MAKALAH QAWAID FIQHIYAH
“KAIDAH SIYASAH"
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kaidah-kaidah
fiqih (Hukum Islam) merupakan hal yang penting dalam menentukan sebuah hukum.
Kaidah-kaidah ini disusun oleh para ulama fiqih secara praktis disertai
contoh-contoh untuk memudahkan para penuntut ilmu dalam memahami dan mengambil
keputusan hukum dengan cepat dan tepat . Kaidah-kaidah fikih ini ada yang
khusus di bidang ahwal al-Syakhsiyyah, muamalah jinayah dan siyasah.
Dalam makalah
ini pemakalah akan mencoba menguraikan tentang kaidah-kaidah fikih yang khusus
di bidang siyasah untuk memenuhi mata kuliah Qawaid Fiqhiyah
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan Siyasah?
2.
Apa saja Kaidah fikih dalam siyasah?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui apa yang dimanakan dengan siayasah
2.
Untuk mengetahui dan memahami kaidah fikih tentang siyasah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Devinisi Siyasah
Menurut bahasa
kata Siyasah berasal dari kata Sasa. Kata ini dalam kamus Al-Munjid
dan lisan Al-’Arab berarti mengatur, mengurus, dan memerintah. Siyasah
bisa juga berarti pemerintahan dan politik, atau membuat kebijaksanaan.
Secara istilah
dalam lisan al-Arab, Siyasah adalah mengatur atau memimpin
sesuatu dengan cara membawa kepada kemaslahatan. Sedangkan di dalam Al-Munjid
di sebutkan, Siyasah adalah membuat kemaslahatan manusia dengan
membimbing mereka ke jalan yang menyelamatkan. Siyasah adalah ilmu pemerintahan
untuk mengendalikan tugas dalam negeri dan luar negeri, yaitu politik dalam
negeri dan politik luar negeri serta kemasyarakatan, yakni mengatur kehidupan
atas dasar keadilan dan istiqamah.
B.
Kaidah Siyasah
Beberapa Kaidah Fikih tentang Siyasah/Politik/Kekuasaan, Di bawah
ini beberapa kaidah fikih di bidang fikih siyasah yang dianggap penting untuk diketahui:
1.
تَصَرُّفُ الاِمَامِ عَلَى الرَّعِيَةِ مَنُوطٌ بِالمَصْلَحَةِ
“Kebijakan
seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan”
Kaidah ini memberikan pengertian, bahwa setiap tindakan atau suatu kebijaksanaan para
pemimpin yang menyangkut dan mengenai hak-hak rakyat dikaitkan dengan
kemaslahatan rakyat banyak dan ditujukan untuk mendatangkan suatu kebaikan.
Sebab pemimpin adalah pengemban amanah penderitaan rakyat (umat) dan untuk
itulah ia ditunjuk sebagai pemimpin serta harus pula memperhatikan kemaslahatan
rakyat[1].
Selain itu berdasarkan kaidah ini pula, seorang pemimpin dalam
mengambil kebijaksanaan-kebijaksanaan terhadap sesuatu yang berhubungan dengan
rakyat, tidak boleh menyimpang dari prinsip-prinsip syari’at Islam, sehingga
andaikata penguasa menetapkan seorang yang fasiq untuk menjadi imam shalat pun,
menurut hukum tidak dibenarkan.
Banyak contoh yang berhubungan dengan kaidah tersebut yaitu setiap
kebijakan yang mashlahah dan bermanfaat bagi rakyat maka itulah yang harus
direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan dinilai/dievaluasi
kemajuannya. Sebaliknya, kebijakan yang mendatangkan mafsadah dan memudaratkan
terhadap rakyat, itulah yang harus disingkirkan dan dijauhi.
Secara umum sesungguhnya kaidah ini sudah termasuk dalam kandungan
hadis Nabi: “Masing-masing dari kamu adalah pengembala (pemimpin), dan
tiap-tiap pengembala (pemimpin) dimintai pertanggung jawaban atas pengembalaanya(kepemimpinannya)”
Contohnya: Seorang RT apabila membuat peraturan di wilayah
kerjanya, haruslah yang membawa kemaslahatan bagi warganya bukan sebaliknya.
Misalnya; pembuatan pos keamanan.
2.
اَلْخِيَانَةُ لاَتَتَجَزَّأُ
“Khiyanah
itu tidak dapat dibagi-bagi”
Apabila seseorang tidak melaksanakan atau khianat terhadap satu
amanah yang dibebankan kepadanya, maka ia
harus dipecat dari keseluruhan amanah yang dibebankan kepadanya.[2]
Contohnya: Seorang pejabat memiliki banyak amanah yang dibebankan kepadanya.
Apabila ia melakukan kesalahan misalnya korupsi, maka ia dipecat dari
jabatannya dan semua amanah yang dibebankan kepadanya lepas. Sebab melanggar
salah satu dari amanat yang dibebankan yang berarti melanggar keseluruhan
amanah.
3.
اِنَّ الاِمَامَ أَنْ يَخْطَئَ فِي العَفْوِ خَيْرٌ مِنْ اَنْ يَخْطَئَ
فِي العُقُوبَةُ
“Seorang
pemimpin itu, salah memberi maaf lebih baik dari pada salah dalam menghukum”
Maksud dari kaidah tersebut di atas menegaskan bahwa kehati-hatian
dalam mengambil keputusan sangatlah penting. Jangan sampai akibat dari
keputusan pemimpin mengakibatkan kemudharatan kepada rakyat dan bawahannya.
Apabila seorang pemimpin masih ragu karena belum ada bukti yang meyakinkan
antara memberi maaf atau menjatuhkan hukuman, maka yang terbaik adalah memberi
maaf. Tetapi apabila sudah jelas dan meyakinkan bukti-buktinya maka seorang
pemimpin harus berani dan tegas mengambil keputusan.[3]
Contohnya: Seorang hakim membebaskan seorang terdakwa yang belum ada bukti
bahwa dia bersalah. Dari pada menjatuhkan hukuman dengan keraguan.
4.
الوِلاَيَةُ الخَاصَّةُ أَقْوَى مِنَ الوِلاَيَةِ العَامَّةِ
“Kekuasaan
yang khusus lebih kuat (kedudukannya) dari pada kekuasaan yang umum”
Dalam fikih siyasah, ada pembagian kekuasaan sejak zaman ke
khalifahan. Pembagian kekuasaan itu terus berkembang, maka muncul berbagai
lembaga kekuasaan dalam suatu Negara. Maksud kaidah di atas adalah bahwa
kekuasaan lembaga-lembaga yang khusus lebih kuat kekuasaannya dari pada lembaga
umum[4].
Contohnya: Ketua RT lebih kuat kekuasaannya dalam wilayahnya dari
pada kepala desa, wali kelas lebih kuat kekuasaannya dalam kelasnya dari pada
kepala sekolah atau wali nasab lebih kuat kekuasaannya terhadap anaknya dari
pada wali hakim (dalam masalah pernikahan).
5.
لاَيُقْبَلُ فِي دَارِ الإِسْلَامِ العُذْرُ بِجَهْلِ الأَحْكَامِ
“Tidak
diterima di negeri muslim, pernyataan tidak tahu hukum”
Sudah barang tentu yang dimaksud tidak tahu hukum di sini adalah
hukum yang bersifat umum karena masyarakat semestinya mengetahui, seperti hukum
mentaati ulil amri adalah wajib, zakat itu wajib, dan lain sebagainya.
Contohnya: Tidak ada alasan bagi para pengendara sepeda motor tidak mempunyai
SIM dengan alasan tidak mengetahui kewajiban memilikinya, karena kewajiban
memiliki SIM adalah hal yang pasti diketahui secara umum[5].
6.
الأَصْلُ فِي العَلاَقَةِ السِّلْمُ
“Hukum
asal dalam hubungan antar negara adalah perdamaian”
Ajaran Islam baik dalam hubungan antar manusia, maupun antar negara
adalah perdamaian. Perang hanya dilakukan untuk mempertahankan diri dari
aggressor. Perang bersifat temporer dan dilakukan ketika satu-satunya
penyelesaiannya adalah perang. Perang itu dalam keadaan darurat. Oleh karena
itu, harus memenuhi persyaratan darurat. Apabila terpaksa terjadi perang, harus
diupayakan untuk kembali kepada perdamaian baik dengan cara penghentian
sementara, perjanjian, atau dengan melalui lembaga arbitrase. Contohnya:
Apabila terjadi perselisihan antara pemimpin, maka alangkah baiknya ambil jalan
damai dengan dibicarakan baik-baik.
7.
كُلُّ مُبِيْعٍ لَمْ يَصِحُّ فِي دَارِالإِسْلَامِ لَمْ يَصِحُّ فِي
دَارِ الحَرْبِ
“Setiap
barang yang tidak sah dijual belikan di negeri Islam maka tidak sah pula
dilakukan di negeri harbi”
Negeri harbi adalah negara yang sedang berperang dengan negara
Islam. Kaidah ini dipegang oleh mazhab Maliki dan Syafi’i. Kaidah ini berkaitan
dengan teori Nasionalitas. Artinya, di mana pun berada, barang-barang haram
tetap haram hukumnya. Contonya: Dimana pun seorang muslim berada, yang namanya
berjualan babi haram hukumnya untuk diperjualbelikan.
8.
العَقْدُ يُرْعَى مَعَ الكَافِرِ كَمَا يُرْعَى مَعَ المُسْلِمِ
“Setiap
perjanjian dengan orang nonmuslim harus dihormati seperti dihormatinya
perjanjian sesama muslim”
Kaidah
ini berlaku dalam akad, perjanjian, atau transaksi antara individu muslim dan
nonmuslim dan antara negeri muslim dan negeri nonmuslim secara bilateral atau
unilateral[6].
Contohnya: Apabiala seorang muslim berjanji kepada yang nonmuslim, maka ia
wajib menepati janjinya, meskipun dia nonmuslim. Karena janji adalah hutang.
9.
الجِبَايَةُ بِالحِمَايَةِ
“Pungutan
harus disertai dengan perlindungan”
Kaidah ini menegaskan bahwa setiap pungutan berupa harta dari
rakyat, baik berupa zakat, rikaz, ma’dun, kharaj (pajak tanah bagi nonmuslim),
wajib disertai dengan perlindungan dari pemerintah kepada warga yang sudah
mengeluarkan apa yang dipungut tadi. Pemerintah tidak punya hak untuk memungut
tanpa melindungi rakyatnya. Apabila tidak ada perlindungan dari pemerintah
terhadap rakyatnya, maka pemerintah tidak berhak memungut apa pun dari
rakyatnya. Yang dimaksud dengan perlindungan disini adalah rakyat harus
dilindungi hartanya, darahnya, dan kehormatannya, termasuk didalamnya
menciptakan kondisi keamanan yang menyeluruh agar bisa berusaha, bekerja dalam
lapangan kerja yang halal, serta membangun sarana dan prasarana untuk
kesejahteraan rakyatnya[7].
Contonya:
Di suatu komplek perumahan membayar seorang penjaga keamanan untuk menjaga
komplek tersebut, maka penjaga keamanan itu wajib menjalankan tugasnya untuk
menjaga komplek tersebut, karena itu sebuah amanah dari warga komplek.
10. الخُرُوجُ مِنَ
الخِلَافِ مُسْتَحَبٌ
“Keluar
dari perbedaan pendapat adalah disenangi”
Dalam kehidupan bersama sering terjadi perbedaan pendapat.
Perbedaan pendapat ini penting dalam memberi alternatif pemecahan masalah.
Tetapi, berupaya untuk mencari jalan agar dapat diperoleh kesepakatan adalah
disenangi yang awalnya terjadi perbedaan pendapat. Hal ini tidak lain adalah
agar kehidupan masyarakat menjadi tenang kembali. Kaidah ini berdasarkan Sabda
Nabi saw: “Maka barang siapa menjaga diri dari syubhat (seperti perbedaan
pendapat misalnya), maka ia telah mencari kebersihan untuk agama dan
kehormatannya” (Muttafaq alaih) Contohnya: Dalam suatu permusyawarahan terdapat
perbedaan pendapat, maka alangkah bagusnya berupaya untuk menemukan kesamaan
sehingga tidak terjadi perbedaan pendapat.
11. مَا لاَيُدْرَكُ
كُلُّهُ لاَيُتْرَكُ كُلُّهُ
“Apa
yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya”
Kaidah ini menyatakan bahwa apabila suatu keputusan yang baik sudah
diambil, tetapi dalam pelaksanaannya banyak hambatan, maka tidak berarti harus
meninggalkan seluruhnya. Akan tetapi, apa yang dapat dilaksanakan itulah yang
dikerjakan sesuai dengan kesempatan dan kemampuan yang ada. Contohnya:
Pemberantasan tindak pidana pencurian oleh aparat kepolisian, tentu saja
kepolisian, tidak bisa memberantas pencurian semuanya, namun kepolisian harus
tetap menjalankan tugasnya semaksimal mungkin.
12. لَهُمْ مَالَنَا
وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَيْنَا
“Bagi
mereka ada hak seperti hak-hak yang ada pada kita dan terhadap mereka dibebani
kewajiban seperti beban kewajiban terhadap kita”
Kaidah di atas menegaskan adanya persamaan hak dan kewajiban di
antara sesama warga Negara yang dilandasi oleh moral ukhuwah wathaniyah (cinta
tanah air), meskipun mereka berbeda warna kulit, bahasa, dan budaya serta
kekayaannya. Ulama menggunakan kaidah di atas dalam konteks hubungan antar
warga Negara muslim dan dzimmi (kafir
dzimmi). Mereka berkedudukan sama di hadapan penguasa dan hukum. Contohnya: Mau
dia kaya, miskin, atau pun pejabat yang bertempat tinggal di Indonesia apabila
dia melakukan pencurian atau pembunuhan maka dia dikenai hukuman yang berlaku.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Siyasah adalah
ilmu pemerintahan untuk mengendalikan tugas dalam negeri dan luar negeri, yaitu
politik dalam negeri dan politik luar negeri serta kemasyarakatan, yakni
mengatur kehidupan atas dasar keadilan dan istiqamah. Ada beberapa kaidah fikih
mengenai siyasah, seperti kita ketahui bahwa kaidah merupakan landasan
atau dasar.
Dengan demikian
dari pembahasan di atas tentang kaidah-kaidah yang berhubungan dengan
siyasah/politik/kekuasaan (pemerintahan) maka penulis mengambil kesimpulan
bahwa seorang pemimpin yang baik harus mengetahui keadaan warganya, dan membuat
peraturan-peraturan yang bisa mengangkat martabat warganya sehingga menjadi
lebih baik lagi. Apabila tidak bisa melakukan sesuatu, maka jaganlah
ditinggalkan semuanya dan tetap melakukan untuk kebaikan rakyat secara
semaksimal mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
A. Djazuli. 2007. Kaidah-Kaidah Fikih Islam (kaidah-kaidah hukum
Islam dalam
menyelesaikan masalah-masalah yang praktis) Jakarta: Kencana.
Musbikin, Imam. 2001. Qawa’id Al-Fiqhiyah. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
[1] Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001,hal.124
[2] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih Islam (kaidah-kaidah hukum
Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah yang praktis), Jakarta: Kencana, 2007,
hal. 148.
[3] Ibid.,hal.149
[4] Ibid.,hal.149
[5] Ibid
[6] Ibid,
No comments:
Post a Comment