, baik rawinya itu seorang, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya dari bilangan-bilangan yang tidak memberi pengertian bahwa hadi itu dengan bilangan tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir.
b.      Klasifikasi Hadis Ahad
Jumlah rawi dari masing-masing thabaqah, mungkin satu orang, dua orang, tiga orang atau malah lebih banyak, namun tidak sampai pada tingkat mutawatir.
Berdasarkan jumlah dari thabaqah masing-masing rawi tersebut, hadis ahad ini dapat dibagi dalam tiga macam yaitu masyhur, ‘aziz, dan gharib.
1.      Hadis Masyhur
a.       Pengertian hadis masyhur
Menurut bahasa, masyhur adalah muntasyir, yaitu sesuatu yang sudah tersebar, sudah populer. Adapun menurut istilah, hadis masyhur adalah, hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap thabaqah tidak mencapai derajat mutawatir.
b.      Klasifikasi hadis masyhur
Istilah ‘masyhur’ yang diterapkan pada suatu hadis kadang-kadang bukan untuk memberikan sifat-sifat hadis menurut ketetapan di atas, yakni banyaknya rawi yang meriwayatkan suatu hadis, tetapi diterapkan juga untuk memberikan sifat suatu hadis yang mempunyai ketenaran dikalangan para ahli ilmu tertentu atau kalangan masyarakat ramai. Dari segi ini, hadis masyhur terbagi kepada:
1)      Masyhur di kalangan para muhaditsin dan lainnya (golongan ulama ahli ilmu dan orang umum), seperti hadis,
Seorang muslim adalah orang yang menyelamatkan sesama muslim lainnya dari gangguan lidah dan tangannya.
2)      Masyhur dikalangan ahli-ahli ilmu tertentu, misalnya hanya masyhur dikalangan ahli hadis saja, ahli fiqh saja, ahli tasawuf saja, dan sebagainya.
Contoh hadis masyhur di kalangan ulama ushul fiqh adalah,
Terangkanlah (dosa) dari umatku, kekeliruan, lupa, dan perbuatan yang mereka lakukan karena terpaksa. (H.R. At-Thabrani dari Ibnu Abbas)
3)      Masyhur di kalangan masyarakat umum, seperti hadis,
Bagi si peminta-minta ada hak, walaupun datang dengan kuda. (H.R. Ahmad dan An-Nasa’i)
c.       Kitab-kitab yang berisi tentang kumpulan hadis masyhur, antara lain Al-Maqasid Al-Hasanah fi ma Isytahara ‘ala Al-Alsinah, karya As-Sakhawi, Kasyf Al-Khafa’wa Muzil Al-Ilbas fi Ma Isytahara min Al-Hadits ‘ala Alsinah An-Nas min Al-Hadis karya Ibnu Daiba’ A-Syaibani.
2.      Hadis ‘Aziz
Aziz menurut bahasa adalah AsySafief (yang mulia), An-Nadir (yang sedikit wujudnya), Ash-Shab’bul ladzi yakadu la yuqwa ‘alaih (yang sukar diperoleh), dan Al-Qawiyu (yang kuat).
Adapun menurut istilah, hadis aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian orang-orang meriwayatkannya.

Berikut ini contoh hadis ‘aziz.
a.       Contoh hadis ‘aziz pada thabaqah pertama :
Kami adalah orang-orang terakhir di dunia yang terdahulu pada hari Kiamat. (H.R. Ahmad dan An-Nasa’i)
Hadis tersebut diriwayatkan oleh dua orang sahabat (thabaqah) pertama, yakni Hudzaifah ibn Al-Yaman dan Abu Hurairah. Hadis tersebut pada thabaqah kedua sudah menjadi masyhur sebab melalui periwayatan Abu Hurairah, hadis diriwayatkan oleh tujuh orang, yaitu Abu Salamah, Abu Hazim, Thawus, Al-‘Araj, Abu Shalih, Humam, dan ‘Abd Ar-Rahman.
b.      Contoh hadis ‘aziz pada thabaqah kedua, yaitu:
Tidak sempurna iman seorang darimu sehingga aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, orang tuanya, anak-anaknya, dan manusia seluruhnya. (Mutafaq’alaih)
Hadis tersebut diterima oleh Anas bin Malik (thabaqah pertama) kemudia diterima oleh Qatadah dan ‘Abd. Al-‘Aziz (thabaqah kedua). Dari Qatadah diterima oleh Husain Al-Mu’alim dan Syu’bah, sedangkan dari ‘Abd. Al-Warist dan Ismail bin Ulaiyah (thabaqah ketiga). Pada thabaqah keempat, hadis itu diterima masing-masing oleh Yahya ibn Ja’far dan Yahya ibn Sa’id dari Syu’bah , Zuhair ibn Harb dari Ismail dan Syaiban ibn Abi Syaibah dari ‘Abd Al-Warits. Sebagaimana hadis masyhur, hadis ‘aziz pun ada yang sahih, hasan, dan dhaif. Ke’aziz;an suatu hadis tidak identik dengan sahih –tidaknya nilai hadis.




3.      Hadis Gharib
a.       Pengertian hadis gharib
Gharib menurut bahasa adalah ba’idun ‘anil wathani (yang jauh dari tanah), dan  Kalimat yang sukar dipahami. Adapun menurut istilah, hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi.
Dalam pengertian lain, hadis gharib adalah, hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan selain rawi itu sendiri. Juga dapat mengenai sifat atau keadaan rawi. Artinya sifat atau keadaan rawi itu berbeda dengan sifat dan keadaan rawi-rawi lain yang juga meriwayatkan hadis tersebut. Contoh hadis gharib,
Dan Abu Hurairah r.a dari Nabi Saw telah bersabda, “iman itu bercabanu itu cabang menjadi 60 cabang dan malu itu salah satu cabang dari iman.” (H.R.Bukhari)
b.      Klasifikasi hadis gharib
Ditinjau dari segi bentuk penyendirian rawi, hadis gharib terbagi pada dua macam, yaitu gharib muthlaq dan garib nisby.
1)      Gharib muthlaq
Gharib muthlaq adalah hadis yang rawinya menyendiri dalam meriwayatkan hadis itu. Penyendirian rawi hadis gharib muthlaq itu berpangkal pada tempat ashlus sanad, yakni tabi’in bukan sahabat.
2)      Gharib nisby
Gharib nisby adalah apabila penyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang rawi. Penyendirian rawi mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi, mempunyai beberapa kemungkinan, antara lain:
a.       Sifat keadilan dan ke-dhabit-an (ke-tsiqat-an) rawi
b.      Kota atau tempat tinggal tertentu
c.       Meriwayatkannya dari orang tertentu
Apabila penyendirian itu ditinjau dari segi letaknya apakah terletak di sanad atau matan, hadis gharib terbagi lagi menjadi 3 bagian, yaitu :
c.       Cara untuk menetapkan ke-gharib-an hadis
Untuk menetapkan satu hadis itu gharib, hendaklah periksa dulu pada kitab-kitab hadis, seperti kitab jami’ dan kitab musnad, apakah hadis tersebut mempunyai sanad lain yang menjadi mutabi’ dan atau matan lain yang menjadi syahid. Cara tersebut dinamakan i’tibar. Menurut istilah, ilmu hadis mutabi’ adalah, hadis yang mengikuti periwayatan rawi lain dari gurunya (yang terdekat), atau gurunya (yang terdekat itu).
Mutabi’ ada dua macam, yaitu sebagai berikut .
1)      Mutabi’ tam, yaitu bila periwayatan mutabi’ itu mengikuti periwayatan guru ( mutaba’) dari yang terdekat sampai guru yang terjauh.
2)      Mutabi’ qashir,  yaitu bila periwayatan mutabi’ itu mengikuti periwayatan guru (mutaba’) yang terdekat saja, tidak sampai mengikuti gurunya guru yang jauh sekali.
Adapun syahid adalah, meriwayatkan sebuah hadis lain sesuai dengan maknanya.
Hadis syahid ada dua macam, yaitu:
1)      Syahid bi Al- Lafzhi, yaitu bila matan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat yang lain sesuai redaksi dan maknanya dengan hadis fard-nya.
2)      Syahid bi Al- Ma’na, yaitu bila matan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat lain itu, hanya sesuai dengan maknanya.

c.    Kedudukan Hadis Ahad dan Pendapat Ulama Tentang Hadis Ahad
Para ahli hadis berbeda pendapat tentang kedudukan hadis ahad.
Pendapat tersebut antara lain :[2]
1.      Segolongan ulama, seperti Al-Qasayani, sebagaian ulama Dhahiriyah dan Ibnu Dawud, mengatakan bahwa kita tidak wajib beramal dengan hadis ahad.
2.      Jumhur ulama ushul menetapkan bahwa hadis ahad memberi faedah dhan. Oleh karena itu, hadis ahad wajib diamalkan sesudah diakui kesahihannya.
3.      Sebagai ulama menetapkan bahwa hadis ahad diamalkan dalam segala bidang.
4.      Sebagai muhaqqiqin menetapkan bahwa hadis ahad hanya wajib diamalkan dalam urusan amaliyah (furu’), ibadah, kaffarat, dan hudud, namun tidak digunakandalam urusan aqa’id (akidah).
5.      Imam Syafi’i berpendapat bahwa hadis ahad tidak dapat menghapuskan suatu hukum dari hukum-hukum Al-Quran dengan hadis ahad.
6.      Ahlu Zhahir (pengikut Daud Ibnu ‘Ali Al-Zhahiri) tidak membolehkan men-takhsis-kan umum ayat-ayat Al-Quran dengan hadis ahad.


      B.     Klasifikasi Hadis Berdasarkan Kualitas Rawi
Hadis ditinjau dari segi kualitas rawi yang meriwayatkannya, terbagi dalam tiga macam, yaitu sahih, hasan, dan dhaif.
1.      Hadis Sahih
a.       Pengertian Hadis Sahih
Sahih menurut lughat adalah lawan dari “saqim”, artinya sehat lawan sakit, haq lawan batil. Menurut ahli hadis, hadis sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah SAW, atau sahabat tabiin, bukan hadis yang syadz (kontroversi) dan terkena ‘iilat yang menyebabkan cacat dalam penerimaannya.
Dalam definisi lain hadis sahih adalah, Hadis yang dimiliki (diriwayatkan) oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatannya, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat, dan tidak ganjal.
b.      Syarat-syarat Hadis Sahih
Menurut muhaditsin, suatu hadis dapat dinilai sahih, apabila memenuhi syarat berikut :
1.      Rawinya bersifat adil
Menurut Syuhudi Ismail, keriteria-kriteria periwayat yang bersifat adil, adalah:
a.       Beragama islam
b.      Berstatus mukalaf (Al-Mukallaf)
c.        Melaksanakan ketentuan agama
d.      Memelihara muru’ah
2.      Rawinya bersifat dhabit
Dhabit adalah bahwa rawi yang bersangkutan dapat menguasai hadisnya dengan baik, baik dengan hapalan yang kuat atau dengan kitabnya, lalu ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya.
3.      Sanadnya bersambung
Yang dimaksudkan dengan ketersambungan sanad adalah bahwa setiap rawi hadis yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari setiap rawi yang berada di atasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama.
Suatu sanad hadis dapat dinyatakan bersambung apabila :
a.       Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabit).
b.      Antara masing-masing rawi dengan rawi terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah menurut ketentuan tahamul wa ada al-hadis.
4.      Tidak ber-‘illat
Maksudnya bahwa hadis yang bersangkutan terbebas dari cacat kesahihannya, yakni hadis itu terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnya cacat, meskipun tampak bahwa hadis itu tidak menunjukkan adanya cacat tersebut.
5.      Tidak syadz (janggal)
Kejanggalan hadis terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (yang dapat diterima periwayatannya) dengan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat (rajih) daripadanya, disebabkan kelebihan jumlah sanad dalam ke-dhabit-an atau adanya segi-segi tajrih yang lain.
Jadi, hadis sahih adalah hadis yang rawinya adil dan sempurna ke-dhabitnya-annya, sanadnya muttashil, dan tidak cacat matannya marfu’, tidak cacat dan tidak janggal.
c.    Klasifikasi Hadis Sahih
Hadis sahih terbagi menjadi dua, yaitu sahih li dzatih dan sahih li ghairih. Sahih li dzatihi adalah hadis sahih yang memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal, seperti yang telah disebutkan di ata, Adapun hadis sahih li ghairih adalah sahih yang tidak memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal. Misalnya, rawinya yang adil tidak sempurna ke dhabit-annya (kapasitas intelektualnya rendah). Dengan demikian, sahih li ghairih adalah hadis yang kesahihannya disebabkan oleh faktor lain karena tidak memenuhi syarat-syarat secara maksimal. Misalnya, hadis hasan yang diriwayatkan melalui beberapa jalur, bisa naik derajat dari hasan ke derajat sahih.
d.   Martabat Hadis Sahih
Hadis sahih yang paling tinggi derajatnya adalah hadis yang bersanad ashahul asanid, kemudian berturut-turut sebagai berikut :
1.      Hadis yang disepakati oleh Bukhari Muslim
2.      Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari sendiri.
3.      Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sendiri.
4.      Hadis sahih yang diriwayatkan menurut syarat-syarat Bukhari dan Muslim, sedangkan kedua Imam itu tidak men-takhrijnya.
5.      Hadis sahih menurut syarat Bukhari, sedangkan Imam Bukhari sendiri tidak men-takhrij-nya.
6.      Hadis sahih menurut syarat Muslim, sedangkan Imam Muslim sendiri tidak men-takhrijnya.
7.      Hadis sahih yang tidak menurut salah satu syarat dari kedua Imam Bukhari dan Muslim. Ini berarti si pen-takhrij tidak mengambil hadis dari rawi-rawi atau guru-guru Bukhari dan Muslim, yang telah beliau sepakati bersama atau yang masih diperselisihkan. Akan tetapi, hadis yang di-takhrij-kan tersebut, disahihkan oleh Imam-imam hadis yang kenamaan. Misalnya hadis-hadis sahih yang terdapat pada sahih ibnu huzaimah, sahih ibnu hibban, dan sahih al-hakim.
e.    Karya-karya yang hanya memuat hadis sahih
Diantara kaya-kaya yang hanya memuat hadis sahih adalah:
1.      Sahih Bukhari
2.      Sahih Muslim
3.      Mustadrak Al-Hakim
4.      Sahih Ibnu Hibban
5.      Sahih Ibnu Khuzaimah
2.      Hadis Hasan
a.      Pengertian Hadis Hasan
Hasan, menurut lughat adalah sifat musybahah dari ‘Al-Husna, artinya bagus.
Menurut Ibnu Hajar, hadis hasan adalah khabar ahad yang dinukil oleh orang yang adil, kurang sempurna hapalannya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz.
Untuk membedakan antara hadis sahih dan hadis hasan, kita harus mengetahui batasan dari kedua hadis tersebut. Batasannya adalah keadilan pada hadis hasan disandang oleh orang yang tidak begitu kuat ingatannya, sedangkan pada hadis sahih rawi-rawi yang bena-benar kuat ingatannya. Akan tetapi, keduanya bebas dari keganjilan dan penyakit. Keduanya bisa digunakan sebagai hujjah dan kandungannya dapat dijadikan penguat.
b.      Klasifikasi Hadis Hasan
Sebagaimana hadis sahih, hadis hasan pun terbagi atas hasan li dzatih dan hasan li ghairih.
Hadis yang memenuhi segala syarat-syarat hadis hasan disebut hadis hasan li dzatih. Syarat untuk hadis hasan adalah sebagaimana syarat untuk hadis sahih, kecuali bahwa para rawinya hanya termasuk kelompok keempat (shaduq) atau istilah lain yang setaraf atau sama dengan tingkatan tersebut.
Adapun hasan li ghairih adalah hadis dhaif yang bukan dikarenakan rawinya pelupa, banyak salah dan orang fasik, yang mempunyai mutabi’ dan syahid. Hadis dhaif yang karena rawinya buruk hapalannya (su’u al-hifdzi), tidak dikenal identitasnya (mastur) dan mudallis (menyembunyikan cacat) dapat naik derajatnya menjadi hasan li ghairihi karena dibantu oleh hadis-hadis lain yang semisal dan semakna atau karena banyak rawi yang meriwayatkannya.
c.       Kedudukan hadis sahih dan hadis hasan dalam berhijrah
Kebanyakan ulama ahli hadis dan fuqaha bersepakat untuk menggunakan hadis sahih dan hadis hasan hujjah. Di samping itu, ada ulama yang mensyaratkan bahwa hadis hasan dapat digunakan sebagai hujjah, bilamana memenuhi sifat-sifat yang dapat diterima. Pendapat terakhir ini memerlukan peninjauan yang seksama. Sebab, sifat-sifat yang dapat diterima itu ada  yang tinggi, menengah, rendah. Hadis yang sifat dapat diterimanya tinggi dan menengah adalah hadis sahih, sedangkan hadis yang sifat dapat diterimanya rendah adalah hadis hasan.
Hadis-hadis yang mempunyai sifat dapat diterima sebagai hujjah disebut hadis maqbul, dan hadis yang tidak mempunyai sifat-sifat  yang dapat diterima disebut hadis mardud.
1.      Hadis sahih, baik sahih li dzatihi maupun sahih li ghairih.
2.      Hadis hasan, baik hasan li dzatih maupun hasan li ghairih.
Yang termasuk hadis mardud adalah segala macam hadis dhaif. Hadis mardud tidak dapat diterima sebagai hujjah karena terdapat sifat-sifat tercela pada rawi-rawinya atau pada sanadnya.
d.      Kitab-kitab yang mengandung hadis hasan
Para ulama belum menyusun kitab khusus tentang hadis-hadis hasan secara terpisah sebagaimana mereka melakukannya dalam hadis sahih,  tetapi hadis hasan banyak kita dapatkan pada sebagian kitab, di antaranya :
·           Jami’ At-Tirmidzi, dikenal dengan Sunan At-tirmidzi, merupakan sumber untuk mengetahui hadis hasan.
·           Sunan Abu Dawud.
·           Sunan Ad-Daruquthi




BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu : mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi dua macam, yaitu masyhur dan masyhur ghayr ishthilahi sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu, aziz dan gharib.

B.       SARAN
Bahwa didalam mempelajari studi hadits hendaklah benar-benar mengetahui pembagian hadits baik dari segi kuantitas maupun kualitas hadits itu sendiri, supaya tidak keliru dalam menyampaikan hadits, dan untuk bisa membedakan keshahihan suatu hadits harus mengetahui pembagian-pembagian hadits. Ditakutkan nanti kita termasuk golongan orang-orang yang menyebarkan hadits-hadits palsu.




[1] Abdul majid.ulumul hadits.(Jakarta:amazon,2010) hlm. 80
[2] Muhammad ghufra.ulumul hadits praktis dan mudah.(Yogyakarta: teras,2013) hal 157

Sabtu, 11 Mei 2019

MAKALAH HUBUNGAN USHUL FIQH DAN QOWA'ID FIQIH


MAKALAH HUBUNGAN USHUL FIQH DAN QOWA'ID FIQIH 

BAB I
PENDAHULUAN
     A.    Latar Belakang
Sebagai umat muslim, tentu kita tidak bisa terlepas dari fiqih dalam menjalani kehidupan, baik yang berupahablum minallah maupun hablum minannas. Segala perbuatan orang mukalaf sudah diatur dalam fiqih, dimana fiqih sendiri bersumber al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebelum menjadi fiqih yang memuat produk-produk hukum, seorang mujtahid memerlukan metode untuk memahami kandungan dari al-Qur’an dan as-Sunnah dalam melakukan istinbath hukum, selain itu ada beberapa kaidah fiqih yang diperlukan untuk memahami hukum.
Hal-hal di atas memiliki hubungan keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan. Mengetahui betapa pentingnya fiqih dalam kehidupan kita khususnya fiqih muamalah, dan sebagai pengantar pemahaman ke depannya mengenai fiqih muamalah secara luas dan mendalam, maka kami akan memaparkan penjelasan dari fiqih khusunya fiqih muamalah. Akan tetapi untuk memahami fiqih juga diperlukan pemahaman mengenai ushul fiqih dan qowa’id fiqih, sehingga kami juga akan memaparkannya beserta hubungan ushul fiqih, qowa’id fiqih dan fiqih muamalth dalam pembahasan .
     B.     Rumusan Masalah
Dari pemaparan di atas maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah yaitu:
1.      Apa pengertian dari ushul fiqih?
2.      Apa pengertian dari qowa’id fiqih?
3.      Apa pengertian dari fiqih ?
4.      Bagaimana hubungan antara ushul fiqih, fiqh dan qowa’id fiqih?
      C.    Tujuan
1.      Mengetahui apakah ushul fiqih
2.      Mengetahui apakah qowa’id fiqih
3.      Mengetahui pengertian dari fiqih
4.      Memahami Bagaimana hubungan antara ushul fiqih, fiqh dan qowa’id fiqih

 BAB II
PEMBAHASAN     
    A.    PENGERTIAN USHUL FIQH
Ushul fiqih terdiri dari kata ushul dan fiqih. Ushul merupakan kata jamak dari ashl, yang artinya dasar atau pokok, sedangkan fiqih adalah pemahaman yang mendalam. Menurut ulama, fiqih adalah ilmu untuk mengetahui hukum-hukum syara’ yang diambil dari dalil-dalil secara tafshiliyah.[1]
Jika kata fiqih ini dikaitkan dengan ushul sehingga menjadi ushul fiqih, maka definisinya menjadi dasar-dasar untuk mengetahui hukum-hukum syara’ yang diambil dari dalil-dalil secara tafsiliyah. Misalnya, shalat menurut fiqihnya adalah wajib, dan menurut ushul fiqihnya adalah dalil syara’ yang menyatakan perintah untuk mendirikan shalat.
Sedangkan menurut terminologi ushul fiqih yaitu metode-metode yang dipakai untuk mengistinbatkan hukum dari al-Qur’an dan as-Sunah. Metode istinbath tersebut ada yang berhubungan dengan kaidah-kaidah kebahasaan, karena al-Qur’an diturunkan berbahasa arab, ada yang berhubungan dengan tujuan hukum, dan ada pula dalam bentuk penyelesaian dari dalil-dalil yang kelihatan bertentangan yang disebut dengan tarjih.[2]Sehingga metodologi fiqih dikenal dengan ilmu ushul fiqh.
Menurut Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy ushul fiqh adalah ilmu yang mengungkapkan metode yang telah ditempuh para Mujtahidin, sebagaimana kita dapat mengatakan bawa ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang menjelaskan sumber-sumber hukum, atau ilmu yang menerangkan dasar-dasar ilmu fiqh.[3]
Menurut al-Baidhawy (w.685) dari kalangan ulama syafiiyyah, ushul fiqih adalah :

 Pengetahuan secara global tentang dalil-dalil fiqih, metode penggunaannya, dan keadaan (syarat-syarat) orang yang menggunakannya”.[4]
Definisi ini menekankan tiga objek kajian ushul fiqih, yaitu :
1.      Dalil (sumber hukum).
2.      Metode penggunaan dalil, sumber hukum, atau metode penggalian hukum dari sumbernya.
3.      Syarat-syarat orang yang berkompeten dalam menggali (mengistinbath) hukum dan sumbernya. [5]
Dengan demikian, ushul fiqih adalah sebuah ilmu yang mengkaji dalil atau sumber hukum dan metode penggalian (istinbath) hukum dari dalil atau sumbernya. Metode penggalian hukum dari sumbernya tersebut harus ditempuh oleh orang yang berkompeten.
ushul fiqih adalah dasar-dasar dari fiqih itu sendiri. Dasar yang dimaksud bukanlah dalil-dalil terperinci sebagaimana dalam fiqih, melainkan dalil global yang menjadi panduan bagaimana menggunakan dalil yang terperinci tersebut. Sebagai contoh; ushul fiqih tidak membicarakan apa dalilnya wudlu, ayat yang mana? Hadits yang mana? Dan lain sebagainya. Dalil-dalil ini sudah masuk dalam ranah fiqih. Ushul fiqih hanya membahas apakah perintah itu menunjukkan wajib ataukah nadb (sunnah) ? Apakah perintah atas sesuatu itu berarti larangan mengerjakan sebaliknya ataukah tidak? Apakah larangan itu berakibat fasad ataukah tidak? Manakah dalil yang umum dan manakah dalil yang khusus? Dan lain sebagainya.
Jadi, ushul fiqih adalah metodologi penggunaan dalil-dalil yang terperinci yang digunakan dalam fiqih. Sedangkan fiqih adalah penggunaan dalil-dalil terperinci tersebut sesuai dengan kaedah yang ada dalam ushul fiqih.  Contoh konkritnya adalah: Al-Ashlu fil amri yadullu alal wujub (hukum asal perintah adalah menunjukkan wajib), ini adalah dalil global. Dalil ini diaplikasikan pada perintah Allah dalam al-Qur’an: (al-maidah : 6)
“Wahai orang-orang yang beriman jika kalian mendirikan sholat maka basuhlah wajah kalian, tangan kalian hingga siku-siku dan usaplah kepala-kepala kalian serta (basuhlah) kaki kalian hingga kedua mata kaki”  Ayat ini adalah dalil tafshiliyah atau dalil rinci, didalamnya ada perintah. Maka, berdasarkan kaedah ushul fiqih perintah tersebut menunjukkan wajib. Kesimpulannya, hukum fiqih mengatakan wajib berwudlu bagi orang yang akan mengerjakan sholat berdasarkan ayat diatas.

     B.     Pengertian Fiqih
Ada satu kata kunci dari ketiga istilah fiqih, ushul fiqih dan qoidah fiqhiyyah, yaitu kata fiqih. Fiqih secara bahasa berarti faham atau mengetahui. Secara istilah banyak definisi yang diberikan oleh ulama’. Al-Imam Jalaluddin al-Mahally dalam Jam’ul Jawami’ mendefinisikan fiqih dengan : “Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang bersifat amali yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci”.
 Definisi ini adalah definisi yang paling sering digunakan untuk menjelaskan fiqih dan dianggap paling mewakili pengertian fiqih secara keseluruhan.
Tujuh Kata Pengurai Fiqih Dalam definisi tersebut ada tujuh kata yang dibangun untuk menguraikan pengertian fiqih.
Tujuh kata tersebut adalah :
1.      Al-Ilmu  adalah pengetahuan tentang sesuatu yang sesuai dengan kenyataan.
2.      Al-Ahkam Hukum adalah khithobullah atau titah Allah ﷻ yang berhubungan dengan mukallaf. Yakni, ketentuan-ketentuan dari Allah ﷻ melalui al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah ﷺ yang harus ditaati oleh setiap muslim yang baligh dan berakal. Ketentuan itu bisa berhubungan langsung dengan aktifitas mukallaf seperti wajib, sunnah atau mandub, makruh, haram atau mubah. Atau menghubungkan sesuatu dengan pekerjaan mukallaf, seperti menjadikan sesuatu sebagai syarat, mani’, sah, batal dan lain sebagainya. Lebih jauh penjelasan tentang hukum akan kami bahas di kesempatan yang lain. Insya Allah.
3.       As-Syar’iyah  yakni hukum-hukum dalam fiqih dibatasi hanya pada hukum syari’at dimana Rasulullah ﷺ diutus dengannya.
4.       Al-Amaliyah hukum syari’at yang menjadi ruang lingkup pembahasan fiqih adalah hukum-hukum yang berhubungan dengan pekerjaan mukallaf, baik itu pekerjaan hati seperti niat atau yang lain. Fiqih tidak membicarakan hukum-hukum i’tiqodiyah (keyakinan) seperti tentang keberadaan Tuhan itu satu, Tuhan akan dapat dilihat di akhirat dan yang lain. Hukum-hukum ini tidak dibahas di dalam fiqih.
5.      Al-Muktasab diperoleh dengan jalan usaha. Maka ilmu Allah ﷻ , malaikat dan Rasulullah ﷺ tidak bisa disebut fiqih.
6.      Adillah fiqih mendasarkan semua pembahasannya kepada dalil-dalil. Fiqih tidak diambil hanya berdasarkan ilham atau perasaan atau yang lain.
7.       At-tafshiliyah dalil yang digunakan dalam fiqih adalah dalil yang terperinci. Yakni dalil yang digunakan haruslah dalil yang mengarah pada satu masalah yang dibahas seperti wajibnya wudlu diambil dari dalil firman Allah “faghsiluu wujuhakum …. ” misalnya. Bukan menggunakan dalil yang mujmal atau dalil global seperti dalil “perintah itu menunjukkan wajib”.
Dengan demikian, fiqih dapat dikatakan sebagai hasil akhir yang berupa sebuah pengetahuan yang diperoleh dari sebuah proses usaha (muktasab) melalui penelitian terhadap dalil-dalil yang terperinci. Fiqih adalah ilmu yang bersifat aplikatif, artinya siap untuk di amalkan dan memang dirumuskan untuk diamalkan dalam bentuk-bentuk peribadatan, muamalah atau yang lain.[6]
C.    Pengertian Qowa’id Fiqhiyah
Sebagaimana ushul fiqih, istilah qowa’id fiqhiyyah ini tersusun dari dua kata yakni qowa’id dan fiqhiyyah. Qowa’id adalah bentuk jamak (plural) dari kata qo’idah. Qo’idah secara bahasa berarti asas atau dasar kemudian dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Sedangkan qo’idah secara istilah seperti yang disampaikan Ibnul Mulaqqin (Qowaid;I/24) adalah: “Hukum-hukum yang bersifat global yang melingkupi keseluruhan (global) juz’iyahnya. Ketika kata qo’idah terangkai dengan kata fiqhiyyah maka pengertiannya adalah (Ibid) : “Hukum-hukum fiqih yang bersifat menyeluruh (universal) yang melingkupi hukum-hukum juz’iyyat (parsial) “. Contoh qo’idah adalah “segala sesuatu itu sesuai dengan tujuannya“. Ini adalah hukum yang berlaku umum atau universal. Hukum ini bisa masuk kedalam berbagai masalah dalam fiqih. Ia masuk dalam masalah niat wudlu, niat tayammum, solat, puasa, waqaf, dan lain sebagainya.
Sedangkan untuk definisi dari fiqih sendiri secara bahasa dan istilah telah dipaparkan di atas.
Dari uraian pengertian mengenai qowa’id maupun fiqih maka yang dimaksud dengan qowa’id fiqih adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Musthafa az-Zarqa, qowai’d fiqih ialah dasar-dasar fiqih yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut. Selanjutnya menurut Imam Tajjudin as-Subki:
“Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah  yang banyak yang dari padanya diketahui hukum-hukum juziyat itu“.
Sedangkan menurut Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy qowa’id fiqhiyyah adalah kaedah-kaedah atau teori-teori yang mengikat masalah-masalah yang sama dalam satu ikatan.
Dapat disimpulkan bahwa qowa’id fiqih adalah suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu.
Dasar pengambilan qowaid fiqhiyyah Masih menurut ibnul Mulaqqin, Dasar pengambilan qowaid fiqhiyyah adalah masalah-masalah fiqih serta dalil fiqih yang bersifat tafshili. Jika diamati, qowaid fiqhiyyah menjadi semacam kesimpulan yang didapat dari hukum-hukum fiqh serta dalil-dalilnya sehingga ditemukan satu kesamaan yang mendasari hukum beberapa masalah. Kesamaan hukum itulah yang kemudian dijadikan sebagai kaedah fiqih yang kemudian bisa dikembangkan untuk menjawab masalah-masalah yang lain yang mempunyai kesamaan. Secara garis besar ushul fiqih dan qoidah fiqhiyyah bisa dibedakan sebagai berikut (lihat, Qowa’id ibnul Mulaqqin, I/32) Ushul fiqih berisi dalil-dali global yang kemudian diterapkan dalam dalil-dalil yang lebih rinci. Sedangkan qoidah fiqhiyyah berisi hukum-hukum global yang diambil dari dalil-dalil terperinci.
Secara teori ushul fiqih lebih dulu ada dan digunakan sebelum qoidah fiqhiyyah. Karena qoidah fiqhiyah merupakan hasil dari penggunaan ushul fiqih. Ruang lingkup pembahasan ushul fiqih adalah dalil-dalil global. Sedangkan qoidah fiqhiyyah ruang lingkupnya adalah af’alul mukallaf. ringkasnya, ushul fiqih itu mengolah dalil sedangkan qoidah fiqhiyyah itu hukum-hukum global yang dicetuskan oleh dalil tersebut dan berhubungan langsung dengan aktifitas mukallaf.[7]
     D.    Hubungan ushul fiqh, fiqh dan qawa’id Al-fiqhiyyah
Ilmu fiqih mempunyai hubungan erat dengan qawa’id al-fiqhiyah karena kaedah al-fiqhiyahmerupakan kunci berpikir dalam pengembangan dan seleksi hukum fiqih. Dengan bantuan qawa’id al fiqhiyah semakin tampak jelas semua permasalahan hukum baru yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat dapat ditampung oleh syari’at Islam dan dengan mudah serta cepat dapat dipecahkan permasalahannya.
Hubungan ushul fiqih dengan fiqih adalah seperti hubungan ilmu mantiq (logika) dengan filsafat; mantiq merupakan kaidah berfikir yang memelihara akal agar tidak terjadi kerancuan dalam berpikir. Juga seperti hubungan ilmu nahwu dengan bahasa arab; ilmu nahwu sebagai gramatika yang menghindarkan kesalahan seseorang didalam menulis dan mengucapkan bahasa arab. Demikian ushul fiqih diumpamakan dengan limu mantiq atau ilmu  nahwu, sedangkan fiqih seperti ilmu filsafat atau bahasa arab, sehingga ilmu ushul fiqih berfungsi menjaga agar tidak terjadi kesalahan dalam mengistinbatkan hukum.[8]
Objek fiqih adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan mausia beserta dalil-dalilnya yang terperinci. Adapun objek ushul fiqih adalah mengenai metodologi penetapan hukum-hukum tersebut. Kedua disiplin ilmu tersebut sama-sama membahas dalil-dalil syara’, tetapi tinjauannya berbeda. Fiqih membahas dalil-dalil tersebut untuk menetapkan hukum-hukum cabang yang berhubungan dengan perbuatan manusia, sedangkan ushul fiqih meninjau dari segi metode penetapan, klasifikasi argumetasi, serta situasi dan kondisi yang melatar belakangi dalil-dalil tersebut.[9]
Ushul fiqih merupakan ilmu yang secara garis besar mengkaji cara-cara menginstinbath (menggali hukum). Sekalipun ushul fiqh muncul setelah fiqih, tetapi secara teknis, terlebih dahulu para ulama menggunakan ushul fiqh untuk menghasilkan fiqh. Artinya sebelum ulama menetapkan suatu perkara itu haram, ia telah mengkaji dasar-dasar yang menjadi alasan perkara itu diharamkan. Hukum haramnya disebut fiqih, dan dasar-dasar sebagai alasannya disebut ushul fiqh.
Kemudian tujuan dari pada ushul fiqih itu sendiri adalah untuk mengetahui jalan dalam mendapatkan hukum syara’ dan cara-cara untuk menginstinbatkan suatu hukum dari dalil-dalilnya. Dengan menggunakan ushul fiqih itu, seseorang dapat terhindar dari jurang taklid. Ushul fiqih itu juga sebagai pemberi pegangan pokok atau sebagai pengantar dan sebagai cabang ilmu fiqih itu.Dapat dikatakan bahwa ushul fiqih sebagai pengantar dari fiqih, memberikan alat atau sarana kepada fiqih dalam merumuskan, menemukan penilaian-penilaian syari’at dan peraturan-peraturannya dengan tepat.
Hukum yang digali dari dalil atau sumber hukum itulah yang kemudian dikenal dengan nama fiqih. Jadi fiqih adalah produk operasional ushul fiqih. Sebuah hukum fiqih tidak dapat dikeluarkan dari dalil atau sumbernya (nash al-Qur’an dan as-Sunnah) tanpa melalui ushul fiqih. Ini sejalan dengan pengertian harfiah ushul fiqih, yaitu dasar-dasar (landasan) fiqih. Misalnya hukum wajib sholat dan zakat yang digali (istinbath) dari ayat Al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 43 yang berbunyi:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya:
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’”.
Firman Allah diatas berbentuk perintah yang menurut ilmu ushul fiqih, perintah pada asalnya menunjukan wajib selama tidak ada dalil yang merubah ketentuan tersebut.
Fiqih membahas tentang bagaimana cara tentang beribadah, tentang prinsip rukun Islam dan hubungan antara manusia sesuai dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu hubungan diantara Qowa’id al- fiqhiyah dengan fiqih sangat erat sekali karena qowa’id fiqhiyah dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dalam mengetahui hukum perbuatan seorang mukalaf. Ini karena dalam menjalanklan hukum fiqih kadang-kadang mengalami kendala-kendala. Misalnya kewajiban shalat lima waktu yang harus dikerjakan tepat pada waktunya. Kemudian seorang mukalaf dalam menjalankan kewajibannya mendapat halangan, misalnya ia diancam bunuh jika mengerjakan shalat tepat pada waktunya. Dalam kasus seperti ini, mukalaf tersebut boleh menunda sholat dari waktunya karena jiwanya terancam. Hukum  boleh ini dapat ditetapkan lewat pendekatan qawaid fiqhiyah, yaitu dengan menggunakan qaidah :”الضرار يزال“ bahaya itu wajib dihilangkan. Ini adalah salah satu perbedaan antara ushul fiqih dengan qowa’id fiqih.
Qowa’id fiqih  merupakan kunci berpikir dalam pengembangan dan seleksi hukum fiqih. Dengan bantuan qawa’id al fiqhiyah semakin tampak jelas semua permasalahan hukum baru yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat dapat ditampung oleh syari’at Islam dan dengan mudah serta cepat dapat dipecahkan permasalahannya. Persoalan baru semakin banyak tumbuh dalam masyarakat seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Maka diperlukan kunci berfikir guna memecahkan persoalan masyarakat sehingga tidak menjadi berlarut-larut tanpa kepastian hukum. Dengan demikian qawa’id al fiqhiyah sangat berhubungan dengan tugas pengabdian ulama ahli fiqih dalam rangka mengefektifkan dan mendinamiskan ilmu fiqih ke arah pemecahan problema hukum masyarakat.[10]
BAB III
 PENUTUP
            A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu:
1.      Fiqih adalah ilmu yang bersifat aplikatif, artinya siap untuk di amalkan dan memang dirumuskan untuk diamalkan dalam bentuk-bentuk peribadatan, muamalah atau yang lain.
2.      Ushul fiqih adalah sebuah ilmu yang mengkaji dalil atau sumber hukum dan metode penggalian (istinbath) hukum dari dalil atau sumbernya yang harus ditempuh oleh orang yang berkompeten.
3.      Qowa’i fiqih adalah suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu.
Bahwasannya Qawaid Fiqhiyah, Qawaid Ushuliyah, fiqih dan ushul fiqh tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya karena ke empat hukum ini selalu berkaitan antara satu dengan yang lainnya . qawa’id al-fiqhiyyah terkadang selalu menopang fiqh dan ushul fiqh. Ilmu fiqih mempunyai hubungan erat dengan qawa’id al- fiqhiyah karena kaedah al-fiqhiyah  merupakan kunci berpikir dalam pengembangan dan seleksi hukum fiqih. Dengan bantuan qawa’id al fiqhiyah semakin tampak jelas semua permasalahan hukum baru yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat dapat ditampung oleh syari’at Islam dan dengan mudah serta cepat dapat dipecahkan permasalahannya.
            B. Saran
Demikian makalah ini kami susun, kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami senantiasa mengharapkan kontribusi konstruktif dari para pembaca dalam bentuk saran maupun kritik yang konstruktif demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini. Akhirnya, kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA
A Rahman, Asjmuni. 1976. Qaidah-Qaidah Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang.
Djalali, Basiq. 2010. Ilmu ushul fiqh. Jakarta: Kencana.
Hasbiyallah. 2014. Fiqh dan Ushul Fiqh Metode Istinbath dan Istidlal. Bandung: PT Remaja.
Hidayatullah, Syarif. 2012. Qawa’id Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangan Syari’ah Kontemporer (Mu’amalat, Maliyyah islamiyyah, mu’ashirah). Depok: Gramata Publishing.
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku. 1997. Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Syahar, Saidu. 1996.  Asas-asas hukum Islam.  Bandung: Alumni.
Yasin dan Solikul Hadi. 2008.  Fiqh Ibadah, Kudus: STAIN Kudus

[1] Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh Metode Istinbath dan Istidlal, (Bandung: PT Remaja, 2014), h. 1.
[2] Ibid, h. 3
[3] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,1997), h. 3.
[4] Syarif Hidayatullah, Qawa’id Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangan Syari’ah Kontemporer (Mu’amalat, Maliyyah islamiyyah, mu’ashirah), (Depok: Gramata Publishing, 2012), h. 32
[5]  Ibid h 33
[6] Mohammad Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi Dan Keuangan Kontemporer,  (Jakarta : Prenadamedia Group,2016), h.1
[7] Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976),  h.11
[8]  Hasbiyallah, Op. Cit., h. 4
[9] Ibid. h 5
[10]  Basiq Djalali, Ilmu ushul fiqh , (Jakarta: Kencana, 2010), h. 17