1

loading...

Wednesday, June 26, 2019

MAKALAH KEWARGANEGARAAN "LAHIRNYA UU NO. 07 TAHUN 1989"


MAKALAH KEWARGANEGARAAN 

"LAHIRNYA UU NO. 07 TAHUN 1989"


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perkembangan hukum Islam di Indonesia terbagi kedalam beberapa masa yakni peratama, masa sebelum pemerintahan kolonial Belanda yang disana pada waktu itu pemerintahan berbentuk kerajaan. Kedua, masa pemerintahan kolonial Belanda. Ketiga, masa penjajahan Jepang. Keempat, pada masa kemerdekaan (1945-1974). Kelima, pasca kemerdekaan setelah diundangkannya UU No. 1 tahun 1974. Di Negara yang baru merdeka terdapat gejala umum, yaitu munculnya kehendak untuk menghapuskan hukum yang diwariskan oleh penjajah. Hukum yang diwariskan kolonial itu diganti dengan hukum yang dianggap cocok dengan alam kemerdekaan, yang digali dari nilai-nilai yang dianut oleh massyaraka dan hukum penggantinya itu dianggap mampu menampung dan mengikuti perubahan yang dialami masyarakat dalam negara itu. Perkembangan peradilan itu merupakan perubahan yang memiliki makna perluasan dan terdapat penambahan dari berbagi aspek, dimulai dari aspek yang berkenaan dengan kedudukan peradilan sampai kepada hukum acara yang dijadikan sebagai landasan dalam penerimaan, pemeriksaan, putusan dan penyelesaian perkara. Berbicara tentang Peradilan Agama sebenarnya kita sedang membicarakan sejarah penegakan hukum Islam di Indonesia. Penegakan hukum di tanah air telah dilakukan oleh masyarakat Islam sejak Islam dianut oleh masyarakat Nusantara. Hukum Islam memiliki kedudukan sendiri dalam massyarakat disamping kebiasaan adat penduduk yang tambah berkembang dalam masyarakat. Lain dari pada itu, dilihat dari kedudukan Peradilan Agama mulai dari masa sebelum colonial sampai kepada munculnya UU No. 7 tahun 1989, terjadi pasang surut baik dari segi kedudukannya ataupun kekuasaan pengadilan dalam pengambilan keputusan. Sebagai salah satu perwujudan politik hukum yang diambil oleh penguasa Negara melalui interaksi dikalangan elite politik nasional perkembangan itu merupakan suatu perubahan yang memiliki makna perluasan ataupun penambahan, yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Aktualisasi perkembangan itu di uji dalam cakupan yang lebih luas yaitu dalam peranan yang dimainkan oleh badan peradilan sesuai kedudukannya. Berangkat dari sinilah kami menulis makalah ini sebagai sarana menambah pengetahuan sejarah perkembangan Peradilan Agama serta kedudukan serta kewenangangnya pada saat itu di Indonesia yang diberi judul "Kedudukan Kewenangan Peradilan Agama Lahirnya UU. No. 7 1989 tentang Peradilan Agama dan Lahirnya Kompilasi Hukum Islam dalam tatanan Masyarakat Majemuk".

   B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana proses perancangan UU No. 07 Tahun 1989?
2.      Bagaimana Lahirnya UU No. 07 Tahun 1989?
3.      Apa saja yang berubah setelah lahirnya UU No. 07 Tahun 1989?

   C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui bagaimana proses perancangan UU No. 07 Tahun 1989.
2.      Untuk mengetahui bagaimana Lahirnya UU No. 07 Tahun 1989.
3.      Untuk mengetahui apa saja yang berubah setelah lahirnya UU No. 07 Tahun 1989

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Proses Perancangan UU No. 07 Tahun 1989
Bila kita membicarakan Peradilan Agama sebenarnya kita sedang membicarakan sejarah penegakan hukum Islam di Indonesia. Penegakan hukum Islam di Tanah Air kita telah dilakukan oleh masyarakat Islam sejak Islam diaut oleh penduduk Nusantara ini. Setelah kerajaan-kerajaan Islam berdiri diberbagai bagian kepulauan kita, kerajaan-kerajaan itu mendirikan lembaga peradilan untuk menegakkan hukum Islam yang merupakan bagian agama Islam. Misalnya, sebagai contoh: di Kerajaan Pasai, Kesultanan Aceh, Jambi, Palembang, Demak, Mataram, dan Kerajaan-kerajaan Islam lain. Sejarah telah mencatat pula bahwa sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam mempunyai kedudukan sendiri dalam masyarakat. Sebagai hukum berdiri sendiri, hukum Islam yang berlaku bagi umat Islam itu tumbuh dan berkembang dalam masyarkat di samping kebiasaan atau adat penduduk.
Usaha awal mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama telah dimulai sejak tahun 1971, dalam rangka melaksanakan perintah Pasal 12 Undang-Undang tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai pelaksanaan pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945. Sehubungan dengan hal tersebut pada tahun 1982, pemerintah membentuk Tim Inti Pembahasan dan Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Acara Peradilan Agama serta RUU tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Peradilan Agama. Tim ini bekerja di Badan Pembinaan HukumNasional Departemen Kehakiman, beranggotakan unsur-unsur dari Mahkamah Agung (Imam Anis Busthanul Arifin), Departemen Kehakiman (Santoso Poedjosoebarto), BPHN (Nur Aini Barda’i, dan Wahiduddin Adam), Departemen Agama (Muchtar Zarkasyi). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (Ny. Habibah Daud), Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah (A. Wasit Aulawi dan Asro Sosroatmodjo). Tim yang diketuai oleh Hakim Agung, kemudian diganti oleh Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Agama ini, berhasil menyelesaikan tugasnya pada bulan Maret 1984 denga menyusun dua Rancangan Undang-Undang yaitu Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama (yang terdri dari 204 pasal), dan rancangan Undang-Undang tentang susunan dan kekuasaan Badan-badan Peradilan Agama (58 pasal). Jumlah pasal dalam kedua Rancangan Undang-Undang tersebut telah disatukan dan diringkaskan oleh tim lain menjadi Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama yang memuat hanya 108 pasal saja, rancangan yang tersebut terakhir inilah yang diproses di dalam Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Ada perbedaan fundamental antara Rancangan Undang-Udang yang dibuat oleh Tim Inti tersebut denga Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama yang sekarang ini, terutama mengenai kekuasaan atau wewenang Pengadilan Agama. Masalah wewenang Pengadilan Agama ini adalah masalah inti dalam Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama itu, karena ia merupakan jantung Pengadilan Agama perlu dicatat bahwa setelah RUU ini menjadi undang-undang kelak banyak hal yang akan dicapai dalam sistem hukum dan sistem peradilan nasional Indonesia. Diantaranya seperti:
1.      Terlaksananya ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman terutama yang disebut dalam pasal 10 ayat (1) dan Pasal 12, dalam rangka melaksanakan Pasal 24 Undang- Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.
2.      Terjadi pembaruan dan pembangunan hukum dalam makna peningkatan dan penyempurnaan perangkat hukum nasional dibidang peradilan agama sebagai bagian dari sistem peradilan nasional.
3.      Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman dalam lingkungan Peradilan Agama, Pengadilan Agama akan mampu secara mandiri melaksanakan keputusan- keputusannya karena selain dari telah mempunyai hukum acara sendiri juga telah mempunyai kelengkapan juru sita sebagai pelaksana putusan-putusannya.
4.      Kedudukannya benar-benar (akan) sama dan sederajatnya dengan pengadilan- pengadilan dalam lingungan peradilan umum, militer, dan tata usaha negara.
5.      Mempunyai wewenang yang sama di seluruh Indonesia.
6.      Terjadi unifikasi hukum acara Peradilan Agama, yang memungkinkan terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
7.      Lebih memantapkan usaha penggalian berbagai asas dan kaidah hukum Islam melalui yurisprudensi yang akan dijadikan salah satu bahan baku dalam penyusunan dan pembangunan hukum nasional.[1]

B.     Lahirnya UU Nomor 7 Tahun 1989
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 disahkan dan diundangkan tanggal 29 Desember 1989. Kemudian ditempatkan dalam Lembaran Negara RI Nomor 49 tahun 1989 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3400. Isi UU Nomor 7 Tahun 1989 terdiri atas 7 Bab, meliputi 108 pasal. Ketujuh Bab itu adalah Ketentuan umum, Sususnan Pengadilan, Kekuasaan Pengadilan, Hukum Acara, Ketentuan- ketentuan lain, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup. Disamping itu, dimuat Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal demi Pasal. Ketika itu gancarnya tantangan dan hambatan yang datang baik dari perorangan maupun dari kelompok yang tidak menginginkan terwujudnya Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama itu menjadi undang-undang dengan berbagai alasan bahkan tuduhan yang tidak berdasar, sejak dari Keterangan Pemerintah mengenai RUU-PA itu disampaikan oleh Menteri Agama Rapat Paripurna DPR tanggal 28 Januari 1989 sampai dengan akhir bulan Agustus 1989, kehadiran Undang-Undang Peradilan Agama ini patutlah disyukuri. Selain disyukuri, agaknya lahirnya undang-undang dimaksud dapat pula dipandang sebagai amal jariah bersama penyelenggara negara dan warga negara yang telah berupaya memenuhi kebutuhan dasar umat Islam dengan menyediakan sarana atau fasilitas yang diperlukan umat Islam Indonesia untuk beribadah mematuhi ajaran agamanya dengan melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum islam yang sidebutkan dalam Undang-Undanf Peradilan Agama.
Hukum Islam adalah bagian Agama Islam, dirumuskan dengan tepat oleh orientasi terkemuka Christian Snouck Hurgronje “Islam is a religion of law in the full meaning of the word”. Artinya, lebih kurang, Islam adalah agam hukum dalam arti yang sebenarnya. Ini berarti bahwa agama Islam mengadung norma-norma 1 Basiq Djalil, Peradilan Agama di indonesia, hukum, baik kaidah-kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Tuhan Yang Maha Esa yang sepenuhnya dapat dilaksanakan oleh pemeluk agama Islam secara pribadi, maupun kaidah-kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam kehidupan masyarakat yang memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk dapat melkasanakan dengan sempurna, bermakna pula bahwa agama Islam dan hukum Islam tidak dapat dipisahkan. [2]
Dan kalau kenyataan ini dihubungkan dengan kata-kata “Negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut agamanyitu” seperti yang tercantum dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945, ini berarti pula bahwa negara menjamin, dalam makna memberi kesempatan kepada pemeluk agama Islam menaati hukum Islam yang menjadi bagian mutlak ajaran agamanya. Hukum Islam yang dimaksudkan adalah hukum perdata Islam yang disebutkan dalam Undang- Undang Peradilan Agama itu, terbatas hanya pada hukum perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sedekah yang telah menjadi bagian hukum positif di Tanah Air kita. Bahkan kemudian wewenang sebagai Peradilan Agama, seperti “Aceh” berkembang pada wewenang pidana. Susunan kekusasaan Undang-undang Peradilan Agama yang disahkan dan diundangkan itu terdiri dari 7 bab 108 pasal dengan sistematik sebagai berikut: Bab 1 tentang Ketentuan Umum, Bab 2-3 mengenai Susunan dan Kekuasaan Peradilan Agama, Bab 4 Hukum Acara, Bab 5 Ketentuan-ketentuan lain, Bab 6 Ketentuan Peralihan, dan Bab 7 Ketentuan Penutup. Bab 1 memuat ketentuan umum tentang pengertian, kedudukan, tempat kedudukan, dan pembinaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
Dalam pasal 49 ayat (1) disebutkan bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
1.      perkawinan;
2.      warisan wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
3.      wakaf dan sedekah.
Dalam penjelasan Undang-undang Peradilan Agama ini, pasal 49 ayat 1 diatas dinyatakan cukup jelas mengenai bidang perkawinan, pasal 49 ayat 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan. Pasal 49 ayat (2) ini dalam penjelasan diperinci lebih lanjut kedalam 202 butir 10 tentang penyelesaian harta bersama baik karena perceraian maupun atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan diluar sengketa. Dalam pasal 66 ayat (5) dan pasal 86 ayat (1) soal harta bersama ini dirumuskan dengan jelas bersama dengan permohonan atau gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, dan nafkah istri. Ini merupakan penting dan mendasar kalau dibandingkan dengan keadaan selama ini dimana soal harta bersama itu baru dapat dimajukan kemudian dan diselesaikan tidak oleh pengadilan agama tetapi oleh pengadilan negeri. Menurut pasal 49 ayat (3) kewenangan pengadilan agama dibidang kewarisan yang disebut dalam pasar 49 ayat (1) huruf B sebelumnya, adalah mengenai penentuan, siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penetuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut. Pasal 49 ayat (3) dan  penjelasan pasal demi pasal dinyatakan cukup jelas. Hanya, dalam penjelasan umum disebutkan bahwa para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang digunakan oleh dalam pembagian warisannya. Mempertimbangkan untuk memilih hukum yang digunakan dalam pembagian warisan adalah mempertimbangkan kemaslahatan ahli waris. Dalam pertimbangan kemaslahatan ahli waris sebelum berperkara, hukum Islam membuka peluang bagi ahli waris untuk berdamai, bermusyawarah untuk mencapai kata mufakat dalam menentukan perolehan masing-masing berdasarkan kerelaan, keikhlasan, dan kekeluargaan. Hukum acara diatur dalam Bab 4 Undang-Undang Peradilan Agama. bagian pertama mengatur hal-hal yang bersifat umum. Diantaranya disebutkan bahwa hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Sementara itu perlu dicatat pula bahwa di bagian Bab 5 ini disebutkan: tiap penetapan dan putusan peradilan agama dimulai dengan kalimat bismillahirrahmanirrahim diikuti dengan kata-kata demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bab 5 menyebut ketentuan-ketentuan lain mengenai administrasi peradilan, pembagian tugas para hakim, panitera dalam melaksanakan tugasnya masing- masing. Dengan Undang-undang Peradilan Agama ini, ketergantungan pengadilan agama kepada pengadilan negeri yang telah berlangsung selama 107 tahun di Jawa dan Madura, diakhiri melalui undang-undang ini pula semua aturan yang menentukan ketergantungan peradilan agama kepada peradilan umum, telah terhapuskan. Kini, peradilan agama tidak lagi seakan-akan “peradilan semu”, tetapi telah benar-benar menjadi peradilan mandiri. Bab 6 mengenai ketentuan peralihan. Dalam bab ini disebutkan antara lain bahwa (1) semua badan peradilan agama yang telah ada dinyatakan sebagai badan peradilan agama menurut undang-undang ini. Di seluruh Indonesia, peradilan agama itu berjumlah 321 buah, terdiri dari 303 pengadilan agama dan 18 pengadilan tinggi agama. ketentuan peradilan ini menyatakan pula bahwa (2) semua peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai peradilan agama dinyatakan tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan undang-undang ini dan selama ketentuan baru berdasarkan undang-undang ini belum dikeluarkan. Bab 7 tentang ketentuan penutup. Dalam bab terakhir ini ditegaskan bahwa pada saat mulai berlakunya Undang-Undang Peradilan agama, semua peraturan tentang peradilan agama di Jawa dan Madura, di sebagian (bekas) residensi Kalimantan Selatan dan Timur, dan di bagian lain wilayah Republik Indonesia, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, terciptalah pula kesatuan hukum yang mengatur peradilan agama diseluruh Indonesia, sebagai penerapan wawasan Nusantara.

C.    Perubahan Akibat Lahirnya UU No. 07 Tahun 1989
Secara umum isi UU No. 07 Tahun 1989 memuat beberapa perubahan tentang penyelenggaraan PADI, yaitu:
1.      Perubahan tentang dasar hukum penyelenggaraan PADI.
2.      Perubahan tentang kedudukan PADI dalam tata peradilan nasional.
3.      Perubahan tentang kedudukan hakim peradilan agama.
4.      Perubahan tentang kekuasaan pengadilan dalam lingkungan PADI.
5.      Perubahan tentang hukum acara peradilan agama.
6.      Perubahan tentang administrasi peradilan agama.
7.      Perubahan tentang perlindungan terhadap wanita.
Perubahan pertama tentang dasar hukum penyelenggaraan peradilan. Sebelum UU Nomor 7 tahun 1989 berlaku, dasar penyelenggaraan peradilan beraneka ragam. Sebagian merupakan produk pemerintah kolonial Belanda, dan sebagian produk pemerintah Republik IIndonesia.
Sejak berlakunya UU Nomor 7 Tahun 1989 semua peraturan perundang- undangan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, maka penyelenggaraan PADI didasarkan pada peraturan yang sama atau seragam. Penyeragaman itu dilakukan sebagai upaya penerapan konsep Wawasan Nusantara di bidang hukum, dan sebagai pelaksanaan politik hukum nasional sebagaimana diamanatkan di dalam GBHN. Penyeragaman tersebut juga dilakukan untuk mewujudkan penyelenggaraan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan, sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 Jo. UU Nomor 35 Tahun 1999.
Perubahan kedua tentang kedudukan pengadilan. Sebelum berlakunya UU Nomor 7 Tahun 1989 terdapat ketidaksejajaran antara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dengan pengadilan lainnya, khususnya dengan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Hal itu tercermin dengan adanya pranata pengukuhan putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri. Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1989 kedudukan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama sejajar dengan Pengadilan dalam lingkungan peradilan lainnya, khususnya dengan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Ketentuan pengukuhan putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri, sebagaimana diatur dalam pasal 63 Ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan dicabut. Dengan demikian, Pengadilan Agama memiliiki kemandirian untuk melaksanakan putusannya sendiri yang dilaksanakan oleh jurusita. Kejurusitaan merupakan pranata baru di dalam susunan organisasi Pengadilan Agama. Perubahan ketiga tentang kedudukan hakim. Menurut ketentuan pasal 15 ayat (1), Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri Agama berdasarkan persetujuan Mahkamah Agung. Hal yang sama berlaku bagi hakim dalam lingkungan Peradilan Umum dan hakim dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam menjalankan tugasnya, hakim memiliki kebebasan untuk membuat keputusan, terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh pihak lainnya. Perubahan keempat tentang wewenang pengadilan. Perubahan kelima tentang hukum acara. Menurut ketentuan pasal 54, hukum acara yang berlau pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Hal itu menunjukkan bahwa hukum acara yang berlaku adalah hukum tertulis, disamping adanya kekecualian dan kekhususan yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1989. Meskipun tidak semua ketentuan tentang Hukum Acara Peradilan Agama yang dimuat dalam Undang-undang ini, tetapi hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 54 yang menjelaskan bahwa, “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.” Oleh karena itu, disamping Hukum Acara Perdata yang diatur dalam HIR dan RB.g, terdapat pula beberapa pasal atau ketentuan lainnya yang berisi Hukum Acara Perdata berupa pasal-pasal, seperti yang tercantum dalam Bab IV tersebut4 Perubahan keenam tentang penyelenggaraan administrasi peradilan. Di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama terdapat dua jenis administrasi, yaitu administrasi peradilan dan administrasi umum. Jenis pertama berkenaan dengan adminintrasi perkara dan teknis yudisia; sedangkan jenis kedua berkenaan dengan administrasi kepegawaian, keuangan dan umum. Oleh karena itu, di pengadilan terdapat dua jenis jabatan pengelola kedua jenis adminitrasi itu dikelola oleh Panitera yang merangkap sebagai Sekretaris Pengadilan. Secara khusus, administrasi peradilan dikelola oleh wakil Panitera, sedangkan administrasi umum dikelola oleh Wakil Sekretaris. Sebelum berlakunya UU tersebut administrasi pada pengadilan bercorak tunggal, dan dikelola oleh Panitera Kepala. Perubahan ketujuh tentang perlindungan terhadap wanita.[3]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Usaha awal mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama telah dimulai sejak tahun 1971, dalam rangka melaksanakan perintah Pasal 12 Undang-Undang tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai pelaksanaan pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945. Sehubungan dengan hal tersebut pada tahun 1982, pemerintah membentuk Tim Inti Pembahasan dan Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Acara Peradilan Agama serta RUU tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Peradilan Agama. - Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 disahkan dan diundangkan tanggal 29 Desember 1989. Kemudian ditempatkan dalam Lembaran Negara RI Nomor 49 tahun 1989 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3400. Isi UU Nomor 7 Tahun 1989 terdiri atas 7 Bab, meliputi 108 pasal. Dengan sistematik sebagai berikut: Bab 1 tentang Ketentuan Umum, Bab 2-3 mengenai Susunan dan Kekuasaan Peradilan Agama, Bab 4 Hukum Acara, Bab 5 Ketentuan-ketentuan lain, Bab 6 Ketentuan Peralihan, dan Bab 7 Ketentuan Penutup. - Secara umum isi UU No. 07 Tahun 1989 memuat beberapa perubahan tentang penyelenggaraan PADI, yaitu: perubahan tentang dasar hukum penyelenggaraan padi, perubahan tentang kedudukan padi dalam tata peradilan nasional, perubahan tentang kedudukan hakim peradilan agama, perubahan tentang kekuasaan pengadilan dalam lingkungan padi, perubahan tentang hukum acara peradilan agama, perubahan tentang administrasi peradilan agama, perubahan tentang perlindungan terhadap wanita.


[1] Bisri, Cik Hasan. 2003. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

[2] Rosadi, Ade. 2015. Peradilan Agama di Indonesia Dinamika Pembentukan Hukum. Bandung: Simbiosa Pratama Media.

[3] Djalil, Basiq. 2010. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana.              

No comments:

Post a Comment