MAKALAH PSIKOLOGI
RELEVANSI PSIKOLOGI PAI TERHADAP MENTAL PADA FASE PUBERTAS
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kecenderungan hubungan agama dan
kesehatan mental telah banyak ditelusuri dari zaman kuno yang masih menganggap
suatu penyakit sebagai intervensi makhluk gaib, hingga zaman modern yang
menggunakan alat medis dalam mendiagnosa adanya suatu penyakit. Masyarakat
modern pada saat ini memandang bahwa penyakit hanya akan terdiagnosis apabila
muncul gejala-gejala biologis. Teknologi yang telah mengalami kemajuan pada
saat ini membawa manusia kepada keyakinan bahwasannnya suatu penyakit muncul
hanya karena faktor fisik saja. Asumsi pada zaman kuno yang menyatakan bahwa
makhluk halus ada hubungannya dengan suatu penyakit dapat dipatahkan dengan
penggunaan alat medis yang canggih yang membuktikan bahwa itu adalah kuman atau
virus.
Sejak awal-awal abad kesembilan
belas oleh dikatakan para ahli kedokteran mulai menyadari akan adanya hubungan
antara penyakit dengan kondisi psikis manusia. Hubungan timbal balik ini
menyebabkan manusia dapat menderita gangguan fisik yang disebabkan oleh
gangguan mental dan sebaliknya gangguann mental dapat menyebabkan penyakit
fisik. Terkait dengan kesehatan mental tentunya tidak lepas dengan peran serta
agama.
Dalam hal ini manusia tidak akan
mampu terlepas dari kodrat, yaitu kodrat bahwa manusia membutuhkan Tuhan atau
dalam bahasa sederhana manusia membutuhkan agama atau kepercayaan yang
dijadikan pedoman dalam hidup untuk mencapai kebahagiaan. Atas dasar kodrat inilah manusia akan memahami esensi
kehidupan yang sesungguhnya tentang siapa, dari mana sekaligus untuk apa mereka
diciptakan.
Agama pada dasarnya harus ditanamkan pada manusia
dengan tahapan sesuai dengan usia dan kebutuhan masing-masing, yaitu mulai dari anak-anak,
pubertas atau remaja, dewasa bahkan sampai lansia, semua ini harus disesuaikan dengan
kemampuan manusia untuk menerima kenyataan akan hal-hal yang tidak selamanya
rasional. Untuk itu, perlu disesuaikannya dosis ajaran agama dengan pola fisik
maupun psikis manusia yang dalam hal ini menunjukkan peran penting psikologi
yang menjadikannya berkaitan erat dengan agama. Maka dari itu dalam makalah ini
akan dibahas tentang Relevansi atau hubungan agama pada kesehatan mental diusia
pubertas atau remaja.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian psikologi agama dan kesehatan mental?
2. Bagaimana Relevansi atau Hubungan
Psikologi Agama Terhadap Kesehatan Mental Pada Fase Pubertas ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Apa
pengertian psikologi agama dan kesehatan mental
2. Untuk Mengetahui Relevansi atau
Hubungan Psikologi Agama Terhadap Kesehatan Mental Pada Fase Pubertas
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Psikologi Agama dan Kesehatan Mental
Psikologi diakui
sebagai ilmu mandiri pada akhir abad ke-19.Selanjutnya psikologi itu dapat diartikan menurut
George A.Miller Psikologi adalah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan,dan mengendalikan peristiwa mental
dan tingkah laku.[1]
Pengertian agama menurut J.H. Leuba, agama adalah cara
bertingkah laku, sebagai system kepercayaan atau sebagai emosi yang bercorak
khusus. Sedangkan definisi agama menurut Thouless adalah hubungan praktis yang
dirasakan dengan apa yang dia percayai sebagai makhluk atau sebagai wujud yang
lebih tinggi dari manusia.[2]
Berarti psikologi agama adalah
cabang dari psikologi yang meneliti dan
menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari seberapa besar
pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup
pada umumnya. Dengan ungkapan lain psikologi agama adalah ilmu yang meneliti
pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang atau mekanisme yang
bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berfikir,bersikap,berkreasi
dan bertingkah laku yang tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya,karena
keyakinan itu masuk dalam konstruksi kepribadiannya.
Psikologi agama sebagai ilmu pengetahuan empiria tidak
menguraikan tentang Tuhan dan sifat-sifatNya tapi dalam psikologi agama dapat
diuraikan tentang pengaruh iman terhadap tingkah laku manusia. Psikologi dapat
menguraikan iman agama kelompok atau iman individu, dapat mempelajari
lingkungan-lingkungan empiris dari gejala keagamaan , tingkah laku keagamaan,
atau pengalaman keagamaan, pengalaman keagamaan, hukum-hukum umum tetang
terjadinya keimanan, proses timbulnya kesadaran beragama dan persoalan empiris
lainnya. Ilmu jiwa agama hanyalah menghadapi manusia dengan pendirian dan
perbuatan yang disebut agama, atau lebih tepatnya hidup keagamaan.
Kesehatan mental (mental hygiene) adalah ilmu yang
meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta
prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan rohani. Orang yang sehat
mentalnya ialah orang yang dalam rohani atau dalam hatinya selalu merasa
tenang, aman dan tenteram. Menurut H.C Witherington, permasalahan kesehatan
mental menyangkut pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat lapangan
psikologi, kedokteran, pskiatri, biologi, sosiologi, dan agama.[3]
B.
Relevansi atau Hubungan Psikologi
Agama Terhadap Kesehatan Mental Pada Fase Pubertas.
Agama merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia. Agama itu sendiri menyatu dalam fitrah penciptaan
manusia. Terwujud dalam bentuk ketundukan, kerinduan ibadah, serta sifat-sifat
luhur. Manakala dalam menjalankan kehidupannya, manusia menyimpang dari
nilai-nilai fitrahnya, maka secara psikologis ia akan merasa adanya
semacam “hukuman moral”. Lalu spontan akan muncul rasa bersalah atau rasa
berdosa (sense of guilty).
Psikologi modern tampaknya
memberi porsi yang khusus bagi perilaku keagamaan, walaupun pendekatan
psikologis yang digunakan terbatas pada pengalaman empiris. Psikologi agama
merupakan salah satu bukti adanya perhatian khusus para ahli psikologi terhadap
peran agama dalam kehidupan kejiwaan manusia.
Pendapat yang paling ekstrem pun
hal itu masih menunjukkan betapa agama sudah dinilai sebagai bagian dari
kehidupan pribadi manusia yang erat kaitannya dengan gejala-gejala psikologi.
Agama menurut Freud tampak dalam perilaku manusia sebagai simbolisasi dari
kebencian terhadap Ayah yang direfleksi dalam bentuk tasa takut kepada Tuhan.
Secara psikologis, agama adalah ilusi manusia. Manusia lari kepada agama karena
rasa ketidak- berdayaannya menghadapi bencana. Dengan demikian, segala
bentuk perilaku keagamaan merupakan ciptaan manusia yang timbul dari dorongan, agar
dirinya terhindar dari bahaya dan dapat memberikan rasa aman.
Lain halnya dengan penganut Behaviorisme.
Sejalan dengan prinsip teorinya, bahwa Behaviorisme memandang perilaku manusia
itu lahir karena adanya stimulant (rangsangan dari luar dirinya) teori Sarbond
(gabungan dari stimulant dan respon) yang dikemukakan oleh Behaviorisme
tampaknya memang kurang memberi tempat bagi kajian kejiwaan nonfisik. Namun,
dalam masalah perilaku keagamaan, sebagai sebuah realitas dalam kehidupan
manusia tak mampu ditampik oleh Behaviorisme. Perilaku keagamaan menurut
pandangan Behaviorisme erat kaitannya dengan prinsip reinforcement(reward
and punishment). Manusia berperilaku agama karena didorong oleh rangsangan
hukuman dan hadiah. Menghindarkan hukuman (siksaan) dan mengharapkan hadiah
(pahala).[4]
Agama memang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin
karena faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun
lingkungan masing-masing, namun untuk menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan
dan rasa keagamaan tampaknya sulit dilakukan, hal ini karena manusia memiliki
unsur batin yang cendrung mendorongnya untuk tunduk kepada zat yang ghaib.
Ketundukan ini merupakan bagian dari faktor intern manusia yang dalam psikologi
kepribadian dinamakan pribadi (self) ataupun hati nurani (consience of man).
Agama sebagai fitrah manusia telah diinformasikan oleh
Al-Qur’an. Fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT ialah manusia diciptakan
mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama
tauhid, maka tidak wajar, mereka tidak beragama tauhid itu hanya karena
pengaruh lingkungan, seperti yang ada dalam QS.Ar Rum:30-31.[5]
Hubungan antara agama sebagai
keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang
terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi, yaitu Allah SWT. Sikap tersebut akan
memberikan sikap optimis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif
seperti rasa bahagia, puas, sukses, merasa dicintai, atau merasa aman. Sikap
emosi yang demikian merupakan bagian dari kebutuhan hak asasi manusia sebagai
makhluk yang ber-Tuhan. Maka dalam kondisi tersebut manusia berada dalam
keadaan tenang dan normal.
Cukup logis bahwa ajaran agama
mewajibkan penganutnya untuk melaksanakan ajrannya secara rutin. Bentuk dan
pelaksanaan ibadah agama, paling tidak akan dapat berpengaruh dalam menanamkan
keluhuran budi yang pada puncaknya akan menimbulkan rasa sukses sebagai
pengabdi tuhan yan setia. Tindak ibadah setidak-tidaknya akan memberi rasa
bahwa hidup menjadi lebih bermakna. Manusia sebagai makhluk yang memiliki
kesatuan jasmani dan rohani secara tak terpisahkan memerlukan perlakuan yang
dapat memuaskan keduanya.
Bagi mereka yang kurang
penghayatannya terhadap agama, mungkin saja pandangan falsafah atau ideology
tertentu dianggap memiliki nilai-nilai yang universal. Sedangkan bagi penganut
agama, maka Tuhan merupakan sumber nilai Yang Maha Sempurna dengan agama
sebagai perwujudan tuntutan-Nya. Di sinilah barangkali letak peranan agama
dalam membina kesehatan mental, berdasarkan pendekatan logoterapi. Karena
bagaimanapun, suatu ketika dalam kondisi yang berada dalam keadaan tanpa daya,
manusia akan kehilangan pegangan dan bersikap pasrah.Dalam kondisi yang serupa
ini ajaran agama paling tidak akan membangkitkan makna dalam hidupnya. Makna
hidup pribadi menurut logoterapi hanya dapat dan harus ditemukan sendiri.Ibadah
merupakan salah-satu cara yang dapat digunakan untuk membuka pandangan
seseorang akan nilai-nilai potensial dan makna hidup yang terdapat dalam diri
dan sekitarnya.[6]
Dalam hal ini terapi agama merupakan usaha penanggulangan
suatu penyakit atau gejalah yang ada dalam diri makhluk hidup. Usaha penanggulangan gangguan
kesehatan rohani atau mental sebenarnya dapat dilakukan sejak dini oleh yang
bersangkutan. Dengan mencari cara yang tepat untuk menyesuaikan diri dengan
memilih norma-norma moral, maka gangguan mental akan terselesaikan. Dalam
konteks ini terlihat hubungan agama sebagai terapi kekusutan mental. Sebab,
nilai-nilai luhur termuat dalam ajaran agama bagaimanapun dapat digunakan untuk
penyesuaian dan pengendalian diri, hingga terhindar dari konflik batin.
Pendekatan terapi keagamaan ini
dapat dirujuk dari informasi al-Qur’an sendiri sebagai kitab suci. Sebagaimana
pernyataan Allah dalam Q.S. Yunus :
57 dan Q.S. Al Isra’ : 82.
“Wahai manusia, sesungguhnya
telah datang dari Tuhanmu Al-Qur’an yang mengandung pelajaran, penawar bagi
penyakit batin (jiwa), tuntunan serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”(Q.S Yunus : 57)
“Dan kami turunkan Al-Qur’an
yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.”(Q.S Isra’ : 82)
Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan
bahwa Allah dengan tegas menerangkan bahwa ketenangan jiwa dapat dicapai dengan
dzikir (mengingat Allah), rasa takwa dan perbuatan baik adalah metode
pencegahan dari rasa takut dan sedih, jalan bagaimana cara seseorang mengatasi
kesukaran ialah dengan kesabaran dan shalat, dan Allah mensifati diri-Nya bahwa
Dia-lah Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Bijaksana yang dapat memberikan
ketenangan jiwa ke dalam hati orang yang beriman.[7]
Jadi, semakin dekat seseorang
kepada Tuhan, dan semakin banyak ibadahnya, maka akan semakin tentramlah
jiwanya serta semakin mampu ia menghadapi kekecewaan dan kesukaran-kesukaran
dalam hidup. Dan demikian pula sebaliknya, semakin jauh orang itu dari agama,
akan semakin susahlah baginya untuk mencari ketentraman batin.[8]Ini menunjukkan bahwa agama
terkait dengan ini pendekatan diri kepeda Tuhan merupakan terapi yang tepat
dalam menanggulangi masalah masalah kehidupan termasuk di dalamnya hal-hal yang
menyebabkan gangguan pada kesehatan mental.
Ø Pada Fase Pubertas.
Jika dilihat dari fase pubertas itu sendiri, maka masa pubertas (pra adolesence), itu dimulai dari umur 11 sampai 13 tahun. Pada fase ini keadaan jiwa
pada masa pubertas berada dalam masa transisi darimasa anak-anak menuju kedewasaan,
maka kesadaran beragama pada masapubertas juga berada pada masa peralihan dari
kehidupan beragama masaanak-anak menuju kehidupan beragama yang lebih mantap.
Perkembanganjiwa pebertas ditandai dengan keadaan jiwanya yang masih labil
danmengalami kegoncangan jiwa, daya berpikir yang abstrak, logik dan
kritismulai menunjukkan tanda-tanda perkembangan. Selain itu, keadaan
emosinyasemakin berkembang, motivasinya bersifat otonom dan tidak
hanyadikendalikan oleh dorongan biologis semata, tapi sudah dikendalikan
olehaspek-aspek yang lain (misalnya aspek psikologis dan sosio-kultural)
yangjuga ikut mendorong motivasinya.
Dari timbulnya perkembangan jiwa yang dialami masa
pubertas tersebut,mengakibatkan keadaan kehidupan beragama pada masa pubertas
mudahgoyah dan mulai timbulnya keraguan dalam keimanan, kebimbangan dankonflik
batin. Tapi
di sisi lain, kesadaran beragama pada masa pubertas mulaimenunjukkan
penghayatan yang mendalam, ini terlihat dalam hubungannyadengan Tuhan sudah
adanya kesadaran dari dirinya.[9]
Karena seseorangmelakukan perilaku
beragama semata-mata didorong oleh keinginan untukmenghindari keadaan bahaya
yang akan menimpa dirinya dan akan memberirasa aman bagi diri sendiri.[10]Sehingga
kesadaran beragama bagi pubertasmerupakan salah satu kebutuhannya sebagai
makhluk yang dijuluki “homoreligious” (makhluk beragama) untuk mengabdi
kepada Tuhan yang harusdipenuhinya.Sehubungan dengan hal ini maka kita juga
harus tahu tentang ciri dan sikap kesadaran beragama yang dialami seseorang
pada masa pubertas, yaitu:[11]
1.
Adanya
pengalaman ke-Tuhanan yang semakin bersifat individual
Salah satu ciri masa pubertas ditunjukkan dengan semakin mulaimengenal
dirinya, merekapun mengenal dirinya bukan hanya dalambentuk jasmaniyah saja,
tapi sudah lebih meluas dalam kehidupanpsikologis rohaniyah yang berupa “pribadi
yang utuh”, sehinggamengakibatkan sikap yang kritis terhadap dirinya dan
segala sesuatu yangmenjadi milik dirinya. Dimana segala pikiran,
perasaan, keinginan dankebutuhan psikologis lainnya adalah milik pribadinya.
Dari
penemuan diri pribadinya tersebut, masa pubertas mengalamimasa kesendirian dan
terpisah dari pribadi yang lain. Inilah yangmengakibatkan masa pubertas
memerlukan bimbingan, perlindungan,dorongan dan petunjuk yang membangkitkan
kepribadiannya untuk biasberkembang.Dalam pencariannya, masa pubertas bisa saja
menemukanpandangan, ide dan falsafah hidup yang justru bertentangan
dengankeimanan yang telah menjadi bagian dari pribadinya, sehinggamengakibatkan
kebimbangan, kegelisahan, konflik batin dan penderitaanbagi dirinya sendiri.
Dalam
keadaan labil, tentunya masa pubertas mencari ketentramanjiwa dan pegangan
hidup yang abadi guna menepis segala kebimbangan,kegelisahan dan konflik batin
yang mereka alami.Dari penghayatan dansikap kritisnya yang dilakukan, akhirnya
pubertas menemukan pelindungdan pegangan hidup yang dibutuhkannya, yaitu dalam
bentuk keimanandan mengabdi kepada Tuhan.
2. Keimanannya semakin
menuju realitas yang sebenarnya
Kehidupan
beragama pada masa pubertas bukan hanya memilikipemikiran secara kongkret,
namun kemampuan berfikirnya sudah mulaiberkembang ke arah yang abstrak.Mereka
sudah mampu menemukan. Memahami dan
menerima ajaran agama yang berhubungan denganmasalah yang gaib dan bersifat
rohaniyah dengan kesadaran, sepertimereka sudah bisa memahami dan meyakini
adanya kehidupan setelahdunia (alam kubur, hari kiamat dan akhirat), meyakini
adanya makhlukgaib (malaikat, jin dan setan), adanya surga dan neraka, dzatnya
Allah dansebagainya.Hal tersebut menimbulkan kehidupan beragama pada masa
pubertasmempunyai pandangan yang lebih luas dan kritis, sehingga pandanganhidupnya
semakin bersifat otonom.
3. Pelaksanaan
peribadatan mulai disertai dengan penghayatan yangtulus
Peribadatan
bisa diartikan sebagai sikap dan tingkah laku keagamaan yang merupakan efek
dari adanya penghayatan ke-Tuhanan dan keimanan.Sehingga peribadatan merupakan
realisasi dari penghayatan dan keimananseseorang (pubertas) yang ditampakkan
dalam pelaksanaan ajaran agamayang terkandung di dalamnya.
Masa
pubertas sering kali mengalami kegoncangan jiwa dalam kehidupan beragama, ini
lebih disebabkan karena sikap kritis yang merekamiliki. Namun kegoncangan jiwa
tersebut justru akan membawanya untukmenemukan jati diri yang sebenarnya dan
pegangan hidup, yaitu: berupapenghayatan atas keimanan terhadap Tuhan yang
mantap demi ketentraman jiwanya.Untuk merealisasikan keimanan yang telah
merasuk ke dalam jiwanya, mereka akan terdorong untuk melaksanakan peribadatan
dan ajaran-ajaran agama yang disertai dengan hati nurani yang tulus. Semuaitu
dilakukan untuk mencapai makna dan tujuan hidup yang sebenarnya.
Dengan
demikian, kecenderungan beragama pada masa pubertas telah dimiliki sejak mereka
lahir karena ini merupakan fitrah yang dibawanya,walaupun jiwa keagamaan
pubertas penuh dengan kebimbangan, kegoncangan dan konflik batin akibat dari
pertumbuhan dan perkembangan yang dialaminya.Sehingga dari kegoncangan jiwa
tersebut, pubertas menemukan jati dirinya melalui kesadaran beragama yang
ditujukkan dengan keimanan yang benar, penghayatan nilai-nilai agama dan
pelaksanaan peribadatan dengan tulus.
Faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah :
a. Faktor Keluarga
Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan
yangpertama bagi seseorang, sedangkan kedudukan orang tua (bapak danibu) adalah
sebagai pendidik yang mempunyai tanggung jawab yang bersifat ganda, yaitu:
tanggung jawab yang bersifat kodrati dan tanggung jawab yang bersifat
keagamaan.[12]Tanggung
jawab yang bersifat kodrati, karena orang tualah yang melahirkan anak, sehingga
secara naluriyah mereka bertanggung jawab untuk memelihara, memberi
perlindungan, mengawasi dan mengarahkan anaknya dengan rasa kasih sayang.
Sedangkan tanggungjawab yang bersifat keagamaan, yaitu: orang tua bertanggung
jawab untuk mendidik dan membina anaknya dalam hal agama,[13]
misalnya:pendidikan tentang keimanan, pengetahuan dan pemahaman nilai-nilai agama
sampai pada pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagaimana
perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an
yang artinya :
“wahai orang-orang yang
membenarkan adanya Allah dan rasulnya hendaknya sebagian yang satu dapat
menjelaskan kepada sebagianyang lain tentang keharusan menjaga diri dari api
neraka danmenolaknya, karena yang demikian itu merupakan bentuk ketaatankepada
Allah dan mengikuti perintahnya, dan juga mengajarkankepada keluarganya tentang
perbuatan ketaatan yang dapat memeliharadirinya dengan cara memberikan nasihat
dan pendidikan”.(Q.S.
At-tahrim ayat 6).
Jelasnya
ayat tersebut berisi perintah atau kewajiban terhadap keluarga agar mendidik
hukum-hukum agama kepada mereka. Hal yang demikian sejalan dengan hadis yang
menyatakan bahwa Allah memberikan kasih sayang kepada seseorang yang mengatakan
bahwa sembahyangnya, puasanya, zakatnya, ibadah hajinya, mengasuh anakyatimnya
dan tetangganya, mudah-mudahan semua itu dapat menunjukkan mereka ke surga pada
hari kiamat. Buatlah sesuatu yang dapat menjadi penghalang datangnya siksaan
api neraka dengan cara menjauhkan diri perbuatan maksiat,memperkuat diri agar
tidak mengikuti hawa nafsu, dan senantiasa taat menjalankan perintah Allah SWT.
Jagalah keluargamu (yang terdiri dari isteri, anak, pembantu, budak dan
saudara-saudara yang lain) dengan cara memberikan bimbingan, nasehat dan
pendidikan kepada mereka.[14]
Peran yang diberikan oleh lingkungan keluarga berupa pendidikan
agama merupakan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan masa pubertas, maka
pendidikan agama dan penanaman nilai-nilai keagamaan untuk menumbuhkan
kesadaran beragama harus diperhatikan secara penuh oleh orang tua. Karena
semakin bertambahnya pengetahuan-pengetahuan dan pengalaman-pengalaman agama,
mereka akan terdorong untuk menghayati nilai-nilai agama dan selanjutnya
mengamalkannya dalam bentuk pelaksanaan ajaran-ajaran agama yang didasari
dengan keimanan yang mantap. Jadi, peranan orang tua dalam keluarga dapat mencapai
hasil yang baik atas pendidikan dan pembinaan agama terhadap pubertas menuju
kesadaran beragama.
b. Faktor Sekolah
Bahwa
pendidikan agama di lembaga pendidikan akan member peranan terhadap pembentukan
jiwa keagamaan dan perilaku keagamaan bagi siswa. Tapi besar kecilnya pengaruh
tersebut sangat tergantung pada faktor yang memotivasi siswa untuk memahami
nilai-nilai agama,
menghayati sekaligus mengamalkannya.
Tujuan
pendidikan di sekolah berarti mendidik anak untuk menjadi manusia yang merdeka
batinnya, merdeka pikirannya, dan merdeka tenaganya. Ini berarti guru tidak
hanya sekedar memberikanilmu pengetahuan dan siswa memahaminya saja, namun
diharapkan guru dapat menerapkan cara agar siswa dapat memakai ilmu tersebut sebagai
sesuatu yang bermanfaat untuk pemenuhan kebutuhan lahirdan batinnya.19
Kebutuhan batin termasuk adalah bagaimana siswa dapat memahami, menghayati dan
mengamalkan pengetahuan agama yang didapatnya dari sekolah.
Fungsi
sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa kepribadian dan perilaku
keagamaan siswa, yaitu antara lain sebagai pelanjut pendidikan agama di lingkungan
keluarga. Guru
agama atau tokoh-tokoh agama di lembaga pendidikan mempunyai tugas dan tanggung
jawab ganda.
Pertama,
tanggung jawab untuk mengajar (menyampaikanilmunya), karena kewajiban guru
agama (Islam) sebagai seorang muslim harus saling membantu muslim lainnya dalam
menuntut ilmu.
Kedua,
tanggung
jawab untuk mendidik siswa yang disebabkan karena pelimpahan sebagian tanggung
jawab orang tua kepada anaknya (karena kenyataan membuktikan bahwa orang tua di
rumah tidak mampu dan tidak mempunyai banyak kesempatan untuk mendidik anaknya
secara baik).Menurut Jalaludin, bahwa proses perubahan sikap dari sikap tidak
menerima ke sikap menerima dapat berlangsung melalui 3 prosesperubahan, yaitu:
1). Adanya perhatian
Bahwa pendidikan agama yang diberikan oleh guru agama harus
dapat menarik perhatian para siswa, maka guru agama harus bisa mengetahui
karakteristik siswa, mengetahui tingkat kemampuan siswa serta menciptakan
suasana dan hubungan yang baik terhadap siswa. Hal ini akan menunjang
terciptanya perhatian siswa terhadap materi pengajaran, yang selanjutnya
membantu tercapainya tujuan pendidikan.
2). Adanya pemahaman
Para
guru agama harus mampu memberikan pemahaman kepada peserta didik tentang materi
yang disampaikannya.Guruagama harus bisa merencanakan materi pengajaran,
memilih dan menggunakan metode yang tepat dan memakai media pendidikan yang
cocok. Sehingga dapat memungkinkan para siswa untuk bisa memahami terhadap apa
yang disampaikannya. Pemahaman ini akan lebih mudah diserap, jika pendidikan
agama yang disampaikan dapat dipraktekkan oleh siswa.
3). Adanya penerimaan
Penerimaan
siswa terhadap materi pendidikan agama yang disampaikan ini sangat tergantung
pada hubungan antara materi pengajaran dengan kebutuhan bagi kehidupan
siswa.Adanya sikap menerima tersebut juga ditentukan oleh sikapguru agama,
antara lain seorang guru agama harus mempunya keahlian dalam bidang agama dan
terutama harus memiliki sifat-sifat atau kepribadian yang sejalan dengan ajaran
agama. Maka hal ini akan mendukung dan menentukan keberhasilan pendidikan agama
di sekolah.
Menurut Abdur Rahman An-Nahlawi sebagaimana dikutip
oleh Chabib Thoha, bahwa untuk menunjang penerimaan
pendidikan agama Islam di sekolah, mereka memberikan
metode sebagai
berikut:
a).
Metode hiwar (percakapan)
Metode hiwar (dialog)
adalah percakapan antara duapihak atau tanya jawab mengenai suatu topik yang
mengarah pada suatu tujuan. Metode ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana
penerimaan siswa terhadap materi pelajaran yang disampaikan.
b).
Metode kisah
Metode ini digunakan
agar para siswa dapat mengetahui kisah-kisah terdahulu, yang selanjutnya dapat
mengambil manfaat sebagai suri tauladan yang baik dalam pengamalan ajaran
agama.
c).
Metode amsal (perumpamaan)
Metode ini digunakan
untuk memperjelas tentang materi yang disampaikan, dan perumpamaan ini
sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan dan kehidupan siswa dalam sehari-hari.
d).Metode
teladan
Para siswa memandang
guru sebagai teladan utama bagi mereka, maka merekapun cenderung akan meniru
segala tindak-tanduk dan perilaku guru. Sehingga guru memegang peranan penting
dalam membentuk sikap dan perilaku siswauntuk berpegang teguh pada ajaran
agama, akidah, cara berfikirsiswa dan sebagainya.
e).
Metode pembiasaan diri dan pengalaman
Dalam kaitannya dengan
pembentukan jiwa dan perilaku keagamaan siswa, maka metode ini penting untuk
diterapkan, sehingga guru agama harus bisa menerapkan kebiasaan hidupberagama
di lingkungan sekolah, karena hal ini akan menunjang keberhasilan pendidikan
agama dan sebagai hasilnya siswa dapat mengamalkan ajaran agama.
f).
Metode ibrah dan mauidhah
Dengan metode ibrah
siswa dapat mengambil pelajaran atau manfaat dari materi pelajaran (misal:
tentang kisah-kisah dalam Al-qur’an), sehingga siswapun dapat mengetahui akibat
baik dan jelek, yang selanjutnya akan menentukan siswa untuk selalu berperilaku
baik dalam kehidupan sehari-hari.Sedangkan metode mauidhah berarti memberi
nasehat dengan cara menyentuh kalbu. Dengan metode ini siswa merasa terbimbing
dan terbina terhadap ajaran agama, sehinggaakan mengarahkan siswa untuk selalu
berfikir dahulu sebelum bertindak sesuatu, agar apa yang akan dilakukan sesuai
dengan ajaran agama.
g).
Metode targhib dan tarhib
Istilah targhib berarti
janji terhadap kesenangan, atau dengan kata lain istilah ini berkaitan dengan
pahala. Sedangkan tarhib berarti ancaman karena dosa yang dilakukan
seseorang,atau berkaitan neraka.
Dengan metode ini siswa
dapat mengetahui tentang hal-hal yang baik dan jelek, mana perintah agama yang
harus dilakukan dan larangan agama yang harus tinggalkan, sehingga siswa akan
terdorong untuk sadar beragama dan selalu berbuat baik.
Dengan demikian, pembinaan agama dapat dilakukan dalam proses
menghadapi masalah melalui pendekatan agama, sehingga ajaran agama tersebut
dapat tercerminkan kepada siswa dalam menghadapi masalah serta menjadi bagian
penting dalam kehidupan sehari-hari siswa untuk diteladaninya.Guru hendaknya
berjiwa dan berakhlak agama, sehingga siswa terdorong untuk mencintai agama dan
hidup sesuai dengan ajaran agama.
Apabila jiwa dan semangat agama tidak tercermin oleh
sikap dan tindakan guru di sekolah, maka pendidikan agama yang diberikan guru
akan sulit berkembang dalam jiwa anak dan bahkan akan menimbulkan antipatinya
terhadap pendidikan agama.Selain itu, guru tidak hanya mendidik dan mengawasi perkembangan
perilaku keagamaan siswa ketika di lingkungan sekolah saja, namun guru juga
harus memperhatikan perkembangan siswaketika di luar sekolah (masyarakat), sehingga
siswa dapat terawasi danterhindarkan dari pengaruh yang bertentangan dengan
ajaran agama.
c. Faktor Masyarakat
Lingkungan
masyarakat merupakan lapangan pendidikan yang ketiga setelah lingkungan keluarga
dan sekolah. Dalam masyarakat juga ikut berperan dalam menciptakan dan
meningkatkan kesadaran beragama pada masa pubertas, sehingga lingkungan
masyarakat juga terciptanya
suasana yang agamis dalam lingkungan masyarakatakan membawa masing-masing anggota
masyarakat untuk terlibat didalamnya, maka akan mendorong anggota masyarakat
(pubertas) untuk berperilaku sesuai dengan ketentuan agama dan kesadarannya menjalankan
perintah agama.
Untuk
mendukung terwujudnya kesadaran beragama pada masa
pubertas
perlu adanya kerja sama yang baik antara orang tua dalam keluarga, para guru di
sekolah dan anggota masyarakat yang bersedia membantu dan membina anggota
masyarakat lainnya dalam hal pendidikan agama. Hubungan dari ketiga elemen
tersebut harus selalu dibina untuk memberikan pendidikan dan pengawasan,
sehinggapubertas benar-benar terkontrol dalam perilaku beragamanya. Dalam
lingkungan keluarga dan sekolah memang telah terjadi proses pendidikan agama
oleh orang tua dan guru, tetapi proses pendidikan tersebut hanya dapat
berlangsung dalam kurun waktu tertentu saja dan bersifat sementara ketika di
sekolah. Setelah para peserta didik (pubertas) kembali kepada pergaulan di
masyarakat,maka proses pendidikan ini pun harus dilakukan dalam masyarakat.Ketika
pubertas sudah bergabung di masyarakat perlu adanya prosespembinaan kembali
yang dilakukan di masyarakat, sehingga fungsi keluarga, masyarakat harus diterapkan
secara bersama-sama dalamproses pembinaan kembali terhadap pendidikan agama.
Ditinjau dari segi perkembangan sosial, masa pubertas
mulai menampakkan hubungannya dengan anggota masyarakat lainnya, terutama yang
menonjol adalah pergaulannya dengan teman sebayaatau lawan jenis. Berkaitan dengan
proses pembinaan kembali dimasyarakat, maka pubertas harus bisa mencari dan
memilih teman yang baik, teman yang mampu Relevansi antara psmenjadi pendidik,
pembina sekaligus pengontrol atas dirinya dalam berperilaku keagamaan.
Dan bukan teman yang membawa ke pergaulan yang menyesatkan.
Sebagaimana At-Thagra’i yang ditulis oleh Muhammad As-Suderi
dalam buku yang berjudul “Bahaya Teman” mengtakan yaitu:“Musuh yang
paling berbahaya adalah orang kepercayaanmu yang paling dekat, maka waspadalah terhadap
manusia dan pergauilah mereka dengan hati-hati”. Masa pubertas yang juga ditandai dengan
mulai berkembangnya hubungan dengan masyarakat khususnya dengan teman sebaya
atau lawan jenis harus selalu diperhatikan oleh orang tua, karena pergaulanini
bisa membawa pendewasaan diri dan kesadaran beragama, ataujustru membawa pada
perilaku amoral dan bertentangan dengan nilai-nilai agama jika pergaulan
tersebut tidak terkontrol.
Oleh karena itu, pubertas dalam pergaulan di masyarakat
harus bisa memilih teman bergaulnya dengan cermat, khususnya teman sebaya dan
teman lawan jenisnya karena merekalah yang memberikan pengaruh dominan atas
perkembangan pribadi dan sikapnya.Temanyang bisa membantu dirinya dalam
pembinaan dan memberi pengawasan atas dirinya agar tidak terjerumus pada
hal-hal yang dilarang agama. Jika pubertas sudah dapat menyadari arti
pentingnya teman yang baik dan mewas padai bahayanya teman yang menyesatkan dirinya,
maka proses pembinaan kembali terhadap pubertas dimasyarakat akan dapat terwujud,
yang tentunya didukung oleh pengawasan dari orang tua.
Dengan
demikian demi keberhasilan pendidikan dan pengawasan anak pada masa pubertas
menuju kesadaran beragama secara maksimal,maka kerja sama antara orang tua,
guru dan anggota masyarakat hendaknya dilakukan dan dikembangnkan dengan baik.
Sehingga pubertas benar-benar terdidik dan terawasi terhadap perilakunya
termasuk Perilaku keagamaannya dakam kehidupan sehari-hari.[15] Relevansi psikologi PAI atau
agama terhadap kesehatan mental di usia pubertas itu memang ada hubuganya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
Penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa:
1.
Psikologi
agama dan kesehatan mental. Psikologi agama adalah ilmu yang meneliti
pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang atau mekanisme yang
bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berfikir,bersikap,berkreasi
dan bertingkah laku yang tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya,karena keyakinan
itu masuk dalam konstruksi kepribadiannya. Sedangkan Kesehatan mental (mental
hygiene) adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip,
peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan
rohani. Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dalam rohani atau dalam
hatinya selalu merasa tenang, aman dan tenteram. Menurut H.C Witherington,
permasalahan kesehatan mental menyangkut pengetahuan serta prinsip-prinsip yang
terdapat lapangan psikologi, kedokteran, pskiatri, biologi, sosiologi, dan
agama.
2.
Relevansi atau Hubungan Psikologi Agama Terhadap
Kesehatan Mental Pada Fase Pubertas. Adalah
agama merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia. Agama itu sendiri menyatu dalam fitrah penciptaan
manusia. Terwujud dalam bentuk ketundukan, kerinduan ibadah, serta sifat-sifat
luhur. Manakala dalam menjalankan kehidupannya, manusia menyimpang dari
nilai-nilai fitrahnya, maka secara psikologis ia akan merasa adanya
semacam “hukuman moral”. Lalu spontan akan muncul rasa bersalah atau rasa
berdosa (sense of guilty).
Hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada
sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi,
yaitu Allah SWT. Sikap tersebut akan memberikan sikap optimis pada diri
seseorang sehingga muncul perasaan positif seperti rasa bahagia, puas, sukses,
merasa dicintai, atau merasa aman.
Pada Fase Pubertas. Jika dilihat dari
fase pubertas itu sendiri, maka masa pubertas (pra adolesence), itu dimulai dari umur 11 sampai 13 tahun. Pada fase ini keadaan jiwa pada masa pubertas berada dalam masa
transisi darimasa anak-anak menuju kedewasaan, maka kesadaran beragama pada
masapubertas juga berada pada masa peralihan dari kehidupan beragama
masaanak-anak menuju kehidupan beragama yang lebih mantap. Perkembanganjiwa
pebertas ditandai dengan keadaan jiwanya yang masih labil dan mengalami
kegoncangan jiwa, daya berpikir yang abstrak, logik dan kritismulai menunjukkan
tanda-tanda perkembangan.
Dari timbulnya
perkembangan jiwa yang dialami masa pubertas tersebut,mengakibatkan keadaan
kehidupan beragama pada masa pubertas mudahgoyah dan mulai timbulnya keraguan
dalam keimanan, kebimbangan dan konflik batin. Tapi di sisi
lain, kesadaran beragama pada masa pubertas mulai menunjukkan penghayatan yang
mendalam, ini terlihat dalam hubungannya dengan Tuhan sudah adanya kesadaran
dari dirinya.
Dan
difase pubertas yang harus dilihat juga yaitu ada bebrapa faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah faktor
keluarga, faktor sekolah, faktor masyarakat.
B.
Kritik dan Saran
Dalam penulisan makalah mengenai Relevansi Psikologi
PAI Terhadap Kesehatan Mental Pada Fase Pubertas ini, apabila terdapat
kesalahan dan kekeliruan dalam penulisan, mohon kritik dan sarannya, dan
diharapkan makalah ini berguna dan menambah ilmu bagi pembacanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz
Ahyadi, 1995, Psikologi
Agama (Kepribadian Muslim Pancasila), Bandung: Sinar Baru Algensindcet.
Abbudin Nara, 2002, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir Al-ayat Al-tarbawiy), Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada.
Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori
Suroso, 1994, Psikologi
Islami (Solisi Islam Atas Problem-problem
Psikologi), Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT
Persada.Raja Grafindo.
Muhammad
As-Suderi, 1997, Bahaya Teman, Jakarta: Gema
insani Press.
Muhaimin, 1989, Problematika Agama Dalam Kehidupan Manusia, Jakarta:
Kalam Mulia.
Sobur, Alex, 2009. Psikologi Umum, Bandung : Pustaka Setia.
Sururin, 2004.
Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Zakiah Daradjat, 1978, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung.
[9]Abdul Aziz Ahyadi, 1995, Psikologi Agama (Kepribadian Muslim
Pancasila), Bandung: SinarBaru
Algensindcet. III, hlm. 43
[10]Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, 1994, Psikologi Islami (Solisi Islam Atas Problem-problemPsikologi), Yogyakarta: Pustaka Pelajar,cet. I, hlm. 71
[14] Abbudin Nara, 2002, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir Al-ayat
Al-tarbawiy), Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada,cet. 1, hal. 198-199
No comments:
Post a Comment