1

loading...

Tuesday, November 20, 2018

MAKALAH AKHLAK

MAKALAH “AKHLAK  ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Secara sederhana akhlak islami dapat diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran islam atau akhlak yang bersifat islami. Kata Islam yang berada dibelakang kata akhlak dalam hal menempati posisi sebagai sifat. Akhlak Islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah daging dan sebenarnya yang didasarkan pada ajaran Islam.(hal 125)
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu akhlak?
2.      Apa saja urgensi akhlak?
3.      Apa saja jenis – jenis akhlak?
4.      Bagaimana hubungan etika, moral, dan akhlak?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa itu akhlak
2.      Untuk mengetahui apa saja urgensi akhlak
3.      Untuk mengetahui apa saja jenis – jenis akhlak
4.      Untuk mengetahui bagaimana hubungan etika,moral, dan akhlak

BAB II
PEMBAHASAN

1.         Pengertian Akhlak
Kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab yaitu jama’ dari kata “khuluqun” yang diartikan secara linguistic diartikan sebagai budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat, tata karma, sopan santun, adab dan tindakan.Secara terminologi kata akhlak dapat diartikan sebagai perilaku manusia dalam segala aspek kehidupan. Adapun definisi akhlak dari beberapa pendapat pakar ilmu akhlak, antara lain :
a)      Al-Qurthubi mengatakan :
“Perbuatan yang bersumber dari diri manusia yang selalu dilakukan, maka itulah yang disebut akhlak, karena perbuatantersebut bersumber dari kejadiannya”.
b)      Imam al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai berikut :
“Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia) yang melahirkan tindakan-tindakan mudah dan gampang tanpamemerlukan pemikiran ataupun pertimbangan”.
c)      Ibn Miskawaih juga mendefinisikan akhlak sebagai berikut :
“Khuluq adalah keadaan jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan-perbuatan dengan tanpa pemikiran dan pertimbangan”.
d)     Prof. Dr. Ahmad Amin, mengatakan bahwa :
“Akhlak merupakan suatu kehendak yang dibiasakan. Artinya kehendak bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak”
e)      Muhammad Ibn ‘Ilan Al-Sadiqi mengatakan :
“Akhlak adlah suatu pembawaan yang tertanam dalam diri, yang dapat mendorong (seseorang) berbuat baik dengan gampang.
f)       Abu Bakar Jabir al- Jaziri mengatakan :
“Akhlak adalah bentuk keji[1]waan yang tertanam dalam diri manusia yang dapat menimbulkan perbuatan baik dan buruk, terpuji dan tercela”
Dari pakar dalam bidang akhlak  tersebut menyatakan bahwa akhlak adalah perangai yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu. Pada dasarnya, maksud dari akhlak yaitu mengajarkan bagaimana seseorang seharusnya berhubungan dengan sesame manusia. Inti dari ajaran akhlak adalah niat kuat untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sesuai dengan ridha Allah SWT. Sumber akhlak adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, bukan dari akal pikiran atau pandangan masyarakat sebagaimana konsep etika dan moral.
1.Jenis – jenis Akhlak
  Adapun pembagian akhlak berdasarkan sifatnya, yaitu :
A.Akhlak Mahmudah
Yang dimaksud dengan akhlak terpuji adalah segala macam sikap dan tingkah laku yang terpuji. Akhlak ini dilahirkan oleh sifat – sifat mahmudah yang terpendam dalam jiwa manusia. Adapun akhlak terpuji sebagai berikut :
a.         Taubat adalah suatu sikap yang menyesali perbuatan buruk yang pernah dilakukannya dan berusaha menjauhinya serta melakukan perbuatan baik.
Orang yang telah berbuat dosa wajib untuk segera bertobat,
sebagaimana firman Allah :
وَتُوبُواإِلَىاللَّهِجَمِيعًاأَيُّهَاالْمُؤْمِنُونَلَعَلَّكُمْتُفْلِحُونَ...

Artinya : “Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah wahai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS. Al-Nur [24] : 31)
b.Amar Ma’ruf Nahi Munkar, yaitu perbuatan yang dilakukan kepada manusia untuk menjalankan kebaikan dan meninggalkan kemaksiatan dan kemungkaran sebagai implementasi perintah Allah.Allah telah berfirman yang artinya : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali-Imran [3] : 104)
Syukur, yaitu berterima kasih kepada Allah tanpa batas dengan sungguh – sungguh atas segala nikmat dan karunianya dengan ikhlas serta menaati apa yang diperintahkan-Nya. Seseorang yang selalu bersyukur , pasti Allah akan menambahkan kenikmatan-Nya.Sesuai dengan firman Allah SWT
فَاذْكُرُونِيأَذْكُرْكُمْوَاشْكُرُوالِيوَلَاتَكْفُرُونِ
Artinya : “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan
janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (QS. Al-Baqarah [2]: 152)
d. Tawakkal, yaitu menyerahkan segala persoalan kepada Allah setelah berusaha. Apabila kita telah berusaha sekuat tenaga dan masih saja mengalami kegagalan maka hendaklah bersabar dan berdoa kepada Allah agar Dia membuka jalan keluarnya.Allah berfirman :
فَإِذَاعَزَمْتَفَتَوَكَّلْعَلَىاللَّهِإِنَّاللَّهَيُحِبُّالْمُتَوَكِّلِنيَ
Artinya : “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. AliImran [3] : 159)
e.Sabar, yaitu suatu sikap yang betah atau dapat menahan diri pada kesulitan yang dihadapinya. Tetapi tidak berarti bahwa sabar itu langsung menyerah tanpa upaya untuk melepaskan diri dari kesulitan tersebut. Maka sabar yang dimaksud adalah sikap yang diawali dengan ikhtiar, lalu diakhiri dengan ridha dan ikhlas bila seseorang dilanda suatu cobaan.Sabar merupakan kunci segala macam persoalan.
Allah berfirman yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orangorang yang sabar”. (QS. Al-Baqarah [2] : 153)
f.Qana’ah, yaitu menerima dengan rela apa yang ada atau merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Qana’ah dalam pengertian yang luas sebenarnya mengandung lima perkara, yaitu :
a.       Menerima dengan rela apa yang ada.
b.      Memohon kepada Allah tambahan yang pantas, disertai dengan usaha dan ikhtiar.
c.       Menerima dengan sabar ketentuan Allah.
d.      Bertaqwa kepada Allah.
e.       Tidak tertarik oleh tipu daya dunia.
g. Tawadhu’,yaitu sikap merendahkan diri terhadap ketentuan Allah. Sikap tawadhu’ juga ditujukan kepada sesame manusia dengan cara memelihara hubungan dan pergaulan tanpa merendahkan orang lain.
B.        Akhlak Mahmumah
Menurut Imam  Al-Ghazali, akhlak yang tercela dikenal dengan sifat – sifat muhlikat, yakni segala tingkah laku manusia yang dapat membawa kepada kebinasaan dan kehancuran diri. Al-Ghazali juga menerangkan akal yang mendorong manusia melakukan perbuatan tercela adalah dunia dan isinya, manusia, setan, dan nafsu.
Pada dasarnya sifat perbuatan tercela dibagi menjadi dua, yaitu :
1) Maksiat Lahir
Maksiat berasal dari bahasa Arab yaitu ma’siyah yang artinya pelanggaran oleh orang yang berakal baligh. Maksiat lahir, meliputi maksiat lisan, telinga, mata, dan tangan.
2) Maksiat Batin
Maksiat batin berasal dari dalam hati manusia atau digerakkan oleh tabiat hati. Berikut contoh penyakit batin (akhlak tercela) adalah :
a.Takabbur, yaitu suatu sikap yang menyombongkan diri sehingga tidak mau mengakui kekuasaan Allah, termasuk mengingkari nikmat Allah.Takabbur juga berarti merasa atau mengakui dirinya besar, tinggi, dan mulia melebihi orang lain.
b. Syirik, yaitu suatu sikap yang menyekutukan Allah dengan makhluk-Nya, dengan cara menganggapnya bahwa ada suatu makhluk yang menyamai kekuasaan-Nya, atau berarti kepercayan terhadap suatu benda yang mempunyai kekuatan tertentu.
cNifaq, yaitu suatu sikap yang menampilkan dirinya bertentangan dengan kemauan hatinya. Pelaku nifaq disebut munafik, sebab sifat nifaq inilah si pelaku akan melakukan perbuatan tercela, diantaranya berbohong, ingkar janji, khianat, dan lain – lain.
d. Iri hati atau dengki, yaitu sikap kejiwaan seseorang yang selalu menginginkan agar kenikmatan dan kebahagiaan orang lain bisa hilang. Sifat ini sangat merugikan manusia dalam beragama dan bermasyarakat sebab dapat menjerumuskan pada sifat rakus, egois, serakah atau tamak, suka mengancam, pendendam, dan sebagainya.
e. Marah, yaitu kondisi emosi seseorang yang tidak dapat ditahan oleh kesadarannya sehingga menonjolkan sikap dan perilaku yang tidak menyenangkan orang lain.
Sedangkan pembagian akhlak berdasarkan obyeknya dibedakan menjadi dua, yaitu :
a)         Akhlak kepada Khalik
b)         Akhlak kepada Makhluk, yang dibagi lima yaitu, akhlak kepada Rasulullah, akhlak kepada keluarga, akhlak kepada diri sendiri, akhlak kepada sesama dan akhlak kepada lingkungan.
3.         URGENSI AKHLAK DALAM KEHIDUPAN
Aspek – aspek ajaran islam, baik aqidah, ibadah mu’amalah bagi setiap muslim ketiganya merupakan aspek – aspek yang bersifat taklifi (kewajiban) yang harus dilaksanakan. Sejarah membuktikan bahwa semua aspek ajaran tersebut tidak dapat terlaksana tanpa adanya akhlak yang baik.Dari sini dapat dipahami bahwa akhlak merupakan pilar yang sangat penting dalam Islam.Akhlak yang mulia adalah pertanda kematangan iman serta merupakan kunci kesuksesan hidup di dunia dan akhirat. Nabi Muhammad sebagai Rasul terakhir diutus oleh Allah untuk mengemban misi penyempurnaan akhlak manusia yang telah runtuh sejak zaman para nabi yang terdahulu.Beliau bersabda :
ٳنَّمَابُعِثْتُلِأُتَمِّمَمَكَارِمَالْأَخْلاَقِرواهأحمدوالبيهقى “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.” (HR. Ahmad dan Baihaqi)
            Pada dasarnya syariat yang dibawa para Rasul bermuara pada pembentukkan akhlak mulia. Berbagai ritual diperintahkan Allah melalui para Nabi dan Rasul, ternyata banyak bermuara pada pembentukkan akhlak, seperti dalam perintah Shalat sebagai berikut :
 “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat.Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Ankabut:45)
Ayat tersebut secara jelas menyatakan, bahwa muara dari ibadah Shalat adalah terbentuknya pribadi yang terbebas dari sikap keji dan munkar. Selanjutnya, akhlak juga dapat menentukan beriman atau tidaknya seseorang,
“demi Allah ia tidak beriman, demi Allah ia tidak beriman, demi Allah ia tidak beriman. Para sahabat bertanya, siapakah mereka wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab: orang yang tidak menyimpan rahasia kejelekan tetangganya (H. R. Muslim).
Hadits tersebut secara nyata mengandung arti bahwa orang yang berakhlak buruk kepada tetangganya oleh Rasulullah dianggap tidak beriman. Sebaliknya orang yang paling dicintai oleh Rasulullah adalah yang paling baik akhlaknya, “sesungguhnya orang yang paling aku cintai dia yang paling dekat tempat duduknya pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (H.R. At- Tirmidzi).
Ternyata orang mukmin yang sempurna imannya bukan karena banyak ibadahnya, tetapi yang baik akhlaknya, “orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (H.R. Abu Daud).
Demikian juga orang bertakwa dan berakhlak mulia dijamin masuk syurga,” penyebab utama masuknya manusia ke syurga, karena bertakwa kepada Allah dan kemuliaan akhlaknya.” (H. R. Tirmidzi).
 Manusia mempunyai kecendrungan untuk berbuat baik dan buruk. Biasanya orang bertakwa akan berbuat dan bersikap baik dan mengutamakan akhlak mulia, perbuatan baik merupakan wujud kemuliaan akhlaknya, sedangkan perbuatan baik akan menghapus perbuatan-perbuatan buruk. Pencerminan diri seseorang juga sering digambarkan melalui tingkah laku atau akhlak yang ditunjukkan. Bahkan akhlak merupakan perhiasan diri bagi seseorang karena orang yang berakhlak jika dibandingkan dengan orang yang tidak berakhlak tentu sangat jauh perbedaannya.                    

4.         Hubungan Etika, Moral dan Susila dengan Akhlak
Dilihat dari fungsi dan perannya, dapat dikatakan bahwa etika, moral, dan akhlak sama, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik-buruknya. Kesemua istilah tersebut sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, damai dan tenteram sehingga sejahtera bathiniyah dan lahiriyahnya.
Perbedaan antara etika, moral dan susila dengan akhlak adalah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika, penilaian baik dan buruk berdasarkan pendapat akal pikiran dan pada moral dan susila berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik dan buruk itu adalah Al-Quran dan Al-Hadis.
Perbedaan lain antara etika, moral dan susila terlihat pula pada sifat dan kawasan pembahasannya. Jika etika lebih banyak bersifat teoritis, maka pada moral dan susila lebih banyak bersifat praktis. Etika memandang tingkah laku manusia secara umum, sedangkan moral dan susila bersifat lokal dan individual. Etika menjelaskan ukuran baik-buruk, sedangkan moral dan susila menyatakan ukuran tersebut dalam bentuk perbuatan
Namun demikian etika, moral, susila dan akhlak tetap saling berhubungan dan membutuhkan. Uraian tersebut di atas menunjukkan dengan jelas bahwa etika, moral dan susila berasal dari produk rasio dan budaya masyarakat yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat dan baik bagi kelangsungan hidup manusia. Sementara akhlak berasal dari wahyu, yakni ketentuan berdasarkan petunjuk Al-Quran dan Hadits. Dengan kata lain jika etika, moral dan susila berasal dari manusia, sedangkan akhlak berasal dari Tuhan.
Kajian-kajian keislaman sudah menunjukkan dengan jelas bahwa keberadaan wahyu bersifat mutlak, absolut dan tidak dapat diubah. Dengan demikian akhlak sifatnya juga mutlak, absolut dan tidak dapat diubah. Sementara etika, moral dan susila sifatnya terbatas dan dapat diubah.
Dalam pelaksanaannya, norma akhlak yang terdapat dalam Al-Quran dan Al-Sunnah itu sifatnya dalam keadaan “belum siap pakai”.Jika Al-Quran misalnya menyuruh kita berbuat baik kepada ibu-bapak, menghormati sesama kaum muslimin dan menyuruh menutup aurat, maka suruhan tersebut belum dibarengi dengan cara-cara, sarana, bentuk dan lainnya. Bagaimanakah cara menghormati kedua orang tua tidak kita jumpai dalam Al-quran dan Al-hadits. Demikian pula bagaimana cara kita menghormati sesama muslim dan menutup aurat juga tidak dijumpai dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Cara-cara untuk melakukan ketentuan akhlak yang ada dalam Al-Quran dan Al-Hadits itu memerlukan penalaran atau ijtihad para ulama dari waktu-waktu. Cara menutup aurat, model pakaian, ukuran dan potongannya yang sesuai dengan ketentuan akhlak jelas memerlukan hasil pemikiran akal pikiran manusia dan kesepakatan masyarakat untuk menggunakannya. Jika demikian adanya, maka ketentuan baik-buruk yang terdapat dalam etika, moral dan susila yang merupakan produk akal pikiran dan budaya masyarakat dapat digunakan sebagai alat untuk menjabarkan ketentuan akhlak yang terdapat dalam Al-Quran. Tanpa bantuan usaha manusia dalam bentuk etika, moral dan susila, ketentuan akhlak yang terdapat di dalam Al-Quran dan Al-Sunnah akan sulit dilaksanakannya.
Dengan demikian keberadaan etika, moral dan susila sangat dibutuhkan dalam rangka menjabarkan dan mengoperasionalisasikan ketentuan akhlak yang terdapat dalam Al-Quran. Di sinilah letak peranan dari etika, moral dan susila terhadap akhlak. Pada sisi lain akhlak juga berperan untuk memberikan batas-batas umum dan universal, agar apa yang dijabarkan dalam etika, moral dan susila tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang luhur dan tidak membawa manusia menjadi sesat.
Dalam keadaan demikian pada ajaran akhlak itu terdapat sisi-sisi yang absolut dan universal yaitu ketentuan yang terdapat dalam Al-Quran, dan terdapat sisi-sisi yang bersifat terbatas dan berlaku secara lokal, yaitu pada saat ketentuan yang absolut dan universal itu telah dijabarkan oleh etika, moral dan susila.
Namun demikian bisa saja terjadi bahwa antara akhlak dengan etika, moral dan susila menunjukkan keadaan yang tidak sejalan. Hal ini bisa terjadi pada masyarakat yang dalam berpikirnya bersifat liberal, ateis dan sekuler sebagaimana terjadi di Barat.
Banyak alasan atau dalil yang dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa Islam sangat toleran dan akomodatif terhadap berbagai produk pemikiran dan budaya yang dihasilkan manusia termasuk pemikiran dalam bidang akhlak. Pertama, di dalam Al-Quran  sbanyak ayat-ayat yang menyuruh manusia agar menggunakan akal pikirannya guna memahami rahasia kekuasaan Tuhan. Hasil kerja akal terhadap pemahaman rahasia Tuhan itu mesti dihargai. Sebab jika tidak, maka untuk apa Tuhan memerintahkan manusia menggunakan akal pikirannya. Akal digunakan untuk kegiatan membaca, menelaah, membandingkan, mengklasifikasikan, menganalisis dan menyimpulkan berbagai fenomena alam dan sosial yang diamati, yang semuanya itu sebagai tanda kekuasaan Tuhan. Demikian pentingnya peranan akal dalam beragama dapat kita pahami dari hadis Nabi yang berbunyi:
اَلدِّيْنُ هُوَالْعَقْلُ لاَدِيْنَ لِمَنْ لاَ عَقْلَ لَـهُ
“Agama itu adalah penggunaan akal, tiada agama bagi orang yang tidak berakal”
Apa yang dihasilkan akal pikiran terhadap agama itu dapat berupa konsep, teori, rumusan dan pemikiran filsafat. Semua ini diterima sepanjang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan al-hadis. Apa yang dihasilkan akal pikiran ini adalah yang digunakan dalam etika , karena etika sumbernya adalah akal pikiran. Dengan demikian, diterimanya hasil pemikiran dalam islam,menunjukan bahwa etika diterima dalam akhlak islam, sebagai sarana untuk menjabarkan ajaran akhlak yang terdapat dalam wahyu.
Peranan akal pikiran sebagai penentu baik buruk yang dikembangkan dalam etika itu sebenarnya telah dikembangkan lebih jauh oleh kalangan teologi muktazilah. Menurut aliran ini bahwa akal manusia dapat mengetahui adanya tuhan, kewajiban
Mengetahui  tuhan, mengetahui baik dan jahat, dengan demikian bagi kalangan muktazilah, walaupun wahyu tidak diturunkan, seseorang tidak bebas berbuat sesukanya tanpa hukum, atau bebas melakukan apa saja. Seseorang harus tetap percaya kepada tuhan dan melakukan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang jahat, karena ada akalnya. Apa yang dihasilkan berupa ketetapan akal harus dilaksanakan dengan baik. Dengan kata lain, Muktazilah mengakui adanya hukum akal, dan hukum akal ini dalam bentuk konkretnya adalah ajaran etika.
Kedua, Di dalam kajian hukum islam, dijumpai adanya sumber hukum berupa huruf al-uruf yaitu kebiasaan atau adat istiadat yang berkembang dalam masyarakat. Sumber hukum ini digunakan sepanjang tidak bertentang dengan Al-Qur’an dan al-Hadis. Adat yang demilian itulah yang digunakan sebagai salah satu ketetapan hukum, sesuai dengan kaidah yang mengatakan al-adat muhakkamah, kebiasaan itu menjadi ketetapan. Menurut keterangan al-Qadi bahwa munculnya kaidah tentang perlunya adat sebagai salah satu sumber hukum Islam adalah karena adanya hadis Nabi yang isinya mengakui pendapat atau kesepakatan orang-orang islam. Hadis tersebut selengkapnya berbunyi :
مَا رَا عٰى اْلـعُسْـلِمُوْ نَ خَيْرًافَهُوَ عِنْدَا للهِ خَـيْرٌ
“Sesuatu yang oleh orang orangislam dipandang baik maka yang demikian itu dalam pandangan Allah pun baik pula
Apa yang disebut adat istiadat ini sebenarnya adalah bahan yang digunakan sebagai titik tolak penentuan baik dan buruk dalam bidang moral sebagaimana dikemukakan. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa akhlak islam menerima atau mengakui adanya moral, akhlak islam dapat dijabarkan dan diaplikasikan dalam kehidupan[2]

BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu jama’ dari kata “khuluqun”.Secara terminologi kata akhlak dapat diartikan sebagai perilaku manusia dalam segala aspek kehidupan.dan secara linguistic berarti Budi pekerti, Perangai, sikap, perilaku. Sedangkan jenis jenis akhlak ada akhlak terpuji dan tercela. Dan hubungan etika, moral dan akhlak saling bersangkutan karena etika itu dari akal, moral dari pikiran dan akhlak dari iman. Dan Akhlak itu penting untuk umat manusia karena akhlak merupakan pilar yang sangat penting dalam islam. Akhlak yang mulia adalah pertanda kematangan iman serta merupakan kunci kesuksesan hidup dunia dan akhirat.
B.     SARAN
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah ini dengan sumber sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan.

DAFTAR PUSTAKA
Natta,Abuddin . 2015 . Akhlak tasawuf dan karakter mulia . Depok : PT. Rajagrafindo persada.
Al-qaradhawi,Yusuf. . 1996 . Pengantar Kajian Islam. Penerj. Budi utomo, setiawan. Jakarta timur : Pustaka Al-Kautsar.
Amin,Masyhur. 1991. Bidang Studi Aqidah dan Akhlak. Yogyakarta : Kota Kembang.
As,Asmaran. 1994. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta : Rajagrafindo Persada
Marzuki. 2009. Prinsip Dasar Akhlak Mulia. Yogyakarta : Debut wahana press




[1] . Marzuki. 2009. Prinsip Dasar Akhlak Mulia, h 4.
[2] Natta,Abuddi  (Akhlak tasawuf dan karakter mulia . Depok 2005)h.80.

No comments:

Post a Comment