MAKALAH HUBUNGAN USHUL FIQH DAN QOWA'ID FIQIH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sebagai umat muslim, tentu kita tidak bisa terlepas
dari fiqih dalam menjalani kehidupan, baik yang berupahablum minallah maupun hablum
minannas. Segala perbuatan orang mukalaf sudah diatur dalam fiqih, dimana
fiqih sendiri bersumber al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebelum menjadi fiqih yang
memuat produk-produk hukum, seorang mujtahid memerlukan metode untuk memahami
kandungan dari al-Qur’an dan as-Sunnah dalam melakukan istinbath hukum, selain
itu ada beberapa kaidah fiqih yang diperlukan untuk memahami hukum.
Hal-hal di atas memiliki hubungan keterkaitan yang
tidak bisa dipisahkan. Mengetahui betapa pentingnya fiqih dalam kehidupan kita
khususnya fiqih muamalah, dan sebagai pengantar pemahaman ke depannya mengenai
fiqih muamalah secara luas dan mendalam, maka kami akan memaparkan penjelasan
dari fiqih khusunya fiqih muamalah. Akan tetapi untuk memahami fiqih juga
diperlukan pemahaman mengenai ushul fiqih dan qowa’id fiqih, sehingga kami juga
akan memaparkannya beserta hubungan ushul fiqih, qowa’id fiqih dan fiqih
muamalth dalam pembahasan .
B. Rumusan Masalah
Dari
pemaparan di atas maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah yaitu:
1. Apa
pengertian dari ushul fiqih?
2. Apa
pengertian dari qowa’id fiqih?
3. Apa
pengertian dari fiqih ?
4. Bagaimana
hubungan antara ushul fiqih, fiqh dan qowa’id fiqih?
C. Tujuan
1. Mengetahui
apakah ushul fiqih
2. Mengetahui
apakah qowa’id fiqih
3. Mengetahui
pengertian dari fiqih
4. Memahami
Bagaimana hubungan antara ushul fiqih, fiqh dan qowa’id fiqih
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
USHUL FIQH
Ushul fiqih
terdiri dari kata ushul dan fiqih. Ushul merupakan kata jamak dari ashl, yang
artinya dasar atau pokok, sedangkan fiqih adalah pemahaman yang mendalam.
Menurut ulama, fiqih adalah ilmu untuk mengetahui hukum-hukum syara’ yang
diambil dari dalil-dalil secara tafshiliyah.[1]
Jika kata
fiqih ini dikaitkan dengan ushul sehingga menjadi ushul fiqih, maka definisinya
menjadi dasar-dasar untuk mengetahui hukum-hukum syara’ yang diambil dari
dalil-dalil secara tafsiliyah. Misalnya, shalat menurut fiqihnya adalah wajib,
dan menurut ushul fiqihnya adalah dalil syara’ yang menyatakan perintah untuk
mendirikan shalat.
Sedangkan
menurut terminologi ushul fiqih yaitu metode-metode yang dipakai untuk
mengistinbatkan hukum dari al-Qur’an dan as-Sunah. Metode istinbath tersebut
ada yang berhubungan dengan kaidah-kaidah kebahasaan, karena al-Qur’an
diturunkan berbahasa arab, ada yang berhubungan dengan tujuan hukum, dan ada
pula dalam bentuk penyelesaian dari dalil-dalil yang kelihatan bertentangan
yang disebut dengan tarjih.[2]Sehingga
metodologi fiqih dikenal dengan ilmu ushul fiqh.
Menurut
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy ushul fiqh adalah ilmu yang mengungkapkan
metode yang telah ditempuh para Mujtahidin, sebagaimana kita dapat mengatakan
bawa ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang menjelaskan sumber-sumber hukum, atau
ilmu yang menerangkan dasar-dasar ilmu fiqh.[3]
Menurut
al-Baidhawy (w.685) dari kalangan ulama syafiiyyah, ushul fiqih adalah :
“Pengetahuan secara global tentang dalil-dalil
fiqih, metode penggunaannya, dan keadaan (syarat-syarat) orang yang
menggunakannya”.[4]
Definisi ini
menekankan tiga objek kajian ushul fiqih, yaitu :
1.
Dalil (sumber hukum).
2.
Metode penggunaan dalil, sumber
hukum, atau metode penggalian hukum dari sumbernya.
3.
Syarat-syarat orang yang berkompeten
dalam menggali (mengistinbath) hukum dan sumbernya. [5]
Dengan
demikian, ushul fiqih adalah sebuah ilmu yang mengkaji dalil atau sumber hukum
dan metode penggalian (istinbath) hukum dari dalil atau sumbernya. Metode
penggalian hukum dari sumbernya tersebut harus ditempuh oleh orang yang
berkompeten.
ushul fiqih adalah dasar-dasar dari fiqih itu sendiri. Dasar
yang dimaksud bukanlah dalil-dalil terperinci sebagaimana dalam fiqih,
melainkan dalil global yang menjadi panduan bagaimana menggunakan dalil yang
terperinci tersebut. Sebagai contoh; ushul fiqih tidak membicarakan apa
dalilnya wudlu, ayat yang mana? Hadits yang mana? Dan lain sebagainya.
Dalil-dalil ini sudah masuk dalam ranah fiqih. Ushul fiqih hanya membahas
apakah perintah itu menunjukkan wajib ataukah nadb (sunnah) ? Apakah perintah
atas sesuatu itu berarti larangan mengerjakan sebaliknya ataukah tidak? Apakah
larangan itu berakibat fasad ataukah tidak? Manakah dalil yang umum dan manakah
dalil yang khusus? Dan lain sebagainya.
Jadi, ushul fiqih adalah metodologi penggunaan dalil-dalil
yang terperinci yang digunakan dalam fiqih. Sedangkan fiqih adalah penggunaan
dalil-dalil terperinci tersebut sesuai dengan kaedah yang ada dalam ushul
fiqih. Contoh konkritnya adalah:
Al-Ashlu fil amri yadullu alal wujub (hukum asal perintah adalah menunjukkan
wajib), ini adalah dalil global. Dalil ini diaplikasikan pada perintah Allah
dalam al-Qur’an: (al-maidah : 6)
“Wahai orang-orang yang beriman jika kalian mendirikan sholat
maka basuhlah wajah kalian, tangan kalian hingga siku-siku dan usaplah
kepala-kepala kalian serta (basuhlah) kaki kalian hingga kedua mata kaki” Ayat ini adalah dalil tafshiliyah atau dalil
rinci, didalamnya ada perintah. Maka, berdasarkan kaedah ushul fiqih perintah
tersebut menunjukkan wajib. Kesimpulannya, hukum fiqih mengatakan wajib
berwudlu bagi orang yang akan mengerjakan sholat berdasarkan ayat diatas.
B.
Pengertian Fiqih
Ada
satu kata kunci dari ketiga istilah fiqih, ushul fiqih dan qoidah fiqhiyyah,
yaitu kata fiqih. Fiqih secara bahasa berarti faham atau mengetahui. Secara
istilah banyak definisi yang diberikan oleh ulama’. Al-Imam Jalaluddin
al-Mahally dalam Jam’ul Jawami’ mendefinisikan fiqih dengan : “Pengetahuan
tentang hukum-hukum syari’at yang bersifat amali yang diambil dari
dalil-dalilnya yang terperinci”.
Definisi ini adalah definisi yang paling
sering digunakan untuk menjelaskan fiqih dan dianggap paling mewakili
pengertian fiqih secara keseluruhan.
Tujuh
Kata Pengurai Fiqih Dalam definisi tersebut ada tujuh kata yang dibangun untuk
menguraikan pengertian fiqih.
Tujuh
kata tersebut adalah :
1. Al-Ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu yang sesuai
dengan kenyataan.
2. Al-Ahkam Hukum adalah khithobullah atau titah Allah ﷻ yang
berhubungan dengan mukallaf. Yakni, ketentuan-ketentuan dari Allah ﷻ melalui
al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah ﷺ yang harus ditaati oleh setiap muslim yang
baligh dan berakal. Ketentuan itu bisa berhubungan langsung dengan aktifitas
mukallaf seperti wajib, sunnah atau mandub, makruh, haram atau mubah. Atau
menghubungkan sesuatu dengan pekerjaan mukallaf, seperti menjadikan sesuatu
sebagai syarat, mani’, sah, batal dan lain sebagainya. Lebih jauh penjelasan
tentang hukum akan kami bahas di kesempatan yang lain. Insya Allah.
3. As-Syar’iyah
yakni hukum-hukum dalam fiqih dibatasi hanya pada hukum syari’at dimana
Rasulullah ﷺ diutus dengannya.
4. Al-Amaliyah hukum
syari’at yang menjadi ruang lingkup pembahasan fiqih adalah hukum-hukum yang
berhubungan dengan pekerjaan mukallaf, baik itu pekerjaan hati seperti niat
atau yang lain. Fiqih tidak membicarakan hukum-hukum i’tiqodiyah (keyakinan)
seperti tentang keberadaan Tuhan itu satu, Tuhan akan dapat dilihat di akhirat
dan yang lain. Hukum-hukum ini tidak dibahas di dalam fiqih.
5. Al-Muktasab diperoleh dengan jalan usaha. Maka ilmu Allah ﷻ ,
malaikat dan Rasulullah ﷺ tidak bisa disebut fiqih.
6. Adillah fiqih mendasarkan semua pembahasannya kepada
dalil-dalil. Fiqih tidak diambil hanya berdasarkan ilham atau perasaan atau
yang lain.
7. At-tafshiliyah dalil
yang digunakan dalam fiqih adalah dalil yang terperinci. Yakni dalil yang
digunakan haruslah dalil yang mengarah pada satu masalah yang dibahas seperti
wajibnya wudlu diambil dari dalil firman Allah “faghsiluu wujuhakum …. ”
misalnya. Bukan menggunakan dalil yang mujmal atau dalil global seperti dalil
“perintah itu menunjukkan wajib”.
Dengan demikian, fiqih dapat dikatakan sebagai hasil akhir
yang berupa sebuah pengetahuan yang diperoleh dari sebuah proses usaha
(muktasab) melalui penelitian terhadap dalil-dalil yang terperinci. Fiqih
adalah ilmu yang bersifat aplikatif, artinya siap untuk di amalkan dan memang
dirumuskan untuk diamalkan dalam bentuk-bentuk peribadatan, muamalah atau yang
lain.[6]
C.
Pengertian Qowa’id Fiqhiyah
Sebagaimana ushul fiqih, istilah qowa’id fiqhiyyah ini
tersusun dari dua kata yakni qowa’id dan fiqhiyyah. Qowa’id adalah bentuk jamak
(plural) dari kata qo’idah. Qo’idah secara bahasa berarti asas atau dasar kemudian
dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau
patokan. Sedangkan qo’idah secara istilah
seperti yang disampaikan Ibnul Mulaqqin (Qowaid;I/24) adalah: “Hukum-hukum yang
bersifat global yang melingkupi keseluruhan (global) juz’iyahnya. Ketika kata
qo’idah terangkai dengan kata fiqhiyyah maka pengertiannya adalah (Ibid) :
“Hukum-hukum fiqih yang bersifat menyeluruh (universal) yang melingkupi
hukum-hukum juz’iyyat (parsial) “. Contoh qo’idah adalah “segala sesuatu itu
sesuai dengan tujuannya“. Ini adalah hukum yang berlaku umum atau universal.
Hukum ini bisa masuk kedalam berbagai masalah dalam fiqih. Ia masuk dalam
masalah niat wudlu, niat tayammum, solat,
puasa, waqaf, dan lain sebagainya.
Sedangkan untuk definisi dari fiqih sendiri secara bahasa dan
istilah telah dipaparkan di atas.
Dari uraian pengertian mengenai qowa’id maupun fiqih maka
yang dimaksud dengan qowa’id fiqih adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh
Musthafa az-Zarqa, qowai’d fiqih ialah dasar-dasar fiqih yang
bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi
hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk
dalam ruang lingkup kaidah tersebut. Selanjutnya menurut Imam Tajjudin
as-Subki:
“Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan
juziyah yang banyak yang dari padanya diketahui hukum-hukum juziyat
itu“.
Sedangkan menurut Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy
qowa’id fiqhiyyah adalah kaedah-kaedah atau teori-teori yang mengikat
masalah-masalah yang sama dalam satu ikatan.
Dapat disimpulkan bahwa qowa’id fiqih adalah suatu perkara
kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau
cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu.
Dasar pengambilan qowaid fiqhiyyah Masih menurut ibnul
Mulaqqin, Dasar pengambilan qowaid fiqhiyyah adalah masalah-masalah fiqih serta
dalil fiqih yang bersifat tafshili. Jika diamati, qowaid fiqhiyyah menjadi
semacam kesimpulan yang didapat dari hukum-hukum fiqh serta dalil-dalilnya
sehingga ditemukan satu kesamaan yang mendasari hukum beberapa masalah.
Kesamaan hukum itulah yang kemudian dijadikan sebagai kaedah fiqih yang
kemudian bisa dikembangkan untuk menjawab masalah-masalah yang lain yang
mempunyai kesamaan. Secara garis besar ushul fiqih dan qoidah fiqhiyyah bisa
dibedakan sebagai berikut (lihat, Qowa’id ibnul Mulaqqin, I/32) Ushul fiqih
berisi dalil-dali global yang kemudian diterapkan dalam dalil-dalil yang lebih
rinci. Sedangkan qoidah fiqhiyyah berisi hukum-hukum global yang diambil dari
dalil-dalil terperinci.
Secara teori ushul fiqih lebih dulu ada dan digunakan sebelum
qoidah fiqhiyyah. Karena qoidah fiqhiyah merupakan hasil dari penggunaan ushul
fiqih. Ruang lingkup pembahasan ushul fiqih adalah dalil-dalil global.
Sedangkan qoidah fiqhiyyah ruang lingkupnya adalah af’alul mukallaf.
ringkasnya, ushul fiqih itu mengolah dalil sedangkan qoidah fiqhiyyah itu
hukum-hukum global yang dicetuskan oleh dalil tersebut dan berhubungan langsung
dengan aktifitas mukallaf.[7]
D. Hubungan ushul fiqh, fiqh dan qawa’id Al-fiqhiyyah
Ilmu
fiqih mempunyai hubungan erat dengan qawa’id al-fiqhiyah karena kaedah
al-fiqhiyahmerupakan kunci berpikir dalam pengembangan dan seleksi hukum fiqih.
Dengan bantuan qawa’id al fiqhiyah semakin tampak jelas semua
permasalahan hukum baru yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat dapat ditampung oleh syari’at Islam dan dengan mudah serta cepat dapat
dipecahkan permasalahannya.
Hubungan
ushul fiqih dengan fiqih adalah seperti hubungan ilmu mantiq (logika) dengan
filsafat; mantiq merupakan kaidah berfikir yang memelihara akal agar tidak
terjadi kerancuan dalam berpikir. Juga seperti hubungan ilmu nahwu dengan
bahasa arab; ilmu nahwu sebagai gramatika yang menghindarkan kesalahan
seseorang didalam menulis dan mengucapkan bahasa arab. Demikian ushul fiqih diumpamakan
dengan limu mantiq atau ilmu nahwu, sedangkan fiqih seperti ilmu
filsafat atau bahasa arab, sehingga ilmu ushul fiqih berfungsi menjaga agar
tidak terjadi kesalahan dalam mengistinbatkan hukum.[8]
Objek fiqih
adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan mausia beserta dalil-dalilnya
yang terperinci. Adapun objek ushul fiqih adalah mengenai metodologi penetapan
hukum-hukum tersebut. Kedua disiplin ilmu tersebut sama-sama membahas
dalil-dalil syara’, tetapi tinjauannya berbeda. Fiqih membahas dalil-dalil
tersebut untuk menetapkan hukum-hukum cabang yang berhubungan dengan perbuatan
manusia, sedangkan ushul fiqih meninjau dari segi metode penetapan, klasifikasi
argumetasi, serta situasi dan kondisi yang melatar
belakangi dalil-dalil tersebut.[9]
Ushul fiqih
merupakan ilmu yang secara garis besar mengkaji cara-cara menginstinbath
(menggali hukum). Sekalipun ushul fiqh muncul setelah fiqih, tetapi secara
teknis, terlebih dahulu para ulama menggunakan ushul fiqh untuk menghasilkan
fiqh. Artinya sebelum ulama menetapkan suatu perkara itu haram, ia telah
mengkaji dasar-dasar yang menjadi alasan perkara itu diharamkan. Hukum haramnya
disebut fiqih, dan dasar-dasar sebagai alasannya disebut ushul fiqh.
Kemudian
tujuan dari pada ushul fiqih itu sendiri adalah untuk mengetahui jalan dalam
mendapatkan hukum syara’ dan cara-cara untuk menginstinbatkan suatu hukum dari
dalil-dalilnya. Dengan menggunakan ushul fiqih itu, seseorang dapat terhindar
dari jurang taklid. Ushul fiqih itu juga sebagai
pemberi pegangan pokok atau sebagai pengantar dan sebagai cabang ilmu fiqih
itu.Dapat dikatakan bahwa ushul fiqih sebagai pengantar dari fiqih, memberikan
alat atau sarana kepada fiqih dalam merumuskan, menemukan penilaian-penilaian
syari’at dan peraturan-peraturannya dengan tepat.
Hukum yang
digali dari dalil atau sumber hukum itulah yang kemudian dikenal
dengan nama fiqih. Jadi fiqih adalah produk operasional ushul fiqih. Sebuah
hukum fiqih tidak dapat dikeluarkan dari dalil atau sumbernya (nash
al-Qur’an dan as-Sunnah) tanpa melalui ushul fiqih. Ini sejalan dengan
pengertian harfiah ushul fiqih, yaitu dasar-dasar (landasan) fiqih. Misalnya
hukum wajib sholat dan zakat yang digali (istinbath) dari ayat Al-Qur’an surat
al-Baqarah (2) ayat 43 yang berbunyi:
وَأَقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah
beserta orang-orang yang ruku’”.
Firman Allah
diatas berbentuk perintah yang menurut ilmu ushul fiqih, perintah pada asalnya
menunjukan wajib selama tidak ada dalil yang merubah ketentuan tersebut.
Fiqih
membahas tentang bagaimana cara tentang beribadah, tentang prinsip rukun Islam
dan hubungan antara manusia sesuai dengan dalil-dalil yang terdapat dalam
Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu hubungan diantara Qowa’id al- fiqhiyah
dengan fiqih sangat erat sekali karena qowa’id fiqhiyah dapat dijadikan sebagai
kerangka acuan dalam mengetahui hukum perbuatan seorang mukalaf. Ini karena
dalam menjalanklan hukum fiqih kadang-kadang mengalami kendala-kendala. Misalnya
kewajiban shalat lima waktu yang harus dikerjakan tepat pada waktunya. Kemudian
seorang mukalaf dalam menjalankan kewajibannya mendapat halangan, misalnya ia
diancam bunuh jika mengerjakan shalat tepat pada waktunya. Dalam kasus seperti
ini, mukalaf tersebut boleh menunda sholat dari waktunya karena jiwanya
terancam. Hukum boleh ini dapat ditetapkan lewat pendekatan qawaid
fiqhiyah, yaitu dengan menggunakan qaidah :”الضرار
يزال“ bahaya itu wajib
dihilangkan. Ini adalah salah satu perbedaan antara ushul fiqih dengan qowa’id
fiqih.
Qowa’id
fiqih merupakan kunci berpikir dalam pengembangan dan seleksi hukum
fiqih. Dengan bantuan qawa’id al fiqhiyah semakin tampak jelas semua
permasalahan hukum baru yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat dapat ditampung
oleh syari’at Islam dan dengan mudah serta cepat dapat dipecahkan
permasalahannya. Persoalan baru semakin banyak tumbuh dalam masyarakat seiring
dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Maka diperlukan
kunci berfikir guna memecahkan persoalan masyarakat sehingga tidak menjadi
berlarut-larut tanpa kepastian hukum. Dengan demikian qawa’id al fiqhiyah
sangat berhubungan dengan tugas pengabdian ulama ahli fiqih dalam rangka
mengefektifkan dan mendinamiskan ilmu fiqih ke arah pemecahan problema hukum
masyarakat.[10]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian pembahasan di atas, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan yaitu:
1. Fiqih adalah ilmu yang bersifat aplikatif, artinya siap untuk
di amalkan dan memang dirumuskan untuk diamalkan dalam bentuk-bentuk
peribadatan, muamalah atau yang lain.
2. Ushul fiqih
adalah sebuah ilmu yang mengkaji dalil atau sumber hukum dan metode penggalian
(istinbath) hukum dari dalil atau sumbernya yang harus ditempuh oleh orang yang
berkompeten.
3. Qowa’i fiqih
adalah suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua
bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui
hukum-hukum cabang itu.
Bahwasannya
Qawaid Fiqhiyah, Qawaid Ushuliyah, fiqih dan ushul fiqh tidak dapat dipisahkan
antara satu dengan yang lainnya karena ke empat hukum ini selalu berkaitan
antara satu dengan yang lainnya . qawa’id al-fiqhiyyah terkadang selalu
menopang fiqh dan ushul fiqh. Ilmu fiqih mempunyai hubungan erat dengan qawa’id
al- fiqhiyah karena kaedah al-fiqhiyah merupakan kunci berpikir
dalam pengembangan dan seleksi hukum fiqih. Dengan bantuan qawa’id al fiqhiyah
semakin tampak jelas semua permasalahan hukum baru yang tumbuh ditengah-tengah
masyarakat dapat ditampung oleh syari’at Islam dan dengan mudah serta cepat
dapat dipecahkan permasalahannya.
B.
Saran
Demikian
makalah ini kami susun, kami menyadari makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka dari itu kami senantiasa mengharapkan kontribusi konstruktif
dari para pembaca dalam bentuk saran maupun kritik yang konstruktif demi
perbaikan dan kesempurnaan makalah ini. Akhirnya, kami berharap agar makalah
ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
A Rahman, Asjmuni. 1976. Qaidah-Qaidah Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang.
Djalali, Basiq. 2010. Ilmu ushul fiqh. Jakarta:
Kencana.
Hasbiyallah. 2014. Fiqh dan Ushul Fiqh Metode
Istinbath dan Istidlal. Bandung: PT Remaja.
Hidayatullah, Syarif. 2012. Qawa’id Fiqhiyyah dan
Penerapannya dalam Transaksi Keuangan Syari’ah Kontemporer (Mu’amalat, Maliyyah
islamiyyah, mu’ashirah). Depok: Gramata Publishing.
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku. 1997. Pokok-Pokok
Pegangan Imam Mazhab. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Syahar, Saidu. 1996. Asas-asas hukum Islam. Bandung:
Alumni.
Yasin dan Solikul Hadi. 2008. Fiqh Ibadah,
Kudus: STAIN Kudus
[1]
Hasbiyallah, Fiqh
dan Ushul Fiqh Metode Istinbath dan Istidlal, (Bandung: PT Remaja, 2014),
h. 1.
[3]
Teungku Muhammad
Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra,1997), h. 3.
[4]
Syarif
Hidayatullah, Qawa’id Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi
Keuangan Syari’ah Kontemporer (Mu’amalat, Maliyyah islamiyyah, mu’ashirah), (Depok:
Gramata Publishing, 2012), h. 32
[5]
Ibid h
33
[6]
Mohammad Mufid, Ushul
Fiqh Ekonomi Dan Keuangan Kontemporer,
(Jakarta : Prenadamedia Group,2016), h.1
[7]
Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah
Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h.11
[8]
Hasbiyallah, Op. Cit.,
h. 4
[10]
Basiq Djalali, Ilmu ushul
fiqh , (Jakarta: Kencana, 2010), h. 17
No comments:
Post a Comment