1

loading...

Wednesday, October 24, 2018

MAKALAH PSIKOLOGI

MAKALAH PSIKOLOGI

RELEVANSI PSIKOLOGI PAI TERHADAP MENTAL PADA FASE PUBERTAS

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Kecenderungan hubungan agama dan kesehatan mental telah banyak ditelusuri dari zaman kuno yang masih menganggap suatu penyakit sebagai intervensi makhluk gaib, hingga zaman modern yang menggunakan alat medis dalam mendiagnosa adanya suatu penyakit. Masyarakat modern pada saat ini memandang bahwa penyakit hanya akan terdiagnosis apabila muncul gejala-gejala biologis. Teknologi yang telah mengalami kemajuan pada saat ini membawa manusia kepada keyakinan bahwasannnya suatu penyakit muncul hanya karena faktor fisik saja. Asumsi pada zaman kuno yang menyatakan bahwa makhluk halus ada hubungannya dengan suatu penyakit dapat dipatahkan dengan penggunaan alat medis yang canggih yang membuktikan bahwa itu adalah kuman atau virus.
Sejak awal-awal abad kesembilan belas oleh dikatakan para ahli kedokteran mulai menyadari akan adanya hubungan antara penyakit dengan kondisi psikis manusia. Hubungan timbal balik ini menyebabkan manusia dapat menderita gangguan fisik yang disebabkan oleh gangguan mental dan sebaliknya gangguann mental dapat menyebabkan penyakit fisik. Terkait dengan kesehatan mental tentunya tidak lepas dengan peran serta agama.
Dalam hal ini manusia tidak akan mampu terlepas dari kodrat, yaitu kodrat bahwa manusia membutuhkan Tuhan atau dalam bahasa sederhana manusia membutuhkan agama atau kepercayaan yang dijadikan pedoman dalam hidup untuk mencapai kebahagiaan. Atas dasar kodrat inilah manusia akan memahami esensi kehidupan yang sesungguhnya tentang siapa, dari mana sekaligus untuk apa mereka diciptakan.
Agama pada dasarnya harus ditanamkan pada manusia dengan tahapan sesuai dengan usia dan kebutuhan masing-masing, yaitu mulai dari anak-anak, pubertas atau remaja, dewasa bahkan sampai lansia, semua ini harus disesuaikan dengan kemampuan manusia untuk menerima kenyataan akan hal-hal yang tidak selamanya rasional. Untuk itu, perlu disesuaikannya dosis ajaran agama dengan pola fisik maupun psikis manusia yang dalam hal ini menunjukkan peran penting psikologi yang menjadikannya berkaitan erat dengan agama. Maka dari itu dalam makalah ini akan dibahas tentang Relevansi atau hubungan agama pada kesehatan mental diusia pubertas atau remaja.

B.     Rumusan Masalah
1.     Apa pengertian psikologi agama dan kesehatan mental?
2.   Bagaimana Relevansi atau Hubungan Psikologi Agama Terhadap Kesehatan Mental Pada Fase Pubertas ?

C.     Tujuan Masalah
1.   Untuk Mengetahui Apa pengertian psikologi agama dan kesehatan mental
2.   Untuk Mengetahui Relevansi atau Hubungan Psikologi Agama Terhadap Kesehatan Mental Pada Fase Pubertas
BAB II
PEMBAHASAN

A.         Pengertian Psikologi Agama dan Kesehatan Mental
Psikologi diakui sebagai ilmu mandiri pada akhir abad ke-19.Selanjutnya psikologi itu dapat diartikan menurut George A.Miller Psikologi adalah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan,dan mengendalikan peristiwa mental dan tingkah laku.[1]
Pengertian agama menurut J.H. Leuba, agama adalah cara bertingkah laku, sebagai system kepercayaan atau sebagai emosi yang bercorak khusus. Sedangkan definisi agama menurut Thouless adalah hubungan praktis yang dirasakan dengan apa yang dia percayai sebagai makhluk atau sebagai wujud yang lebih tinggi dari manusia.[2]
Berarti psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari seberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya. Dengan ungkapan lain psikologi agama adalah ilmu yang meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berfikir,bersikap,berkreasi dan bertingkah laku yang tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya,karena keyakinan itu masuk dalam konstruksi kepribadiannya.
Psikologi agama sebagai ilmu pengetahuan empiria tidak menguraikan tentang Tuhan dan sifat-sifatNya tapi dalam psikologi agama dapat diuraikan tentang pengaruh iman terhadap tingkah laku manusia. Psikologi dapat menguraikan iman agama kelompok atau iman individu, dapat mempelajari lingkungan-lingkungan empiris dari gejala keagamaan , tingkah laku keagamaan, atau pengalaman keagamaan, pengalaman keagamaan, hukum-hukum umum tetang terjadinya keimanan, proses timbulnya kesadaran beragama dan persoalan empiris lainnya. Ilmu jiwa agama hanyalah menghadapi manusia dengan pendirian dan perbuatan yang disebut agama, atau lebih tepatnya hidup keagamaan.
Kesehatan mental (mental hygiene) adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan rohani. Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dalam rohani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman dan tenteram. Menurut H.C Witherington, permasalahan kesehatan mental menyangkut pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat lapangan psikologi, kedokteran, pskiatri, biologi, sosiologi, dan agama.[3]

B.          Relevansi atau Hubungan Psikologi Agama Terhadap Kesehatan Mental Pada Fase Pubertas.
Agama merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Agama itu sendiri menyatu dalam fitrah penciptaan manusia. Terwujud dalam bentuk ketundukan, kerinduan ibadah, serta sifat-sifat luhur. Manakala dalam menjalankan kehidupannya, manusia menyimpang dari nilai-nilai fitrahnya, maka secara psikologis ia akan merasa adanya semacam “hukuman moral”. Lalu spontan akan muncul rasa bersalah atau rasa berdosa (sense of guilty).
Psikologi modern tampaknya memberi porsi yang khusus bagi perilaku keagamaan, walaupun pendekatan psikologis yang digunakan terbatas pada pengalaman empiris. Psikologi agama merupakan salah satu bukti adanya perhatian khusus para ahli psikologi terhadap peran agama dalam kehidupan kejiwaan manusia.
Pendapat yang paling ekstrem pun hal itu masih menunjukkan betapa agama sudah dinilai sebagai bagian dari kehidupan pribadi manusia yang erat kaitannya dengan gejala-gejala psikologi. Agama menurut Freud tampak dalam perilaku manusia sebagai simbolisasi dari kebencian terhadap Ayah yang direfleksi dalam bentuk tasa takut kepada Tuhan. Secara psikologis, agama adalah ilusi manusia. Manusia lari kepada agama karena rasa ketidak- berdayaannya  menghadapi bencana. Dengan demikian, segala bentuk perilaku keagamaan merupakan ciptaan manusia yang timbul dari dorongan, agar dirinya terhindar dari bahaya dan dapat memberikan rasa aman.
Lain halnya dengan penganut Behaviorisme. Sejalan dengan prinsip teorinya, bahwa Behaviorisme memandang perilaku manusia itu lahir karena adanya stimulant (rangsangan dari luar dirinya) teori Sarbond (gabungan dari stimulant dan respon) yang dikemukakan oleh Behaviorisme tampaknya memang kurang memberi tempat bagi kajian kejiwaan nonfisik. Namun, dalam masalah perilaku keagamaan, sebagai sebuah realitas dalam kehidupan manusia tak mampu ditampik oleh Behaviorisme. Perilaku keagamaan menurut pandangan Behaviorisme erat kaitannya dengan prinsip reinforcement(reward and punishment). Manusia berperilaku agama karena didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah. Menghindarkan hukuman (siksaan) dan mengharapkan hadiah (pahala).[4]
Agama memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin karena faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing, namun untuk menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan tampaknya sulit dilakukan, hal ini karena manusia memiliki unsur batin yang cendrung mendorongnya untuk tunduk kepada zat yang ghaib. Ketundukan ini merupakan bagian dari faktor intern manusia yang dalam psikologi kepribadian dinamakan pribadi (self) ataupun hati nurani (consience of man).
Agama sebagai fitrah manusia telah diinformasikan oleh Al-Qur’an. Fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT ialah manusia diciptakan mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka tidak wajar, mereka tidak beragama tauhid itu hanya karena pengaruh lingkungan, seperti yang ada dalam QS.Ar Rum:30-31.[5]
Hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi, yaitu Allah SWT. Sikap tersebut akan memberikan sikap optimis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif seperti rasa bahagia, puas, sukses, merasa dicintai, atau merasa aman. Sikap emosi yang demikian merupakan bagian dari kebutuhan hak asasi manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan. Maka dalam kondisi tersebut manusia berada dalam keadaan tenang dan normal.
Cukup logis bahwa ajaran agama mewajibkan penganutnya untuk melaksanakan ajrannya secara rutin. Bentuk dan pelaksanaan ibadah agama, paling tidak akan dapat berpengaruh dalam menanamkan keluhuran budi yang pada puncaknya akan menimbulkan rasa sukses sebagai pengabdi tuhan yan setia. Tindak ibadah setidak-tidaknya akan memberi rasa bahwa hidup menjadi lebih bermakna. Manusia sebagai makhluk yang memiliki kesatuan jasmani dan rohani secara tak terpisahkan memerlukan perlakuan yang dapat memuaskan keduanya.
Bagi mereka yang kurang penghayatannya terhadap agama, mungkin saja pandangan falsafah atau ideology tertentu dianggap memiliki nilai-nilai yang universal. Sedangkan bagi penganut agama, maka Tuhan merupakan sumber nilai Yang Maha Sempurna dengan agama sebagai perwujudan tuntutan-Nya. Di sinilah barangkali letak peranan agama dalam membina kesehatan mental, berdasarkan pendekatan logoterapi. Karena bagaimanapun, suatu ketika dalam kondisi yang berada dalam keadaan tanpa daya, manusia akan kehilangan pegangan dan bersikap pasrah.Dalam kondisi yang serupa ini ajaran agama paling tidak akan membangkitkan makna dalam hidupnya. Makna hidup pribadi menurut logoterapi hanya dapat dan harus ditemukan sendiri.Ibadah merupakan salah-satu cara yang dapat digunakan untuk membuka pandangan seseorang akan nilai-nilai potensial dan makna hidup yang terdapat dalam diri dan sekitarnya.[6]
Dalam hal ini terapi agama merupakan usaha penanggulangan suatu penyakit atau gejalah yang ada dalam diri makhluk hidup. Usaha penanggulangan gangguan kesehatan rohani atau mental sebenarnya dapat dilakukan sejak dini oleh yang bersangkutan. Dengan mencari cara yang tepat untuk menyesuaikan diri dengan memilih norma-norma moral, maka gangguan mental akan terselesaikan. Dalam konteks ini terlihat hubungan agama sebagai terapi kekusutan mental. Sebab, nilai-nilai luhur termuat dalam ajaran agama bagaimanapun dapat digunakan untuk penyesuaian dan pengendalian diri, hingga terhindar dari konflik batin.
Pendekatan terapi keagamaan ini dapat dirujuk dari informasi al-Qur’an sendiri sebagai kitab suci. Sebagaimana pernyataan Allah dalam Q.S. Yunus : 57 dan Q.S. Al Isra’ : 82.
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu Al-Qur’an yang mengandung pelajaran, penawar bagi penyakit batin (jiwa), tuntunan serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.(Q.S Yunus : 57)
“Dan kami turunkan Al-Qur’an yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.(Q.S Isra’ : 82)
Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan bahwa Allah dengan tegas menerangkan bahwa ketenangan jiwa dapat dicapai dengan dzikir (mengingat Allah), rasa takwa dan perbuatan baik adalah metode pencegahan dari rasa takut dan sedih, jalan bagaimana cara seseorang mengatasi kesukaran ialah dengan kesabaran dan shalat, dan Allah mensifati diri-Nya bahwa Dia-lah Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Bijaksana yang dapat memberikan ketenangan jiwa ke dalam hati orang yang beriman.[7]
Jadi, semakin dekat seseorang kepada Tuhan, dan semakin banyak ibadahnya, maka akan semakin tentramlah jiwanya serta semakin mampu ia menghadapi kekecewaan dan kesukaran-kesukaran dalam hidup. Dan demikian pula sebaliknya, semakin jauh orang itu dari agama, akan semakin susahlah baginya untuk mencari ketentraman batin.[8]Ini menunjukkan bahwa agama terkait dengan ini pendekatan diri kepeda Tuhan merupakan terapi yang tepat dalam menanggulangi masalah masalah kehidupan termasuk di dalamnya hal-hal yang menyebabkan gangguan pada kesehatan mental.

Ø Pada Fase Pubertas.
Jika dilihat dari fase pubertas itu sendiri, maka masa pubertas (pra adolesence), itu dimulai dari umur 11 sampai 13 tahun. Pada fase ini keadaan jiwa pada masa pubertas berada dalam masa transisi darimasa anak-anak menuju kedewasaan, maka kesadaran beragama pada masapubertas juga berada pada masa peralihan dari kehidupan beragama masaanak-anak menuju kehidupan beragama yang lebih mantap. Perkembanganjiwa pebertas ditandai dengan keadaan jiwanya yang masih labil danmengalami kegoncangan jiwa, daya berpikir yang abstrak, logik dan kritismulai menunjukkan tanda-tanda perkembangan. Selain itu, keadaan emosinyasemakin berkembang, motivasinya bersifat otonom dan tidak hanyadikendalikan oleh dorongan biologis semata, tapi sudah dikendalikan olehaspek-aspek yang lain (misalnya aspek psikologis dan sosio-kultural) yangjuga ikut mendorong motivasinya.
Dari timbulnya perkembangan jiwa yang dialami masa pubertas tersebut,mengakibatkan keadaan kehidupan beragama pada masa pubertas mudahgoyah dan mulai timbulnya keraguan dalam keimanan, kebimbangan dankonflik batin. Tapi di sisi lain, kesadaran beragama pada masa pubertas mulaimenunjukkan penghayatan yang mendalam, ini terlihat dalam hubungannyadengan Tuhan sudah adanya kesadaran dari dirinya.[9]
Karena seseorangmelakukan perilaku beragama semata-mata didorong oleh keinginan untukmenghindari keadaan bahaya yang akan menimpa dirinya dan akan memberirasa aman bagi diri sendiri.[10]Sehingga kesadaran beragama bagi pubertasmerupakan salah satu kebutuhannya sebagai makhluk yang dijuluki “homoreligious” (makhluk beragama) untuk mengabdi kepada Tuhan yang harusdipenuhinya.Sehubungan dengan hal ini maka kita juga harus tahu tentang ciri dan sikap kesadaran beragama yang dialami seseorang pada masa pubertas, yaitu:[11]

1.      Adanya pengalaman ke-Tuhanan yang semakin bersifat individual
Salah satu ciri masa pubertas ditunjukkan dengan semakin mulaimengenal dirinya, merekapun mengenal dirinya bukan hanya dalambentuk jasmaniyah saja, tapi sudah lebih meluas dalam kehidupanpsikologis rohaniyah yang berupa “pribadi yang utuh”, sehinggamengakibatkan sikap yang kritis terhadap dirinya dan segala sesuatu yangmenjadi milik dirinya. Dimana segala pikiran, perasaan, keinginan dankebutuhan psikologis lainnya adalah milik pribadinya.
Dari penemuan diri pribadinya tersebut, masa pubertas mengalamimasa kesendirian dan terpisah dari pribadi yang lain. Inilah yangmengakibatkan masa pubertas memerlukan bimbingan, perlindungan,dorongan dan petunjuk yang membangkitkan kepribadiannya untuk biasberkembang.Dalam pencariannya, masa pubertas bisa saja menemukanpandangan, ide dan falsafah hidup yang justru bertentangan dengankeimanan yang telah menjadi bagian dari pribadinya, sehinggamengakibatkan kebimbangan, kegelisahan, konflik batin dan penderitaanbagi dirinya sendiri.
Dalam keadaan labil, tentunya masa pubertas mencari ketentramanjiwa dan pegangan hidup yang abadi guna menepis segala kebimbangan,kegelisahan dan konflik batin yang mereka alami.Dari penghayatan dansikap kritisnya yang dilakukan, akhirnya pubertas menemukan pelindungdan pegangan hidup yang dibutuhkannya, yaitu dalam bentuk keimanandan mengabdi kepada Tuhan.
2. Keimanannya semakin menuju realitas yang sebenarnya
Kehidupan beragama pada masa pubertas bukan hanya memilikipemikiran secara kongkret, namun kemampuan berfikirnya sudah mulaiberkembang ke arah yang abstrak.Mereka sudah mampu menemukan. Memahami dan menerima ajaran agama yang berhubungan denganmasalah yang gaib dan bersifat rohaniyah dengan kesadaran, sepertimereka sudah bisa memahami dan meyakini adanya kehidupan setelahdunia (alam kubur, hari kiamat dan akhirat), meyakini adanya makhlukgaib (malaikat, jin dan setan), adanya surga dan neraka, dzatnya Allah dansebagainya.Hal tersebut menimbulkan kehidupan beragama pada masa pubertasmempunyai pandangan yang lebih luas dan kritis, sehingga pandanganhidupnya semakin bersifat otonom.

3. Pelaksanaan peribadatan mulai disertai dengan penghayatan yangtulus
Peribadatan bisa diartikan sebagai sikap dan tingkah laku keagamaan yang merupakan efek dari adanya penghayatan ke-Tuhanan dan keimanan.Sehingga peribadatan merupakan realisasi dari penghayatan dan keimananseseorang (pubertas) yang ditampakkan dalam pelaksanaan ajaran agamayang terkandung di dalamnya.
Masa pubertas sering kali mengalami kegoncangan jiwa dalam kehidupan beragama, ini lebih disebabkan karena sikap kritis yang merekamiliki. Namun kegoncangan jiwa tersebut justru akan membawanya untukmenemukan jati diri yang sebenarnya dan pegangan hidup, yaitu: berupapenghayatan atas keimanan terhadap Tuhan yang mantap demi ketentraman jiwanya.Untuk merealisasikan keimanan yang telah merasuk ke dalam jiwanya, mereka akan terdorong untuk melaksanakan peribadatan dan ajaran-ajaran agama yang disertai dengan hati nurani yang tulus. Semuaitu dilakukan untuk mencapai makna dan tujuan hidup yang sebenarnya.
Dengan demikian, kecenderungan beragama pada masa pubertas telah dimiliki sejak mereka lahir karena ini merupakan fitrah yang dibawanya,walaupun jiwa keagamaan pubertas penuh dengan kebimbangan, kegoncangan dan konflik batin akibat dari pertumbuhan dan perkembangan yang dialaminya.Sehingga dari kegoncangan jiwa tersebut, pubertas menemukan jati dirinya melalui kesadaran beragama yang ditujukkan dengan keimanan yang benar, penghayatan nilai-nilai agama dan pelaksanaan peribadatan dengan tulus.
Faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah :
a. Faktor Keluarga
Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yangpertama bagi seseorang, sedangkan kedudukan orang tua (bapak danibu) adalah sebagai pendidik yang mempunyai tanggung jawab yang bersifat ganda, yaitu: tanggung jawab yang bersifat kodrati dan tanggung jawab yang bersifat keagamaan.[12]Tanggung jawab yang bersifat kodrati, karena orang tualah yang melahirkan anak, sehingga secara naluriyah mereka bertanggung jawab untuk memelihara, memberi perlindungan, mengawasi dan mengarahkan anaknya dengan rasa kasih sayang. Sedangkan tanggungjawab yang bersifat keagamaan, yaitu: orang tua bertanggung jawab untuk mendidik dan membina anaknya dalam hal agama,[13] misalnya:pendidikan tentang keimanan, pengetahuan dan pemahaman nilai-nilai agama sampai pada pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagaimana perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an yang artinya :
“wahai orang-orang yang membenarkan adanya Allah dan rasulnya hendaknya sebagian yang satu dapat menjelaskan kepada sebagianyang lain tentang keharusan menjaga diri dari api neraka danmenolaknya, karena yang demikian itu merupakan bentuk ketaatankepada Allah dan mengikuti perintahnya, dan juga mengajarkankepada keluarganya tentang perbuatan ketaatan yang dapat memeliharadirinya dengan cara memberikan nasihat dan pendidikan”.(Q.S. At-tahrim ayat 6).
Jelasnya ayat tersebut berisi perintah atau kewajiban terhadap keluarga agar mendidik hukum-hukum agama kepada mereka. Hal yang demikian sejalan dengan hadis yang menyatakan bahwa Allah memberikan kasih sayang kepada seseorang yang mengatakan bahwa sembahyangnya, puasanya, zakatnya, ibadah hajinya, mengasuh anakyatimnya dan tetangganya, mudah-mudahan semua itu dapat menunjukkan mereka ke surga pada hari kiamat. Buatlah sesuatu yang dapat menjadi penghalang datangnya siksaan api neraka dengan cara menjauhkan diri perbuatan maksiat,memperkuat diri agar tidak mengikuti hawa nafsu, dan senantiasa taat menjalankan perintah Allah SWT. Jagalah keluargamu (yang terdiri dari isteri, anak, pembantu, budak dan saudara-saudara yang lain) dengan cara memberikan bimbingan, nasehat dan pendidikan kepada mereka.[14]
Peran yang diberikan oleh lingkungan keluarga berupa pendidikan agama merupakan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan masa pubertas, maka pendidikan agama dan penanaman nilai-nilai keagamaan untuk menumbuhkan kesadaran beragama harus diperhatikan secara penuh oleh orang tua. Karena semakin bertambahnya pengetahuan-pengetahuan dan pengalaman-pengalaman agama, mereka akan terdorong untuk menghayati nilai-nilai agama dan selanjutnya mengamalkannya dalam bentuk pelaksanaan ajaran-ajaran agama yang didasari dengan keimanan yang mantap. Jadi, peranan orang tua dalam keluarga dapat mencapai hasil yang baik atas pendidikan dan pembinaan agama terhadap pubertas menuju kesadaran beragama.
b. Faktor Sekolah
Bahwa pendidikan agama di lembaga pendidikan akan member peranan terhadap pembentukan jiwa keagamaan dan perilaku keagamaan bagi siswa. Tapi besar kecilnya pengaruh tersebut sangat tergantung pada faktor yang memotivasi siswa untuk memahami nilai-nilai agama, menghayati sekaligus mengamalkannya.
Tujuan pendidikan di sekolah berarti mendidik anak untuk menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya, dan merdeka tenaganya. Ini berarti guru tidak hanya sekedar memberikanilmu pengetahuan dan siswa memahaminya saja, namun diharapkan guru dapat menerapkan cara agar siswa dapat memakai ilmu tersebut sebagai sesuatu yang bermanfaat untuk pemenuhan kebutuhan lahirdan batinnya.19 Kebutuhan batin termasuk adalah bagaimana siswa dapat memahami, menghayati dan mengamalkan pengetahuan agama yang didapatnya dari sekolah.
Fungsi sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa kepribadian dan perilaku keagamaan siswa, yaitu antara lain sebagai pelanjut pendidikan agama di lingkungan keluarga. Guru agama atau tokoh-tokoh agama di lembaga pendidikan mempunyai tugas dan tanggung jawab ganda.
Pertama, tanggung jawab untuk mengajar (menyampaikanilmunya), karena kewajiban guru agama (Islam) sebagai seorang muslim harus saling membantu muslim lainnya dalam menuntut ilmu.
Kedua, tanggung jawab untuk mendidik siswa yang disebabkan karena pelimpahan sebagian tanggung jawab orang tua kepada anaknya (karena kenyataan membuktikan bahwa orang tua di rumah tidak mampu dan tidak mempunyai banyak kesempatan untuk mendidik anaknya secara baik).Menurut Jalaludin, bahwa proses perubahan sikap dari sikap tidak menerima ke sikap menerima dapat berlangsung melalui 3 prosesperubahan, yaitu:
1). Adanya perhatian
Bahwa pendidikan agama yang diberikan oleh guru agama harus dapat menarik perhatian para siswa, maka guru agama harus bisa mengetahui karakteristik siswa, mengetahui tingkat kemampuan siswa serta menciptakan suasana dan hubungan yang baik terhadap siswa. Hal ini akan menunjang terciptanya perhatian siswa terhadap materi pengajaran, yang selanjutnya membantu tercapainya tujuan pendidikan.

2). Adanya pemahaman
Para guru agama harus mampu memberikan pemahaman kepada peserta didik tentang materi yang disampaikannya.Guruagama harus bisa merencanakan materi pengajaran, memilih dan menggunakan metode yang tepat dan memakai media pendidikan yang cocok. Sehingga dapat memungkinkan para siswa untuk bisa memahami terhadap apa yang disampaikannya. Pemahaman ini akan lebih mudah diserap, jika pendidikan agama yang disampaikan dapat dipraktekkan oleh siswa.
3). Adanya penerimaan
Penerimaan siswa terhadap materi pendidikan agama yang disampaikan ini sangat tergantung pada hubungan antara materi pengajaran dengan kebutuhan bagi kehidupan siswa.Adanya sikap menerima tersebut juga ditentukan oleh sikapguru agama, antara lain seorang guru agama harus mempunya keahlian dalam bidang agama dan terutama harus memiliki sifat-sifat atau kepribadian yang sejalan dengan ajaran agama. Maka hal ini akan mendukung dan menentukan keberhasilan pendidikan agama di sekolah.
Menurut Abdur Rahman An-Nahlawi sebagaimana dikutip oleh Chabib Thoha, bahwa untuk menunjang penerimaan pendidikan agama Islam di sekolah, mereka memberikan metode sebagai berikut:
a). Metode hiwar (percakapan)
Metode hiwar (dialog) adalah percakapan antara duapihak atau tanya jawab mengenai suatu topik yang mengarah pada suatu tujuan. Metode ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana penerimaan siswa terhadap materi pelajaran yang disampaikan.
b). Metode kisah
Metode ini digunakan agar para siswa dapat mengetahui kisah-kisah terdahulu, yang selanjutnya dapat mengambil manfaat sebagai suri tauladan yang baik dalam pengamalan ajaran agama.
c). Metode amsal (perumpamaan)
Metode ini digunakan untuk memperjelas tentang materi yang disampaikan, dan perumpamaan ini sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan dan kehidupan siswa dalam sehari-hari.
d).Metode teladan
Para siswa memandang guru sebagai teladan utama bagi mereka, maka merekapun cenderung akan meniru segala tindak-tanduk dan perilaku guru. Sehingga guru memegang peranan penting dalam membentuk sikap dan perilaku siswauntuk berpegang teguh pada ajaran agama, akidah, cara berfikirsiswa dan sebagainya.
e). Metode pembiasaan diri dan pengalaman
Dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa dan perilaku keagamaan siswa, maka metode ini penting untuk diterapkan, sehingga guru agama harus bisa menerapkan kebiasaan hidupberagama di lingkungan sekolah, karena hal ini akan menunjang keberhasilan pendidikan agama dan sebagai hasilnya siswa dapat mengamalkan ajaran agama.
f). Metode ibrah dan mauidhah
Dengan metode ibrah siswa dapat mengambil pelajaran atau manfaat dari materi pelajaran (misal: tentang kisah-kisah dalam Al-qur’an), sehingga siswapun dapat mengetahui akibat baik dan jelek, yang selanjutnya akan menentukan siswa untuk selalu berperilaku baik dalam kehidupan sehari-hari.Sedangkan metode mauidhah berarti memberi nasehat dengan cara menyentuh kalbu. Dengan metode ini siswa merasa terbimbing dan terbina terhadap ajaran agama, sehinggaakan mengarahkan siswa untuk selalu berfikir dahulu sebelum bertindak sesuatu, agar apa yang akan dilakukan sesuai dengan ajaran agama.
g). Metode targhib dan tarhib
Istilah targhib berarti janji terhadap kesenangan, atau dengan kata lain istilah ini berkaitan dengan pahala. Sedangkan tarhib berarti ancaman karena dosa yang dilakukan seseorang,atau berkaitan neraka.
Dengan metode ini siswa dapat mengetahui tentang hal-hal yang baik dan jelek, mana perintah agama yang harus dilakukan dan larangan agama yang harus tinggalkan, sehingga siswa akan terdorong untuk sadar beragama dan selalu berbuat baik.
Dengan demikian, pembinaan agama dapat dilakukan dalam proses menghadapi masalah melalui pendekatan agama, sehingga ajaran agama tersebut dapat tercerminkan kepada siswa dalam menghadapi masalah serta menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari siswa untuk diteladaninya.Guru hendaknya berjiwa dan berakhlak agama, sehingga siswa terdorong untuk mencintai agama dan hidup sesuai dengan ajaran agama.
Apabila jiwa dan semangat agama tidak tercermin oleh sikap dan tindakan guru di sekolah, maka pendidikan agama yang diberikan guru akan sulit berkembang dalam jiwa anak dan bahkan akan menimbulkan antipatinya terhadap pendidikan agama.Selain itu, guru tidak hanya mendidik dan mengawasi perkembangan perilaku keagamaan siswa ketika di lingkungan sekolah saja, namun guru juga harus memperhatikan perkembangan siswaketika di luar sekolah (masyarakat), sehingga siswa dapat terawasi danterhindarkan dari pengaruh yang bertentangan dengan ajaran agama.
c. Faktor Masyarakat
Lingkungan masyarakat merupakan lapangan pendidikan yang ketiga setelah lingkungan keluarga dan sekolah. Dalam masyarakat juga ikut berperan dalam menciptakan dan meningkatkan kesadaran beragama pada masa pubertas, sehingga lingkungan masyarakat juga terciptanya suasana yang agamis dalam lingkungan masyarakatakan membawa masing-masing anggota masyarakat untuk terlibat didalamnya, maka akan mendorong anggota masyarakat (pubertas) untuk berperilaku sesuai dengan ketentuan agama dan kesadarannya menjalankan perintah agama.
Untuk mendukung terwujudnya kesadaran beragama pada masa
pubertas perlu adanya kerja sama yang baik antara orang tua dalam keluarga, para guru di sekolah dan anggota masyarakat yang bersedia membantu dan membina anggota masyarakat lainnya dalam hal pendidikan agama. Hubungan dari ketiga elemen tersebut harus selalu dibina untuk memberikan pendidikan dan pengawasan, sehinggapubertas benar-benar terkontrol dalam perilaku beragamanya. Dalam lingkungan keluarga dan sekolah memang telah terjadi proses pendidikan agama oleh orang tua dan guru, tetapi proses pendidikan tersebut hanya dapat berlangsung dalam kurun waktu tertentu saja dan bersifat sementara ketika di sekolah. Setelah para peserta didik (pubertas) kembali kepada pergaulan di masyarakat,maka proses pendidikan ini pun harus dilakukan dalam masyarakat.Ketika pubertas sudah bergabung di masyarakat perlu adanya prosespembinaan kembali yang dilakukan di masyarakat, sehingga fungsi keluarga, masyarakat harus diterapkan secara bersama-sama dalamproses pembinaan kembali terhadap pendidikan agama.
Ditinjau dari segi perkembangan sosial, masa pubertas mulai menampakkan hubungannya dengan anggota masyarakat lainnya, terutama yang menonjol adalah pergaulannya dengan teman sebayaatau lawan jenis. Berkaitan dengan proses pembinaan kembali dimasyarakat, maka pubertas harus bisa mencari dan memilih teman yang baik, teman yang mampu Relevansi antara psmenjadi pendidik, pembina sekaligus pengontrol atas dirinya dalam berperilaku keagamaan.
Dan bukan teman yang membawa ke pergaulan yang menyesatkan. Sebagaimana At-Thagra’i yang ditulis oleh Muhammad As-Suderi dalam buku yang berjudul “Bahaya Teman” mengtakan yaitu:“Musuh yang paling berbahaya adalah orang kepercayaanmu yang paling dekat, maka waspadalah terhadap manusia dan pergauilah mereka dengan hati-hati”.   Masa pubertas yang juga ditandai dengan mulai berkembangnya hubungan dengan masyarakat khususnya dengan teman sebaya atau lawan jenis harus selalu diperhatikan oleh orang tua, karena pergaulanini bisa membawa pendewasaan diri dan kesadaran beragama, ataujustru membawa pada perilaku amoral dan bertentangan dengan nilai-nilai agama jika pergaulan tersebut tidak terkontrol.
Oleh karena itu, pubertas dalam pergaulan di masyarakat harus bisa memilih teman bergaulnya dengan cermat, khususnya teman sebaya dan teman lawan jenisnya karena merekalah yang memberikan pengaruh dominan atas perkembangan pribadi dan sikapnya.Temanyang bisa membantu dirinya dalam pembinaan dan memberi pengawasan atas dirinya agar tidak terjerumus pada hal-hal yang dilarang agama. Jika pubertas sudah dapat menyadari arti pentingnya teman yang baik dan mewas padai bahayanya teman yang menyesatkan dirinya, maka proses pembinaan kembali terhadap pubertas dimasyarakat akan dapat terwujud, yang tentunya didukung oleh pengawasan dari orang tua.
Dengan demikian demi keberhasilan pendidikan dan pengawasan anak pada masa pubertas menuju kesadaran beragama secara maksimal,maka kerja sama antara orang tua, guru dan anggota masyarakat hendaknya dilakukan dan dikembangnkan dengan baik. Sehingga pubertas benar-benar terdidik dan terawasi terhadap perilakunya termasuk Perilaku keagamaannya dakam kehidupan sehari-hari.[15] Relevansi psikologi PAI atau agama terhadap kesehatan mental di usia pubertas itu memang ada hubuganya.                               

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari Penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa:
        1.          Psikologi agama dan kesehatan mental. Psikologi agama adalah ilmu yang meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berfikir,bersikap,berkreasi dan bertingkah laku yang tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya,karena keyakinan itu masuk dalam konstruksi kepribadiannya. Sedangkan Kesehatan mental (mental hygiene) adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan rohani. Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dalam rohani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman dan tenteram. Menurut H.C Witherington, permasalahan kesehatan mental menyangkut pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat lapangan psikologi, kedokteran, pskiatri, biologi, sosiologi, dan agama.
        2.          Relevansi atau Hubungan Psikologi Agama Terhadap Kesehatan Mental Pada Fase Pubertas. Adalah agama merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Agama itu sendiri menyatu dalam fitrah penciptaan manusia. Terwujud dalam bentuk ketundukan, kerinduan ibadah, serta sifat-sifat luhur. Manakala dalam menjalankan kehidupannya, manusia menyimpang dari nilai-nilai fitrahnya, maka secara psikologis ia akan merasa adanya semacam “hukuman moral”. Lalu spontan akan muncul rasa bersalah atau rasa berdosa (sense of guilty).
Hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi, yaitu Allah SWT. Sikap tersebut akan memberikan sikap optimis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif seperti rasa bahagia, puas, sukses, merasa dicintai, atau merasa aman.
Pada Fase Pubertas. Jika dilihat dari fase pubertas itu sendiri, maka masa pubertas (pra adolesence), itu dimulai dari umur 11 sampai 13 tahun. Pada fase ini keadaan jiwa pada masa pubertas berada dalam masa transisi darimasa anak-anak menuju kedewasaan, maka kesadaran beragama pada masapubertas juga berada pada masa peralihan dari kehidupan beragama masaanak-anak menuju kehidupan beragama yang lebih mantap. Perkembanganjiwa pebertas ditandai dengan keadaan jiwanya yang masih labil dan mengalami kegoncangan jiwa, daya berpikir yang abstrak, logik dan kritismulai menunjukkan tanda-tanda perkembangan.
Dari timbulnya perkembangan jiwa yang dialami masa pubertas tersebut,mengakibatkan keadaan kehidupan beragama pada masa pubertas mudahgoyah dan mulai timbulnya keraguan dalam keimanan, kebimbangan dan konflik batin. Tapi di sisi lain, kesadaran beragama pada masa pubertas mulai menunjukkan penghayatan yang mendalam, ini terlihat dalam hubungannya dengan Tuhan sudah adanya kesadaran dari dirinya. Dan difase pubertas yang harus dilihat juga yaitu ada bebrapa faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah faktor keluarga, faktor sekolah, faktor masyarakat.

B.     Kritik dan Saran
Dalam penulisan makalah mengenai Relevansi Psikologi PAI Terhadap Kesehatan Mental Pada Fase Pubertas ini, apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam penulisan, mohon kritik dan sarannya, dan diharapkan makalah ini berguna dan menambah ilmu bagi pembacanya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Ahyadi, 1995, Psikologi Agama (Kepribadian Muslim Pancasila), Bandung: Sinar Baru Algensindcet.
Abbudin Nara, 2002, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir Al-ayat Al-tarbawiy), Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, 1994, Psikologi Islami (Solisi Islam Atas Problem-problem Psikologi), Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT Persada.Raja Grafindo.   
Muhammad As-Suderi, 1997, Bahaya Teman, Jakarta: Gema insani Press.
Muhaimin, 1989, Problematika Agama Dalam Kehidupan Manusia, Jakarta: Kalam Mulia.

Sobur, Alex, 2009. Psikologi Umum, Bandung : Pustaka Setia.
Sururin, 2004. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Zakiah Daradjat, 1978, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung.



1Sobur, Alex, 2009. Psikologi Umum, Bandung : Pustaka Setia, cet.II hlm 32
[2]Sururin, 2004. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm 4
[3]Jalaluddin,2010,Psikologi Agama, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,hlm. 166
[4]Jalaluddin, 2010, Psikologi Agama,hlm. 159-160
[5]Jalaluddin, 2010, Psikologi Agama,hlm. 165
[6]Jalaluddin, 2010, Psikologi Agama,170-172.
[7]Jalaluddin, 2010, Psikologi Agama,hlm.179
[8]Zakiah Daradjat, 1978, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung, hlm.78-79
[9]Abdul Aziz Ahyadi, 1995, Psikologi Agama (Kepribadian Muslim Pancasila), Bandung: SinarBaru Algensindcet. III, hlm. 43
[10]Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, 1994, Psikologi Islami (Solisi Islam Atas Problem-problemPsikologi), Yogyakarta: Pustaka Pelajar,cet. I, hlm. 71
[11]Abdul Aziz Ahyadi, 1995, Psikologi Agama (Kepribadian Muslim Pancasila), hlm. 44
[12]Jalaluddin, 1998, Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. III, hlm. 204
[13]Muhaimin, 1989, Problematika Agama Dalam Kehidupan Manusia, Jakarta: Kalam Mulia,hlm. 106
[14] Abbudin Nara, 2002, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir Al-ayat Al-tarbawiy), Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,cet. 1, hal. 198-199
[15]Muhammad As-Suderi, 1997, Bahaya Teman, Jakarta: Gema insani Press,hlm. 2

No comments:

Post a Comment