1

loading...

Monday, May 27, 2019

MAKALAH QAWAID FIQHIYAH “KAIDAH SIYASAH"


MAKALAH QAWAID FIQHIYAH

“KAIDAH SIYASAH"


BAB I
PENDAHULUAN
    A.    Latar Belakang
Kaidah-kaidah fiqih (Hukum Islam) merupakan hal yang penting dalam menentukan sebuah hukum. Kaidah-kaidah ini disusun oleh para ulama fiqih secara praktis disertai contoh-contoh untuk memudahkan para penuntut ilmu dalam memahami dan mengambil keputusan hukum dengan cepat dan tepat . Kaidah-kaidah fikih ini ada yang khusus di bidang ahwal al-Syakhsiyyah, muamalah jinayah dan siyasah.
Dalam makalah ini pemakalah akan mencoba menguraikan tentang kaidah-kaidah fikih yang khusus di bidang siyasah untuk memenuhi mata kuliah Qawaid Fiqhiyah
    B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Siyasah?
2.      Apa saja Kaidah fikih dalam siyasah?
    C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa yang dimanakan dengan siayasah
2.      Untuk mengetahui dan memahami kaidah fikih tentang siyasah
                                                              BAB II
PEMBAHASAN
     A.    Devinisi Siyasah
Menurut bahasa kata Siyasah berasal dari kata Sasa. Kata ini dalam kamus Al-Munjid dan lisan Al-’Arab berarti mengatur, mengurus, dan memerintah. Siyasah bisa juga berarti pemerintahan dan politik, atau membuat kebijaksanaan.
Secara istilah dalam lisan al-Arab, Siyasah adalah mengatur atau memimpin sesuatu dengan cara membawa kepada kemaslahatan. Sedangkan di dalam Al-Munjid di sebutkan, Siyasah adalah membuat kemaslahatan manusia dengan membimbing mereka ke jalan yang menyelamatkan. Siyasah adalah ilmu pemerintahan untuk mengendalikan tugas dalam negeri dan luar negeri, yaitu politik dalam negeri dan politik luar negeri serta kemasyarakatan, yakni mengatur kehidupan atas dasar keadilan dan istiqamah.
     B.     Kaidah Siyasah
Beberapa Kaidah Fikih tentang Siyasah/Politik/Kekuasaan, Di bawah ini beberapa kaidah fikih di bidang fikih siyasah yang dianggap penting untuk diketahui:
1.      تَصَرُّفُ الاِمَامِ عَلَى الرَّعِيَةِ مَنُوطٌ بِالمَصْلَحَةِ
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan”
Kaidah ini memberikan pengertian, bahwa  setiap tindakan atau suatu kebijaksanaan para pemimpin yang menyangkut dan mengenai hak-hak rakyat dikaitkan dengan kemaslahatan rakyat banyak dan ditujukan untuk mendatangkan suatu kebaikan. Sebab pemimpin adalah pengemban amanah penderitaan rakyat (umat) dan untuk itulah ia ditunjuk sebagai pemimpin serta harus pula memperhatikan kemaslahatan rakyat[1].
Selain itu berdasarkan kaidah ini pula, seorang pemimpin dalam mengambil kebijaksanaan-kebijaksanaan terhadap sesuatu yang berhubungan dengan rakyat, tidak boleh menyimpang dari prinsip-prinsip syari’at Islam, sehingga andaikata penguasa menetapkan seorang yang fasiq untuk menjadi imam shalat pun, menurut hukum tidak dibenarkan.     
Banyak contoh yang berhubungan dengan kaidah tersebut yaitu setiap kebijakan yang mashlahah dan bermanfaat bagi rakyat maka itulah yang harus direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan dinilai/dievaluasi kemajuannya. Sebaliknya, kebijakan yang mendatangkan mafsadah dan memudaratkan terhadap rakyat, itulah yang harus disingkirkan dan dijauhi.
Secara umum sesungguhnya kaidah ini sudah termasuk dalam kandungan hadis Nabi: “Masing-masing dari kamu adalah pengembala (pemimpin), dan tiap-tiap pengembala (pemimpin) dimintai pertanggung jawaban atas pengembalaanya(kepemimpinannya)”
Contohnya: Seorang RT apabila membuat peraturan di wilayah kerjanya, haruslah yang membawa kemaslahatan bagi warganya bukan sebaliknya. Misalnya; pembuatan pos keamanan.
2.      اَلْخِيَانَةُ لاَتَتَجَزَّأُ
“Khiyanah itu tidak dapat dibagi-bagi”
Apabila seseorang tidak melaksanakan atau khianat terhadap satu amanah yang dibebankan kepadanya, maka ia  harus dipecat dari keseluruhan amanah yang dibebankan kepadanya.[2] Contohnya: Seorang pejabat memiliki banyak amanah yang dibebankan kepadanya. Apabila ia melakukan kesalahan misalnya korupsi, maka ia dipecat dari jabatannya dan semua amanah yang dibebankan kepadanya lepas. Sebab melanggar salah satu dari amanat yang dibebankan yang berarti melanggar keseluruhan amanah.
3.      اِنَّ الاِمَامَ أَنْ يَخْطَئَ فِي العَفْوِ خَيْرٌ مِنْ اَنْ يَخْطَئَ فِي العُقُوبَةُ
“Seorang pemimpin itu, salah memberi maaf lebih baik dari pada salah dalam menghukum”
Maksud dari kaidah tersebut di atas menegaskan bahwa kehati-hatian dalam mengambil keputusan sangatlah penting. Jangan sampai akibat dari keputusan pemimpin mengakibatkan kemudharatan kepada rakyat dan bawahannya. Apabila seorang pemimpin masih ragu karena belum ada bukti yang meyakinkan antara memberi maaf atau menjatuhkan hukuman, maka yang terbaik adalah memberi maaf. Tetapi apabila sudah jelas dan meyakinkan bukti-buktinya maka seorang pemimpin harus berani dan tegas mengambil keputusan.[3] Contohnya: Seorang hakim membebaskan seorang terdakwa yang belum ada bukti bahwa dia bersalah. Dari pada menjatuhkan hukuman dengan keraguan.
4.      الوِلاَيَةُ الخَاصَّةُ أَقْوَى مِنَ الوِلاَيَةِ العَامَّةِ
“Kekuasaan yang khusus lebih kuat (kedudukannya) dari pada kekuasaan yang umum”
Dalam fikih siyasah, ada pembagian kekuasaan sejak zaman ke khalifahan. Pembagian kekuasaan itu terus berkembang, maka muncul berbagai lembaga kekuasaan dalam suatu Negara. Maksud kaidah di atas adalah bahwa kekuasaan lembaga-lembaga yang khusus lebih kuat kekuasaannya dari pada lembaga umum[4].
Contohnya: Ketua RT lebih kuat kekuasaannya dalam wilayahnya dari pada kepala desa, wali kelas lebih kuat kekuasaannya dalam kelasnya dari pada kepala sekolah atau wali nasab lebih kuat kekuasaannya terhadap anaknya dari pada wali hakim (dalam masalah pernikahan).
5.      لاَيُقْبَلُ فِي دَارِ الإِسْلَامِ العُذْرُ بِجَهْلِ الأَحْكَامِ
“Tidak diterima di negeri muslim, pernyataan tidak tahu hukum”
Sudah barang tentu yang dimaksud tidak tahu hukum di sini adalah hukum yang bersifat umum karena masyarakat semestinya mengetahui, seperti hukum mentaati ulil amri adalah wajib, zakat itu wajib, dan lain sebagainya. Contohnya: Tidak ada alasan bagi para pengendara sepeda motor tidak mempunyai SIM dengan alasan tidak mengetahui kewajiban memilikinya, karena kewajiban memiliki SIM adalah hal yang pasti diketahui secara umum[5].
6.      الأَصْلُ فِي العَلاَقَةِ السِّلْمُ
“Hukum asal dalam hubungan antar negara adalah perdamaian”
Ajaran Islam baik dalam hubungan antar manusia, maupun antar negara adalah perdamaian. Perang hanya dilakukan untuk mempertahankan diri dari aggressor. Perang bersifat temporer dan dilakukan ketika satu-satunya penyelesaiannya adalah perang. Perang itu dalam keadaan darurat. Oleh karena itu, harus memenuhi persyaratan darurat. Apabila terpaksa terjadi perang, harus diupayakan untuk kembali kepada perdamaian baik dengan cara penghentian sementara, perjanjian, atau dengan melalui lembaga arbitrase. Contohnya: Apabila terjadi perselisihan antara pemimpin, maka alangkah baiknya ambil jalan damai dengan dibicarakan baik-baik.
7.      كُلُّ مُبِيْعٍ لَمْ يَصِحُّ فِي دَارِالإِسْلَامِ لَمْ يَصِحُّ فِي دَارِ الحَرْبِ
“Setiap barang yang tidak sah dijual belikan di negeri Islam maka tidak sah pula dilakukan di negeri harbi”
Negeri harbi adalah negara yang sedang berperang dengan negara Islam. Kaidah ini dipegang oleh mazhab Maliki dan Syafi’i. Kaidah ini berkaitan dengan teori Nasionalitas. Artinya, di mana pun berada, barang-barang haram tetap haram hukumnya. Contonya: Dimana pun seorang muslim berada, yang namanya berjualan babi haram hukumnya untuk diperjualbelikan.
8.      العَقْدُ يُرْعَى مَعَ الكَافِرِ كَمَا يُرْعَى مَعَ المُسْلِمِ
“Setiap perjanjian dengan orang nonmuslim harus dihormati seperti dihormatinya perjanjian sesama muslim”
Kaidah ini berlaku dalam akad, perjanjian, atau transaksi antara individu muslim dan nonmuslim dan antara negeri muslim dan negeri nonmuslim secara bilateral atau unilateral[6]. Contohnya: Apabiala seorang muslim berjanji kepada yang nonmuslim, maka ia wajib menepati janjinya, meskipun dia nonmuslim. Karena janji adalah hutang.
9.      الجِبَايَةُ بِالحِمَايَةِ
“Pungutan harus disertai dengan perlindungan”
Kaidah ini menegaskan bahwa setiap pungutan berupa harta dari rakyat, baik berupa zakat, rikaz, ma’dun, kharaj (pajak tanah bagi nonmuslim), wajib disertai dengan perlindungan dari pemerintah kepada warga yang sudah mengeluarkan apa yang dipungut tadi. Pemerintah tidak punya hak untuk memungut tanpa melindungi rakyatnya. Apabila tidak ada perlindungan dari pemerintah terhadap rakyatnya, maka pemerintah tidak berhak memungut apa pun dari rakyatnya. Yang dimaksud dengan perlindungan disini adalah rakyat harus dilindungi hartanya, darahnya, dan kehormatannya, termasuk didalamnya menciptakan kondisi keamanan yang menyeluruh agar bisa berusaha, bekerja dalam lapangan kerja yang halal, serta membangun sarana dan prasarana untuk kesejahteraan rakyatnya[7].
Contonya: Di suatu komplek perumahan membayar seorang penjaga keamanan untuk menjaga komplek tersebut, maka penjaga keamanan itu wajib menjalankan tugasnya untuk menjaga komplek tersebut, karena itu sebuah amanah dari warga komplek.
10.  الخُرُوجُ مِنَ الخِلَافِ مُسْتَحَبٌ
“Keluar dari perbedaan pendapat adalah disenangi”
Dalam kehidupan bersama sering terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat ini penting dalam memberi alternatif pemecahan masalah. Tetapi, berupaya untuk mencari jalan agar dapat diperoleh kesepakatan adalah disenangi yang awalnya terjadi perbedaan pendapat. Hal ini tidak lain adalah agar kehidupan masyarakat menjadi tenang kembali. Kaidah ini berdasarkan Sabda Nabi saw: “Maka barang siapa menjaga diri dari syubhat (seperti perbedaan pendapat misalnya), maka ia telah mencari kebersihan untuk agama dan kehormatannya” (Muttafaq alaih) Contohnya: Dalam suatu permusyawarahan terdapat perbedaan pendapat, maka alangkah bagusnya berupaya untuk menemukan kesamaan sehingga tidak terjadi perbedaan pendapat.
11.  مَا لاَيُدْرَكُ كُلُّهُ لاَيُتْرَكُ كُلُّهُ
“Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya”
Kaidah ini menyatakan bahwa apabila suatu keputusan yang baik sudah diambil, tetapi dalam pelaksanaannya banyak hambatan, maka tidak berarti harus meninggalkan seluruhnya. Akan tetapi, apa yang dapat dilaksanakan itulah yang dikerjakan sesuai dengan kesempatan dan kemampuan yang ada. Contohnya: Pemberantasan tindak pidana pencurian oleh aparat kepolisian, tentu saja kepolisian, tidak bisa memberantas pencurian semuanya, namun kepolisian harus tetap menjalankan tugasnya semaksimal mungkin.
12.  لَهُمْ مَالَنَا وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَيْنَا
“Bagi mereka ada hak seperti hak-hak yang ada pada kita dan terhadap mereka dibebani kewajiban seperti beban kewajiban terhadap kita”
Kaidah di atas menegaskan adanya persamaan hak dan kewajiban di antara sesama warga Negara yang dilandasi oleh moral ukhuwah wathaniyah (cinta tanah air), meskipun mereka berbeda warna kulit, bahasa, dan budaya serta kekayaannya. Ulama menggunakan kaidah di atas dalam konteks hubungan antar warga Negara muslim  dan dzimmi (kafir dzimmi). Mereka berkedudukan sama di hadapan penguasa dan hukum. Contohnya: Mau dia kaya, miskin, atau pun pejabat yang bertempat tinggal di Indonesia apabila dia melakukan pencurian atau pembunuhan maka dia dikenai hukuman yang berlaku.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Siyasah adalah ilmu pemerintahan untuk mengendalikan tugas dalam negeri dan luar negeri, yaitu politik dalam negeri dan politik luar negeri serta kemasyarakatan, yakni mengatur kehidupan atas dasar keadilan dan istiqamah. Ada beberapa kaidah fikih mengenai siyasah, seperti kita ketahui bahwa kaidah merupakan landasan atau dasar.
Dengan demikian dari pembahasan di atas tentang kaidah-kaidah yang berhubungan dengan siyasah/politik/kekuasaan (pemerintahan) maka penulis mengambil kesimpulan bahwa seorang pemimpin yang baik harus mengetahui keadaan warganya, dan membuat peraturan-peraturan yang bisa mengangkat martabat warganya sehingga menjadi lebih baik lagi. Apabila tidak bisa melakukan sesuatu, maka jaganlah ditinggalkan semuanya dan tetap melakukan untuk kebaikan rakyat secara semaksimal mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
A. Djazuli. 2007. Kaidah-Kaidah Fikih Islam (kaidah-kaidah hukum Islam dalam
menyelesaikan masalah-masalah yang praktis) Jakarta: Kencana.
Musbikin, Imam. 2001.  Qawa’id Al-Fiqhiyah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


[1] Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001,hal.124
[2] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih Islam (kaidah-kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah yang praktis), Jakarta: Kencana, 2007, hal. 148.
[3] Ibid.,hal.149
[4] Ibid.,hal.149
[5] Ibid
[6] Ibid,
[7] Ibid.,hal;152

No comments:

Post a Comment