1

loading...

Selasa, 28 Mei 2019

MAKALAH KEPEMIMPINAN DALAM PENDIDIKAN


MAKALAH KEPEMIMPINAN DALAM PENDIDIKAN

( Tipe dan Daya Kepemimpinan Pendidikan )



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
 Kepemimpinan berdiri di atas dasar kepercayaan. Saat kepercayaan rapuh, maka pemimpinnya akan segera runtuh. Sama halnya dengan sebuah kepemimpinan dalam pendidikan yang berdiri atas dasar kepercayaan. Maka dari itu, hal yang paling mendasar dan terpenting ketika menjadi seorang pemimpin adalah memberikan kepada anggota atau bawahannya. Karena dengan cara seperti itulah seorang pemimpin akan disegani dan dihormati dalam sebuah organisasi. Biasanya tipe kepemimpinan seseorang tergantung pada gaya orang tersebut.
Dari penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa untuk menjadi seorang pemimpin dalam dunia pendidikan harus memiliki karakteristik atau gaya memimpin yang pada akhirnya adalah memberikan kepercayaan kepada anggotanya demi terciptanya tujuan organisasi tersebut. kepemimpinan telah digambarkan sebagai penyelesaian pekerjaan melalui orang atau kelompok dan kinerja manajer akan tergantung pada kemampuannya sebagai manajer. hal ini berarti mampu mempengaruhi terhadap orang atau kelompok untuk mencapai hasil yang diinginkan dan ditetapkan bersama.

B.      Rumusan Masalah
        Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang berkaitan dengan kepemimpinan pendidikan antara lain :
1.Apa pengertian dari kepemimpinan pendidikan ?
2. Apa fungsi kepemimpinan pendidikan ?
3. Apa saja tipe-tipe kepemimpinan pendidikan ?

C.Tujuan Masalah
1.untuk mengetahui pengertian kepemimpinan pendidikan.
2.untuk mengetahui fungsi kepemimpinan pendidikan.
3.untuk mengetahui tipe-tipe kepemimpinan pendidikan.

BAB II
PEMBAHASAN

      A.    Pengertian Kepemimpinan
Sebelum kita menjelaskan secara komprehensif mengenai macam-macam tipe atau gaya kepemimpinan dalam pendidikan, sudah seharusnya kita mengetahui pengertian dari kepemimpinan itu sendiri. Agar nantinya memudahkan kita dalam memahami berbagai tipe kepemimpinan, maka dari itu pada bagian awal kita jelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian dan hakikat kepemimpinan.
Davis (1977) mengartikan, kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mengajak orang lain untuk mencapai tujuan yang sudah ditetukan dengan penuh semangat. Selanjutnya kepemimpinan menurut E. Mulyasa (2003) adalah kegiatan untuk mempengaruhi orang-orang yang diarahkan untuk pencapaian tujuan bersama atau organisasi. Menurut Mardjin Syam (1966), kepemimpinan adalah proses pemberian jalan yang mudah (fasilitas) dari pada pekerjaan orang lain yang terorganisir dalam organisasi formal guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Carter V. Good memberikan pengertian yang lebih luas tentang apa sebenarnya hakikat kepemimpinan itu dalam dua batasan yang menurutnya, kepemimpinan tidak lain daripada kesiapan mental yang terwujudkan dalam bentuk kemampuan seseorang untuk memberikan bimbingan, mengarahkan dan mengatur serta menguasai orang lain agar mereka berbuat sesuatu, kesiapan dan kemampuan kepada pemimpin tersebut untuk memainkan peranan sebagai juru tafsir atau pembagi penjelasan tentang kepentingan, minat, kemauan cita-cita atau tujuan-tujuan yang diinginkan untuk dicapai oleh sekelompok individu.
Dengan demikian, hakekat kepemimpinan pendidikan adalah kemampuan untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang lain untuk mencapai tujuan pendidikan. di sini nampak bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam kepemimpinan pendidikan adalah
(1) Pengikut, (2) Tujuan, dan (3) Kegiatan mempengaruhi. Pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang anggotanya dapat merasakan bahwa kebutuhan mereka terpenuhi, baik kebutuhan bekerja, motivasi, rekreasi, kesehatan, sandang, pangan, papan, tempat tinggal, maupun kebutuhan lainnya yang pantas didapatkannya.
Peran pemimpin dalam lembaga pendidikan sebagai figur sangat diperlukan dalam mengambil kebijakan dan keputusan sehingga berbagai persoalan dapat diatasi dalam keadaan yang paling rumit pun. Hal-hal penting yang perlu dicatat mengenai komponen kepemimpinan pendidikan adalah :
(1). Proses rangkaian tindakan dalam sistem pendidikan.
(2). Mempengaruhi dan memberi teladan.
(3). Memberi perintah dengan cara persuasif dan manusiawi, tetapi tetap menjunjung tinggi disiplin dan aturan yang dipedomani.
(4). Pengikut mematuhi perintah sesuai kewenangan dan tanggung jawab masing-masing.
(5). Menggunakan authority dan power dalam batas yang dibenarkan.
(6). Menggerakkan atau mengerahkan semua personel dalam institusi guna menyelesaikan tugas sehingga tercapai tujuan, meningkatkan hubungan kerja diantara personel, membina kerja sama, menggerakkan sumber daya organisasi dan memberi motivasi kerja.
B.    Fungsi Utama Kepemimpinan
Kesuksesan dan kegagalan suatu organisasi selalu dihubungkan dengan kepemimpinan. Secara umum, fungsi pemimpin adalah memudahkan pencapaian tujuan organisasi. Fungsi yang sangat singkatnamun padat dikemukakan oleh bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara, bahwa pemimpin yang baik haruslah menjalankan fungsi seperti berikut :
a.       Ing Ngarso Sung Tulodo (berarti didepan memberi teladan)
b.      Ing Madyo Mangun Karso (berarti ditengah menciptakan peluang berkarya)
c.       Tut Wuri Handayani (berarti dari belakang memberikan dorongan dan arahan)
Lebih detail Tahalele dan Soekarto (1975), menyebutkan fungsi kepemimpinan pendidikan dapat dibagi atas dua macam, yaitu :
1.    Fungsi yang berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai, yang terdiri dari :
a.    Memikirkan, dan merumuskan dengan teliti tujuan kelompok serta menjelaskannya supaya anggota dapat bekerja sama mencapai tujuan itu.
b.    Pemimpin berfungsi memberi dorongan kepada anggota-anggota kelompok untuk menganalisis situasi supaya dapat dirumuskan rencana kegiatan kepemimpinan yang dapat memberi harapan baik.
c.    Pemimpin berfungsi membantu membantu anggota kelompok dalam mengumpulkan keterangan yang perlu supaya dapat mengadakan pertimbangan yang sehat.
d.   Pemimpin berfungsi menggunakan kesanggupan dan minat khusus anggota kelompok.
e.    Memberi dorongan kepada setiap anggota kelompok untuk melahirkan perasaan dan pikirannya dan memilih buah pikiran yang baik dan berguna dalam pemecahan masalah yang dihadapi oleh kelompok.
f.     Pemimpin berfungsi memberi kepercayaan dan menyerahkan tanggungjawab kepada anggota dalam melaksanakan tugas, sesuai dengan kemampuan masing-masing demi kepentingan bersama.

2.    Fungsi pemimpin yang bertalian dengan penciptaan suasana pekerjaan yang sehat dan menyenangkan, antara lain :
a.    Pemimpin berfungsi memupuk dan memelihara kebersamaan di dalam kelompok, agar mempermudah pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
b.    Mengusahakan suatu tempat bekerja yang menyenangkan, sehingga dapat dipupuk kegembiraan dan semangat bekerja dalam pelaksanaan tugas.
c.    Pemimpin dapat menanamkan dan memupuk perasaan para anggota bahwa mereka termasuk dalam kelompok dan merupakan bagian dari kelompok.
d.   Pemimpin dapat mempergunakan kelebihan yang terdapat pada pemimpin, bukan untuk berkuasa atau mendominasi untuk memberi sumbangan kepada kelompok menuju pencapaian tujuan bersama. Dalam suasana tersebut pemimpin dapat juga mengembangkan kesanggupan anggotanya. Ia juga harus mengakui anggotanya secara wajar.

 C. Tipe Kepemimpinan dalam Pendidikan
     Suatu organisasi akan berhasil atau gagal sebagian besar ditentukan oleh kepemimpinan lembaga tersebut. tipe kepemimpinan akan identik dengan gaya kepemimpinan seseorang melaksanakan suatu kepemimpinan. berbagai gaya atau tipe kepemimpinan banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari–hari, termasuk di sekolah. walaupun pemimpin pendidikan khususnya sekolah atau madrasah formal adalah pemimpin yang diangkat secara langsung baik oleh pemerintah maupun yayasan, atau melalui pemilihan.
Tipe kepemimpinan yang secara luas dikenal dan diakui keberadaanya adalah :

1. Kepemimpinan Otokratik
Seorang pemimpin yang tergolong otokratik memiliki serangkaian karakteristik yang biasanya dipandang sebagai karakteristik yang negative. Dengan istilah lain pemimpin tipe otokratik adalah seorang yang egois. Dengan egoismenya pemimpin otokratik melihat perananya sebagai sumber segala sesuatu dalam kehidupan organisasional. Seorang pemimpin yang otokratik ialah seorng pemimpin :
(a). menganggap organisasi sebagai milik peribadi;
(b). mengindentikan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi;
(c). menganggap bawahan sebagai alat semata-mata;
(d). tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat;
(e). tergantung pada kekuasaan formilnya;
(f). dalam tindakan pengerakannya sering mempergunakan approachmengandung unsur paksaan dan bersifat menghukum;
Pemimpin bertindak sebagai diktator, pemimpin adalah pengerak dan penguasa kelompok. kewajiban bawahan atau anggota - anggotanya hanyalah mengikuti dan menjalankan, tidak boleh membatah ataupun mengajukan saran.

2. Kepemimpinan yang Laissez Faire (masa bodoh).
Laissez faire (kendali bebas) merupakan kebalikan dari pemimpin otokrtatik. Jika pemimpin otokkratik selalu mendominasi organisasi maka pemimpin laissez faire ini memberi kekuasaan sepenuhnya kepada anggota atau bawahan. bawahan dapat mengembangkan sarannya sendiri, memecahkan masalahnya sendiri dan pengarahan tidak ada atau hanya sedikit.
adapun sifat kepemimpinan laissez faire seolah-olah tidak tampak, sebab pada tipe ini seorang pemimpin memberikan kebebasan penuh kepada para anggotanya dalam melaksanakan tugasnya. Disini seorang pemimpin mempunyai kenyakinan bahwa dengan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya bterhadap bawahan maka semua usahanya akan cepat berhasil.
 Pemimpin yang seperti ini menafsirkan demokrasi dalam arti keliru, karena demokrasi seolah–olah diartikan sebagai kebebasan bagi setiap anggota untuk mengemukakan dan mempertahankan pendapat dan kebijakannya masing-masing.
Tingkat keberhasilan organisasi atau lembaga yang dipimpin dengan Gaya Laissez Faire semata-mata disebabkan karena kesadaran dan dedikasi beberapa anggota kelompok dan bukan karena pengaruh dari pemimpinnya.

3. Kepemimpinan Demokratis
Tipe demokratis berlandaskan pada pemikiran bahwa aktifitas dalam organisasi akan dapat berjalan lancar dan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan apabila berbagai masalah yang timbul diputuskan bersama antara pejabat yang memimpin maupun para pejabat yang dipimpin.
Seorang pemimpin yang demokratis menyadari bahwa organisasi harus disusun sedemikian rupa sehingga mengambarkan secara jelas beragam tugas dan kegiatan yang harus dilaksanakan demi tercapainya tujuan organisasi.
 Kepemimpinan demokrasi selalu menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari kelompoknya. Berhasil tidaknya suatu pekerjaan bersama terletak pada kelompok dan pimpinan.

4. Kepemimpinan tipe karismatik
            Seorang pemimpin yang karismatik memiliki krakteristik khususnya yaitu daya tariknya yang sangat memikat sehingga mampu memperoleh pengikut yang sangat besar dan para pengikutnya tidak selalu dapat menjelaskan secara kongkrit mengapa orang tertentu itu dikagumi. Hingga sekarang para sarjana belum berhasil menemukan sebab-sebab mengapa seseorang pemimpin memiliki karisma. Karna kurangnya pengetahuan tentang sebab musabab seseorang menjadi pemimpin yang karismatik maka sering hanya dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan gaib.
5. kepemimpinan tipe militeristik
            Tipe kepemimpinan yang biasa memakai cara yang lazim digunakan dalam kemiliteran. Pemimpin yang bertipe militeristis ialah seoarng pemimpin yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
 a. dalam mengerakan bawahan lebih sering mempergunakan system perintah.
 b. dalam mengerakan bawahan senang bergantung kepada pangkat dan jabatannya.
 c. senang kepada formalitas yang berlebih-lebihan.
 d.  menuntut disiplin yang tinggi dan kaku dari bawahan.
e. sukar menerima kritikan dari bawahannya.
 f. menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan.

Apabila disimpulkan berkaitan dengan tipe-tipe kepemimpinan di atas, dalam pendidikan, tipe-tipe pemimpin yang baik adalah :
1.      Pemimpin yang demokratis yang diperankan oleh semua pimpinan di sekolah dan pendidikan tinggi. kepala sekolah harus berjiwa demokratis sehingga kreativitas dan aspirasi para guru dan karyawan sekolah tiak tertekan.
2.      Pemimpin yang kharismatik, bahwa kepala sekolah, guru dan semua pemimpin akademik harus memiliki kewibawaan dalam menjalankan tugasnya.
3.      Pemimpin yang memberi teladan bagi semua bawahannya.
4.      Pemimpin yang cerdas dan bijaksana dalam mengambil keputusan.
5.      Pemimpin yang sabar dan tegas.
6.      Pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab terhadap semua tugas dan kedudukannya.
7.      Pemimpin yang sederhana, tidak mengada-ngada dan pandai memanfaatkan segala yang ada dengan sebaik-baiknya.
                                                                       BAB III      
PENUTUP

        A.    Kesimpulan
Kepemimpinan berdiri di atas dasar kepercayaan. Saat kepercayaan rapuh, maka pemimpinnya akan segera runtuh. Sama halnya dengan sebuah kepemimpinan dalam pendidikan yang berdiri atas dasar kepercayaan. maka dari itu, hal yang paling mendasar dan terpenting ketika menjadi seorang  pemimpin adalah memberikan kepada anggota atau bawahannya. Karena dengan cara seperti itulah seorang pemimpin akan disegani dan dihormati dalam sebuah organisasi. biasanya tipe kepemimpinan seseorang tergantung pada gaya orang tersebut.
Suatu organisasi akan berhasil atau gagal sebagian besar ditentukan oleh kepemimpinan lembaga tersebut. tipe kepemimpinan akan identik dengan gaya kepemimpinan seseorang melaksanakan suatu kepemimpinan. berbagai gaya atau tipe kepemimpinan banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari–hari, termasuk di sekolah. walaupun pemimpin pendidikan khususnya sekolah atau madrasah formal adalah pemimpin yang diangkat secara langsung baik oleh pemerintah maupun yayasan, atau melalui pemilihan.           

B.     Saran
Kami dari penyusun makalah ini menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan isi makalah masih banyak terdapat kekurangan dan kekeliruan baik dari segi kata bahasa dan kalimat, untuk itu kritik dan dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan demi perbaikan penyusunan makalah selanjutnya.




DAFTAR PUSTAKA

Afifuddin, H. (2005). Administrasi Pendidikan. Bandung : Insan Mandiri.
Mulyasa, E. (2006). Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Sutikno, Sobri. (2009. Pengelolaan Pendidikan. Bandung : Prospect.

Senin, 27 Mei 2019

MAKALAH QAWAID FIQHIYAH “KAIDAH SIYASAH"


MAKALAH QAWAID FIQHIYAH

“KAIDAH SIYASAH"


BAB I
PENDAHULUAN
    A.    Latar Belakang
Kaidah-kaidah fiqih (Hukum Islam) merupakan hal yang penting dalam menentukan sebuah hukum. Kaidah-kaidah ini disusun oleh para ulama fiqih secara praktis disertai contoh-contoh untuk memudahkan para penuntut ilmu dalam memahami dan mengambil keputusan hukum dengan cepat dan tepat . Kaidah-kaidah fikih ini ada yang khusus di bidang ahwal al-Syakhsiyyah, muamalah jinayah dan siyasah.
Dalam makalah ini pemakalah akan mencoba menguraikan tentang kaidah-kaidah fikih yang khusus di bidang siyasah untuk memenuhi mata kuliah Qawaid Fiqhiyah
    B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Siyasah?
2.      Apa saja Kaidah fikih dalam siyasah?
    C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa yang dimanakan dengan siayasah
2.      Untuk mengetahui dan memahami kaidah fikih tentang siyasah
                                                              BAB II
PEMBAHASAN
     A.    Devinisi Siyasah
Menurut bahasa kata Siyasah berasal dari kata Sasa. Kata ini dalam kamus Al-Munjid dan lisan Al-’Arab berarti mengatur, mengurus, dan memerintah. Siyasah bisa juga berarti pemerintahan dan politik, atau membuat kebijaksanaan.
Secara istilah dalam lisan al-Arab, Siyasah adalah mengatur atau memimpin sesuatu dengan cara membawa kepada kemaslahatan. Sedangkan di dalam Al-Munjid di sebutkan, Siyasah adalah membuat kemaslahatan manusia dengan membimbing mereka ke jalan yang menyelamatkan. Siyasah adalah ilmu pemerintahan untuk mengendalikan tugas dalam negeri dan luar negeri, yaitu politik dalam negeri dan politik luar negeri serta kemasyarakatan, yakni mengatur kehidupan atas dasar keadilan dan istiqamah.
     B.     Kaidah Siyasah
Beberapa Kaidah Fikih tentang Siyasah/Politik/Kekuasaan, Di bawah ini beberapa kaidah fikih di bidang fikih siyasah yang dianggap penting untuk diketahui:
1.      تَصَرُّفُ الاِمَامِ عَلَى الرَّعِيَةِ مَنُوطٌ بِالمَصْلَحَةِ
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan”
Kaidah ini memberikan pengertian, bahwa  setiap tindakan atau suatu kebijaksanaan para pemimpin yang menyangkut dan mengenai hak-hak rakyat dikaitkan dengan kemaslahatan rakyat banyak dan ditujukan untuk mendatangkan suatu kebaikan. Sebab pemimpin adalah pengemban amanah penderitaan rakyat (umat) dan untuk itulah ia ditunjuk sebagai pemimpin serta harus pula memperhatikan kemaslahatan rakyat[1].
Selain itu berdasarkan kaidah ini pula, seorang pemimpin dalam mengambil kebijaksanaan-kebijaksanaan terhadap sesuatu yang berhubungan dengan rakyat, tidak boleh menyimpang dari prinsip-prinsip syari’at Islam, sehingga andaikata penguasa menetapkan seorang yang fasiq untuk menjadi imam shalat pun, menurut hukum tidak dibenarkan.     
Banyak contoh yang berhubungan dengan kaidah tersebut yaitu setiap kebijakan yang mashlahah dan bermanfaat bagi rakyat maka itulah yang harus direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan dinilai/dievaluasi kemajuannya. Sebaliknya, kebijakan yang mendatangkan mafsadah dan memudaratkan terhadap rakyat, itulah yang harus disingkirkan dan dijauhi.
Secara umum sesungguhnya kaidah ini sudah termasuk dalam kandungan hadis Nabi: “Masing-masing dari kamu adalah pengembala (pemimpin), dan tiap-tiap pengembala (pemimpin) dimintai pertanggung jawaban atas pengembalaanya(kepemimpinannya)”
Contohnya: Seorang RT apabila membuat peraturan di wilayah kerjanya, haruslah yang membawa kemaslahatan bagi warganya bukan sebaliknya. Misalnya; pembuatan pos keamanan.
2.      اَلْخِيَانَةُ لاَتَتَجَزَّأُ
“Khiyanah itu tidak dapat dibagi-bagi”
Apabila seseorang tidak melaksanakan atau khianat terhadap satu amanah yang dibebankan kepadanya, maka ia  harus dipecat dari keseluruhan amanah yang dibebankan kepadanya.[2] Contohnya: Seorang pejabat memiliki banyak amanah yang dibebankan kepadanya. Apabila ia melakukan kesalahan misalnya korupsi, maka ia dipecat dari jabatannya dan semua amanah yang dibebankan kepadanya lepas. Sebab melanggar salah satu dari amanat yang dibebankan yang berarti melanggar keseluruhan amanah.
3.      اِنَّ الاِمَامَ أَنْ يَخْطَئَ فِي العَفْوِ خَيْرٌ مِنْ اَنْ يَخْطَئَ فِي العُقُوبَةُ
“Seorang pemimpin itu, salah memberi maaf lebih baik dari pada salah dalam menghukum”
Maksud dari kaidah tersebut di atas menegaskan bahwa kehati-hatian dalam mengambil keputusan sangatlah penting. Jangan sampai akibat dari keputusan pemimpin mengakibatkan kemudharatan kepada rakyat dan bawahannya. Apabila seorang pemimpin masih ragu karena belum ada bukti yang meyakinkan antara memberi maaf atau menjatuhkan hukuman, maka yang terbaik adalah memberi maaf. Tetapi apabila sudah jelas dan meyakinkan bukti-buktinya maka seorang pemimpin harus berani dan tegas mengambil keputusan.[3] Contohnya: Seorang hakim membebaskan seorang terdakwa yang belum ada bukti bahwa dia bersalah. Dari pada menjatuhkan hukuman dengan keraguan.
4.      الوِلاَيَةُ الخَاصَّةُ أَقْوَى مِنَ الوِلاَيَةِ العَامَّةِ
“Kekuasaan yang khusus lebih kuat (kedudukannya) dari pada kekuasaan yang umum”
Dalam fikih siyasah, ada pembagian kekuasaan sejak zaman ke khalifahan. Pembagian kekuasaan itu terus berkembang, maka muncul berbagai lembaga kekuasaan dalam suatu Negara. Maksud kaidah di atas adalah bahwa kekuasaan lembaga-lembaga yang khusus lebih kuat kekuasaannya dari pada lembaga umum[4].
Contohnya: Ketua RT lebih kuat kekuasaannya dalam wilayahnya dari pada kepala desa, wali kelas lebih kuat kekuasaannya dalam kelasnya dari pada kepala sekolah atau wali nasab lebih kuat kekuasaannya terhadap anaknya dari pada wali hakim (dalam masalah pernikahan).
5.      لاَيُقْبَلُ فِي دَارِ الإِسْلَامِ العُذْرُ بِجَهْلِ الأَحْكَامِ
“Tidak diterima di negeri muslim, pernyataan tidak tahu hukum”
Sudah barang tentu yang dimaksud tidak tahu hukum di sini adalah hukum yang bersifat umum karena masyarakat semestinya mengetahui, seperti hukum mentaati ulil amri adalah wajib, zakat itu wajib, dan lain sebagainya. Contohnya: Tidak ada alasan bagi para pengendara sepeda motor tidak mempunyai SIM dengan alasan tidak mengetahui kewajiban memilikinya, karena kewajiban memiliki SIM adalah hal yang pasti diketahui secara umum[5].
6.      الأَصْلُ فِي العَلاَقَةِ السِّلْمُ
“Hukum asal dalam hubungan antar negara adalah perdamaian”
Ajaran Islam baik dalam hubungan antar manusia, maupun antar negara adalah perdamaian. Perang hanya dilakukan untuk mempertahankan diri dari aggressor. Perang bersifat temporer dan dilakukan ketika satu-satunya penyelesaiannya adalah perang. Perang itu dalam keadaan darurat. Oleh karena itu, harus memenuhi persyaratan darurat. Apabila terpaksa terjadi perang, harus diupayakan untuk kembali kepada perdamaian baik dengan cara penghentian sementara, perjanjian, atau dengan melalui lembaga arbitrase. Contohnya: Apabila terjadi perselisihan antara pemimpin, maka alangkah baiknya ambil jalan damai dengan dibicarakan baik-baik.
7.      كُلُّ مُبِيْعٍ لَمْ يَصِحُّ فِي دَارِالإِسْلَامِ لَمْ يَصِحُّ فِي دَارِ الحَرْبِ
“Setiap barang yang tidak sah dijual belikan di negeri Islam maka tidak sah pula dilakukan di negeri harbi”
Negeri harbi adalah negara yang sedang berperang dengan negara Islam. Kaidah ini dipegang oleh mazhab Maliki dan Syafi’i. Kaidah ini berkaitan dengan teori Nasionalitas. Artinya, di mana pun berada, barang-barang haram tetap haram hukumnya. Contonya: Dimana pun seorang muslim berada, yang namanya berjualan babi haram hukumnya untuk diperjualbelikan.
8.      العَقْدُ يُرْعَى مَعَ الكَافِرِ كَمَا يُرْعَى مَعَ المُسْلِمِ
“Setiap perjanjian dengan orang nonmuslim harus dihormati seperti dihormatinya perjanjian sesama muslim”
Kaidah ini berlaku dalam akad, perjanjian, atau transaksi antara individu muslim dan nonmuslim dan antara negeri muslim dan negeri nonmuslim secara bilateral atau unilateral[6]. Contohnya: Apabiala seorang muslim berjanji kepada yang nonmuslim, maka ia wajib menepati janjinya, meskipun dia nonmuslim. Karena janji adalah hutang.
9.      الجِبَايَةُ بِالحِمَايَةِ
“Pungutan harus disertai dengan perlindungan”
Kaidah ini menegaskan bahwa setiap pungutan berupa harta dari rakyat, baik berupa zakat, rikaz, ma’dun, kharaj (pajak tanah bagi nonmuslim), wajib disertai dengan perlindungan dari pemerintah kepada warga yang sudah mengeluarkan apa yang dipungut tadi. Pemerintah tidak punya hak untuk memungut tanpa melindungi rakyatnya. Apabila tidak ada perlindungan dari pemerintah terhadap rakyatnya, maka pemerintah tidak berhak memungut apa pun dari rakyatnya. Yang dimaksud dengan perlindungan disini adalah rakyat harus dilindungi hartanya, darahnya, dan kehormatannya, termasuk didalamnya menciptakan kondisi keamanan yang menyeluruh agar bisa berusaha, bekerja dalam lapangan kerja yang halal, serta membangun sarana dan prasarana untuk kesejahteraan rakyatnya[7].
Contonya: Di suatu komplek perumahan membayar seorang penjaga keamanan untuk menjaga komplek tersebut, maka penjaga keamanan itu wajib menjalankan tugasnya untuk menjaga komplek tersebut, karena itu sebuah amanah dari warga komplek.
10.  الخُرُوجُ مِنَ الخِلَافِ مُسْتَحَبٌ
“Keluar dari perbedaan pendapat adalah disenangi”
Dalam kehidupan bersama sering terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat ini penting dalam memberi alternatif pemecahan masalah. Tetapi, berupaya untuk mencari jalan agar dapat diperoleh kesepakatan adalah disenangi yang awalnya terjadi perbedaan pendapat. Hal ini tidak lain adalah agar kehidupan masyarakat menjadi tenang kembali. Kaidah ini berdasarkan Sabda Nabi saw: “Maka barang siapa menjaga diri dari syubhat (seperti perbedaan pendapat misalnya), maka ia telah mencari kebersihan untuk agama dan kehormatannya” (Muttafaq alaih) Contohnya: Dalam suatu permusyawarahan terdapat perbedaan pendapat, maka alangkah bagusnya berupaya untuk menemukan kesamaan sehingga tidak terjadi perbedaan pendapat.
11.  مَا لاَيُدْرَكُ كُلُّهُ لاَيُتْرَكُ كُلُّهُ
“Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya”
Kaidah ini menyatakan bahwa apabila suatu keputusan yang baik sudah diambil, tetapi dalam pelaksanaannya banyak hambatan, maka tidak berarti harus meninggalkan seluruhnya. Akan tetapi, apa yang dapat dilaksanakan itulah yang dikerjakan sesuai dengan kesempatan dan kemampuan yang ada. Contohnya: Pemberantasan tindak pidana pencurian oleh aparat kepolisian, tentu saja kepolisian, tidak bisa memberantas pencurian semuanya, namun kepolisian harus tetap menjalankan tugasnya semaksimal mungkin.
12.  لَهُمْ مَالَنَا وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَيْنَا
“Bagi mereka ada hak seperti hak-hak yang ada pada kita dan terhadap mereka dibebani kewajiban seperti beban kewajiban terhadap kita”
Kaidah di atas menegaskan adanya persamaan hak dan kewajiban di antara sesama warga Negara yang dilandasi oleh moral ukhuwah wathaniyah (cinta tanah air), meskipun mereka berbeda warna kulit, bahasa, dan budaya serta kekayaannya. Ulama menggunakan kaidah di atas dalam konteks hubungan antar warga Negara muslim  dan dzimmi (kafir dzimmi). Mereka berkedudukan sama di hadapan penguasa dan hukum. Contohnya: Mau dia kaya, miskin, atau pun pejabat yang bertempat tinggal di Indonesia apabila dia melakukan pencurian atau pembunuhan maka dia dikenai hukuman yang berlaku.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Siyasah adalah ilmu pemerintahan untuk mengendalikan tugas dalam negeri dan luar negeri, yaitu politik dalam negeri dan politik luar negeri serta kemasyarakatan, yakni mengatur kehidupan atas dasar keadilan dan istiqamah. Ada beberapa kaidah fikih mengenai siyasah, seperti kita ketahui bahwa kaidah merupakan landasan atau dasar.
Dengan demikian dari pembahasan di atas tentang kaidah-kaidah yang berhubungan dengan siyasah/politik/kekuasaan (pemerintahan) maka penulis mengambil kesimpulan bahwa seorang pemimpin yang baik harus mengetahui keadaan warganya, dan membuat peraturan-peraturan yang bisa mengangkat martabat warganya sehingga menjadi lebih baik lagi. Apabila tidak bisa melakukan sesuatu, maka jaganlah ditinggalkan semuanya dan tetap melakukan untuk kebaikan rakyat secara semaksimal mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
A. Djazuli. 2007. Kaidah-Kaidah Fikih Islam (kaidah-kaidah hukum Islam dalam
menyelesaikan masalah-masalah yang praktis) Jakarta: Kencana.
Musbikin, Imam. 2001.  Qawa’id Al-Fiqhiyah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


[1] Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001,hal.124
[2] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih Islam (kaidah-kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah yang praktis), Jakarta: Kencana, 2007, hal. 148.
[3] Ibid.,hal.149
[4] Ibid.,hal.149
[5] Ibid
[6] Ibid,
[7] Ibid.,hal;152