MAKALAH HADIST MUTAWATIR DAN HADIST AHAD
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Seiring
perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang kajian
keilmuan Isalam, terutama dalam ilmu hadist banyak sekali bahasan dalam ilmu
hadist yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari,
terutama masalah ilmu hadist.
Hadist
merupakan semua hal, baik berupa ucapan, perbuatan, pernyataan dan hal yang
disandarkan kepad Nabi Muhammad SAW. Dalam agama Islam kedudukan hadist menjadi
sumber ajaran yang berada dibawah kitab suci Al- Quran. Akan tetapi tidak semua
atau sembarang hadist bisa dijadikan sebagai pedoman atau dasar hukum. Dan kita
harus mengetahui pembagian-pembagian hadist agar kita tau tingkatan atau kelas
hadist yang akan kita pakai tersebut.
Maka
dari sinilah kami menulis makalah tentang pembagian hadist dari segi kuantitas
prawi yang bertujuan agar kita dapat mengetahui kelas-kelas hadist yang akan
kita jadikan sebagai pedoman.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Dibagi
berapa bagian hadist yang ditinjau dari segi kuantitas perawi?
2. Apa
pengertian dan pembagian Hadist Mutawatir dan Hadist Ahad?
3. Bagaimana
kedudukan Hadist Mutawatir dan Hadist Ahad?
C. TUJUAN
PENULISAN
1. Menyebutkan bagian-bagian
hadist apabila ditinjau dari segi kuantitas perawi.
2. Menjelaskan pengertian dan
pembagian Hadist Mutawatir dan Hadist Ahad.
3. Menjelaskan
kedudukan Hadist Mutawatir dan Hadist Ahad
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pembagian Hadis Berdasarkan Kuantitas Rawi
Hadis ditinjau
dari segi sedikit banyaknya rawi yang menjadi sumber berita terbagi pada dua
macam, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.[1]
1.
Hadis
Mutawatir
a.
Pengertian
hadis mutawatir
Mutawatir, menurut bahasa adalah isim fa’il musytaq dari at-tawatur
artinya At-tatabu’(berturut-turut).
Adapun hadis mutawatir menurut istilah ulama hadis adalah,
Khabar yang didasarkan pada pancaindra yang dikabarkan oleh
sejumlah orang yang mustahil menurut adat mereka bersepakat untuk mengkabarkan
berita itu dengan dusta.
Adapun dari
redaksi lain pengertian mutawatir ialah:
مَاكانَ
عَنْ مَحْسُوسٍ اَخْبَرَ بِهِ جَمَا عَةٌ بَلَغُوْا فِى الكَسْرَةِ مَبْلَغًا
تَحِيْلُ العَادَةُ تَوَاْطؤهُمْ على الكَدِ بِ
“Hadist yang
berdasarkan pada panca indra (dilihat atau didengar) yang diberitakan oleh
segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi
mereka sepakat berbohong”.
b.
Syarat-syarat
Hadis Mutawatir
Syarat
Hadis Mutawatir ini adalah:
1.
Pewartaan
yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan pancaindra, yakni warta yang mereka sampaikan itu
harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.
2.
Jumlah
rawinya harus mencapai kuantitas tertentu sehingga tidak mungkin mereka sepakat
untuk berdusta. Dengan demikian, jumlahnya adalah relatif, tidak ada batas
tertentu. Menurut Abu Ath Thayib, jumlah perawinya empat orang, Ashab
Asy-Syafi’i menyatakan lima orang, dan ulama lain menyatakan mencapai dua puluh
atau empat puluh orang.
3.
Adanya
keseimbangan jumlah antara para rawi dalam thabaqah pertama dengan jumlah rawi
dalam thabaqah berikutnya.
c.
Klasifikasi
Hadis Mutawatir
Para
ulama membagi hadis mutawatir menjadi tiga, yaitu mutawatir lafdzi, mutawatir
maknawi, dan mutawatir amali.
1.
Hadis
Mutawatir Lafzhi
Hadis mutawatir
lafzhi adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi
dan maknanya sesuai benar antara riwayat yang satu dan lainnya, yakni :
مَاتَوَاتَرَلَفْظُهُ
وَمَعْنَاهُ
Hadis yang sama bunyi lafazh, hukum, dan maknanya.
Contoh
Hadis mutawatir lafzhi adalah :
Barang siapa
yang sengaja berdusta atas namaku, hendaklah ia bersiap-siap menduduki tempat
duduknya di neraka. (H.R. Bukhari)
Menurut Abu
Bakar Al-Bazzar, hadis tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Sebagian
ulama mengatakan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan
lafazh dan makna yang sama. Hadis tersebut terdapat pada sepuluh kitab hadis,
yaitu Al-Bukhari, Muslim, Ad-Darimi, Abu Dawud, Ibn Majah, At-Tirmidzi,
At-Thayasili, Abu hanifah, Ath-Thabrani, dan Al-Hakim.
2.
Hadis
Mytawatir Ma’nawi
Hadis
mutawatir ma’nawi adalah hadis yang lafazh dan maknanya berlainan antara satu
riwayat dan riwayat lainnya, tetapi terdapat persesuaian makna secara umum
(kulli). Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis,
َاتَوَاتَرمَعْنَاهُ دُوْنَ لفْظِهِ
Hadis
yang berlainan bunyi dan maknanya, tetapi dapat diambil makna umum.
Contoh hadis mutawatir ma’nawi adalah
Nabi SAW tidak mengangkat kedua tangannya dalam doa-doa beliau,
kecuali dalam shalat istisqa, dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak
putih-putih kedua ketiaknya. (H.R.Bukhari)
Hadis-hadis yang semakin dengan hadis tersebut banyak sekali, lebih
dari 100 hadis.
3.
Hadis
Mutawatir ‘Amali
Hadis
Mutawatir ‘amali adalah,Sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama
dan telah mutawatir di kalangan umat islam bahwa Nabi SAW. Mengajarkannya atau
menyuruhnya atau selain dari itu. Dari hal itu dapat dikatakan soal yang telah
disepakati.
Contoh
hadis mutawatir ‘amali adalah berita-berita yang menerangkan waktu dan rakaat
shalat, shalat jenazah, shalat ‘Ied, hijab perempuan yang bukan mahram, kadar
zakat, dan segala rupa amal yang telah menjadi kesempatan, ijma.
d.
Kitab-kitab
tentang Hadis-hadis Mutawatir
Sebagian
ulama telah mengumpulkan hadis-hadis mutawatir dalam sebuah kitab tersendiri.
Dia antara kitab-kitab tersebut adalah :
1)
Al-Azhar
Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi, berurutan
berdasarkan bab.
2)
Qathf
Al-Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab di atas.
3)
Al-La’ali
Al-Mutanatsirrah fi Al-Alhadits
Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi.
4)
Nazhm
Al-Mutanatsirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Ja’far
Al-Kattani.
2.
Hadis
Ahad
a.
Pengertian
Hadis Ahad
Hadis
ahad adalah hadis yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir, tidak
memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir. Hal
ini dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis berikut ini.
Menurut istilah, hadits ahad adalah:
مَالَمْ
يَجْمَعْ شُرُوْطَ الْمُتَوَاتِرِ
Hadits yang tidak memenuhi beberapa persyaratan hadits mutawatir
Hadis
yang tidak mencapai derajat mutawatir
Hadis
yang tidak sampai jumlah rawinya kepada jumlah hadis mutawatir, baik rawinya
itu seorang, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya dari bilangan-bilangan yang
tidak memberi pengertian bahwa hadi itu dengan bilangan tersebut masuk ke dalam
hadis mutawatir.
b.
Klasifikasi
Hadis Ahad
Jumlah
rawi dari masing-masing thabaqah, mungkin satu orang, dua orang, tiga orang
atau malah lebih banyak, namun tidak sampai pada tingkat mutawatir.
Berdasarkan
jumlah dari thabaqah masing-masing rawi tersebut, hadis ahad ini dapat dibagi
dalam tiga macam yaitu masyhur, ‘aziz, dan gharib.
1.
Hadis
Masyhur
a.
Pengertian
hadis masyhur
Menurut
bahasa, masyhur adalah muntasyir, yaitu sesuatu yang sudah tersebar, sudah
populer. Adapun menurut istilah, hadis masyhur adalah, hadis yang diriwayatkan
oleh tiga orang atau lebih pada setiap thabaqah tidak mencapai derajat
mutawatir.
b.
Klasifikasi
hadis masyhur
Istilah
‘masyhur’ yang diterapkan pada suatu hadis kadang-kadang bukan untuk memberikan
sifat-sifat hadis menurut ketetapan di atas, yakni banyaknya rawi yang
meriwayatkan suatu hadis, tetapi diterapkan juga untuk memberikan sifat suatu
hadis yang mempunyai ketenaran dikalangan para ahli ilmu tertentu atau kalangan
masyarakat ramai. Dari segi ini, hadis masyhur terbagi kepada:
1)
Masyhur
di kalangan para muhaditsin dan lainnya (golongan ulama ahli ilmu dan orang
umum), seperti hadis,
Seorang
muslim adalah orang yang menyelamatkan sesama muslim lainnya dari gangguan
lidah dan tangannya.
2)
Masyhur
dikalangan ahli-ahli ilmu tertentu, misalnya hanya masyhur dikalangan ahli
hadis saja, ahli fiqh saja, ahli tasawuf saja, dan sebagainya.
Contoh
hadis masyhur di kalangan ulama ushul fiqh adalah,
Terangkanlah
(dosa) dari umatku, kekeliruan, lupa, dan perbuatan yang mereka lakukan karena
terpaksa. (H.R. At-Thabrani dari Ibnu Abbas)
3)
Masyhur
di kalangan masyarakat umum, seperti hadis,
Bagi
si peminta-minta ada hak, walaupun datang dengan kuda. (H.R. Ahmad dan
An-Nasa’i)
c.
Kitab-kitab
yang berisi tentang kumpulan hadis masyhur, antara lain Al-Maqasid Al-Hasanah
fi ma Isytahara ‘ala Al-Alsinah, karya As-Sakhawi, Kasyf Al-Khafa’wa Muzil
Al-Ilbas fi Ma Isytahara min Al-Hadits ‘ala Alsinah An-Nas min Al-Hadis karya
Ibnu Daiba’ A-Syaibani.
2.
Hadis
‘Aziz
Aziz menurut
bahasa adalah AsySafief (yang mulia), An-Nadir (yang sedikit wujudnya),
Ash-Shab’bul ladzi yakadu la yuqwa ‘alaih (yang sukar diperoleh), dan Al-Qawiyu
(yang kuat).
Adapun menurut
istilah, hadis aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua
orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian orang-orang
meriwayatkannya.
Berikut ini
contoh hadis ‘aziz.
a.
Contoh
hadis ‘aziz pada thabaqah pertama :
Kami adalah orang-orang terakhir di dunia yang terdahulu pada hari
Kiamat. (H.R. Ahmad dan An-Nasa’i)
Hadis tersebut diriwayatkan oleh dua orang sahabat (thabaqah)
pertama, yakni Hudzaifah ibn Al-Yaman dan Abu Hurairah. Hadis tersebut pada
thabaqah kedua sudah menjadi masyhur
sebab melalui periwayatan Abu Hurairah, hadis diriwayatkan oleh tujuh orang,
yaitu Abu Salamah, Abu Hazim, Thawus, Al-‘Araj, Abu Shalih, Humam, dan ‘Abd
Ar-Rahman.
b.
Contoh
hadis ‘aziz pada thabaqah kedua, yaitu:
Tidak sempurna iman seorang darimu sehingga aku lebih dicintainya
daripada dirinya sendiri, orang tuanya, anak-anaknya, dan manusia seluruhnya. (Mutafaq’alaih)
Hadis tersebut diterima oleh Anas bin Malik (thabaqah pertama)
kemudia diterima oleh Qatadah dan ‘Abd. Al-‘Aziz (thabaqah kedua). Dari Qatadah
diterima oleh Husain Al-Mu’alim dan Syu’bah, sedangkan dari ‘Abd. Al-Warist dan
Ismail bin Ulaiyah (thabaqah ketiga). Pada thabaqah keempat, hadis itu diterima
masing-masing oleh Yahya ibn Ja’far dan Yahya ibn Sa’id dari Syu’bah , Zuhair
ibn Harb dari Ismail dan Syaiban ibn Abi Syaibah dari ‘Abd Al-Warits.
Sebagaimana hadis masyhur, hadis ‘aziz pun ada yang sahih, hasan, dan dhaif. Ke’aziz;an
suatu hadis tidak identik dengan sahih –tidaknya nilai hadis.
3.
Hadis
Gharib
a.
Pengertian
hadis gharib
Gharib menurut bahasa adalah ba’idun ‘anil wathani (yang jauh dari
tanah), dan Kalimat yang sukar dipahami.
Adapun menurut istilah, hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh
seorang rawi.
Dalam pengertian lain, hadis gharib adalah, hadis yang dalam
sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan selain rawi itu
sendiri. Juga dapat mengenai sifat atau keadaan rawi. Artinya sifat atau
keadaan rawi itu berbeda dengan sifat dan keadaan rawi-rawi lain yang juga
meriwayatkan hadis tersebut. Contoh hadis gharib,
Dan Abu Hurairah r.a dari Nabi Saw telah bersabda, “iman itu
bercabanu itu cabang menjadi 60 cabang dan malu itu salah satu cabang dari
iman.” (H.R.Bukhari)
b.
Klasifikasi
hadis gharib
Ditinjau dari segi bentuk penyendirian rawi, hadis gharib terbagi
pada dua macam, yaitu gharib muthlaq dan garib nisby.
1)
Gharib
muthlaq
Gharib muthlaq adalah hadis yang rawinya menyendiri dalam
meriwayatkan hadis itu. Penyendirian rawi hadis gharib muthlaq itu berpangkal
pada tempat ashlus sanad, yakni tabi’in bukan sahabat.
2)
Gharib
nisby
Gharib nisby adalah apabila penyendirian itu mengenai sifat-sifat
atau keadaan tertentu seorang rawi. Penyendirian rawi mengenai sifat-sifat atau
keadaan tertentu dari seorang rawi, mempunyai beberapa kemungkinan, antara
lain:
a.
Sifat
keadilan dan ke-dhabit-an (ke-tsiqat-an) rawi
b.
Kota
atau tempat tinggal tertentu
c.
Meriwayatkannya
dari orang tertentu
Apabila
penyendirian itu ditinjau dari segi letaknya apakah terletak di sanad atau
matan, hadis gharib terbagi lagi menjadi 3 bagian, yaitu :
c.
Cara
untuk menetapkan ke-gharib-an hadis
Untuk menetapkan satu hadis itu gharib, hendaklah periksa dulu pada
kitab-kitab hadis, seperti kitab jami’ dan kitab musnad, apakah hadis tersebut
mempunyai sanad lain yang menjadi mutabi’ dan atau matan lain yang menjadi
syahid. Cara tersebut dinamakan i’tibar. Menurut istilah, ilmu hadis mutabi’
adalah, hadis yang mengikuti periwayatan rawi lain dari gurunya (yang
terdekat), atau gurunya (yang terdekat itu).
Mutabi’ ada dua macam, yaitu sebagai berikut .
1)
Mutabi’
tam, yaitu bila periwayatan mutabi’ itu mengikuti periwayatan guru ( mutaba’) dari
yang terdekat sampai guru yang terjauh.
2)
Mutabi’
qashir, yaitu bila periwayatan mutabi’
itu mengikuti periwayatan guru (mutaba’) yang terdekat saja, tidak sampai
mengikuti gurunya guru yang jauh sekali.
Adapun syahid adalah, meriwayatkan sebuah hadis lain sesuai dengan
maknanya.
Hadis syahid ada dua macam, yaitu:
1)
Syahid
bi Al- Lafzhi, yaitu bila matan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat yang lain
sesuai redaksi dan maknanya dengan hadis fard-nya.
2)
Syahid
bi Al- Ma’na, yaitu bila matan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat lain itu,
hanya sesuai dengan maknanya.
c.
Kedudukan Hadis Ahad dan Pendapat Ulama Tentang Hadis Ahad
Para
ahli hadis berbeda pendapat tentang kedudukan hadis ahad.
Pendapat
tersebut antara lain :[2]
1.
Segolongan
ulama, seperti Al-Qasayani, sebagaian ulama Dhahiriyah dan Ibnu Dawud,
mengatakan bahwa kita tidak wajib beramal dengan hadis ahad.
2.
Jumhur
ulama ushul menetapkan bahwa hadis ahad memberi faedah dhan. Oleh karena itu,
hadis ahad wajib diamalkan sesudah diakui kesahihannya.
3.
Sebagai
ulama menetapkan bahwa hadis ahad diamalkan dalam segala bidang.
4.
Sebagai
muhaqqiqin menetapkan bahwa hadis ahad hanya wajib diamalkan dalam urusan
amaliyah (furu’), ibadah, kaffarat, dan hudud, namun tidak digunakandalam
urusan aqa’id (akidah).
5.
Imam
Syafi’i berpendapat bahwa hadis ahad tidak dapat menghapuskan suatu hukum dari
hukum-hukum Al-Quran dengan hadis ahad.
6.
Ahlu
Zhahir (pengikut Daud Ibnu ‘Ali Al-Zhahiri) tidak membolehkan men-takhsis-kan
umum ayat-ayat Al-Quran dengan hadis ahad.
B.
Klasifikasi Hadis Berdasarkan Kualitas Rawi
Hadis ditinjau dari segi kualitas rawi yang meriwayatkannya,
terbagi dalam tiga macam, yaitu sahih, hasan, dan dhaif.
1.
Hadis Sahih
a.
Pengertian
Hadis Sahih
Sahih
menurut lughat adalah lawan dari “saqim”, artinya sehat lawan sakit, haq lawan
batil. Menurut ahli hadis, hadis sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung,
dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir
pada Rasulullah SAW, atau sahabat tabiin, bukan hadis yang syadz (kontroversi)
dan terkena ‘iilat yang menyebabkan cacat dalam penerimaannya.
Dalam
definisi lain hadis sahih adalah, Hadis yang dimiliki (diriwayatkan) oleh
rawi-rawi yang adil, sempurna ingatannya, sanadnya bersambung-sambung, tidak
ber’illat, dan tidak ganjal.
b.
Syarat-syarat
Hadis Sahih
Menurut
muhaditsin, suatu hadis dapat dinilai sahih, apabila memenuhi syarat berikut :
1.
Rawinya
bersifat adil
Menurut
Syuhudi Ismail, keriteria-kriteria periwayat yang bersifat adil, adalah:
a.
Beragama
islam
b.
Berstatus
mukalaf (Al-Mukallaf)
c.
Melaksanakan ketentuan agama
d.
Memelihara
muru’ah
2.
Rawinya
bersifat dhabit
Dhabit
adalah bahwa rawi yang bersangkutan dapat menguasai hadisnya dengan baik, baik
dengan hapalan yang kuat atau dengan kitabnya, lalu ia mampu mengungkapkannya
kembali ketika meriwayatkannya.
3.
Sanadnya
bersambung
Yang
dimaksudkan dengan ketersambungan sanad adalah bahwa setiap rawi hadis yang
bersangkutan benar-benar menerimanya dari setiap rawi yang berada di atasnya
dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama.
Suatu
sanad hadis dapat dinyatakan bersambung apabila :
a. Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabit).
b. Antara masing-masing rawi dengan rawi terdekat sebelumnya dalam
sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah
menurut ketentuan tahamul wa ada al-hadis.
4.
Tidak
ber-‘illat
Maksudnya
bahwa hadis yang bersangkutan terbebas dari cacat kesahihannya, yakni hadis itu
terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnya cacat, meskipun tampak bahwa
hadis itu tidak menunjukkan adanya cacat tersebut.
5.
Tidak
syadz (janggal)
Kejanggalan
hadis terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadis yang diriwayatkan oleh
rawi yang maqbul (yang dapat diterima periwayatannya) dengan hadis yang
diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat (rajih) daripadanya, disebabkan
kelebihan jumlah sanad dalam ke-dhabit-an atau adanya segi-segi tajrih yang
lain.
Jadi,
hadis sahih adalah hadis yang rawinya adil dan sempurna ke-dhabitnya-annya,
sanadnya muttashil, dan tidak cacat matannya marfu’, tidak cacat dan tidak
janggal.
c. Klasifikasi Hadis Sahih
Hadis sahih terbagi menjadi dua, yaitu sahih li dzatih dan sahih li
ghairih. Sahih li dzatihi adalah hadis sahih yang memenuhi syarat-syaratnya
secara maksimal, seperti yang telah disebutkan di ata, Adapun hadis sahih li
ghairih adalah sahih yang tidak memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal.
Misalnya, rawinya yang adil tidak sempurna ke dhabit-annya (kapasitas
intelektualnya rendah). Dengan demikian, sahih li ghairih adalah hadis yang
kesahihannya disebabkan oleh faktor lain karena tidak memenuhi syarat-syarat
secara maksimal. Misalnya, hadis hasan yang diriwayatkan melalui beberapa
jalur, bisa naik derajat dari hasan ke derajat sahih.
d. Martabat Hadis Sahih
Hadis
sahih yang paling tinggi derajatnya adalah hadis yang bersanad ashahul asanid,
kemudian berturut-turut sebagai berikut :
1.
Hadis
yang disepakati oleh Bukhari Muslim
2.
Hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari sendiri.
3.
Hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sendiri.
4.
Hadis
sahih yang diriwayatkan menurut syarat-syarat Bukhari dan Muslim, sedangkan
kedua Imam itu tidak men-takhrijnya.
5.
Hadis
sahih menurut syarat Bukhari, sedangkan Imam Bukhari sendiri tidak
men-takhrij-nya.
6.
Hadis
sahih menurut syarat Muslim, sedangkan Imam Muslim sendiri tidak
men-takhrijnya.
7.
Hadis
sahih yang tidak menurut salah satu syarat dari kedua Imam Bukhari dan Muslim.
Ini berarti si pen-takhrij tidak mengambil hadis dari rawi-rawi atau guru-guru
Bukhari dan Muslim, yang telah beliau sepakati bersama atau yang masih
diperselisihkan. Akan tetapi, hadis yang di-takhrij-kan tersebut, disahihkan
oleh Imam-imam hadis yang kenamaan. Misalnya hadis-hadis sahih yang terdapat
pada sahih ibnu huzaimah, sahih ibnu hibban, dan sahih al-hakim.
e. Karya-karya yang hanya memuat hadis sahih
Diantara
kaya-kaya yang hanya memuat hadis sahih adalah:
1.
Sahih
Bukhari
2.
Sahih
Muslim
3.
Mustadrak
Al-Hakim
4.
Sahih
Ibnu Hibban
5.
Sahih
Ibnu Khuzaimah
2.
Hadis Hasan
a.
Pengertian Hadis Hasan
Hasan,
menurut lughat adalah sifat musybahah dari ‘Al-Husna, artinya bagus.
Menurut
Ibnu Hajar, hadis hasan adalah khabar ahad yang dinukil oleh orang yang adil,
kurang sempurna hapalannya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz.
Untuk
membedakan antara hadis sahih dan hadis hasan, kita harus mengetahui batasan
dari kedua hadis tersebut. Batasannya adalah keadilan pada hadis hasan
disandang oleh orang yang tidak begitu kuat ingatannya, sedangkan pada hadis
sahih rawi-rawi yang bena-benar kuat ingatannya. Akan tetapi, keduanya bebas
dari keganjilan dan penyakit. Keduanya bisa digunakan sebagai hujjah dan
kandungannya dapat dijadikan penguat.
b.
Klasifikasi
Hadis Hasan
Sebagaimana
hadis sahih, hadis hasan pun terbagi atas hasan li dzatih dan hasan li ghairih.
Hadis
yang memenuhi segala syarat-syarat hadis hasan disebut hadis hasan li dzatih.
Syarat untuk hadis hasan adalah sebagaimana syarat untuk hadis sahih, kecuali
bahwa para rawinya hanya termasuk kelompok keempat (shaduq) atau istilah lain
yang setaraf atau sama dengan tingkatan tersebut.
Adapun
hasan li ghairih adalah hadis dhaif yang bukan dikarenakan rawinya pelupa,
banyak salah dan orang fasik, yang mempunyai mutabi’ dan syahid. Hadis dhaif
yang karena rawinya buruk hapalannya (su’u al-hifdzi), tidak dikenal
identitasnya (mastur) dan mudallis (menyembunyikan cacat) dapat naik derajatnya
menjadi hasan li ghairihi karena dibantu oleh hadis-hadis lain yang semisal dan
semakna atau karena banyak rawi yang meriwayatkannya.
c.
Kedudukan
hadis sahih dan hadis hasan dalam berhijrah
Kebanyakan
ulama ahli hadis dan fuqaha bersepakat untuk menggunakan hadis sahih dan hadis
hasan hujjah. Di samping itu, ada ulama yang mensyaratkan bahwa hadis hasan
dapat digunakan sebagai hujjah, bilamana memenuhi sifat-sifat yang dapat
diterima. Pendapat terakhir ini memerlukan peninjauan yang seksama. Sebab,
sifat-sifat yang dapat diterima itu ada
yang tinggi, menengah, rendah. Hadis yang sifat dapat diterimanya tinggi
dan menengah adalah hadis sahih, sedangkan hadis yang sifat dapat diterimanya
rendah adalah hadis hasan.
Hadis-hadis
yang mempunyai sifat dapat diterima sebagai hujjah disebut hadis maqbul, dan
hadis yang tidak mempunyai sifat-sifat
yang dapat diterima disebut hadis mardud.
1.
Hadis
sahih, baik sahih li dzatihi maupun sahih li ghairih.
2.
Hadis
hasan, baik hasan li dzatih maupun hasan li ghairih.
Yang termasuk hadis mardud adalah segala macam hadis dhaif. Hadis
mardud tidak dapat diterima sebagai hujjah karena terdapat sifat-sifat tercela
pada rawi-rawinya atau pada sanadnya.
d.
Kitab-kitab
yang mengandung hadis hasan
Para
ulama belum menyusun kitab khusus tentang hadis-hadis hasan secara terpisah
sebagaimana mereka melakukannya dalam hadis sahih, tetapi hadis hasan banyak kita dapatkan pada
sebagian kitab, di antaranya :
·
Jami’
At-Tirmidzi, dikenal dengan Sunan At-tirmidzi, merupakan sumber untuk
mengetahui hadis hasan.
·
Sunan
Abu Dawud.
·
Sunan
Ad-Daruquthi
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat
dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits
mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu : mutawatir ma’nawi dan
mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi dua macam, yaitu masyhur
dan masyhur ghayr ishthilahi sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi menjadi dua
bagian yaitu, aziz dan gharib.
B. SARAN
Bahwa didalam mempelajari studi hadits hendaklah benar-benar
mengetahui pembagian hadits baik dari segi kuantitas maupun kualitas hadits itu
sendiri, supaya tidak keliru dalam menyampaikan hadits, dan untuk bisa
membedakan keshahihan suatu hadits harus mengetahui pembagian-pembagian
hadits. Ditakutkan nanti kita termasuk golongan orang-orang yang
menyebarkan hadits-hadits palsu.
[1] Abdul majid.ulumul hadits.(Jakarta:amazon,2010)
hlm. 80
[2] Muhammad ghufra.ulumul hadits
praktis dan mudah.(Yogyakarta: teras,2013) hal 157
No comments:
Post a Comment