MAKALAH KEWARGANEGARAAN
"LAHIRNYA UU NO. 07 TAHUN 1989"
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perkembangan
hukum Islam di Indonesia terbagi kedalam beberapa masa yakni peratama, masa
sebelum pemerintahan kolonial Belanda yang disana pada waktu itu pemerintahan
berbentuk kerajaan. Kedua, masa pemerintahan kolonial Belanda. Ketiga, masa
penjajahan Jepang. Keempat, pada masa kemerdekaan (1945-1974). Kelima, pasca
kemerdekaan setelah diundangkannya UU No. 1 tahun 1974. Di Negara yang baru
merdeka terdapat gejala umum, yaitu munculnya kehendak untuk menghapuskan hukum
yang diwariskan oleh penjajah. Hukum yang diwariskan kolonial itu diganti
dengan hukum yang dianggap cocok dengan alam kemerdekaan, yang digali dari
nilai-nilai yang dianut oleh massyaraka dan hukum penggantinya itu dianggap
mampu menampung dan mengikuti perubahan yang dialami masyarakat dalam negara
itu. Perkembangan peradilan itu merupakan perubahan yang memiliki makna
perluasan dan terdapat penambahan dari berbagi aspek, dimulai dari aspek yang
berkenaan dengan kedudukan peradilan sampai kepada hukum acara yang dijadikan
sebagai landasan dalam penerimaan, pemeriksaan, putusan dan penyelesaian
perkara. Berbicara tentang Peradilan Agama sebenarnya kita sedang membicarakan
sejarah penegakan hukum Islam di Indonesia. Penegakan hukum di tanah air telah
dilakukan oleh masyarakat Islam sejak Islam dianut oleh masyarakat Nusantara.
Hukum Islam memiliki kedudukan sendiri dalam massyarakat disamping kebiasaan
adat penduduk yang tambah berkembang dalam masyarakat. Lain dari pada itu,
dilihat dari kedudukan Peradilan Agama mulai dari masa sebelum colonial sampai
kepada munculnya UU No. 7 tahun 1989, terjadi pasang surut baik dari segi
kedudukannya ataupun kekuasaan pengadilan dalam pengambilan keputusan. Sebagai
salah satu perwujudan politik hukum yang diambil oleh penguasa Negara melalui
interaksi dikalangan elite politik nasional perkembangan itu merupakan suatu
perubahan yang memiliki makna perluasan ataupun penambahan, yang didasarkan
pada peraturan perundang-undangan. Aktualisasi perkembangan itu di uji dalam
cakupan yang lebih luas yaitu dalam peranan yang dimainkan oleh badan peradilan
sesuai kedudukannya. Berangkat dari sinilah kami menulis makalah ini sebagai
sarana menambah pengetahuan sejarah perkembangan Peradilan Agama serta
kedudukan serta kewenangangnya pada saat itu di Indonesia yang diberi judul
"Kedudukan Kewenangan Peradilan Agama Lahirnya UU. No. 7 1989 tentang
Peradilan Agama dan Lahirnya Kompilasi Hukum Islam dalam tatanan Masyarakat
Majemuk".
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
proses perancangan UU No. 07 Tahun 1989?
2. Bagaimana
Lahirnya UU No. 07 Tahun 1989?
3. Apa saja
yang berubah setelah lahirnya UU No. 07 Tahun 1989?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui bagaimana proses perancangan UU No. 07 Tahun 1989.
2. Untuk
mengetahui bagaimana Lahirnya UU No. 07 Tahun 1989.
3. Untuk mengetahui
apa saja yang berubah setelah lahirnya UU No. 07 Tahun 1989
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Proses
Perancangan UU No. 07 Tahun 1989
Bila kita membicarakan Peradilan
Agama sebenarnya kita sedang membicarakan sejarah penegakan hukum Islam di
Indonesia. Penegakan hukum Islam di Tanah Air kita telah dilakukan oleh
masyarakat Islam sejak Islam diaut oleh penduduk Nusantara ini. Setelah kerajaan-kerajaan
Islam berdiri diberbagai bagian kepulauan kita, kerajaan-kerajaan itu
mendirikan lembaga peradilan untuk menegakkan hukum Islam yang merupakan bagian
agama Islam. Misalnya, sebagai contoh: di Kerajaan Pasai, Kesultanan Aceh,
Jambi, Palembang, Demak, Mataram, dan Kerajaan-kerajaan Islam lain. Sejarah
telah mencatat pula bahwa sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaannya di
Indonesia, hukum Islam mempunyai kedudukan sendiri dalam masyarakat. Sebagai
hukum berdiri sendiri, hukum Islam yang berlaku bagi umat Islam itu tumbuh dan
berkembang dalam masyarkat di samping kebiasaan atau adat penduduk.
Usaha awal mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang Peradilan Agama telah dimulai sejak tahun 1971, dalam rangka
melaksanakan perintah Pasal 12 Undang-Undang tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman sebagai pelaksanaan pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945. Sehubungan
dengan hal tersebut pada tahun 1982, pemerintah membentuk Tim Inti Pembahasan
dan Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Acara Peradilan Agama serta RUU
tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Peradilan Agama. Tim ini bekerja di
Badan Pembinaan HukumNasional Departemen Kehakiman, beranggotakan unsur-unsur
dari Mahkamah Agung (Imam Anis Busthanul Arifin), Departemen Kehakiman (Santoso
Poedjosoebarto), BPHN (Nur Aini Barda’i, dan Wahiduddin Adam), Departemen Agama
(Muchtar Zarkasyi). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
(Ny. Habibah Daud), Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah (A. Wasit Aulawi
dan Asro Sosroatmodjo). Tim yang diketuai oleh Hakim Agung, kemudian diganti
oleh Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Agama ini, berhasil
menyelesaikan tugasnya pada bulan Maret 1984 denga menyusun dua Rancangan
Undang-Undang yaitu Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata
Peradilan Agama (yang terdri dari 204 pasal), dan rancangan Undang-Undang
tentang susunan dan kekuasaan Badan-badan Peradilan Agama (58 pasal). Jumlah
pasal dalam kedua Rancangan Undang-Undang tersebut telah disatukan dan
diringkaskan oleh tim lain menjadi Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama yang
memuat hanya 108 pasal saja, rancangan yang tersebut terakhir inilah yang
diproses di dalam Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Ada perbedaan fundamental antara
Rancangan Undang-Udang yang dibuat oleh Tim Inti tersebut denga Rancangan
Undang-Undang Peradilan Agama yang sekarang ini, terutama mengenai kekuasaan
atau wewenang Pengadilan Agama. Masalah wewenang Pengadilan Agama ini adalah
masalah inti dalam Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama itu, karena ia
merupakan jantung Pengadilan Agama perlu dicatat bahwa setelah RUU ini menjadi
undang-undang kelak banyak hal yang akan dicapai dalam sistem hukum dan sistem
peradilan nasional Indonesia. Diantaranya seperti:
1. Terlaksananya
ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang tentang
ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman terutama yang disebut dalam pasal
10 ayat (1) dan Pasal 12, dalam rangka melaksanakan Pasal 24 Undang- Undang
Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.
2. Terjadi pembaruan
dan pembangunan hukum dalam makna peningkatan dan penyempurnaan perangkat hukum
nasional dibidang peradilan agama sebagai bagian dari sistem peradilan
nasional.
3. Sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman dalam lingkungan Peradilan Agama, Pengadilan
Agama akan mampu secara mandiri melaksanakan keputusan- keputusannya karena
selain dari telah mempunyai hukum acara sendiri juga telah mempunyai
kelengkapan juru sita sebagai pelaksana putusan-putusannya.
4. Kedudukannya
benar-benar (akan) sama dan sederajatnya dengan pengadilan- pengadilan dalam
lingungan peradilan umum, militer, dan tata usaha negara.
5. Mempunyai
wewenang yang sama di seluruh Indonesia.
6. Terjadi
unifikasi hukum acara Peradilan Agama, yang memungkinkan terwujudnya ketertiban
dan kepastian hukum yang berintikan keadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
7. Lebih memantapkan
usaha penggalian berbagai asas dan kaidah hukum Islam melalui yurisprudensi
yang akan dijadikan salah satu bahan baku dalam penyusunan dan pembangunan
hukum nasional.[1]
B. Lahirnya UU Nomor 7 Tahun 1989
Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 disahkan dan diundangkan tanggal 29 Desember 1989. Kemudian
ditempatkan dalam Lembaran Negara RI Nomor 49 tahun 1989 dan Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3400. Isi UU Nomor 7 Tahun 1989 terdiri atas 7 Bab, meliputi 108
pasal. Ketujuh Bab itu adalah Ketentuan umum, Sususnan Pengadilan, Kekuasaan
Pengadilan, Hukum Acara, Ketentuan- ketentuan lain, Ketentuan Peralihan, dan
Ketentuan Penutup. Disamping itu, dimuat Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal
demi Pasal. Ketika itu gancarnya tantangan dan hambatan yang datang baik dari
perorangan maupun dari kelompok yang tidak menginginkan terwujudnya Rancangan
Undang-Undang Peradilan Agama itu menjadi undang-undang dengan berbagai alasan
bahkan tuduhan yang tidak berdasar, sejak dari Keterangan Pemerintah mengenai
RUU-PA itu disampaikan oleh Menteri Agama Rapat Paripurna DPR tanggal 28
Januari 1989 sampai dengan akhir bulan Agustus 1989, kehadiran Undang-Undang
Peradilan Agama ini patutlah disyukuri. Selain disyukuri, agaknya lahirnya
undang-undang dimaksud dapat pula dipandang sebagai amal jariah bersama
penyelenggara negara dan warga negara yang telah berupaya memenuhi kebutuhan
dasar umat Islam dengan menyediakan sarana atau fasilitas yang diperlukan umat
Islam Indonesia untuk beribadah mematuhi ajaran agamanya dengan melaksanakan
ketentuan-ketentuan hukum islam yang sidebutkan dalam Undang-Undanf Peradilan
Agama.
Hukum Islam
adalah bagian Agama Islam, dirumuskan dengan tepat oleh orientasi terkemuka
Christian Snouck Hurgronje “Islam is a religion of law in the full meaning of
the word”. Artinya, lebih kurang, Islam adalah agam hukum dalam arti yang
sebenarnya. Ini berarti bahwa agama Islam mengadung norma-norma 1 Basiq Djalil,
Peradilan Agama di indonesia, hukum, baik kaidah-kaidah yang mengatur hubungan
manusia dengan Allah Tuhan Yang Maha Esa yang sepenuhnya dapat dilaksanakan
oleh pemeluk agama Islam secara pribadi, maupun kaidah-kaidah yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam kehidupan masyarakat yang
memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk dapat melkasanakan dengan sempurna, bermakna pula bahwa agama Islam dan hukum Islam tidak
dapat dipisahkan. [2]
Dan kalau
kenyataan ini dihubungkan dengan kata-kata “Negara menjamin kemerdekaan penduduk
untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut agamanyitu” seperti yang tercantum
dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945, ini berarti pula bahwa negara menjamin, dalam
makna memberi kesempatan kepada pemeluk agama Islam menaati hukum Islam yang
menjadi bagian mutlak ajaran agamanya. Hukum Islam yang dimaksudkan adalah
hukum perdata Islam yang disebutkan dalam Undang- Undang Peradilan Agama itu,
terbatas hanya pada hukum perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan
sedekah yang telah menjadi bagian hukum positif di Tanah Air kita. Bahkan
kemudian wewenang sebagai Peradilan Agama, seperti “Aceh” berkembang pada
wewenang pidana. Susunan kekusasaan Undang-undang Peradilan Agama yang disahkan
dan diundangkan itu terdiri dari 7 bab 108 pasal dengan sistematik sebagai
berikut: Bab 1 tentang Ketentuan Umum, Bab 2-3 mengenai Susunan dan Kekuasaan
Peradilan Agama, Bab 4 Hukum Acara, Bab 5 Ketentuan-ketentuan lain, Bab 6
Ketentuan Peralihan, dan Bab 7 Ketentuan Penutup. Bab 1 memuat ketentuan umum
tentang pengertian, kedudukan, tempat kedudukan, dan pembinaan pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama.
Dalam pasal 49 ayat (1) disebutkan bahwa pengadilan agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
1.
perkawinan;
2.
warisan wasiat, dan hibah yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam;
3.
wakaf dan sedekah.
Dalam penjelasan Undang-undang Peradilan Agama ini, pasal 49 ayat 1 diatas
dinyatakan cukup jelas mengenai bidang perkawinan, pasal 49 ayat 1 menyebutkan
bahwa yang dimaksud ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan
undang-undang mengenai perkawinan. Pasal 49 ayat (2) ini dalam penjelasan
diperinci lebih lanjut kedalam 202 butir 10 tentang penyelesaian harta bersama
baik karena perceraian maupun atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan
diluar sengketa. Dalam pasal 66 ayat (5) dan pasal 86 ayat (1) soal harta
bersama ini dirumuskan dengan jelas bersama dengan permohonan atau gugatan soal
penguasaan anak, nafkah anak, dan nafkah istri. Ini merupakan penting dan
mendasar kalau dibandingkan dengan keadaan selama ini dimana soal harta bersama
itu baru dapat dimajukan kemudian dan diselesaikan tidak oleh pengadilan agama
tetapi oleh pengadilan negeri. Menurut pasal 49 ayat (3) kewenangan pengadilan
agama dibidang kewarisan yang disebut dalam pasar 49 ayat (1) huruf B
sebelumnya, adalah mengenai penentuan, siapa-siapa yang menjadi ahli waris,
penetuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris
dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut. Pasal 49 ayat (3) dan penjelasan
pasal demi pasal dinyatakan cukup jelas. Hanya, dalam penjelasan umum
disebutkan bahwa para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk
memilih hukum apa yang digunakan oleh dalam pembagian warisannya.
Mempertimbangkan untuk memilih hukum yang digunakan dalam pembagian warisan
adalah mempertimbangkan kemaslahatan ahli waris. Dalam pertimbangan
kemaslahatan ahli waris sebelum berperkara, hukum Islam membuka peluang bagi
ahli waris untuk berdamai, bermusyawarah untuk mencapai kata mufakat dalam
menentukan perolehan masing-masing berdasarkan kerelaan, keikhlasan, dan
kekeluargaan. Hukum acara diatur dalam Bab 4 Undang-Undang Peradilan Agama.
bagian pertama mengatur hal-hal yang bersifat umum. Diantaranya disebutkan
bahwa hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama
adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang
ini. Sementara itu perlu dicatat pula bahwa di bagian Bab 5 ini disebutkan:
tiap penetapan dan putusan peradilan agama dimulai dengan kalimat
bismillahirrahmanirrahim diikuti dengan kata-kata demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bab 5
menyebut ketentuan-ketentuan lain mengenai administrasi peradilan, pembagian
tugas para hakim, panitera dalam melaksanakan tugasnya masing- masing. Dengan
Undang-undang Peradilan Agama ini, ketergantungan pengadilan agama kepada
pengadilan negeri yang telah berlangsung selama 107 tahun di Jawa dan Madura,
diakhiri melalui undang-undang ini pula semua aturan yang menentukan
ketergantungan peradilan agama kepada peradilan umum, telah terhapuskan. Kini,
peradilan agama tidak lagi seakan-akan “peradilan semu”, tetapi telah
benar-benar menjadi peradilan mandiri. Bab 6 mengenai ketentuan peralihan.
Dalam bab ini disebutkan antara lain bahwa (1) semua badan peradilan agama yang
telah ada dinyatakan sebagai badan peradilan agama menurut undang-undang ini.
Di seluruh Indonesia, peradilan agama itu berjumlah 321 buah, terdiri dari 303
pengadilan agama dan 18 pengadilan tinggi agama. ketentuan peradilan ini
menyatakan pula bahwa (2) semua peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai
peradilan agama dinyatakan tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak
bertentangan dengan undang-undang ini dan selama ketentuan baru berdasarkan undang-undang
ini belum dikeluarkan. Bab 7 tentang ketentuan penutup. Dalam bab terakhir ini
ditegaskan bahwa pada saat mulai berlakunya Undang-Undang Peradilan agama,
semua peraturan tentang peradilan agama di Jawa dan Madura, di sebagian (bekas)
residensi Kalimantan Selatan dan Timur, dan di bagian lain wilayah Republik
Indonesia, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, terciptalah pula
kesatuan hukum yang mengatur peradilan agama diseluruh Indonesia, sebagai
penerapan wawasan Nusantara.
C. Perubahan Akibat Lahirnya UU No. 07
Tahun 1989
Secara umum isi UU No. 07 Tahun 1989
memuat beberapa perubahan tentang penyelenggaraan PADI, yaitu:
1. Perubahan
tentang dasar hukum penyelenggaraan PADI.
2. Perubahan
tentang kedudukan PADI dalam tata peradilan nasional.
3. Perubahan
tentang kedudukan hakim peradilan agama.
4. Perubahan
tentang kekuasaan pengadilan dalam lingkungan PADI.
5. Perubahan
tentang hukum acara peradilan agama.
6. Perubahan
tentang administrasi peradilan agama.
7. Perubahan
tentang perlindungan terhadap wanita.
Perubahan pertama tentang dasar hukum penyelenggaraan peradilan. Sebelum UU
Nomor 7 tahun 1989 berlaku, dasar penyelenggaraan peradilan beraneka ragam.
Sebagian merupakan produk pemerintah kolonial Belanda, dan sebagian produk
pemerintah Republik IIndonesia.
Sejak berlakunya UU Nomor 7 Tahun 1989 semua peraturan perundang- undangan
tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, maka penyelenggaraan
PADI didasarkan pada peraturan yang sama atau seragam. Penyeragaman itu
dilakukan sebagai upaya penerapan konsep Wawasan Nusantara di bidang hukum, dan
sebagai pelaksanaan politik hukum nasional sebagaimana diamanatkan di dalam
GBHN. Penyeragaman tersebut juga dilakukan untuk mewujudkan penyelenggaraan
peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan, sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 Jo. UU Nomor 35 Tahun 1999.
Perubahan kedua tentang kedudukan pengadilan. Sebelum berlakunya UU Nomor 7
Tahun 1989 terdapat ketidaksejajaran antara pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama dengan pengadilan lainnya, khususnya dengan pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum. Hal itu tercermin dengan adanya pranata pengukuhan
putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri. Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun
1989 kedudukan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama sejajar dengan
Pengadilan dalam lingkungan peradilan lainnya, khususnya dengan pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum. Ketentuan pengukuhan putusan Pengadilan Agama
oleh Pengadilan Negeri, sebagaimana diatur dalam pasal 63 Ayat (2) UU Nomor 1
Tahun 1974 dinyatakan dicabut. Dengan demikian, Pengadilan Agama memiliiki
kemandirian untuk melaksanakan putusannya sendiri yang dilaksanakan oleh
jurusita. Kejurusitaan merupakan pranata baru di dalam susunan organisasi
Pengadilan Agama. Perubahan ketiga
tentang kedudukan hakim. Menurut ketentuan pasal 15 ayat (1), Hakim diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri Agama
berdasarkan persetujuan Mahkamah Agung. Hal yang sama berlaku bagi hakim dalam
lingkungan Peradilan Umum dan hakim dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara. Dalam menjalankan tugasnya, hakim memiliki kebebasan untuk membuat
keputusan, terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh pihak lainnya.
Perubahan keempat tentang wewenang pengadilan. Perubahan kelima tentang hukum
acara. Menurut ketentuan pasal 54, hukum acara yang berlau pada pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara
khusus dalam undang-undang ini. Hal itu menunjukkan bahwa hukum acara yang
berlaku adalah hukum tertulis, disamping adanya kekecualian dan kekhususan yang
diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1989. Meskipun tidak semua ketentuan tentang
Hukum Acara Peradilan Agama yang dimuat dalam Undang-undang ini, tetapi hal
tersebut dapat dilihat dalam pasal 54 yang menjelaskan bahwa, “Hukum acara yang
berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara
Perdata yang berlaku pada Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara
khusus dalam undang-undang ini.” Oleh karena itu, disamping Hukum Acara Perdata
yang diatur dalam HIR dan RB.g, terdapat pula beberapa pasal atau ketentuan
lainnya yang berisi Hukum Acara Perdata berupa pasal-pasal, seperti yang
tercantum dalam Bab IV tersebut4 Perubahan keenam tentang penyelenggaraan
administrasi peradilan. Di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama terdapat
dua jenis administrasi, yaitu administrasi peradilan dan administrasi umum.
Jenis pertama berkenaan dengan adminintrasi perkara dan teknis yudisia;
sedangkan jenis kedua berkenaan dengan administrasi kepegawaian, keuangan dan
umum. Oleh karena itu, di pengadilan terdapat dua jenis jabatan pengelola kedua
jenis adminitrasi itu dikelola oleh Panitera yang merangkap sebagai Sekretaris
Pengadilan. Secara khusus, administrasi peradilan dikelola oleh wakil Panitera,
sedangkan administrasi umum dikelola oleh Wakil Sekretaris. Sebelum berlakunya
UU tersebut administrasi pada pengadilan bercorak tunggal, dan dikelola oleh
Panitera Kepala. Perubahan ketujuh tentang perlindungan terhadap wanita.[3]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Usaha awal
mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama telah dimulai sejak tahun
1971, dalam rangka melaksanakan perintah Pasal 12 Undang-Undang tentang
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai pelaksanaan pasal 24 Undang-Undang
Dasar 1945. Sehubungan dengan hal tersebut pada tahun 1982, pemerintah
membentuk Tim Inti Pembahasan dan Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang
Acara Peradilan Agama serta RUU tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan
Peradilan Agama. - Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 disahkan dan diundangkan
tanggal 29 Desember 1989. Kemudian ditempatkan dalam Lembaran Negara RI Nomor
49 tahun 1989 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3400. Isi UU Nomor 7 Tahun
1989 terdiri atas 7 Bab, meliputi 108 pasal. Dengan sistematik sebagai berikut:
Bab 1 tentang Ketentuan Umum, Bab 2-3 mengenai Susunan dan Kekuasaan Peradilan
Agama, Bab 4 Hukum Acara, Bab 5 Ketentuan-ketentuan lain, Bab 6 Ketentuan
Peralihan, dan Bab 7 Ketentuan Penutup. - Secara umum isi UU No. 07 Tahun 1989
memuat beberapa perubahan tentang penyelenggaraan PADI, yaitu: perubahan
tentang dasar hukum penyelenggaraan padi, perubahan tentang kedudukan padi
dalam tata peradilan nasional, perubahan tentang kedudukan hakim peradilan
agama, perubahan tentang kekuasaan pengadilan dalam lingkungan padi, perubahan
tentang hukum acara peradilan agama, perubahan tentang administrasi peradilan
agama, perubahan tentang perlindungan terhadap wanita.
[1]
Bisri, Cik Hasan. 2003. Peradilan
Agama di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
[2]
Rosadi, Ade. 2015. Peradilan
Agama di Indonesia Dinamika Pembentukan Hukum. Bandung: Simbiosa Pratama
Media.
No comments:
Post a Comment