1

loading...

Kamis, 27 Juni 2019

MAKALAH KEWARGANEGARAAN "LAHIRNYA UU NO. 07 TAHUN 1989"


MAKALAH KEWARGANEGARAAN 

"LAHIRNYA UU NO. 07 TAHUN 1989"


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perkembangan hukum Islam di Indonesia terbagi kedalam beberapa masa yakni peratama, masa sebelum pemerintahan kolonial Belanda yang disana pada waktu itu pemerintahan berbentuk kerajaan. Kedua, masa pemerintahan kolonial Belanda. Ketiga, masa penjajahan Jepang. Keempat, pada masa kemerdekaan (1945-1974). Kelima, pasca kemerdekaan setelah diundangkannya UU No. 1 tahun 1974. Di Negara yang baru merdeka terdapat gejala umum, yaitu munculnya kehendak untuk menghapuskan hukum yang diwariskan oleh penjajah. Hukum yang diwariskan kolonial itu diganti dengan hukum yang dianggap cocok dengan alam kemerdekaan, yang digali dari nilai-nilai yang dianut oleh massyaraka dan hukum penggantinya itu dianggap mampu menampung dan mengikuti perubahan yang dialami masyarakat dalam negara itu. Perkembangan peradilan itu merupakan perubahan yang memiliki makna perluasan dan terdapat penambahan dari berbagi aspek, dimulai dari aspek yang berkenaan dengan kedudukan peradilan sampai kepada hukum acara yang dijadikan sebagai landasan dalam penerimaan, pemeriksaan, putusan dan penyelesaian perkara. Berbicara tentang Peradilan Agama sebenarnya kita sedang membicarakan sejarah penegakan hukum Islam di Indonesia. Penegakan hukum di tanah air telah dilakukan oleh masyarakat Islam sejak Islam dianut oleh masyarakat Nusantara. Hukum Islam memiliki kedudukan sendiri dalam massyarakat disamping kebiasaan adat penduduk yang tambah berkembang dalam masyarakat. Lain dari pada itu, dilihat dari kedudukan Peradilan Agama mulai dari masa sebelum colonial sampai kepada munculnya UU No. 7 tahun 1989, terjadi pasang surut baik dari segi kedudukannya ataupun kekuasaan pengadilan dalam pengambilan keputusan. Sebagai salah satu perwujudan politik hukum yang diambil oleh penguasa Negara melalui interaksi dikalangan elite politik nasional perkembangan itu merupakan suatu perubahan yang memiliki makna perluasan ataupun penambahan, yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Aktualisasi perkembangan itu di uji dalam cakupan yang lebih luas yaitu dalam peranan yang dimainkan oleh badan peradilan sesuai kedudukannya. Berangkat dari sinilah kami menulis makalah ini sebagai sarana menambah pengetahuan sejarah perkembangan Peradilan Agama serta kedudukan serta kewenangangnya pada saat itu di Indonesia yang diberi judul "Kedudukan Kewenangan Peradilan Agama Lahirnya UU. No. 7 1989 tentang Peradilan Agama dan Lahirnya Kompilasi Hukum Islam dalam tatanan Masyarakat Majemuk".

   B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana proses perancangan UU No. 07 Tahun 1989?
2.      Bagaimana Lahirnya UU No. 07 Tahun 1989?
3.      Apa saja yang berubah setelah lahirnya UU No. 07 Tahun 1989?

   C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui bagaimana proses perancangan UU No. 07 Tahun 1989.
2.      Untuk mengetahui bagaimana Lahirnya UU No. 07 Tahun 1989.
3.      Untuk mengetahui apa saja yang berubah setelah lahirnya UU No. 07 Tahun 1989

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Proses Perancangan UU No. 07 Tahun 1989
Bila kita membicarakan Peradilan Agama sebenarnya kita sedang membicarakan sejarah penegakan hukum Islam di Indonesia. Penegakan hukum Islam di Tanah Air kita telah dilakukan oleh masyarakat Islam sejak Islam diaut oleh penduduk Nusantara ini. Setelah kerajaan-kerajaan Islam berdiri diberbagai bagian kepulauan kita, kerajaan-kerajaan itu mendirikan lembaga peradilan untuk menegakkan hukum Islam yang merupakan bagian agama Islam. Misalnya, sebagai contoh: di Kerajaan Pasai, Kesultanan Aceh, Jambi, Palembang, Demak, Mataram, dan Kerajaan-kerajaan Islam lain. Sejarah telah mencatat pula bahwa sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam mempunyai kedudukan sendiri dalam masyarakat. Sebagai hukum berdiri sendiri, hukum Islam yang berlaku bagi umat Islam itu tumbuh dan berkembang dalam masyarkat di samping kebiasaan atau adat penduduk.
Usaha awal mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama telah dimulai sejak tahun 1971, dalam rangka melaksanakan perintah Pasal 12 Undang-Undang tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai pelaksanaan pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945. Sehubungan dengan hal tersebut pada tahun 1982, pemerintah membentuk Tim Inti Pembahasan dan Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Acara Peradilan Agama serta RUU tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Peradilan Agama. Tim ini bekerja di Badan Pembinaan HukumNasional Departemen Kehakiman, beranggotakan unsur-unsur dari Mahkamah Agung (Imam Anis Busthanul Arifin), Departemen Kehakiman (Santoso Poedjosoebarto), BPHN (Nur Aini Barda’i, dan Wahiduddin Adam), Departemen Agama (Muchtar Zarkasyi). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (Ny. Habibah Daud), Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah (A. Wasit Aulawi dan Asro Sosroatmodjo). Tim yang diketuai oleh Hakim Agung, kemudian diganti oleh Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Agama ini, berhasil menyelesaikan tugasnya pada bulan Maret 1984 denga menyusun dua Rancangan Undang-Undang yaitu Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama (yang terdri dari 204 pasal), dan rancangan Undang-Undang tentang susunan dan kekuasaan Badan-badan Peradilan Agama (58 pasal). Jumlah pasal dalam kedua Rancangan Undang-Undang tersebut telah disatukan dan diringkaskan oleh tim lain menjadi Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama yang memuat hanya 108 pasal saja, rancangan yang tersebut terakhir inilah yang diproses di dalam Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Ada perbedaan fundamental antara Rancangan Undang-Udang yang dibuat oleh Tim Inti tersebut denga Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama yang sekarang ini, terutama mengenai kekuasaan atau wewenang Pengadilan Agama. Masalah wewenang Pengadilan Agama ini adalah masalah inti dalam Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama itu, karena ia merupakan jantung Pengadilan Agama perlu dicatat bahwa setelah RUU ini menjadi undang-undang kelak banyak hal yang akan dicapai dalam sistem hukum dan sistem peradilan nasional Indonesia. Diantaranya seperti:
1.      Terlaksananya ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman terutama yang disebut dalam pasal 10 ayat (1) dan Pasal 12, dalam rangka melaksanakan Pasal 24 Undang- Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.
2.      Terjadi pembaruan dan pembangunan hukum dalam makna peningkatan dan penyempurnaan perangkat hukum nasional dibidang peradilan agama sebagai bagian dari sistem peradilan nasional.
3.      Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman dalam lingkungan Peradilan Agama, Pengadilan Agama akan mampu secara mandiri melaksanakan keputusan- keputusannya karena selain dari telah mempunyai hukum acara sendiri juga telah mempunyai kelengkapan juru sita sebagai pelaksana putusan-putusannya.
4.      Kedudukannya benar-benar (akan) sama dan sederajatnya dengan pengadilan- pengadilan dalam lingungan peradilan umum, militer, dan tata usaha negara.
5.      Mempunyai wewenang yang sama di seluruh Indonesia.
6.      Terjadi unifikasi hukum acara Peradilan Agama, yang memungkinkan terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
7.      Lebih memantapkan usaha penggalian berbagai asas dan kaidah hukum Islam melalui yurisprudensi yang akan dijadikan salah satu bahan baku dalam penyusunan dan pembangunan hukum nasional.[1]

B.     Lahirnya UU Nomor 7 Tahun 1989
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 disahkan dan diundangkan tanggal 29 Desember 1989. Kemudian ditempatkan dalam Lembaran Negara RI Nomor 49 tahun 1989 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3400. Isi UU Nomor 7 Tahun 1989 terdiri atas 7 Bab, meliputi 108 pasal. Ketujuh Bab itu adalah Ketentuan umum, Sususnan Pengadilan, Kekuasaan Pengadilan, Hukum Acara, Ketentuan- ketentuan lain, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup. Disamping itu, dimuat Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal demi Pasal. Ketika itu gancarnya tantangan dan hambatan yang datang baik dari perorangan maupun dari kelompok yang tidak menginginkan terwujudnya Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama itu menjadi undang-undang dengan berbagai alasan bahkan tuduhan yang tidak berdasar, sejak dari Keterangan Pemerintah mengenai RUU-PA itu disampaikan oleh Menteri Agama Rapat Paripurna DPR tanggal 28 Januari 1989 sampai dengan akhir bulan Agustus 1989, kehadiran Undang-Undang Peradilan Agama ini patutlah disyukuri. Selain disyukuri, agaknya lahirnya undang-undang dimaksud dapat pula dipandang sebagai amal jariah bersama penyelenggara negara dan warga negara yang telah berupaya memenuhi kebutuhan dasar umat Islam dengan menyediakan sarana atau fasilitas yang diperlukan umat Islam Indonesia untuk beribadah mematuhi ajaran agamanya dengan melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum islam yang sidebutkan dalam Undang-Undanf Peradilan Agama.
Hukum Islam adalah bagian Agama Islam, dirumuskan dengan tepat oleh orientasi terkemuka Christian Snouck Hurgronje “Islam is a religion of law in the full meaning of the word”. Artinya, lebih kurang, Islam adalah agam hukum dalam arti yang sebenarnya. Ini berarti bahwa agama Islam mengadung norma-norma 1 Basiq Djalil, Peradilan Agama di indonesia, hukum, baik kaidah-kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Tuhan Yang Maha Esa yang sepenuhnya dapat dilaksanakan oleh pemeluk agama Islam secara pribadi, maupun kaidah-kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam kehidupan masyarakat yang memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk dapat melkasanakan dengan sempurna, bermakna pula bahwa agama Islam dan hukum Islam tidak dapat dipisahkan. [2]
Dan kalau kenyataan ini dihubungkan dengan kata-kata “Negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut agamanyitu” seperti yang tercantum dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945, ini berarti pula bahwa negara menjamin, dalam makna memberi kesempatan kepada pemeluk agama Islam menaati hukum Islam yang menjadi bagian mutlak ajaran agamanya. Hukum Islam yang dimaksudkan adalah hukum perdata Islam yang disebutkan dalam Undang- Undang Peradilan Agama itu, terbatas hanya pada hukum perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sedekah yang telah menjadi bagian hukum positif di Tanah Air kita. Bahkan kemudian wewenang sebagai Peradilan Agama, seperti “Aceh” berkembang pada wewenang pidana. Susunan kekusasaan Undang-undang Peradilan Agama yang disahkan dan diundangkan itu terdiri dari 7 bab 108 pasal dengan sistematik sebagai berikut: Bab 1 tentang Ketentuan Umum, Bab 2-3 mengenai Susunan dan Kekuasaan Peradilan Agama, Bab 4 Hukum Acara, Bab 5 Ketentuan-ketentuan lain, Bab 6 Ketentuan Peralihan, dan Bab 7 Ketentuan Penutup. Bab 1 memuat ketentuan umum tentang pengertian, kedudukan, tempat kedudukan, dan pembinaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
Dalam pasal 49 ayat (1) disebutkan bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
1.      perkawinan;
2.      warisan wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
3.      wakaf dan sedekah.
Dalam penjelasan Undang-undang Peradilan Agama ini, pasal 49 ayat 1 diatas dinyatakan cukup jelas mengenai bidang perkawinan, pasal 49 ayat 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan. Pasal 49 ayat (2) ini dalam penjelasan diperinci lebih lanjut kedalam 202 butir 10 tentang penyelesaian harta bersama baik karena perceraian maupun atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan diluar sengketa. Dalam pasal 66 ayat (5) dan pasal 86 ayat (1) soal harta bersama ini dirumuskan dengan jelas bersama dengan permohonan atau gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, dan nafkah istri. Ini merupakan penting dan mendasar kalau dibandingkan dengan keadaan selama ini dimana soal harta bersama itu baru dapat dimajukan kemudian dan diselesaikan tidak oleh pengadilan agama tetapi oleh pengadilan negeri. Menurut pasal 49 ayat (3) kewenangan pengadilan agama dibidang kewarisan yang disebut dalam pasar 49 ayat (1) huruf B sebelumnya, adalah mengenai penentuan, siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penetuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut. Pasal 49 ayat (3) dan  penjelasan pasal demi pasal dinyatakan cukup jelas. Hanya, dalam penjelasan umum disebutkan bahwa para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang digunakan oleh dalam pembagian warisannya. Mempertimbangkan untuk memilih hukum yang digunakan dalam pembagian warisan adalah mempertimbangkan kemaslahatan ahli waris. Dalam pertimbangan kemaslahatan ahli waris sebelum berperkara, hukum Islam membuka peluang bagi ahli waris untuk berdamai, bermusyawarah untuk mencapai kata mufakat dalam menentukan perolehan masing-masing berdasarkan kerelaan, keikhlasan, dan kekeluargaan. Hukum acara diatur dalam Bab 4 Undang-Undang Peradilan Agama. bagian pertama mengatur hal-hal yang bersifat umum. Diantaranya disebutkan bahwa hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Sementara itu perlu dicatat pula bahwa di bagian Bab 5 ini disebutkan: tiap penetapan dan putusan peradilan agama dimulai dengan kalimat bismillahirrahmanirrahim diikuti dengan kata-kata demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bab 5 menyebut ketentuan-ketentuan lain mengenai administrasi peradilan, pembagian tugas para hakim, panitera dalam melaksanakan tugasnya masing- masing. Dengan Undang-undang Peradilan Agama ini, ketergantungan pengadilan agama kepada pengadilan negeri yang telah berlangsung selama 107 tahun di Jawa dan Madura, diakhiri melalui undang-undang ini pula semua aturan yang menentukan ketergantungan peradilan agama kepada peradilan umum, telah terhapuskan. Kini, peradilan agama tidak lagi seakan-akan “peradilan semu”, tetapi telah benar-benar menjadi peradilan mandiri. Bab 6 mengenai ketentuan peralihan. Dalam bab ini disebutkan antara lain bahwa (1) semua badan peradilan agama yang telah ada dinyatakan sebagai badan peradilan agama menurut undang-undang ini. Di seluruh Indonesia, peradilan agama itu berjumlah 321 buah, terdiri dari 303 pengadilan agama dan 18 pengadilan tinggi agama. ketentuan peradilan ini menyatakan pula bahwa (2) semua peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai peradilan agama dinyatakan tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan undang-undang ini dan selama ketentuan baru berdasarkan undang-undang ini belum dikeluarkan. Bab 7 tentang ketentuan penutup. Dalam bab terakhir ini ditegaskan bahwa pada saat mulai berlakunya Undang-Undang Peradilan agama, semua peraturan tentang peradilan agama di Jawa dan Madura, di sebagian (bekas) residensi Kalimantan Selatan dan Timur, dan di bagian lain wilayah Republik Indonesia, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, terciptalah pula kesatuan hukum yang mengatur peradilan agama diseluruh Indonesia, sebagai penerapan wawasan Nusantara.

C.    Perubahan Akibat Lahirnya UU No. 07 Tahun 1989
Secara umum isi UU No. 07 Tahun 1989 memuat beberapa perubahan tentang penyelenggaraan PADI, yaitu:
1.      Perubahan tentang dasar hukum penyelenggaraan PADI.
2.      Perubahan tentang kedudukan PADI dalam tata peradilan nasional.
3.      Perubahan tentang kedudukan hakim peradilan agama.
4.      Perubahan tentang kekuasaan pengadilan dalam lingkungan PADI.
5.      Perubahan tentang hukum acara peradilan agama.
6.      Perubahan tentang administrasi peradilan agama.
7.      Perubahan tentang perlindungan terhadap wanita.
Perubahan pertama tentang dasar hukum penyelenggaraan peradilan. Sebelum UU Nomor 7 tahun 1989 berlaku, dasar penyelenggaraan peradilan beraneka ragam. Sebagian merupakan produk pemerintah kolonial Belanda, dan sebagian produk pemerintah Republik IIndonesia.
Sejak berlakunya UU Nomor 7 Tahun 1989 semua peraturan perundang- undangan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, maka penyelenggaraan PADI didasarkan pada peraturan yang sama atau seragam. Penyeragaman itu dilakukan sebagai upaya penerapan konsep Wawasan Nusantara di bidang hukum, dan sebagai pelaksanaan politik hukum nasional sebagaimana diamanatkan di dalam GBHN. Penyeragaman tersebut juga dilakukan untuk mewujudkan penyelenggaraan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan, sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 Jo. UU Nomor 35 Tahun 1999.
Perubahan kedua tentang kedudukan pengadilan. Sebelum berlakunya UU Nomor 7 Tahun 1989 terdapat ketidaksejajaran antara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dengan pengadilan lainnya, khususnya dengan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Hal itu tercermin dengan adanya pranata pengukuhan putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri. Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1989 kedudukan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama sejajar dengan Pengadilan dalam lingkungan peradilan lainnya, khususnya dengan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Ketentuan pengukuhan putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri, sebagaimana diatur dalam pasal 63 Ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan dicabut. Dengan demikian, Pengadilan Agama memiliiki kemandirian untuk melaksanakan putusannya sendiri yang dilaksanakan oleh jurusita. Kejurusitaan merupakan pranata baru di dalam susunan organisasi Pengadilan Agama. Perubahan ketiga tentang kedudukan hakim. Menurut ketentuan pasal 15 ayat (1), Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri Agama berdasarkan persetujuan Mahkamah Agung. Hal yang sama berlaku bagi hakim dalam lingkungan Peradilan Umum dan hakim dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam menjalankan tugasnya, hakim memiliki kebebasan untuk membuat keputusan, terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh pihak lainnya. Perubahan keempat tentang wewenang pengadilan. Perubahan kelima tentang hukum acara. Menurut ketentuan pasal 54, hukum acara yang berlau pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Hal itu menunjukkan bahwa hukum acara yang berlaku adalah hukum tertulis, disamping adanya kekecualian dan kekhususan yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1989. Meskipun tidak semua ketentuan tentang Hukum Acara Peradilan Agama yang dimuat dalam Undang-undang ini, tetapi hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 54 yang menjelaskan bahwa, “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.” Oleh karena itu, disamping Hukum Acara Perdata yang diatur dalam HIR dan RB.g, terdapat pula beberapa pasal atau ketentuan lainnya yang berisi Hukum Acara Perdata berupa pasal-pasal, seperti yang tercantum dalam Bab IV tersebut4 Perubahan keenam tentang penyelenggaraan administrasi peradilan. Di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama terdapat dua jenis administrasi, yaitu administrasi peradilan dan administrasi umum. Jenis pertama berkenaan dengan adminintrasi perkara dan teknis yudisia; sedangkan jenis kedua berkenaan dengan administrasi kepegawaian, keuangan dan umum. Oleh karena itu, di pengadilan terdapat dua jenis jabatan pengelola kedua jenis adminitrasi itu dikelola oleh Panitera yang merangkap sebagai Sekretaris Pengadilan. Secara khusus, administrasi peradilan dikelola oleh wakil Panitera, sedangkan administrasi umum dikelola oleh Wakil Sekretaris. Sebelum berlakunya UU tersebut administrasi pada pengadilan bercorak tunggal, dan dikelola oleh Panitera Kepala. Perubahan ketujuh tentang perlindungan terhadap wanita.[3]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Usaha awal mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama telah dimulai sejak tahun 1971, dalam rangka melaksanakan perintah Pasal 12 Undang-Undang tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai pelaksanaan pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945. Sehubungan dengan hal tersebut pada tahun 1982, pemerintah membentuk Tim Inti Pembahasan dan Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Acara Peradilan Agama serta RUU tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Peradilan Agama. - Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 disahkan dan diundangkan tanggal 29 Desember 1989. Kemudian ditempatkan dalam Lembaran Negara RI Nomor 49 tahun 1989 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3400. Isi UU Nomor 7 Tahun 1989 terdiri atas 7 Bab, meliputi 108 pasal. Dengan sistematik sebagai berikut: Bab 1 tentang Ketentuan Umum, Bab 2-3 mengenai Susunan dan Kekuasaan Peradilan Agama, Bab 4 Hukum Acara, Bab 5 Ketentuan-ketentuan lain, Bab 6 Ketentuan Peralihan, dan Bab 7 Ketentuan Penutup. - Secara umum isi UU No. 07 Tahun 1989 memuat beberapa perubahan tentang penyelenggaraan PADI, yaitu: perubahan tentang dasar hukum penyelenggaraan padi, perubahan tentang kedudukan padi dalam tata peradilan nasional, perubahan tentang kedudukan hakim peradilan agama, perubahan tentang kekuasaan pengadilan dalam lingkungan padi, perubahan tentang hukum acara peradilan agama, perubahan tentang administrasi peradilan agama, perubahan tentang perlindungan terhadap wanita.


[1] Bisri, Cik Hasan. 2003. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

[2] Rosadi, Ade. 2015. Peradilan Agama di Indonesia Dinamika Pembentukan Hukum. Bandung: Simbiosa Pratama Media.

[3] Djalil, Basiq. 2010. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana.              

MAKALAH PSIKOLOGI PENDIDIKAN "AKTIVITAS BELAJAR"


MAKALAH

PSIKOLOGI PENDIDIKAN
"AKTIVITAS BELAJAR"

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Psikologi merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang membahas mengenai masalah kejiwaan manusia. Dalam dunia pendidikan,  ilmu psikologi ini digunakan untuk membantu mengenali jiwa anak didik dari tiga aspek yaitu kognitif, afektif dan psikomotor agar dalam proses belajar mengajar semakin lancar. Hubungan psikologi dengan pendidikan dan pembelajaran sangat erat sekali, karena dengan mempelajari ilmu kejiwaan seorang guru dapat memberikan pendidikan dan pembelajaran sesuai dengan perkembangan peserta didik. Artinya, psikologi digunakan sebagai pedoman dalam memberikan materi pendidikan dan pembelajaran. Sehingga yang menjadi tujuan dalam pendidikan dan pembelajaran akan mudah tercapai.
Adanya perubahan paradigma pendidikan saat ini menuntut adanya perubahan proses pembelajaran di dalam kelas. Peran guru saat ini diarahkan untuk menjadi fasilitator yang dapat membantu siswa dalam belajar, bukan sekedar menyampaikan materi saja. Guru harus mampu melibatkan siswa dalam kegiatan pembelajara secara optimal. Menurut Rusman (2011: 323) pembelajaran akan lebih bermakna jika siswa diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas kegiatan pembelajaran, sehingga siswa mampu mengaktu-alisasikan kemampuannya di dalam dan di luar kelas.
Tugas utama seorang guru adalah membelajarkan siswa. Hal ini berarti bahwa bila guru  mengajar, maka diharapkan siswa mampu mengikuti kegiatan pembelajaran tersebut dalam arti lain siswa ikut berperan aktif. Sebagai guru yang professional, hendaknya guru memilih metode dan media yang tepat untuk digunakan anak dalam belajar. Guru juga harus mengerti segala aktivitas yang dilakukan muridnya karena sebagian besar waktu seorang guru adalah bersama muridnya. Jika ada aktivitas belajar anak yang kurang sesuai guru mengarahkan dan membimbing siswanya kepada aktivitas belajar yang dikehendaki.

Seorang guru juga harus tahu apa keinginan siswanya dan faktor- faktor apa saja yang dapat mempengaruhi anak dalam aktivitas belajarnya. Karena dengan demikian, guru dapat menyusun strategi yang tepat untuk pembelajarannya dan secara otomatis apa yang menjadi tujuan pembelajaran dapat tercapai secara maksimal. Oleh karena itu, dalam makalah ini dipaparkan secara jelas mengenai segala aktivitas tentang belajar serta faktor- faktor yang mempengaruhinya.

B. Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian dari aktivitas belajar ?
2.      Apakah yang termasuk dalam aktivitas belajar ?
3.      Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi aktivitas belajar ?

C. Tujuan Penulisan
1.      Menjelaskan pengertian dari aktivitas belajar.
2.      Mengkualifikasikan beberapa aktivitas belajar.
3.      Memaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas belajar.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Aktivitas Belajar
v  Pengertian aktivitas menurut para ahli:
a.    Menurut Anton M. Mulyono, aktivitas artinya “kegiatan atau keaktifan”. Jadi segala sesuatu yang dilakukan atau kegiatan-kegiatan yang terjadi baik fisik maupun non-fisik, merupakan suatu aktifitas.
b.   Menurut W.J.S. Poewadarminto aktifitas adalah kegiatan atau kesibukan.
c.    Menurut Sriyono, aktivitas adalah segala kegiatan yang dilaksanakan baik secara jasmani atau rohani.
Pengertian belajar menurut para ahli:
d.   Menurut Oemar Hamalik, belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan. Aspek tingkah laku tersebut adalah: pengetahuan, pengertian, kebiasaan, keterampilan, apresiasi, emosional, hubungan sosial, jasmani, etis atau budi pekerti dan sikap.
e.     Menurut Sardiman A.M, belajar merupakan suatu proses interaksi antara diri manusia dengan lingkungannya yang mungkin berwujud pribadi, fakta, konsep ataupun teori.
f.    Menurut H. Carl. Witherington dalam bukunya Drs.Mahfud Shalahuddin yang berjudul "pengantar psikologi pendidikan", belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian, yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari reaksi yang berupa kecakapan, sikap,kebiasaan,kepandaian, atau suatu pengertian.
g.   Menurut Hilgard dalam bukunya S. Nasution, yang berjudul Dedaktik Asas-Asas Belajar, belajar adalah proses yang melahirkan atau mengubah suatu kegiatan melalui jalan latihan (apakah dalam laboratorium atau dalam lingkungan alamiah) yang dibedakan dari perubahan-perubahan oleh faktor-faktor yang tidak termasuk latihan.

Dari pengertian-pengertian para ahli diatas   dapat disimpulkan bahwa aktivitas belajar merupakan   suatu   proses   kegiatan   belajar siswa yang menimbulkan perubahan-perubahan atau pembaharuan dalam tingkah laku atau kecakapan. Sedangkan belajar aktif merupakan suatu sistem belajar mengajar yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental intelektual dan emosional guna memperoleh hasil belajar berupa perpaduan antara aspek koqnitif, afektif dan psikomotor.
Keaktifan siswa selama proses belajar mengajar merupakan salah satu indikator adanya keinginan atau motivasi siswa untuk belajar. Siswa dikatakan memiliki keaktifan apabila ditemukan ciri-ciri perilaku seperti sering bertanya kepada guru atau siswa lain, mau mengerjakan tugas yang diberikan guru, mampu menjawab pertanyaan, senang diberi tugas belajar, dan lain sebagainya.
Seorang pakar pendidikan, Trinandita (1984) menyatakan bahwa hal yang paling mendasar yang dituntut dalam proses pembelajaran adalah keaktifan siswa. Keaktifan siswa dalam proses pembelajaran akan menyebabkan interaksi yang tinggi antara guru dengan siswa ataupun dengan siswa itu sendiri. Hal ini akan mengakibatkan suasana kelas menjadi segar dan kondusif, dimana masing - masing siswa dapat melibatkan kemampuannya semaksimal mungkin. Aktivitas yang timbul dari siswa akan mengakibatkan pula terbentuknya pengetahuan dan keterampilan yang akan mengarah pada peningkatan prestasi.
Aktivitas merupakan prinsip atau asas yang sangat penting didalam interaksi belajar-mengajar. Dalam aktivitas belajar ada beberapa prinsip yang berorientasi pada pandangan ilmu jiwa, yakni menurut pandangan ilmu jiwa lama dan ilmu jiwa modern. Menurut pandangan ilmu jiwa lama aktivitas didominasi oleh guru sedang menurut padangan ilmu jiwa modern, aktivitas didominasi oleh siswa. Aktivitas belajar merupakan hal yang sangat penting bagi siswa, karena
memberikan kesempatan kepada siswa untuk bersentuhan dengan obyek yang
sedang dipelajari seluas mungkin, karena dengan demikian proses konstruksi
pengetahuan yang terjadi akan lebih baik. Aktivitas belajar diperlukan aktivitas,
sebab pada prinsipnya belajar adalah berbuat mengubah tingkah laku, jadi
melakukan kegiatan. Tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas.
B. Klasifikasi Aktivitas Belajar
Dalam pembelajaran perlu diperhatikan bagaimana keterlibatan siswa dalam pengorganisasian pengetahuan, apakah mereka aktif atau pasif. Banyak jenis aktivitas yang dapat dilakukan oleh siswa selama mengikuti pembelajaran. Berkenaan dengan hal tersebut Paul B. Dierich (dalam Sardiman, 2004: 101) menggolongkan aktivitas siswa dalam pembelajaran antara lain sebagai berikut:
1.      Kegiatan- kegiatan visual (Visual activities).
Membaca, melihat gambar-gambar, mengamati eksperimen, demonstrasi, pameran, dan mengamati orang lain bekerja dan bermain.
2.      Kegiatan- kegiatan lisan (oral/ Oral Activities)
Mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, wawancara, diskusi dan interupsi.
3.      Kegiatan-kegiatan mendengarkan (Listening Activities).
Mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan suatu permainan, mendengarkan radio.
4.      Kegiatan-kegiatan Menulis (Writing Activities).
Menulis cerita, menulis laporan, memeriksa karangan, membuat rangkuman, mengerjakan tes dan mengisi angket.
5.      Kegiatan-kegiatan menggambar (Drawing Activities).
Menggambar, membuat grafik, chart, diagram, peta dan pola.
6.      Kegiatan-kegiatan motorik (Motor Activities).
Melakukan percobaan, memilih alat-alat, melaksanakan pameran, membuat model, menyelenggarakan permainan, menari dan berkebun.
7.      Kegiatan-kegiatan mental (Mental Activities).
mengingat, memecahkan masalah, menganalisis faktor-faktor, melihat hubungan-hubungan dan membuat keputusan.
8.      Kegiatan- kegiatan emosional (Emotional Activities), seperti misalnya, merasa bosan, gugup, melamun, berani, tenang.

Penjabaran dari aktivitas- aktivitas belajar di atas adalah sebagai berikut.
1. Mendengarkan                        
Mendengarkan adalah salah satu aktivitas belajar. Setiap orang yang belajar di sekolah pasti ada aktivitas mendengarkan. Ketika seorang guru menggunakan metode ceramah, maka setiap siswa atau mahasiswa diharuskan mendengarkan apa yang guru (dosen) sampaikan. Tidak dapat disangkal bahwa aktivitas mendengarkan adalah aktivitas belajar yang diakui kebenarannya dalam dunia pendidikan dan pengajaran dalam pendidikan formal persekolahan, ataupun non-formal.
2. Memandang
Memandang adalah mengarahkan penglihatan ke suatu objek. Aktivitas memandang berhubungan erat dengan mata. Karena dalam memandang itu matalah yang memegang peranan penting. Dalam pendidikan, aktivitas memandang terrnasuk dalam kategori aktivitas belajar. Tapi perlu diingat bahwa tidak semua aktivitas memandang berarti belajar. Aktivitas memandang dalam arti belajar di sini adalah aktivitas memandang yang bertujuan sesuai dengan kebutuhan untuk mengadakan perubahan tingkah laku yang positif. Aktivitas memandang tanpa tujuan bukanlah termasuk perbuatan belajar. Meski pandangan tertuju pada suatu objek, tetapi tidak adanya tujuan yang ingin dicapai, maka pandangan yang demikian tidak termasuk belajar.
3. Meraba, membau, dan mencicipi/ mengecap
Aktivitas meraba, membau, dan mengecap adalah indra manusia yang dapat dijadikan sebagai alat untuk kepentingan belajar. Artinya aktivitas meraba, membau, dan mengecap dapat memberikan kesempatan bagi seseorang untuk belajar. Tentu saja aktivitasnya harus disadari oleh suatu tujuan. Dengan demikian, aktivitas-aktivitas meraba, aktivitas membau, ataupun aktivitas mengecap dapat dikatakan belajar, apabila semua aktivitas itu didorong oleh kebutuhan, motivasi untuk mencapai tujuan dengan menggunakan situasi tertentu untuk memperoleh perubahan tingkah laku.


4. Menulis atau mencatat
Menulis atau mencatat merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari aktivitas belajar. Tetapi tidak setiap mencatat adalah belajar. Aktivitas mencatat yang bersifat menurut, menciplak atau mengcopy tidak dapat dikatakan sebagai aktivitas belajar. Mencatat yang termasuk sebagai aktivitas belajar yaitu apabila dalam mencatat itu orang menyadari kebutuhan dan tujuannya, serta menggunakan seperangkat tertentu agar catatan itu nantinya berguna bagi pencapaian tujuan belajar. Dalam mencatat tidak sekadar mencatat, tetapi mencatat yang dapat menunjang pencapaian tujuan belajar. Catatan sangat berguna untuk menampung sejumlah informasi, yang tidak hanya bersifat fakta-fakta, melainkan juga terdiri atas materi hasil analisis dari bahan bacaan.
5. Membaca
Aktivitas membaca adalah aktivitas yang paling banyak dilakukan selama belajar di sekolah atau di perguruan tinggi. Membaca di sini tidak mesti membaca buku belaka, tetapi juga membaca majalah, koran, tabloid, jurnal-jurnal hasil penelitian, catatan hasil belajar atau kuliah, dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan kebutuhan studi. Kalau belajar adalah untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, maka membaca adalah jalan menuju ke pintu ilmu pengetahuan. Ini berarti untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tidak ada cara lain yang harus dilakukan kecuali memperbanyak membaca.
Cara dan teknik seseorang dalam membaca selalu menunjukkan perbedaan pada hal-hal tertentu. Oleh karena itu, wajarlah bila belajar itu suatu seni, sama halnya mengajar adalah seni (teaching as an art). Ada orang yang membaca buku sambil tidur-tiduran dapat belajar dengan baik, ada orang yang membaca buku sambil mendengarkan radio dapat belajar dengan baik, ada orang yang membaca buku tanpa suara dapat belajar dengan baik, ada orang yang membaca buku dengan suara dapat belajar dengan baik, ada orang yang membaca buku di antara keributan dapat belajar dengan baik, dan sebagainya. Pendek kata, orang membaca buku dengan berbagai cara agar dapat belajar. Dengan demikian, pemahaman atas diri sendiri sangat penting, sehingga dapat memilih teknik yang mana yang lebih sesuai dengan karakteristik pribadi, dengan tidak mengabaikan pola-pola umum dalam belajar.
6. Membuat ikhtisar atau ringkasan dan menggaris bawahi
Banyak orang yang merasa terbantu dalam belajarnya karena menggunakan ikhtisar-ikhtisar materi yang dibuatnya. Ikhtisar atau ringkasan ini memang dapat membantu dalam hal mengingat atau mencari kembali materi dalam buku untuk masa-masa yang akan datang. Untuk keperluan belajar yang intensif, bagaimanapun juga hanya membuat ikhtisar adalah belum cukup. Sementara membaca, pada hal-hal yang penting perlu diberi garis bawah (underlining). Hal ini sangat membantu dalam usaha menemukan kembali materi itu di kemudian hari, bila diperlukan.
7. Mengamati tabel-tabel, diagram-diagram dan bagan-bagan
Dalam buku ataupun di lingkungan lain sering dijumpai table-tabel, diagram, ataupun bagan-bagan. Materi non-verbal semacam ini sangat berguna bagi seseorang dalam mempelajari materi yang relevan. Demikian pula gambar-gambar, peta-peta, dan lain-lain dapat menjadi bahan ilustratif yang membantu pemahaman seseorang tentang sesuatu hal. Semua tabel, diagram, dan bagan dihadirkan di buku tidak lain adalah dalam rangka memperjelas penjelasan yang penulis uraikan. Dengan menghadirkan tabel, diagram, atau bagan dapat menumbuhkan pengertian dalam waktu yang relatif singkat.
8. Menyusun paper atau kertas kerja
Dalam menyusun paper tidak bisa sembarangan, tetapi harus metodologis dan sistematis. Metodologis artinya menggunakan metode¬metode tertentu dalam penggarapannya. Sistematis artinya menggunakan kerangka berpikir yang logis dan kronologis.
9. Mengingat
Mengingat adalah salah satu aktivitas. Ingatan adalah kemampuan jiwa untuk memasukkan (learning), menyimpan (retention) dan menimbulkan kembali (remembering) hal-hal yang telah lampau. Jadi, mengenai ingatan tersebut ada tiga fungsi, yaitu: memasukkan, menyimpan, dan mengangkat kembali ke alam sadar. Ingatan (memory) seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sifat seseorang, alam sekitar, keadaan jasmani, keadaan rohani (jiwa), dan umur seseorang.
10. Berpikir
Berpikir adalah termasuk aktivitas belajar. Dengan berpikir orang memperoleh penemuan baru, setidak-tidaknya orang meniadi tahu tentang hubungan antara sesuatu. Berpikir bukanlah sembarang berpikir, tetapi ada taraf tertentu, dari taraf berpikir yang rendah sampai taraf berpikir yang tinggi.

11. Latihan atau praktek
Learning by doing adalah konsep belajar yang menghendaki adanya penyatuan usaha mendapatkan kesan-kesan dengan cara berbuat. Belajar sambil berbuat dalam hal ini termasuk latihan. Latihan termasuk cara yang baik untuk memperkuat ingatan. Misalnya, seseorang yang mempelajari rumus matematika atau rumus bahasa Inggris. Kemungkinan besar rumus-rumus itu akan mudah terlupakan bila tidak didukung dengan latihan. Di sinilah diperlukan latihan sebanyak-banyaknya. Dengan banyak latihan kesan-kesan yang diterima lebih fungsional. Dengan demikian, aktivitas latihan dapat mendukung belajar yang optimal.
Keaktifan siswa selama proses belajar mengajar merupakan salah satu indikator adanya keinginan atau motivasi siswa untuk belajar. Siswa dikatakan memiliki keaktifan apabila ditemukan ciri-ciri perilaku seperti :
1.      Sering bertanya kepada guru atau siswa lain
2.      Mau mengerjakan tugas yang diberikan guru
3.      Mampu menjawab pertanyaan dan senang diberi tugas belajar
4.      Berani maju ke depan kelas tanpa disuruh oleh guru
5.      Siswa berbuat sesuatu untuk memahami materi pembelajaran
6.      Pengetahuan dipelajari, dialami, dan ditemukan oleh siswa
7.      Mencoba sendiri konsep-konsep
8.      Siswa mengomunikasikan hasil pemikirannya


C. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Belajar
Prestasi belajar yang dicapai seorang individu merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhinya baik dari dalam diri (faktor internal) maupun dari luar diri (faktor eksternal) individu. Pengenalan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar penting sekali artinya dalam rangka membantu murid dalam mencapai prestasi belajar yang sebaik-baiknya. Kedua faktor tersebut saling mempengaruhi dalam proses belajar individu sehingga menentukan kualitas hasil belajar.
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu dan dapat mempengaruhi hasil belajar individu. Faktor-faktor internal ini meliputi faktor fisiologis dan faktor psikologis.
a.      Faktor fisiologis
Faktor-faktor fisiologis adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik individu. Faktor-faktor ini dibedakan menjadi dua macam.
Pertama, keadaan jasmani. Keadaan jasmani pada umumnya sangat mempengaruhi aktivitas belajar seseorang. Kondisi fisik yang sehat dan bugar akan memberikan pengaruh positif terhadap kegiatan belajar individu. Sebaliknya, kondisi fisik yang lemah atau sakit akan menghambat tercapainya hasil belajar yang maksimal. Oleh karena itu, keadaan tonus jasmani sangat mempengaruhi proses belajar dan perlu ada usaha untuk menjaga kesehatan jasmani.
Cara untuk menjaga kesehatan jasmani antara lain adalah:
a. Menjaga pola makan yang sehat dengan memperhatikan nutrisi yang masuk kedalam tubuh, karena  kekurangan gizi atau nutrisi akan mengakibatkan tubuh cepat lelah, lesu, dan mengantuk, sehingga tidak ada gairah untuk belajar.
b. Rajin berolahraga agar tubuh selalu bugar dan sehat.
c. Istirahat yang cukup dan sehat.
Kedua, keadaan fungsi jasmani/fisiologis. Selama proses belajar berlangsung, peran fungsi fisiologis pada tubuh manusia sangat mempengaruhi hasil belajar, terutama panca indera. Panca indera yang berfungsi dengan baik akan mempermudah aktivitas belajar dengan baik pula. Dalam proses belajar, merupakan pintu  masuk bagi segala informasi yang diterima dan ditangkap oleh manusia. Sehinga manusia dapat menangkap dunia luar. Panca indera yang memiliki peran besar dalam aktivitas belajar adalah mata dan telinga. Oleh karena itu, baik guru maupun siswa perlu menjaga panca indera dengan baik, baik secara preventif maupun kuratif. Dengan menyediakan sarana belajar yang memenuhi persyaratan, memeriksakan kesehatan fungsi mata dan telinga secara periodik, mengkonsumsi makanan yang bergizi, dan lain sebagainya.
b. Faktor psikologis
Faktor–faktor psikologis adalah keadaan psikologis seseorang yang dapat mempengaruhi proses belajar. Beberapa faktor psikologis yang utama mempengaruhi proses belajar adalah kecerdasan siswa, motivasi, minat, sikap dan bakat.
-         a. Kecerdasan/intelegensi siswa
Pada umumnya kecerdasan diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik dalam mereaksikan rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan melalui cara yang tepat. Dengan demikian, kecerdasan bukan hanya berkaitan dengan kualitas otak saja, tetapi juga organ-organ tubuh lainnya. Namun bila dikaitkan dengan kecerdasan, tentunya otak merupakan organ yang penting dibandingkan organ yang lain, karena fungsi otak itu sebagai organ pengendali tertinggi (executive control) dari hampir seluruh aktivitas manusia.
Kecerdasan merupakan faktor psikologis yang paling penting dalam proses belajar siswa, karena itu menentukan kualitas belajar siswa. Semakin tinggi intelegensi seorang individu, semakin besar peluang individu tersebut meraih sukses dalam belajar. Sebaliknya, semakin rendah tingkat intelegensi individu, semakin sulit individu itu mencapai kesuksesan belajar. Oleh karena itu, perlu bimbingan belajar dari orang lain, seperti guru, orang tua, dan lain sebagainya. Sebagai faktor psikologis yang penting dalam mencapai kesuksesan belajar, maka pengetahuan dan pemahaman tentang kecerdasan perlu dimiliki oleh setiap calon guru profesional, sehingga mereka dapat memahami tingkat kecerdasannya.
Para ahli membagi tingkatan IQ bermacam-macam, salah satunya adalah penggolongan tingkat IQ berdasarkan tes Stanford-Biner yang telah direvisi oleh Terman dan Merill sebagai berikut:

Distribusi Kecerdasan IQ menurut Stanford Revision
Tingkat Kecerdasan (IQ)
Klasifikasi
140 – 169
Amat superior
120 – 139
Superior
110 – 119
Rata-rata tinggi
90 – 109
Rata-rata
80 – 89
Rata-rata rendah
70 – 79
Batas lemah mental
20 – 69
Lemah mental

Dari tabel tersebut, dapat diketahui ada tujuh penggolongan tingkat kecerdasan manusia, yaitu:
a. Kelompok kecerdasan amat superior (very superior), antara IQ 140 -  169
b. Kelompok kecerdasan superior merentang antara IQ 120 - 139
c. Kelompok rata-rata tinggi (high average) merentang antara IQ 110 - 119
d. Kelompok rata-rata (average) merentang antara IQ 90 - 109
e. Kelompok rata-rata rendah (low average) merentang antara IQ 80 - 89
f. Kelompok batas lemah mental (borderline defective) berada pada IQ 70 - 79
g. Kelompok kecerdasan lemah mental (mentally defective) berada pada IQ 20-69, yang termasuk dalam kecerdasan tingkat ini antara lain debil, imbisil, dan idiot.
Pemahaman tentang tingkat kecerdasan individu dapat diperoleh orang tua dan guru atau pihak-pihak yang berkepentingan melalui konsultasi dengan psikolog atau psikiater. Sehingga dapat diketahui anak didik berada pada tingkat kecerdasan yang mana, amat superior, superior, rata-rata, atau mungkin lemah mental. Informasi tentang taraf kecerdasan seseorang merupakan hal yang sangat berharga untuk memprediksi kamampuan belajar seseorang. Pemahaman terhadap tingkat kecerdasan peserta didik akan membantu mengarahkan dan merencanakan bantuan yang akan diberikan kepada siswa.

b.      Motivasi
Motivasi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi keefektifan kegiatan belajar siswa. Motivasilah yang mendorong siswa ingin melakukan kegiatan belajar. Para ahli psikologi mendefinisikan motivasi sebagai proses di dalam diri individu yang aktif, mendorong, memberikan arah, dan menjaga perilaku setiap saat (Slavin, 1994). Motivasi juga diartikan sebagai pengaruh kebutuhan-kebutuhan dan keinginan terhadap intensitas dan arah perilaku seseorang.
Dari sudut sumbernya motivasi dibagi menjadi dua, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah semua faktor yang berasal dari dalam diri individu dan memberikan dorongan untuk melakukan sesuatu. Seperti seorang siswa yang gemar membaca, maka ia tidak perlu disuruh-suruh untuk membaca karena membaca tidak hanya menjadi aktivitas kesenangannyatetapi sudah mejadi kebutuhannya. Dalam proses belajar, motivasi intrinsik memiliki pengaruh yang efektif, karena motivasi intrinsik relatif lebih lama dan tidak tergantung pada motivasi dari luar(ekstrinsik).
Menurut Arden N. Frandsen (Hayinah, 1992), yang termasuk dalam motivasi intrinsik untuk belajar anatara lain adalah:
a. Dorongan ingin tahu dan ingin menyelisiki dunia yang lebih luas
b. Adanya sifat positif dan kreatif yang pada manusia dan keinginan untuk maju
c. Adanya keinginan untuk mencapai prestasi sehingga mendapat dukungan dari orang-orang penting, misalkan orang tua, saudara, guru, dan teman-teman.
d. Adanya kebutuhan untuk menguasai ilmu pengetahuan yang berguna bagi dirinya.
Motivasi ekstrinsik adalah faktor yang datang dari luar diri individu tetapi memberikan pengaruh terhadap kemauan untuk belajar. Seperti pujian, peraturan, tata tertib, teladan guru, orangtua, danlain sebagainya. Kurangnya respons dari lingkungansecara positif akan mempengaruhi semangat belajar seseorang menjadi lemah. 
c.       Ingatan
Secara teoritis, ada 3 aspek yang berkaitan dengan berfungsinya ingatan, yakni menerima kesan, menyimpan kesan, dan memproduksi kesan. Mungkin karena fungsi-fungsi inilah, istilah “ingatan” selalu didefinisikan sebagai kecakapan untuk menerima, menyimpan dan mereproduksi kesan. Kecakapan merima kesan sangat sentral peranannya dalam belajar. Melalui kecakapan inilah, subjek didik mampu mengingat hal-hal yang dipelajarinya. Dalam konteks pembelajaran, kecakapan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya teknik pembelajaran yang digunakan pendidik. Teknik pembelajaran yang disertai dengan alat peraga kesannya akan lebih dalam pada siwa. Di samping itu, pengembangan teknik pembelajaran yang mendayagunakan “titian ingatan” juga lebih mengesankan bagi siswa, terutama untuk material pembelajaran berupa rumus-rumus atau urutan-urutan lambang tertentu. Contoh kasus yang menarik adalah mengingat nama-nama kunci nada g (gudeg), d (dan), a (ayam), b (bebek) dan sebagainya.
Hal lain dari ingatan adalah kemampuan menyimpan kesan atau mengingat. Kemampuan ini tidak sama kualitasnya pada setiap subjek didik. Namun demikian, ada hal yang umum terjadi pada siapapun juga : bahwa segera setelah seseorang selesai melakukan tindakan belajar, proses melupakan akan terjadi. Hal-hal yang dilupakan pada awalnya berakumulasi dengan cepat, lalu kemudian berlangsung semakin lamban, dan akhirnya sebagian hal akan tersisa dan tersimpan dalam ingatan untuk waktu yang relatif lama. Untuk mencapai proporsi yang memadai untuk diingat, menurut kalangan psikolog pendidikan, siswa harus mengulang-ulang hal yang dipelajari dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Implikasi pandangan ini dalam proses pembelajaran sedemikian rupa sehingga memungkinkan bagi subjek didik untuk mengulang atau mengingat kembali material pembelajaran yang telah dipelajarinya. Hal ini, misalnya, dapat dilakukan melalui pemberian tes setelah satu submaterial pembelajaran selesai.
Kemampuan reproduksi, yakni pengaktifan atau proses produksi ulang hal-hal yang telah dipelajari, tidak kalah menariknya untuk diperhatikan. Bagaimanapun, hal-hal yang telah dipelajari, suatu saat, harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan tertentu siswa, misalnya kebutuhan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam ujian, atau untuk merespon tantangan-tantangan dunia sekitar.

Pendidik dapat mempertajam kemampuan siswa dalam hal ini melalui pemberian tugas-tugas material pembelajaran yang telah diberikan.
d.      Minat
            Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut Reber (Syah, 2003) minat bukanlah istilah yang popular dalam psikologi disebabkan ketergantungannya terhadap berbagai factor internal lainnya, seperti pemusatan perhatian, keingintahuan, moativasi, dan kebutuhan.
Namun lepas dari kepopulerannya, minat sama halnya dengan kecerdasan dan motivasi, karena memberi pengaruh terhadap aktivitas belajar, ia akan tidak bersemangat atau bahkan tidak mau belajar. Oleh karena itu, dalam konteks belajar di kelas, seorang guru atau pendidik lainnya perlu membangkitkan minat siswa agar tertarik terhadap materi pelajaran yang akan dihadapainya atau dipelajaranya.
Untuk membangkitkan minat belajar tersebut, banyak cara yang bisa digunakan. Antara lain:
1. Dengan membuat materi yang akan dipelajari semenarik mungkin dan tidak membosankan, baik dari bentuk buku materi, desain pembelajaran yang membebaskan siswa mengeksplore apa yang dipelajari, melibatkan seluruh domain belajar siswa (kognitif, afektif, psikomotorik) sehingga siswa menjadi aktif, maupun performansi guru yang menarik saat mengajar.
2. Pemilihan jurusan atau bidang  studi. Dalam hal ini, alangkah baiknya jika jurusan atau bidang studi dipilih sendiri oleh siswa sesuai dengan minatnya.
e.       Sikap
 Dalam proses belajar, sikap individu dapat mempengaruhi keberhasilan proses belajarnya. Sikap adalah gejala internal yang mendimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespons dangan cara yang relatif tetap terhadap obyek, orang, peristiwa dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif (Syah, 2003).
Sikap juga merupakan kemampuan memberikan penilaian tentang sesuatu yang membawa diri sesuia dengan penilaian. Adanya penilaian tentang sesuatu mengakibatkan terjadinya sikap menerima, menolak, atau mengabaikan. Siswa memperoleh kesempatan belajar. Meskipun demikian, siswa dapat menerima, menolak, atau mengabaikan kesempatan belajar tersebut.
Sikap siswa dalam belajar dapat dipengaruhi oleh perasaan senang atau tidak senang pada performan guru, pelajaran, atau lingkungan sekitarnya. Dan untuk mengantisipasi munculnya sikap yang negatif dalam belajar, guru sebaiknya berusaha untuk menjadi guru yang profesional dan bertanggung jawab terhadap profesi yang dipilihnya. Dengan profesionalitas, seorang guru akan berusaha memberikan yang terbaik bagi siswanya, berusaha mengembangkan kepribadian sebagai seorang guru yang empatik, sabar, dan tulus kepada muridnya; berusaha untuk menyajikan pelajaran yang diampunya dengan baik dan menarik sehingga membuat siswa dapat mengikuti pelajaran dengan senang dan tidak menjemukan, meyakinkan siswa bahwa bidang studi yang dipelajarinya bermanfaat bagi diri siswa.
f.        Bakat
Faktor psikologis lain yang mempengaruhi proses belajar adalah bakat. Secara umum, bakat (aptitude) didefinisikan sebagai kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang (Syah, 2003). Berkaitan dengan belajar, Slavin (1994) mendefinisikan bakat sebagai kemampuan umum yang dimiliki seorang siswa untuk belajar. Dengan demikian, bakat adalah kemampuan seseorang menjadi salah satu komponen yang diperlukan dalam proses belajar seseorang. Apabila bakat seseorang sesuai dengan bidang yang sedang dipelajarinya, maka bakat itu akan mendukung proses belajarnya sehingga kemungkinan besar ia akan berhasil.
Pada dasarnya setiap orang mempunyai bakat atau potensi untuk mencapai prestasi belajar sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Karena itu, bakat juga diartikan sebagai kemampuan dasar individu untuk melakukan tugas tertentu tanpa tergantung upaya pendidikan dan latihan. Individu yang telah mempunyai bakat tertentu, akan lebih mudah menyerap informasi yang berhubungan dengan bakat yang mempelajari bahasa-bahasa yang lain selain bahasanya sendiri. Karena belajar juga dipengaruhi oleh potensi yang dimilki setiap individu,maka para pendidik, orangtua, dan guru perlu memperhatikan dan memahami bakat yang dimilki oleh anaknya atau peserta didiknya, anatara lain dengan mendukung, ikut mengembangkan, dan tidak memaksa anak untuk memilih jurusan yang tidak sesuai dengan bakatnya.
g.      Kematangan
Kematangan adalah suatu tingkat atau fase dalam pertumbuhan seseorang, dimana alat-alat tubuhnya sudah siap untuk melaksanakan kecakapan baru. Misalnya anak dengan kakinya sudah siap berjalan, tangan dengan jari-jarinya sudah siap untuk menulis, dengan otaknya sudah siap berfikir abstrak, dll.
h.      Perhatian
Untuk dapat menjamin belajar yang baik, maka siswa harus mempunyai perhatian terhadap bahan yang dipelajari, jika bahan pelajaran tidak menjadi perhatian siswa, maka timbullah kebosanan sehingga ia tidak lagi suka belajar.

2. Faktor-faktor eksogen/eksternal
Selain karakteristik siswa atau faktor-faktor endogen, faktor-faktor eksternal juga dapat memengaruhi proses belajar siswa.dalam hal ini, Syah (2003) menjelaskan bahwa faktor-faktor eksternal yang memengaruhi balajar dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu factor lingkungan social dan factor lingkungan nonsosial.
a.  Lingkungan sosial 
a. Lingkungan sosial sekolah, seperti guru , administrasi, dan teman-teman sekelas dapat memengaruhi proses belajar seorang siswa. Hubungan harmonis antara ketiganya dapat menjadi motivasi bagi siswa untuk belajar lebih baik disekolah. Perilaku yang simpatik dan dapat menjadi teladan seorang guru atau administrasi dapat menjadi pendorong bagi siswa untuk belajar.
b. Lingkungan sosial masyarakat. Kondisi lingkungan masyarakat tempat tinggal siswa akan memengaruhi belajar siswa. Lingkungan siswa yang kumuh, banyak pengangguran dan anak terlantar juga dapat memengaruhi aktivitas belajar siswa, paling tidak siswa kesulitan ketika memerlukan teman belajar, diskusi, atau meminjam alat-alat belajar yang kebetulan belum dimilkinya.
c. Lingkungan sosial keluarga. Lingkungan ini sangat memengaruhi kegiatan belajar. Ketegangan keluarga, sifat-sifat orangtua, demografi keluarga (letak rumah), pengelolaankeluarga, semuannya dapat memberi dampak terhadap aktivitas belajar siswa. Hubungan anatara anggota keluarga, orangtua, anak, kakak, atau adik yang harmonis akan membantu siswa melakukan aktivitas belajar dengan baik.
 b.  Lingkungan non sosial.     
 Faktor-faktor yang termasuk lingkungan non sosial adalah;
a. Lingkungan alamiah, seperti kondisi udara yang segar, tidak panas dan tidak dingin, sinar yang tidak terlalu silau/kuat, atau tidak terlalu lemah/gelap, suasana yang sejuk dantenang. Lingkungan alamiah tersebut mmerupakan factor-faktor yang dapat memengaruhi aktivitas belajar siswa. Sebaliknya, bila kondisi lingkungan alam tidak mendukung, proses belajar siswa akan terlambat.
b. Faktor instrumental,yaitu perangkat belajar yang dapat digolongkan dua macam. Pertama, hardware, seperti gedung sekolah, alat-alat belajar,fasilitas belajar, lapangan olah raga dan lain sebagainya. Kedua, software, seperti kurikulum sekolah, peraturan-peraturan sekolah, bukupanduan, silabi dan lain sebagainya.
c. Faktor materi pelajaran (yang diajarkan ke siswa). Faktor ini hendaknya disesuaikan dengan usia perkembangan siswa begitu juga denganmetode mengajar guru, disesuaikandengan kondisi perkembangan siswa. Karena itu, agar guru dapat memberikan kontribusi yang postif terhadap aktivitas belajr siswa, maka guru harus menguasai materi pelajaran dan berbagai metode mengajar yang dapat diterapkan sesuai dengan konsdisi siswa. 

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan.
 Aktivitas belajar merupakan suatu proses kegiatan belajar siswa yang menimbulkan perubahan-perubahan atau pembaharuan dalam tingkah laku atau kecakapan. Aktivitas belajar merupakan hal yang sangat penting bagi siswa, karena memberikan kesempatan kepada siswa untuk bersentuhan dengan obyek yang sedang dipelajari seluas mungkin, karena dengan demikian proses konstruksi
pengetahuan yang terjadi akan lebih baik.
        Selain aktivitas belajar, ada pula faktor- faktor yang memepengaruhi belajar. Faktor- faktor tersebut antara lain terdiri atas faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu dan dapat mempengaruhi hasil belajar individu. Faktor-faktor internal ini meliputi faktor fisiologis dan faktor psikologis. Sedangkan faktor eksternal yang memengaruhi balajar dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan nonsosial.

2. Saran
            Kita sebagai calon guru profesional harus mengetahui aktivitas dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses belajar anak. Hal tersebut dimaksudkan agar kita bisa memahami masalah belajar yang dimiliki anak, dan bisa memberikan solusi pemecahannya. Selain itu dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar anak, guru akan dapat memilih metode atau pendekatan yang dalam pelaksanaan pembelajaraan.

DAFTAR PUSTAKA

Djamarah, Rusman. 2011. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta

Rachmasanie, Sherly. 2012. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Belajar. (Online). http://sherlyrachmasanie.blogspot.com/2012/12/faktorfaktor-yang-mempengaruhi-belajar.html. diakses tanggal 18 September 2013

Slameto. 2003. Belajar dan Faktor- Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya

Syah, Muhibbin. 2010. Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada.