1

loading...

Monday, October 29, 2018

Makalah Pemikiran Muhammad Bin Abdul Wahhab

Makalah Pemikiran Muhammad Bin abdul wahhab

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Islam sebagai sebuah bentuk keyakinan memiliki umat yang besar. Hampir diseluruh penjuru dunia terdapat umat islam. Hal ini disebabkan karena islam disebarkan dan masuk kedalam suatu masyarakat dengan cara yang damai dan santun sehingga banyak orang yang berminat masuk islam.
Akan tetapi, selain banyak orang senang dan bangga dengan islam, tidak sedikit pula orang yang menyerang islam, yang disebabkan karena perbedaan keyakinan terutama ketauhidan. Mereka yang tidak senang dengan islam selalu berusaha menjatuhkan islam, baik melalui budaya, pola pikir, dsb. Untuk menghadapi hal ini, ulama-ulama dahulu membalasnya dengan memberikan argumen yang berisi alasan-alasan untuk mempertahankan keimanan mereka baik tentang keimanan kepada Tuhan, malaikat, dan sebagainya. Dan hal yang sering kita sebut sebagai ilmu kalam.
Ilmu kalam merupakan produk pikir manusia. Sesuai dengan berjalannya waktu, ilmu kalampun semakin berkembang. Banyak ulama terjun didalamnya.Untuk itu, makalah ini akan membahas salah satu ulama abad ke-8 yang turut mencurahkan pikirannya di dalam ilmu kalam, yaitu muhammad bin abdul wahhab. Hal-hal yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu bicara tentang biografi dan pemikiran kalam muhammad bin abdul wahhab.
B.       Rumusan Masalah
Rumusan dari makalah ini adalah, sebagai berikut :
1.    Bagaimana biografi Muhammad Bin Abdul wahab ?
2.    Bagaimana pemikiran Kalam Muhammad bin Abdul Wahhab ?
C.      Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah, sebagai berikut :
1.    Mengetahui biografi Muhammad Bin Abdul wahab.
2.    Mengetahui pemikiran Kalam Muhammad bin Abdul Wahhab.



 



 
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Biografi Muhammad Bin Abdul Wahab
Muhammad bin ‘Abd Al-Wahhab memiiki nama lengkap Muhammad bin ‘Abd al Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at Tamimi al-Hambali an-Najdi.[1] Muhammad Bin Abdul Wahab berasal dari Qabilah Banu Tamim.[2] Ia lahir tahun 1115 Hijriah (1703 Masehi) dan wafat tahun 1206 Hijriah (1792 Masehi). Beliau wafat di usia yang sangat tua, dengan umur sekitar 91 tahun. Muhammad bin Abdul Wahab belajar ilmu agama dasar bermazhab hambali dari ayahnya yang juga seorang qadhi (hakim). Pernah juga ia mengaji kepada beberapa guru agama Makkah dan Madinah.[3] Di antara gurunya di Makkah terdapat nama Syeikh Muhammad Sulaiman al Kurdi, Syeikh Abdul Wahab (bapaknya sendiri) dan kakaknya Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab.
Guru-gurunya semua termasuk bapak dan kakaknya adalah ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Hal ini dapat dibaca dalam buku “As Shawa’iqul Ilahiyah firraddi al Wahabiyah” (Petir yang membakar untuk menolak paham Wahabi), karangan kakaknya, Sulaiman bin Abdul Wahab. Menurut Ustadz Hazan Khazbyk dalam suatu karangannya dikatakan, bahwa Muhammad bin Abdul Wahab ketika mudanya banyak membaca, buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan lain-lain pemuka yang tersesat.[4]
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb merupakan seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su'udiyyah yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi. Bin ʿAbd al-Wahhāb memiliki nama lengkap Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi.
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb, adalah seorang ulama yang berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam secara murni. Para pendukung pergerakan ini sesungguhnya menolak disebut Wahabbi, karena pada dasarnya ajaran Ibnu Wahhab menurut mereka adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajaran tersendiri. Karenanya mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun yang berarti "satu Tuhan".
B.       Pemikiran Kalam Muhammad bin Abdul Wahab
Salah satu pelopor pembaruan dalam dunia Islam Arab adalah suatu aliran yang bernama Wahabiyah yang sangat berpengaruh di abad ke-19. Wahabiyah adalah suatu bagian dari firqah Islamiyah, dibangun oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1702 M – 1787 M).[5] Paham atau Madzhab Wahabi pada hakikatnya adalah kelanjutan dari mazhab Salafiyyah yang dipelopori Ahmad Ibnu Taimiyyah.
Muhammad bin Abdul Wahab mendalami ilmu-ilmu syariat dengan berkeliling ke wilayah-wilayah islam, seperti Basrah, Baghdad, Hamadzan, Ashfaham, Qum, dan Kairo. Setelah itu ia berkeliling mendakwahkan pahamnya yang tak jauh berbeda dengan paham Ibnu taimiyyah dan mayoritas penganut mazhab Hambali. Abdul Wahab mengadakan pembaruan dengan memperketat beberapa masalah yang tidak dilakukan oleh guru-gurunya. Ia mengharamkan rokok, melarang membangun kuburan, meskipun sekedar dengan membuat gundukan tanah, melarang tashwir (foto atau gambar makhuk bernyawa). Ia juga melarang berbagai adat kebiasaan.[6]
Hal terpenting yang sangat diperhatikannya adalah masalah tauhid yang menjadi tiang agama; yang terkristalisasi dalam ungkapan la ilah illa Allah. Menurutnya, tauhid telah dirasuki berbagai hal yang hampir menyamai syirik, seperti mengunjungi para wali, mempersembahkan hadiah dan meyakini bahwa mereka mampu mendatangkan keuntungan atau kesusahan, mengunjungi kuburan mereka dikunjungi oleh orang dari berbagai penjuru dunia dan di usap-usap. Seakan-akan Allah sama dengan penguasa dunia yang dapat didekati melalui para tokoh mereka, dan orang-orang dekat-Nya. Bahkan manusia telah melakukan syirik apabila mereka percaya bahwa pohon kurma, pepohonan yang lain, sandal atau juru kunci makam dapat diambil berkahnya, dengan tujuan agar mereka dapat memperoleh keuntungan. Bagaimana menyelamatkan dari keyakinan-keyakinan seperti ini?
Menurutnya, Allah swt semata-mata Pembuat Syariat dan akidah. Allah-lah yang menghalalkan dan mengharamkan. Ucapan seseorang tidak dapat dijadikan hujah dalam agama, selain Kalamullah dan Rasulullah. Adapun pendapat para teolog tentang akidah serta pendapat para ahli fikih dalam masalah halal dan haram bukanlah hujah. Setiap orang yang telah memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad berhak melakukannya. Bahkan dia wajib melakukannya. Menutup pintu ijtihad merupakan sebuah bencana atas kaum muslim, karena hal
itu dapat menghilangkan kepribadian dan kemampuan mereka untuk memahami dan menentukan hukum. Menutupi pintu ijtihad berarti membekukan pemikiran dan menjadikan umat hanya mengikuti pendapat atau fatwa yang tertera dalam buku-buku orang yang di ikutinya.[7]
Gerakan kedua dari usaha pemurnian aqidah yang dilakukan Wahabi adalah pemberantasan bid’ah, misalnya perayaan Maulid, keluarnya kaum wanita ikut mengiringi jenazah, perayaan-perayaan spiritual, haul untuk memperingati kematian wali, acara-acara yang lazim dilakukan para pengikut aliran sufi untuk mengenang kematian guru atau nenek moyang mereka. Di samping itu, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, beberapa kebiasaan, seperti merokok, berlebihan minum kopi, laki-laki yang memakai kain sutera, mencukur jenggot, dan memakai perhiasan emas, juga dianggap bid’ah.[8]
Tauhid, menurut Ibnu Abdul Wahhab, pada dasarnya adalah pengabdian (ibadah) hanya kepada Allah dengan cara yang benar-benar mengesakan-NYA. Ia membagi tauhid menjadi 3, yaitu :
1.     Tauhid Rububiah, berkenaan tentang pengesaan Allah sebagai maha pencipta segala sesuatu yang terlepas dari segala macam pengaruh dan sebab.
2.    Tauhid Asma wa sifat , berhubungan dengan pengesaan nama dan sifat-sifat Allah yang berbeda dengan Makhluk-NYA.
3.    Tauhid Ilahiyah, berkaitan dengan pengesaan Allah sebagai Tuhan yang di sembah.
 Di antara ajaran Muhammad bin Abdul Wahab yang berkenaan dengan tauhid adalah :


 1.    Zat yang boleh disembah hanyalah Allah semata, dan orang yang menyembah kepada selain Allah telah menjadi musyrikdan boleh dibunuh.
2.    Kebanyakan umat islam bukan lagi penganut tauhid yang murni karena mereka meminta pertolongan bukan lagi kepada Allah, tetapi kepada para wali dan orang saleh. Muslim seperti ini telah menjadi musyrik.
3.    Termasuk perbuatan musyrik adalah memberikan dan menyebutkan “gelar dan sebutan kehormatan” kepada nabi, wali atau malaika, terutama dalam shalat, misalnya kata sayyidina, habibuna, atau syafi’una.
4.    Memperoleh dan menetapkan ilmu yang tidak didasarkan kepada Al Qur’an dan Sunnah merupakan kekufuran.
5.    Menafsirkan  Al Qur’an dengn takwil merupakan kekufuran.
6.    Pintu ijtihad selalu terbuka dan wajib dilaksanakan oleh orang yang mampu.[9]
Itulah dasar dakwah Muhammad bin Abd al-Wahhab. Dia mengikuti ajaran Ibn Taimiyah. Atas dasar itu pula dibangunlah hal-hal yang  parsial. Menurutnya, manusia bebas berpikir tentang batas-batas yang telah ditetapkan oleh al-qur’an dan sunah. Dia memerangi segala macam bentuk bid’ah, dan mengarahkan orang agar beribadah dan berdo’a hanya untuk Allah, bukan untuk para wali, syeikh, atau kuburan.
Menurutnya, kita harus kembali pada islam pada zaman awal, yang suci dan bersih. Dia berkeyakinan bahwa kelemahan kaum Muslim hari ini terletak pada akidah mereka yang tidak benar. Jika akidah mereka bersih seperti akidah para pendahulunya yang menjunjung tinggi kalimat la ilah illa Allah (yang berarti tidak menganggap hal-hal lain sebagai Tuhan selain Allah, tidak takut mati, atau tidak takut miskin dijalan yang benar), maka kaum Muslim pasti dapat meraih kembali kemuliaan dan kehormatan yang pernah diraih oleh para pendahulu mereka. Sekalipun merupakan seorang tokoh reformasi dan tokoh dakwah, Syaikh Muhammad bin Abdul wahab masih sempat juga menyibukkan diri untuk menulis. Beberapa karyanya yang terkenal antara lain:
1.                  Kitab at-Tauhid
2.                  Kitab al-kabair
3.                  Kasyf asy-Syubat
4.                  Mukhtasar Sirat ar-Rasul
5.                  Masa’il al-Jahiliyah
6.                  Usul al-Iman
7.                  Fada’il al-Qur’an
8.                  Fadail al-Islam
9.                  Majmu’ al-Hadist
10.              Mukhtasar al-Insaf wa asy-Syarh al-Kabir
11.              Al-Usul ats-Tsalatsa
12.              Adab al-Masyi ila ash-Shalah, dan lain sebagainya
Muhammad bin Abdul Wahab telah mendarmabaktikan seluruh hidupnya untuk melaksanakan dakwah dan jihad dengan penuh keikhlasan. Beliau dibantu oleh Muhammad bin Sa’ud dan anaknya, Abdul aziz yang menjadi penguasa Dar’iyah. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada bulan Dzulqa’dah tahun 1206 H ( tahun 1792 M).
B.Bentuk Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab kecil telah ditempa dengan pendidikan agama yang kuat, baik dari keluarga maupun lingkungan yang masih murni tingkat keIslamannya. Darah Arab yang mengalir dalam tubuhnya, melahirkan citra watak yang khas, gandrung dengan kebebasan dan petualangan. Kecemerlangan otak Ibnu Abdul Wahhab semakin kentara ketika Ia banyak belajar filsafat dan sufi serta petualangan intelektual lain diluar tempat kelahirannya. Bahkan untuk beberapa waktu Ibnu Abdul Wahhab telah mengajarkan sufisme. Sekembalinya ke rumah dalam usia empat puluh tahun, dimana kemapanan kondisi psikologis,kematangan berpikir dan pemahaman telah mencapai puncaknya, Ibnu Abdul Wahhab mulai mengajarkan doktrin-doktrinnya.
Untuk pemikiran atau doktrin ajaran Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dapat dilihat dari dua sumber. Pertama, buku-buku karyanya dan kedua,pendapat atau analis ahli sejarah.
Pertama, lewat kitab At Tauhid. Dalam terjemahan Thahir Badrie,Ibnu Abdul Wahhab mengartikan tauhid sebagai dasar ajarannya. Tauhid menurut bahasa berarti meyakini keesaan Allah, menganggap hanya ada satu Tuhan tidak ada yang lain. Secara istilah tauhid berarti bahwa di dunia ini hanya ada satu Tuhan, Allah Rabul Alamin.
Menurutnya tauhid dibagi menjadi dua. Pertamatauhid Uluhiyah, yaitu kepercayaan untuk menetapkan bahwa sifat ke Tuhanan itu hanyalah milik Allah belaka. Keduatauhid Rububiyah, yakni kepercayaan bahwa pencipta alam ini adalah Allah, tapi ia tidak mengabdi kepadanya saja.
Pembagian ini mengacu pada Al Qur’an surat Al Baqarah 63, tentang keesaan Allah yang artinya,
“Adapun Tuhanmu adalah Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan melainkan Dia yang maha pengasih lagi maha penyayang”.
Kedua, tentang kekhawatiran pada syirik. Riya merupakan salah satu bentuk syirik ringan dan orang-orang saleh dikhawatirkan terjerumus ke dalamnya. Memakai azimat menyebabkan syirik sesuai dengan hadis riwayat Uqbah bin Amir ra. Artinya :
Barang siapa mengikatkan azimat atau jimat, dirinya tidak akan disempurnakan oleh Allah. Dan barang siapa mengalungkan sebuah kerang (jimat), dia tidak akan pernah memperoleh ketenangan dan kedamaian dari Allah.
Ketiga, bernadzar atau bersumpah untuk selain Allah adalah perbuatan syirik. Pendapat ini didasarkan pada hadis riwayat Bukhori. Artinya :
Barang siapa bernadzar untuk mentaati Allah, maka dia harus mentaatiNya. Dan barang siapa bernadzar untuk tidak mentaatiNya,maka dia tidak boleh menentangNya.
Keempat, mencari perlindungan kepada selain Allah merupakan bagian dari syirik (berdasarkan surat Al Jin : 6)
Kelima, mencari pertolongan selain Allah atau berdoa kepada selainNya merupakan perbuatan syirik (Yunus:106-107, Al Ahqaf 5-6, An Nahl : 62)
Keenam,masalah syafaat adalah hak Allah dan diberikan kepada orang yang diridhoiNya.
Ketujuh, kutukan bagi orang yang menyembah Allah di kuburan orang saleh. Nabi Muhammad SAW melarang dengan keras menjadikan kuburannya sebagai masjid, seperti umat Nasrani dan Yahudi.
Kedelapan, janganlah manusia membuat sekutu-sekutu bagi Allah (Al Baqarah : 2)
  C.Faktor yang Mendasari Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab
Setelah kembali ke Najed pada usia sekitar empat puluh tahun, ia mulai menceramahkan ajaran ajarannya sendiri, yang kemudian ditentang oleh sanak saudaranya sendiri.46 Bagaimana tidak, pada waktu itu orang-orang Najed banyak yang melakukan amalan-amalan yang berbau syirik dan perbuatan perbuatan yang tidak Islami dengan sekehendak hati mereka. Seluruh kehidupan
Mereka diliputi oleh paham polyteisme. Mereka menganggap makam-makam, pepohonan, makhluk-makhluk halus dan orang-orang gila sebagai sesembahan.Kondisi yang sama juga berlaku di wilayah Mekah dan Madinah, demikian juga di Yaman. Dimana
paham polyteisme, pendirian bangunan-bangunan di makam, serta pencaharian perlindungan dan bantuan kepada orang-orang mati, orang-orang suci dan jin-jin menjadi gambaran keagamaan yang umum. Muhammad bin Abdul Wahhab kemudian menetapkan diri untuk memurnikan (Puritanisme)ajaran Islam, dan menyelamatkannya kedalam bentuk ajaran terdahulu yang ketat.
D. Proses Penyebaran Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab
Apa yang menimpa umat Islam membuat rasa prihatin yang mendalam bagi Muhammad bin Abdul Wahhab. Dari kenyataan yang ada,Muhammad bin Abdul Wahhab berasumsi hal ini terjadi karena pengaruh tarekat yang ada di tengah masyarakat. Karena pengaruh tarekat ini, permohonan dan doa tidak lagi langsung dipanjatkan kepada Allah akan tetapi melalui syafaat para wali atau Syekh tarekat, karena masyarakat berasumsi bahwa Allah tidak bisa didekati tanpa perantara. Menurut Abdul Wahhab, hal ini jelas telah menyimpang dari ajaran Islam yang seharusnya. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh pendahulunya Ahmad bin Hanbal dan Ibn Taimiyah.
Dalam melakukan dakwahnya selain melalui lisan dan tulisan, juga melalui sebuah gerakan keagamaan yang cukup terorganisir dan sukses, baik dalam aspek keagamaan maupun politik. Oleh karenanya ia bertekad membentuk sebuah gerakan pemurnian agama Islam supaya kembali kepada jalan yang semestinya. Gerakan ini tepatnya terbentuk pada tahun 1740 M yaitu gerakan Wahabi.Namun yang terjadi, ia diusir oleh penguasa setempat dari tempat kelahirannya karena dianggap telah menimbulkan keributan-keributan di negerinya, kemudian Ia bersama keluarga pindah ke Dar’iyah. Dar’iyah ini merupakan sebuah dusun yang ditempati Muhammad bin Sa’ud (kakek Raja Abdullah) yang telah memeluk ajaran Wahabi, bahkan menjadi pelindung    
dan penyiarnya. Ada beberapa isu yang ditekankan sebagai ajarannya yang kemudian membedakannya dengan gerakan Islam lainnya, yang meliputi masalah tauhid,tawassul, ziarah kubur, takfir, bidah, khurafat, ijtihad, dan taklid.Menurut Muhammad bin Abdul Wahhab, pemurnian akidah merupakan pondasi utama dalam pendidikan Islam. Ia juga menegaskan bahwa Pendidikan melalui teladan atau contoh merupakan metode pendidikan yang paling
efektif. Hal ini sejalan dengan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab agar umat manusia kembali kepada ajaran Rasulullah dan para sahabatnya sebagai suri tauladan yang sangat baik
bagi manusia.Selain itu menurutnya, tauhid adalah pegangan pokok dan sangat menentukan bagi kehidupan manusia, karena tauhid menjadi landasan bagi setiap amal yang dilakukan. Hanya amal yang dilandasi dengan tauhidullah menurut tuntunan Islam, yang akan menghantarkan manusia kepada kehidupan yang baik dan kebahagiaan yang hakiki di alam akhirat nanti.
Ia mendapat dukungan dari Muhammad Bin Saud dan puteranya Abd al-Azis di Najed. Faham-faham Muhammad bin Abdul Wahhab yang kemudian mulai tersiar itu bertambah kuat, sehingga di tahun 1773 M mereka dapat menduduki Riyadh. Kemudian pada tahun 1787 M Muhammad bin Abdul Wahhab meninggal dunia, tetapi ajaran-ajarannya tetap hidup dengan mengambil bentuk aliran yang dikenal dengan nama Wahabiah.
Berikut merupakan karya-karya Muhammad bin Abdul Wahhab,
sebagai berikut;
a. Kitab Tauhid ma’a aqidah al-salaf alladzi huwa haqqu Allah ‘ala al-‘abid
b. Mukhtashor sirah al-Rasul
c. al-Ushul al-Tsalatsah wa adillatuha
d. Masa’il al-Jahiliyah
e. Alati khalafah fiha Rasulullah saw ahlah al-Jahiliyah
f. Muqaddimah wa Risalatan
g. Al-Tauhid wa al-Kitabu qaulu al-Sadid
h. Kasyfu al-Syubuhat
i. Najmu’ al-Hadits, yang terdiri dari risalah-risalah kecil mengenai;
“Ushul al-Iman”, “Fudhul al-Islam dan Kitabu al Kabair dan al-Rasa-il fi aqq-id al-Islam”.
Gerakan Wahabi sendiri pada awalnya adalah sebuah gerakan permurnian Islam, namun setelah adanya kesepakatan antara Muhammad bin Abdul Wahhab dengan Muhammad bin Saud pada tahun 1744 M, maka gerakan Wahabi pun berubah menjadi sebuah gerakan politik, tetapi dalam bidang keagamaan. Artinya, meskipun telah berubah menjadi sebuah gerakan politik,
namun gerakan Wahabi ini tidak meninggalkan misi awal mereka yaitu sebagai gerakan permurnian Islam.Dengan demikian ajaran Wahabi mengenai dasar-dasar keimanan yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, namun berbeda dengan akibat-akibatnya serta
tuntutan-tuntutan ajaran agama yang murni mengikuti mazhab Hanbali. Dengan mengikuti Alquran dan Hadis dan menolak deduksi, meskipun mereka tidak melarang kaidah-kaidah amalan menurut mazhab lainnya.
Ajaran tauhid yang dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab ini bermula dari kota Najed, Arabia Tengah dan Dar’iyah sebagai pusat perkembangan pemikiran pembaharuannya. Pada akhirnya menyebar ke seluruh Jazirah Arabia, kemudian ke luar Arabia, seperti India, Mesir dan bahkan sampai ke Indonesia.Berikut ini adalah negeri-negeri yang berada dibawah pengaruh aliran wahabiah ialah:
a. India
Tepatnya di Punjab (India Utara), Syekh Waliyullah (1702-1762M) menghasilkan sebuah gerakan yaitu Wahabiah yang kemudian dipimpin oleh Sayid Ahmad (w. 1246 H/1831 M) dari Bareli. Selain di Punjab gerakan ini juga tersebar di Benggala dan perkembangannya sangat pesat ketika itu.
b. Aljazair
Aliran wahabiah yang masuk dan berkembang pesat di negeri Aljazair ini dibawa oleh Sayyid Muhammad bin Sanusi (1791-1859 M). Wahabisme berkembang melalui gerakan al-Sanusiyyah dengan tujuan untuk membangun solidaritas keislaman.gerakan ini mengajarkan pemurnian paham sufi dengan kembali kepada ajaran Alquran dan Sunah. Setelah sukses gerakan ini kemudian menyebar ke Libya.90
c. Mesir
Di negeri Mesir aliran Wahabiah disebarkan oleh Syekh Rasyid Ridha (1856-1935 M), sebagai teolog yang berorientasi liberal dan penggerak utama gerakan Salafi atau Wahabi di Mesir. Menurutnya,umat Islam harus kembali pada sumber murni Alquran dan Sunah dan
mengaitkan diri dengan penafsiran teks.
d. Sudan
Pengaruh Wahabi dipelopori oleh Muhammad Ahmad (1848-1885 M) dengan tarekatnya yang bernama Mahdiyah. Ia menyerukan pemurnian Islam kembali yang telah diselewengkan
oleh adat dan kebiasaan asing yang bukan Islam. Pada tahun 1885 M, gerakan ini berhasil menguasai seluruh wilayah Sudan yang sebelumnya berada dibawah kekuasaan Mesir.
e. Indonesia
Ajaran Wahabi ini masuk dan menyebar luas di Indonesia ini disebarkan oleh ulama dari Sumatera Barat dan para jamaah haji yaitu Syekh Abdullah Ahmad (1878-1945 M), Syekh Abdul Karim Amrullah (1879-1945 M), Syekh Muhammad Djamil Djambek (1880-1947 M), dan lain-lain.
Mereka kemudian memberantas adat-istiadat yang dipandang bidah, mereka kemudian membentuk persatuan harimau dan salapan, persatuan ini kemudian ditantang oleh golongan adat dengan meminta bantuan dari Belanda. Maka timbullah perang Padri tahun 1821-1837 M.
Selain itu terdapat Haji Miskin dengan paham Wahabinya telah memberikan pengatuh baru terhadap gerakan reformasi Islam Indonesia. Begitu pun yang dilakukan oleh Malim Basa yang terkenal dengan gelar Imam Bonjol. Keduanya kemudian mendirikan perguruan di Bonjol yang kemudian menjadi pusat pendidikan bermazhab Hanbali.
Mereka inilah yang mewakili perkembangan pengaruh Wahabi di Sumatera. Selanjutnya paham Wahabi ini juga mempengaruhi pemikiran dari gerakan Persatuan Islam (Persis), ini ditandai dengan adanya kesamaan dalam pemahaman keagamaan yang menyangkut akidah
maupun mengenai ibadah, intinya adalah mengembalikan pada apakah ajaran-ajaran tersebut mempunyai dasar secara eksplisit dalam Alquran dan Hadis. Jika ada maka akan dijadikan amalan untuk diyakini dan diamalkan dan sebaliknya



BAB III
PENUTUP

 A.      Kesimpulan
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb (1115 - 1206 H/1701 - 1793 M) adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su'udiyyah yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi dan beliau adalah seorang ulama yang berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam secara murni.
Pemikiran yang dikemukakan oleh Muhammad Abdul Wahab adalah upaya memperbaiki kedudukan umat Islam terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam saat itu. Paham tauhid mereka telah bercampur dengan ajaran-ajaran tarikat yang sejak abad ke-13 tersebar luas di dunia Islam. Masalah tauhid memang merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Muhammad Abdul Wahab memusatkan perhatiannya pada persoalan ini.

 B.       Saran
Terlepas dari pro dan kontra pemikiran dan gerakan Muhammad bin Abdul Wahab, yang jelas ide gerakan pembaharuannya patutlah dihormati dan dihargai sebagai sebuah upaya dari seseorang muslim yang dengan keyakinan pemahaman tauhidnya telah melakukan sesuatu, daripada tidak melakukan sesuatu untuk agama.

DAFTAR PUSTAKA

 Abbas, Siradjuddin. 2008. I’tiqad Ahlusunnah Wal Jamaah, Jakarta : Pustaka Tarbiyah Baru.
Ahmad Amin, Husayn. 1995. Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

 Asy-Syak’ah, Mustofa Muhammad. Islam Tidak Bermazhab, Jakarta : Gema Insani Press.
Idahram, Syaikh. 2011. Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, Yogyakarta : Pusaka Pesantren.
Wahyudi, K. Yudian. 2009. Gerakan Wahabi di Indonesia, Yogyakarta : Pesantren Nawesea Press.

                                             





[2] K.H. Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah Wal Jamaah, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah Baru, 2008), hlm. 353.
[3] Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2011), hlm. 30
[4] K.H. Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah Wal Jamaah, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah Baru, 2008), hlm. 353.
[5]K.H. Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah Wal Jamaah, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah Baru, 2008), hlm. 352.
[6] Dr. Mustofa Muhammad Asy –Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab, (Jakarta : Gema Insani Press, 1994), hlm.392-393.
[7] Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 269-270.
[8] Dr. Mustofa Muhammad Asy –Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab, (Jakarta : Gema Insani Press, 1994), hlm.395.
[9] Prof. K. yudian Wahyudi, Ph.D, Gerakan Wahabi di Indonesia, (Yogyakarta : Pesantren Nawesea Press, 2009), hlm. 7-8.

No comments:

Post a Comment