Makalah Pemikiran Muhammad Bin abdul wahhab
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Islam sebagai sebuah bentuk keyakinan memiliki
umat yang besar. Hampir diseluruh penjuru dunia terdapat umat islam. Hal ini
disebabkan karena islam disebarkan dan masuk kedalam suatu masyarakat dengan
cara yang damai dan santun sehingga banyak orang yang berminat masuk islam.
Akan tetapi, selain banyak orang senang dan
bangga dengan islam, tidak sedikit pula orang yang menyerang islam, yang
disebabkan karena perbedaan keyakinan terutama ketauhidan. Mereka yang tidak
senang dengan islam selalu berusaha menjatuhkan islam, baik melalui budaya,
pola pikir, dsb. Untuk menghadapi hal ini, ulama-ulama dahulu membalasnya
dengan memberikan argumen yang berisi alasan-alasan untuk mempertahankan
keimanan mereka baik tentang keimanan kepada Tuhan, malaikat, dan sebagainya.
Dan hal yang sering kita sebut sebagai ilmu kalam.
Ilmu kalam merupakan produk pikir manusia.
Sesuai dengan berjalannya waktu, ilmu kalampun semakin berkembang. Banyak ulama
terjun didalamnya.Untuk itu, makalah ini akan membahas salah satu ulama abad
ke-8 yang turut mencurahkan pikirannya di dalam ilmu kalam, yaitu muhammad bin
abdul wahhab. Hal-hal yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu bicara tentang
biografi dan pemikiran kalam muhammad bin abdul wahhab.
B. Rumusan
Masalah
Rumusan dari makalah ini adalah, sebagai
berikut :
1. Bagaimana biografi
Muhammad Bin Abdul wahab ?
2. Bagaimana pemikiran
Kalam Muhammad bin Abdul Wahhab ?
C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah, sebagai berikut
:
1. Mengetahui biografi
Muhammad Bin Abdul wahab.
2. Mengetahui pemikiran
Kalam Muhammad bin Abdul Wahhab.
|
PEMBAHASAN
A. Biografi
Muhammad Bin Abdul Wahab
Muhammad
bin ‘Abd Al-Wahhab memiiki nama lengkap Muhammad bin ‘Abd al Wahhab bin
Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin
al-Masyarif at Tamimi al-Hambali an-Najdi.[1] Muhammad Bin
Abdul Wahab berasal dari Qabilah Banu Tamim.[2] Ia lahir tahun 1115
Hijriah (1703 Masehi) dan wafat tahun 1206 Hijriah (1792 Masehi). Beliau wafat
di usia yang sangat tua, dengan umur sekitar 91 tahun. Muhammad bin Abdul Wahab
belajar ilmu agama dasar bermazhab hambali dari ayahnya yang juga seorang qadhi (hakim).
Pernah juga ia mengaji kepada beberapa guru agama Makkah dan Madinah.[3] Di antara gurunya
di Makkah terdapat nama Syeikh Muhammad Sulaiman al Kurdi, Syeikh Abdul Wahab
(bapaknya sendiri) dan kakaknya Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab.
Guru-gurunya
semua termasuk bapak dan kakaknya adalah ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Hal ini
dapat dibaca dalam buku “As Shawa’iqul Ilahiyah firraddi al Wahabiyah” (Petir
yang membakar untuk menolak paham Wahabi), karangan kakaknya, Sulaiman bin
Abdul Wahab. Menurut Ustadz Hazan Khazbyk dalam suatu karangannya dikatakan,
bahwa Muhammad bin Abdul Wahab ketika mudanya banyak membaca, buku-buku
karangan Ibnu Taimiyah dan lain-lain pemuka yang tersesat.[4]
Muhammad
bin ʿAbd al-Wahhāb merupakan seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh
pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su'udiyyah
yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi. Bin ʿAbd al-Wahhāb memiliki
nama lengkap Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin
Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali
an-Najdi.
Muhammad
bin ʿAbd al-Wahhāb, adalah seorang ulama yang berusaha membangkitkan kembali
pergerakan perjuangan Islam secara murni. Para pendukung pergerakan ini
sesungguhnya menolak disebut Wahabbi, karena pada dasarnya ajaran Ibnu Wahhab menurut
mereka adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajaran tersendiri. Karenanya mereka
lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun yang
berarti "satu Tuhan".
B. Pemikiran
Kalam Muhammad bin Abdul Wahab
Salah
satu pelopor pembaruan dalam dunia Islam Arab adalah suatu aliran yang bernama
Wahabiyah yang sangat berpengaruh di abad ke-19. Wahabiyah adalah suatu bagian
dari firqah Islamiyah, dibangun oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1702 M – 1787
M).[5] Paham atau Madzhab
Wahabi pada hakikatnya adalah kelanjutan dari mazhab Salafiyyah yang dipelopori
Ahmad Ibnu Taimiyyah.
Muhammad
bin Abdul Wahab mendalami ilmu-ilmu syariat dengan berkeliling ke
wilayah-wilayah islam, seperti Basrah, Baghdad, Hamadzan, Ashfaham, Qum, dan
Kairo. Setelah itu ia berkeliling mendakwahkan pahamnya yang tak jauh berbeda
dengan paham Ibnu taimiyyah dan mayoritas penganut mazhab Hambali. Abdul Wahab
mengadakan pembaruan dengan memperketat beberapa masalah yang tidak dilakukan
oleh guru-gurunya. Ia mengharamkan rokok, melarang membangun kuburan, meskipun
sekedar dengan membuat gundukan tanah, melarang tashwir (foto atau gambar
makhuk bernyawa). Ia juga melarang berbagai adat kebiasaan.[6]
Hal
terpenting yang sangat diperhatikannya adalah masalah tauhid yang menjadi tiang
agama; yang terkristalisasi dalam ungkapan la ilah illa Allah. Menurutnya,
tauhid telah dirasuki berbagai hal yang hampir menyamai syirik, seperti
mengunjungi para wali, mempersembahkan hadiah dan meyakini bahwa mereka mampu
mendatangkan keuntungan atau kesusahan, mengunjungi kuburan mereka dikunjungi
oleh orang dari berbagai penjuru dunia dan di usap-usap. Seakan-akan Allah sama
dengan penguasa dunia yang dapat didekati melalui para tokoh mereka, dan
orang-orang dekat-Nya. Bahkan manusia telah melakukan syirik apabila mereka
percaya bahwa pohon kurma, pepohonan yang lain, sandal atau juru kunci makam
dapat diambil berkahnya, dengan tujuan agar mereka dapat memperoleh keuntungan.
Bagaimana menyelamatkan dari keyakinan-keyakinan seperti ini?
Menurutnya,
Allah swt semata-mata Pembuat Syariat dan akidah. Allah-lah yang menghalalkan
dan mengharamkan. Ucapan seseorang tidak dapat dijadikan hujah dalam agama,
selain Kalamullah dan Rasulullah. Adapun pendapat para teolog tentang akidah
serta pendapat para ahli fikih dalam masalah halal dan haram bukanlah hujah.
Setiap orang yang telah memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad berhak
melakukannya. Bahkan dia wajib melakukannya. Menutup pintu ijtihad merupakan
sebuah bencana atas kaum muslim, karena hal
itu
dapat menghilangkan kepribadian dan kemampuan mereka untuk memahami dan
menentukan hukum. Menutupi pintu ijtihad berarti membekukan pemikiran dan
menjadikan umat hanya mengikuti pendapat atau fatwa yang tertera dalam
buku-buku orang yang di ikutinya.[7]
Gerakan
kedua dari usaha pemurnian aqidah yang dilakukan Wahabi adalah pemberantasan
bid’ah, misalnya perayaan Maulid, keluarnya kaum wanita ikut mengiringi
jenazah, perayaan-perayaan spiritual, haul untuk memperingati kematian wali,
acara-acara yang lazim dilakukan para pengikut aliran sufi untuk mengenang
kematian guru atau nenek moyang mereka. Di samping itu, sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, beberapa kebiasaan, seperti merokok, berlebihan minum kopi,
laki-laki yang memakai kain sutera, mencukur jenggot, dan memakai perhiasan
emas, juga dianggap bid’ah.[8]
Tauhid,
menurut Ibnu Abdul Wahhab, pada dasarnya adalah pengabdian (ibadah) hanya
kepada Allah dengan cara yang benar-benar mengesakan-NYA. Ia membagi tauhid
menjadi 3, yaitu :
1. Tauhid
Rububiah, berkenaan tentang pengesaan Allah sebagai maha pencipta segala
sesuatu yang terlepas dari segala macam pengaruh dan sebab.
2. Tauhid
Asma wa sifat , berhubungan dengan pengesaan nama dan sifat-sifat Allah yang
berbeda dengan Makhluk-NYA.
3. Tauhid
Ilahiyah, berkaitan dengan pengesaan Allah sebagai Tuhan yang di sembah.
Di antara ajaran Muhammad bin Abdul Wahab yang
berkenaan dengan tauhid adalah :
1. Zat yang boleh
disembah hanyalah Allah semata, dan orang yang menyembah kepada selain Allah
telah menjadi musyrikdan boleh dibunuh.
2. Kebanyakan
umat islam bukan lagi penganut tauhid yang murni karena mereka meminta
pertolongan bukan lagi kepada Allah, tetapi kepada para wali dan orang saleh.
Muslim seperti ini telah menjadi musyrik.
3. Termasuk
perbuatan musyrik adalah memberikan dan menyebutkan “gelar dan sebutan
kehormatan” kepada nabi, wali atau malaika, terutama dalam shalat, misalnya
kata sayyidina, habibuna, atau syafi’una.
4. Memperoleh
dan menetapkan ilmu yang tidak didasarkan kepada Al Qur’an dan Sunnah merupakan
kekufuran.
5. Menafsirkan
Al Qur’an dengn takwil merupakan kekufuran.
6. Pintu
ijtihad selalu terbuka dan wajib dilaksanakan oleh orang yang mampu.[9]
Itulah
dasar dakwah Muhammad bin Abd al-Wahhab. Dia mengikuti ajaran Ibn Taimiyah.
Atas dasar itu pula dibangunlah hal-hal yang parsial. Menurutnya, manusia
bebas berpikir tentang batas-batas yang telah ditetapkan oleh al-qur’an dan
sunah. Dia memerangi segala macam bentuk bid’ah, dan mengarahkan orang agar
beribadah dan berdo’a hanya untuk Allah, bukan untuk para wali, syeikh, atau
kuburan.
Menurutnya, kita harus kembali
pada islam pada zaman awal, yang suci dan bersih. Dia berkeyakinan bahwa
kelemahan kaum Muslim hari ini terletak pada akidah mereka yang tidak benar.
Jika akidah mereka bersih seperti akidah para pendahulunya yang menjunjung
tinggi kalimat la ilah illa Allah (yang berarti tidak menganggap hal-hal lain
sebagai Tuhan selain Allah, tidak takut mati, atau tidak takut miskin dijalan
yang benar), maka kaum Muslim pasti dapat meraih kembali kemuliaan dan
kehormatan yang pernah diraih oleh para pendahulu mereka. Sekalipun merupakan seorang tokoh
reformasi dan tokoh dakwah, Syaikh Muhammad bin Abdul wahab masih sempat juga
menyibukkan diri untuk menulis. Beberapa karyanya yang terkenal antara lain:
1. Kitab
at-Tauhid
2. Kitab
al-kabair
3. Kasyf
asy-Syubat
4. Mukhtasar
Sirat ar-Rasul
5. Masa’il
al-Jahiliyah
6. Usul
al-Iman
7. Fada’il
al-Qur’an
8. Fadail
al-Islam
9. Majmu’
al-Hadist
10. Mukhtasar
al-Insaf wa asy-Syarh al-Kabir
11. Al-Usul
ats-Tsalatsa
12. Adab
al-Masyi ila ash-Shalah, dan lain sebagainya
Muhammad
bin Abdul Wahab telah mendarmabaktikan seluruh hidupnya untuk melaksanakan
dakwah dan jihad dengan penuh keikhlasan. Beliau dibantu oleh Muhammad bin
Sa’ud dan anaknya, Abdul aziz yang menjadi penguasa Dar’iyah. Beliau menghembuskan
nafas terakhirnya pada bulan Dzulqa’dah tahun 1206 H ( tahun 1792 M).
B.Bentuk
Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab
Muhammad
Ibnu Abdul Wahhab kecil telah ditempa dengan pendidikan agama yang kuat, baik
dari keluarga maupun lingkungan yang masih murni tingkat keIslamannya. Darah
Arab yang mengalir dalam tubuhnya, melahirkan citra watak yang khas, gandrung
dengan kebebasan dan petualangan. Kecemerlangan otak Ibnu Abdul Wahhab semakin
kentara ketika Ia banyak belajar filsafat dan sufi serta petualangan
intelektual lain diluar tempat kelahirannya. Bahkan untuk beberapa waktu Ibnu
Abdul Wahhab telah mengajarkan sufisme. Sekembalinya ke rumah dalam usia empat
puluh tahun, dimana kemapanan kondisi psikologis,kematangan berpikir dan
pemahaman telah mencapai puncaknya, Ibnu Abdul Wahhab mulai mengajarkan
doktrin-doktrinnya.
Untuk
pemikiran atau doktrin ajaran Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dapat dilihat dari dua
sumber. Pertama, buku-buku karyanya dan kedua,pendapat atau analis ahli
sejarah.
Pertama,
lewat kitab At Tauhid. Dalam terjemahan Thahir Badrie,Ibnu Abdul Wahhab
mengartikan tauhid sebagai dasar ajarannya. Tauhid menurut bahasa berarti
meyakini keesaan Allah, menganggap hanya ada satu Tuhan tidak ada yang lain.
Secara istilah tauhid berarti bahwa di dunia ini hanya ada satu Tuhan, Allah
Rabul Alamin.
Menurutnya
tauhid dibagi menjadi dua. Pertama, tauhid Uluhiyah,
yaitu kepercayaan untuk menetapkan bahwa sifat ke Tuhanan itu hanyalah milik
Allah belaka. Kedua, tauhid Rububiyah, yakni
kepercayaan bahwa pencipta alam ini adalah Allah, tapi ia tidak mengabdi
kepadanya saja.
Pembagian
ini mengacu pada Al Qur’an surat Al Baqarah 63, tentang keesaan Allah yang
artinya,
“Adapun
Tuhanmu adalah Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan melainkan Dia yang maha pengasih
lagi maha penyayang”.
Kedua,
tentang kekhawatiran pada syirik. Riya merupakan salah satu bentuk syirik
ringan dan orang-orang saleh dikhawatirkan terjerumus ke dalamnya. Memakai
azimat menyebabkan syirik sesuai dengan hadis riwayat Uqbah bin Amir ra.
Artinya :
Barang
siapa mengikatkan azimat atau jimat, dirinya tidak akan disempurnakan oleh
Allah. Dan barang siapa mengalungkan sebuah kerang (jimat), dia tidak akan
pernah memperoleh ketenangan dan kedamaian dari Allah.
Ketiga,
bernadzar atau bersumpah untuk selain Allah adalah perbuatan syirik. Pendapat
ini didasarkan pada hadis riwayat Bukhori. Artinya :
Barang
siapa bernadzar untuk mentaati Allah, maka dia harus mentaatiNya. Dan barang
siapa bernadzar untuk tidak mentaatiNya,maka dia tidak boleh menentangNya.
Keempat,
mencari perlindungan kepada selain Allah merupakan bagian dari syirik
(berdasarkan surat Al Jin : 6)
Kelima,
mencari pertolongan selain Allah atau berdoa kepada selainNya merupakan
perbuatan syirik (Yunus:106-107, Al Ahqaf 5-6, An Nahl : 62)
Keenam,masalah
syafaat adalah hak Allah dan diberikan kepada orang yang diridhoiNya.
Ketujuh,
kutukan bagi orang yang menyembah Allah di kuburan orang saleh. Nabi Muhammad
SAW melarang dengan keras menjadikan kuburannya sebagai masjid, seperti umat
Nasrani dan Yahudi.
Kedelapan,
janganlah manusia membuat sekutu-sekutu bagi Allah (Al Baqarah : 2)
C.Faktor yang Mendasari Pemikiran Muhammad
bin Abdul Wahhab
Setelah
kembali ke Najed pada usia sekitar empat puluh tahun, ia mulai menceramahkan
ajaran ajarannya sendiri, yang kemudian ditentang oleh sanak saudaranya
sendiri.46 Bagaimana tidak, pada waktu itu orang-orang Najed banyak yang
melakukan amalan-amalan yang berbau syirik dan perbuatan perbuatan yang tidak
Islami dengan sekehendak hati mereka. Seluruh kehidupan
Mereka
diliputi oleh paham polyteisme. Mereka menganggap makam-makam,
pepohonan, makhluk-makhluk halus dan orang-orang gila sebagai
sesembahan.Kondisi yang sama juga berlaku di wilayah Mekah dan Madinah,
demikian juga di Yaman. Dimana
paham polyteisme, pendirian
bangunan-bangunan di makam, serta pencaharian perlindungan dan bantuan kepada
orang-orang mati, orang-orang suci dan jin-jin menjadi gambaran keagamaan yang
umum. Muhammad bin Abdul Wahhab kemudian menetapkan diri untuk memurnikan
(Puritanisme)ajaran Islam, dan menyelamatkannya kedalam bentuk ajaran terdahulu
yang ketat.
D.
Proses Penyebaran Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab
Apa
yang menimpa umat Islam membuat rasa prihatin yang mendalam bagi Muhammad bin
Abdul Wahhab. Dari kenyataan yang ada,Muhammad bin Abdul Wahhab berasumsi hal
ini terjadi karena pengaruh tarekat yang ada di tengah masyarakat. Karena
pengaruh tarekat ini, permohonan dan doa tidak lagi langsung dipanjatkan kepada
Allah akan tetapi melalui syafaat para wali atau Syekh tarekat, karena
masyarakat berasumsi bahwa Allah tidak bisa didekati tanpa perantara. Menurut
Abdul Wahhab, hal ini jelas telah menyimpang dari ajaran Islam yang seharusnya.
Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh pendahulunya Ahmad bin Hanbal dan Ibn
Taimiyah.
Dalam
melakukan dakwahnya selain melalui lisan dan tulisan, juga melalui sebuah
gerakan keagamaan yang cukup terorganisir dan sukses, baik dalam aspek
keagamaan maupun politik. Oleh karenanya ia bertekad membentuk sebuah gerakan
pemurnian agama Islam supaya kembali kepada jalan yang semestinya. Gerakan ini
tepatnya terbentuk pada tahun 1740 M yaitu gerakan Wahabi.Namun yang terjadi,
ia diusir oleh penguasa setempat dari tempat kelahirannya karena dianggap telah
menimbulkan keributan-keributan di negerinya, kemudian Ia bersama keluarga
pindah ke Dar’iyah. Dar’iyah ini merupakan sebuah dusun yang ditempati Muhammad
bin Sa’ud (kakek Raja Abdullah) yang telah memeluk ajaran Wahabi, bahkan
menjadi pelindung
dan
penyiarnya. Ada beberapa isu yang ditekankan sebagai ajarannya yang kemudian
membedakannya dengan gerakan Islam lainnya, yang meliputi masalah
tauhid,tawassul, ziarah kubur, takfir, bidah, khurafat, ijtihad, dan
taklid.Menurut Muhammad bin Abdul Wahhab, pemurnian akidah merupakan pondasi
utama dalam pendidikan Islam. Ia juga menegaskan bahwa Pendidikan melalui
teladan atau contoh merupakan metode pendidikan yang paling
efektif.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab agar umat manusia
kembali kepada ajaran Rasulullah dan para sahabatnya sebagai suri tauladan yang
sangat baik
bagi
manusia.Selain itu menurutnya, tauhid adalah pegangan pokok dan sangat menentukan
bagi kehidupan manusia, karena tauhid menjadi landasan bagi setiap amal yang
dilakukan. Hanya amal yang dilandasi dengan tauhidullah menurut tuntunan Islam,
yang akan menghantarkan manusia kepada kehidupan yang baik dan kebahagiaan yang
hakiki di alam akhirat nanti.
Ia
mendapat dukungan dari Muhammad Bin Saud dan puteranya Abd al-Azis di Najed.
Faham-faham Muhammad bin Abdul Wahhab yang kemudian mulai tersiar itu bertambah
kuat, sehingga di tahun 1773 M mereka dapat menduduki Riyadh. Kemudian pada
tahun 1787 M Muhammad bin Abdul Wahhab meninggal dunia, tetapi ajaran-ajarannya
tetap hidup dengan mengambil bentuk aliran yang dikenal dengan nama Wahabiah.
Berikut
merupakan karya-karya Muhammad bin Abdul Wahhab,
sebagai
berikut;
a.
Kitab Tauhid ma’a aqidah al-salaf alladzi huwa haqqu Allah ‘ala al-‘abid
b.
Mukhtashor sirah al-Rasul
c.
al-Ushul al-Tsalatsah wa adillatuha
d.
Masa’il al-Jahiliyah
e.
Alati khalafah fiha Rasulullah saw ahlah al-Jahiliyah
f.
Muqaddimah wa Risalatan
g.
Al-Tauhid wa al-Kitabu qaulu al-Sadid
h.
Kasyfu al-Syubuhat
i.
Najmu’ al-Hadits, yang terdiri dari risalah-risalah kecil mengenai;
“Ushul
al-Iman”, “Fudhul al-Islam dan Kitabu al Kabair dan al-Rasa-il fi aqq-id
al-Islam”.
Gerakan
Wahabi sendiri pada awalnya adalah sebuah gerakan permurnian Islam,
namun setelah adanya kesepakatan antara Muhammad bin Abdul Wahhab
dengan Muhammad bin Saud pada tahun 1744 M, maka gerakan Wahabi pun
berubah menjadi sebuah gerakan politik, tetapi dalam bidang keagamaan. Artinya,
meskipun telah berubah menjadi sebuah gerakan politik,
namun
gerakan Wahabi ini tidak meninggalkan misi awal mereka yaitu sebagai gerakan
permurnian Islam.Dengan demikian ajaran Wahabi mengenai dasar-dasar keimanan
yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, namun berbeda dengan
akibat-akibatnya serta
tuntutan-tuntutan
ajaran agama yang murni mengikuti mazhab Hanbali. Dengan mengikuti Alquran dan
Hadis dan menolak deduksi, meskipun mereka tidak melarang kaidah-kaidah amalan
menurut mazhab lainnya.
Ajaran
tauhid yang dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab ini bermula dari kota
Najed, Arabia Tengah dan Dar’iyah sebagai pusat perkembangan pemikiran
pembaharuannya. Pada akhirnya menyebar ke seluruh Jazirah Arabia, kemudian ke
luar Arabia, seperti India, Mesir dan bahkan sampai ke Indonesia.Berikut ini
adalah negeri-negeri yang berada dibawah pengaruh aliran wahabiah ialah:
a.
India
Tepatnya
di Punjab (India Utara), Syekh Waliyullah (1702-1762M) menghasilkan sebuah
gerakan yaitu Wahabiah yang kemudian dipimpin oleh Sayid Ahmad (w. 1246 H/1831
M) dari Bareli. Selain di Punjab gerakan ini juga tersebar di Benggala dan
perkembangannya sangat pesat ketika itu.
b.
Aljazair
Aliran
wahabiah yang masuk dan berkembang pesat di negeri Aljazair ini dibawa oleh
Sayyid Muhammad bin Sanusi (1791-1859 M). Wahabisme berkembang melalui gerakan
al-Sanusiyyah dengan tujuan untuk membangun solidaritas keislaman.gerakan ini
mengajarkan pemurnian paham sufi dengan kembali kepada ajaran Alquran dan
Sunah. Setelah sukses gerakan ini kemudian menyebar ke Libya.90
c.
Mesir
Di
negeri Mesir aliran Wahabiah disebarkan oleh Syekh Rasyid Ridha (1856-1935 M),
sebagai teolog yang berorientasi liberal dan penggerak utama gerakan Salafi
atau Wahabi di Mesir. Menurutnya,umat Islam harus kembali pada sumber murni
Alquran dan Sunah dan
mengaitkan
diri dengan penafsiran teks.
d.
Sudan
Pengaruh
Wahabi dipelopori oleh Muhammad Ahmad (1848-1885 M) dengan tarekatnya yang
bernama Mahdiyah. Ia menyerukan pemurnian Islam kembali yang telah
diselewengkan
oleh
adat dan kebiasaan asing yang bukan Islam. Pada tahun 1885 M, gerakan ini
berhasil menguasai seluruh wilayah Sudan yang sebelumnya berada dibawah
kekuasaan Mesir.
e.
Indonesia
Ajaran
Wahabi ini masuk dan menyebar luas di Indonesia ini disebarkan oleh ulama dari
Sumatera Barat dan para jamaah haji yaitu Syekh Abdullah Ahmad (1878-1945 M),
Syekh Abdul Karim Amrullah (1879-1945 M), Syekh Muhammad Djamil Djambek
(1880-1947 M), dan lain-lain.
Mereka
kemudian memberantas adat-istiadat yang dipandang bidah, mereka kemudian
membentuk persatuan harimau dan salapan, persatuan
ini kemudian ditantang oleh golongan adat dengan meminta bantuan dari Belanda.
Maka timbullah perang Padri tahun 1821-1837 M.
Selain
itu terdapat Haji Miskin dengan paham Wahabinya telah memberikan pengatuh baru
terhadap gerakan reformasi Islam Indonesia. Begitu pun yang dilakukan oleh
Malim Basa yang terkenal dengan gelar Imam Bonjol. Keduanya kemudian mendirikan
perguruan di Bonjol yang kemudian menjadi pusat pendidikan bermazhab Hanbali.
Mereka
inilah yang mewakili perkembangan pengaruh Wahabi di Sumatera. Selanjutnya
paham Wahabi ini juga mempengaruhi pemikiran dari gerakan Persatuan Islam
(Persis), ini ditandai dengan adanya kesamaan dalam pemahaman keagamaan yang
menyangkut akidah
maupun
mengenai ibadah, intinya adalah mengembalikan pada apakah ajaran-ajaran
tersebut mempunyai dasar secara eksplisit dalam Alquran dan Hadis. Jika ada
maka akan dijadikan amalan untuk diyakini dan diamalkan dan sebaliknya
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Muhammad
bin ʿAbd al-Wahhāb (1115 - 1206 H/1701 - 1793 M) adalah seorang ahli teologi
agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat
sebagai mufti Daulah Su'udiyyah yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab
Saudi dan beliau adalah seorang ulama yang berusaha membangkitkan kembali
pergerakan perjuangan Islam secara murni.
Pemikiran
yang dikemukakan oleh Muhammad Abdul Wahab adalah upaya memperbaiki kedudukan
umat Islam terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam saat itu.
Paham tauhid mereka telah bercampur dengan ajaran-ajaran tarikat yang sejak
abad ke-13 tersebar luas di dunia Islam. Masalah tauhid memang merupakan ajaran
yang paling dasar dalam Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila
Muhammad Abdul Wahab memusatkan perhatiannya pada persoalan ini.
B. Saran
Terlepas
dari pro dan kontra pemikiran dan gerakan Muhammad bin Abdul Wahab, yang jelas
ide gerakan pembaharuannya patutlah dihormati dan dihargai sebagai sebuah upaya
dari seseorang muslim yang dengan keyakinan pemahaman tauhidnya telah melakukan
sesuatu, daripada tidak melakukan sesuatu untuk agama.
DAFTAR
PUSTAKA
Abbas, Siradjuddin. 2008. I’tiqad
Ahlusunnah Wal Jamaah, Jakarta : Pustaka Tarbiyah Baru.
Ahmad
Amin, Husayn. 1995. Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Asy-Syak’ah, Mustofa Muhammad. Islam
Tidak Bermazhab, Jakarta : Gema Insani Press.
Idahram,
Syaikh. 2011. Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, Yogyakarta
: Pusaka Pesantren.
Wahyudi,
K. Yudian. 2009. Gerakan Wahabi di Indonesia, Yogyakarta :
Pesantren Nawesea Press.
[2] K.H. Siradjuddin Abbas, I’tiqad
Ahlusunnah Wal Jamaah, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah Baru, 2008), hlm.
353.
[3] Syaikh Idahram, Sejarah
Berdarah Sekte Salafi Wahabi, (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2011),
hlm. 30
[4] K.H. Siradjuddin Abbas, I’tiqad
Ahlusunnah Wal Jamaah, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah Baru, 2008), hlm.
353.
[5]K.H. Siradjuddin Abbas, I’tiqad
Ahlusunnah Wal Jamaah, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah Baru, 2008), hlm.
352.
[6] Dr. Mustofa Muhammad Asy
–Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab, (Jakarta : Gema Insani Press,
1994), hlm.392-393.
[7] Husayn Ahmad
Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1995), hlm. 269-270.
[8] Dr. Mustofa Muhammad
Asy –Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab, (Jakarta : Gema Insani
Press, 1994), hlm.395.
[9] Prof. K. yudian
Wahyudi, Ph.D, Gerakan Wahabi di Indonesia, (Yogyakarta :
Pesantren Nawesea Press, 2009), hlm. 7-8.
No comments:
Post a Comment